63 keikhlasan dalam beramal dan keridhaan terhadap Allah dan sebagainya harus ditanamkan kepada anak, karena jiwa anak yang masih labil dan ada pada masa transisi terkadang muncul di dalam dirinya rasa malu yang berlebihan sehingga menimbulkan kurang percaya diri. Sikap ini muncul ketika ia dihadapkan pada kondisi keluarga yang kurang mendukung, lingkugan di mana ia tinggal yang kurang harmonis, dan terkadang ejekan yag datang dari teman-temannya. Jika hal ini dibiarkan, maka terus menggelinding seperti bola salju, sehingga terkikislah moral dan kepribadian anak yang pada akhirnya ia kurang bisa menerima dirinya, keluarga dan lingkungannya. BAB III MANAJEMEN KOMUNIKASI PENDIDIKAN ISLAM A. Dasar-Dasar Komunikasi 1. Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan komponen yang sangat penting bagi seseorang dalam pergaulan sosial maupun dalam hubungan kerja. Dari komunikasi itu bisa diperoleh suasana yang akrab dan harmonis, bahkan kadang bisa mendamaikan dua pihak yang bertikai. Namun bisa juga sebaliknya, terjadi pertentangan, benturan, atau permusuhan karena komunikasi yang salah. Kesalahan komunikasi bisa menyangkut isinya atau acaranya. Acapkali terjadi kasus salah paham baik dalam pergaulan sosial maupun hubungan kerja. Misalnya seseorang berbicara dengan orang lain. Sebenarnya dia tidak memiliki keinginan menyinggung perasaan lawan bicaranya, tetapi ternyata lawan bicaranya tersebut tersinggung lantaran cara berkomunikasi yang salah. Ada ungkapan dalam bahasa arab yang patut direnungkan "salāmat al-insān fi 64 hifzi al-lisān" (keselamatan seseorang terletak dalam menjaga lisan) (Qomar, 2007: 251). Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin Communicatio yang berarti 'pemberitahuan' atau 'pertukaran pikiran'. Jadi. Secara garis besar, dalam suatu proses komunikasi haruslah terdapat unsur-unsur kesamaan makna agar terjadi suatu pertukaran pikiran dan pengertian antara komunikator (penyebar pesan) dan komunikan (Suprapto, 2009: 5). Sedangkan menurut Nasution (1996: 192) komunikasi adalah proses 68 pengiriman informasi dari satu orang kepada orang lain. Atau pemindahan informasi dari pengirim ke penerima yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Ini akan efektif bila informasi yang dipindahkan dimengerti dan terdapat umpan balik. Komunikasi baru bisa tercipta jika ada 2 orang yang ingin mendapatkan informasi. Karena pembahasan dalam kajian ini tentang pendidikan anak, maka proses komunikasinya adalah antara orang tua dan anak dalam keluarga. Oleh karena itu, agar komunikasi dapat berjalan dengan baik antara orang tua dan anak, maka harus senantiasa dikelola dengan baik. Menurut Jalaluddin Rahmat sebagaimana yang dikutip Qomar (2007: 252) mengatakan bahwa para pakar komunikasi sepakat dengan para psikolog bahwa kegagalan komunikasi berakibat fatal baik secara individual atau sosial. Hubungan persahabatan bisa berbalik menjadi permusuhan, dan ini bisa menjadi lebih fatal lagi, jika salah satu pihak tidak menyadari kesalahannya, sehingga tidak ada upaya untuk melakukan pendekatan-pendekatan yang mengarah pada rekonsiliasi (işlāh). 2. Komponen Komunikasi 65 Komponen komunikasi yang menjadi unsur-unsur utama untuk terjadinya proses komunikasi adalah komunikator sebagai pengirim pesan, pesan yang disampaikan, dan komunikan sebagai penerima pesan dari si pengirim (Djamarah, 2004: 13). Lebih lanjut Djamarah menjelaskan bahwa dalam kegiatan perkomunikasian, ketiga komponen itulah yang berinteraksi. Ketika suatu pesan disampaikan oleh komunikator dengan perantaraan media kepada komunikan, maka komunikator memformulasikan pesan yang akan disampaikannya dalam bentuk kode tertentu, yang sedapat mungkin dapat ditafsirkan oleh komunikan dengan baik. Berhasil tidaknya komunikasi atau tercapai tidaknya tujuan komunikasi tergantung dari ketiga komponen tersebut. Dilihat dari prosesnya, komunikasi dapat dibedakan menjadi komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan isyarat, gerak-gerik, gambar, lambang, mimik muka, dan lain sebagainya (Djamarah, 2004: 13). 3. Keberhasilan Komunikasi Ketercapaian tujuan komunikasi merupakan keberhasilan komunikasi. Keberhasilan itu tergantung dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik komunikasi, yaitu sebagai berikut: a. Pribadi komunikan. Pada aspek pribadi ini ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan: Pribadi harus dipandang sebagai kesatuan yang utuh, pribadi 66 itu dinamis, setiap pribadi mempunyai nilai sendiri, setiap pribadi itu unik, dan pribadi itu sukar dinilai. b. Arti kata dan kalimat. Setiap orang mengartikan kata sesuai dengan pengalaman hidupnya, maka dalam berkomunikasi, kata-kata kunci harus dijelaskan secara rinci dengan disertai contoh. c. Konsep diri. Ketepatan memahami konsep diri ini sangat membantu efektifitas komunikasi. d. Empati. Hal ini perlu diperoleh dari orang lain sehingga komunikasi bisa efektif karena ada kesamaan sudut pandang antara komunikator dan komunikan. e. Umpan balik. Komunikator dalam berkomunikasi perlu mendapatkan umpan balik dari komunikan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kesalahan/perbedaan tafsir (Qomar, 2007: 251). Menurut Terry (2008: 217) umpan balik itu tidak saja memberitahukan si pengirim apakah si penerima memahami pesan itu atau tidak, tetapi juga memberi peluang kepada si penerima untuk menyatakan pandangannya mengenai pesan itu. Hanyalah dengan tukar-menukar pemikiran-pemikiran ini komunikasi yang sebenarnya dapat dilakukan. Sedangkan jika ditinjau dari segi waktu, ada dua waktu umpan balik yaitu: a. Immediate feedback, terjadi biasanya pada komunikasi yang langsung, misalnya pada face to face communication. b. Deyed feedback, terjadi pada komunikasi yang menggunakan media, pada pelaksanaannya tertunda. (Widjaja, 1997: 24) 67 Di samping itu, ada delapan prinsip yang perlu dilakukan agar komunikasi bisa dikerjakan dengan efektif, yaitu: a. Berpikir dan berbicara dengan jelas. b. Ada sesuatu yang penting untuk disampaikan. c. Ada tujuan yang jelas. d. Penguasaan terhadap masalah. e. Pemahaman proses komunikasi dan penerapannya dengan konsisten. f. Mendapatkan empati dari komunikan. g. Selalu menjaga kontak mata, suara yang tidak terlalu keras atau lemah serta menghindari ucapan pengganggu. h. Komunikasi harus direncanakan (apa pesan yang ingin dikomunikasikan, siapa komunikan yang dituju, buatlah skenario yang jelas, dan hendaknya mempersiapkan diri agar menguasai masalah. (Qomar, 2007: 256). B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Berkomunikasi itu tidak mudah. Terkadang seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain. Di lain waktu seseorang tidak dapat berkomunikasi dengan baik kepada orang lain. Apa yang ingin disampaikan tidak dapat dimengerti dengan baik oleh orang lain. Sukarnya berkomunikasi dengan baik, karena yang berkomunikasi itu adalah manusia dengan segala perbedaannya. Setiap orang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri dalam bersikap, bertingkah laku, dalam melihat dunia lain, dalam memandang orang lain, dan dalam merasa diri. Dalam konteks itulah diyakini ada sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi, khususnya antara orang tua dan anak, yaitu: 1. Citra Diri dan Citra Orang Lain 68 Citra diri atau merasa diri, maksudnya sama saja. Ketika orang berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, dia mempunya citra diri, dia merasa dirinya sebagai apa dan bagaimana. Setiap orang mempunyai gambaran tertentu mengenai dirinya, status, kelebihan dan kekurangan. Gambaran itulah yang menentukan apa dan bagaimana ia bicara, menjadi nyaring bagi apa yang dilihatnya, didengarnya, bagaimana penilaiannya terhadap segala yang berlangsung di sekitarnya. Dengan kata lain, menurut Lunandi (2001: 23) bahwa citra diri menentukan ekspresi dan persepsi orang. Manusia belajar menciptakan citra diri melalui hubungan dengan orang lain, terutama manusia lain yang dianggap penting bagi dirinya, seperti ayah, bunda, guru, atau atasan. Melalui kata-kata atau komunikasi tanpa kata (perlakuan, pandang mata, dan sebagainya) dari orang lain ia mengetahui apakah dirinya dicintai atau dibenci, dihormati atau diremehkan, dihargai atau direndahkan (Lunandi, 2001: 23) Ketika seorang ayah berbicara kepada anaknya, ia mempunyai citra diri tertentu. Ayah yang satu misalnya, merasa dirinya sebagai bapak, yang menganggap dirinya serba tahu, lebih tahu daripada anaknya, kepala keluarga yang harus ditaati, pencari nafkah yang harus dihormati. Sementara ayah yang lain mungkin merasa dirinya sebagai bapak, walaupun mempunyai banyak pengalaman, tetapi ia menyadari pengalamannya itu berbeda dengan anaknya, sebagai kepala keluarga ia menyadari harus membahagiakan anaknya, sebagai pencari nafkah, ia menyadari belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Kedua ayah tersebut memiliki citra diri yang berbeda. Kedua ayah dengan citra yang berbeda itu akan berkomunikasi dengan anaknya dengan cara yang berbeda pula. Boleh jadi, citra diri dari kedua ayah yang 69 berlainan itu melahirkan sikap dan perilaku yang otoriter atau demokratis dalam memperlakukan anak. Tidak hanya citra diri, citra orang lain juga mempengaruhi cara dan kemampuan orang berkomunikasi. Orang lain mempunyai gambaran yang khas bagi dirinya. Jika seorang ayah mencitrakan anaknya sebagai manusia yang lemah, ingusan tak tahu apa-apa, harus diatur, harus diawasi, maka ia berbicara kepada anaknya itu secara otoriter, yaitu lebih banyak mengatur, melarang, atau memerintah. Tetapi, jika seorang ayah mencitrakan anaknya sebagai manusia cerdas, kreatif, dan berpikiran sehat, maka ia akan mengkomunikasikan sesuatu kepada anaknya dalam bentuk anjuran daripada perintah, pertimbangan daripada larangan, kebebasan terpimpin daripada banyak mengatur (Lunandi, 2001: 24) Dengan demikian, citra diri dan citra orang lain saling berkaitan, dan melengkapi. Perpaduan kedua citra tersebut menentukan gaya dan cara komunikasi. 2. Suasana Psikologis Suasana psikologi diakui mempengaruhi komunikasi. Komunikasi sulit berlangsung bila seseorang dalam keadaan sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, diliputi prasangka dan suasana psikologis lainnya. Seseorang sedih karena kematian ayahnya atau ibunya misalnya, sulit diajak bicara, karena suasana hatinya dalam keadaan duka cita, seseorang tidak mampu mengungkapkan kalimat dengan sempurna. Derasnya air mata yang keluar karena tangis kesedihan, sebagai bertanda bahwa gejolak emosinya lebih dominan dari pada akal pikirannya, sehingga dia lebih banyak 70 menampilkan luapan emosinya yang terkadang tak terkendali, dan ketika itu sulit untuk diajak bicara (Djamarah, 2004: 64). Seseorang dalam keadaan marah lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu amarahnya, sehingga sulit untuk diajak bicara. Karena amarahnya, seseorang sulit untuk dikendalikan oleh orang lain. Karena lepas dari kendali akal sehat, ucapan yang keluar dari mulutnya teramat menyakitkan untuk didengar. Bahkan disela-sela marah itu, seseorang memukul tubuh orang yang dimarahi. Kemarahan ternyata mempersempit kesempatan bicara. Orang kena marah merasa takut dan cemas, bingung dan serba salah, apa dan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku ketika itu. Dalam suatu kesempatan orang yang kena marah itu bisa saja menghindar darinya, menjahui orang yang memarahi itu. Tetapi jika ada keberaniaan, orang yang kena marah itu melakukan serangan balik, mengadakan perlawanan dengan kata-kata yang juga kasar. Demikianlah, kemarahan dapat menghambat komunikasi sampai pada batas-batas tertentu. 3. Lingkungan Fisik Komunikasi dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja, dengan gaya dan cara berbeda. Komunikasi yang berlangsung dalam keluarga berbeda dengan yang terjadi di sekolah. Karena memang kedua lingkungan ini berbeda. Suasana di rumah bersifat informal, sedangkan suasana di sekolah bersifat formal. Demikian juga komunikasi yang berlangsung di masyarakat. Karena setiap masyarakat memiliki norma yang harus ditaati, maka komunikasi yang berlangsung pun harus taat norma (Djamarah, 2004: 65). Dalam etnik keluarga tertentu memiliki tradisi tersendiri yang harus ditaati. Kehidupan keluarga yang menjunjung tinggi norma agama memiliki 71 tradisi yang berbeda dengan kehidupan keluarga yang meremehkan norma agama. Demikian antar keluarga kaya dan keluarga miskin memiliki gaya kehidupan yang berbeda. Kehidupan keluarga terdidik tidak bisa disamakan dengan kehidupan keluarga tak terdidik. Kehidupan keluarga dengan semua perbedaan itu memiliki gaya dan cara komunikasi yang berlainan. Oleh karena itu, lingkungan fisik, dalam hal ini lingkungan keluarga, mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi. 4. Kepemimpinan Menurut Cragan seperti yang dikutip Rahmat (2004: 165) kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif mempengaruhi kelompok untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. Seorang pemimpin dapat ditunjuk atau muncul setelah proses komunikasi kelompok. Berkaitan dengan lingkungan keluarga, maka seorang pemimpin mempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Seorang pemimpin, tidak hanya dapat mempengaruhi anggota keluarga lainnya yang dipimpin, tetapi juga dapat mempengaruhi kondisi dan suasana kehidupan sosial dalam keluarga. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bila dalam masyarakat etnik tertentu ditemukan tradisi keluarga yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, yang disebabkan cara kepemimpinan yang berlainan. Dalam etnik keluarga tertentu, yang bertindak sebagai pemimpin adalah ayah. Sedangkan istri atau ibu bertindak sebagai pendamping. Baik ayah atau ibu bersama-sama, dan diharap sepaham dalam mengambil kebijakan dalam segala hal, terutama dalam hal mendidik anak. Walaupun berbagai kebijakan yang diambil dalam penataan kehidupan berumah tangga 72 itu lebih banyak ditentukan oleh ayah, tetapi andil seorang istri dalam memberikan pemikiran tentu masih diperhatikan dan dipertimbangkan. Cara kepemimpinan yang ditampilkan dalam sikap dan perilaku oleh seorang pemimpin tidak selalu sama. Bisa saja untuk etnik keluarga tertentu cara kepemimpinan orang tua lebih banyak otoriter daripada demokratis. Sedang untuk etnik keluarga yang lain cara kepemimpinan orang tua lebih banyak demokratis daripada laissez-faire dan tidak berkenan sama sekali memberlakukan cara kepemimpinan otoriter. Semua tergantung pada kemauan orang tua dalam memimpin, yang ingin membimbing dan mendidik anak mereka agar menjadi anak yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Menurut Rahmat (2001: 103) kepemimpinan otoriter ditandai dengan keputusan dan kebijakan yang seluruhnya ditentukan oleh pemimpin orang tua. Kepemimpinan demokratis menampilkan pemimpin yang mendorong dan membantu anggota keluarga untuk membicarakan dan memutuskan semua kebijakan. Kepemimpinan laissez-faire memberikan kebebasan penuh bagi anggota keluarga untuk mengambil keputusan individual dengan partisipasi orang tua yang minimal. Dalam konteks pendidikan dalam keluarga, maka tipe kepemimpinan orang tua dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pendidikan anak, sebab akan melahirkan cara komunikasi yang berbeda sehingga suasana kehidupan keluarga yang terbentuk pun berlainan. Dalam kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa dalam etnik keluarga tertentu, karena orang tua mendidik anak-anak mereka bermacam-macam, maka lahirlah anak-anak dengan karakteristik mereka masing-masing. Suatu keluarga yang agamis dan akrab dengan ritual keagamaan cenderung melahirkan anak yang taat pada 73 ajaran agama. Sedangkan suatu keluarga yang anti agama cenderung melahirkan anak yang ateis. (Djamarah, 2004: 69-70) Karena tipe kepemimpinan dapat mempengaruhi cara komunikasi, maka keharmonisan hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga dipengaruhi oleh kepemimpinan orang tua dengan segala kebaikan dan kekurangannya. Tetapi, tipe kepemimpinan yang bagaimana pun yang digunakan oleh orang tua untuk mempengaruhi anak atau mendidik anak, yang pasti adalah bahwa setiap kali orang tua melakukan komunikasi kepada anak selalu menciptakan hubungan yang berbeda. Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter, meski tidak disukai oleh kebanyakan orang, karena menganggap dirinya sebagai orang tua paling berkuasa, paling mengetahui dalam segala hal, tetapi dalam etnik keluarga tertentu masih terlihat dipraktikkan. Dalam praktiknya tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter cenderung ingin menguasai anak. Perintahnya harus selalu dituruti dan tidak boleh dibantah. Akan kurang diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan dalam bentuk penjelasan, pandangan, pendapat atau saran-saran tanpa melihat kepentingan pribadi anak, yang penting instruksi orang tua harus dituruti. Menurut Wursanto, seperti yang dikutip (Djamarah, 2004: 71) tipe kepemimpinan orag tua yang otoriter selain ada keuntungannya, juga ada kelemahannya. Anak yang selalu taat perintah adalah di antara keuntungannya. Sedangkan kelemahannya adalah kehidupan anak statis, hanya menunggu perintah, kurang kreatif, pasif, miskin inisiatif, tidak percaya diri, dan sebagainya. 74 Lebih lanjut Wursanto menjelaskan bahwa berbeda dengan tipe kepemimpinan yang demokratis atau otoriter, tipe kepemimpinan orang tua yang laissez-faire memberikan cukup kebebasan kepada anak untuk mengambil kebijakan sendiri dalam menghadapi sesuatu. Orang tua menyerahkan segala sesuatunya kepada anak; entah dalam menentukan tujuan, langkah-langkah dari suatu kegiatan yang akan diambil, sarana atau alat yang akan dipergunakan. Tipe kepemimpinan orang tua yang cenderung liberal ini membuat orang tua bersifat pasif dan tidak ada inisiatif, karena orang tua tidak terlibat langsung dalam kegiatan anak. Orang tua seolah-olah hany bertindak sebagai penonton, meskipun ia berada di tengah-tengah anak-anaknya dalam keluarga. 5. Bahasa Dalam komunikasi verbal orang tua atau anak pasti menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan sesuatu. Pada suatu kesempatan bahasa yang dipergunakan oleh orang tua ketika berbicara kepada anaknya dapat mewakili suatu obyek yang dibicarakan secara tepat. Tetapi di lain kesempatan, bahasa yang dipergunakan itu tidak mampu mewakili suatu obyek yang dibicarakan secara tepat. Seringkali penafsiran seseorang bermacam–macam terhadap bahasa yang digunakan itu, disebabkan penggunaan bahasa (dalam konteks budaya) dengan maksud agar lebih sopan atau menghilangkan kesan jelek, atau supaya tidak menyinggung perasaan suatu kelompok. Ada beberapa frase yang memungkinkan seseorang menafsirkan tidak sesuai dengan harapan pembicara. Misalnya, "Buang air besar", "Buang air kecil", "kita harus mengencangkan ikat pinggang", "Jangan mengungkit-ngungkit kemaluan orang lain".(Djamarah, 2004: 71) 75 Lebih lanjut Djamarah (2004: 72) menjelaskan bahwa penggunaan bahasa dipengaruhi oleh budaya keluarga di daerah tertentu. Oleh karena itu, setiap daerah memiliki kata-kata tertentu dengan maksud tertentu dan bisa bermakna lain di daerah tertentu. Kata "tahi" misalnya, dalam konteks bahasa Indonesia dibakukan berarti ampas makanan dari dalam perut yang keluar dari dubur. Jadi, di sini semakna dengan kotoran. Sedangkan dalam konteks budaya kata "tahi" itu memiliki makna yang lain. Bila orang kapuas mengatakan:"kamu guru tali" itu artinya seorang guru yang dianggap pengalaman dalam mengjar dan mendidik anak sekolah. Berbagai bahasa yang digunakan di daerah lain sering tersisip dalam komunikasi. Karena bahasa yang dipakai itu terasa asing dan tidak pernah mendengar, seseorang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh lawan bicara. Akibatnya komunikasi mengalami hambatan dan pembicara tidak komunikatif. 6. Perbedaan Usia Komunikasi dipengaruhi oleh usia. Itu berarti, setiap orang bisa berbicara sekehendak hati tanpa memperhatikan siapa yang diajak bicara. Berbicara kepada anak kecil berbeda ketika berbicara kepada remaja. Mereka mempunyai dunia masing-masing harus dipahami. Selain kemampunan berpikir yang berbeda, anak juga memiliki kemampuan bahasa yang terbatas. Secara umum, rentang berpikir anak itu bergerak dari konkrit ke yang abstrak. Pergerakan dari berpikir konkrit kepada berfikir abstrak seiring dengan peningkatan usia anak. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi harus sesuai dengan tingkat usia dan pengalaman anak. (Djamarah, 2004: 72). 76 Dalam berkomunikasi, orang tua tidak bisa menggiring cara berpikir anak ke dalam cara berpikir orang tua. Karena anak belum mampu untuk melakukannya. Dalam berbicara, orang tualah yang seharusnya mengikuti cara berpikir anak dan menyelami jiwanya. Bila tidak, maka komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Jadi, orang tua jangan terlalu egois untuk memaksa anak menuruti cara berpikir orang tua. Jadilah pendengar yang baik. Orang tua yang bijksana adalah orang tua yang pandai menempatkan diri menjadi pendengar yang baik bagi anaknya. Apa yang anak sampaikan bila didengar oleh orang tua, maka anak merasa dihargai. Penghargaan kepada anak ketika berbicara adalah penting demi membangun hubungan baik antara orang tua dan anak. Mengajak anak duduk sambil diselingi perbincangan di seputar kehidupan anak merupakan salah satu taktik untuk menyelami jiwa anak dan mengetahui perkembangan bahasa anak. Dengan begitu, orang tua dapat mempertimbangkan penggunaan bahasa yang akan dipakai ketika berbicara kepada anak demi mencapai kualitas komunikasi. C. Dasar-Dasar Manajemen Sebelum dibahas tentang manajemen komunikasi dalam perspektif pendidikan Islam, maka perlu dipaparkan terlebih dahulu seluk beluk manajemen secara umum yang terdiri dari pengertian manajemen, karakteristik manajemen, arti penting manajemen, arti dan peran manajemen pada komunikasi. 1. Pengertian Manajemen Aktivitas manajemen pada setiap lembaga atau organisasi yang pada umumnya berkaitan dengan usaha mengembangkan suatu tim kerja sama atau 77 kelompok orang dalam satu kesatuan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan tertentu dalam organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, setiap bentuk kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan, tentu memerlukan manajemen. Manajemen berasal dari kata manage dan dalam bahasa Latin manus, yang berarti memimpin, mengatur atau membimbing. (2009: 121) Menurut Koonts dan O'Dannel seperti yang dikutip Suprapto (2009: 121) manajemen diartikan sebagai pelaksanaan sesuatu dengan menggunakan orang lain. Dari batasan itu, menunjukkan bahwa sebagai fenomena sosial atau sebagai praktik, manajemen telah ada sejak seseorang menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan menurut George T. Terry manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, penggiatan, dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumbersumber lainnya. Dari batasan pengertian manajemen tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi pokok atau tahapan-tahapan dalam manajemen yaitu suatu proses dari tindakan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Perencanaan (planning) Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan serangkaian keputusan untuk mengambil tindakan di masa yang akan datang yang diarahkan kepada tercapainya tujuan-tujuan dengan sarana yang optimal. Perencanaan ini menyangkut apa yang akan dilaksanakan, kapan 78 dilaksanakan, oleh siapa, di mana dan bagaimana dilaksanakannya (Arikunto, 2008: 9) Menurut Suprapto (2009: 123) perencanaan yang dimaksud adalah perencanaan yang mencakup penetapan tujuan dan standar, penentuan dan prosedur, pembuatan rencana serta ramalan (prediksi) yang diperkirakan akan terjadi. b. Pengorganisasian (organizing) Pengorganisasian adalah usaha untuk mewujudkan kerjasama antar manusia yang terlibat kerjasama tersebut (Arikunto, 2008: 10). Pengorganisasian merupakan proses pemberian tugas, pengalokasian sumber daya serta pengaturan kegiatan secara terkoordinasi kepada setiap individu dan kelompok untuk menerapkan rencana. Fungsi pengorganisasian di sini meliputi pemberian tugas yang terpisah kepada masing-masing pihak, membentuk bagian, mendelegasikan dan menetapkan jalur suatu wewenang/tanggung jawab dan sistem komunikasi, serta mengkoordinasi kerja setiap personel (guru/staf tata usaha) di dalam suatu tim kerja yang solid dan terorganisasi. (Suprapto, 2009: 123). c. Pengarahan (leading) Pengarahan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pimpinan untuk memberikan penjelasan, petunjuk serta bimbingan kepada orang-orang yang menjadi bawahannya sebelum dan selama melaksanakan tugas (Arikunto, 2008: 10). Sedangkan menurut Suprapto (2009: 123) pengarahan adalah proses untuk menumbuhkan semangat pada bawahan (guru/staf/karyawan) supaya bekerja giat serta membimbing mereka melaksanakan rencana dalam 79 mencapai tujuan. Fungsi pengarahan meliputi membuat orang lain melakukan pekerjaan, mendorong dan memotivasi bawahan, serta menciptakan iklim atau suasana pekerjaan yang kondusif, khususnya dalam metode komunikasi dari atas ke bawah dan sebaliknya, diharapkan timbulnya saling pengertian dan kepercayaan yang baik. Menumbuhkan disiplin kerja dan sense of belonging pada setiap personel. d. Pengkoordinasian (Coordinating) Pengkoordinasian adalah suatu usaha yang dilakukan pimpinan untuk mengatur, menyatukan, menserasikan, mengintegrasikan semua kegiatan yang dilakukan oleh bawahan (Arikunto, 2008: 12). e. Pengkomunikasian (Communicating) Komunikasi adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pimpinan lembaga untuk menyebarluaskan informasi yang terjadi di dalam maupun hal-hal di luar lembaga yang ada kaitannya dengan kelancaran tugas mencapai tujuan bersama. f. Pengawasan (controlling) Fungsi terakhir manajemen ini mencakup persiapan suatu standar kualitas dan kuantitas hasil kerja yang diberikan oleh suatu organisasi dalam upaya pencapaian tujuan kepuasan bersama, produktifitas dan tercapainya citra yang positif. (Suprapto, 2009: 124) 2. Karakteristik Manajemen Dari beberapa definisi manajemen yang telah disebutkan, dapat dicatat beberapa karakteristik dari manajemen sebagai berikut: 80 a. Manajemen merupakan perpaduan antara ilmu dan seni untuk mencapai tujuan organisasi. b. Manajemen adalah proses yang sistematis terkoordinasi dan kooperatif dalam usaha memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya. c. Manajemen mempunyai tujuan tertentu, berhasil tidaknya tujuan itu tergantung pada kemampuannya dalam menggunakan segala potensi yang ada. d. Manajemen merupakan sistem kerja sama yang kooperatif dan rasional. e. Manajemen didasarkan pada pembagian kerja, tugas, dan tanggung jawab yang teratur. (Suprapto, 2009: 125-126) 3. Arti penting Manajemen Manajemen hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh lembaga atau organisasi bersangkutan. Manajemen yang baik akan memudahkan terwujudnya tujuan lembaga pendidikan. Manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi karena tanpa manajemen, semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan lebih sulit. Handoko seperti yang dikutip Suprapto (2009: 127) menyebut ada 3 alasan utama yang diperlukan manajemen. a. Untuk mencapai tujuan. Manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi dan pribadi b. Untuk menjaga keseimbangan di antara tujuan–tujuan saling bertentangan. Manajemen dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan, sasaran-sasaran, dan kegiatan-kegiatan yang saling bertentangan dari pihak–pihak yang berkepentingan dalam organisasi. 81 c. Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Suatu kerja organisasi dapat diukur dengan banyak cara yang berbeda. Salah satu cara yang umum adalah efisiensi dan efektifitas. Efisiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar. Sedangkan efektifitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 4. Arti dan Peran Manajemen dalam Proses Komunikasi Seperti yang telah dipahami bahwa setiap kegiatan komunikasi memerlukan tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut harus melalui beberapa pentahapan, yakni sejak ide itu diciptakan oleh sumber sampai dengan dipahaminya ide tersebut oleh komunikan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan komunikasi secara efektif, maka setiap pentahapan dalam proses komunikasi perlu dikelola secara efektif. Menurut Effendy seperti yang dikutip Suprapto (2009: 128) bahwa kegiatan komunikasi ialah kegiatan yang digunakan untuk mempertemukan sumber dengan sasaran khalayak guna mencapai tujuan tertentu. Jika kita merujuk pada pengertian ini, maka setiap hubungan antar manusia, yang menggunakan media tatap muka atau media massa, maupun tradisional, modern atau media on line guna mencapai tujuan tertentu. Hal itu merupakan sebuah fenomena dari aktivitas komunikasi yang paradigmatis atau komunikasi yang berpola untuk mencapai tujuan. Setiap manusia di dunia selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dengan banyak melakukan aktivitas komunikasi tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam setiap proses komunikasi itu diharapkan untuk 82 memberikan pengaruh terhadap peningkatan pengatahuan, wawasan, dan diharapkan mampu mengubah sikapnya. Esensi dari kegiatan komunikasi adalah tercapainya tujuan diselenggarakannya kegiatan komunikasi tersebut. Salah satu definisi komunikasi dari Hovland menyatakan komunikasi adalah proses di mana seseorang individu atau komunikator mengoperasikan stimulus biasanya dengan lambang-lambang bahasa (verbal maupun nonverbal) untuk mengubah perilaku individu lain. Menyimak dari definisi tersebut, maka salah satu tujuan komunikasi adalah mengubah tingkah laku individu. Untuk mencapai itu harus melalui berbagai tahapan atau proses komunikasi dengan pendekatan manajerial. Pendekatan manajemen dibutuhkan oleh setiap organisasi karena tanpa manajemen, semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan lebih sulit. Menurut Handoko seperti yang dikutip Suprapto (2009: 131) salah satu alasan utama diperlukan manajemen adalah untuk mencapai tujuan organisasi atau pribadi. Oleh karena itu, agar komunikasi dapat mencapai tujuan secara efektif maka setiap unsur yang ada dalam proses komunikasi perlu dikelola sedemikian rupa dengan mengaitkan beberapa fungsi manajemen, yakni fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengendalian, dan pengawasan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara sederhana manajemen komunikasi adalah manajemen yang diterapkan dalam kegiatan komunikasi. Ini berarti manajemen akan berperan atau sebagai penggerak aktivitas komunikasi dalam usaha pencapaian tujuan komunikasi (Suprapto, 2009: 132). 83 D. Manajemen Komunikasi: Sebuah Perspektif Pendidikan Islam Dalam konteks ini, maka upaya untuk membangun manajemen komunikasi diperlukan suatu pendekatan. Pendekatan yang diambil di sini dalam perspektif normatif-Islami. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa manajemen komunikasi dalam perspektif Islam, berarti suatu pengelolaan komunikasi yang bersumber dari prinsip etika komunikasi dalam Islam yaitu perkataan yang sopan dan santun, halus budi bahasanya, dengan kepribadian yang mulia, kejujuran dan keterbukaan yang tercermin dalam setiap sikap dan perilaku dalam berkomunikasi. Teks al-Qur’an yang berkaitan dengan komunikasi adalah sebagai berikut: @ ¼ " 5 !4 ?@ "¼ 5 "¼"¼ 5 5 "¼ 5 kse 3 al ¼ " "¼"¼ !4 ?@ ¼"¼ " "¼ ¼ٰ" "¼ ¼ " "¼ @!4 ? ¼ " "¼ "¼ "¼"¼ ¼ " " ¼ "¼ 5 5 "¼ ¼ " "¼ 5 t.¼ li " ih su eb @l @ ٣־١@ úôü¼ "¼ ¼"¼ !4@" ? !4 ?@ "¼ 5a ¼"¼ " "¼ @ Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta dan nasihatmenasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menaati kesabaran” (Departemen Agama RI, 1989: 1099) @ ١٧4 angür 4 le 4al sa an m 4 akrj nge n4 m a da ri g n4 be na y 5r 4 4 4 4ٰ 4 4 4 09 ? 4 5a 5a 5a 4 4 4 Artinya: “ Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang” (Departemen Agama RI, 1989: 1062) Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa antara sesama orang-orang mukmin hendaknya selalu melakukan komunikasi dengan saling berpesan untuk bersabar dan berkasih sayang (menyayangi) tanpa membedakan ras. Suku bangsa maupun warna kulit dan lain sebagainya. 84 Pada ayat lain dijelaskan bahwa Allah telah mengajari manusia berkomunikasi, dengan menggunakan akal dan kemampuan berbahasa yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Firman Allah SWT: 4 5 5 5 5 4 ganrü 4 .g 5an ür ô sô ô sô an ? 4 4 44 5 .5ô sô 44 4 4 g44 an ür 4 4 44 5 .5ô sô 44 ô gs an ür 4 4 44 5 .5na ? 44 an ? Artinya:"Tuhan yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan al-Qur'an. Dia menciptakan manusia. Dia mengajarkannya (manusia) pandai berbicara/berkomunikasi". (Departemen Agama RI, 1989: 885) Seperti yang dikutip Mujammil Qomar (2007: 252) al-Syaukani dalam Fath al-Qadīr, mengartikan al-bayān sebagai kemampuan berkomunikasi. Selain al-bayān, kata kunci untuk komunikasi yang banyak disebut dalam al-Qur'an adalah al-qawl. Menurut Djamarah (2004: 105) ada enam prinsip etika komunikasi dalam Islam yaitu: 1. Qawlan Karīma (perkataan yang mulia) Perkataan yang mulia dalam konteks Indonesia menurut Qomar (2007: 254) bisa diwujudkan dalam bentuk perkataan yang senantiasa menghargai orang lain, menyanjung, memuji, dan mengandung pesan-pesan yang sangat bermakna. Islam mengajarkan agar mempergunakan perkataan yang mulia dalam berkomunikasi dengan siapa pun terutama kepada orang tua. Firman Allah SWT: "ô "ô a 5 ô "ô" 5a "ô"ô 5a 5a "ô "ô "ô 5a ô " ô " ô " ô T":?W ô " T :?W "ô5a "ô 5a 5a "ô 5a :T ?W "ô 5a a 5 ô " "ô 5 ô " T :?W ô"ô ô" "ô " "ô 5 ô " 5a "ô ô T":?W "ô ô " "ô (٢٣:üú¼ ¼ ) 5 "ô ô " "ô 5a "ô "ô T:?W ô"ô " 5a "ô ô ":T ?W "ô a 5 ô"ô"ô " "ô 5 "ô 5a ô " T:W ? ô"ô " 5a "ô ô " "ô 5 "ô "ô "ô ¼ ¼üú 5a "ô"ô 85 Artinya:"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan” ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia". (Departemen Agama RI, 1989: 427) Qawlan karīma pada ayat tersebut diartikan dengan perkataan yang baik, lembut dan penuh kebaikan dan penghormatan. (Shihab, 2004: 443). Ayat tersebut dapat dipahami bahwa berkata kasar kepada orang tua dilarang karena bisa menyakiti perasaan orang tua. Penghormatan kepada orang tua tidak selalu ditampilkan dalam sikap dan perilaku yang baik, tetapi melalui perkataan yang sopan pun juga dinilai sebagai penghormatan anak kepada orang tua. Qawlan karīma jika dikaitkan dalam konteks pendidikan terutama pada zaman modern ini maka ayat tersebut sangat tepat untuk dijadikan pedoman oleh orang tua selaku pendidik agar selalu menggunakan perkataan yang tidak kasar (lembut) dalam memberikan pendidikan agama kepada anak, sehingga anak dengan mudah menerima pendidikan tersebut dan melaksanakan apa yang disampaikan orang tua. 2. Qawlan Sadīda (perkataan yang benar/lurus) Berkata benar memberikan efek psikologis yang positif terhadap jiwa seseorang. Orang yang selalu berkata benar adalah orang yang sehat jiwanya. Perasaannya tenang, senang, dan bahagia, jauh dari resah dan gelisah. Siapa pun menyukai orang yang jujur, karena ia dapat dipercaya untuk mengemban amanat yang diberikan. Firman Allah SWT: 86 d re et gis nRes tia fr m @o a ?p ar a ?p M¼ ô46 ü¼ ra ar 4:6 04 ü f it am46 r @o M¼ @ ô ü¼ f ti am r @o 4:0 ü0 46 d a re ?p et si nRe g s 6 4 @ @ 6 4 ¼ü M ô 64t)ub ar (lemas 46 Artinya:"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar". (Departemen Agama RI, 1989: 116) Ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam mengajarkan umatnya agar tidak meninggalkan generasi yang lemah dan agar selalu berkomunikasi dengan mengucapkan perkataan yang jujur antar anggota keluarga. Qawlan sadīda jika dikaitkan dalam konteks pendidikan anak dalam keluarga, perkataan benar ini penting. Orang tua yang selalu berkata benar kepada anak, maka anak pun akan berkata benar juga dan tidak suka berbicara dusta. Oleh karena itu, benar tidaknya anak berkata sangat bergantung bagaimana cara orang tua berbicara. Perkataan yang benar harus tertanamkan dalam diri anak sehingga apa yang anak katakan selalu mengandung kebenaran. 3. Qawlan Ma'rūfa (perkataan yang baik) Menurut Qomar (2007: 254) perkataan yang baik merupakan perkataan yang bermanfaat dan tidak jorok. Firman Allah SWT: M" @ @ M" M " ô 5¼ … "M M " lan w"M 3a "M sa ¼ú ú ? ô …ô¼ 5¼ ú¼ ?ú ¼ ú ?ú ar ta "M s üu nal w 3a a st"M üu M"M"M " a "M st üu M"M anl " w 3a ¼ ú ?ú M" Artinya:"Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima) Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun". (Departemen Agama RI, 1989: 66) 87 Ayat tersebut dapat dipahami bahwa perkataan yang baik, dan selalu memaafkan kesalahan orang lain nilainya lebih baik dibandingkan bersedekah yang diikuti dengan kata-kata kasar dan kotor yang dapat menyakiti hati orang yang diberi sedekah. Qawlan ma'rūfa tersebut jika dikaitkan dalam konteks pendidikan anak dalam keluarga, maka sangat relevan bagi orang tua agar selalu mengajari dan mendidik anak dengan perkataan yang baik dan memperingati serta melarang anak untuk berkata yang tidak baik dan kotor, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dengan demikian, anak akan disenangi dan diterima dengan baik oleh keluarga, teman sepermainan, teman sekolah bahkan oleh masyarakat sekitar. 4. Qawlan Balīgha (perkataan yang efektif/keterbukaan) Dalam konteks komunikasi, qawlan balīgha berarti fasih, jelas maknanya, terang dan tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. (Qomar, 2007: 254). Sedangkan menurut Djamarah (2004: 10) qawlan balīgha diartikan sebagai komunikasi yang efektif. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT: n daü n r la ' wMa @a ôË 5f it ma r @o .n i du la id ukiv in aer il na na g ya ki ta rkeg de at4ô a p di ' " @ '" ' " 5 ¼ ôú ôË5 t Ëbu es5ô t er a @y ô 4 4ô al ? a l ?a a sh ô 4 ar "' '" Artinya:"Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka". (Departemen Agama RI, 1989: 129) 88 Ayat tersebut dapat dipahami bahwa komunikasi itu efektif bila perkataan yang disampaikan itu berbekas di jiwa. Artinya apa yang dikomunikasikan itu secara terus terang, tidak bertele-tele, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju. Qawlan balīgha jika dikaitkan dalam konteks pendidikan maka sangat tepat untuk dijadikan pedoman bagi orang tua (pendidik, guru) agar ketika berbicara kepada anak, orang tua harus memahami jiwa dan alam pikiran anak. Imam Ali r.a. pernah menyarankan agar pendidik (orang tua, pendidik/guru) agar berbicara dengan anak didik sesuai dengan tingkat kedewasaannya (usianya). Oleh karena itu, maka orang tua harus menggunakan kata-kata yang cukup sederhana, disesuaikan dengan tingkat intelektualitas anak, jauh dari pembicaraan yang rumit, dan bertele-tele. Dengan demikian, anak akan lebih siap dan lebih kuat menerimanya. Orang tua harus mengetahui strategi untuk mewujudkan qawlan balīgha ini demi keberhasilan pendidikannya kepada anak. Ada dua strategi untuk mewujudkan qawlan balīgha: Pertama, qawlan balīgha terjadi bila komunikator (orang tua) menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak (anak) yang dihadapinya. Kedua, qawlan balīgha terjadi bila komunikator (orang tua) menyentuh hati dan otak (anak) sekaligus. Qomar (2007: 254) 5. Qawlan Layyina (perkataan yang lemah lembut) Islam mengajarkan agar menggunakan komunikasi yang lemah lembut kepada siapa pun. Perkataan lemah lembut ini diperintahkan Allah SWT seperti dalam firman-Nya: 89 9 " @ 9" 9" "9 .a ny api ad"9 g dih n ya ua d üe :7 0 254)g .dan Se au d üe 9 a " du üe … ô¼ ô ü¼ Artinya:"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Departemen Agama RI, 1989: 480) Qawlan layyina pada ayat tersebut jika dikaitkan dalam konteks pendidikan orang tua kepada anak dalam keluarga, maka orang tua sebaiknya berkomunikasi pada anak dengan cara lemah lembut, tanpa emosional, tanpa caci maki, jauh dari kekerasan dan permusuhan. Dengan menggunakan komunikasi yang lemah lembut, selain ada perasaan bersahabat yang menyusup ke dalam hati anak, ia juga berusaha menjadi pendengar yang baik dan dengan senang hati menuruti perintah itu. 6. Qawlan Maisūra (perkataan yang pantas) Dalam al-Qur'an terdapat istilah qawlan maisūra yang merupakan salah satu tuntunan untuk melakukan komunikasi dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti dan melegakan perasaan. (Djamarah, 2004: 113). Firman Allah SWT: @ n 5am al is w @a a k üa n s la i wma @a r m ?i a m" r ?i a 3(an k) a ain wn"yl la @a ay ya 3 n )ü1 a.ar nci m kabsupe yei ne a " @ a" a" ü13). m ri ? "a @ a" @ 90 Artinya:"Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas." (Departemen Agama RI, 1989: 428) Qawlan maisūra pada ayat tersebut diartikan sebagai perkataan yang mudah yang tidak menyinggung perasaannya dan yang melahirkan harapan dan optimisme Shihab (2005: 453). Sedangkan menurut Rahmat, seperti yang dikutip Djamarah (2004: 113) qawlan maisūra sebenarnya lebih tepat diartikan "ucapan yang menyenangkan," lawannya adalah ucapan yang menyulitkan. Qawlan maisūra jika dikaitkan dalam konteks pendidikan maka sangat penting bagi orang tua selaku pendidik agar selalu melakukan komunikasi yang menyenangkan dan menggembirakan dengan anak. Karena komunikasi seperti ini dapat mengakrabkan hubungan antara orang tua dan anak. Efek psikologisnya adalah dapat mengakrabkan hubungan batin antara orang tua dan anak. Kapan dan di manapun berada, anak selalu merindukan orang tuanya, anak rindu bicara, anak rindu senda gurau, anak rindu belaian kasih sayang, anak rindu bermanja-manja, dan sebagainya dengan orang tuanya. Semua kerinduan itu sebagai buah dari komunikasi yang menyenangkan. Oleh karena itu, komunikasi yang baik lagi menyenangkan membuahkan kerinduan dalam keakraban hubungan antara anak dan orang tua dalam keluarga. Sebaliknya jika tidak terdapat komunikasi yang baik dan menyenangkan antara orang tua dan anak, maka tentu anak akan bersikap apati, tidak lagi mengharapkan kasih sayang dan kerinduan orang tua.