Pengaruh Pengalaman Pelecehan Seksual di Tempat Uumum, Coping Respon dan Peran Gender Terhadap Objektifikasi Diri pada Perempuan Niken Kumalasari, E. Kristi Poerwandari, Imelda Ika Dian Oriza Fakultas Psikologi Abstrak Penelitian ini digunakan untuk melihat pengaruh dari pengalaman pelecehan seksual di tempat umum, coping respon yang digunakan, dan peran gender terhadap objektifikasi diri pada perempuan. Pengukuran pengalaman pelecehan seksual di tempat umum dilakukan dengan menggunakan modifikasi alat ukur Sexual Experiences Questionnaire (SEQ) (Fitzgerald et al, 1995) oleh Fairchild dan Rudman (2008), coping respon dengan alat ukur Coping with Harassment Questionnaire (CHQ) (Fitzgerald, Hulim, & Drasgow,1994) yang dimodifikasi oleh Fairchild dan Rudman (2008), peran gender diukur dengan Atittudes toward Women Scale (Spence dan Helmreich, 1972) dan objektifikasi diri diukur dengan modifikasi alat Objectified Body Consciousness Scale (OBCS) (McKinley & Hyde, 1996) oleh Fairchild dan Rudman (2008). Responden dalam penelitian ini adalah 140 perempuan usia 20-40 tahun yang tersebar di seluruh wilayah Jabodetabek. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh dari pengalaman pelecehan seksual di tempat umum dan objektifikasi diri pada perempuan. Namun terdapat pengaruh dari coping respon yang digunakan terhadap objektifikasi diri, coping respon self blame atau menyalahkan diri sendiri memberikan sumbangan paling besar dibandingkan jenis coping yang lain. Selain itu terdapat juga pengaruh dari peran gender terhadap objektifikasi diri. Kata kunci: pelecehan seksual di tempat umum; coping respon; peran gender; objektifikasi diri. Abstract This study aims to find effect of experiencing public harassment, coping response, and gender role toward self objectification among adult women. Experiences of public harassment was measure using a modification instrument Sexual Experiences Questionnaire (SEQ) (Fitzgerald et al, 1995) by Fairchild and Rudman (2008), coping response using modification Coping with Harassment Questionnaire (CHQ) (Fitzgerald, Hulim, & Drasgow,1994) by Fairchild and Rudman (2008), gender role using instrument Atittudes toward Women Scale (Spence dan Helmreich, 1972) and self objectification using modification of Objectified Body Consciousness Scale (OBCS) (McKinley & Hyde, 1996) by Fairchild and Rudman (2008). Participants of this study are 140 adult women who lives in Jabodetabek. The result shows that there is no significant effect of experiencing public harassment toward self objectification. However there is significant effect from coping response toward self objectification. In addition Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 coping response self blame give huge contribution than others coping. The result also shows there is significant effect from gender role toward self objectification. Keywords: public harassment; coping response; gender role; self objectification. Latar Belakang Pelecehan seksual di tempat umum atau yang disebut dengan public harassment adalah pelecehan seksual yang dialami oleh seorang perempuan dan dilakukan oleh laki-laki yang tidak dikenal di tempat umum (Bowman, 1993). Pelaku pelecehan ini merupakan orang asing dan bukan orang yang dikenal oleh korban seperti teman kerja, teman sekolah, atau anggota keluarga. Maraknya kasus pelecehan seksual di tempat umum menimbulkan rasa tidak aman pada diri perempuan jika berpergian seorang diri. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Packer pada tahun 1986 menyatakan bahwa banyak perempuan lebih sering mengalami kasus pelecehan seksual di tempat umum dibandingkan di konteks lingkungan sosial lain, meskipun demikian sampai saat ini belum ada kelanjutan tindakan nyata yang bisa dilakukan (Macmillan., et al, 2000). Oshynko (2002) mengatakan fenomena pelecehan seksual di tempat umum tidak hanya mengajarkan bahwa perempuan menjadi tidak dihargai di tempat umum, tetapi juga mengingatkan bahwa mereka hadir hanya sebagai objek seksual yang bisa dinikmati oleh laki-laki. Sejalan dengan pendapat Fredrickson dan Roberts (1997) pada kasus pelecehan seksual di tempat umum, perempuan hanya dianggap sebagai sekadar tubuh yang dapat digunakan dan dinikmati oleh orang lain. Pengalaman yang berulang yang dialami oleh seorang perempuan ketika diperlakukan sebagai objek atau dilihat dan dievaluasi secara berangsur-angsur akhirnya akan membawa kepada perilaku menginternalisasai perspektif pandangan seseorang yang memperhatikan tubuh mereka kedalam dirinya sendiri. Proses ini dinamakan objektifikasi diri (Frederckson & Roberts, 1997). Objektifikasi diri digambarkan sebagai bentuk kesadaran diri dengan karakteristik adanya kebiasaan pengawasan penampilan (body surveillance), adanya rasa malu pada tubuh (body shame) dan cemas akan penampilan. Konsekuensi dari objektifikasi yang terus-menerus dapat membawa perempuan menjadi terbiasa untuk memonitor tubuhnya seakan-akan dilihat oleh orang lain, perempuan bisa terobsesi pada penampilan fisik mereka dan mulai melihat diri Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 mereka sebagai objek, serta menilai tubuh mereka lebih berdasar pada penampilan dibandingkan performa yang dibuat (Fredrickson & Roberts, 1997). Fairchild dan Rudman (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa pengalaman pelecehan seksual di tempat umum berhubungan dengan objektifikasi diri. Pada penelitian tersebut juga dilihat bagaiamana coping respon yang digunakan apakah mempengaruhi objektifikasi diri atau tidak. Coping respon merupakan strategi atau cara yang digunakan oleh individu dalam menghadapi pengalaman pelecehan seksual. Pada penelitian tersebut coping yang digunakan diantaranya adalah coping pasif, coping aktif, menyalahkan diri sendiri (self blame), dan bersikap ramah (benign atau complementary). Hasilnya bahwa baik ketika perempuan merespon dengan coping respon pasif, menyalahkan diri sendiri (self blame), respon aktif, dan menganggapnya sebagai pujian (benign) akan tetap mengalami objektifikasi diri. Hal ini didukung oleh penelitian lain Bishop (2011) bahwa ketika responden mengalami objektifikasi diri, mereka akan meyakini bahwa sebuah bentuk perhatian seksual yang diberikan kepadanya merupakan pujian positif mengenai penampilan mereka. Brownlow (1997, dalam Hill, 2002) menemukan hasil penelitian yang lain, dalam penelitian kualitatifnya perempuan yang merasa tersanjung (coping respon benign) ketika sedang diobjektifikasi lebih tidak mengalami objektifikasi diri. Dapat dikatakan bahwa masih terdapat perbedaan hasil penelitian mengenai coping respon dan objketifikasi diri. Heimerdinger-Edwards, Vogel, dan Hammer (2011) mengatakan adanya pengalaman objektifikasi secara terus-menerus dapat berhubungan dengan peningkatan kepercayaan stereotipikal dan sikap terkait dengan ekspektasi peran gender yang dijalankan. Peran gender ini berhubungan dengan kepercayaan dalam masyarakat bahwa perempuan harus patuh pada perintah laki-laki. Adanya tempaan yang besar dan partisipasi dalam aktifitas yang beresiko mengalami objektifikasi dapat meningkatkan persetujuan terhadap peran gender tradisional. Temuan-temuan diatas juga sudah dijelaskan oleh Fredrickson dan Roberts (1997) dalam teorinya bahwa dengan adanya sosialisasi peran gender dan pengalaman objektifikasi dapat mensosialisasikan perempuan untuk menginternalisasi standar kecantikan dalam masyarakat dan mengambil perspektif observer atau orang yang menilai dirinya terhadap cara pandangnya terhadap Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 tubuhnya. Selain itu Moffitt dan Szymanski (2011, dalam Moradi, 2010) menggambarkan lingkungan yang menobjektifikasi ketika pada lingkungan tersebut terjalankan sebuah peran gender tradisional baik oleh perempuan maupun oleh laki-laki. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kehadiran sebuah peran gender tradisional dalam masyarakat dapat berkontribusi terhadap objektifikasi diri perempuan. Fredrickson dan Roberts (1997) dalam teorinya mengenai objektifikasi diri mengatakan tidak semua perempuan mengalami dan berespon terhadap objektifikasi seksual dengan cara yang sama. Adanya faktor etnis, kelas ekonomi, orientasi seksual, usia, dan atribut fisik lain dari individu juga sangat berperan dalam menciptakan perbedaan pengalaman ini. Dapat dikatakan bahwa adanya karakter demografis khusus mempengaruhi objektifikasi diri. Terkait dengan demografis bila dikaitkan dengan fenomena pelecehan seksual di tempat umum yang telah dijelaskan sebelumnya, Bowman (1993) menjelaskan meskipun pelecehan seksual di tempat umum adalah pengalaman universal yang bisa terjadi pada perempuan dimanapun, namun terdapat perbedaan pengalaman pada perempuan dari ras, kelas ekonomi, etnis, dan interaksi jender yang terbiasa dijalankan. Sayangnya Landrine dan Klonoff (1997, dalam Sullivan, 2011) mengatkan hal yang berbeda, frekuensi dari pengalaman pelecehan tidak akan bergantung pada faktor demografis (penghasilan atau tingkat pendidikan) perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat perebedaan temuan penelitian yang ada sebelumnya. Demikian halnya dengan coping respon yang ditunjukkan, Wasti dan Cortina (2002) mengatakan bahwa coping respon akan juga bergantung pada tingkat pendidikan individu, kelas sosial ekonomi masyarakat, dan frekuensi dari pelecehan itu sendiri. Adanya karakter yang berbeda pada setiap individu di Indonesia dengan penelitian-penelitian sebelumnya seperti faktor demografis membuat peneliti merasa bahwa fenomena ini bisa di teliti di Indonesia. Selain itu, sejauh peneliti mencari tau belum ditemukannya literatur atau penelitian mengenai pelecehan seksual di tempat umum dan objektifikasi diri di Indonesia. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat pengaruh dari pengalaman pelecehan seksual di tempat umum terhadap objektifikasi diri pada perempuan, pengaruh dari coping Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 respon yang digunakan terhadap objektifikasi diri pada perempuan dan juga melihat masing-masing sumbangan tipe coping respon terhadap objektifikasi diri pada perempuan, serta pengaruh dari peran gender terhadap objektifikasi diri pada perempuan. Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa memperkaya literatur dalam bidang psikologi perempuan dan gender, khususnya berkaitan dengan pengalaman pelecehan seksual di tempat umum, peran gender dan objektifikasi diri. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan topik yang serupa. Tinjauan Teoritis Pelecehan Seksual di Tempat Umum Kearl (2010) mendefinisikan pelecehan seksual di tempat umum sebagai perkataan dan tindakan yang tidak dikehendaki oleh perempuan dan dilakukan oleh laki-laki di tempat-tempat umum yang melanggar ruang atau keadaan fisik dan emosi dari perempuan tersebut dengan cara yang tidak sopan, mengerikan, mengejutkan, menakutkan dan menghina. Gardner (1995) juga menambahkan bahwa pelecehan seksual di tempat umum ini dilakukan di tempat-tempat umum, seperti halte bis dan trotoar. Ia juga mengatakan bahwa pelecehan di tempat umum merupakan sebuah kejadian yang mungkin berkelanjutan, dimulai dari perbuatan tidak sopan yang dilakukan diantara orang yang sama-sama tidak saling kenal dan berakhir sampai pada transisi menuju kejahatan yang berat seperti serangan, perkosaan, hingga pembunuhan (Gardner, 1995). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual di tempat umum merupakan suatu perbuatan yang terdiri dari ucapan, komentar, gestur tubuh yang tidak sopan, mengerikan, menakutkan dan terutama tidak diinginkan oleh perempuan yang dilakukan oleh laki-laki tidak dikenal di tempat umum. Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual di Tempat Umum Menurut Kearl (2010) bentuk spesifik dari pelecehan seksual di tempat umum diantaranya melirik atau menatap, menyiuli, mengklaksoni, mengeluarkan suara-suara yang mengganggu seperti “pssst”, memperlihatkan gerakan vulgar, mengeluarkan komentar seksis, memerintah untuk tersenyum, komentar seksual Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 secara jelas, dengan sengaja menyentuh, mengedipkan mata, masturbasi di muka umum, menguntit, secara sengaja menghadang jalan, dan menyerang. Menurut Bowman (1993) dalam pelecehan seksual di tempat umum terdapat berbagai bentuk perilaku yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak mengenali korbannya. Perilaku verbal dan non-verbal tersebut diantaranya siulan, lirikan, kedipan mata, cubitan, dan komentar seksual, dimana komentar seksual ini biasanya berupa komentar yang mengevaluasi penampilan fisik perempuan di tempat umum. Tidak berbeda jauh dengan yang dijelaskan oleh Gardner (1995) bahwa pelecehan di tempat umum ini terdiri dari mencubit, menepuk, memukul, teriakan kasar, memandang dan memperhatikan tubuh perempuan secara terangterangan dengan penuh nafsu serta membayangi atau mengikuti perempuan dari belakang secara terus menerus serta perilaku dan ucapan yang bersifat vulgar yang secara tidak langsung merendahkan perempuan. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengalaman Pelecehan Seksual di Tempat Umum Banyak penelitian yang telah berusaha untuk mengetahui anteseden dari faktor yang membedakan seorang individu ketika mengalami pelecehan seksual di tempat umum. Pada bagian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman tersebut menjadi 2 yaitu faktor demografis dan faktor psikografis. Faktor Demografis 1. Usia Kearl (2010) mengatakan bahwa perempuan dengan usia yang lebih tua akan cenderung kurang mengalami pelecehan dibandingkan dengan perempuan yang usianya lebih muda. Penelitian lain mengatakan bahwa usia yang muda meningkatkan kerentanan pada pelecehan seksual. (Terpstra & Cook, 1985; U.S. Merit Systems Protection Board, 1995 dalam Cortina & Wasti, 2005). sSejalan dengan pendapat MacMillan, et al (2000) bahwa dari 85% perempuan yang mengalami pelecehan seksual di tempat umum menunjukkan bahwa usia menjadi faktor penyebab yang signifikan. Bowman (1993) juga menambahkan bahwa target dari pelecehan seksual di tempat Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 umum ini biasanya adalah perempuan yang berada pada usia dimana bentuk tubuhnya sedang berkembang secara seksual. 2. Kelas Sosial Ekonomi Gruber dan Bjorn (1986, dalam O’Donohue, 1997) mengatakan bahwa perempuan dengan tingkat sosial ekonomi rendah lebih banyak menjadi korban dalam kasus pelecehan seksual dibandingkan dengan kondisi status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Sejalan dengan pendapat Kearl (2010) bahwa kerentanan untuk menerima pelecehan atau kekerasan dari laki-laki adalah pada mereka perempuan dengan kelas sosial ekonomi yang lebih rendah, namun perempuan dengan kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi tidak juga lantas terlindungi. 3. Pendidikan Variabel pendidikan juga sering dikaitkan dengan pengalaman pelecehan seksual di tempat umum yang diterima. Banyak penelitian yang cukup konsisten menyatakan bahwa diduga ada korelasi yang positif antara pendidikan dengan pengalaman pelecehan seksual. Alasan yang dapat menjelaskan hal ini yaitu pendidikan yang dicapai seorang biasanya menentukan persepsi dalam menilai sebuah perbuatan sebagai sebuah pelecehan. Selain itu, pendidikan menentukan tingkat intelektualias seseorang yang akan menentukan pilihan coping respon yang digunakan dalam menghadapi pengalaman pelecehan (Wasti & Cortina, 2002). 4. Wilayah Tempat Tinggal Menurut Kearl (2010) jika perempuan bertempat tinggal di lingkungan yang hampir semua anggotanya dikenali olehnya, maka ia tidak akan mengalami pelecehan disana, karena pada dasarnya pelecehan seksual di tempat umum dapat terjadi di antara orang-orang yang tidak dikenal. Perempuan yang hidup atau bertempat tinggal di ‘kampung’ atau lingkungan pedesaan kemungkinan akan mengalami pelecehan dengan intensitas jauh lebih sedikit atau jarang dibandingkan dengan mereka yang bertempat tinggal di kota besar. Selain itu perempuan yang tidak berada di tempat umum lebih sering atau yang berada di tempat umum seorang diri akan lebih sedikit Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 mengalami pelecehan dibandingkan dengan mereka yang lebih sering berada di tempat umum dan lebih sering seorang diri. Berdasarkan faktor-faktor demografis yang telah disebutkan, faktor-faktor demografis tersebut disertakan dalam penelitian ini sebagai hasil tambahan penelitian. Data demografis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu usia, pengeluaran perbulan, pendidikan terakhir, dan wilayah tempat tinggal. Faktor Psikografis Faktor-faktor psikografis tidak diikutkan dalam pengukuran penelitian ini. Namun, faktor-faktor psikografis dapat dijadikan acuan pengetahuan selain faktorfaktor demografis yang telah disebutkan terkait pengalaman pelecehan seksual di tempat umum. Beberapa penelitian telah melakukan studi faktor-faktor psikografis yang berkorelasi dengan pengalaman pelecehan seksual di tempat umum. Hasil dari penelitian tersebut yaitu: 1. Persepsi Kearl (2010) mengatakan bahwa rumitnya aspek yang ada di dalam sebuah perbuatan pelecehan di tempat umum adalah bentuk perlakuan dan komen itu sendiri. Hal ini membuat variasi pada setiap pengalaman pelecehan yang dialami pada setiap orang dan bahkan bervariasi dalam setiap skenario kejadiannya. Seperti, komen yang dirasa melecehkan bagi satu perempuan belum tentu dirasakan hal yang sama pada perempuan lain dan perilaku yang dilakukan oleh satu pria pada kesempatan tertentu dapat dirasakan menakutkan dan mengganggu bagi satu perempuan dimana perbuatan yang sama di kesempatan yang berbeda tidak dirasakan hal yang sama pada perempuan tersebut. 2. Tingkat Keparahan Pelecehan Kearl (2010) mengatakan bahwa tipe dan keparahan dari perilaku dan komentar yang diberikan oleh pria pada kasus pelecehan seksual di tempat umum juga akan mempengaruhi bagaimana perempuan memandang dan menilai hal tersebut. Heben (1994, dalam Kearl, 2010) dalam tulisannya menyatakan bahwa perempuan menginterpretasi gangguan fisik, ajakan seksual secara eksplisit, dan hinaan rasis merupakan perilaku yang dinilai parah dan membuat mereka menjadi sangat sedih.. Menurut Kearl (2010) berdasarkan penelitan yang dilakukannya, ia Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 menemukan bahwa kebanyakan perempuan menilai senyuman, sapaan, dan komentar yang tidak menyangkut gender seperti komentar soal cuaca sebagai sesuatu yang dapat diterima dan bahkan menyenangkan. 3. Frekuensi Pelecehan Penelitian yang dilakukan oleh Kearl (2010) menyatakan bahwa perempuan yang sering menerima pelecehan yakni hampir setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan lebih tidak melihat bahwa komentar terhadap penampilannya atau siualan terhadapnya sebagai sesuatu yang menggoda dibandingkan pada mereka perempuan yang menerima peristiwa demikian dalam hitungan yang jarang atau biasa disebut “masih dalam hitungan jari”. Coping Respon Coping respon merupakan proses atau upaya yang dilakukan individu dalam menghadapi dan mengantisipasi situasi dan kondisi yang menekan atau mengancam baik fisik maupun psikis (Lazarus & Folkman, 1984). Proses tersebut dapat berupa menguasai kondisi yang ada, menerima kondisi yang dihadapi, melemahkan atau memperkecil masalah yang dihadapinya (Pestonjee, 1992; Taylor, 2003, Hernandez, 2006). Ketika pelecehan seksual adalah sebuah stressor, keparahan yang ada menjadi meningkat ketika pelecehan menjadi lebih sering dan juga tipe pelecehan yang ikut meningkat (Baker, Terpstra, & Larntz, 1990 dalam Cortina & Wasti, 2005). O’Donohue (1997) membagi bentuk coping respon terhadap pelecehan seksual menjadi coping respon langsung atau aktif dan tidak langsung atau pasif. • Coping Tidak Langsung atau Pasif Respon yang paling umum terhadap pelecehan seksual pada awalnya adalah tidak memperdulikannya atau mengabaikannya (Benson & Thomson, 1982, dalam O’Donohue, 1997). Beberapa korban merespon secara pasif terhadap pelaku hanya karena mereka tidak menyadari adanya kemungkinan sebuah bentuk pengaduan yang resmi (Reilly, Lott dan Gallogly, 1986, dalam O’Donohue, 1997). Akhirnya, banyak korban pelecehan seksual mentoleransi bentuk-bentuk pelecehan karena mereka tidak percaya jika apapun dapat dilakukan dalam menghadapi pelecehan ini (Allen dan Erickson, 1989, dalam O’Donohue, 1997). Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 Selain itu, adanya penguatan dalam diri mereka bahwa ada harapan jika pelecehan seksual akan hilang jika mereka mengabaikannya juga ikut menyumbang alasan ketika korban memilih untuk menggunakan coping respon pasif ini (Benson & Thomson, 1982, dalam O’Donohue, 1997). • Coping Langsung atau Aktif Melakuakan pengaduan resmi atau melaporkan kasus pelecehan seksual terhadap pihak yang berwenang menjadi sesuatu yang jarang dilakukan oleh korban (Fitzgerald., et al 1998, dalam O’Donohue, 1997). Hal ini menggambarkan bahwa perempuan dengan berbagai macam alasan yang ada, tidak merasa bahwa jika melakukan pelaporan secara resmi kepada pihak yang berwenang merupakan sesuatu yang pantas. Mereka merasa sangat malu untuk melaporkan kasus pelecehan, mereka meyakini bahwa pelaporan yang dilakukan tidak akan mengubah situasi yang telah terjadi, takut akan adanya pembalasan dendam, takut dilabel sebagai pembuat masalah, atau takut tidak dipercaya (Culbertson et al., 1992, dalam O’Donohue, 1997). Kemudian, peneliti akan menjelaskan dua coping respon yang menjadi fokus dalam penelitian ini yakni self blame atau menyalahkan diri sendiri dan benign atau menganggapnya sebagai pujian, sebagai berikut: • Self Blame Self blame atau menyalahkan diri sendiri adalah salah satu bentuk coping yang diteliti pada korban pelecehan seksual (Meyer & Taylor, 1986 dalam O’Neill & Kerig, 2000). Atribusi kesalahan (blame atrribution) merupakan proses dimana individu menyalahkan diri sendiri atau sumber dari luar dirinya. Heider (1958, dalam Engelstatter, 2004) mengatakan bahwa individu akan membuat atribusi internal atau ekstrnal pada kesalahan. Menyalahkan diri sendiri atau self blame adalah atribusi internal. Atribusi eksternal pada kesalahan dapat dijelaskan pada perilaku yang menempatkan kesalahan pada individu lain atau faktor lingkungan maupun sosial. • Benign atau Complementary Ketika bentuk pelecehan terlihat sangat jelas, yakni tidak samar atau tidak berlangsung sangat cepat, para perempuan cenderung berespon dengan berusaha Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 menganggapnya sebagai lelucon sehingga diharapkan pelaku dapat tidak merasa puas terhadap perbuatan yang dilakukannya (Gardner , 1995). Peran Gender Peran gender merupakan norma atau ekspektasi masyarakat atas perilaku, ketertarikan, sikap, kemampuan, dan kepribadian yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan (W.Santrock, 2002). Buttler (1990; Giroux & McLaren, 1994, dalam Watson, 2011) mengatakan bahwa gender tidak hanya dikonstruksi secara sosial tapi juga ditampilkan atau dilakukan. Peran Gender Tradisional Perempuan dapat berperan dengan baik ketika mereka diharapkan menjadi seseorang yang bergantung pada orang lain, memiliki sifat pengasuh, dan tidak tertarik pada kekuasaan (Papalia, Sterns, Feldman, & Camp, 2002). Terdapat penelitian mengenai atribusi diri pada perempuan dan laki-laki. Perempuan yang mencegah untuk menjelaskan penyebab kesuksesannya namun mampu menjelaskan penyebab kegagalannya dalam suatu hal cenderung lebih tradisional dalam peran gendernya, memiliki kemampuan yang rendah, dan rendah dalam motivasi berprestasi (Teglasi, 1978 dalam Matlin, 1987). Peran Gender Non-Tradisional Jika pada masa sebelumnya para perempuan hanya memiliki dua peran tradisional, yakni menjadi seorang ibu dan juga seorang istri. Maka seiring perkembangan zaman, saat ini perempuan sudah memiliki peran tambahan yakni, peran sebagai seorang pekerja (Perum & Bielby, 1981 dalam Matlin, 1987). Kebanyakan perempuan yang bekerja di luar rumah didasari alasan kebutuhan ekonomi (Matlin, 1987). Adanya pengalaman bekerja di luar rumah dan terpapar dengan pengalaman dan ide-ide baru menghasilkan ide yang liberal mengenai peran gender. Perempuan yang sudah memiliki ide liberal memutuskan untuk mencari pekerjaan, sedangkan perempuan dengan ide yang tradisional meyakini bahwa tempat perempuan adalah di rumah dan memutuskan untuk tetap berada disitu (Matlin, 1987). Berbeda pada perempuan dengan peran gender nontradisional yakni memiliki motivasi berprestasi yang lebih tinggi dan menunjukan pola atribusi yang khas seperti laki-laki yakni tidak menyalahkan diri sendiri Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 ketika mengalami kegagalan dan bangga terhadap kesuksesan yang diraihnya (Matlin, 1987). Objektifikasi Diri Menurut Fredrickson dan Roberts (1997) objektifikasi diri adalah konsekuensi utama dari objektifkasi seksual dimana perempuan mengadopsi pandangan orang lain mengenai dirinya. Akibatnya mereka memperlakukan diri mereka sebagai objek yang sekedar untuk bisa dilihat atau dievaluasi. Objektifikasi diri diwujudkan dalam pengamatan tubuh yakni, perbuatan mengukur tubuh secara konsisten apakah sudah sesuai terhadap standar masyarakat atau belum sehingga pada akhirnya rasa malu pada tubuh (body shame) merupakan emosi yang dihasilkan dari perbuatan tersebut (Moradi, Dirks, & Matteson, 2005). Metode Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah 140 perempuan usia 20-40 tahun yang berdomisili di Jabodetabek. Penelitian ini termasuk dalam tipe penelitian kuantitatif dengan tipe korelasional yakni bertujuan untuk mengukur dan menggambarkan asosiasi dan hubungan antar variabel. Lebih lanjut lagi, tujuan dari penelitian korelasional ini adalah untuk membuktikan bahwa hubungan antar variabel benar hadir dan menggambarkan sifat hubungan tersebut (Gravetter & Forzano, 2009). Dalam penelitian ini, aspek atau variabel yang ingin dilihat dan diteliti hubungannya adalah pelecehan seksual di tempat umum, coping respon, peran gender, dan objektifikasi diri. Berdasarkan periode referensinya, penelitian ini termasuk dalam penelitian retrospektif. Penelitian ini berusaha untuk meneliti suatu fenomena, situasi atau isu yang sudah terjadi di masa lalu atau sudah ada sebelumnya (Kumar, 2005). Berdasarkan sifat penelitian, penelitian ini tergolong ke dalam penelitian yang bersifat non-eksperimental karena peneliti tidak melakukan manipulasi atau kontrol terhadap variabel yang diteliti. Penelitian ini menggunakan empat alat ukur berupa kuesioner yang terdiri dari; Sexual Experiences Questionnaire (SEQ) yang sudah dimodifikasi oleh Fairchild dan Rudman (2008), Coping Harassment Questionnaire (CHQ) yang dikembangkan oleh Fitzgerald, Hulin, dan Drasgow (1994) yang sudah Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 dimodifikasi oleh Fairchild dan Rudman (2008). Masing – masing tipe coping respon yang diukur yakni coping respon aktif, pasif, menyalahkan diri sendiri (self blame), dan ramah (benign), Atittudes Toward Women Scale yang dikembangkan oleh Spence dan Helmreich (1972), dan juga Objectification Body Consciousness Scale (OBCS) yang dikembangkan oleh McKinley dan Hyde (1996) dan dimodifikasi oleh Fairchild dan Rudman (2008). Hasil Penelitian Sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah perempuan berusia antara 20-24 atau <24 tahun, yaitu sebanyak 124 orang (88,6%), berdomisili di kota Depok yakni sebanyak 32 orang (22.9%), berpendidikan terakhir SMA/SMK yaitu sebanyak 78 orang (55,7%), dan sebanyak 130 orang (92,9%) masih berstatus belom menikah. Lebih lanjut, mayoritas responden masih berstatus sebagai mahasiswa, yaitu sebanyak 99 orang (70,7%) dan kika dilihat dari pengeluaran per bulan, mayoritas pengeluaran partisipan berada pada rentang Rp 1.000.000 s/d Rp 2.000.000 dengan jumlah responden sebanyak 51 orang (36,4%). Gambaran Demografis Responden Aspek Demografis Kategori Usia <25 tahun 25-30 tahun >30 tahun Total Domisili Jakarta Depok Tangerang Bekasi Bogor Total Pendidikan SMA/SMK Terakhir Diploma S1 S2 Total Status Lajang Pernikahan Sudah Menikah Janda Total N (140) 124 13 3 140 66 32 26 4 12 140 78 13 48 1 140 130 10 0 140 (%) 88.6 9.3 2.1 100 47.1 22.9 18.6 2.9 8.6 100 55,7 9,3 34,3 0,7 100 92,9 0 0 100 Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 Aspek Demografis Kategori Pekerjaan Mahasiswa Pegawai Negeri Sipil Pegawai Swasta Pegawai BUMN Ibu Rumah Tangga Wiraswasta Dan lain-lain Total Pengeluaran ≤ Rp 1.000.000; Rutin/Bulan Rp 1.000.000 s/d Rp 2.000.000; Rp 2.000.000 s/d Rp 3.000.000; Rp 3.000.000; s/d Rp 4.000.000; ≥ Rp 4.000.000 Total N (140) (%) 99 1 24 6 8 1 1 140 41 51 70,7 0,7 17,1 4,3 5,7 0,7 0,7 100 29,3 36,4 29 20,7 10 7,1 9 140 6,4 100 Skor rata-rata pengalaman pelecehan seksual responden adalah 5,65 (SD=3,78), skor rata-rata objektifikasi diri adalah 87,15 (SD=11,15) dan skor ratarata peran gender responden adalah 47,3 (SD=9,06). Kemudian pada gambaran coping respon responden, berdasarkan empat jenis coping yang ada, yakni skor rata-rata benign coping adalah 15,26 (SD=6,21), coping aktif 17,66 (SD=4,89), coping pasif 25,97 (SD= 10,12), dan self blame coping 12,94 (SD=4,56). Gambaran Umum Variabel Penelitian Variabel Penelitian Pengalaman Pelecehan Objektifikasi Diri Peran Gender Coping respon Benign Coping Aktif Coping Pasif Self Blame Rata-rata Nilai Maksimum Nilai Minimum Standar Deviasi 5,65 22 0 3,78 87,15 124 66 11,15 47,3 68 24 9,06 15.26 17.66 25.97 12.94 42 26 47 26 6 4 7 4 6.21 4.89 10.12 4.56 Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 Hasil perhitungan regresi linear yang ada menunjukkan pengalaman pelecehan seksual di tempat umum tidak berpengaruh secara signifikan terhadap objektifikasi diri didapat p-value (Sig) 0.201 > 0.05. Regresi Linear untuk Memprediksi Objektifikasi Diri Prediktor Pengalaman Pelecehan Peran Gender Coping Respon Coping Aktif Coping Pasif Self Blame R 0.109 R2 0.012 Beta (β) -0.109 Sig. 0.201 0.228 0.281 0.052 0.079 -0.228 0.007** 0.025* Benign 0.079 0.034 0.235 0.077 **<0.01;*p<.05 Kemudian analisis selanjutnya dapat dilihat bahwa peran gender berpengaruh secara signifikan terhadap objektifikasi diri dengan β = -0.228; p < 0.01. Nilai coefficient determination (R Square) sebesar 0.052 yang berarti sebanyak 5,2% variasi skor objektifikasi diri dapat dijelaskan oleh skor peran gender dan 94,8% sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Terakhir dapat diketahui bahwa coping respon berpengaruh secara signifikan terhadap objektifikasi diri dengan β = 0.180,-0.92,0.178,0.186 ; p < 0.05. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0.079 dapat diartikan bahwa sebanyak 7,9% variasi skor objektifikasi diri dapat dijelaskan oleh skor masing-masing tipe coping respon dan 92,1% sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Disimpulkan juga bahwa tipe coping respon self blame (Beta = 0.235; p = .025) memberikan sumbangan paling besar terhadap pengalaman objektifikasi diri. Tipe coping respon lainnya (coping aktif, coping pasif, dan benign) tidak cukup besar dan tidak signifikan dalam menyumbang pengalaman objektifikasi diri. Hasil tambahan penelitian diperoleh dari perbandingan lebih dari dua kelompok yang akan menggunakan perhitungan one-way analysis of variance (ANOVA). Perbandingan dibuat berdasarkan data pada responden yang akan dihubungkan masing-masing dengan variabel pelecehan seksual di tempat umum, coping respon, dan objektifikasi diri. Dari hasil analisis ditemukan bahwa terdapat Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan terhadap pengeluaran rutin/bulan yang dikeluarkan oleh responden terhadap persepsi pelecehan seksual di tempat umum dalam penelitian ini, selain itu juga terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan pada golongan usia dan pendidikan terakhir terhadap jenis coping respon yang digunakan responden dalam penelitian ini. (Tabel di Lampiran). Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukan tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari pengalaman pelecehan seksual di tempat umum terhadap objektifikasi diri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fairchild dan Rudman (2008) melalui metode kuesioner online bahwa tidak ditemukannya hubungan antara pelecehan seksual di tempat umum dan objektifikasi diri. Selain itu hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Lord (2009) bahwa tidak adanya korelasi yang signifikan antara frekuensi dari pelecehan seksual di tempat umum dan objektifikasi diri. Bila dikaitkan dengan karakteristik sampel penelitian, yakni sebagian besar adalah mahasiswa dan berpendidikan terakhir SMA/SMK dapat dikatakan bahwa sampel penelitian ini lebih sedikit mempersepsi dirinya mengalami pelecehan seksual di tempat umum. Hal ini dapat dilihat dari gambaran deskriptif frekuensi pelecehan seksual di tempat umum yang dialami sampel. Hasilnya menunjukan sampel yang melaporkan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat umum hanya sebanyak 40%. Dari data statistik tersebut dapat dilihat bahwa hanya beberapa bentuk pelecehan yang pernah dialami dan tidak dalam frekuensi pelecehan yang sering (hampir setiap hari atau setiap hari). Data yang yang ada juga bisa disebabkan para sampel bisa saja membatasi dirinya dalam mernjawab setiap pertanyaan yang ada. Sampel bisa saja tidak menjawab pertanyaan dengan jujur atau adanya rentang waktu yang akhirnya membuat sampel menjadi lupa untuk mengingat kembali peristiwa atau pengalaman pelecehannya di masa lalu. Menurut Hill (2002) keakuratan data bisa berkurang ketika responden tidak menjawab setiap item dalam self reported secara jujur. Masih dalam sumber yang sama, Hill mengatakan bahwa hal ini bisa saja disebabkan oleh kehilangan ingatan pada responden (memory lapses) terutama ketika diminta untuk mengingat kembali (recall) frekuensi dari Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 pengalaman yang terjadi sepanjang hidupnya. Kemudian terdapat juga faktor berbagai macam bias respon, seperti adanya keinginan pada responden untuk terlihat condong pada satu jawaban dan keengganan untuk memikirkan terlalu lama yang akhirnya akan membangkitkan trauma yang dimiliki (Hill, 2002). Faktor lain adalah faktor demografis dari sampel. Menurut Kearl (2010) salah satu faktor tersebut adalah konteks tempat terjadinya pelecehan. Responden dalam penelitian ini yang sebagian besar adalah mahasiswa, mungkin mereka lebih sering menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan harus menggunakan sarana transportasi umum. Hal ini juga masih sejalan dengan pendapat Kearl (2010) yang mengatakan bahwa perempuan yang membawa mobil sendiri juga lebih sedikit mengalami pelecehan dibandingkan dengan mereka yang menggunakan sarana transportasi umum, meskipun mereka masih dapat mengalami pelecehan ketika berjalan kearah menuju mobilnya atau di lampu merah. Berlanjut pada hasil analisis selanjutnya mengenai pengaruh coping respon terhadap objektifikasi diri. Hasil menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan. Sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara kekuatan emosional negatif pada respon perempuan dalam menghadapi pelecehan seksual di tempat umum dan objektifikasi diri. Hasil penelitian ini berdasarkan regresi ganda menyebutkan bahwa tipe coping self blame memberikan sumbangan paling besar pada objektifikasi diri. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fairchild dan Rudman (2008) bahwa perempuan yang merespon pelecehan seksual di tempat umum dengan coping respon aktif, pasif, menganggap sebagai pujian (benign), maupun self blame akan mengalami objektifikasi diri. Peneliti menduga bahwa ketika individu memilih untuk menyalahkan diri mereka atas bentuk komentar atau perlakuan yang tidak menyenangkan yang mereka terima membuat individu akhirnya lebih menginternalisasi pandangan orang lain terhadap dirinya. Dimana bahwa komentar yang mereka terima sudah sepantasnya diterima, karena memang hal tersebut disebabkan oleh dirinya. Tylka dan Horvath (2010) mengatakan bahwa asertifitas sangat penting untuk menahan komentar atau perilaku mengobjektifikasi secara efektif. Demikian juga yang dikatakan oleh Langelan (1993, dalam Tylka & Horvath, Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 2010) bahwa terdapat strategi yang bisa digunakan untuk menolak bentuk objektifikasi, strategi ini dapat membuat perempuan merasa berdaya karena mereka tidak secara pasif mau menerima bentuk objektifikasi terhadap tubuhnya dan perilaku ini dapat digunakan untuk mencegah bentuk pengobjektifikasian di masa yang akan datang. Hasil penelitian selanjutnya adalah melihat apakah peran gender berpengaruh mempengaruhi terhadap objektifikasi objektifikasi diri. diri. Adanya Peran gender pengaruh yang individu juga berkebalikan menunjukkan bahwa semakin tradisional peran gender perempuan maka semakin tinggi objektifikasi diri yang dialaminya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Choma dkk (2010) bahwa perempuan yang membawa peran gender lebih feminin atau non tradisional dilaporkan lebih tidak merasa malu pada bentuk tubuhnya (body shame). Jadi ketika para perempuan ini lebih menjalankan peran gender tradisionalnya, mereka akan mengikuti ekspektasi masyarakat mengenai bentuk tubuh yang ideal. Mungkin saja mereka merasa bahwa telah mendekati norma masyarakat yang ideal, meski tidak langsung pada bentuk dan ukuran tubuh namun mereka berusaha mendekati norma atau harapan masyarakat dengan cara pada pemakaian pakaian atau kosnmetik yang digunakan. Bartky (1990, dalam Hill, 2002) mengatakan bahwa proses objektifikasi merupakan bagian dari bentuk penindasan pada perempuan secara umum. Masih berdasarkan sumber yang sama, Bartky mengatakan bahwa bagian dari penindasan ini membuat anggota kelompok subordinat mau menerima kenyataan bahwa mereka adalah objek. Pada penelitian ini dikatakan bahwa perempuan dengan peran gender tradisional akan menjalankan peran sebagaimana standar yang dibentuk oleh masyarakat. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Smolak dan Murnen (2010) bahwa perempuan (istri) yang lebih memilih untuk berada di rumah, secara finansial akan lebih bergantung pada laki-laki sehingga mereka merasa harus dapat tampil menarik di depan laki-laki. Pada hal ini, masyarakat menetapkan peran kepada mereka bahwa perempuan harus tampil seksi dan menarik di depan laki-laki. Hal ini juga sejalan dengan pendapat MicKinley (1999) bahwa pada perempuan dengan peran gender tradisional akan melihat bahwa untuk dapat dilihat cantik dan menarik adalah salah satu aspek penting Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 untuk menarik perhatian laki-laki dan untuk membangun hubungan romantis yang sukses. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa sampel penelitian yang berpendidikan tinggi lebih aware akan adanya bentuk pelecehan. Sehingga ketika mereka yang berperan gender lebih tradisional akan menganggap bahwa ketika mendapatkan perlakuan yang menempatkan diri mereka sebagai objek merupakan sebuah hal yang lumrah yang sewajarnya diterima. Sehingga mereka akan menginternalisasi komentar atau pandangan seksual yang diterimanya sebagai sebuah norma yang harus dipatuhi dan mencoba untuk menyesuaikan kepada pandangan masyarakat yang ada. Hal inilah yang akan mengantarkan mereka kepada pengalaman objiktifkasi diri. Peneliti melakukan pengujian tambahan untuk melihat hubungan antara data demografis responden dengan pelecehan seksual di tempat umum, coping respon, dan objektifikasi diri. Diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pengeluaran rutin/bulan dengan persepsi pelecehan seksual di tempat umum dalam pada responden. Hasil analisis ini sesuai dengan analisis sebelumnya bahwa terdapat hubungan antara peran gender dan pelecehan seksual di tempat umum. Dimana dalam penelitian ini, responden dengan pengeluaran Rp 3.000.000; s/d Rp 4.000.000; memiliki nilai rata-rata yang paling besar diantara kelompok responden yang lain. Dapat dikatakan bahwa mereka merupakan responden dalam kategori sosial ekonomi tinggi. Kearl (2010) mengatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi frekuensi banyaknya mengalami pelecehan seksual di tempat umum adalah status sosial ekonomi. Namun hasil penelitian yang ada tidak sesuai dengan pendapat Kearl (2008) yang mengatakan bahwa perempuan dengan kondisi sosial eknomi yang tinggi dapat memanfaatkan mobil pribadi atau taksi yang dapat melindungi mereka dari berbagai bentuk pelecehan seksual di tempat umum. Mereka bisa saja untuk memilih bekerja dari rumah sehingga mereka bisa lebih sedikit untuk keluar rumah seorang diri. Disisi lain, perempuan dengan kelas sosial rendah lebih sering memiliki pekerjaan yang memaksa mereka harus pergi keluar rumah sehingga membuat mereka juga harus menggunakan sarana transportasi umum. Perbedaan yang terjadi dalam penelitian ini bisa disebabkan bahwa dengan kondisi jalanan di Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 kota-kota besar di Indonesia yang cenderung dipenuhi dengan kemacetan dan mereka tetap dituntut untuk bisa selalu tepat waktu dalam bekerja dan beraktifitas mau tidak mau menggunakan transportasi umum atau berjalan kaki adalah alternative yang harus dipilih. Sarana transportasi umum inilah yang semakin mendekatkan mereka pada resiko mengalami pelecehan seksual di tempat umum. Kemudian pada analisis hubungan antara coping respon dengan data demografis responden ditemukan bahwa coping respon berkorelasi dengan usia dan pendidikan terkahir responden. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa coping respon bisa dipengaruhi oleh aspek demografis dari responden. Selain itu terdaapat fakta bahwa perempuan yang memiliki kekuatan sosial budaya yang rendah juga menampilkan respon yang tidak berdaya dalam peristiwa pelecehan seksual yang menimpanya (Gruber & Bjorn, 1986). Kekuatan sosial budaya yang rendah ini juga bisa dihubungan dengan tingkat pendidikan dari responden. Dimana semakin tinggi tingkat pendidikan responden semakin menunjukan respon yang aktif dalam menghadapi pelecehan seksual di tempat umum. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengalaman pelecehan seksual di tempat umum, coping respon yang digunakan dan peran gender terhadap objektifikasi diri pada perempuan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui tipe coping respon yang memberikan pengaruh lebih besar terhadap objektifikasi diri. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan pengalaman pelecehan seksual di tempat umum tidak memiliki pengaruh terhadap objektifikasi diri. Lalu, terdapat pengaruh yang berkebalikan dari peran gender terhadap objektifikasi diri pada perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tradisional peran gender individu tersebut maka semakin mengalami objektifikasi diri. Lebih lanjut, dapat diketahui bahwa coping respon dapat mempengaruhi objektifikasi diri pada perempuan. Tipe coping respon yang memberikan sumbangan paling besar terhadap pengalaman objektifikasi diri adalah coping respon self blame yang didefinisikan sebagai proses dimana individu menyalahkan diri sendiri terkait pengalaman yang terjadi. Berdasarkan hal Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 tersebut, semakin sering individu menggunakan coping respon self blame maka semakin tinggi kecenderungan untuk mengalami objektifikasi diri. Saran Saran Metodologis Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut: 1. Pada penelitian berikutnya, sebaiknya peneliti membatasi tempat-tempat umum yang merupakan karakteristik yang akan diteliti. 2. Penelitian selanjutnya sebaiknya memperhatikan aspek status sosial ekonomi sebagai salah satu faktor yang akan mempengaruhi akibat adanya pengalaman pelecehan seksual di tempat umum. Saran Praktis Selain saran metodologis, berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut: 3. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan kampanye bahwa perempuan tidak harus mementingkan penampilan mereka saja, melainkan dari aspek postif lain yang dimilikinya seperti pendidikan dan pencapaian karir yang baik. 4. Praktisi psikologis perlu membuat intervensi terhadap coping respon yang digunakan oleh perempuan dalam menghadapi pelecehan, terutama pelatian dalam menggunakan coping aktif atau asertif. 5. Bagi praktisi hukum, perlu dibuatnya aturan yang jelas terkait dengan hukuman pada pelaku pelecehan seksual di tempat umum sehingga dapat membuat kaum perempun menjadi merasa aman dan nyaman untuk beraktifitas dengan bebas di tempat umum. Kepustakaan Bishop, A. M. (2011). Objecting Objectification: Finding The Links Between SelfObjectification, Views On Harassment, And Agreement With Traditional Sex Roles. Thesis Projects Western Kentucky University: Honors College Capstone Experience. Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 Bowman, C. G. (1993). Street harassment and the informal ghettoization of women. Harvard Law Review, 106, 517–580. Cortina, L. M., & Wasti, S. A. (2005). Profiles in Coping: Responses to Sexual Harassment Across Persons, Organizations, and Cultures. Journal of Applied Psychology Vol. 90, No. 1 , 182–192. Engelstatter, M. T. (2004). SELF-BLAME, COPING, PERCEIVED CONTROL AND PSYCHOLOGICAL SYMPTOMS IN CHILD SEX OFFENDERS AND BATTERERS. Wilmington: University of North Carolina. Fairchild, K., & Rudman, L. A. (2008). Everyday Stranger Harassment and Women's. Soc Just Res 21 , 338-357. Fredrickson, B. L., & Roberts, T.-A. (1997). Objectification Theory; Toward Understanding Womenls Lived Experiences and Mental Health Risks. Psychology of Women Quarterly, 173-206. Gardner, C. B. (1995). Passing by: Gender and public harassment. Berkley, CA: University of California Press. Heimerdinger-Edwards, S. R., Vogel, D. L., & Hammer, J. H. (2011). Extending Sexual Objectification Theory and Research to Minority Populations, Couples, and Men. The Counseling Psychologist 2011 39: 140 , 140152. Hernandez, B. C. (2006). The Children’s Koping Behavior Questionnaire: Development and validation. Loyola University, New Orlean. Hill, M. S. (2002). Examining objectification theory: Sexual objectification's link with Self Objectification and Moderation by Sexual Orientation and Age in White Women. The University of Akron: ProQuest Dissertations and Theses. Kearl, H. (2010). Stop Steer Harassment: Making Public Places Safe and Welcoming for Women. California: Greenwood publishing Group. Kamala Candrakirana, d. (2009). Kita Bersikap: Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalanan Bangsa. Jakarta: Komnas Perempuan. Knapp, D. E., Faley, R. H., Ekeberg, S. E., & Dubois, C. L. (1997). Determinants of Target Responses to Sexual Harassment: A Conceptual Framework. The Academy of Management Review, Vol. 22, No. 3 , 687-729. Macmillan, R., Nierobisz, A., & Welsh, S. (2000). Experiencing the Streets: Harassment and Perceptions of Safety among Women. Journal of Research in Crime and Deliquency, 307-321. Matlin, M. W. (1987). The Psyvhology Of Women. Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013 Moradi, B. (2010). Objectification Theory: Areas of Promise and Refinement. The Counseling Psychologist 2011 39 , 153-165. Moradi, B., Dirks, D., & Matteson, A. V. (2005). Roles of Sexual Objectification Experiences and Internalization of Standards of Beauty in Eating Disorder Symptomatology: A Test and Extension of Objectification Theory. Journal of Counseling Psychology Vol. 52, No. 3 , 420–428. O’Donohue, William. 1997. Sexual Harassment, Theory, Research, and Treatment. Boston : Allyn and Bacon. O’Neill, M. L., & Kerig, P. K. (2000). Attributions of self-blame and perceived control as moderators of adjustment in battered women. Journal of Interpersonal Violence, 15 (10), 1036-1049. Oshynko, N. A. (2002). NO SAFE PLACE: The Legal Regulation of Street Harassment. Vancouver, Canada: The University of British Columbia. Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2002). Adult Development and Aging Second Edition. New York: McGraw-Hill. Sullivan, H. B. (2011). "HEY LADY, YOU‘RE HOT!" EMOTIONAL AND COGNITIVE EFFECTS OF GENDER-BASED STREET HARASSMENT ON WOMEN. Pennsylvania: A Dissertation from Indiana University of Pennsylvania. W.Santrock, J. (2002). A Topical Aprroach to Life-Span Development. New York: McGraw-Hill. Wasti, S. A., & Cortina, L. M. (2002). Coping in Context: Sociocultural Determinants of Responses to Sexual Harassment. Journal of Personality and Social Psychology Vol 83 No.2 , 394-405. Watson, P. (2011). Stereotype Threat and Adolescent Males in Choirs: A Reflection of Gender Beliefs? Auckland: The University of Auckland. Pengaruh Pengalaman..., Niken Kumalasari, FPsi UI, 2013