BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diperkirakan bahwa 2-3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Gangguan psikiatri pada masa muda dapat berlangsung terus sampai usia lanjut/timbul kembali. (Maramis, 2009). Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari National Institute of Mental Health menemukan bahwa gangguan mental tersering pada lanjut usia adalah gangguan depresi, gangguan kognitif, fobia dan gangguan penggunaan alkohol (Damping, 2010; Puri et al., 2011). Prevalensi gangguan mental pada lansia tinggi sebesar ± 20%, pada orang tanpa demensia berusia 65 tahun dan lebih tua. Studi epidemiologi melaporkan bahwa hampir sepertiga orang tanpa demensia memenuhi kriteria untuk gangguan kejiwaan: 17% mengalami depresi, kecemasan 9%, dan 7% gangguan psikotik (Skoog, 2011). Masalah Psychogeriatric di Indonesia meningkat karena usia harapan hidup lebih tinggi dan semakin banyak orang tua. Diperkirakan bahwa Indonesia memiliki 16 juta orang lanjut usia (7%) pada tahun 2000 dan akan meningkat (28%) pada tahun 2020. Indonesia memiliki penduduk yang paling cepat berkembang dari usia tua di dunia (414%) pada periode 1990-2025. Hal yang perlu mendapat perhatian juga adalah malnutrisi (gizi kurang, defisiensi) yang sering menimpa lansia tanpa disadari (Nasrun, 2002; Soejono, 2000). Masalah gizi pada pasien psikogeriatri kurang mendapat perhatian dalam penelitian psikiatri geriatri. Dimana malnutrisi cenderung memiliki dampak yang besar terhadap kondisi mental dan fisik para lansia (Ravi et al., 2005). Menurut Asplund et al. (1981) bahwa 30% pasien psychogeriatric memiliki kekurangan energi protein dan 4% memiliki obesitas. Berdasarkan data status gizi (IMT) pasien psikogeriatri di ruang rawat inap psikogeriari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang pada bulan Januari s/d Agustus 2012 didapatkan status gizi kurang 42%, normal 54% dan status gizi lebih 4%. Lansia dengan depresi beresiko sangat tinggi mengalami malnutrisi (Visvanathan et al., 1 2 2004; German et al., 2008; Torres et al., 2011). Penelitian pada lansia di rumah sakit menunjukkan bahwa depresi meningkatkan risiko status gizi kurang dan status gizi kurang memiliki skor depresi yang lebih tinggi (OR = 2.23) (German et al., 2008). Salah satu faktor utama terjadinya status gizi kurang adalah depresi, dimana depresi mengakibatkan penurunan berat badan yang tidak disengaja sekitar 9% - 42% (Alibhai et al., 2005). Ada hubungan independen antara kekurangan gizi dan depresi, dimana adanya depresi sebagai faktor utama yang memicu penurunan berat badan yang tidak disengaja pada lansia (Hajjar et al., 2004: Sampson, 2009). Adanya depresi mempunyai kontribusi yang besar dalam menentukan asupan makanan dan zat gizi seorang lansia (Muis & Puruhita, 2011). Asupan makanan berubah adalah gejala depresi yang menyebabkan penurunan berat badan dan malnutrisi pada lansia (Hickson, 2006). Akibatnya lansia kehilangan nafsu makan yang berdampak pada penurunan status gizi lansia (Fatmah, 2010). Interaksi obat, keterbatasan fungsional, masalah asupan, masalah psikologis, penurunan aktifitas sosial dan penghasilan rendah dapat memberikan kontribusi penurunan berat badan yang tidak disengaja (Stajkovi et al., 2011). Keadaan status gizi kurang ini didapatkan pada pendidikan rendah, depresi, penurunan fungsi kognitif dan status fungsional (Feldblum et al., 2007). Kurangnya pengetahuan mengenai asupan makanan yang baik bagi lansia, kesepian karena terpisah dari sanak keluarga dan kemiskinan juga menentukan status gizi lansia (Muis & Puruhita, 2011). Malnutrisi pada umum menjadi masalah serius dan sering terdiagnosis pada lansia. Diagnosis yang tepat bergantung pada sensitifitas dan spesifikasi alat skrining untuk mendeteksi masalah (Hajjar et al., 2004). European Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN) merekomendasikan Mini Nutritional Assessment (MNA) untuk menilai status gizi lansia terutama bagi pasien di rumah sakit (Kondrup et al., 2003). Modifikasi Mini Nutritional Assessment (Taiwan version-1, MNA-T1) secara efektif dapat menilai status gizi pasien gangguan jiwa yaitu status gizi kurang 7,6% dan berisiko malnutrisi 22% (Tsai et al., 2009). MNA-T1 juga mampu memprediksi malnutrisi pada tiga subtipe dari gangguan jiwa (skizofrenia, depresi 3 berat dan gangguan bipolar) sebesar 15% status gizi kurang dan 74% berisiko malnutrisi, dimana pasien dengan depresi berat berisiko gizi kurang sedangkan pasien dengan skizofrenia atau gangguan bipolar lebih cenderung berisiko gizi lebih (Tsai et al., 2011). Di ruang rawat inap psikogeriatri RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang selama ini dalam mengukur status gizi lansia menggunakan indeks massa tubuh (IMT). Namun, IMT tidak dapat diandalkan jika ada faktor perancu seperti ascites dan tidak dapat mengidentifikasi secara signifikan penurunan berat badan jika digunakan sebagai penilaian status gizi tunggal (Harris & Haboubi, 2005). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah ada hubungan antara gangguan depresi dengan status gizi pasien psikogeriatri menggunakan metode MNA-T1 di ruang rawat inap RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan gangguan depresi dengan status gizi pasien psikogeriatri menggunakan metode MNA-T1 di ruang rawat inap RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. 2. Tujuan khusus : a. Mengetahui prosentase pasien psikogeriatri yang mengalami gangguan depresi. b. Mengetahui prosentase pasien psikogeriatri yang mengalami malnutrisi. c. Mengetahui hubungan gangguan depresi dengan status gizi pasien psikogeriatri. 4 D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi bagi rumah sakit tentang hubungan gangguan depresi dengan status gizi psikogeriatri dan pentingnya penilaian status gizi pasien psikogeriatri secara tepat untuk diterapkan di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang dalam meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. 2. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman tentang hubungan gangguan depresi dengan status gizi psikogeriatri dan pentingnya penilaian status gizi sebagai salah satu untuk menentukan keberhasilan terapi medis sehingga dapat berpengaruh terhadap mutu pelayanan rumah sakit. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai depresi dengan status gizi berdasarkan Mini Nutritional Assessment (MNA) pada pasien psikogeriatri belum banyak dilakukan oleh peneliti lain. Beberapa penelitian yang ada kemiripannya dengan penelitian ini adalah : 1. German et al. (2008) berjudul Depressive Symptom and Risk for Malnutrition among hospitalized Elderly People. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara depresi dengan risiko malnutrisi di rumah sakit lansia. Jenis penelitian cross sectional. Hasilnya Prevalensi depresi pada populasi yang diteliti adalah 28%. Skor MNA secara signifikan lebih rendah di antara pasien depresi dibandingkan dengan non-depresi (22,86 vs 24,96, p <0,001), menunjukkan risiko yang lebih tinggi untuk kekurangan gizi di kalangan orang-orang depresi. Setelah mengontrol umur, status kognitif, kemampuan fungsional, dan sejumlah penyakit, status gizi kurang secara bermakna dikaitkan dengan depresi (OR = 2,23, 95% CI: 1,04-4,8). Persamaan penelitian adalah jenis penelitian dan instrumen penelitian. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat penelitian dilaksanakan di rumah sakit jiwa, teknik pengambilan sampel (total populasi) dan subyek penelitian pasien psikogeriatri. 5 2. Khairani et al. (2009), berjudul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Lansia di Panti Sosial Meuligoe Jroeh Naguna Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Kesimpulannya, status gizi lansia mempunyai kecenderungan normal. Faktor yang mempengaruhi status gizi lansia adalah asupan energi dan faktor ekonomi. Kesamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian observasional dengan menggunakan rancangan cross sectional, teknik pengambilan sampelnya adalah total populasi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat penelitian dilaksanakan di rumah sakit jiwa dan menggunakan subyek penelitian pasien psikogeriatri. 3. Prasetyo et al. (2010) yang berjudul Pengaruh Hasil Skrining berdasarkan Metode MNA terhadap Lama Rawat Inap dan Status Pulang Pasien Lansia di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hasil skrining awal berdasarkan metode MNA terhadap lama rawat inap dan status pulan pasien lansia. Penelitian ini menggunakan rancangan studi kohor prospektif. Hasilnya bahwa hasil skrining dengan menggunakan MNA terhadap lama rawat inap dengan RR 1,63 dan RR 1,29 berdasarkan hasil skrining awal masuk rumah sakit terhadap status pulang. Persamaan dengan penelitian ini menggunakan metode MNA. Perbedaannya jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional dengan menggunakan rancangan cross sectional, subyek penelitian dan teknik pengambilan sampel. 4. Haripamilu et al. (2011) berjudul Perbedaan Status Gizi pada Lansia Depresi dan tidak Depresi di Panguyuban Among Yuswa Banteng Baru Kabupaten Sleman. Penelitian bersifat observasional dengan rancangan cross sectional. Hasilnya 69% subyek berstatus gizi overweight dan 34% yang mengalami depresi. Kesamaan penelitian ini adalah jenis penelitian cross sectional, instrumen depresi menggunakan GDS 15 dan teknik pengambilan sampelnya adalah total populasi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat penelitian dilaksanakan di rumah sakit, subyek penelitian dan variabel penelitian (status gizi) menggunakan metode MNA.