BAB II KAJIAN PUSTAKA Riset mengenai Pola Adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi di Desa yang dilakukan ini adalah suatu kajian mengenai inovasi teknologi dikaitkan dengan demokratisasi teknologi. Untuk itu penelitian ini akan mengunakan tiga teori yang akan memandu pembahasan. Ketiga teori tersebut adalah model konsepsi adopsi teknologi, teori difusi inovasi dan suatu kajian mengenai democartic technology. Model konsepsi adopsi teknologi (Yuliar, 2009) akan digunakan untuk menjelaskan mengenai bagaimana bangunan aktor-aktor dan artifak-artifak teknis yang dibentuk oleh suatu upaya adopsi teknologi. Teori difusi inovasi (Rogers, 2003) akan digunakan untuk menjelaskan mengenai bagaimana inovasi teknologi dipersepsikan oleh pembawa teknologi, bagaimana hal tersebut dikomunikasikan ke masyarakat dan bagaimana respon sistem sosial atas hal tersebut. Sementara kajian mengenai teknologi dan demokrasi (Sclove, 1995) akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana pemaknaan demokrasi atas proses adopsi teknologi pada suatu masyarakat. II.1 Model Konsepsi/Adopsi Teknologi1 Menurut (Yuliar, 2007) model konsepsi/adopsi teknologi adalah model yang ditawarkan oleh teori jaringan aktor (Actor-Network Theory atau ANT). Tiga hal yang dinyatakan ANT terkait dengan model ini2, yaitu: • Perkembangan teknologis merupakan proses yang tersusun atas aksi-aksi dari beragam aktor dalam suatu topologi jaringan; heterogenitas aktor-aktor ini berimplikasi adanya fleksibilitas dalam pilihan-pilihan teknologis; • Permasalahan pilihan-pilihan teknologis melibatkan aspek-aspek teknis, tetapi tidak terlepas dari permasalahan restrukturisasi sosial dan distribusi peran pada para aktor; 1 2 Disarikan dari buku Tata Kelola Teknologi, Sonny Yuliar, Penerbit ITB, 2008. Latour, Bruno. Science in Action, Harvard University Press, 1987. 8 • Pilihan-pilihan teknologis, sebagai efek dari jaringan-aktor, mungkin membawa pada situasi yang irreversible ketika jaringan-aktor tersebut konvergen dan disertai dengan hilangnya secara berangsur-angsur pilihan-pilihan yang lain. Teori jaringan-aktor menyediakan sarana analitik untuk menelusuri semua aktor yang berpartisipasi dalam proses konsepsi dan adopsi teknologi. Dengan mempelajari dinamika dari jaringan-aktor, akan ditelaah bagaimana situasi yang tak dapat-balik dapat terjadi. ANT menyarankan bahwa pertanyaan-pertanyaan empiris dipelajari dengan menelusuri jaringan relasi-relasi antara aktor-aktor yang heterogen, aktor manusia, dan aktor non-manusia. Fase Konsepsi dan fase Adopsi Tata kelola berada di sebuah ranah di mana terlibat beragam aktor yang masing-masing memegang nilai tertentu, memiliki kepentingan dipandu oleh nilai tersebut, membuat keputusan-keputusan untuk mendapatkan yang diinginkan, dan melaksanakan apa-apa yang diputuskan. Tata kelola teknologi secara khusus menaruh perhatian pada keterlibatan objek-objek teknis dan benda-benda alamiah dalam tata kelola. Para aktor keputusan tersebut saling berbeda satu dari yang lain: memiliki preferensi atas objekobjek teknis yang berbeda, memiliki pengalaman, pengetahuan, dan kertampilan teknis yang berbeda. Dengan perkataan lain, masing-masing aktor keputusan terkait dengan teknogram tertentu. Pada saat yang sama, para aktor tersebut juga terkait ke sosiogram tertentu seperti norma-norma, institusi-institusi, asosiasi-asosiasi. Pada umumnya terdapat irisan antara teknogram dan sosiogram tersebut. Misalnya, preferensi teknis dari seorang aktor sering terkait dengan gaya hidup dari lingkungan sosialnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa masing-masing aktor keputusan terkait dengan sosio-teknogram tertentu. Keputusan-keputusan tersebut berbeda dalam lingkup dan kompleksitasnya. Keputusan pada ranah kebijakan bersifat kompleks: menyentuh sejumlah isu sekaligus dalam suatu keterpautan dan lingkupnya menjangkau komunitas-komunitas dan institusi-institusi. 9 Keputusan pada ranah operasional (strategis dan taktis) melibatkan penyederhanaan dan pengisolasian isu-isu. Keputusan di ranah kebijakan, misalnya, apakah pertumbuhan ekonomik dicapai dengan impor teknologi dan pelibatan investor asing, atau dengan pengerahan investor dalam negeri dan pengembangan teknologi secara indigeneous, dan apakah pemerataan kesejahteraan menjadi prioritas atau tidak. Pada ranah strategis, misalnya, bagaimana iklim usaha dikembangkan, mencakup pranata hukum, tata ruang, dan infrastruktur. Pada ranah yang lebih taktis, misalnya, bagaimana insentif fiskal dialokasikan, kepada siapa dan kapan. Hal-hal teknis terlibat dalam berbagai jenis keputusan, seperti penetapan pilihan teknologi, pengadaan infrastruktur, penentuan standar teknis, penetapan prioritas riset, dan pengembangan, alokasi anggaran belanja, alokasi insentif fiskal, dan lain-lain. Keputusan-keputusan ini dapat berkenaan dengan goal-goal, strategi-strategi, maupun sarana-sarana. Beragam jenis keputusan dan aktor dapat dikelompokkan ke dalam dua fase: konsepsi teknologi dan adopsi teknologi. Fase konsepsi berawal dari problematisasi atas situasi praktis tertentu, dan bermuara pada suatu konsepsi atas konfigurasi teknis yang spesifik—konsepsi teknologi. Dalam fase adopsi, berbagai sumber sosial dan teknis dikerahkan, aktor-aktor sosial dan objek-objek teknis terlibat, dan suatu konfigurasi sosio-teknis yang baru terbentuk—adopsi teknologi. Contoh keputusan-keputusan di fase konsepsi adalah, misalnya: untuk menarik para investor diperlukan pengembangan infrastruktur teknis; pengentasan kemiskinan memerlukan sarana teknis yang digunakan secara swakelola; untuk terlibat dalam perdagangan karbon (Carbon trading) pengukuran absorbsi karbon; pengembangan infrastruktur perlu diarahkan pada pembangunan desa; dan lain sebagainya. 10 Gambar II.1 Momen-momen translasi dalam konsepsi-adopsi teknologi (Yuliar, 2009) Sedangkan keputusan-keputusan adopsi adalah, misalnya: di mana projek pilot desa mandiri energi dikembangkan; apakah sarana teknis dimanufaktur oleh perusahaan swasta melalui tender atau diserahkan pada BUMN daerah; dan lain sebagainya. Jadi, keputusan adopsi menentukan apa dan bagaimana sumber daya dialokasikan dan dikerahkan. Keputusan dan aktivitas adopsi mencakup berbagai aktivitas untuk mempromosikan penerimaan hasil riset oleh masyarakat atau end-user (penerimaan, modifikasi dan penolakan output-output). Aktivitas adopsi menentukan apakah teknologi yang dikembangkan akan digunakan atau tidak. Outcome sosioteknis terjadi dalam proses adopsi ini. Dalam kasus produk komersial, perusahaan terlibat dalam produksi sampai deliveri. Pemerintah dapat terlibat dalam sosialisasi. 11 Gambar II.2 Ilustrasi jaringan konsepsi dan jaringan adopsi (Yuliar, 2009) Prinsip-Prinsip Normatif Berikut ini, menurut Yuliar (2009), adalah prinsip-prinsip yang dapat dijadikan panduan normatif dalam mengembangkan tata kelola teknologi dengan menggunakan pendekatan konsepsi/adopsi teknologi: 1. Prinsip pertama, diperlukan upaya-upaya untuk menyusun prakiraan sociotechnical dan pengembangan sarana-sarana pemetaan sociotechnical, tidak terbatas pada sekadar ekstrapolasi model. Berikut ini adalah poin-poin penjelasan prinsip pertama: • Perkembangan teknologis dan difusi teknologi di masyarakat merupakan proses yang tidak linier. Karakter jaringan dari perkembangan teknologis membawa implikasi timbulnya percabangan-percabangan dan hubungan-hubungan melintang, kebergantungan pada lintasan, dan terdapat hubungan ko-evolusioner antara teknologi-teknologi dan aktor-aktor sosial. Upaya untuk menyusun prediksi atau forecast perlu mengantisipasi implikasi-implikasi tersebut. Oleh karena adanya karakter jaringan ini, prediksi-prediksi yang menggunakan pendekatan ekstrapolasi linier mengandung risiko-risiko yang tidak terantisipasi. Jadi, upayaupaya untuk melakukan antisipasi atas masa depan perlu memperhitungkan watak kompleks dari proses konsepsi/adopsi teknologi. • Adalah penting untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan perkembangan, atau evolusi ke masa depan, sebagai implikasi dari pilihan-pilihan yang telah diadopsi. Dan ini merupakan tugas yang sebaiknya dilakukan oleh semua aktor. Setiap aktor perlu mengantisipasi apa-apa yang terjadi pada aktor-aktor yang lain, sebagai implikasi dari aksi-aksi yang terjadi saat ini, dan sebaliknya. 12 • Perkembangan teknologis bukan proses kontinyu yang berlangsung semakin efisien, semakin tinggi kapasitas, dan lain-lain. Sebaliknya, perkembangan teknologis memunculkan percabangan ke arah yang berbeda-beda. Bentuk akhir dari teknologi, wujud penggunaan dan penanaman teknologi di masyarakat dapat sangat berbeda dari yang semula diduga. Yang dibutuhkan adalah suatu pemetaan teknologi yang menekankan aspek prospektif. Ini dapat dilakukan dengan, antara lain, pemetaan jaringan kendala dan peluang, baik dalam aspek-aspek sosial maupun teknologis, termasuk landscape regulator dan lingkungan kultural. • Bukan hanya para penghasil teknologi—pelaku litbang, produser di industri— yang menentukan ‘nasib’ teknologi. Aksi dari warga negara, para konsumer, kelompok marjinal dapat memainkan peranan yang krusial. Mereka juga dapat berkontribusi dalam invensi suatu artifak yang baru. Gambar II.3 Implikasi teknologi baru terhadap aktor-aktor sosial dan objek-objek teknis di luar asumsi-asumsi dalam pemilihan teknologi dan asumsi atas pengadopsi (Yuliar, 2009) 2. Prinsip kedua, visi yang kuat tentang masa depan, yang disertai dengan pembuatan projek pilot dan sarana demonstrasi yang jelas, merupakan hal yang berguna untuk mempromosikan perdebatan dan pembelajaran. Berikut ini adalah poin-poin penjelasan prinsip kedua: • Keberhasilan dalam pemetaan prospektif, atau gambaran atas situasi akhir yang diinginkan, merupakan hal yang penting. Tetapi hal ini pada esensinya merupakan aktivitas pasif yang dilakukan oleh pengamat, tanpa ada implikasinya terhadap aksi-aksi. Meski demikian, harapan dan visi akan situasi akhir yang diinginkan 13 dapat memainkan peran yang sangat penting dalam memotivasi dan memandu aksi-aksi. • Berbagai bentuk eksperimentasi, seperti pembuatan projek pilot, demo plot, yang disertai evaluasi atas outcome, menjadi penting dalam konteks ini. Ini terkait dengan karakter nonlinier dari perubahan teknologis dan tak terprediksikannya dampak-dampak dan peluang-peluang. Oleh karena ini, upaya untuk menghasilkan teknologi-teknologi alternatif dan eksperimentasi menjadi penting. 3. Prinsip ketiga, penting adanya upaya untuk menstimulasi permintaan secara interaktif, dan artikulasi dari penerimaan. Berikut ini adalah poin-poin penjelasan prinsip ketiga: • Masyarakat belum tentu mengetahui secara persis apa-apa yang mereka butuhkan. Definisi atas kebutuhan atau permintaan hanya dapat diartikulasikan secara rinci dalam interaksi dengan aktivitas pemasokan teknologi. Proses pencarian dan pembelajaran secara literatif, melibatkan para produser dan konsumer, diperlukan untuk mencapai kestabilan relasi antara produser, pemasok, penyalur, dan konsumer. Harga komoditas bukan penyebab kestabilan relasi, melainkan hasil dari relasi yang stabil. • Artikulasi kebutuhan atau permintaan melibatkan artikulasi penerimaan, baik secara kultural maupun politis. Para pengadopsi, pengguna, dan juru bicara mereka, semuanya memerlukan sesuatu untuk berinteraksi dan memahami betul pilihan-pilihan yang diambil. Artikulasi yang bersifat antisipatif diperlukan untuk mengurangi risiko dari pendekatan trial-error. • Pembelajaran tentang penanganan teknologi memerlukan kriteria dan arah. Kompetisi adalah faktor yang penting bagi peningkatan kualitas produk. Penerimaan yang terlalu mudah bisa jadi tidak stabil, dan sebaliknya, oposisi bisa menjadi sehat bagi kualitas teknologi. 4. Prinsip keempat, modulasi proses perubahan teknis harus mengenali adanya karakter multiaktor dan terdesentralisasi dari proses tersebut. Berikut ini adalah poin-poin penjelasan prinsip keempat: 14 • Inkrementalisme kreatif merupakan faktor yang penting. Hal ini mengacu ke diagnosis yang bersifat analitik dan sekaligus normatif terhadap situasi-situasi yang berkembang. Proses-proses yang bercirikan multiaktor dan terdesentralisasi memerlukan bentuk-bentuk kontrol yang berwatak multiaktor dan terdesentralisasi. • Dalam situasi seperti ini, pemerintah dapat berperan sebagai modulator dari jaringan kebijakan, alih-alih sebagai penentu perubahan secara top-down dan berdasarkan kewenangan. Bagi tata kelola teknologi di masyarakat, keunikan proses dan struktur harus diperhitungkan. • Dalam situasi yang memerlukan kontrol secara multiaktor dan terdesentralisasi, suatu intervensi secara tidak langsung, alih-alih langsung, lebih disarankan. Ini akan paling efektif dilakukan melalui pihak ketiga. Pressure group dapat berfungsi sebagai pembawa tekanan atas kredibilitas, dan sebagai aktor yang meletakkan dan memelihara isu-isu dalam agenda. Jadi memengaruhi pressure group yang relevan merupakan strategi yang tepat, meski tidak banyak kontrol yang bisa dikerahkan untuk menentukan hasil akhirnya. • Peluang lain adalah memengaruhi perusahaan asuransi, karena mereka berkepentingan dengan mengurangi risiko finansial. Kepentingan ini membuat perusahaan asuransi berpengaruh terhadap perusahaan-perusahaan pada umumnya. Ini berimplikasi pada teknologi yang berkembang dan digunakan. • Bagi aktor tata kelola yang bukan berasal dari pemerintahan, mereka tidak memiliki kewenangan administratif. Tetapi mereka bisa memperoleh manfaat melalui interaksi dengan aktor-aktor lain yang lebih berpengaruh. Bagi aktor dari pemerintahan, mereka bisa melakukan intervensi melalui penyediaan infrastruktur yang kondusif bagi interaksi para aktor lainnya. 5. Prinsip kelima, proses pembelajaran sosial dapat difasilitasi dengan allignment aktoraktor (terkadang dengan menciptakan aktor atau simpul yang baru) dan menciptakan wadah khusus bagi proses pembelajaran sosial. Berikut ini adalah poin-poin penjelasan prinsip kelima: • Suatu tata kelola teknologi di masyarakat merupakan proses di mana segala jenis aktor secara aktif berusaha untuk saling memengaruhi, atau secara pasif 15 memengaruhi apa yang terjadi dengan cara tidak melakukan hal-hal tertentu. Melalui interaksi strategi-strategi dari para aktor—baik yang implisit maupun eksplisit—transformasi sosioteknis yang berhasil akan ditentukan. • Allignment, sebagai bentuk adjustment timbal-balik, dapat berfungsi dengan baik antara aktor-aktor yang berbeda: para perancang, para pengguna dan pihak-pihak lain yang dikenai efek. Tetapi sering kali tidak ada aktor yang mengemban tanggung jawab khusus atas allignment. Ketiadaan aktor allignment ini merupakan bagian struktur masyarakat modern yang cenderung pada spesialisasi dan pengotak-kotakan. • Allignment aktor-aktor diciptakan; pada sisi promosi dalam bentuk direktorat atau komisi bagi program stimulasi teknologi; pada sisi adopsi dan difusi dalam bentuk konsorsia dan platform. Aktor-aktor komposit demikian berkepentingan dalam pembelajaran societal (dalam term mereka sendiri, tapi sering dibentuk oleh tujuan societal keseluruhan). Alignment yang lebih dini dapat menjadi kendala bagi pembelajaran sosial. • Allignment juga dapat menjadi kendala bagi pembelajaran societal. Misalnya, kurangnya koordinasi dapat mendesak para aktor pada sebatas pilihan-pilihan go/no go dalam pengambilan keputusan, dan ini menghambat proses pembelajaran. Regulasi pemerintah bisa justru menstimulasi pendekatan end-ofpipe dalam mencari solusi teknis, alih-alih pendekatan yang bersifat preventif dan lebih membuka proses interaksi meluas antara user, supplier, manajemen, dan pekerja. • Jadi pada akhirnya, kita harus berefleksi pada aksi-aksi dalam suatu tata kelola teknologi: mobiliser, adviser, mapper dari koproduksi dinamis, dan agen perubahan. Untuk pada akhirnya memberikan pengaruh kita harus menjadikan diri sendiri sebuah aktor, atau sekurang-kurangnya pengamat yang berpengaruh kuat. Tetapi para aktor pelaku tata kelola juga memiliki kepentingan dan dipengaruhi oleh aksi aktor-aktor yang lain. • Suatu sikap yang refleksif menjadi penting. Satu pertanyaan penting terkait filosofi sosial dan politik: jika tata kelola teknologi mencakup juga value assessment akan dampak-dampak, siapa yang merepresentasikan para pengguna 16 aktual atau potensial, atau mereka yang terkena dampak—dan bagaimana representasi itu dilakukan? Terdapat pertanyaan prinsip dan institusional di sini. Bagi agen CTA, siapakah intermediari antara situasi sekarang dan situasi masa depan? Pertanyaan tentang representasi tampak mudah dalam kasus adaanya konsensus yang meluas. Ini sering kali berupa konsensus akan tujuan yang kabur seperti lingkungan, atau pembangunan berkelanjutan. Dalam kasus demikian para aktor tata kelola dapat mengasumsikan keabsahan isu-isu tersebut dan berlanjut dengan implementasi. Jika tidak ada konsensus demikian, para agen tata kelola harus mengambil tanggung jawab untuk tujuan yang ia sediakan/usulkan. • Jadi, pertanyaan tentang nilai tidak dapat diabaikan. Suatu tata kelola mengandung nilai-nilai. Pelaku tata kelola perlu mengemban moralitas tertentu, yang menjustifikasi keterlbatannya dalam tata kelola. Dalam konteks ini, pembelajaran sosial secara terus-menerus menjadi vital. II.2 Teori Difusi Inovasi Menurut Rogers (2003), difusi inovasi adalah suatu proses mengenai bagaimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui suatu saluran tertentu pada suatu jangka waktu tertentu di dalam sebuah sistem sosial tertentu. Difusi inovasi berkaitan dengan proses-proses penyebar-luasan sesuatu, baik berupa ide, tatanan atau perangkat, yang baru kepada khalayak luas. Proses-proses tersebut dapat bermakna sebagai proses komunikasi dan sebagai proses perubahan sosial. Sebagai proses komunikasi difusi inovasi adalah proses membawa ide-ide baru dari pencipta atau pembagi informasi kepada penerima informasi. Dalam hal ini, sebagai sesuatu yang baru, seringkali difusi inovasi membawa suatu ketidak-pastian baru bagi komunitas penerimanya. Komunitas penerima inovasi tersebut kemudian akan melakukan adopsi atau bersikap resisten terhadap ide-de baru tersebut. Sedangkan sebagai sebuah proses perubahan sosial, difusi inovasi bermakna sebagai proses-proses pemberian alternatif baru bagi struktur dan tatanan sosial yang mapan di komunitas. Ketika suatu ide baru datang di komunitas, maka ada kemungkinan ide tersebut diadopsi atau ditolak, proses pengadopsian dan penolakan tersebut seringkali mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. 17 Beberapa ahli membedakan antar difusi inovasi dengan diseminasi inovasi. Proses difusi adalah proses yang lebih spontan dan memiliki sifat saling mempengaruhi antara objek / teknologi yang didifusikan dengan komunitas masyarakat yang menerimanya. Sementara proses diseminasi terjadi secara lebih terencana dan bersifat searah dari pembawa pesan kepada penerima pesan. Komponen Difusi Inofasi Berdasar definisi Rogers (2003) tersebut terdapat empat komponen dari difusi teknologi, yaitu komponen inovasi, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial. Secara lebih lengkap keempat komponen tersebut akan dibahas dibawah ini: Inovasi Inovasi adalah ide, tindakan-tindakan atau objek yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang atau suatu unit adopsi tertentu. ”Baru” dalam hal ini, tidak sekedar diartikan sebagai baru dalam pengetahuan, atau sesuatu yang benar-benar baru ditemukan. Tetapi istilah ”baru” dapat juga diartikan sebagai “sesuatu yang sebenarnya telah lama diketahui oleh seseorang, namun orang tersebut belum benar-benar mengambil sikap atas sesuatu tersebut” (Rogers, 2003). Misalnya dalam teknologi informasi, komputer telah lama diketahui orang, termasuk oleh sebagian masyarakat desa. Sebagian masyarakat desa juga pernah bersentuhan dengan aktivitas-aktivitas yang menggunakan komputer, seperti ketika mereka mengurus surat ijin di pemerintah kabupaten. Namun ketika komputer datang ke desa mereka, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan komputer tersebut. Dalam hal ini, komputer merupakan suatu objek yang baru bagi masyarakat desa. Kehadirannya merupakan suatu inovasi. Menurut Rogers (2003) atributi-atribut yang sering dianggap berpengaruh pada inovasi meliputi relative advantage (tingkat keuntungan), compatibility (tingkat kompabilitas), complexity (tingkat kesulitan), trialibility (tingkat kemudahan dicoba), dan observability 18 (tingkat kemudahan diawasi). Tingkat keuntungan seringkali diukur dengan membandingkan antara inovasi tersebut dengan teknologi / objek lain yang telah ada. Pengukuran tingkat keuntungan ini tidak hanya secara ekonomi, tetapi seringkali juga dari sisi manfaat sosial, prestasi sosial dan kepuasan, bergantung pada nilai-nilai yang berlaku di tempat inovasi tersebut hendak diterapkan. Tingkat kompatibilitas adalah derajat dimana suatu inovasi dipandang konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan dari calon pengadopsi inovasi. Sebuah inovasi yang akan masuk pada masyarakat seringkali harus kompatibel dengan sistem dan nilai sosial yang berlaku di masyarakatnya, sebelum diterima untuk diadopsi. Sementara atribut tingkat kesulitan (complexity) dari inovasi adalah sebuah tingkat yang dipersepsikan oleh calon adopter mengenai bagaimana kesulitan mereka untuk memahami atau menggunakan inovasi tersebut. Tingkat kesulitan ini seringkali dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan dan pengalaman dari para calon pengguna. Tingkat kemudahan dicoba (trialability) adalah tingkat dimana inovasi dapat diuji-coba terlebih dahulu oleh calon pengguna sebelum mereka mengadopsi penuh inovasi tersebut. Suatu inovasi yang bersifat moduler, yang dapat dicoba bagian per bagian sebagai sample, tidak harus seluruh bagian akan memiliki trialability yang lebih tinggi. Tingkat kemudahan pengamatan (observeability) adalah tingkat kemudahan hasil dari inovasi dapat dilihat oleh calon pengadopsi. Makin mudah seseorang melihat manfaat dari suatu inovasi, makin cepat ia akan berusaha mengadopsi inovasi itu. Semakin tinggi relative advantage, compatibility, trialability dan observeability serta semakin rendah complexity dari suatu inovasi, akan semakin mudah orang menerima inovasi tersebut. Selain itu, proses adopsi suatu inovasi sangat terkait dengan kapasitas pengetahuan, moda persuasi dan moda keputusan dari calon pengadopsi inovasi tersebut. Pada komunitas yang memiliki kapasitas pengetahuan lebih besar, akan lebih mudah menerima masuknya inovasi. Begitu pula, moda pengembilan keputusan yang ada di komunitas. Semakin kompleks moda pengembilan keputusan tersebut, semakin sulit suatu inovasi dioadopsi oleh komunitas tersebut. Sedangkan pada sisi pihak pembawa 19 inovasi, cara persuasi yang lebih memperhatikan atribut-atribut pangadopsian inovasi tersebut akan lebih mudah diterima oleh komunitas. Reinvention Reinvention adalah sebuah tingkat perubahan atau modifikasi terhadap suatu inovasi oleh penerima (pengadopsi) inovasi ketika proses implementasi atau adopsi inovasi tersebut berjalan3. Dalam proses reinventing, para pengguna inovasi menggunakan idenya sendiri untuk memodifikasi inovasi tersebut dengan tujuan memaksimalkan manfaat inovasi bagi dirinya sendiri. Modifikasi inovasi tersebut kadang-kadang sangat revolusioner, hingga meninggalkan mainstream yang dibangun oleh pembuat inovasi pada awalnya. Reinventing ini seringkali mampu meningkatkan atribut inovasi dan mengurangi tingkat kesulitan dari inovasi sehingga menjadi lebih mudah diadopsi oleh orang. Saluran Komunikasi Komunikasi sering didefinisikan oleh Rogers (2003) sebagai proses kreasi dan membagi informasi di antara beberapa pihak untuk mencapai pemahaman bersama. Difusi adalah salah satu jenis komunikasi dengan kekhususan bahwa informasi yang dipertukarkannya merupakan suatu ide baru. Secara sederhana difusi memiliki empat komponen, yaitu: (i) inovasi; (ii) pihak yang memiliki pengetahuan atau pengalaman dalam penggunaan suatu inovasi; (iii) pihak yang awam terhadap inovasi tersebut; dan (iv) saluran komunikasi yang menghubungkan dua pihak tersebut. Baik atau buruknya saluran komunikasi ini akan menentukan apakah inovasi akan terkirim dengan baik atau tidak, atau mengalami modifikasi yang tidak diharapkan. Jenis saluran komunikasi untuk inovasi bermacam-macam. Saluran yang paling cepat dan efisien adalah media massa. Sementara saluran komunikasi yang paling efektif adalah komunikasi inter-personal. Dalam komunikasi menggunakan media massa jumlah orang yang akan dijangkaunya cukup besar, sehingga proses difusi dapat berlangsung dengan cepat. Namun seringkali pesan yang dibawa oleh media massa mengalami bias dan tidak mudah dipahami oleh calon pengadopsi. Sementara komunikasi inter-personal akan 3 Eveland et al., 1977 20 sangat efektif dalam difusi, karena pihak pembawa pembawa pesan dapat menjelaskan secara jelas pesan yang dibawanya kepada pihak yang diharapkan mengadosi inovasi. Namun kominikasi dengan cara seperti ini tidak akan mencapai jumlah audience yang besar, sehingga proses difusinya dianggap lambat. Kualitas dari saluran komunikasi tidak berdiri sendiri dalam menentukan keberhasilan proses difusi inovasi. Karena difusi inovasi merupakan proses yang sangat terkait dengan latar belakang sistem sosial. Bekerja-tidaknya saluran komunikasi juga akan bergantung pada bagaimana latar belakang sosial antar pihak-pihak yang berkomunikasi. Jika relasi antar pihak-pihak tersebut bersifat homophily, dimana berbagai pihak yang berkomunikasi tersebut memiliki kesamaan atribut (sistem kepercayaan, tingkat sosial ekonomi, pandangan politik dan sebagainya), maka komunikasi akan mudah dalam mentransfer pesan. Tetapi jika relasi antar pihak yang berkomunikasi tersebut bersifat heterophily, maka akan muncul kesulitan dalam penyampaian pesan. Salah satu persoalan terbesar dalam difusi inovasi adalah seringkali berbagai pihak berkomunikasi secara heterophily. Biasanya pihak yang membawa inovasi berbeda kapasitas pengetahuannya dengan pihak sasaran penerima inovasi. Hal ini mengakibatkan tidak efektifnya komunikasi, sehingga relasi diantara mereka seringkali seperti dua orang yang bercakap-cakap dengan bahasa yang berbeda. Salah satu prasyarat dalam difusi inovasi adalah antara pihak pembawa inovasi dengan calon pengadopsi inovasi, setidaknya memiliki tingkat homiphility tertentu agar difusi dapat berlangsung. Waktu Waktu adalah elemen ketiga dari difusi inovasi. Waktu dalam difusi inovasi menentukan: (i) proses pengambilan keputusan inovasi (innovation decision process); (ii) kategori pengadopsi dan tingkat keinovasian; (iii) nilai adposi inovasi (rate of adaption). Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Proses ini adalah proses yang dilalui oleh seseorang calon pengadopsi inovasi menurut Rogers (2003) mulai dari ia berkenalan dengan pengetahuan hingga memutuskan untuk 21 menerima / menolak suatu inovasi tersebut. Proses ini merupakan suatu proses pencarian dan pemrosesan informasi oleh calon pengadopsi atas inovasi yang hendak digunakan / diterapkan. Terdapat lima tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi, yaitu tahap: (i) pengetahuan; (ii) persuasi; (iii) keputusan; (iv) implementasi dan (v) konfirmasi. Tahap pengetahuan terjadi ketika seseorang (calon pengadopsi) mengetahui keberadaan suatu inovasi beserta manfaatnya. Tahap persuasi terjadi ketika orang tersebut mulai tertarik atau tidak tertarik untuk mengadopsi inovaasi tersebut. Tahap keputusan terjadi ketika orang tersebut mengambil tindakan yang mengarah pada penerimaan atau penolakan atas inovasi tersebut. Tahap implementasi dimulai ketika orang tersebut mulai menggunakan / menerapkan inovasi tersebut. Dalam tahap ini mungkin saja terjadi reinventing oleh pengguna inovasi tersebut. Sedangkan tahap konfirmasi terjadi ketika seseorang tersebut meninjau kembali keputusan tentang inovasi yang telah dibuatnya. Kelima proses pengambilan keputusan yang disampaikan di atas terjadi dalam suatu urutan waktu tertentu. Kategori Pengadopsi dan Tingkat Keinovasian Menurut Rogers (2003) tingkat keinovasian adalah tingkat kemudahan pada seseorang atau suatu unit adopsi untuk mengadopsi suatu ide baru dibandingkan dengan anggota masyarakat lain dalam suatu sistem. Tingkat keinovasian, berdasar waktu pengambilan keputusan adopsi, dari paling inovatif ke paling lembam terbagi menjadi lima kelompok: (i) inovator; (ii) pengadopsi cepat; (iii) moyoritas cepat; (iv) mayoritas lambat dan (v) kelompok lembam. Kategori pengadopsi adalah klasifikasi anggota masyarakat berdasar tingkat keinovasian dalam suatu sistem sosial tertentu. Kategori pengadopsi terdiri dari loma kelompok yang disebutkan di atas. Perbedaan karakter di antara kelompok-kelompok tersebut adalah: 22 Inovator:seseorang atau sekelompok orang yang secara aktif mencari ide-ide baru. Mereka lebih mampu menerima berbagai ketidak-pastian dari inovasi dan menguasai berbagai saluran komunikasi untuk menyampaikan inovasinya. Pangadopsi cepat: Mayoritas cepat: Mayoritas lambat: Kelompok lembam: Kecepatan Adopsi Inovasi Kecepatan adopsi inovasi adalah kecepatan relatif dimana suatui inovasi diadopsi oleh anggota-angota masyarakat dalam sistem sosial tertentu. Dalam pengenalan ide-ide baru kepada suatu masyarakat, seringkali mula-mula hanya sedikit individu yang mengadosi ide-ide baru tersebut. Mereka itulah yang disebut sebagai inovator. Bersama berjalannya waktu, jumlah orang yang mengadopsi inovasi tersebut akan meningkat tajam. Pada periode inilah inovasi menjadi trend untuk diadopsi di masyarakat. Namun lamakelamaan jumlah orang yang mengadopsi inovasi tersebut akan menurun, karena tinggal sedikit orang yang mengadopsi inovasi tersebut, hingga akhirnya tidak ada lagi orang yang mengadopsi inovasi. Proses pengadopsian inovasi tersebut jika digambarkan akan menyerupai suatu kurva-S sebagai berikut: Inovator Pengadopsi Mayoritas Cepat Cepat Mayoritas Lambat Kelompok Lembam Waktu Gambar II.4 Kecepatan Adopsi Inovasi menurut (Rogers, 2003) Pengukuran kecepatan adopsi inovasi adalah dilakukan dalam suatu sistem, bukan pada tiap individu. 23 Sistem Sosial Menurut Rogers (2003) sistem sosial adalah sehimpunan unit masyarakat yang memiliki tujuan bersama, memiliki permasalahan bersama serta saling berinteraksi di antara mereka untuk menyelesaikan permasalahan dan mencapai tujuan bersama tersebut. Sistem sosial dapat terdiri dari sehimpunan individu, kelompok-kelompok informal, oragnisasi-organisasi atau beberapa subsistem yang berkaitan. Dalam studi mengenai difusi inovasi, sistem sosial dapat terdiri dari kelompok doketr di rumah sakit, sehimpunan keluarga-keluarga petani di desa atau seluruh konsumen di suatu negara. Setiap unit di dalam sistem sosial harus dapat dibedakan dengan unit yang lainnya. Seluruh unit tersebut disebut sistem sosial jika mereka bekerja untuk mencapai suatu tujuan bersama. Tujuan bersama inilah yang membungkus suatu sistem sosial dan membedakan dengan sistem sosial lainnya. Disfusi inovasi dapat berlangsung jika ada sistem sosial tertentu yang dijadikan objek pendifusian inovasi tersebut. Strtuktur dari sistem sosial tersebut akan mempengaruhi bagaimana jalannya difusi inovasi. Sistem sosial tersebut akan menentukan pagar dimana inovasi akan didifusikan, di dalam pagar itulah proses dan efek difusi inovasi diamati. Dalam pembahasan ini, kita akan membicarakan bagaimana struktur dari sistem sosial mempengaruhi efek dari norma-norma difusi, peran dari pemimpin opini dalam sistem sosial tersebut, peran dari pembawa inovasi, tipe dari keputusan inovasi, dan akibat dari inovasi. Struktur Sosial dan Difusi Rogers (2003) mendefinisikan struktur sosial sebagai kesepakatan-kesepakatan antar anggota sistem (unit-unit dalam sistem) yang terpola dalam suatu sistem sosial. Struktur tersebut memberi regulasi dan kepastian pada tindakan-tindakan setiap orang dalam sistem sosial. Adanya struktur sosial tersebut menjadikan tindakan-tindakan dari setiap orang di dalam sistem dapat diprediksikan pada suatu tingkat akurasi tertentu. Struktur sosial yang dianggap mapan biasanya memiliki posisi-posisi hirarki tertentu, pembagian peran, prosesdur-prosedur pengambilan keputusan dan tingkat kepatuhan dari anggota- 24 anggotanya. Sementara itu, selain struktur formal seperti itu, dalam setiap sistem sosial sering ada struktur informal. Struktur informal ini seringkali berbentuk jaringan interpersonal antar anggota sistem. Jaringan tersebut di banyak sistem sosial justru sangat efektif dalam mempengaruhi keputusan-keputusan formal dalam sistem. Dalam kaitan dengan difusi inovasi, selain struktur sosial, sesuatu yang perlu mendapat perhatian adalah struktur komunikasi yang hidup dalam suatu sistem sosial. Struktur komunikasi didefinisikan sebagai suatu elemen dari sistem sosial yang dapat dikenali dari pola-pola komunikasi yang terjadi di dalam sistem. Struktur komunikasi seringkali tercipta secara natural dan tak-terencana, dimana beberapa individu dalam sistem yang memiliki pola komunikasi homophily membentuk klik khusus, yang diantara mereka memiliki hubungan lebih dekat dibanding individu-individu lain di luar klik tersebut. Struktur komunikasi ini menciptakan asimetri komunikasi dalam struktur sosial. Dalam difusi inovasi, struktur sosial dapat memfasilitasi atau menghalangi suatu proses difusi inovasi. Misalnya dua orang yang memiliki karakteristik dan mendapat informasi yang sama, dalam menerima suatu inovasi yang sama, ada kemungkinan sikap yang diambilnya berbeda karena keduanya berasal dari dua latar belakang sosial yang berbeda. Norma Sistem dan Difusi Norma sistem adalah pola-pola kelakuan yang telah mapan bagi individu-individu yang menjadi anggota sistem. Norma menetapkan batasan-batasan kelakuan yang dapat ditoleransi oleh sistem sekaligus menuntut individu-individu dalam sistem untuk berperilaku dengan cara tertentu. Norma ini seringkali khas untuk setiap bansa, agama, organisasi, desa atau kelompok-kelompok kepentingan tertentu (Rogers and Kincaid, 1981). Dalam difusi inovasi, norma dapat menjadi halangan bagi terjadinya perubahan. Karena itu, skenario proses difusi inovasi harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak berbenturan dengan norma yang berlaku. 25 Pemimpin Opini dan Agen Perubahan Menurut Rogers (2003) pemimpin opini adalah individu dalam sistem yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku individu-individu yang lain dalam sistem. Pemimpin opini tersebut tidaklah harus pemimpin yang memiliki posisi formal atau status sosial dalam sistem, namun ia dapat mempengaruhi orang lain meski dengan cara informal. Seseoarang dapat menjadi pemimpin opini dalam suatu sistem, biasanya karena kapasitas teknisnya, penerimaan sosial atas dirinya atau kecocokan dia dengan norma sistem yang berlaku. Pemimpin opini dapat bersikap mendukung atau menentang perubahan. Sikap tersebut umumnya merefleksikan sikap dari sistem terhadap perubahan. Sistem yang memiliki kecenderungan untuk berubah, seringkali memiliki pemimpin opini yang inovatif, begitu juga sebaliknya. Namun seringkali juga sebuah sistem memiliki dua jenis pemimpin opini, yang mendorong dan yang menentang perubahan. Seorang pemimpin opini seringkali menguasai jaringan komunikasi yang luas, dimana dengan jaringan tersebut pemimpin opini dikenal sebagai role model oleh anggota lain dalam sistem. Seoarang pemimpin opini biasanya mampu membangun struktur komunikasi serta melakukan komunikasi secara homophily dengan anggota-anggota sistem yang lain. Dengan posisi seperti itu, pemimpin opini bisa menjadi inovator di komunitasnya. Pemimpin opini juga dapat tergeser dari posisinya tersebut, jika ia terlalu menyimpang dari norma sistem yang berlaku. Pemimpin opini umumnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan posisinya dalam sistem atau meningkatkan posisi sosialnya dalam sistem. Sedangkan agen perubahan adalah individu atau organisasi yang berasal dari luar sistem yang datang membawa inovasi untuk ditawarkan. Agen perubahan berperan mempengaruhi keputusan inovasi dari anggota-anggota sistem sosial. Agen perubahan memiliki kepentingan untuk mengarahkan terjadinya perubahan ke arah yang diinginkannya. Agen perubahan ini umumnya heterophily dalam komunikasi dengan anggota-anggota masyarakat. Karena itu, seringkali agen perubahan ini menggunakan pemimpin opini dalam menggerakkan arah perubahan. 26 Tipe-Tipe Keputusan Inovasi 1. Keputusan inovasi optional: merupakan keputusan untuk mengadopsi atau menolak inovasi yang dilakukan secara independen oleh seorang individu. Dalam pengambilan keputusan, individu tersebut independen terhadap anggota-anggota lain dalam sistem. Meskipun demikian, sangat besar kemungkinan individu tersebut terpengaruh oleh norma sistem dan struktur komunikasi yang berlaku. 2. Keputusan inovasi kolektif: keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi bergantung pada konsensus yang melibatkan seluruh unit yang ada dalam sistem sosial tersebut. 3. Keputusan inovasi otoritas: keputusan untuk mengadopsi atau menolak inovasi dibuat berdasarkan keputusan sedikit orang dalam sistem. Sedikit orang tersebut memiliki otoritas karena kekuasaan, status atau kapasitas teknis. Anggota-anggota lain dalam sistem wajib mengimplementasikan keputusan tersebut. 27 Konsekuensi Inovasi Konsekuensi inovasi menurut Rogers (2003) adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari adopsi atau penolakan atas inovasi. Tiga klasifikasi dari konsekuensi inovasi adalah sebbagai berikut: 1. Konsekuensi yang diharapkan atau tidak diharapkan, tergantung dari apakah efek dari inovasi berfungsi atau tidak berfungsi dalam sistem sosial. Suatu konsekuensi yang tidak diharapkan tidak selalu bernilai negatif, tetapi konsekuensi tersebut di luar bayangan awal si pembawa inovasi. 2. Konsekuensi langsung atau tidak langsung, tergantung dari apakah perubahan individu atau sistem sosial terjadi secara langsung atau memerlukan kondisikondisi lain agar dampak perubahan dapat dirasakan oleh anggota sistem. 3. Konsekuensi terantisipasi atau tidak terantisipasi, tergantung dari arah perubahan dapat dikenali atau tidak oleh anggota-anggota sistem. Agen pengubah biasanya memperkenalkan inovasi yang menghasilkan konsekuensi yang diharapkan, berdampak langsung dan terantisipasi. Tetapi kebanyakan inovasi menghasilkan konsekuensi yang hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan (undesirable), berdampak tidak langsung dan tidak terantisipasi. Seringkali para agen perubahan dapat mengantisipasi perubahan teknis atau fungsional dari inovasinya ketika diimplementasikan. Namun sedikit diantara para agen perubahan tersebut yang dapat memprediksikan bagaimana anggota-anggota masyarakat yang dikenai inovasi tersebut memaknai arti inovasi tersebut. II.3. Teknologi dan Demokrasi Menurut Sclove (1995) demokrasi memiliki dua komponen penting, yaitu: prosedur dan substansi. Kedua komponen tersebut membentuk model-model pengambilan keputusan dalam berbagai kepentingan masyarakat. Termasuk keputusan dalam penetapan teknologi yang akan diadopsikan pada suatu masyarakat. Model-model demokrasi yang seperti itu sudah cukup untuk membuat turunan dari teori demokrasi dan teknologi: jika warga harus diberdayakan untuk berpastisipasi dalam menentukan struktur dasar mereka, dan 28 teknologi adalah spesies penting dari struktur sosial, maka rancangan teknologi dan praktiknya harus didemokratisasikan. Komponen prosedural komplementer dan substantif dari demokrasi yang kuat dengan demikian berakibat bahwa demokratisasi teknologi menggabungkan dua elemen yang serupa. Secara prosedural, orang-orang dari berbagai tingkatan sosial membutuhkan peluang lebih besar untuk membentuk tatanan teknologi yang terus berubah. Dan secara substantif, teknologi yang dihasilkan harus sesuai dengan kepentingan dan identitas bersama dan terutama dengan kepentingan mendasar mereka dalam demokrasi itu sendiri. Evolusi teknologi melalui berbagai proses sosial, baik yang tidak direncanakan, ditentang secara halus maupun terang-terangan. Proses-proses tersebut tidak ada yang sangat demokratis. Bukan berarti bahwa setiap teknologi harus ditinjau secara politis. Tidak semua teknologi menimbulkan pengaruh struktural. Namun perhatikan ancaman masyarakat modern dari genus struktur sosial lain, yaitu berbagai jenis hukum dan peraturan. Aturan yang dibuat orangtua terhadap anaknya mendapat relatif sedikit pengawasan sosial. Namun aturan yang dibuat badan pemerintah harus tunduk pada berbagai prosedur formal, dan kadang perlu ada prosedur yang lebih ketat untuk mengubah suatu undang-undang. Mengapa perlakuan pada teknologi berbeda? Apakah teknologi memerlukan kajian politik? Dan jika ya, di mana dan sejauh apa kajian tersebut berhubungan dengan janjinya untuk –secara fundamental atau tidakmempengaruhi kehidupan sosial? Ini membutuhkan serangkaian prosedur demokratis untuk menilai tatanan teknologi yang ada, memantau teknologi yang muncul, dan memastikan bahwa tatanan teknologi tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh demokrasi. Dalam sistem tersebut, warga atau pemerintah yang percaya bahwa serangkaian teknologi tersebut dapat menyatakan potensi struktural yang signifikan harus selalu memiliki peluang untuk menjadikannya bahan kajian dalam forum politik. Di luar hal itu, harus ada sistem pengawasan demokratis terhadap keseluruhan tatanan teknologi, memindai timbulnya konsekuensi atau dinamika teknologi yang tidak demokratis, dan siap untuk melakukan intervensi demi kepentingan norma-norma demokrasi. 29 Memang tidak semua orang harus berpartisipasi dalam setiap keputusan politik memngenai pemilihan teknologi. Ada kehidupan lain selain politik. Namun perlu ada peluang bagi setiap orang untuk memasukan kepentingannya dalam proses pemilihan teknologi. Idealnya, setiap warga harus memanfaatkan peluang tersebut, terutama dalam hal-hal teknologi yang berarti signifikan baginya. Teknologi yang Demokratis Selain menerapkan prosedur demokratis dalam pembuatan keputusan teknologi, kita juga harus mengupayakan hasil teknologi yang demokratis secara substansial. Tujuan prosedur demokratis yang terutama adalah memastikan bahwa teknologi secara struktural mendukung aspirasi rakyat, apapun aspirasi itu. Alternatifnya adalah mengawasi aspirasi diam-diam dan tanpa direncana memunculkan perintah teknologis atau keputusan otoriter. Namun menurut teori demokrasi yang kuat, warga dan wakil-wakilnya harus mementingkan dua jenis aspirasi. Pertama dan terpenting, teknologi harus –terlepas dari bermacam fokus tujuannya- mendukung struktur sosial dan kondisi institusional yang diperlukan untuk membangun dan memelihara demokrasi yang kuat. Kedua, teknologi harus secara struktural menghormati kepedulian lain yang dirasakan bersama oleh semua warga. Bukan berarti harus mengalihkan sumberdaya sosial ke perancangan demokrasi yang berfokus mendukung demokrasi atau untuk tujuan manfaat bersama lainnya. Naluri dan upaya penganut demokrat yang kuat akan tepat untuk itu. Misalnya, ada peran konstruktif dalam demokrasi kuat untuk melakukan ’rapat kota’ yang dimediasi elektronik. Karena selalu diabaikan potensi strukturalnya dalam masyarakat modern, teknologi belum pernah dievaluasi dari aspek sikapnya pada demokrasi. Oleh karena itu, setelah melalui berbagai kajian, banyak teknologi yang terbukti secara struktural tidak demokratis. Selain itu, dari perspektif dinamika, teknologi berpotensi menciptakan hambatan bagi proses demokratisasi. Misalnya, penurunan minat politik yang diamati 30 dalam demokrasi industri mungkin disebabkan oleh subversi laten teknologi terhadap kondisi-kondisi yang diperlukan demokrasi. Kita dapat mulai menguji dugaan tersebut setelah merumuskan kriteria untuk membedakan teknologi yang secara struktural demokratis dari beragam teknologi yang ada. Hal ini menjamin berlakunya peran sentral untuk prosedur demokrasi. Teori demokrasi dan para pendukungnya –atau siapa saja- dapat ikut mendorong terjadinya proses perumusan dan penggunaan garis-garis panduan rancangan tersebut. Namun para pelaku yang terpilih melalui proses tersebut tidak memiliki pengetahuan dan hak untuk membuat penilaian determinatif berdasarkan warga lain. Misalnya, individu tidak mungkin tahu apa kepentingan bersama dan kecenderungan institusi politiknya sebelum mereka mendengar orang lain menyatakan harapan dan keprihatinannya, mendengarkan komentarnya sendiri, dan mendengarkan keinginan dan asumsi orang-orang lain. Individu juga tak dapat mempercayai mereka sendiri, pembuat polling, atau ilmuwan untuk melakukan penilaian obyektif atas kepentingan orang lain, karena berbagai kepentingan pribadi, profesi atau kelompok dipertaruhkan dalam membuat hasilnya, dan secara halus mempengaruhi persepsi dan alasannya. Hanya forum demokrasi yang dapat memberi keseimbangan antar berbagai perspektif, peluang untuk refleksi, dan beragam pengetahuan sosial yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah. Oleh karena itu, menjadi logis ketika kita mencari prosedur demokratis untuk merumuskan dan menerapkan kriteria rancangan yang dapat diuji logis untuk teknologi demokratis. ”Dapat diuji” karena proses membuat dan menyempurnakan kriteria tidak pernah selesai. Karena teknologi, pengetahuan sosial, masyarakat dan norma-normanya berubah, maka perubahan dalam kriteria rancangan tersebut mungkin saja terjadi. Namun kriteria akan ’secara rasional’ atau demokratis dapat diuji karena perubahan tersebut tidak bersifat merusak. Perubahan tersebut mencerminkan penilaian warga saat ini atas kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan demokrasi kuat dan nilai-nilai bersama (lihat gambar ramuan dasar politik demokrasi kuat dari teknologi). 31 Pengawasan demokratis Kriteria desain yang dapat diuji Evaluasi, pilihan dan pemerintahan demokratis I – Kriteria demokrasi Proses desain demokrasi II – kriteria tambahan, Teknologi yang demokratis Tatanan teknologi Gambar II.5 Politik demokrasi teknologi (Sclove, 1995) Suatu teknologi disebut demokratis jika dirancang dan dipilih dengan partisipasi atau pengawasan demokratis dan –mengingat aspek fokus dan non-fokusnya- secara struktural sesuai dengan demokrasi kuat dan dengan keprihatinan bersama warga. Dalam politik demokrasi teknologi, refleksi atas teknologi yang ada dan yang diajukan memainkan peran penting dalam membuat kriteria rancangan demokrasi. Penggunaan kriteria tersebut akan menjadi mediasi antara prosedur demokrasi dan evolusi tatanan teknologi yang substantif demokratis. Gambar di atas menunjukkan dua kriteria rancangan: (i) prioritas pada kriteria yang turut memastikan bahwa teknologi sesuai dengan kondisi yang diperlukan demokrasi; (ii) kriteria tambahan yang mencerminkan sikap struktural pada kepentingan dan keprihatinan para warga lain. Garis putus-putus menunjukkan bahwa tatanan teknologi yang ada seluruhnya menumbulkan pengaruh struktural pada politik secara umum, termasuk (dalam hal ini) peluang politik demokrasi suatu teknologi. 32