63 keikhlasan dalam beramal dan keridhaan terhadap Allah dan

advertisement
63
keikhlasan dalam beramal dan keridhaan terhadap Allah dan sebagainya harus
ditanamkan kepada anak, karena jiwa anak yang masih labil dan ada pada
masa transisi terkadang muncul di dalam dirinya rasa malu yang berlebihan
sehingga menimbulkan kurang percaya diri. Sikap ini muncul ketika ia
dihadapkan pada kondisi keluarga yang kurang mendukung, lingkugan di
mana ia tinggal yang kurang harmonis, dan terkadang ejekan yag datang dari
teman-temannya. Jika hal ini dibiarkan, maka terus menggelinding seperti
bola salju, sehingga terkikislah moral dan kepribadian anak yang pada
akhirnya ia kurang bisa menerima dirinya, keluarga dan lingkungannya.
BAB III
MANAJEMEN KOMUNIKASI PENDIDIKAN ISLAM
A. Dasar-Dasar Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi merupakan komponen yang sangat penting bagi seseorang
dalam pergaulan sosial maupun dalam hubungan kerja. Dari komunikasi itu
bisa diperoleh suasana yang akrab dan harmonis, bahkan kadang bisa
mendamaikan dua pihak yang bertikai. Namun bisa juga sebaliknya, terjadi
pertentangan, benturan, atau permusuhan karena komunikasi yang salah.
Kesalahan komunikasi bisa menyangkut isinya atau acaranya. Acapkali terjadi
kasus salah paham baik dalam pergaulan sosial maupun hubungan kerja.
Misalnya seseorang berbicara dengan orang lain. Sebenarnya dia tidak
memiliki keinginan menyinggung perasaan lawan bicaranya, tetapi ternyata
lawan bicaranya tersebut tersinggung lantaran cara berkomunikasi yang salah.
Ada ungkapan dalam bahasa arab yang patut direnungkan "salāmat al-insān fi
64
hifzi al-lisān" (keselamatan seseorang terletak dalam menjaga lisan) (Qomar,
2007: 251).
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin Communicatio yang berarti
'pemberitahuan' atau 'pertukaran pikiran'. Jadi. Secara garis besar, dalam suatu
proses komunikasi haruslah terdapat unsur-unsur kesamaan makna agar terjadi
suatu pertukaran pikiran dan pengertian antara komunikator (penyebar pesan)
dan komunikan (Suprapto, 2009: 5).
Sedangkan menurut Nasution (1996: 192) komunikasi adalah proses
68
pengiriman informasi dari satu orang kepada orang lain. Atau pemindahan
informasi dari pengirim ke penerima yang dapat dimengerti oleh kedua belah
pihak. Ini akan efektif bila informasi yang dipindahkan dimengerti dan
terdapat umpan balik. Komunikasi baru bisa tercipta jika ada 2 orang yang
ingin mendapatkan informasi.
Karena pembahasan dalam kajian ini tentang pendidikan anak, maka
proses komunikasinya adalah antara orang tua dan anak dalam keluarga. Oleh
karena itu, agar komunikasi dapat berjalan dengan baik antara orang tua dan
anak, maka harus senantiasa dikelola dengan baik. Menurut Jalaluddin Rahmat
sebagaimana yang dikutip Qomar (2007: 252) mengatakan bahwa para pakar
komunikasi sepakat dengan para psikolog bahwa kegagalan komunikasi
berakibat fatal baik secara individual atau sosial. Hubungan persahabatan bisa
berbalik menjadi permusuhan, dan ini bisa menjadi lebih fatal lagi, jika salah
satu pihak tidak menyadari kesalahannya, sehingga tidak ada upaya untuk
melakukan pendekatan-pendekatan yang mengarah pada rekonsiliasi (işlāh).
2. Komponen Komunikasi
65
Komponen komunikasi yang menjadi unsur-unsur utama untuk
terjadinya proses komunikasi adalah komunikator sebagai pengirim pesan,
pesan yang disampaikan, dan komunikan sebagai penerima pesan dari si
pengirim (Djamarah, 2004: 13).
Lebih
lanjut
Djamarah
menjelaskan
bahwa
dalam
kegiatan
perkomunikasian, ketiga komponen itulah yang berinteraksi. Ketika suatu
pesan disampaikan oleh komunikator dengan perantaraan media kepada
komunikan,
maka
komunikator
memformulasikan
pesan
yang
akan
disampaikannya dalam bentuk kode tertentu, yang sedapat mungkin dapat
ditafsirkan oleh komunikan dengan baik. Berhasil tidaknya komunikasi atau
tercapai tidaknya tujuan komunikasi tergantung dari ketiga komponen
tersebut.
Dilihat
dari
prosesnya, komunikasi dapat dibedakan menjadi
komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal adalah
komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa
lisan.
Sedangkan
komunikasi
nonverbal
adalah
komunikasi
yang
menggunakan isyarat, gerak-gerik, gambar, lambang, mimik muka, dan lain
sebagainya (Djamarah, 2004: 13).
3. Keberhasilan Komunikasi
Ketercapaian tujuan komunikasi merupakan keberhasilan komunikasi.
Keberhasilan itu tergantung dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi daya tarik komunikasi, yaitu sebagai berikut:
a. Pribadi komunikan. Pada aspek pribadi ini ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan: Pribadi harus dipandang sebagai kesatuan yang utuh, pribadi
66
itu dinamis, setiap pribadi mempunyai nilai sendiri, setiap pribadi itu unik,
dan pribadi itu sukar dinilai.
b. Arti kata dan kalimat. Setiap orang mengartikan kata sesuai dengan
pengalaman hidupnya, maka dalam berkomunikasi, kata-kata kunci harus
dijelaskan secara rinci dengan disertai contoh.
c. Konsep diri. Ketepatan memahami konsep diri ini sangat membantu
efektifitas komunikasi.
d. Empati. Hal ini perlu diperoleh dari orang lain sehingga komunikasi bisa
efektif karena ada kesamaan sudut pandang antara komunikator dan
komunikan.
e. Umpan balik. Komunikator dalam berkomunikasi perlu mendapatkan
umpan balik dari komunikan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
kesalahan/perbedaan tafsir (Qomar, 2007: 251).
Menurut Terry (2008: 217) umpan balik itu tidak saja memberitahukan
si pengirim apakah si penerima memahami pesan itu atau tidak, tetapi juga
memberi peluang kepada si penerima untuk menyatakan pandangannya
mengenai pesan itu. Hanyalah dengan tukar-menukar pemikiran-pemikiran ini
komunikasi yang sebenarnya dapat dilakukan.
Sedangkan jika ditinjau dari segi waktu, ada dua waktu umpan balik
yaitu:
a. Immediate feedback, terjadi biasanya pada komunikasi yang langsung,
misalnya pada face to face communication.
b. Deyed feedback, terjadi pada komunikasi yang menggunakan media, pada
pelaksanaannya tertunda. (Widjaja, 1997: 24)
67
Di samping itu, ada delapan prinsip yang perlu dilakukan agar
komunikasi bisa dikerjakan dengan efektif, yaitu:
a. Berpikir dan berbicara dengan jelas.
b. Ada sesuatu yang penting untuk disampaikan.
c. Ada tujuan yang jelas.
d. Penguasaan terhadap masalah.
e. Pemahaman proses komunikasi dan penerapannya dengan konsisten.
f. Mendapatkan empati dari komunikan.
g. Selalu menjaga kontak mata, suara yang tidak terlalu keras atau lemah
serta menghindari ucapan pengganggu.
h. Komunikasi harus direncanakan (apa pesan yang ingin dikomunikasikan,
siapa komunikan yang dituju, buatlah skenario yang jelas, dan hendaknya
mempersiapkan diri agar menguasai masalah. (Qomar, 2007: 256).
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi
Berkomunikasi
itu
tidak
mudah.
Terkadang
seseorang
dapat
berkomunikasi dengan orang lain. Di lain waktu seseorang tidak dapat
berkomunikasi dengan baik kepada orang lain. Apa yang ingin disampaikan tidak
dapat dimengerti dengan baik oleh orang lain. Sukarnya berkomunikasi dengan
baik, karena yang berkomunikasi itu adalah manusia dengan segala perbedaannya.
Setiap orang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri dalam bersikap, bertingkah laku,
dalam melihat dunia lain, dalam memandang orang lain, dan dalam merasa diri.
Dalam konteks itulah diyakini ada sejumlah faktor-faktor yang
mempengaruhi komunikasi, khususnya antara orang tua dan anak, yaitu:
1. Citra Diri dan Citra Orang Lain
68
Citra diri atau merasa diri, maksudnya sama saja. Ketika orang
berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, dia mempunya citra diri,
dia merasa dirinya sebagai apa dan bagaimana. Setiap orang mempunyai
gambaran tertentu mengenai dirinya, status, kelebihan dan kekurangan.
Gambaran itulah yang menentukan apa dan bagaimana ia bicara, menjadi
nyaring bagi apa yang dilihatnya, didengarnya, bagaimana penilaiannya
terhadap segala yang berlangsung di sekitarnya. Dengan kata lain, menurut
Lunandi (2001: 23) bahwa citra diri menentukan ekspresi dan persepsi orang.
Manusia belajar menciptakan citra diri melalui hubungan dengan orang
lain, terutama manusia lain yang dianggap penting bagi dirinya, seperti ayah,
bunda, guru, atau atasan. Melalui kata-kata atau komunikasi tanpa kata
(perlakuan, pandang mata, dan sebagainya) dari orang lain ia mengetahui
apakah dirinya dicintai atau dibenci, dihormati atau diremehkan, dihargai atau
direndahkan (Lunandi, 2001: 23)
Ketika seorang ayah berbicara kepada anaknya, ia mempunyai citra
diri tertentu. Ayah yang satu misalnya, merasa dirinya sebagai bapak, yang
menganggap dirinya serba tahu, lebih tahu daripada anaknya, kepala keluarga
yang harus ditaati, pencari nafkah yang harus dihormati. Sementara ayah yang
lain mungkin merasa dirinya sebagai bapak, walaupun mempunyai banyak
pengalaman, tetapi ia menyadari pengalamannya itu berbeda dengan anaknya,
sebagai kepala keluarga ia menyadari harus membahagiakan anaknya, sebagai
pencari nafkah, ia menyadari belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan
keluarganya. Kedua ayah tersebut memiliki citra diri yang berbeda. Kedua
ayah dengan citra yang berbeda itu akan berkomunikasi dengan anaknya
dengan cara yang berbeda pula. Boleh jadi, citra diri dari kedua ayah yang
69
berlainan itu melahirkan sikap dan perilaku yang otoriter atau demokratis
dalam memperlakukan anak.
Tidak hanya citra diri, citra orang lain juga mempengaruhi cara dan
kemampuan orang berkomunikasi. Orang lain mempunyai gambaran yang
khas bagi dirinya. Jika seorang ayah mencitrakan anaknya sebagai manusia
yang lemah, ingusan tak tahu apa-apa, harus diatur, harus diawasi, maka ia
berbicara kepada anaknya itu secara otoriter, yaitu lebih banyak mengatur,
melarang, atau memerintah. Tetapi, jika seorang ayah mencitrakan anaknya
sebagai manusia cerdas, kreatif, dan berpikiran sehat, maka ia akan
mengkomunikasikan sesuatu kepada anaknya dalam bentuk anjuran daripada
perintah, pertimbangan daripada larangan, kebebasan terpimpin daripada
banyak mengatur (Lunandi, 2001: 24)
Dengan demikian, citra diri dan citra orang lain saling berkaitan, dan
melengkapi. Perpaduan kedua citra tersebut menentukan gaya dan cara
komunikasi.
2. Suasana Psikologis
Suasana psikologi diakui mempengaruhi komunikasi. Komunikasi sulit
berlangsung bila seseorang dalam keadaan sedih, bingung, marah, merasa
kecewa, merasa iri hati, diliputi prasangka dan suasana psikologis lainnya.
Seseorang sedih karena kematian ayahnya atau ibunya misalnya, sulit diajak
bicara, karena suasana hatinya dalam keadaan duka cita, seseorang tidak
mampu mengungkapkan kalimat dengan sempurna. Derasnya air mata yang
keluar karena tangis kesedihan, sebagai bertanda bahwa gejolak emosinya
lebih dominan dari pada akal pikirannya, sehingga dia lebih banyak
70
menampilkan luapan emosinya yang terkadang tak terkendali, dan ketika itu
sulit untuk diajak bicara (Djamarah, 2004: 64).
Seseorang dalam keadaan marah lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu
amarahnya, sehingga sulit untuk diajak bicara. Karena amarahnya, seseorang
sulit untuk dikendalikan oleh orang lain. Karena lepas dari kendali akal sehat,
ucapan yang keluar dari mulutnya teramat menyakitkan untuk didengar.
Bahkan disela-sela marah itu, seseorang memukul tubuh orang yang dimarahi.
Kemarahan ternyata mempersempit kesempatan bicara. Orang kena marah
merasa takut dan cemas, bingung dan serba salah, apa dan bagaimana
seharusnya bersikap dan berperilaku ketika itu. Dalam suatu kesempatan orang
yang kena marah itu bisa saja menghindar darinya, menjahui orang yang
memarahi itu. Tetapi jika ada keberaniaan, orang yang kena marah itu
melakukan serangan balik, mengadakan perlawanan dengan kata-kata yang
juga kasar. Demikianlah, kemarahan dapat menghambat komunikasi sampai
pada batas-batas tertentu.
3. Lingkungan Fisik
Komunikasi dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja, dengan
gaya dan cara berbeda. Komunikasi yang berlangsung dalam keluarga berbeda
dengan yang terjadi di sekolah. Karena memang kedua lingkungan ini
berbeda. Suasana di rumah bersifat informal, sedangkan suasana di sekolah
bersifat formal. Demikian juga komunikasi yang berlangsung di masyarakat.
Karena setiap masyarakat memiliki norma yang harus ditaati, maka
komunikasi yang berlangsung pun harus taat norma (Djamarah, 2004: 65).
Dalam etnik keluarga tertentu memiliki tradisi tersendiri yang harus
ditaati. Kehidupan keluarga yang menjunjung tinggi norma agama memiliki
71
tradisi yang berbeda dengan kehidupan keluarga yang meremehkan norma
agama. Demikian antar keluarga kaya dan keluarga miskin memiliki gaya
kehidupan yang berbeda. Kehidupan keluarga terdidik tidak bisa disamakan
dengan kehidupan keluarga tak terdidik. Kehidupan keluarga dengan semua
perbedaan itu memiliki gaya dan cara komunikasi yang berlainan. Oleh karena
itu, lingkungan fisik, dalam hal ini lingkungan keluarga, mempengaruhi
seseorang dalam berkomunikasi.
4. Kepemimpinan
Menurut
Cragan
seperti
yang
dikutip
Rahmat
(2004:
165)
kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif mempengaruhi
kelompok untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. Seorang pemimpin dapat
ditunjuk atau muncul setelah proses komunikasi kelompok.
Berkaitan dengan lingkungan keluarga, maka seorang pemimpin
mempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Seorang pemimpin, tidak
hanya dapat mempengaruhi anggota keluarga lainnya yang dipimpin, tetapi
juga dapat mempengaruhi kondisi dan suasana kehidupan sosial dalam
keluarga. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bila dalam masyarakat etnik
tertentu ditemukan tradisi keluarga yang berbeda antara yang satu dengan
yang lain, yang disebabkan cara kepemimpinan yang berlainan.
Dalam etnik keluarga tertentu, yang bertindak sebagai pemimpin
adalah ayah. Sedangkan istri atau ibu bertindak sebagai pendamping. Baik
ayah atau ibu bersama-sama, dan diharap sepaham dalam mengambil
kebijakan dalam segala hal, terutama dalam hal mendidik anak. Walaupun
berbagai kebijakan yang diambil dalam penataan kehidupan berumah tangga
72
itu lebih banyak ditentukan oleh ayah, tetapi andil seorang istri dalam
memberikan pemikiran tentu masih diperhatikan dan dipertimbangkan.
Cara kepemimpinan yang ditampilkan dalam sikap dan perilaku oleh
seorang pemimpin tidak selalu sama. Bisa saja untuk etnik keluarga tertentu
cara kepemimpinan orang tua lebih banyak otoriter daripada demokratis.
Sedang untuk etnik keluarga yang lain cara kepemimpinan orang tua lebih
banyak demokratis daripada laissez-faire dan tidak berkenan sama sekali
memberlakukan cara kepemimpinan otoriter. Semua tergantung pada kemauan
orang tua dalam memimpin, yang ingin membimbing dan mendidik anak
mereka agar menjadi anak yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
Menurut Rahmat (2001: 103) kepemimpinan otoriter ditandai dengan
keputusan dan kebijakan yang seluruhnya ditentukan oleh pemimpin orang
tua. Kepemimpinan demokratis menampilkan pemimpin yang mendorong dan
membantu anggota keluarga untuk membicarakan dan memutuskan semua
kebijakan. Kepemimpinan laissez-faire memberikan kebebasan penuh bagi
anggota keluarga untuk mengambil keputusan individual dengan partisipasi
orang tua yang minimal.
Dalam konteks pendidikan dalam keluarga, maka tipe kepemimpinan
orang tua dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pendidikan
anak, sebab akan melahirkan cara komunikasi yang berbeda sehingga suasana
kehidupan keluarga yang terbentuk pun berlainan. Dalam kenyataan di
masyarakat menunjukkan bahwa dalam etnik keluarga tertentu, karena orang
tua mendidik anak-anak mereka bermacam-macam, maka lahirlah anak-anak
dengan karakteristik mereka masing-masing. Suatu keluarga yang agamis dan
akrab dengan ritual keagamaan cenderung melahirkan anak yang taat pada
73
ajaran agama. Sedangkan suatu keluarga yang anti agama cenderung
melahirkan anak yang ateis. (Djamarah, 2004: 69-70)
Karena tipe kepemimpinan dapat mempengaruhi cara komunikasi,
maka keharmonisan hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga
dipengaruhi oleh kepemimpinan orang tua dengan segala kebaikan dan
kekurangannya. Tetapi, tipe kepemimpinan yang bagaimana pun yang
digunakan oleh orang tua untuk mempengaruhi anak atau mendidik anak, yang
pasti adalah bahwa setiap kali orang tua melakukan komunikasi kepada anak
selalu menciptakan hubungan yang berbeda.
Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter, meski tidak disukai oleh
kebanyakan orang, karena menganggap dirinya sebagai orang tua paling
berkuasa, paling mengetahui dalam segala hal, tetapi dalam etnik keluarga
tertentu masih terlihat dipraktikkan. Dalam praktiknya tipe kepemimpinan
orang tua yang otoriter cenderung ingin menguasai anak. Perintahnya harus
selalu dituruti dan tidak boleh dibantah. Akan kurang diberikan kesempatan
untuk memberikan tanggapan dalam bentuk penjelasan, pandangan, pendapat
atau saran-saran tanpa melihat kepentingan pribadi anak, yang penting
instruksi orang tua harus dituruti.
Menurut Wursanto, seperti yang dikutip (Djamarah, 2004: 71) tipe
kepemimpinan orag tua yang otoriter selain ada keuntungannya, juga ada
kelemahannya. Anak yang selalu taat perintah adalah di antara keuntungannya.
Sedangkan kelemahannya adalah kehidupan anak statis, hanya menunggu
perintah, kurang kreatif, pasif, miskin inisiatif, tidak percaya diri, dan
sebagainya.
74
Lebih lanjut Wursanto menjelaskan bahwa berbeda dengan tipe
kepemimpinan yang demokratis atau otoriter, tipe kepemimpinan orang tua
yang laissez-faire memberikan cukup kebebasan kepada anak untuk
mengambil kebijakan sendiri dalam menghadapi sesuatu. Orang tua
menyerahkan segala sesuatunya kepada anak; entah dalam menentukan tujuan,
langkah-langkah dari suatu kegiatan yang akan diambil, sarana atau alat yang
akan dipergunakan. Tipe kepemimpinan orang tua yang cenderung liberal ini
membuat orang tua bersifat pasif dan tidak ada inisiatif, karena orang tua tidak
terlibat langsung dalam kegiatan anak. Orang tua seolah-olah hany bertindak
sebagai penonton, meskipun ia berada di tengah-tengah anak-anaknya dalam
keluarga.
5. Bahasa
Dalam komunikasi verbal orang tua atau anak pasti menggunakan
bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan sesuatu. Pada suatu kesempatan
bahasa yang dipergunakan oleh orang tua ketika berbicara kepada anaknya
dapat mewakili suatu obyek yang dibicarakan secara tepat. Tetapi di lain
kesempatan, bahasa yang dipergunakan itu tidak mampu mewakili suatu
obyek yang dibicarakan secara tepat. Seringkali penafsiran seseorang
bermacam–macam
terhadap
bahasa
yang
digunakan
itu,
disebabkan
penggunaan bahasa (dalam konteks budaya) dengan maksud agar lebih sopan
atau menghilangkan kesan jelek, atau supaya tidak menyinggung perasaan
suatu kelompok. Ada beberapa frase yang memungkinkan seseorang
menafsirkan tidak sesuai dengan harapan pembicara. Misalnya, "Buang air
besar", "Buang air kecil", "kita harus mengencangkan ikat pinggang", "Jangan
mengungkit-ngungkit kemaluan orang lain".(Djamarah, 2004: 71)
75
Lebih lanjut Djamarah (2004: 72) menjelaskan bahwa penggunaan
bahasa dipengaruhi oleh budaya keluarga di daerah tertentu. Oleh karena itu,
setiap daerah memiliki kata-kata tertentu dengan maksud tertentu dan bisa
bermakna lain di daerah tertentu. Kata "tahi" misalnya, dalam konteks bahasa
Indonesia dibakukan berarti ampas makanan dari dalam perut yang keluar dari
dubur. Jadi, di sini semakna dengan kotoran. Sedangkan dalam konteks
budaya kata "tahi" itu memiliki makna yang lain. Bila orang kapuas
mengatakan:"kamu guru tali" itu artinya seorang guru yang dianggap
pengalaman dalam mengjar dan mendidik anak sekolah.
Berbagai bahasa yang digunakan di daerah lain sering tersisip dalam
komunikasi. Karena bahasa yang dipakai itu terasa asing dan tidak pernah
mendengar, seseorang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh lawan
bicara. Akibatnya komunikasi mengalami hambatan dan pembicara tidak
komunikatif.
6. Perbedaan Usia
Komunikasi dipengaruhi oleh usia. Itu berarti, setiap orang bisa
berbicara sekehendak hati tanpa memperhatikan siapa yang diajak bicara.
Berbicara kepada anak kecil berbeda ketika berbicara kepada remaja. Mereka
mempunyai dunia masing-masing harus dipahami. Selain kemampunan
berpikir yang berbeda, anak juga memiliki kemampuan bahasa yang terbatas.
Secara umum, rentang berpikir anak itu bergerak dari konkrit ke yang abstrak.
Pergerakan dari berpikir konkrit kepada berfikir abstrak seiring dengan
peningkatan usia anak. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi harus sesuai dengan tingkat usia dan pengalaman anak.
(Djamarah, 2004: 72).
76
Dalam berkomunikasi, orang tua tidak bisa menggiring cara berpikir
anak ke dalam cara berpikir orang tua. Karena anak belum mampu untuk
melakukannya. Dalam berbicara, orang tualah yang seharusnya mengikuti cara
berpikir anak dan menyelami jiwanya. Bila tidak, maka komunikasi tidak
berlangsung dengan lancar. Jadi, orang tua jangan terlalu egois untuk
memaksa anak menuruti cara berpikir orang tua.
Jadilah pendengar yang baik. Orang tua yang bijksana adalah orang tua
yang pandai menempatkan diri menjadi pendengar yang baik bagi anaknya.
Apa yang anak sampaikan bila didengar oleh orang tua, maka anak merasa
dihargai. Penghargaan kepada anak ketika berbicara adalah penting demi
membangun hubungan baik antara orang tua dan anak. Mengajak anak duduk
sambil diselingi perbincangan di seputar kehidupan anak merupakan salah satu
taktik untuk menyelami jiwa anak dan mengetahui perkembangan bahasa
anak. Dengan begitu, orang tua dapat mempertimbangkan penggunaan bahasa
yang akan dipakai ketika berbicara kepada anak demi mencapai kualitas
komunikasi.
C. Dasar-Dasar Manajemen
Sebelum dibahas tentang manajemen komunikasi dalam perspektif pendidikan
Islam, maka perlu dipaparkan terlebih dahulu seluk beluk manajemen secara
umum yang terdiri dari pengertian manajemen, karakteristik manajemen, arti
penting manajemen, arti dan peran manajemen pada komunikasi.
1. Pengertian Manajemen
Aktivitas manajemen pada setiap lembaga atau organisasi yang pada
umumnya berkaitan dengan usaha mengembangkan suatu tim kerja sama atau
77
kelompok orang dalam satu kesatuan dengan memanfaatkan sumber daya yang
ada untuk mencapai tujuan tertentu dalam organisasi yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Oleh karena itu, setiap bentuk kerja sama sekelompok orang untuk
mencapai tujuan, tentu memerlukan manajemen. Manajemen berasal dari kata
manage dan dalam bahasa Latin manus, yang berarti memimpin, mengatur
atau membimbing. (2009: 121)
Menurut Koonts dan O'Dannel seperti yang dikutip Suprapto (2009:
121) manajemen diartikan sebagai pelaksanaan sesuatu dengan menggunakan
orang lain. Dari batasan itu, menunjukkan bahwa sebagai fenomena sosial atau
sebagai praktik, manajemen telah ada sejak seseorang menggunakan orang
lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan menurut George T.
Terry manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari
tindakan-tindakan:
perencanaan,
pengorganisasian,
penggiatan,
dan
pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran
yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumbersumber lainnya.
Dari batasan pengertian manajemen tersebut, dapat disimpulkan bahwa
fungsi pokok atau tahapan-tahapan dalam manajemen yaitu suatu proses dari
tindakan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Perencanaan (planning)
Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan serangkaian keputusan
untuk mengambil tindakan di masa yang akan datang yang diarahkan
kepada
tercapainya
tujuan-tujuan
dengan
sarana
yang
optimal.
Perencanaan ini menyangkut apa yang akan dilaksanakan, kapan
78
dilaksanakan, oleh siapa, di mana dan bagaimana dilaksanakannya
(Arikunto, 2008: 9)
Menurut Suprapto (2009: 123) perencanaan yang dimaksud adalah
perencanaan yang mencakup penetapan tujuan dan standar, penentuan dan
prosedur, pembuatan rencana serta ramalan (prediksi) yang diperkirakan
akan terjadi.
b. Pengorganisasian (organizing)
Pengorganisasian adalah usaha untuk mewujudkan kerjasama antar
manusia yang terlibat kerjasama tersebut (Arikunto, 2008: 10).
Pengorganisasian merupakan proses pemberian tugas, pengalokasian
sumber daya serta pengaturan kegiatan secara terkoordinasi kepada setiap
individu
dan
kelompok
untuk
menerapkan
rencana.
Fungsi
pengorganisasian di sini meliputi pemberian tugas yang terpisah kepada
masing-masing
pihak,
membentuk
bagian,
mendelegasikan
dan
menetapkan jalur suatu wewenang/tanggung jawab dan sistem komunikasi,
serta mengkoordinasi kerja setiap personel (guru/staf tata usaha) di dalam
suatu tim kerja yang solid dan terorganisasi. (Suprapto, 2009: 123).
c. Pengarahan (leading)
Pengarahan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pimpinan untuk
memberikan penjelasan, petunjuk serta bimbingan kepada orang-orang
yang menjadi bawahannya sebelum dan selama melaksanakan tugas
(Arikunto, 2008: 10).
Sedangkan menurut Suprapto (2009: 123) pengarahan adalah proses untuk
menumbuhkan semangat pada bawahan (guru/staf/karyawan) supaya
bekerja giat serta membimbing mereka melaksanakan rencana dalam
79
mencapai tujuan. Fungsi pengarahan meliputi membuat orang lain
melakukan pekerjaan, mendorong dan memotivasi bawahan, serta
menciptakan iklim atau suasana pekerjaan yang kondusif, khususnya
dalam metode komunikasi dari atas ke bawah dan sebaliknya, diharapkan
timbulnya saling pengertian dan kepercayaan yang baik. Menumbuhkan
disiplin kerja dan sense of belonging pada setiap personel.
d. Pengkoordinasian (Coordinating)
Pengkoordinasian adalah suatu usaha yang dilakukan pimpinan untuk
mengatur, menyatukan, menserasikan, mengintegrasikan semua kegiatan
yang dilakukan oleh bawahan (Arikunto, 2008: 12).
e. Pengkomunikasian (Communicating)
Komunikasi adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pimpinan lembaga
untuk menyebarluaskan informasi yang terjadi di dalam maupun hal-hal di
luar lembaga yang ada kaitannya dengan kelancaran tugas mencapai tujuan
bersama.
f. Pengawasan (controlling)
Fungsi terakhir manajemen ini mencakup persiapan suatu standar kualitas
dan kuantitas hasil kerja yang diberikan oleh suatu organisasi dalam upaya
pencapaian tujuan kepuasan bersama, produktifitas dan tercapainya citra
yang positif. (Suprapto, 2009: 124)
2. Karakteristik Manajemen
Dari beberapa definisi manajemen yang telah disebutkan, dapat dicatat
beberapa karakteristik dari manajemen sebagai berikut:
80
a. Manajemen merupakan perpaduan antara ilmu dan seni untuk mencapai
tujuan organisasi.
b. Manajemen adalah proses yang sistematis terkoordinasi dan kooperatif
dalam usaha memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber-sumber
lainnya.
c. Manajemen mempunyai tujuan tertentu, berhasil tidaknya tujuan itu
tergantung pada kemampuannya dalam menggunakan segala potensi yang
ada.
d. Manajemen merupakan sistem kerja sama yang kooperatif dan rasional.
e. Manajemen didasarkan pada pembagian kerja, tugas, dan tanggung jawab
yang teratur. (Suprapto, 2009: 125-126)
3. Arti penting Manajemen
Manajemen hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang
diinginkan oleh lembaga atau organisasi bersangkutan. Manajemen yang baik
akan memudahkan terwujudnya tujuan lembaga pendidikan. Manajemen
dibutuhkan oleh semua organisasi karena tanpa manajemen, semua usaha akan
sia-sia dan pencapaian tujuan akan lebih sulit. Handoko seperti yang dikutip
Suprapto (2009: 127) menyebut ada 3 alasan utama yang diperlukan
manajemen.
a. Untuk mencapai tujuan. Manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan
organisasi dan pribadi
b. Untuk
menjaga
keseimbangan
di
antara
tujuan–tujuan
saling
bertentangan. Manajemen dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara
tujuan-tujuan,
sasaran-sasaran,
dan
kegiatan-kegiatan
yang
saling
bertentangan dari pihak–pihak yang berkepentingan dalam organisasi.
81
c. Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Suatu kerja organisasi dapat
diukur dengan banyak cara yang berbeda. Salah satu cara yang umum
adalah efisiensi dan efektifitas. Efisiensi adalah kemampuan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar. Sedangkan efektifitas
merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan
yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
4. Arti dan Peran Manajemen dalam Proses Komunikasi
Seperti yang telah dipahami bahwa setiap kegiatan komunikasi
memerlukan tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut harus melalui
beberapa pentahapan, yakni sejak ide itu diciptakan oleh sumber sampai
dengan dipahaminya ide tersebut oleh komunikan. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan komunikasi secara efektif, maka setiap pentahapan dalam
proses komunikasi perlu dikelola secara efektif.
Menurut Effendy seperti yang dikutip Suprapto (2009: 128) bahwa
kegiatan komunikasi ialah kegiatan yang digunakan untuk mempertemukan
sumber dengan sasaran khalayak guna mencapai tujuan tertentu. Jika kita
merujuk pada pengertian ini, maka setiap hubungan antar manusia, yang
menggunakan media tatap muka atau media massa, maupun tradisional,
modern atau media on line guna mencapai tujuan tertentu. Hal itu merupakan
sebuah fenomena dari aktivitas komunikasi yang paradigmatis atau
komunikasi yang berpola untuk mencapai tujuan.
Setiap manusia di dunia selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya dengan banyak melakukan aktivitas komunikasi tersebut.
Keterlibatan masyarakat dalam setiap proses komunikasi itu diharapkan untuk
82
memberikan pengaruh terhadap peningkatan pengatahuan, wawasan, dan
diharapkan mampu mengubah sikapnya.
Esensi
dari
kegiatan
komunikasi
adalah
tercapainya
tujuan
diselenggarakannya kegiatan komunikasi tersebut. Salah satu definisi
komunikasi dari Hovland menyatakan komunikasi adalah proses di mana
seseorang individu atau komunikator mengoperasikan stimulus biasanya
dengan lambang-lambang bahasa (verbal maupun nonverbal) untuk mengubah
perilaku individu lain.
Menyimak dari definisi tersebut, maka salah satu tujuan komunikasi
adalah mengubah tingkah laku individu. Untuk mencapai itu harus melalui
berbagai tahapan atau proses komunikasi dengan pendekatan manajerial.
Pendekatan manajemen dibutuhkan oleh setiap organisasi karena tanpa
manajemen, semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan lebih sulit.
Menurut Handoko seperti yang dikutip Suprapto (2009: 131) salah satu alasan
utama diperlukan manajemen adalah untuk mencapai tujuan organisasi atau
pribadi.
Oleh karena itu, agar komunikasi dapat mencapai tujuan secara efektif
maka setiap unsur yang ada dalam proses komunikasi perlu dikelola
sedemikian rupa dengan mengaitkan beberapa fungsi manajemen, yakni
fungsi-fungsi
perencanaan,
pengorganisasian,
pengkoordinasian,
dan
pengendalian, dan pengawasan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara sederhana manajemen
komunikasi adalah manajemen yang diterapkan dalam kegiatan komunikasi.
Ini berarti manajemen akan berperan atau sebagai penggerak aktivitas
komunikasi dalam usaha pencapaian tujuan komunikasi (Suprapto, 2009: 132).
83
D. Manajemen Komunikasi: Sebuah Perspektif Pendidikan Islam
Dalam konteks ini, maka upaya untuk membangun manajemen komunikasi
diperlukan suatu pendekatan. Pendekatan yang diambil di sini dalam perspektif
normatif-Islami. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa manajemen
komunikasi dalam perspektif Islam, berarti suatu pengelolaan komunikasi yang
bersumber dari prinsip etika komunikasi dalam Islam yaitu perkataan yang sopan
dan santun, halus budi bahasanya, dengan kepribadian yang mulia, kejujuran dan
keterbukaan yang tercermin dalam setiap sikap dan perilaku dalam berkomunikasi.
Teks al-Qur’an yang berkaitan dengan komunikasi adalah sebagai berikut:
@ ¼ " 5 !4 ?@ "¼ 5
"¼"¼ 5 5 "¼ 5 kse 3 al
¼ " "¼"¼ !4 ?@
¼"¼ " "¼ ¼ٰ" "¼ ¼ " "¼ @!4 ? ¼ " "¼ "¼ "¼"¼ ¼ " " ¼ "¼ 5 5 "¼ ¼ " "¼ 5 t.¼ li " ih su eb @l
@ ٣‫־‬١@ úôü¼
"¼ ¼"¼ !4@" ? !4 ?@ "¼ 5a
¼"¼ " "¼
@
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta dan nasihatmenasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya
menaati kesabaran” (Departemen Agama RI, 1989: 1099)
@ ١٧4 angür
4 le 4al sa an m 4 akrj nge n4 m a da ri g n4 be na y 5r
4 4 4 4ٰ 4 4 4 09 ? 4 5a 5a 5a 4 4
4
Artinya: “ Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk
bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang” (Departemen Agama
RI, 1989: 1062)
Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa antara sesama orang-orang
mukmin hendaknya selalu melakukan komunikasi dengan saling berpesan untuk
bersabar dan berkasih sayang (menyayangi) tanpa membedakan ras. Suku bangsa
maupun warna kulit dan lain sebagainya.
84
Pada ayat lain dijelaskan bahwa Allah telah mengajari manusia
berkomunikasi, dengan menggunakan akal dan kemampuan berbahasa yang
dianugerahkan-Nya kepada manusia. Firman Allah SWT:
4 5 5 5 5 4 ganrü
4 .g 5an ür ô sô ô sô an ? 4 4 44 5 .5ô sô 44 4 4 g44 an ür 4 4 44 5 .5ô sô 44 ô gs an ür 4 4 44 5 .5na ? 44 an ?
Artinya:"Tuhan yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan al-Qur'an. Dia
menciptakan
manusia.
Dia
mengajarkannya
(manusia)
pandai
berbicara/berkomunikasi". (Departemen Agama RI, 1989: 885)
Seperti yang dikutip Mujammil Qomar (2007: 252) al-Syaukani dalam
Fath al-Qadīr, mengartikan al-bayān sebagai kemampuan berkomunikasi. Selain
al-bayān, kata kunci untuk komunikasi yang banyak disebut dalam al-Qur'an
adalah al-qawl.
Menurut Djamarah (2004: 105) ada enam prinsip etika komunikasi dalam
Islam yaitu:
1. Qawlan Karīma (perkataan yang mulia)
Perkataan yang mulia dalam konteks Indonesia menurut Qomar (2007:
254) bisa diwujudkan dalam bentuk perkataan yang senantiasa menghargai
orang lain, menyanjung, memuji, dan mengandung pesan-pesan yang sangat
bermakna.
Islam mengajarkan agar mempergunakan perkataan yang mulia dalam
berkomunikasi dengan siapa pun terutama kepada orang tua. Firman Allah
SWT:
"ô "ô a 5 ô "ô" 5a "ô"ô 5a 5a "ô "ô "ô 5a ô " ô " ô " ô T":?W ô " T :?W "ô5a "ô 5a 5a "ô 5a :T ?W "ô 5a a 5 ô " "ô 5 ô " T :?W ô"ô ô" "ô " "ô 5 ô " 5a "ô ô T":?W "ô ô " "ô
(٢٣:üú¼ ¼
) 5 "ô ô " "ô 5a "ô "ô T:?W
ô"ô " 5a "ô ô ":T ?W "ô a 5 ô"ô"ô " "ô 5 "ô 5a ô " T:W ? ô"ô " 5a "ô ô " "ô 5 "ô "ô "ô ¼ ¼üú 5a "ô"ô
85
Artinya:"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan” ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia". (Departemen
Agama RI, 1989: 427)
Qawlan karīma pada ayat tersebut diartikan dengan perkataan yang
baik, lembut dan penuh kebaikan dan penghormatan. (Shihab, 2004: 443).
Ayat tersebut dapat dipahami bahwa berkata kasar kepada orang tua dilarang
karena bisa menyakiti perasaan orang tua. Penghormatan kepada orang tua
tidak selalu ditampilkan dalam sikap dan perilaku yang baik, tetapi melalui
perkataan yang sopan pun juga dinilai sebagai penghormatan anak kepada
orang tua.
Qawlan karīma jika dikaitkan dalam konteks pendidikan terutama pada
zaman modern ini maka ayat tersebut sangat tepat untuk dijadikan pedoman
oleh orang tua selaku pendidik agar selalu menggunakan perkataan yang tidak
kasar (lembut) dalam memberikan pendidikan agama kepada anak, sehingga
anak dengan mudah menerima pendidikan tersebut dan melaksanakan apa
yang disampaikan orang tua.
2. Qawlan Sadīda (perkataan yang benar/lurus)
Berkata benar memberikan efek psikologis yang positif terhadap jiwa
seseorang. Orang yang selalu berkata benar adalah orang yang sehat jiwanya.
Perasaannya tenang, senang, dan bahagia, jauh dari resah dan gelisah. Siapa
pun menyukai orang yang jujur, karena ia dapat dipercaya untuk mengemban
amanat yang diberikan. Firman Allah SWT:
86
d re et gis nRes
tia fr m @o
a ?p ar
a ?p M¼ ô46 ü¼ ra
ar
4:6 04 ü f it am46 r @o
M¼ @ ô ü¼ f ti am r @o
4:0 ü0 46 d a re ?p et si nRe g s
6 4 @ @ 6 4 ¼ü M ô
64t)ub ar (lemas
46
Artinya:"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar". (Departemen Agama RI, 1989: 116)
Ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam mengajarkan umatnya agar
tidak meninggalkan generasi yang lemah dan agar selalu berkomunikasi
dengan mengucapkan perkataan yang jujur antar anggota keluarga.
Qawlan sadīda jika dikaitkan dalam konteks pendidikan anak dalam
keluarga, perkataan benar ini penting. Orang tua yang selalu berkata benar
kepada anak, maka anak pun akan berkata benar juga dan tidak suka berbicara
dusta. Oleh karena itu, benar tidaknya anak berkata sangat bergantung
bagaimana cara orang tua berbicara. Perkataan yang benar harus tertanamkan
dalam diri anak sehingga apa yang anak katakan selalu mengandung
kebenaran.
3. Qawlan Ma'rūfa (perkataan yang baik)
Menurut Qomar (2007: 254) perkataan yang baik merupakan perkataan
yang bermanfaat dan tidak jorok. Firman Allah SWT:
M" @ @
M"
M " ô 5¼ …
"M M " lan w"M 3a
"M sa ¼ú ú ? ô …ô¼ 5¼
ú¼ ?ú ¼ ú ?ú ar
ta "M s üu
nal w 3a
a st"M üu
M"M"M " a "M st üu
M"M anl " w 3a
¼ ú ?ú
M"
Artinya:"Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima)
Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun". (Departemen Agama RI,
1989: 66)
87
Ayat tersebut dapat dipahami bahwa perkataan yang baik, dan selalu
memaafkan kesalahan orang lain nilainya lebih baik dibandingkan bersedekah
yang diikuti dengan kata-kata kasar dan kotor yang dapat menyakiti hati orang
yang diberi sedekah.
Qawlan ma'rūfa tersebut jika dikaitkan dalam konteks pendidikan anak
dalam keluarga, maka sangat relevan bagi orang tua agar selalu mengajari dan
mendidik anak dengan perkataan yang baik dan memperingati serta melarang
anak untuk berkata yang tidak baik dan kotor, baik di lingkungan keluarga,
sekolah, maupun masyarakat. Dengan demikian, anak akan disenangi dan
diterima dengan baik oleh keluarga, teman sepermainan, teman sekolah
bahkan oleh masyarakat sekitar.
4. Qawlan Balīgha (perkataan yang efektif/keterbukaan)
Dalam konteks komunikasi, qawlan balīgha berarti fasih, jelas
maknanya, terang dan tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. (Qomar,
2007: 254). Sedangkan menurut Djamarah (2004: 10) qawlan balīgha
diartikan sebagai komunikasi yang efektif. Hal ini didasarkan pada firman
Allah SWT:
n daü n r la ' wMa @a
ôË 5f it ma r @o .n i du la id ukiv in aer il
na na g ya ki ta rkeg de at4ô a p di
' " @ '" ' " 5 ¼ ôú
ôË5 t Ëbu es5ô t er a @y
ô 4 4ô al ? a l ?a a sh ô 4
ar "'
'"
Artinya:"Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di
dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka". (Departemen Agama RI, 1989: 129)
88
Ayat tersebut dapat dipahami bahwa komunikasi itu efektif bila
perkataan yang disampaikan itu berbekas di jiwa. Artinya apa yang
dikomunikasikan itu secara terus terang, tidak bertele-tele, sehingga tepat
mengenai sasaran yang dituju.
Qawlan balīgha jika dikaitkan dalam konteks pendidikan maka sangat
tepat untuk dijadikan pedoman bagi orang tua (pendidik, guru) agar ketika
berbicara kepada anak, orang tua harus memahami jiwa dan alam pikiran anak.
Imam Ali r.a. pernah menyarankan agar pendidik (orang tua, pendidik/guru)
agar berbicara dengan anak didik sesuai dengan tingkat kedewasaannya
(usianya). Oleh karena itu, maka orang tua harus menggunakan kata-kata yang
cukup sederhana, disesuaikan dengan tingkat intelektualitas anak, jauh dari
pembicaraan yang rumit, dan bertele-tele. Dengan demikian, anak akan lebih
siap dan lebih kuat menerimanya. Orang tua harus mengetahui strategi untuk
mewujudkan qawlan balīgha ini demi keberhasilan pendidikannya kepada
anak.
Ada dua strategi untuk mewujudkan qawlan balīgha: Pertama, qawlan
balīgha terjadi bila komunikator (orang tua) menyesuaikan pembicaraannya
dengan sifat-sifat khalayak (anak) yang dihadapinya. Kedua, qawlan balīgha
terjadi bila komunikator (orang tua) menyentuh hati dan otak (anak) sekaligus.
Qomar (2007: 254)
5. Qawlan Layyina (perkataan yang lemah lembut)
Islam mengajarkan agar menggunakan komunikasi yang lemah lembut
kepada siapa pun. Perkataan lemah lembut ini diperintahkan Allah SWT
seperti dalam firman-Nya:
89
9 " @ 9" 9" "9 .a ny api ad"9 g dih n ya
ua d üe :7 0 254)g .dan Se
au d üe 9 a " du üe … ô¼ ô ü¼
Artinya:"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".
(Departemen Agama RI, 1989: 480)
Qawlan layyina pada ayat tersebut jika dikaitkan dalam konteks
pendidikan orang tua kepada anak dalam keluarga, maka orang tua sebaiknya
berkomunikasi pada anak dengan cara lemah lembut, tanpa emosional, tanpa
caci maki, jauh dari kekerasan dan permusuhan. Dengan menggunakan
komunikasi yang lemah lembut, selain ada perasaan bersahabat yang
menyusup ke dalam hati anak, ia juga berusaha menjadi pendengar yang baik
dan dengan senang hati menuruti perintah itu.
6. Qawlan Maisūra (perkataan yang pantas)
Dalam al-Qur'an terdapat istilah qawlan maisūra yang merupakan
salah satu tuntunan untuk melakukan komunikasi dengan mempergunakan
bahasa yang mudah dimengerti dan melegakan perasaan. (Djamarah, 2004:
113).
Firman Allah SWT:
@ n 5am al is w @a
a k üa n s la i wma @a
r m ?i a m" r ?i a 3(an k)
a ain wn"yl la @a ay
ya 3 n )ü1 a.ar nci m kabsupe yei ne
a " @ a" a" ü13).
m ri ? "a
@
a" @
90
Artinya:"Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka
ucapan yang pantas." (Departemen Agama RI, 1989: 428)
Qawlan maisūra pada ayat tersebut diartikan sebagai perkataan yang
mudah yang tidak menyinggung perasaannya dan yang melahirkan harapan
dan optimisme Shihab (2005: 453). Sedangkan menurut Rahmat, seperti yang
dikutip Djamarah (2004: 113) qawlan maisūra sebenarnya lebih tepat
diartikan "ucapan yang menyenangkan," lawannya adalah ucapan yang
menyulitkan.
Qawlan maisūra jika dikaitkan dalam konteks pendidikan maka sangat
penting bagi orang tua selaku pendidik agar selalu melakukan komunikasi
yang menyenangkan dan menggembirakan dengan anak. Karena komunikasi
seperti ini dapat mengakrabkan hubungan antara orang tua dan anak. Efek
psikologisnya adalah dapat mengakrabkan hubungan batin antara orang tua
dan anak. Kapan dan di manapun berada, anak selalu merindukan orang
tuanya, anak rindu bicara, anak rindu senda gurau, anak rindu belaian kasih
sayang, anak rindu bermanja-manja, dan sebagainya dengan orang tuanya.
Semua kerinduan itu sebagai buah dari komunikasi yang menyenangkan. Oleh
karena itu, komunikasi yang baik lagi menyenangkan membuahkan kerinduan
dalam keakraban hubungan antara anak dan orang tua dalam keluarga.
Sebaliknya jika tidak terdapat komunikasi yang baik dan menyenangkan
antara orang tua dan anak, maka tentu anak akan bersikap apati, tidak lagi
mengharapkan kasih sayang dan kerinduan orang tua.
Download