Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong dalam

advertisement
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong dalam Pelaksanaan Otonomi
Gampong (Studi Penelitian di Kota Lhokseumawe)
(the Obstacles of Village Apparatus in Executing the Autonomy of Village (Research
Study in Lhokseumawe)
Oleh
Nuribadah1
Abstract
Article 1 poin (20) Law Number 11 of 2006 concerning Aceh Governance states that
“village or other names on it is legal society union under mukim and lead by keuchiek
or other names on it which has rights to manage its own territory.” This research
explores the obstacles that are faced by village apparatus by apply the qualitative
method. This research found that obstacles in implying village autonomy are lack of
human resources and public participation and the government of Lhokseumawe does
not make technical regulations to support the function of apparatus.
Keywords :Obstacles, Village Apparatus, Village Autonomy
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejak awal bedirinya negara Indonesia, founding father telah menjatuhkan
pilihannya pada prinsip
pembagian kekuasaan
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan
pemerintahan di daerah dilaksanakan melalui tiga azas yaitu desentralisasi,
dekonsentralisasi, dan tugas pembantuan.
Seiring pergulatan dan pergesaran politik, Indonesia sepakat sistem negara
kesatuan dengan otonomi luas.2 Kesepakatan ini telah tertuang dalam perubahan
1
2
Dosen Pengajar Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh –
Lhokseumawe,
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES,
2006). Hlm. 227.
118
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
kedua Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan bahwa :
1.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provonsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupetan dan Kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang;
2.
Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka untuk penyelenggaraan pemerintah dalam negara kesatuan
Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi, dan Provinsi dibagi lagi menjadi
daerah-daerah Kabupaten dan Kota. Setiap daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota
merupakan pemerintah daerah yang diberikan kewenangan mengatur pemerintahan
berdasarkan pada asas otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat dua
nilai dasar yang dikembangkan yakni nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai
unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara. Artinya, kedaulatan
yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi
di dalam kesatuan pemerintahan lokal ataupun regional.3
Nilai desentralisasi diwujudkan dalam penyelenggaraan otonomi daerah di
Indonesia yang terkait dengan pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah. Daerah otonom diadakan guna menyangga tatanan
Negara Kesatuan. Dasar kesatuan ini amat penting dalam mendudukannya dengan
dasar otonomi seluas-luasnya.4
3
4
Zudan Arif Fakrulloh, Konstruksi dan Implementasi Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional UUD 1945 sebagai Hukum
Tertinggi dengan Empat Kali Perubahan Sebagai Dasar Menuju Milenium II (Semarang :
Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Program Doktor Ilmu Hukum
Undip, 2007). Hlm .2
Ibid. Hlm. 3
119
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka
penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan
yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Azas desentralisasi senantiasa
menjadi
bagian dalam
praktek
penyelenggaraan pemerintahan negara sejak negara Republik Indonesia ini berdiri.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang daerah, azas
desentralisasi senantiasa menjadi bagian dari isi pengaturan perundangan-undangan
tersebut. Berdasarkan azas tersebutlah daerah-daerah baik daerah kecil maupun
daerah besar memiliki hak otonomi yaitu suatu hak untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
dijalankan sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
Desentralisasi merupakan salah satu azas penyelenggaraan pemerintahan
negara sejak Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan menjadi hukum dasar negara
Indonesia, hal tersebut berlaku hingga saat ini, masalah otonomi gampong pada
prinsipya sama saja dengan masalah otonomi kabupaten/kota dan provinsi, hanya
ruang lingkup program kerjanya saja yang berbeda. Oleh sebab itu, dapat dipahami
bahwa masalah otonomi daerah senatiasa menjadi perhatian yang menarik untuk
dibicarakan di kalangan ilmuan di bidang pemerintahan, praktisi, dan para
pengamat yang menemukan titik simpul yang tepat untuk mengatur keseimbangan
hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah, antara Pemerintah Provinsi
dengan Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Gampong. Hal ini dilakukan tidak
lain adalah untuk mewujudkan tujuan pendirian negara Indonesia sebagaimana
tercantum dalam sila ke lima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia.
Sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi tertulis Indonesia salah satu
daerah kecil yang memiliki hak otonomi adalah desa/gampong. Keberadaan gampong
sebagai sub divisi pemerintahan yang terendah dan terkecil dalam sistem
penyelenggaraan negara Indonesia menjadi ujung tombak penyelenggaraan urusan
120
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
pemerintahan, dikarenakan posisinya yang demikian sehingga tidak salah jika ada
yang berpendapat bahwa keberadaan pemeritahan gampong menjadi tulang
punggung atau sendinya negara. Dalam makna yang demikian, dapat dikatakan
bahwa kokohnya sistem penyelenggaraan negara tidak terlepas dari keberadaan
pemerintahan gampong sebagai sub-sistem pemerintahan nasional.
Disisi lain sampai saat ini, kedudukan penyelenggara pemerintahan gampong
belum sepenuhnya mampu memposisikan diri layak sebuah daerah otonom. Masalah
otonomi gampong merupakan suatu masalah yang berhubungan langsung dengan
pola pembangunan, pelayanan kepada masyarakat khususnya pola pemerintahan,
yang juga berkaitan erat dengan tujuan pendirian negara yaitu mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta upaya membangun kemandirian daerah
secara umum. Berbagai persoalan penyelenggaraan otonomi gampong bagian dari
persoalan nasional dimana praktek penyelenggaraannya masih rancu, atau dengan
kata lain praktek penyelenggaraan otonomi gampong belum sepenuhnya berjalan
sesuai dengan harapan dari peraturan perundang-undangan yang ada. Stagnansi
penyelenggaraan otonomi gampong bukan semata-mata disebabkan oleh minimnya
kapasitas yang dimiliki para aparatur penyelenggara pemerintahan gampong, tetapi
juga disebabkan oleh faktor eksternal yaitu “niat baik” dan “keinginan kuat” dari
pemerintahan daerah yang lebih tinggi khususnya pemerintahan daerah
kabupaten/kota untuk mewujudkan pemerintahan gampong yang benar-benar
otonom. Gampong selamanya akan tidak otonom dan berjalan apa adanya, jika dua
hal tersebut belum dimiliki oleh pihak atasan pemerintah gampong, sehingga azas
desentralisasi yang senantiasa didengungkan hanya terdengar gaungnya saja,
tetapi dalam implementasi masih sulit terlaksana secara optimal. Berbagai persoalan
seputar penyelenggaraan otonomi gampong merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lainnya, akan tetapi perlu suatu penyelesaian secara
komprehensif dan dilakukan secara gradual serta terus menerus.
2. Rumusan Permasalahan
Adapun yang menjadi fokus pemasalahan dalam tulisan ini adalah : Apakah
hambatan penyelenggara pemerintahan gampong dalam pelaksanaan otonomi
gampong di Kota Lhokseumawe?
121
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui hambatan
penyelenggara pemerintahan gampong dalam pelaksanaan otonomi gampong di Kota
Lhokseumawe.
4. Metode Penulisan
Studi ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang atau lembaga
dari prilaku yang diamati.5 Sedangkan dilihat dari obyeknya penelitian ini adalah studi
lapangan (field research), yaitu penelitian yang kajiannya mengenai ruang lingkup
pembahasan dalam karya tulis ini adalah hambatan penyelenggara pemerintahan
gampong dalam melaksanakan otonomi gampong khususnya di kota lhokseumawe.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada responden yang merupan informan kunci. Selanjutnya
studi dokumentasi, yakni melakukan penelaahan terhadap buku-buku, artikel, makalah
dan juga literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
5. Tinjauan Pustaka
Istilah Gampong merupakan sebutan bagi kesatuan masyarakat hukum
terendah di Aceh. Dalam konstek nasional, maka istilah Gampong sama dengan
Desa, hanya saja penyebutan istilah Gampong khusus digunakan oleh masyarakat
aceh dalam kehidupan sehari-hari sedangkan desa merupakan sebutan baku yang
digunakan dalam sistem ketatanegara Indonesia. Menurut Subekti, desa/gampong
adalah satu kesatuan wilayah yang terdiri dari sejumlah penduduk dengan disertai
ruang dan wilayah yang mempunyai batas tersendiri.6 Selanjutnya menurut pendapat
Lamintang mengatakan bahwa desa adalah satu wilayah yang mempunyai ciri khas
tersendiri dan wilayah yang menjadi kekuasaan pemerintah gampong cenderung
tidak luas.7
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan bahwa gampong adalah
sebuah wilayah yang mempunyai sistem pemerintahan tersendiri dan memiliki
5
6
7
Lexi J. Moleong, 1997. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya. Hlm. 3
Subekti, R, Sistem Pemerintah Daerah, CV. Majalah Hukum, Jakarata, 2006. Hlm. 77
Lamintang, Hukum Pemerintah Daearah, alumni Jambi, 2001. Hlm. 8
122
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
kawasan atau wialayah yang tidak luas. Sistem pemerintahan yang dimiliki oleh setiap
gampong dengan gampong lainnya sudah dapat dipastikan akan mempunyai
perbedaan, hal inilah yang menjadi cerminan bahwa gampong mempunyai ciri dan
khas tersendiri. Atau dengan kata lain gampong adalah suatu wilayah yang memiliki
luas tersendiri dan mempunyai sistem pemerintahan yang jelas, dan setiap gampong
sedah pasti mempunyai keunikan tersendiri, terutama dalam hal keanekaragam
penduduk dan wilayah yang dimilikinya, sehingga secara kasat mata gampong
merupakan gambaran kecil dari sebuah gambaran kehidupan negara yang besar.
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (20) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan gampong adalah : “gampong atau nama
lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin
oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri”, selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (6) Qanun Nomor 5 Tahun 2003
Tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sudah
secara tegas menyatakan bahwa: “...gampong merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah...”. berdasarkan
pengertian yang termaktub dalam perundang-undangan tersebut, maka jelas
tergambar bahwa gampong adalah salah satu daerah otonom dalam kerangka negara
kesatuan republik indonesia.
Otonomi pada prinsipnya adalah suatu wewenang unutk menjalankan roda
pemerintahan secara penuh oleh pihak yang menerima pemberian otonomi
tersebut, hal ini jelas tergambar dalam pemberian otonomi tersebut kepada pihak
manapun, pihak pemerintah pusat hanya memantau perkembangan moneter,
hubungan luar negeri dan kebijakan keuangan, namun dalam riilnya dilapangan,
banyak pemberian otonomi kepada suatu daerah atau lembaga, badan, atau
instansi tidak sepenuhnya seperti yang digariskan dalam ketentuan yang telah
disepakati atau aturan tertulis, sehingga menimbulkan banyak permasalahan pada
tataran pelaksanaan. Menurut pendapat A. Malik,8 pemberian wewenang otonomi
kepada suatu daerah hendaknya harus jelas dan tegas, apa yang menjadi
wewenang dan tugas yang diberikan, sehingga tidak menimbulkan masalah.
Kata otonomi dapat diartikan juga sebagai bentuk pemisahan kegiatan
kewenangan pemerintahan pusat dan daerah baik daerah kecil maupun daerah
8
A. Malik, Permasalahan Negara Federasi, Alumni Bandung, 2001. Hlm. 78
123
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
besar yang pada prinsipnya sama, namun wilayah yang dipimpin oleh seorang
kepala desa/geuchik hanya pada luas wilayah saja, sedangkan hal lainnya sama
saja. Otonomi tidak lain adalah sebuah pembagian wewenang antara pemerintah
pusat dengan pemerintah gampong yang meliputi kewenangan pengaturan terhadap
kegiatan pemerintahan, pola pembangunan dan pemberdayaan penyelenggara
pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dimaknai apa yang dimaksud dengan
otonomi gampong/desa adalah salah satu wewenang yang dimiliki oleh gampong
untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat setempat. Menurut HAW. Widjaja, otonomi desa adalah pelaksanaan
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dibawah tanggung jawab kepada
desa/gampong.9 Adapun urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh
Gampong, menurut Imam Suganda adalah sebagai berikut:10
1.
Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan asal usul gampong
2.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
diserahkan pengaturannya kepada gampong
3.
Melaksanakan tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi,
dan atau pemerintah kabupaten/kota.
4.
Urusan pemerintahan lainnya, yang oleh peraturan diserahkan kepada
kepala pemerintahan gampong.
kabupaten/kota
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa otonomi gampong
adalah sesuatu pola pembagian urusan pemerintahan dengan gampong, hal ini
adalah merupakan salah satu pola pembagian wewenang yang cukup tepat, dimana
dengan adanya pembagian wewenang tersebut diharapkan bahwa
pola
pembangunan dan pola pemberdayaan aparat gampong akan berjalan lebih dan
maksimal.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa otonomi gampong adalah
hak, kewenangan gampong untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
9
10
HAW. Widjaja, Otonomi dan Permasalahannya, Rajawali Press, 2006. Hlm. 22
Iman Suganda, Pemerintahan Daerah, Alumni Jambi, 2001. Hlm. 14
124
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
berdasarkan aspirasi
pemerintahan.
masyarakat
dalam
rangka
penyelenggaraan
urusan
B.
PEMBAHASAN
1.
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong Dalam Pelaksanaan
Otonomi Gampong di Kota Lhokseumawe
Pada dasarnya otonomi Gampong/Desa bukan merupakan wacana baru di
Indonesia khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam, namun telah jauh ada sebelum
dan sesudah Indonesia merdeka, hanya saja penamaan dan bentuknya yang
berbeda, hal ini sangat tergantung dari perubahan peraturan perundang-undangan.
Pada Indonesia merdeka untuk pertama kali wilayah Desa diatur dengan Undangundang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja yang menggantikan perundangundangan yang dibuat oleh Belanda sebelum Indonesia merdeka.
Sejarah peradaban Aceh, salah satu letak keunggulan Kerajaan Islam Aceh,
bisa dilihat dari peraturan-peraturan posistif kerajaan yang disebut Qanun Meukuta
Alam. UUD Aceh (Qanun Al-Asyi) dibuat pada masa kekuasaan Sultan Alaidin Riayat
Syah II Abdul Qahhar (1539-1571), disempurnakan pada keemasan kerajaan Aceh
dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda,11 dan diteruskan pada masa
kepemimpinan Sultanah Taj al-„Alam Safiat ad-Din Syah (1641-1675), sudah ada
pembagian kewenangan. Sultanah memperlihatkan kecakapannya dalam mengurus
Penadbiran kerajaan, menurut Qanun Meukuta „Alam di kerajaan Aceh ada Balai
Laksamana, Institusi semacam markas perang, ada Balai Fardah yang mengatur
keuangan kerajaan, lalu ada balai musyawarah yang di dalamnya ada Balairumsari
tempat bertugas 73 orang yang mewakili 73 mukim di Aceh Besar. Mukim adalah unit
wilayah yang merupakan gabungan beberapa gampong. Sultanah Safiat Ad-Din
memasukan perempuan-perempuan mewakili masing-masing mukim.12
Terbentuknya gampong di Aceh tidak jauh berbeda dengan terbentuknya desadesa di daerah lain di Indonesia. Menurut sejarah, terbentuknya gampong di Aceh
disebabkan oleh adanya perkumpulan orang dalam mengembangkan perekonomian
11
12
Rizki Ridyasmara, Gerilya Salib di Serambi Mekkah dari Zaman Portugis hingga Paska
Tsunami, Pustaka Al-Kautsar, 2006, Jakarta Timur, hal. 28.
Teuku Ibrahim Alfian (ed.), Refleksi tentang Gempa-Tsunami: Kegemilangan dalam
Sejarah Aceh, IKJ Press, 2006, Jakarta, hal 115
125
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
sehari-hari. Daerah-daerah baru yang dihuni oleh sejumlah orang di sebut seunubok.
Seunubok adalah sebuah areal ladang perkebunan yang baru dibuka oleh sejumlah
orang yang berasal dari gampong yang sudah padat penduduknya. Seunubok bisa
dibuka oleh seseorang atau kelompok orang untuk bercocok tanam. Ketika Seunubok
dalam perkembangannya sudah mulai ramai didiami oleh orang dan dianggap sudah
memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk dijadikan sebuah gampong, maka Seunubok
ini dapat berubah menjadi sebuah gampong di Aceh.13
Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka untuk menjamin
terwujudnya penyelenggaraan rumah tangga Gampong secara mandiri, telah
menetapkan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong dalam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 12 Qanun tersebut mengatur tentang
tugas dan kewajiban Keuchik (Kepala Pemerintahan Gampong) adalah memimpin
penyelenggaraan pemerintahan Gampong, membina kehidupan beragama dan
pelaksanaan syariat Islam dalam masyarakat, menjaga kelestarian adat dan adat
istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,
membina dan memajukan perekonomian serta memelihara kelestarian lingkungan
hidup, memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan
maksiat dalam masyarakat, menjadi hakim perdamaian antar penduduk dalam
Gampong, mengajukan rancangan Reusam Gampong kepada Tuha Puet Gampong
untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan menjadi Reusam Gampong,
mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong untuk mendapat
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Gampong, dan Keuchik dapat mewakili Gampongnya di dalam dan luar pengadilan
serta bentuk menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya.
Sedangkan untuk adanya keseimbangan dalam pengelolaan Gampong Pasal
35 Qanun Nomor 5 Tahun 2003 mengatur tentang tugas dan fungsi Tuha Peut,
diantaranya adalah meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan syari‟at Islam dan adat
istiadat; memelihara kelestarian adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan budaya
setempat yang masih memiliki azas manfaat; melaksanakan fungsi legislasi, yaitu
membahas/merumuskan dan memberikan persetujuan terhadap penetapan Geuchik
terhadap Reusam Gampong; melaksanakan fungsi anggaran, yaitu
membahas/merumuskan dan memberikan persetujuan terhadap Rancangan
13
Ibid
126
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong menjadi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Gampong; melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan
Reusam Gampong, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong,
pelaksanaan keputusan dan kebijakan lainnya dari Geuchik; menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah Gampong. Terlaksananya
tugas dan kewajiban Keuchik serta tugas dan fungsi Tuha Peut termasuk Imuem
Meunasah secara efektif bukan suatu utopia.
Ketidakmampuan
penyelenggara
pemerintahan
Gampong
dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya khususnya di Kota Lhokseumawe lebih
dikerenakan tidak adanya pedoman dari pemerintah kota lhokseumawe. Fakta ini
terungkap dari wawancara penulis dengan sejumlah nara sumber yang menyebutkan
bahwa fungsi dan tugas Tuha Puet belum berjalan, karena sekarang yang baru ada
hanya peraturan-peraturan dasar yang mengatur Tuha Puet, sedang peraturan
teknis/pelaksana belum dikeluarkan oleh sebagian pemerintah kabupaten/kota.
Menurut Armia bahwa:“….Salah satu hambatan yang kami hadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan gampong adalah gampong kami yang luas dan
tingkat pendidikan masyarakat Uteunkot mungkin dibandingkan dengan desa-desa
lain yang ada Kecamatan Muara Dua, gampong kami lebih maju, banyak orang pintar
yang ada didesa kami, tapi ketika kita mau membuat sebuah qanun ini justru banyak
sekali pendapat yang muncul yang komplen banyak, sehingga ini tidak di lakukan,
pernah kami wacanakan bukan membuat qanun semacam peraturan tentang uang
bantuan gampong, ini juga tidak berjalan karena banyak yang komplen. Susah juga
kalau orang-orang pinter ada banyak didesa banyak sekali pendapat yang
berkembang, terus sebenarnya mereka lebih pinter dari kami, karena mereka pintar
mereka sibuk, padahal kalau potensi memimpin desa kayaknya mereka lebih cocok,
cuma karena job raya panyang (besar panjang), tingallah seperti saya dan kami-kami
ini yang mempimpin desa.”14
Sehubungan dengan pendapat tersebut diatas, bahwa demokrasi gampong
akan membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada
pemerintah Desa. Aspirasi adalah fondasi kedaulatan rakyat yang sudah lama
diamanatkan dalam konstitusi. Demokrasi juga menjadi arena untuk mendidik mental
14
Armia, keuchiek Gampong Uteunkot Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe,
wawancara tanggala 18 Pebruari 2013.
127
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
dan kepribadian rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militan dan mempunyai
kesadaran tentang pengelolaan barang-barang publik yang mempengaruhi hidup
mereka. Pendidikan dan pembelajaran ini penting, mengingat masyarakat cenderung
pragmatis secara ekonomi dan konservatif secara politik, akibat dari perkembangan
zaman yang mengutamakan orientasi material.15
Menurut Ridwan, bahwa: “….Dalam pengaturannya setelah Musrembang, pada
saat Musrembang ini kita sudah mendapatkan hasil apa yang dibutuhkan masyarakat,
disana tidak kita rincikan anggaran, dari anggaran kemudian kita rincikan bersama tim
perumus anggaran, hanya saja kami belum membuat qanun seperti yang di buat oleh
Uteunkot tadi, kami masih sangat sederhana. Ya karena saya baru juga jadi geucik. Di
bidang lain dalam masyarakatnya, katakanlah misalnya digampong ini ada
perselisihan dalam masyarakat kita selesaikan secara adat. Kalau ada sengketa
antara masyarakat, kita selesaikan ditingkat gampong dulu, secara adat desa, tidak
langsung kepengadilan, contohnya kalau ada orang mau bercerai, lapor sama kita, ini
kita bukan menceraikan mereka, tapi bagaimana pertamanya kami mediasi untuk
supaya tidak bercerai, akan tetapi jika keduanya bersikeras, ini kita hanya bisa
membantu administrasi sedangkan yang lainya itu nanti akan di tangani oleh
Pengadilan Mahkamah Syariah, selaku yang berwenang, sedangkan kami, termasuk
tuha 4 hanya itu saja yang bisa kami lakukan.16
Ketentuan dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Gampong memiliki beberapa
kewenangan. Kewenangan tersebut, antara lain meliputi kewenangan yang sudah ada
berdasarkan hak asal usul Gampong dan adat istiadat, kewenangan ini berkaitan
dengan kewenangan Gampong untuk melakukan penyesuaian struktur pemerintahan
Gampong sesuai dengan nilai-nilai yang tumb€uh dalam masyarakat Aceh.
Kewenangan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
Kewenangan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan belum menjadi/belum
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten,
Pemerintah Kota, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Mukim, dengan
15
16
Naskah Akademik RUU Desa, forum Pengembangan Pembaharuan Desa
www.forumdesa.org, Direktorat pemerintahan desa dan kelurahan Direktorat jenderal
pemberdayaan masyarakat dan desa Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2007. Diakses,
10 januari 2012.
Ridwan, Geusyik Gampong Simpang 4,
Kecamatan
Banda
Sakti,
Kota
Lhokseumawe, wawancara Tanggal
128
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
kewenangan ini berarti pemerintah Gampong dapat menggali sumber Pendapatan Asli
Gampong dan kemudian ditetapkan dalam Reusam Gampong selama belum menjadi
pengaturan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah
Kota, atau dengan kata lain penggalian sumber pendapatan Gampong dapat
dilakukan oleh Pemerintah Gampong selama belum diatur oleh Pemerintah yang lebih
tinggi.
Berkaitan dengan Sumber Pendapatan Gampong, Qanun Nomor 5 Tahun
2003 telah mengatur tentang Sumber Pendapatan Gampong yaitu terdiri dari:
a.
b.
c.
Pendapatan Asli Gampong yang meliputi:
1.
Hasil usaha Gampong;
2.
Hasil kekayaan Gampong;
3.
Hasil swadaya dan partisipasi;
4.
Hasil gotong royong masyarakat;
5.
Zakat; dan lain-lain pendapatan yang sah.
Bantuan dari Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota, yang meliputi:
1.
Bagian perolehan pajak dan restribusi kabupaten atau kota;
2.
Bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima
oleh pemerintah Kabupaten atau Kota.
Bantuan lain dari pemerintah atasan, yaitu terdiri dari:
1.
Sumbangan dari pihak ketiga; dan
2.
Pinjaman Gampong;
Menurut Sulaiman, bahwa: Kalau dalam penyusunan APBG tidak ada kendala
hanya saja dulu pada awalnya susah untuk melakukan penyusunan APBG tapi karena
lama-lama sudah ada pembinaan akhirnya menjadi bisa melakukan itu. Didalam
masyarakat, tidak banyak permasalahan yang timbul, hanya masalah-masalah kecil
dan itu bisa terselesaikan.17
17
Sulaiman Hanafiah, Keuchiek Gampong Batupat Barat, Kecamatan Muara Satu, Kota
Lhokseumawe, Tanggal Wawancara 14 Januari 2012.
129
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
Untuk menjaga supaya tidak terjadinya tumpang tindih pengelolaan sumber
pendapatan antara pemerintah Gampong dengan pemerintah tingkatan di atasnya,
maka Qanun Nomor 5 Tahun 2003 menegaskan bahwa sumber pendapatan yang
sudah dimiliki oleh dan dikelola oleh Gampong tidak boleh dipungut atau diambil alih
oleh pemerintah yang lebih atas tingkatnya.
Selanjutnya menurut Abdul Azis, bahwa:“……hambatan lainnya adalah
masalah Anggaran pendapatan Belanja Gampong (APBG), artinya belum lama ini,
kita susun sendiri awal-awalnya kendala yang kita hadapi adalah dalam menyusun itu
sendiri, membuat seperti sebuah proposal, ini sering salah, namun waktu salah ini kita
diminta untuk memperbaikinya lagi, dan akhirnya jadi terbiasa. Di bidang lainnya
adalah, dalam Masyarakatnya tidak ada kendala, karena apa yang sudah kita
rumuskan merupakan ide dan merupakan harapan dari masyarakat, namun biasanya
dalam pertanggung jawabannya nanti ada sedikit masalah, tapi kalau kita sampaikan
sesuai dengan apa yang kita kerjakan masyarakat juga akan menerimanya dengan
baik dan semua aspirasi masyarakat di gampong kita terima dan kita lakukan
musyawarah dan kita lakukan yang terbaik.”18
Dengan mencermati uraian tugas dan kewajiban Keuchik serta tugas dan
fungsi Tuha Peut dan kewenangan yang ada pada Gampong, maka dapatlah
disepakati pendapat A. Hamid Sarong dalam makalahnya yang berjudul Gampong
dan pola Penyelesaian Sengketa, mengatakan bahwa Gampong merupakan unit
pemerintah terendah di Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi mempunyai kewenangan
yang sangat otonom.
Idealnya dengan adanya kewenangan, tugas dan kewajiban keuchik serta
tugas dan fungsi Tuha Puet sebagaimana diatur dalam perundang-undangan bisa
instrumen dalam pelaksanaan otonomi Gampong secara efektif. Namun lain halnya
terjadi di beberapa Gampong dalam Kota Lhokseumawe. Pada umumnya masyarakat
Gampong dalam Kota Lhokseumawe tidak begitu paham dengan tata cara
pembahasan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Gampong (RAPBG) dan
proses pembuatan Reusam Gampong. Sehingga tidak salah jika ada yang
berpendapat bahwa untuk jalannya tugas dan kewajiban keuchik serta tugas dan
18
Abdul Aziz, Keuchiek Gampong Paya Bili, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe
Wawancara tanggal 16 Januari 2012.
130
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
fungsi tuha puet perlu diadakan pelatihan khusus bagi aparatur pemerintahan
gampong.
Sebelum keluarnya Qanun Nomor 5 Tahun 2003, Pemerintahan Gampong
mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa
Perbedaan mendasar dari pengaturan mengenai struktur pemerintahan
Desa/Gampong dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, adalah; UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 di samping menempatkan Keuchik sebagai pemegang
jabatan kepala Pemerintah Desa juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Musyawarah
Desa (LMD). Akibat dari pengaturan tersebut, dalam struktur Pemerintahan Gampong
terjadi rangkap jabatan. Rangkap jabatan inilah yang menyebabkan penyelenggaraan
roda pemerintahan Gampong bersifat otoriter dan sentralistis.
Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tidak mengenal rangkap jabatan, hal ini dapat
dilihat dari bunyi Pasal 34 ayat (1 dan 2) Qanun Nomor 5 Tahun 2003 yang
menyatakan bahwa Tuha Puet Gampong adalah Badan Perwakilan Gampong (BPG)
yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintah Gampong dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Gampong. Berbagai fakta yang telah diuraikan di
atas merupakan gambaran nyata kondisi pelaksanaan otonomi Gampong khususnya
pasca implementasi Qanun Nomor 5 Tahun 2003. Otonomi Gampong yang pada
hakikatnya merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh pada tataran implementasi sejauh
ini belum berjalan efektif. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab sebelunya,
Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tidak secara tegas mengatur peran Pemerintah
Kabupaten dalam pelaksanaan roda Pemerintahan Gampong, namun Pasal 65 ayat
(1) Bab X Pembinaan dan Pengawasan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 berbunyi:
“Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pemerintah Kabupaten atau
Pemerintah Kota, Pemerintah Kecamatan atau Pemerintah Mukim harus memfasilitasi
penyelenggaraan Pemerintahan”. Memfasilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal
65 ayat (1) adalah sebagai upaya pemberdayaan Pemerintah Gampong melalui
pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, pengawasan dan penyedia anggaran.
Dari bunyi pasal tersebut, dapat diuraikan bahwa Pemerintah Kabupaten
memiliki peran sebagai “fasilitator” dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong
guna pemberdayaan Gampong yang dilakukan dengan cara pemberian pedoman,
bimbingan, pelatihan, pengawasan dan penyediaan anggaran. Terkait dengan
pemberian pedoman dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong, ada 11
131
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
pengaturan perundang-undangan dalam bentuk Qanun dan Keputusan Pemerintah
Kabupaten yang harus direalisasikan oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota
sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:
A.
B.
Qanun Kabupaten/Kota
a.
Tata cara pembentukan, penggabungan dan pemekaran Gampong, Pasal 8
ayat (1);
b.
Tata cara pencalonan, pemelihan, pengesahan, pelantikan dan
pemberhentian Keuchik dan tindakan kepolisian, Pasal 23 ayat (1);
c.
Syarat dan pengesahan pengangkatan Imum Meunasah, Pasal 26 ayat (1);
d.
Pengaturan lebih lanjut tentang Tuha Puet Gampong, Pasal 41 ayat (2);
e.
Sumber Pendapatan Asli Gampong, Pasal 47 ayat (1);
f.
Pengaturan mengenai Reusam Gampong, Pasal 56 ayat (1).
Keputusan Pemerintah Kabupaten/Kota
a.
Perincian jenis penghasilan dan tunjangan yang akan diberikan kepada
Keuchik, Imum Meunasah, Tuha Puet Gampong, Pasal 30 ayat (2);
b.
Pelaksanaan tugas dan fungsi Tuha Puet Gampong, Pasal 35 ayat (2);
c.
Pengaturan mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong, Pasal
52 ayat (1);
d.
Pengaturan lebih lanjut mengenai perangkat Gampong, Pasal 29 ayat (1)
dan (2);
e.
Pengaturan mengenai kerja sama antar Gampong, Pasal 59 ayat (1).
Pemerintahan Gampong sebagai sebuah sub sistem pemerintahan yang
melekat (inheren) dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten, sudah barang tentu
mempunyai hubungan, dari hubungan inilah lahirnya peran dan kedudukan masingmasing wilayah. Pasal 6 ayat (1) Qanun Nomor 5 Tahun 2003 sudah secara tegas
menyatakan bahwa: “...Gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah...”, maka dengan sendirinya
Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai tingkatan lebih tinggi. Qanun Nomor 5 Tahun
2003 mengamanahkan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
132
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
meliputi pengawasan yang bersifat preventif dan pengawasan refresif. Pasal 66 ayat
(2) Qanun Nomor 5 Tahun 2003 merupakan salah satu landasan yuridis bagi
pemerintahan Kabupaten dalam melaksanakan pengawasan yang bersifat preventif.
Keseluruhan Qanun dan Keputusan Pemerintah kabupaten/kota sebagaimana
diamanahkan dalam Pasal 68 Qanun Nomor 5 Tahun 2003 sudah harus ditetapkan
selambat-lambatnya satu tahun setelah Qanun ini di undangkan. Beranjak dari
amanah Pasal 68 Qanun Nomor 5 Tahun 2003, terhitung tanggal perundangan Qanun
Nomor 5 Tahun 2003 yaitu tanggal 16 Juli 2003 bertepatan dengan 16 Jumadil Awal
1424 H, maka saat ini implementasi Qanun Nomor 5 Tahun 2003 telah berusia ±
(kurang lebih) 5 (lima) tahun. Namun disejumlah besar kabupaten/kota belum
merealisasi secara maksimal amanah dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003, sehingga
telah mengahambat penyelenggaraan otonomi Gampong. Salah satu contoh kasus
adalah di kota Lhokseumawe amanah Pasal 68 Qanun Nomor 5 Tahun 2003 yang
mengamanahkan 9 (sembilan) peraturan perundang-undangan, 6 (enam) diantaranya
dalam bentuk Qanun Kabupaten dan Kota dan selebihnya dalam bentuk Keputusan
Bupati dan Walikota. Namun sampai saat ini Pemerintah Kota Lhokseumawe setelah
Qanun Nomor 5 Tahun 2003 berusia ± (kurang lebih) berusia 5 (lima) tahun,
Pemerintah Daerah Kota Lhokseumawe baru menetapkan satu Qanun yaitu tentang
tata cara pencalonan, pemilihan, pengesahan, pelantikan dan pemberhentikan
Keuchik dan tindakan kepolisian, amanah Pasal 23 ayat (1) Qanun Nomor 5 Tahun
2003.
Sedangkan Qanun dan Keputusan Bupati/Walikota yang lainnya belum
ditetapkan, sehingga membawa konsekuensi terhadap pelaksanaan otonomi
Gampong tidak dapat berjalan. Untuk melihat secara jelas gambaran kedudukan
Pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan otonomi gampong, berikut akan
diuraikan beberapa bunyi pasal baik yang ada dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2002
maupun PP Nomor 76 Tahun 2000 yaitu: Pasal 14 ayat (3) Qanun Nomor 5 Tahun
2003 mewajibkan kepada Keuchik untuk menyampaikan laporan pelaksanaan
tugasnya kepada Imuem Mukim, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun yaitu
pada akhir masa jabatan atau sewaktu-waktu diminta oleh Imuem Mukim; Pasal 14
PP Nomor 76 Tahun 2001 menegaskan dalam ayatnya berbunyi: ayat (2) huruf a,
dalam melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa bertanggung jawab kepada
rakyat melalui Badan Perwakilan Desa, huruf b, dan menyampaikan laporan
pertanggung jawabannya kepada Bupati. Laporan pertanggung jawaban ini
133
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
disampaikan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Pada ayat (4) juga
ditegaskan bahwa laporan pelaksanaan tugas kepala Desa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b, disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan
kepada Camat.
Berdasarkan pada uraian bunyi pasal di atas baik yang ada dalam Qanun
Nomor 5 Tahun 2003 maupun PP Nomor 76 Tahun 2001, dapat dijelaskan bahwa;
Pemerintah Gampong dalam menjalankan tugas dan kewajibannya di samping harus
bertanggung jawab kepada masyarakat melalui Tuha Puet Gampong/Badan
Pewakilan Desa juga diharuskan menyampaikan laporan kerjanya kepada Imuem
Mukim untuk diteruskan kepada Camat untuk disampaikan kepada Bupati atau
Walikota. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota berkedudukan sebagai “pihak atasan”.
Pemerintah Gampong dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
mempunyai hubungan vertikal antara Pemerintah Gampong dan Pemerintah
Kabupaten/Kota, sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai wilayah yang
memiliki kedudukan yang lebih tinggi diberi wewenang oleh perundang-undangan
khususnya PP Nomor 76 Tahun 2001 untuk meminta laporan kerja Keuchik setiap
akhir tahun. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa Keuchik
yang seharusnya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya bertanggung jawab
kepada rakyat Gampong pada akhir masa jabatan atau bila sewaktu-waktu diminta
oleh Tuha Puet Gampong, dan kewajiban Keuchik untuk menyampaikan laporan
pelaksanaan tugasnya kepada Imuem Mukim, sekurang-kurangnya sekali dalam
setahun yaitu pada akhir tahun anggaran atau sewaktu-waktu diminta oleh Imuem
Mukim, sejauh ini belum dilaksanakan oleh Keuchik.
Pada prakteknya di lapangan menunjukan bahwa koordinasi dengan Imuem
Mukim terjalin sangat tergantung dari adanya kepentingan bersama beberapa
Gampong, sebagai contoh dapat diuraikan bahwa: perlunya penggalian saluran air
tambak yang menghubungkan beberapa Gampong, maka disini para Keuchik yang
saluran air tambak di Gampongnya saling berhubungan akan membuat surat
permohonan penggalian saluran air tambak bersama kepada pihak ketiga dengan
diketahui oleh Imuem Mukim, sedangkan laporan pelaksanaan tugas secara umum
tidak pernah diberikan kepada Imuem Mukim.
134
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
Adapun hubungan dengan pemerintah kabupaten/kota sebagai pihak atasan
bagi Pemerintahan Gampong dalam penyelenggaran urusan pemerintahan, Keuchik
melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota melalui camat guna untuk
menyampaikan laporan pelaksanaan tugas yang dibebankan kepada pemerintah
Gampong maupun penyampaian pelaksanaan tugas dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Gampong.
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pihak atasan yang secara legal formal
paling bertanggung jawab terhadap berjalannya tugas dan fungsi pemerintah
Gampong terkesan mengabaikan keberadaan pemerintahan Gampong. Para elit
pemerintahan kabupaten/kota sepertinya setengah hati dalam memberdayakan
pemerintahan Gampong. Mereka cenderung melihat Gampong sebagai target
implementasi pembangunan atau dengan kata lain wilayah dan masyarakat Gampong
hanya objek pembangunan bukan sebagai subjek dari pembangunan.
Pola pemberdayaan penyelenggara pemerintahan gampong harus dilakukan
secara berkesinambungan dari pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi
khususnya pemerintah kabupaten/kota. Selama ini
pemerintah gampong
mendapatkan perhatian dari pemerintah kabupaten/kota, namun perhatian tersebut
belum menyentuh akar persoalan penyelenggaraan otonomi gampong.
Pemberdayaan dalam konstek penguatan kapasitas penyelenggara pemerintahan
gampong guna menunjang pelaksanaan otonomi gampong serta ketidakmampuan
pemerintah gampong dalam menggali dan mengembangkan sumber pendapatan asli
gampong merupakan dua dari sekian akar permasalahan yang belum sepenuhnya
mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten/kota.
C.
1.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab terdahulu dapat disimpulkan hambatan
penyelenggara pemerintahan gampong dalam menyelenggarakan otonomi gampong
adalah terdiri dari aspek sumber hambatan :
1.
Aspek eksternal, pada aspek ini hambatan penyelenggara pemerintahan
gampong dalam melaksanakan otonomi lebih disebabkan oleh belum
adanya berbagai peraturan teknis yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota
135
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
Lhokseumawe yang berkaitan dengan tugas dan fungsi penyelenggara
pemerintahan gampong.
2.
2.
Aspek internal, pada aspek ini hambatan penyelenggara pemerintahan
gampong dalam melaksanakan otonomi lebih disebabkan karena minim
sumber daya penyelenggara pemerintahan gampong, kurangnya partisipasi
masyarakat.
Saran
Berdasarkan pada kesimpulan di atas, maka disarankan bahwa : berbagai
peraturan teknis yang mengatur tugas dan fungsi penyelenggara pemerintahan
gampong dapat segera diterbitkan; pelatihan-pelatihan seputar tugas dan fungsi
keuchik dan tuha puet perlu dilaksanakan disertai dengan adanya pendampingan
secara terus-menerus baik oleh Pemerintan maupun non pemerintah (Lembaga
Swadaya masyarakat) .
Daftar Pustaka
Buku :
A. Malik, Permasalahan Negara Federasi, Alumni Bandung, 2001
HAW. Widjaja, Otonomi dan Permasalahannya, Rajawali Press, 2006
Iman Suganda, Pemerintahan Daerah, Alumni Jambi, 2001
Lamintang, Hukum Pemerintah Daearah, alumni Jambi, 2001
Lexi j. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya. 1997.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta:
LP3ES, 2006).
Naskah Akademik RUU Desa, forum Pengembangan Pembaharuan Desa
www.forumdesa.org, Direktorat pemerintahan desa dan kelurahan Direktorat
jenderal pemberdayaan masyarakat dan desa Departemen Dalam Negeri,
Jakarta, 2007.
Rizki Ridyasmara, Gerilya Salib di Serambi Mekkah dari Zaman Portugis hingga
Paska Tsunami, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur. 2006.
136
Hambatan Penyelenggara Pemerintahan Gampong … (Nuribadah)
Subekti, R, Sistem Pemerintah Daerah, CV. Majalah Hukum, Jakarata, 2006
Teuku Ibrahim Alfian (ed.), Refleksi tentang Gempa-Tsunami: Kegemilangan dalam
Sejarah Aceh, IKJ Press, Jakarta, 2006.
Zudan Arif Fakrulloh, Konstruksi dan Implementasi Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional UUD 1945 sebagai
Hukum Tertinggi dengan Empat Kali Perubahan Sebagai Dasar Menuju
Milenium II (Semarang : Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dengan Program Doktor Ilmu Hukum Undip, 2007).
Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam
137
Download