Biaya Tersembunyi RCEP dan kesepakatan perdagangan korporasi di Asia Penulis: Cecilia Olivet, Kat Moore, Sam Cossar-Gilbert, Natacha Cingotti Desain: Dipublikasikan oleh Friends of the Earth International, Transnational Institute, Indonesia for Global Justice and Focus on the Global South. Amsterdam/Jakarta, Desember 2016 Konten laporan dapat dijadikan rujukan atau reproduced untuk kepentingan non-komersil jika sumber informasi is properly cited. Ucapan terima kasih Kami ucapkan terima kasih kepada Denis Burke untuk masukan-masukan yang bermanfaat untuk konsep naskah. Temuan Penting • • • • • • • • • • • • • • 50 kasus investasi telah diajukan melalui arbitrase melawan 16 negara RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) sejak 1994, lebih dari 50%diantaranya diajukan setelah tahun 2010 India telah menjadi target dari 40% kasus yang diajukan melawan negara RCEP 68% dari kasus yang diajukan melawan negera-negara RCEP diinisiasi oleh para penanam modal yang berasal dari Eropa Para penanam modal asing telah menuntut paling tidak 31 milyar dolar Amerika kepada negara-negara RCEP. Mengingat adanya kesan rahasia seputar proses penyelesaian sengketa antara penanam modal dan negara (ISDS), jumlahnya mungkin lebih dari itu. Jumlah tersebut 7 milyar dolar Amerika lebih sedikit dibandingkan degan anggaran negara India untuk tahun 2015. Dari 31 milyar dolar Amerika yang dituntut oleh para penanam modal, 81% adalah tuntutan hanya kepada empat negara yaitu India, Korea Selatan, Australia, dan Vietnam Jumlah besar yang diketahui telah dibayar kepada penanam modal asing oleh negara RCEP adalah 337 juta dolar Amerika sebagai bagian dari kesepakatan dalam kasus Cemex melawan Indonesia 36% dari kasus-kasus yang melibatkan negara-negara RCEP adalah mengenai sektor-sektor yang berhubungan dengan lingkungan 42% dari kasus-kasus ISDS melawan negara-negara RCEP masih dalam status ditangguhkan Dapat dikatakan bahwa para penanam modal telah memenangkan 67% kasus melawan negara-negara RCEP Negara-negara RCEP telah dituntut karena mengambil langkah-langkah untuk melindungi kesehatan masyarakat, menyesuaikan pajak korporasi, mempromosikan industri, dan meninjau kontrak yang dilaksanakan melalui dugaan tindak korupsi, dan masih banyak lagi Negara-negara RCEP telah menandatangani 831 perjanjian investasi internasional (IIA), 676 diantaranya sedang dijalankan. Sebagian besar perjanjian ditandatangani pada rentang tahun 1990-2009 Tiongkok, Korea Selatan dan India telah menandatangani Perjanjian Investasi Internasional (IIA) terbanyak. Selandia Baru, Myanmar dan Brunei telah menandatangani Perjanjian Investasi Internasional paling sedikit. 87% dari Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) yang ditandatangani negara-negara RCEP yang sedang dilaksanakan kemungkinan besar telah melewati masa periode awal dan dapat diakhiri Negara-negara RCEP saat ini sedang melakukan negosiasi mengenai paling tidak enam Perjanjian Perdagangan Bebas dengan bab-bab mengenai perlindungan investasi yang memberikan hak kepada para penanam modal untuk menuntut secara hukum pemerintah terkait di pengadilan investasi internasional. Mereka berunding mengenai Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Myanmar dan India juga bernegosiasi secara bilateral dengan European Union. 1. Pendahuluan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) saat ini sedang dinegosiasikan oleh 16 negara di wilayah Asia, termasuk Tiongkok, negara-negara anggota ASEAN dan negara pelaku utama perdagangan lainnya seperti Australia, Korea Selatan, Jepang dan India. Lebih dari 50% populasi dunia tinggal di negara-negara yang sedang bernegosiasi, yang merupakan lebih dari 1 seperempat dari ekspor global dan hampir 30% dari GDP dunia. Layaknya perjanjian-perjanjian dagang lainnya, seperti Trans Pacific Partnership (TPP), negosiasi ini termasuk focus pada liberalisasi perdagangan, membahas berbagai peraturan dan sangat rahasia. “RCEP dan TPP merupakan kelanjutan dari konsep WTO- yang dirancang untuk mengumpulkan kekayaan di tangan elit korporasi global; US-led TPP dan China-led RCEP tidak akan membahas mengenai permintaan jangka panjang untuk sistem perdagangan internasional yang menjawab kebutuhan masyarkat luas”, Beverly Longid, dari International Indigenous Peoples Movement for Self2 Determination and Liberation. RCEP juga meliputi mekanisme Investor-State Penyelesaian Sengketa yang kontroversial yang saat 3 ini mendapat kritik public dan pengawasan di seluruh dunia. ISDS merupakan mekanisme satu arah yang memberi peluang pada para penanam modal asing untuk menuntut secara hukum negara terkait di pengadilan arbitrase internasional; namun mekanisme tersebut tidak dapat digunakan oleh negara-negara terkait. Para penanam modal asing dapat mengelak dari sistem pengadilan domestik dan menuntut kompensasi finansial dari pemerintah tuan rumah (host) di pengadilan rahasia internasional yang ramah terhadap bisnis apabila mereka menyatakan investasi mereka (termasuk potensi keuntungan di masa depan) terkena dampak dari pemberlakuan peraturan dan/atau perubahan kebijakan di negara host. Pengadilan privat tersebut terdiri dari tiga arbitrator berbayar yang mengeluarkan putusan mereka secara tertutup. Para arbitrator seringkali memiliki konflik 4 kepentingan karena banyak dari mereka memiliki insentif finansial untuk memberi putusan yang memenangkan penanam modal dan menjaga sistem tetap berjalan. Para Arbitrator juga seringkali berpindah pihak dan bekerja sebagai pengacara yang merepresentasikan serta membela perusahaan-perusahaan yang mengajukan gugatan hukum untuk kasus-kasus perjanjian investasi. Menegosiasikan perjanjian baru termasuk di dalamnya ISDS berarti melakukan upaya menentang terhadap keputusan beberapa pemerintahan di daerah untuk memperbarui atau mengakhiri perjanjian-perjanjian ini demi melindungi hak mereka untuk membuat peraturan. Diantara negaranegara RCEP, India, Indonesia dan Australia telah melewati proses-proses tinjauan mengenai 5 6 konsep investasi internasional. Dalam kasus India dan Indonesia , hasil dari tinjauan tersebut berakhir pada pengakhiran beberapa perjanjian serta perkembangan model baru dari perjanjian investasi bilateral (BIT) yang sangat membatasi hak-hak para penanam modal. Laporan ini menyoroti biaya ISDS saat ini dan yang mungkin akan timbul yang ditanggung oleh negara-negara yang sedang bernegosiasi mengenai perjanjian RCEP. Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (The North American Free Trade Agreement / NAFTA) menunjukkan bahwa kesepakatan perdagangan daerah yang besar sangat lebih sulit untuk diperbarui atau diubah setelah ditandatangani dibandingkan dengan perjanjian bilateral. Satu-satunya cara untuk menghilangkan hak-hak yang diberikan kepada para penanam modal dalam perjanjian perdagangan bebas adalah dengan mengakhiri keseluruhan perjanjian, tidak hanya bab mengenai perlindungan investasi masing-masing. Dampak bahaya dari perjanjian investasi akan semakin meningkat jika pemerintah di wilayah terkait setuju untuk memberikan perlindungan hak yang lebih kepada para penanam modal dalam RCEP dan negosiai perdagangan bebas lainnya yang sedang berlangsung. Selanjutnya, secara wajar dapat diperkirakan bahwa RCEP akan menjamin keberadaan ketentuan ISDS yang berbahaya di wilayah terkait untuk masa yang akan mendatang. Hal ini dapat merusak upaya-upaya pemerintah dalam mengamankan hak mereka untuk membuat peraturan demi kepentingan umum. Tuntutan untuk kompensasi ganti rugi dapat – dan pada kenyataannya – bernilai hingga milyaran dolar. Namun, kasus-kasus ISDS tidak sepenuhnya diungkapkan kepada khalayak walaupun jika ada kasus yang mungkin berkenaan dengan kepentingan umum seperti lingkungan. Ketika negara terkait kalah dalam kasus ISDS atau menyelesaikan sengketa dengan penanam modal, pemerintah terpaksa harus menanggung biaya menggungakan uang rakyat. Dengan kata lain, ISDS secara efektif membuka pintu kepada para penanam modal untuk mengalihkan risiko investasi mereka kepada para wajib pajak. Walaupun kasus telah dihentikan atau hasil akhirnya memenangkan negara terkait, negara tersebut biasanya harus tetap menanggung biaya pembelaan hukum dan ongkos arbitrator yang terlalu besar. Menurut Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), biaya untuk satu kasus ISDS saja mencapai 8 juta dolar Amerika hanya untuk rata-rata biaya proses hukum dan aribitrase, setengah dari total biaya tersebut akan ditanggung oleh Negara 7 terkait. Laporan ini mengumpulkan data yang tersedia mengenai kasus-kasus melawan pihak negara-negara yang dibawa ke negosiasi RCEP. Laporan ini juga menyoroti serangan korporasi yang sedang terjadi terhadap hak pemerintah Asia untuk mengatur, termasuk tindakan yang dilakukan setelah memberlakukan langkah-langkah untuk melindungi lingkungan. Terlebih lagi, laporan ini menekankan akibat yang ditimbulkan sistem ini terhadap demokrasi di wilayah terkait. Metodologi Laporan ini menyusun data mengenai kasus-kasus ISDS yang diajukan melawan pihak negara-negara dalam negosiasi RCEP. Penelitian ini dilakukan pada November 2016 menggunakan data yang tersedia di akses publik pada saat itu. Sebagian besar informasi mengenai kasus untuk kepentingan penelitian ini diambil dari database 8 kebijakan investasi UNCTAD , didukung oleh informasi tambahan dari majalah-majalah khusus seperti 9 10 IAReporter, Global Arbitration review, Italaw , dan artikel serta jurnal lainnya yang berhubungan jika tersedia dan melengkapi detil serta data mengenai kasus-kasus tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif mengenai seluruh kasus-kasus yang diketahui di negara-negara RCEP dengan dokumentasi terkait yang dapat diakses. Namun, beberapa kasus ISDS bersifat rahasia, bahkan untuk kasus-kasus yang masalah sengketanya merupakan kepentingan publik. Mengingat kurangnya transparansi seputar proses arbitrase, kasus-kasus yang dibahas di sini mungkin tidak mencakup seluruh kasus yang diajukan melawan negara-negara prospektif RCEP. Tidak semua kasus dipublikasikan atau didokumentasikan sepenuhnya. Walaupun rincian mengenai kasus tersedia untuk publik, banyak rincian terkait jumlah uang yang diputuskan harus dibayar, biaya proses hukum yang harus dibayar, atau 11 alasan kesepakatan yang tidak sepenuhnya diungkapkan. Kasus-kasus ini digolongkan sebagai kasus terkait lingkungan berdasarkan investasi dari penanam modal yang menggugat yang merupakan salah satu sektor berikut ini yang didefinisikan oleh UNCTAD: tambang & penggalian; ketersediaan air, saluran air, pengolahan limbah dan kegiatan remediasi; atau pasokan listrik, gas, uap dan udara. 2- Dampak ISDS di Asia Saat ini terdapat 50 gugatan perjanjian investasi yang diketahui melawan 11 negara RCEP. Lima negara (Brunei, Kamboja, Singapur, Jepang, dan Selandia Baru) telah lolos. India telah menjadi target dari 40% kasus yang diajukan melawan negara-negara RCEP. Indonesia, Filipina dan Vietnam merupakan tiga negara berikutnya yang paling sering dituntut diantara negara-negara RCEP lainnya. Dari total kasus-kasus yang diajukan melawan India, 15 diantaranya berdasarkan empat perjanjian investasi bilateral, yaitu India-Inggris (lima kasus), India-Mauritius (empat kasus), India-Perancis (tiga kasus), dan India-Belanda (tiga kasus). Negara-­‐negara RCEP yang dituntut (termasuk jumlah kasus) Thailand, 1 Myanmar, 1 Australia, 1 China, 2 Korea Selatan, 3 Malaysia, 3 India, 20 Laos, 3 Vietnam, 4 Indonesia, 7 Philippines, 5 Pertumbuhan eksponensial dalam jumlah kasus yang diajukan Mengikuti tren internasional, sengketa perjanjian investasi melawan negara-negara RCEP telah meningkat selama satu dekade terakhir. Haya enam kasus diajukan melawan negara-negara RCEP antara rentang tahun 1994 dan 2003. Pertambahan kasus gugatan hukum meningkat pesat mulai tahun 2004; setidaknya 27 sengketa dimulai antara tahun 2004 dan 2013. Sejak tahun 2004 hingga saat ini, sudah ada 17 tuntutan ISDS yang terdaftar, sehingga ada kemungkinan bahwa dekade 2014-2023 akan menggantikan periode sebelumnya. Jumlah kasus ISDS melawan negara-­‐negara RCEP yang diajukan per tahun 10 7 6 6 4 4 3 2 1 1 1 2 2 1 1994 1999 2000 2002 2003 2004 2005 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Siapa penanam modal yang menuntut? Para penanam modal dari 19 negara berbeda telah memulai tuntutan hukum melawan negara-negara RCEP. Negara asal para penamam modal yang paling sering memulai tuntutan termasuk diantaranya adalah Belanda (9 kasus), Inggris (8 kasus), Perancis (5 kasus), Belgia (4 kasus) dan Jerman (4 kasus). Faktanya, 68% penanam modal, yang menuntut secara hukum negara-negara RCEP, berada di Eropa. Negara asal para penanam modal yang menuntut negara-­‐ negara RCEP Timur Tengah, 4% Amerika Utara, 2% Afrika, 7% Asia, 19% Eropa, 68% Sektor apa yang menjadi target? 31 gugatan dari total 50 gugatan hukum berhubungan dengan empat sektor, yaitu listrik dan gas, tambang, informasi dan komunikasi, dan manufaktur. Peraturan arbitrase mana yang menjadi favorit para penanam modal dalam kasus melawan negara-negara RCEP? Berbeda dengan tren internasional, para penanam modal yang menuntut secara hukum negaranegara RCEP telah memilih peraturan Komisi PBB untuk Hukum Perdagangan Internasional dalam 60% kasus, dibandingkan dengan peraturan ICSID. Hal ini mungkin karena beberapa negara RCEP belum menandatangani konvensi ICSID seperti India, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Laos. Peraturan Arbitrase yang digunakan dalam gugatan ISDS melawan negara-­‐negara RCEP ICSID, 34% UNCITRAL, 60% ICSID AF, 6% Status kasus-kasus ISDS melawan negara-negara RCEP Untuk sebagian besar kasus, penyelesaiannya masih ditangguhkan (20). Dari 30 kasus yang telah diselesaikan, sebagian besar memenangkan penanam modal dengan adanya keputusan pengadilan yang memenangkan penanam modal (3) atau dengan kesepakatan dengan Negara terkait (17). Ketentuan dari sebagian besar kesepakatan tidak diungkapkan, namun banyak terkait dengan sejumlah biaya yang harus dibayar oleh Negara, atau keputusan untuk memberi pembebasan, atau menghapus peraturan yang mempengaruhi penanam modal. Keputusan memenangkan penanam modal, 3 Kesepakatan damai, 17 Keputusan memenangkan Negara, 9 Tidak memenangkan kedua pihak, 1 ditunda, 20 Siapa yang menang dalam kasus-kasus melawan negara-negara RCEP? Jika melihat 30 kasus yang diketahui hasilnya, kami menemukan bahwa 57% kasus telah selesai dengan kesepakatan dan 10% kasus dimenangkan oleh penanam modal. Hal tersebut sama artinya dengan dalam 67% dari total kasus yang ada, penanam modal mendapatkan sesuatu dari kasus tersebut. Pengadilan menutup dan memutuskan Negara tidak perlu membayar kompensasi kepada penanam modal hanya dalam 30% dari kasus yang ada. Penting untuk diingat bahwa terlepas dari hasil akhir (apakah memenangkan Negara, mencapai kesepakatan, dll), pemerintah kemungkinan besar harus membayar biaya proses hukum dan sebagian dari biaya arbitrase. Rata-rata jumlahnya mencapai 4,5 juta dolar Amerika12 atau bahkan lebih. Hasil akhir kasus ISDS melawan RCEP yang telah selesai Keputusan memenangkan peanam modal, 10% Kesepakatan damai, 57% Keputusan memenangkan Negara, 30% Tidak memenangkan keduanya, 3% Biaya gugatan hukum Tuntutan untuk kompensasi finansial dan beban yang mereka bebankan pada anggaran umum di negara-negara host mejadi masalah utama dalam arbitrase tentang investasi. Walaupun informasi yang tersedia sangat terbatas, kami menemukan bahwa sejauh ini setidaknya 31 milyar dolar Amerika telah dituntut dari negara-negara RCEP. Mengingat adanya unsur kerahasiaan seputar proses ISDS dan fakta bahwa untuk banyak kasus jumlah yang dituntut oleh para penanam modal tidak diketahui, jumlah tersebut dapat lebih banyak dari yang diketahui. Dalam hal daftar tuntutan finansial di negara-negara terkait, India berada di urutan pertama dengan setidaknya 12,3 milyar dolar Amerika dituntut oleh para penanam modal sejak tahun 1994. Korea Selatan, Australia dan Vietnam berada di posisi berikutnya. Jumlah yang diminta oleh para penanam modal berdasarkan akumulasi gugatan ISDS India 12,3 milyar Korea Selatan 4,9 milyar Australia 4,2 milyar Vietnam 4 milyar Indonesia 2,4 milyar Laos 2 milyar Philippines 1 milyar Thailand 162,9 juta Tiongkok 16,3 juta Myanmar 6,3 juta Malaysia 5,3 juta Sebagai perbandingan, 31 milyar dolar Amerika lebih besar dari anggaran kesehatan di India tahun 2015 yaitu 24 milyar dolar Amerika13, atau lebih dari jumlah investasi asing langsung yang masuk ke 14 Indonesia tahun 2014 yaitu 26,2 milyar dolar Amerika . Hanya terdapat 40 data kasus mengenai jumlah uang yang dituntut oleh para penanam modal, jumlah tersebut mencapai lebih dari 100 juta dolar Amerika untuk 21 kasus (lebih dari 50% kasus). Sebagian besar tuntutan untuk biaya kompensasi ganti rugi finansial yang lebih dari 1 milyar dolar Amerika diajukan setelah tahun 2010, yang sejalan dengan tren internasional dan membuktikan bahwa para penanam modal terus meminta kompensasi finansial yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Walaupun banyak kasus tidak berujung pada kewajiban Negara untuk membayar dalam jumlah yang sangat besar, ancaman bahwa harus membayar sejumlah tersebut kemungkinan besar dijadikan sebuah alasan untuk mencegah adanya peraturan untuk kepentingan umum, adanya rasa takut digugat oleh penanam modal asing di kemudian hari. Mengingat bahwa kebanyakan kasus di negara-negara RCEP telah diselesaikan dan hampir tidak ada informasi mengenai apa yang disetujui oleh Negara untuk diberikan atau dibayarkan kepada penanam modal sebagai upaya dini penyelesaian kasus, maka dampak finansial yang pasti dari kasus-kasus ISDS terhadap pemerintahan di negara-negara RCEP sulit untuk diestimasi. Namun demikian, informasi yang tersedia menunjukkan setidaknya satu kesepakatan damai yang berakhir dengan pemberian kompensasi senilai 337 juta dolar Amerika. Jumlah tersebut adalah jumlah yang dibayar Indonesia kepada perusahaan manufaktur semen terbesar ket-3 di dunia, Cemex, setelah mereka menyelesaikan sengketa ICSID mereka. Perusahaan menerima hampir seluruh 400 juta dolar Amerika tersebut yang sejak awal dituntut sebagai ganti rugi dalam gugatan hukum. Pemerintah negara lain yang juga harus membayar para penanam modal berdasarkan hasil kesepakatan damai termasuk Thailand (pengadilan memerintahkan Negara untuk membayar 41 juta dolar Amerika kepada perusahaan Jerman, Walter Bau) dan India (membayar ganti rugi kepada perusahaan Amerika Serikat, Bechtel sebesar 160 juta dolar Amerika sebagai bagian dari kesepakatan). Banyak kasus ISDS di daerah yang baru diajukan dan masih ditangguhkan. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui dampak secara keseluruhan dari kasus-kasus tersebut. Jumlah kasus yang saat ini sedang dalam proses pasti akan memunculkan biaya yang signifikan di kemudian hari. Contoh, India, memiliki sembilan tuntutan yang masih ditunda bernilai 5,8 milyar dolar Amerika. Indonesia dan Korea Selatan memiliki 3 tiga kasus yang ditunda masingmasing bernilai 1,9 milyar dan 4,8 milyar dolar Amerika. Penggunaan sistem ISDS oleh para penanam modal RCEP Ketika pemerintah negara-negara RCEP jelas-jelas terkena dampak dari gugatan-gugatan hukum yang memakan biaya besar ini, para penanam modal Asia dengan mudah memanfaatkan perjanjian investasi internasional diantaranya para penanam modal Tiongkok, Australia, India, Korea, Malaysia, Singapur dan Jepang. Penanam modal dari negara-­‐negara RCEP yang telah menggunakan IIA untuk menuntut Jepang, 2 Tiongkok, 4 Singapur, 3 Malaysia, 3 Korea, 3 Australia, 3 India, 3 3- Rezim perlindungan investasi negara-negara RCEP Negara-negara RCEP telah menandatangani perjanjian investasi internasional (IIA) sebanyak 831, 15 676 diantaranya sedang dilaksanakan . Tiga negara yang menandatangani perjanjian paling banyak adalah Tiongkok, Korea Selatan dan India. Sementara Selandia Baru, Myanmar dan Brunei merupakan negara-negara yang menandatangani perjanjian (IIA) paling sedikit. Negara Jumlah IIA yang ditandatangani (BIT/yang lainnya) Jumlah IIA yang sedang dilaksanakan Tiongkok 145/19 141 Korea Selatan 102/20 109 India 84/13 82 Malaysia 71/24 70 Singapur 47/30 63 Vietnam 64/23 63 Indonesia 71/16 63 Thailand 41/23 54 Filipina 38/15 42 Australia 23/18 39 Jepang 28/20 38 Laos 25/17 32 Kamboja Brunei 24/16 22 8/19 19 10/16 17 4/14 15 Myanmar Selandia Baru Sebagian besar perjanjian negara-negara RCEP ditandatangani antara tahun 1990 dan 2009. 400 358 350 302 300 250 200 150 84 100 50 54 7 26 0 1960-­‐1969 1970-­‐1979 1980-­‐1989 1990-­‐1999 2000-­‐2009 2010-­‐2016 Negara-negara RCEP telah mengakhiri 53 Perjanjian Investasi Bilateral, namun hanya 24 diantaranya yang tidak diganti dengan perjanjian perlindungan investasi lainnya. Indonesia telah mengawali proses pengakiran Perjanjian Investasi Bilateral tanpa penggantian dan sejauh ini telah mengakhiri 22 Perjanjian Invesatasi Bilateral. Rata-rata, perjanjian dapat secara sepihak diakhiri ketika periode sepuluh tahun pertama setelah penandatanganan perjanjian berakhir. Jika melihat negara-negara RCEP, ini berarti 87% Perjanjian Investasi Bilateral yang sedang dilaksanakan besar kemungkinan sudah melewati periode awal dan dapat diakhiri. Seluruh Perjanjian Investasi Bilateral yang ditandatangani negara-negara RCEP memuat klausa survival (survival clause). Klausa ini menambah efek dari Perjanjian Investasi Bilateral untuk investasi yang ada dalam periode tertentu yaitu beberapa tahun setelah berakhirnya perjanjian. Perjanjian Investasi Bilateral yang disahkan oleh negara-negara RCEP rata-rata berlaku selama 10 tahun (walaupun dalam beberapa kasus dapat lebih hingga 15 atau 20 tahun). Perbedaan mendasar antara Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) dan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) (termasuk bab perlindungan investasi) adalah Perjanjian Perdagangan Bebas tidak memasukkan klausa pengakhiran. Dalam Perjanjian Perdagangan Bebas, pemerintah akan sulit untuk menarik komitmen untuk memberikan hak-hak kepada para penanam modal asing. Untuk mengakhiri klausa yang melindungi para penanam modal asing dalam Perjanjian Perdagangan Bebas pemerintah harus mengakhiri keseluruhan perjanjian, bukan hanya bab perlindungan investasi saja. IIA dalam negosiasi Selain 676 perjanjian yang sedang dilaksanakan, terdapat beberapa negosiasi yang sedang berlangsung untuk perjanjian investasi internasional yang baru termasuk Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan beberapa Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan EU, terutama antara EU-Thailand FTA (menunggu), EU-Malaysia FTA (menunggu), EU-India FTA (menunggu), EU-Indonesia CEPA, EU-Philippines FTA, and EU-Myanmar BIT, yang seluruhnya memasukkan bab perlindungan investasi serta memberikan hak kepada para penanam modal untuk menuntut secara hukum pemerintah di pengadilan investasi internasional. 4- DAFTAR FAKTA NEGARA Indonesia Jumlah tuntutan: 7 Sengketa terkait dengan: Jumlah yang dituntut oleh para penanam modal: 2,4 milyar dolar Amerika Tambang dan penggalian (3) Manufaktur (2) Kegiatan finansial dan asuransi (2) Tuntutan terbesar: 1,3 milyar dolar Amerika Jumlah yang dibayarkan kepada para penanam modal: 337 juta dolar Amerika Fakta Komparatif: uang yang dibayarkan ke Cemex 337 juta dolar Amerika = gaji untuk 16 38.593 orang guru untuk satu tahun Biaya yang merugikan terkait arbitrase investasi: kasus Churchill Mining melawan Indonesia Wilayah Indonesia bagian Kalimantan Timur dikenal memiliki sumber coal yang belum terkelola 17 kedua terbesar dan berada di posisi ke-7 terbesar di dunia . Coal merupakan bahan bakar dari fosil yang paling polluting yang menghasilkan methane serta karbondioksida lebih banyak dibandingkan 18 dengan produksi energy lainnya. Walaupun industri bahan bakar coal terus menjadikan coal sebagai sumber energy utama, konsumsi coal telah menurun drastis sejak 2012 yang didukung oleh 19 economic imperatives serta bukti lingkungan. Perusahaan tambang Inggris, Churchill Mining, memiliki 75% saham di proyek tambang batu bara di 20 Kalimantan Timur. . konstruksi tambang diperkirakan sudah dimulai tahun 2010, namun pemerintah daerah mencabut ijin tambang perusahaan dengan berbagai alasan termasuk dugaan pemalsuan 21 ijin . Churchill Mining dan anak perusahaannya di Australia, Planet Mining, menyatakan bahwa Indonesia 22 telah tanpa dasar hukum mencabut ijin tambang dan memulai kasus melawan Pemerintah Indonesia pada tahun 2012 melalui arbitrase investasi internasional. Kedua gugatan tersebut berdasarkan pada perjanjian investasi bilateral Inggris-Indonesia dan Australia-Indonesia. Kedua perusahaan menuntut kompensasi sebesar 1,3 milyar dolar Amerika padahal mereka hanya 23 berinvestasi sebesar 40 juta dolar Amerika untuk eksplorasi dan eksploitasi . Milyaran dolar Amerika yang dituntut oleh Churchill Mining hampir sama dengan total anggaran subsidi pangan Indonesia tahun 2015. Jumlah tersebut juga masih lebih banyak dibandingkan dengan total subsidi dari pemerintah untuk pupuk para petani, subsidi untuk usaha kecil dan 24 menengah, dan subsidi untuk transportasi umum. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia telah mencabut gugatan pemalsuan terhadap Churchill, 25 kemudian menyalahkan mitra lokal Churchill sebelumnya. Namun demikian, kasus di ICSID tetap 26 berlangsung. Sejauh ini, biaya arbitrase diperkirakan telah mencapai sepuluh juta dolar Amerika. India Jumlah tuntutan: 20 Jumlah yang dituntut dalam $: 12,3 milyar dolar Amerika Total yang dibayarkan kepada para penanam modal dalam $: 164 juta dolar Amerika Sengketa terkait dengan: Listrik (9) Informasi dan komunikasi (7) Tambang dan penggalian (3) Transportasi dan penyimpanan (1) Tuntutan terbesar: 4 milyar dolar Amerika Fakta Komparatif: jumlah yang dituntut oleh para penanam modal asing: 12,3 milyar dolar 27 Amerika = 12,3 juta ton beras Keuntungan privatisasi, kerugian sosialisasi: kasus Bechtel, Enron dan tujuh Bank Eropa melawan India Proyek Dabhol yang dibentuk tahun 1992, dianggap sebagai tanaman listrik berbahan bakar gas terbesar di dunia. Proyek tersebut dibentuk di Maharashtra dekat Mumbai dan membutuhkan biaya 28 sebesar 2,9 milyar dolar Amerika. Proyek tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah India untuk membebeaskan dan memprivatisasi sektor energi dengan modal asing. Tiga perusahaan Amerika Serikat berperan dalam investasi tersebut: Enron Corporation (yang memiliki 80% saham), 29 dan Bechtel dan General Electric (memiliki masing-masing 10% saham). Walaupun proyek tersebut ditentang oleh publik karena dampak sosial dan lingkungan serta 30 31 32 pelanggaran hak asasi manusia, dan tuduhan atas tindak pidana korupsi , pemerintah India tetap melakukan kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan asing dengan cepat dan tidak transparan. Hal lain yang juga bermasalah adalah fakta bahwa pemerintah setempat setuju untuk membeli 90% sumber tenaga yang dihasilkan oleh Dabhol terlepas dari kebutuhan pasar terhadap listrik dan dengan harga yang dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga yang bisa didapat dari pemasok lain di dalam negeri. Pengeluaran tersebut sama dengan setengah dari 33 anggaran belanja pemerintahan Maharashtra. “Kesepakatan tersebut dirasa tidak menguntungkan menurut para komentator India jika dilihat dari perspektif kebijakan energi nasional, wajib pajak, dan kepentingan dalam negeri yang harus 34 menanggung biaya proyek tersebut” Ketika kubu oposisi memenangkan pemilihan Maharashtra tahun 1995, pemerintahan yang baru 35 memulai tinjauan atas proyek Dabhol, yang merekomendasikan untuk menghapus proyek tersebut. Berdasarkan laporan rekomendasi, Pemerintahan Maharashtra pertama-tama menegosiasikan kembali ketentuan kesepakatan tersebut, dan pada tahun 2000 membatalkan pembayaran untuk energi yang terlalu mahal. Oleh karena itu, sembilan gugatan melalui arbitrase internasional diajukan terhadap pemerintah India oleh beberapa perusahaan yang berbeda yang telah berinvestasi dalam proyek tersebut: • • • Bechtel dan GE mengajukan tuntutan melalui afiliasi Mauritius mereka menggunakan perjanjian investasi bilateral India-Mauritius terlepas dari fakta bahwa perusahaan-perusahaan tersebut 36 berada di Amerika Serikat. Mereka menuntut 1,2 milyar dolar Amerika. Enron juga mengajukan gugatan mealui anak perusahaan dari Belanda menggunakan perjanjian investasi bilateral India-Belanda. Enron menuntut ganti rugi sebesar empat milyar dolar Amerika. Tujuh Bank Eropa (Credit Suisse, Erste Bank, Standard Chartered Bank, ANZEF, Credit Lyonnais (sekarang Calyon), BNP Paribas dan ABN Amro) terlibat dalam arbitrase melawan Pemerintah India, mereka menuntut karena investasi mereka di proyek Dabhol tidak dilindungi. Mereka menggunakan perjanjian investasi bilateral yang ditandatangani oleh India dan Belanda, 37 Inggris, Perancis, Swiss dan Austria. Jumlah tuntutan mencapai 291 juta dolar Amerika . Seluruh gugatan kemudian berakhir dengan kesepakatan, sehingga tidak sampai ke Pengadilan untuk mendapat putusan. Untuk sebagian besar kasus, rincian mengenai kasus-kasus tersebut serta ketentuan kesepakatan tidak diketahui. Informasi yang diungkap hanya mengenai kasus Bechtel dan GE yang menyepakati untuk tidak melakukan arbitrase, dan sebagai gantinya membayar 160 juta 38 39 dolar Amerika kepada Bechtel dan 145 juta dolar Amerika kepada General Electric. Kedua perusahaan telah membeli seluruh saham Enron setelah bangkrut pada tahun 2000. Kegagalan Dabhol Power Plant serta kasus-kasus arbitrase internasional setelahnya menunjukkan kelemahan sistem ISDS: - pengalihan kerugian oleh para penanam modal: kasus-kasus ini merupakan contoh nyata tentang bagaimana masyarakat harus menanggung kerugian atas keputusan pemerintah yang tidak tepat untuk melakukan privatisasi energi dan pembayaran ganti rugi akibat dari tindakan para penanam modal yang ceroboh yang diambil dari dana simpanan publik. Pada tahun 1993, Bank Dunia telah menolak membiayai proyek tersebut dengan alasan bahwa proyek tersebut “tidak dapat berjalan 40 secara eknomi” . Akibat dari proyek ini, masyarakat di Negara Bagian Maharashtra menyaksikan tanah mereka disita, kehilangan bagian dari kehidupan mereka, dan harus membayar harga yang mahal untuk listrik. Sangat disayangkan bahwa bagian dari dana umum yang seharusnya diinvestasikan untuk kesehatan atau pendidikan atau pelayanan publik yang terjangkau telah digunakan untuk membayar para penanam modal asing. - Pembuatan perjanjian dan perusahaan sebagai tameng: perjanjian investasi dengan definisi yang luas mengenai apa yang mengatur penanam modal dan investasi yang memberi ruang kepada perusahaan untuk menyalurkan investasi melalui negara ke-3 demi memperoleh perlindungan investasi yang tidak didapatkan para penanam modal di yurisdiksi negara asal mereka telah mendapat kritik yang kuat. Enron, Bechtel dan GE adalah perusahaan Amerika Serikat yang tidak berhak atas perlindungan investasi berdasarkan perjanjian investasi bilateral karena Amerika Serikat tidak memiliki Perjanjian Investasi Bilateral dengan India. Namun, mereka mendirikan anak 41 perusahaan di negara-negara yang aman untuk melakukan perjanjian seperti Mauritius dan Belanda agar dapat menggunakan jaringan mereka yang luas serta penafsiran dalam Perjanjian Investasi Bilateral yang tidak adil. - kerahasiaan dalam arbitrase investasi: sangat sedikit yang dapat diketahui mengenai sembilan kasus gugatan investasi melalui arbitrase ini, yang terkait dengan kasus penting mengenai kepentingan publik dan dapat membuat pemerintah menanggung biaya sebesar 5,5 milyar dolar Amerika. Hal ini menunjukkan bahaya kerahasiaan dalam sistem ISDS. Filipina Jumlah tuntutan: 5 Jumlah yang dituntut dalam $: 1 milyar dolar Amerika Jumlah yang dibayarkan kepada para penanam modal dalam $: tidak ada data yang tersedia Sengketa terkait dengan: Tambang dan penggalian Pasokan air; saluran air, pengolahan limbah dan kegiatan remediasi Transportasi dan penyimpanan Kegiatan profesional, ilmiah dan teknis Tuntutan terbesar: 423 juta dolar Amerika Fakta Komparatif: US$58 juta untuk biaya proses hukum dalam kasus Fraport = vaksin penyakit seperti tuberculosis (TB), Dipteri 42 Tetanus dan Polio (DTP) untuk 3,8 juta anak. Menang atau kalah, para wajib pajak yang menanggung biaya: kasus Fraport melawan 43 Filipina Kasus gugatan hukum ISDS terlama di Filipina adalah dengan perusahaan transportasi dari Jerman, Fraport, yang mengoperasikan bandara Frankfurt dan bandara di Eropa lainnya. Fraport menuntut pemerintah Filipina dua kali. Pertama di tahun 2003 dengan jumlah tuntutan sebesar 425 juta dolar Amerika ketika pemerintah Filipina membatalkan konsesi untuk konstruksi dan operasional terminal baru bandara di Manila. Pemerintah Filipina menyatakan bahwa kontrak konsesi dinyatakan batal dan merupakan hasil dari penyuapan. Pengadilan menutup kasus tersebut, mendukung pembelaan negara bahwa investasi Fraport di bandara tersebut tidak sesuai dengan Konstitusi Filipina serta Undang-Undang Investasi Asing. Perusahaan mengelak larangan untuk kepemilikan asing atas sarana publik hingga 40% melalui perjanjian pemegang saham yang dirahasiakan dan kepemilikan 44 45 “secara tidak langsung”. Tahun 2011, Fraport kembali mengajukan tuntutan atas kasus yang sama dan lagi-lagi kasus tersebut ditutup. Walaupun dua putusan pengadilan tidak memenangkan penanam modal, pemerintah Filipina tetap harus membayar biaya yang besar. Pada tahun 2011, Jimmy Gianan, auditor negara dari Komisi Audit, mengungkapkan bahwa biaya arbitrase yang ditanggung oleh pemerintah Filipina (pada saat itu) telah mencapai 58 juta dolar Amerika untuk membayar para pengacara lokal dan asing. Dalam hal anggaran Filipina tahun 2012, biaya tersebut sebanding dengan gaji untuk 12.500 orang guru; atau biaya vaksin penyakit seperti tuberculosis (TB), Dipteri Tetanus dan Polio (DTP) untuk 3,8 juta anak. Australia Jumlah tuntutan: 1 Jumlah tuntutan dalam $: 4,2 milyar dolar Amerika Sengketa terkait dengan: Manufaktur Jumlah yang dibayarkan kepada para penanam modal dalam $: tidak ada data tersedia Tuntutan terbesar: 4,2 milyar 46 Fakta Komparatif: 4,2 milyar dapat menutupi pengeluaran kesehatan masyarakat untuk sekitar 1,5 juta orang dalam satu tahun 47 ;atau 40 juta dolar Amerika untuk biaya proses hukum = 866 perawat 48 terlatih ISDS digunakan untuk menunda kebijakan kesehatan: kasus Philip Morris melawan Australia Tahun 2011, Australia memperkenalkan bungkus polos untuk seluruh produk rokok yang merupakan bagian dari berbagai langkah-langkah upaya pengendalian rokok yang komprehensif yang dianjurkan 49 oleh World Health Organisation. Perusahaan rokok besar, Philip Morris, menolak peraturan kemasan polos dengan menggugat Pemerintah Australia di sistem pengadilan nasional dan di arbitrase investasi internasional dengan dalih Perjanjian Investasi Bilateral Australia-Hong Kong. Philip Morris menuntut 4,1 milyar dolar Amerika dan menyatakan bahwa kebijakan Australia “tidak terbukti untuk kepentingan publik” karena “tidak ada bukti yang dapat dipercaya bahwa kemasan polos akan mengurangi kebiasaan merokok”. Padahal sejak diberlakukannya kemasan polos, tingkat kebiasaan merokok di Australia terus menurun, mengurangi berbagai risiko kesehatan termasuk penyakit paru-paru dan jantung serta 50 mengurangi gangguan di sistem kesehatan masyarakat. Tahun 2012, Pengadilan Tinggi Australia menolak gugatan tersebut. Kasus melalui arbitrase internasional terus berlanjut hingga 2015 saat pengadilang menutup kasus tersebut. Namun, pengadilan internasional tidak pernah memberi putusan apakah upaya untuk kesehatan masyarakat yang dilakukan oleh Australia merupakan cidera janji atas perjanjian perlindungan investasi internasional. Pengadilan menutup kasus tersebut karena Australia telah menyusun restrukturisasi perusahaan yang “merupakan pelanggaran hak” untuk mengakses arbitrase internasional melalui 51 Perjanjian Investasi Bilateral Australia-Hong Kong . Philip Morris Australia dimiliki oleh Philip Morris Internasional yang berkantor di Swiss. Australia tidak memiliki Perjanjian Investasi Bilateral dengan Swiss. Philip Morris Asia memiliki aset di Australia pada Februari 2011 setelah pemerintah Australia mengumumkan bahwa mulai 2010 akan diberlakukan peraturan kemasan polos. Saham itu dibeli terutama untuk memanfaatkan Perjanjian Investasi 52 53 Bilateral. Terlepas dari kegagalan kasus Philip Morris, hal ini menunjukkan risiko dari ISDS terkait dengan kemampuan negara untuk menetapkan peraturan untuk kepentingan warga negaranya. Ancaman harus menghabiskan biaya milyaran dalam kasus hukum membuat khawatir negara-negara lain dan memutuskan untuk beralih dari peraturan serupa. Contoh, Selandia Baru menunda pemberlakuan 54 kemasan polos sebagai respon terhadap gugatan Philip Morris. Lebih lanjut lagi, terlepas dari hasil akhir kasus tersebut, Australia tetap harus membayar biaya proses hukum yang dibebankan untuk membela diri dari guguatan yang tidak jelas ini, biaya yang 55 diperkirakan mencapai 50 juta dolar Australia (kurang dari 40 juta dolar Amerika). Korea Selatan Jumlah tuntutan: 3 Jumlah tuntutan dalam $: 4,9 milyar dolar Amerika Jumlah yang dibayarkan kepada para penanam modal dalam $: tidak ada data tersedia Sengketa terkait dengan: Manufaktur Tambang dan penggalian Konstruksi, finansial dan asuransi, kegiatan real estate Tuntutan terbesar: 4,7 milyar dolar Amerika Fakta Komparatif: 4,9 milyar dolar Amerika dengan 5 milyar dolar Amerika merupakan total investasi asing langsung yang didapat Korea 56 Selatan tahun 2015 ISDS menyerang kebijakan pajak: kasus Hanocal dan IPIC Internasional melawan Korea Hanocal Holdings adalah sebuah perusahaan yang terdatar beralamat di Belanda namun dimiliki oleh perusahaan dalam negeri Arab Saudi. Hanocal memiliki 70% saham di perusahaan kilang minyak dan produksi minyak tanah yang berada di Korea Selatan. Pada tahun 2010, Hanocal menjual 57 58. sahamnya senilai 2,1 milyar dolar Amerika Menurut perusahaan tersebut, penjualan saham seharusnya bebas dari pajak berdasarkan pada perjanjian pajak ganda antara Belanda dan Korea. Namun, pemerintah Korea Selatan mengenakan pajak terhadap penjualan tersebut, sebuah keputusan yang didukung oleh putusan pengadilan Korea yang menyatakan bahwa Hanocal “adalah perusahaan gaib yang dimiliki oleh Perusahaan Investasi Petroleum Internasional dari Abu-Dhabi, sehingga harus dianggap sebagai perusahaan Arab yang tidak berhak atas perjanjian penhindaran 59 pajak ganda.” Pada 2015, Hanocal menuntut secara hukum 168 juta dolar Amerika kepada pemerintah Korea Selatan at ICSID dan menyatakan bahwa pemungutan pajak oleh pemerintah Korea Selatan 60 menyalahi aturan Perjanjian Investasi Bilateral Korea-Belanda. Jumlah yang dituntut tersebut senilai 61 dengan biaya sekolah kedokteran untuk 7.000 mahasiswa di universitas di Korea. Satu tahun setelah diajukannya kasus tersebut, penenam modal pada akhirnya mencabut kasus tersebut untuk alasan yang tidak diketahui. Kasus Hanocal melawan Korea Selatan tersebut merupakan satu dari 40 gugatan hukum yang 62 diajukan oleh para penanam modal melawan 24 negara di seluruh dunia. . Negara-negara RCEP telah menjadi bagian dari empat kasus gugatan hukum berkenaan pajak, dua diantaranya diajukan 63 untuk menuntut Korea, satu kasus menuntut India dan satu kasus menuntut Laos. Penggelapan dan penghindaran pajak merusak pelayanan dan anggaran publik. IMF memperkirakan bahwa hingga 600 milyar dolar Amerika hilang setiap tahunnya di seluruh dunia akibat penghindaran 64 pajak . Kemampuan pemerintah untuk meninjau dan mengubah kebijakan pajak yang sebelumnya diberikan kepada para penanam modal asing sangat penting, namun menjadi berisiko karena klausul 65 ISDS dalam perjanjian perdagangan. Kasus ini merupakan contoh lain ketika para penanam modal membuat perusahaan-perusahaan yang hanya menjadi formalitas untuk surat menyurat di Belanda untuk kepentingan pajak dan untuk mendapatkan perlindungan investasi yang tidak bisa mereka dapatkan jika tidak melakukan hal tersebut. Tahun 2015, UNCTAD melaporkan bahwa kasus-kasus ISDS yang berdasarkan pada perjanjian-perjanjian investasi bilateral Belanda, bahwa “tiga perempat dari kasus-kasus Belanda, pemilik sebenarnya perusahaan yang melakukan tuntutan tersebut bukan merupakan orang berkewarganegaraan Belanda. Dalam dua pertiga dari kasus-kasus tersebut, grup atau perusahaan terkait yang dimiliki orang asing pada kenyataannya tidak melakukan kegiatan usaha di tanah 66 Belanda.” 6- Kesimpulan ISDS bersifat tidak demokratis, diskriminatif, bias terhadap penanam modal dan tidak diperlukan. ISDS telah digunakan untuk mengancam negara-negara yang saat ini terlibat dalam negosiasinegosiasi RCEP dengan tagihan catatan pajak bernilai jutaan dolar akibat risiko yang diambil oleh para penanam modal asing. Termasuk klausa ISDS yang merugikan dalam perjanjian perdagangan RCEP yang sedang dirundingkan berperan dalam mengukuhkan hak-hak para penanam modal dan memperluas cakupan kekuatan arbitrator privat. Hal ini dapat berakibat pada kemunculan kasuskasus baru yang akan membebani anggaran pemerintah. Hal tersebut dapat membahayakan untuk kemampuan pejabat nasional maupun lokal yang berada di negara-negara RCEP untuk membuat peraturan demi kepentingan publik, menganggarkan uang publik untuk kebijakan-kebijakan penting seperti untuk kesehatan, pendidikan dan perlindungan lingkungan. Hal ini merupakan serangan yang tidak berterima dan tidak perlu dalam demokrasi. Kami mengajak seluruh pemerintah yang terlibat dalam negosiasi RCEP untuk tidak menyertakan ISDS dalam negosiasi ini, dan kesepakatan dagang lain di masa yang akan datang. Setelah 20 tahun gagal menjalankan kebijakan yang dikenal dengan ‘perdagangan bebas’, pemerintah negara-negara RCEP bekerja sama untuk membangun alternatif perdagangan dan model investasi yang baru yang membantu pembangunan masyarakat yang berkelanjutan dengan mendukung ekonomi lokal, hak pekerja, lingkungan yang bersih dan kedaulatan pangan. 1 Australian government (2016) Regional Comprehensive Economic Partnership, Department of Foreign Affairs and Trade http://dfat.gov.au/trade/agreements/rcep/Pages/regional-comprehensive-economic-partnership.aspx 2 Asia Pacific Research Network (2016) Civil society groups reject RCEP: Excessive corporate power at the expense of people’s rights, APRN Newsletter, Second Quarter 2016, p. 2-3, http://aprnet.org/wp-content/uploads/2016/09/APRNNewsletter-2Q-2016_final.pdf 3 Criticisms have been raised in the context of several trade negotiations and agreements. For example: https://www.kent.ac.uk/law/isds_treaty_consultation.html ; http://www.citizen.org/documents/isds-law-economics-professorsletter-Sept-2016.pdf ; http://www.ohchr.org/FR/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=16031&LangID=E ; http://www.s2bnetwork.org/wp-content/uploads/2016/10/Canadian-academics-open-letter-on-the-CETA-and-Wallonia.pdf ; http://www.s2bnetwork.org/isds-statement-feb2016/ 4 Pia Eberhardt and Cecilia Olivet (2012) Profiting from Injustice, Corporate Europe Observatory and Transnational Institute, https://www.tni.org/en/briefing/profiting-injustice 5 Both Ends (2016) India Terminates Bilateral Investment Treaties (BITS), 11th August, http://www.bothends.org/en/News/Laatste-nieuws/newsitem/469/India-terminates-bilateral-investment-treaties-BITs6 Herbert Smith Freehills Dispute Resolution (2015) Indonesia announces renegotiation of BITs, 13th May, http://hsfnotes.com/arbitration/2015/05/13/indonesia-announces-renegotiation-of-bits/ 7 D. Gaukrodger and K. Gordon (2012) Investor-State Dispute Settlement: A Scoping Paper for the Investment Policy Community, OECD Working Papers on International Investment, 2012/03, OECD Publishing, page 19, http://dx.doi.org/10.1787/5k46b1r85j6f-en 8 UNCTAD, Investment Policy Hub, http://investmentpolicyhub.unctad.org/ 9 Investment Arbitration Reporter, https://www.iareporter.com/ 10 Italaw, http://www.italaw.com 11 A concern acknowledged by many including UNCTAD see for instance: http://unctad.org/en/publicationsLibrary/webdiaepcb2013b4_en.pd 12 D. Gaukrodger and K. Gordon (2012), see endnote 7, p 19 13 In 2015, the health budget of India was 1.2% of GDP (http://economictimes.indiatimes.com/industry/healthcare/biotech/healthcare/indias-disproportionately-tiny-health-budget-anational-security-concern/articleshow/49603121.cms ). India’s GDP in 2015 amounted to 2 trillion USD so 1.2% is 24 billion USD. 14 World Bank data (2015) FDI inflows for Indonesia, http://data.worldbank.org/indicator/BX.KLT.DINV.CD.WD?locations=ID 15 International Investment agreements only enter into force once both parties have completed the ratification process according to the national law. 16 Payscale (2016) High School Teacher Salary Indonesia http://www.payscale.com/research/ID/Job=High_School_Teacher/Salary 17 Churchill Mining (2012) Claimant's Letter to the President of the Republic of Indonesia, a Request for Legal Protection, Italaw, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita1042.pdf 18 Greenpeace (2016) How the coal industry fuels climate change, www.greenpeace.org/international/en/campaigns/climatechange/coal/Coal-fuels-climate-change/ 19 ibid. 20 Mining Technology (2016) East Kutai Coal Project, Indonesia, http://www.miningtechnology.com/projects/eastkutaicoalproject/ 21 By Matt Sharp (2015) Mining Co. Says Doc Spat Nears End In Indonesia Case, Law360 http://www.law360.com/articles/733225/mining-co-says-doc-spat-nears-end-in-indonesia-case 22 Unsted, S. (2015) Churchill Mining Disputes Comments Made On Indonesian Arbitration, Morningstar, 23rd December, http://www.morningstar.co.uk/uk/news/AN_1450863210470889000/churchill-mining-disputes-comments-made-on-indonesianarbitration.aspx 23 Alison Ross (2011) Churchill: We shall fight them at ICSID, Global Arbitration Review, 8 December, http://globalarbitrationreview.com/article/1030836/churchill-we-shall-fight-them-at-icsid 24 Rachmi Hertanti and Rika Febriani (2014) State VS Corporations: Indonesia Bilateral Investment Treaties (BITs), Handbook Series on Bilateral Investment Treaties (BITs): International Investment Protection Agreements and Investors’ civil lawsuit against Indonesia, Indonesia for Global Justice, http://www.seatiniuganda.org/publications/research/64-modul-indonesia-bitseng/file.html 25 Joshua Warner (2015) Indonesian Government Withdraws Fraud Claims Against Churchill Mining, Alliance News, 4 June, http://www.kitco.com/news/2015-06-04/Indonesian-Government-Withdraws-Fraud-Claims-Against-Churchill-Mining.html 26 Kent Phillips (2015) Churchill vs Indonesia: managing costs in international arbitration, Mining Journal, 24 September, http://www.mining-journal.com/services/legal-services/churchill-vs-indonesia-managing-costs-in-international-arbitration/ 27 Average price of 1kg of white rice in New Dheli is estimated at 1USD. Source: Numbeo (2016) Food Prices in India, https://www.numbeo.com/food-prices/in/Delhi?displayCurrency=USD 28 , Power Technology (2016) Dabhol Power Plant, Ratnagiri District, Maharashtra, India http://www.powertechnology.com/projects/dabhol-combined-cycle-power-plant-maharashtra-india/ 29 Tony Allison (2001) Enron's eight-year power struggle in India, Asia Times, 18 January, https://web.archive.org/web/20111123172057/http://www.atimes.com/reports/ca13ai01.html 30 Sandip Roy (2002) Enron in India: The Giant's First Fall, Alternet, February 7, http://www.alternet.org/story/12375/enron_in_india%3A_the_giant's_first_fall 31 Tony Allison (2001), see endnote 31. 32 Human Rights Watch (1999) The Enron Corporation. Corporate complicity in Human Rights Violations, https://www.hrw.org/reports/1999/enron/enron3-0.htm 33 Tony Allison (2001), see endnote 31. 34 Gus Van Harten (2011) TWAIL and the Dabhol Arbitration, Trade, Law and Development, Osgoode CLPE Research Paper No. 19/2011, page 7, https://ssrn.com/abstract=1923859 35 U.S. House of Representatives (2002) FACT SHEET Background on Enron’s Dabhol Power Project, Committee on Government Reform, February 22, http://www.finance-mba.com/Dabhol_fact_sheet.pdf 36 Bechtel (2003) Bechtel and GE File Arbitration Over Dabhol Power Company, New Delhi, India, September 22, http://www.bechtel.com/newsroom/releases/2003/09/bechtel-ge-file-arbitration-dabhol-power-company/ 37 The Financial Express (2004) Offshore banks launch arbitration for recovery of claims in Dabhol, 10 December, http://www.financialexpress.com/archive/offshorebankslauncharbitrationforrecoveryofclaimsindabhol/122438/ 38 Bechtel (2005) Statement by Bechtel on Dabhol Settlement, 12 July, http://www.bechtel.com/newsroom/releases/2005/07/statement-bechtel-dabhol-settlement/ 39 R. Venkataraman (2005) SC clears Dabhol settlement, The Telegraph India, 21 July, http://www.telegraphindia.com/1050721/asp/business/story_5015896.asp and J. Venkatesan (2005) Dabhol's out-of-court settlement approved, The Hindu, 21 July, http://www.thehindu.com/2005/07/21/stories/2005072102971300.htm 40 Tony Allison (2001), see endnote 31. 41 Roos van Os and Roeline Knottnerus (2011) Dutch Bilateral Investment Treaties: A gateway to ‘treaty shopping’ by multinational corporations for investment protection, SOMO, https://www.somo.nl/wp-content/uploads/2011/10/Dutch-BilateralInvestment-Treaties.pdf 42 Data quoted from Cecilia Olivet et al. (2016) Signing away sovereignty: How investment agreements threaten regulation of the mining industry in the Philippines, Alyansa Tigil Mina, Focus on the Global South and Transnational Institute, page 11, https://www.tni.org/en/publication/signing-away-sovereignty 43 Text adapted from Cecilia Olivet et al. (2016), see endnote 44. 44 Jarius Bondoc (2014) Phl wins $5 M against Fraport’s slandering, The Philippine Star, 12 December http://www.philstar.com/opinion/2014/12/12/1401697/phl-wins-5-m-against-fraports-slandering 45 Fraport AG Frankfurt Airport Services Worldwide v. Republic of the Philippines (ICSID Case No. ARB/03/25), Introductory Note, https://cil.nus.edu.sg/rp/id/arbcases/introdnotes/6%20Fraport%20v%20Philippines%20Introductory%20Note.pdf 46 Philip Morris v Australia (PCA Case Nº 2012-12), Award on Jurisdiction and Admissibility, 17 December 2015 http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/italaw7303_0.pdf 47 According to OECD data, the public health expenditure per capita in 2014 was 2804 USD. Source: OECD (2016), Health spending (indicator). doi: 10.1787/8643de7e-en, https://data.oecd.org/healthres/health-spending.htm 48 The medium salary of a registered Nurse is 57,754 Australian dollars. Source: Payscale, 2016, Registered Nurse (RN) Salary (Australia), http://www.payscale.com/research/AU/Job=Registered_Nurse_(RN)/Hourly_Rate 49 World Health Organisation (2016) Frequently asked questions: Plain packaging of tobacco products, http://www.who.int/campaigns/no-tobacco-day/2016/faq-plain-packaging/en/index1.html 50 Philip Morris v Australia (PCA Case Nº 2012-12), see endnote 48. 51 Ibid. 52 Permanent Court of Arbitration (2016) Philip Morris Asia Limited (Hong Kong) v. The Commonwealth of Australia, http://www.pcacases.com/web/view/5 53 Inaê Siqueira de Oliveira (2016) Corporate restructuring and abuse of rights: PCA tribunal deems Philip Morris’s claims against Australia’s tobacco plain packaging rules inadmissible, Investment Treaty news, 10 August, https://www.iisd.org/itn/2016/08/10/philip-morris-asia-limited-v-the-commonwealth-of-australia-pca-case-no-2012-12/ 54 Tariana Turia (2013) Government moves forward with plain packaging of tobacco products, 19 February, http://www.beehive.govt.nz/release/government-moves-forward-plain-packaging-tobacco-products 55 Peter Martin (2015) Australia faces $50m legal bill in cigarette plain packaging fight with Philip Morris, The Sydney Morning Herald, 28 July, http://www.smh.com.au/federal-politics/political-news/australia-faces-50m-legal-bill-in-cigarette-plainpackaging-fight-with-philip-morris-20150728-gim4xo.html 56 OECD (2016) FDI flows (indicator). doi: 10.1787/99f6e393-en, https://data.oecd.org/fdi/fdi-flows.htm 57 International Petroleum Investment Company (2011) Chairman’s Report, 31 December, http://www.ipic.ae/media/18690/2011dec.pdf 58 Clovis Trevino (2015) Korea round-up: Lone Star case reaches hearings, as at least two other investment treaty claims loom, IAReporter, 18 May, http://www.iareporter.com/Korea+roundup%3A+Lone+Star+case+reaches+hearings%2C+as+at+least+two+other+investment+treaty+claims+loomarticles/23170/ 59 Ibid. 60 UNCTAD (2016) Hanocal and IPIC International v. Korea, case details, http://investmentpolicyhub.unctad.org/ISDS/Details/635 61 Medical school tuition fee is a minimum of 4000 USD per year and the course runs for 6 years. The total tuition to complete medical school would be 24.000 USD. http://www.medical-colleges.net/medical-schools-abroad/medical-schools-in-asia/studyin-korea-south#h3 62 Claire Provost (2016) Taxes on trial. How trade deals threaten tax justice, Transnational Institute, Global Justice Now, https://www.tni.org/en/publication/taxes-on-trial 63 ibid. 64 A. Crivelli, R. de Mooij and M. Keen (2015) Base Erosion, Profit Shifting and Developing Countries IMF Working Paper 15/118, www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2015/wp15118.pdf 65 Claire Provost (2016), see endnote 65. 66 UNCTAD (2015) Treaty-based ISDS cases brought under Dutch IIAs: An Overview, http://investmentpolicyhub.unctad.org/Publications/Details/135