REKONSTRUKSI OBJEKTIF DAN SUBJEKTIF DALAM PEMIKIRAN ISLAM (Studi Penafsiran Abdul Hamid Hakim tentang Ahli Kitab) Nasrullah Dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir FIAI UNISI Tembilahan E-Mail: [email protected] Abstrak Tulisan ini mengangkat salah satu pemikiran ulama Nusantara, yang bernama Abdul Hamid Hakim. Tokoh yang menjadi fokus kajian ini, memiliki suatu penafsiran tentang konsep ahli kitab. Pendekatan dalam analisis kajian ini menggunakan teori hermeneutika Schleirmacher tentang dimensi rekonstruksi objektif dan subjektif pengarang dalam membedah pemikirannya. Dalam analisisnya yang menarik dan dianggap kontroversial, tokoh ini memberikan tafsir dalam konteks memperluas cakupan makna ahli kitab, tidak se-ekslusif sebagaimana tafsiran para mufassir klasik pda umummnya. Konsekuensi tafsir ini berdampak pada suatu inklusifitas terhadap cakupan komunitas kaum beriman dalam konfigurasi sosial, politik dan budaya dalam hubungannya dengan kaum muslim. Oleh sebab itu pemikirannnya tentang ahli kitab ini dianggap sebagai kontribusi argumentatif dalam konteks tafsir hubungan antar agama di era multi agama dan multi kultural kini. Kata Kunci: Penafsiran, Hermeneutika, Ahli Kitab, Hubungan Antar Agama A. Pendahuluan Semua bentuk pemikiran, menurut Nashr Hamid Abu Zaid secara aksiomatis, tidak luput dari gesekan ruang dan waktu, atau independen dari kondisi objektif, baik secara sosiologis, politis dan budaya. Pemikiran sebenarnya merupakan suatu jawaban, respon atau 46 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 merupakan solusi, baik untuk persoalan sosial maupun politis yang bersifat mengubah atau melegitimasi pemikiran sebelumnya. 1 Telah menjadi suatu asumsi, bahwa teks atau pemikiran bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah. Namun, di balik sebuah teks atau pemikiran sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami variabel dan situasi di balik sebuah teks atau pemikiran yang dilahirkan, seperti kondisi-kondisi di atas. Dapat dikatakan, bahwa setiap pemikir hakikatnya adalah “tawanan” situasi dan dibatasi oleh kondisi riil sekitarnya. Hal yang sama dikatakan pakar filsafat sejarah, Louis Gottschalk, bahwa pemikiran seseorang pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari interaksi antara orang tersebut dengan realitas yang mengitarinya. Oleh karena itu, menurutnya seorang peneliti apabila ingin mengerti pemikiran seorang tokoh, maka ia harus mempertimbangkan segi-segi sosial budaya bahkan politik yang menjadi sasaran studinya. 2 Atas dasar itu, salah satu pendekatan yang relevan untuk menangkap apa sesungguhnya yang ada di balik teks dan fenomena pemikiran dengan segala latar belakang kultur maupun kondisi sosial maupun intelektual yang melingkupi kehidupan seorang tokoh yang akan dikaji, adalah pendekatan hermeneutika. Karena, dalam hermeneutika terdapat proses dialektika triadik yang intens antara sang 1 Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majaz dalam AlQur'an Menurut Mu'tazilah, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 23. 2 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, alih bahasa Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1983), hlm. 23. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 47 Nasrullah peneliti (penafsir), teks (obyek studi), dan pengarang (pemikir) dengan segala komponen perangkat analisis untuk menghantarkan kepada suatu interpretasi dan pemahaman (verstehen) terhadap suatu teks yang akan menghasilkan sebuah makna. Salah satu ciri pendekatan hermeneutika ialah adanya kesadaran yang mendalam, bahwa untuk menangkap makna sebuah teks atau pemikiran, tidak bisa hanya mengandalkan pemahaman grammatika bahasa teks secara struktural, melainkan memerlukan data imajinasi konteks sosial serta psikologis pengarang teks.3 Secara umum, hermeneutika adalah sebuah ilmu memahami (recovery of meaning). Schleirmacher, salah seorang tokoh hermeneutika klasik, memulai proyek ini dengan menggaris bawahi, bahwa hermeneutika adalah sebuah teori umum tentang kognisi. Ada dua hal yang ditawarkannya dalam pembacaan teks, yaitu interpretasi grammatikal dan interpretasi psikologis yang bergerak simultan. Interpretasi grammatikal adalah syarat berpikir, sedangkan interpretasi psikologis adalah pemahaman untuk menangkap pribadi pengarang teks. Kedua model "pembacaan" ini bagi Schleirmacher, berada dalam rekonstruksi-historis obyektif dan subyektif yang dilakukan oleh penafsir. Rekonstruksi obyektif-historis bekerja untuk mengenal keseluruhan teks, sementara rekonstruksi subyektif bergerak dalam cakrawala pengarang. Di sinilah kemudian hermeneutika menjadi “proses” interpretasi dan pemahaman sekaligus.4 3 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 217. 4 E Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 38-40. 48 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 Tulisan ini ingin mengangkat pemikiran seorang tokoh ulama Nusantara, yang bernama Abdul Hamid Hakim (selanjutnya disebut A. H. Hakim), di mana tokoh asal ranah Minang ini, disebut oleh Nurcholish Madjid (sering juga dipanggil dengan sebutan Cak Nur) sebagai sosok ulama pembaharu dengan penguasaan sumber-sumber keislaman yang luar biasa. Salah satu pemikirannya yang diapresiasi Cak Nur ialah mengenai tafsir tentang ahli kitab.5 Pemikirannya diketahui berbeda dari pendapat kebanyakan ulama pada masanya, dan bisa dikatakan sangat responsif dan positif dalam menilai konsep ahli kitab sebagai legitimasi al-Qur’an dalam hal hubungan antara agama, di tengah kebanyakan literatur atau pendapat ulama yang terkesan “negatif” dalam menilai ahli kitab, baik dari segi sosiologis apalagi dari segi teologis. Oleh karena itu, pemikiran Abdul Hamid Hakim tentang ahli kitab, penyusun anggap sebagai sebuah “teks” yang bisa diberikan tafsir dan makna. Jadi, dapat diasumsikan pemikiran yang hendak dikaji pada dasarnya tidak akan luput dari muatan-muatan kultural, sosial, politik, ideologi, dan gerakan-gerakan keagamaan ketika ia menuliskan pikiran-pikirannya yang kemudian menjadi teks dalam karyanya. Keseluruhan aspek-aspek tersebut melahirkan faktor-faktor pemikiran obyektif dan subyektif. Sebagai sebuah manfaat dari kajian tentang tema ini, ada baiknya dipaparkan suatu alasan manfaat dalam membahas pemikiran A. H. 5 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 189. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 49 Nasrullah Hakim, yang bisa disimpulkan minimal ada dua manfaat yang didapat: pertama, mengapresiasi pemikiran yang lebih responsif terhadap ahli kitab, yang dalam literatur klasik sangat sulit ditemukan, dan kedua, sekaligus apresiasi terhadap ulama Nusantara, dalam hal ini adalah A. H. Hakim sendiri yang dikenal sebagai pengarang produktif buku-buku pelajaran (daras) berbahasa Arab untuk kalangan madrasah dan pesantren di Indonesia, bahkan dipakai sampai ke wilayah negara tetangga di Asia Tenggara.6 B. Pembahasan 1. Mengenal Riwayat Hidup Abdul Hamid Hakim Abdul Hamid Hakim, dilahirkan pada tahun 1893, tepatnya di sebuah desa yang bernama Sumpur, di tepi Danau Singkarak, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Abdul Hakim, seorang yang berprofesi sebagai pedagang di kota Padang, dan ibunya bernama Cari. Hakim adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Kakaknya yang tertua bernama Muhammad Nur, yang kedua adalah Husein. Adapun adik-adiknya antara lain bernama Hasan, Halimah dan Sofya.7 6 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisitradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994, hlm. 128. Lihat juga dalam Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim: Sebuah Upaya Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, disertasi doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2000. Tulisan tentang biografi Abdul Hamid Hakim ini banyak dikutip dari tulisan penelitian di atas. Sebab tulisan tentang biografi tertulis beliau sangat sedikit sumbernya. Berbeda dengan disertasi Isnawati Rais yang banyak menggali informasi tentang A.H. Hakim dari sumber wawancara dari sejumlah murid-murid dan rekan sejawat almarhum. Jadi nuansanya lebih kaya informasi. 7 Ibid. Bandingkan juga dengan Sanusi Latief, (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, (Padang: Islamic Centre, 1988), hlm. 50 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 Masa kecil A.H. Hakim dilewatkan di kota Padang, karena sang ayah bekerja sebagai pedagang di kota tersebut. Di kota ini pula ia sempat menamatkan sekolah tingkat dasarnya. Setelah menamatkan pendidikan dasar, ia kembali ke kampungnya untuk melanjutkan pendidikan di suatu madrasah yang khusus mempelajari al-Qur’an. Setelah berhasil menamatkan madrasah di kampungnya, pada tahun 1908 ia berangkat ke daerah Sungayang, Batu Sangkar untuk belajar berbagai ilmu dasar agama seperti; nahwu, sharaf, fiqih, tauhid, tafsir dan hadis kepada Haji Muhammad Thaib Umar, salah seorang tokoh pembaharu di Minangkabau yang termasuk golongan kaum mudo. Lembaga pendidikan di Minangkabau waktu itu yang lazimnya disebut surau, yang dikelola oleh Thaib Umar ini merupakan salah satu lembaga pendidikan yang telah melakukan semacam perubahan materi dan metode pengajaran ilmu-ilmu alat dan ilmu-ilmu keagamaan dari corak lama ke corak yang lebih baru (terutama dalam penambahan variasi kitab-kitab yang diajarkan) di Sumatera Barat.8 A. H. Hakim di surau ini tercatat hanya menempuh studi selama dua tahun. Namun, berkat ketekunan dan kecerdasannya, dalam waktu yang relatif singkat, iatelah dianggap cukup mengenali dan memahami ilmu-ilmu alat dan keagamaan dari berbagai kitab yang diajarkan gurunya itu. 199. 8 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), hlm. 142. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 51 Nasrullah Setelah belajar selama dua tahun kepada Thaib Umar, pada tahun 1910, Hakim melanjutkan studinya ke Sungai Batang di daerah Maninjau untuk belajar kepada Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), tokoh ulama kaum mudo yang terkenal berwatak keras dan tanpa kompromi, terutama dengan kalangan adat. Sebagai murid yang disayangi oleh sang guru, ia kemudian mengikuti Haji Rasul ketika dua tahun kemudian yakni pada tahun 1912, sang guru pindah ke kota Padang atas permintaan dari sahabatnya Abdullah Ahmad, untuk membantu mengelola majalah al-Munir, yang merupakan salah satu jurnal tempat para pembaharu menuangkan ide dan pemikiran mereka. Ketika sang guru kemudian pindah lagi ke Padang Panjang pada tahun 1914, artinya dua tahun kemudian, karena diminta masyarakat kembali untuk mengelola kembali pendidikan di Surau Jembatan Besi, yang merupakan cikal-bakal dari lembaga pendidikan Sumatera Thawalib, dengan setia ia juga mengikuti gurunya tersebut.9 Melalui bimbingan dan disiplin keilmuan yang diterapkan Haji Rasul, terutama pada saat sang guru menekuni pengajian di Surau Jembatan Besi, A. H. Hakim belajar lebih intensif dan sistematis, sejalan dengan upaya sang guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi murid-muridnya yang semakin hari semakin bertambah. Usaha tersebut ditandai dengan merubah sistem pengajian dari halaqah menjadi sistem klasikal pada tahun 9 Lihat Sanusi Latief, Riwayat Hidup, hlm. 200. 52 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 1916 dengan dibukanya suatu lembaga pendidikan yang bernama Perguruan Sumatera Thawalib. Selama belajar dengan Haji Rasul, ia tidak saja mendalami kembali (muraja’ah) kitab-kitab yang pernah dipelajarinya dengan Thaib Umar, melainkan juga dari kitab-kitab yang berfaham moderen dan rasional, seperti kitab Risalah at-Tauhid karya Muhammad Abduh.10 Kitab lain yang tidak kalah penting yang dipelajari olehnya adalah kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha, yang merupakan kitab tafsir yang memberi inspirasi pemahaman al-Qur’an sesuai dengan semangat moderen.11 Dari semua disiplin ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari A. H. Hakim, nampaknya ia lebih tertarik dan memfokuskan diri dalam spesialisasi bidang fiqh dan ushul fiqih. Hal ini dibuktikan dengan persentase dari buku-buku karangannya yang bisa dikatakan lebih banyak dalam kedua bidang di atas, walaupun ia juga ada menulis karangan dalam bidang akhlak. Selain belajar dengan Haji Rasul sendiri, ia juga diketahui mempelajari kitab-kitab lain secara mandiri atau otodidak, mengingat penguasaan ilmu alat dan 10 Harun Nasution, Muhammad Abduh danTeologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UII Pres, 1997), hlm. 94. 11 Pemikiran kedua guru dan murid ini mempengaruhi banyak gerakan pembaharuan di dunia Islam pada awal abad 20 ini. Buku tafsir yang banyak berasal dari tulisan-tulisan dari majalah al-Manar ini telah mewarnai khazanah penafsiran alQuran dengan coraknya Adab al-Ijtima’i, lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 71. Bandingkan dengan Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih”, hlm. 65. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 53 Nasrullah wawasan ilmu-ilmu keagamaan yang ia kuasai sehingga memudahkannya mengakses materi-materi kitab apapun. Berkat kecerdasannya, yang diiringi dengan kesungguhan dan minat baca yang luar biasa, A. H. Hakim tidak hanya mampu menguasai materi pelajaran yang diajarkan gurunya, melainkan juga mengembangkannya secara mandiri. Maka tidak mengherankan pengetahuannya menjadi dalam dan luas. Karena itu ia pun dipercaya Haji Rasul menjadi guru pengganti beliau, dan namanya pun semakin dikenal di kalangan murid-murid sang guru. Oleh karena reputasi keilmuan dan akhlaknya yang luhur, dalam suatu pertemuan di Pasa Gadang, Padang Panjang, Haji Rasul memberi murid kesayangannya itu gelar kehormatan yang disandangnya sampai ia wafat dengan sebutan Angku Mudo.12 Profesinya sebagai guru bantu di Surau Jembatan Besi selanjutnya telah mengantarkannya menjadi pendamping setia gurunya dalam lembaga pendidikan Sumatera Thawalib yang didirikan Haji Rasul pada tahun 1918. Lembaga pendidikan yang ditranformasi dari Surau Jembatan Besi ini, menempatkannya sebagai wakil kepala, mendampingi Haji Rasul sebagai kepala sekolah. Ketika Haji Rasul menyatakan non-aktif dari jabatan 12 Ibid. Lihat juga apa yang dikomentari oleh Sanusi Latief tentang makna gelar yang dianugerahi kepada Hakim dengan mengatakan bahwa gelar “Angku Mudo” itu bisa disamakan dengan asisten profesor saat ini. Lihat Sanusi Latief (ed.), Riwayat Hidup, hlm. 202. Bandingkan dengan buku Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982). 54 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 kepala tahun 1922, karena terdapat gejolak internal Thawalib yang tidak disenanginya, dengan isu masuknya paham komunis,13maka A. H. Hakim-lah yang menggantikan posisi tersebut sebagai pejabat kepala. Barulah kemudian pada tahun 1926, ketika Haji Rasul meyatakan resmi mundur dari Thawalib, sang murid kesayangan inilah yang memegang tanggung jawab penuh terhadap perguruan. Aktivitas mengajar A.H. Hakim, selain Thawalib, ia juga tercatat mengajar di lembaga Diniyah School pimpinan Zainuddin Labai dan di Diniyah Puteri yang didirikan oleh Rahmah elYunusiyah. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi salah seorang penguji akhir pada perguruan-perguruan cabang Thawalib yang berada dan tersebar di daerah-daerah Sumatera Barat dan sekitarnya, dan juga mengajar di sekolah Kulliyyatul Muballighin yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah di Padang Panjang dalam mata pelajaran fiqih dan ushul fiqih. Tidak ketinggalan kesibukannya ditambah mengajar agama di sekolah Normal School untuk pemerintah, namun tugas ini akhirnya ia serahkan kepada muridnya, Zainal Abidin Ahmad.14 Dalam dunia perguruan tinggi, kiprah aktifitas mengajar pun dijalaninya. Ia dipercaya menjadi salah seorang dosen sekaligus diamanahi sebagai Wakil Rektor di Universitas Dar al-Hikmah yang didirikan pada tahun 1953, dengan Rektornya kala itu adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek. 13 Di antara tokoh-tokoh yang “diduga” menganut ideologi paham komunis adalah Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, Lihat Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), hlm. 245. 14 Sanusi Latief, Riwayat Hidup, hlm. 202. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 55 Nasrullah Universitas ini pertama kali diresmikan oleh Menteri Agama saat itu, K.H.M. Ilyas.15 Dunia tulis menulis sebagai curah intelektual dan keulamaan, juga telah lama ditekuni A. H. Hakim, terutama pada waktu dipercaya sebagai wakil redaktur (muharrir) majalah al-Munir alManar, yang banyak disebut sebagai kelanjutan dari majalah atau jurnal al-Munir yang sudah tidak terbit lagi. Majalah ini dipimpin oleh Zainuddin Labai. Tulisan-tulisannya sering dimuat di majalah ini, terutama menyangkut persoalan ushul fiqih, fiqih dan akhlaq. Di samping menulis untuk majalah atau jurnal, ia juga sangat menekuni dalam menulis buku-buku yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab yang kesemuanya dipakai di berbagai Perguruan Thawalib, bahkan dipakai juga hingga sekarang dibanyak sekolahsekolah, madrasah dan pesantren di Indonesia dan juga sampai ke wilayah negara Asia Tenggara lainnya. 16 Di antara karya-karyanya tersebut adalah: trilogi buku ushul fiqih dan qawa’id fiqihnya, Mabadi’ ‘Awwaliyyah, as-Sullam, dan al-Bayan, buku dalam bidang fiqih al-Mu’in al-Mubin (4 jilid), buku dalam bidang akhlak Tahzib al-Akhlaq (3 jilid), dan buku syarah dari kitab fiqih perbandingan Bidayah al-Mujtahid yang berjudul al-Hidayah ila ma Yanbaghi min az-Ziyadah ‘ala alBidayah. Namun menurut data yang dapat diketahui, buku karyanya yang terakhir ini tidak sempat ia selesaikan, karena kondisi A. H. Hakim yang sudah mengalami kondisi sakit yang berujung pada 15 Ibid., hlm. 203. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 145. 16 56 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 wafatnya pada hari Senin tanggal 13 Juli 1959 M, atau tepatnya pada tanggal 7 Muharram 1379 H di Padang Panjang dalam usia sekitar 66 tahun.17 2. Ahli Kitab Menurut Penafsiran Abdul Hamid Hakim Wacana perdebatan tentang ahli kitab dalam sejarah intelektual Islam, memang melahirkan berbagai macam pendapat sesuai dengan pemahaman dan argumentasi masing-masing ulama. Untuk memahami perdebatan tersebut, dapat ditipologikan, bahwa kontroversi batasan tentang ahli kitab, dapat dibagi menjadi dua corak interpretasi. Pertama, ulama yang berpandangan “eksklusif”, yaitu menafsirkan ahli kitab hanya mencakup dua komunitas agama Yahudi dan Nasrani, hal ini didasarkan kepada pemahaman tekstual ayat-ayat yang berhubungan dengan konsep ahli kitab di dalam alQuran. Kedua, adalah ulama yang memahami bahwa ahli kitab tidak hanya dimaknai pengertiannya hanya kepada dua agama Ibrahim di atas. Namun, bisa menjangkau kepada agama-agama lain di luar agama-agama Ibrahim, di mana berdasarkan penafsiran dan petunjuk al-Qur’an dalam suatu ayat bahwa “setiap umat telah diutus seorang Rasul yang menyampaikan wahyu”. Jadi menurut golongan ini, ahli kitab adalah suatu pemahaman dari interpretasi terbuka atau “inklusif”. Yakni, dalam pengertian lain pendapat ini menyatakan bahwa di luar kedua agama tersebut, agama-agama lain juga berhak disebut sebagi ahli kitab, 17 Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih”, hlm. 77, dan Sanusi Latief, Riwayat Hidup, hlm. 206. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 57 Nasrullah yang dalam persyaratannya terdapat dalam agama tersebut sebuah kitab suci. Corak interpretasi ini, pada dasarnya adalah anti-tesis terhadap corak berpikir “eksklusif”.18 Pembahasan yang dilakukan A. H. Hakim atas interpretasinya mengenai ahli kitab kalau dicermati memang cukup kontroversial. Padahal secara kultural ia berada dalam suatu masyarakat yang konservatif dengan mayoritas ulama-ulama tradisional (kaum tuo) yang dianggap literalis dalam pemahaman keagamaan. Tetapi A.H. Hakim dengan menggunakan argumen yang cukup otoritatif dengan memegang pendapat para ulama beraliran moderen semisal Rasyid Ridha mengatakan, bahwa konsep ahli kitab tidak hanya dibatasi cakupannya untuk kaum Yahudi dan Nasrani an sich, namun juga untuk umat beragama tertentu yang lainnya. Alasannya, menurut analisis A.H. Hakim yang mengutip tafsir al-Manar berpendapat, bahwa kitab-kitab mereka, seperti kitab suci Kong Hucu, Hindu dan Budha, bahkan sampai kepada 18 Menurut penyusun, walaupun terma eksklusif dan inklusif dipakai dalam teologi tentang “ide keselamatan”, namun istilah tersebut pada awalnya berangkat dari aktivitas penafsiran atas teks agama, yang memandang secara tertutup dan terbuka. Penafsiran yang dilandasi dengan muatan-muatan ideologinya masing-masing, pastinya akan membentuk “pandangan dunia” tertentu dalam masalah interpretasinya. Jadi pada prinsipnya kedua istilah tersebut bisa saling terpakai, baik tentang cara berpikir tentang ide keselamatan, maupun tentang corak penafsirannya. Lebih lanjut lihat artikel Ismatu Ropi, “Wacana Inklusif Ahli Kitab”, Jurnal Paramadina, Vol 1: 2 (1999), hlm. 96. Bandingkan dengan buku yang ditulis Tim Penulis Paramadina yang diedit oleh Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 64. Lihat juga Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 84. Bandingkan selanjutnya dengan buku yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), hlm. 142. 58 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 agama yang dianut oleh bangsa Jepang yang sering disebut agama Shinto itu pada asalnya, semuanya tergolong kategori kitab “samawiyyah”.Artinya, bisa jadi kitab-kitab tersebut mengandung prinsip ketauhidan, walaupun dalam kenyataan sejarah eksistensi dari kitab-kitab suci agama-agama tersebut telah terjadi semacam “penyimpangan” dan “perubahan” baik dari segi redaksi maupun isi dan prinsip ajaran. Dari paparan ini dapat diambil suatu tesis bahwa pada prinsipnya perbedaan antara Islam dan ahli kitab (Yahudi, Kristen, plus Hindu, Budha, Kong Hucu, Shinto dan sebagainya tentu saja dalam pandangan A. H. Hakim) bukan dilandaskan pada suatu perbedaan yang sifatnya teologis-dikotomik antara muslim dan musyrik. Tetapi dapat dianalogikan kepada perbedaan yang sifatnya teologis-konsistensialistik dalam menjalankan ajaran agama seperti halnya menyerupai perbedaan antara orang-orang Islam yang betulbetul berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan para ahli bid’ah. Jadi, sepertinya mereka kaum ahli kitab itu dianggap telah melakukan bid’ah karena banyak ketentuan agama yang telah dilanggar “dibuat-buat” untuk “kepentingan” tertentu sehingga telah berdampak pada perubahan (tahrif) dan penyimpangan (tabdil) ajaran agama mereka.19 Lebih jauh A.H. Hakim memaparkan, bahwa kaum ahli kitab berbeda dari orang-orang musyrik. Hal ini terbukti jelas menurut Hakim, ketika al-Qur’an menyebutkan para pemeluk agama (Islam, 19 Hakim, Al-Mu’in, hlm. 55. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 59 Nasrullah Yahudi, Nasrani, Shabiin dan Majuzi), maka antara pemeluk agama tersebut dan antara “musyrik” terjadi dikotomi dalam pengklasifikasian golongan. 20 Pembedaan antara muslim dan musyrik dalam konteks hubungan antar agama dalam masa awal Islam menjadi sangat signifikan. Sebab akan terkait dengan persoalan ajakan untuk berdakwah kepada mereka kaum musyrik yang belum memeluk agama, seperti kaum pagan jahiliah Mekkah, di mana Nabi diperintah untuk menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Kondisi Mekkah ini berbeda dengan Madinah sebagai kota dengan penghuni masyarakat yang sudah memeluk suatu agama dengan kebanyakan memeluk agama Nasrani , Yahudi dan sebagian Majusi. Indikator kebahasaan yang bisa ditampilkan adalah adanya huruf “athaf” (waw) yang menunjuk kepada unsur “perbedaan” antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini antara penganut agama-agama di atas dengan golongan “musyrik” terdapat diferensiasi golongan. Lalu kemudian A. H. Hakim melanjutkan bahasannya, bahwa menurutnya tidaklah logis menyamakan antara ahli kitab dengan predikat sebagai kaum musyrik.21 Atas argumen tersebut, maka menjadi hal yang wajar, bila Hakim berpendirian bahwa agama-agama Hindu, Budha dan agama-agama Cina dan Jepang, juga termasuk agama ahli kitab. Dengan kata lain tidak sebagai kaum yang musyrik. 20 Ibid., hlm. 52. Ibid. 21 Dalam 60 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 konstruk hukum Islam ada perbedaan perlakuan antara musyrik dan kafir. 3. Analisis Rekonstruksi Obyektif dan Subyektif Pemikiran Abdul Hamid Hakim Berdasarkan teori bahasa, teks atau pemikiran yang dipahami oleh konteks yang berbeda, akan menghasilkan suatu pemahaman yang khas bersifat lokalistik, sesuai dengan karakter dasar pengetahuan dan tradisi di mana teks atau pemikiran itu dipahami, sesuai dengan konteksnya masing-masing.22 Hal yang paling faktual dalam sejarah hukum Islam adalah timbulnya periode mazhab qaul qadim Imam Syafi'i ketika berada di Irak dan periode qaul jadid-nya waktu ia berada di Mesir. Artinya segala perbuatan atau penafsiran dalam sebuah pemahaman itu terjadi disebabkan oleh settinglocus dan tempus yang berbeda dengan yang pernah dialami, sehingga mengambil tindakan yang lain dari yang pertama, atau lazim dalam kaedah fiqih, taghayyur al-ahkam bi taghayyur alazminah wa al-amkinah.23 Begitu juga ungkapan al-Qur'an tentang konsep ahli kitab. Pada awalnya pengkhitaban lebih diarahkan kepada komunitas agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama yang mendahului kedatangan agama Islam. Khitab al-Qur’an ini harus dipahami 22 Amin Abdullah “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikulturaldan Multireligius”, Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000, hlm 16. 23 A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm 33. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 61 Nasrullah lewat konteks ayat itu diturunkan, di mana waktu itu Yahudi dan Nasrani adalah umat yang intens berhubungan dengan umat Islam. Sikap akomodatif al-Qur'an terhadap kaum Yahudi dan Nasrani dengan menyebut keduanya sebagai kaum ahli kitab yang muhaqqaq, menunjukkan bahwa Al-Qur'an bukan berada dalam dimensi metafisis dan mengawang-awang.Tetapi al-Qur'an telah berperan dalam membangun regulasi sosial hubungan antar agama, apalagi kedua agama tersebut adalah rumpun dari agama-agama Ibrahim (semitik). Jadi, sebenarnya dari keterangan singkat diatas, bahwa teks al-Qur'an tidak "memaksakan" audiensinya untuk memahami halhal yang “unknowble”, dengan memasukkan selain kedua agama tersebut, seperti agama India dan Jepang itu, sebagaimana yang dimaknai oleh A. H. Hakim yang persis dengan pendapat Rasyid Ridha, yang dinilai oleh Ismatu Ropi sedikit apologetis. Dalam konteks ini, jika ahli kitab langsung dimaknai mencakup agama di luar Yahudi dan Nasrani tentu akan menimbulkan kesan ighrab atau asing dalam pengetahuan mukhatab. Maka kesan “asing” tersebut berakibat bisa dikatakan al-Qur'an tidak akomodatif terhadap konteks sosial mqasyarakat penerimanya, yang mengakibatkan kebingungan kepada orientasi teks (khitab). Bukankah dalam alQur’an dinyatakan dalam salah satu ayatnya bahwa para nabi atau rasul diutus yang sesuai dengan kemampuan nalar dan bahasa yang dipakai kaumnya.24 24 Ismatu Ropi, "Wacana Inklusif”, hlm. 91. Lihat juga Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, jilid VI, (Dar al-Fikr,1972), hlm.156. 62 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 Pada waktu berikutnya, termasuk saat ini, kemudian bahasa atau tepatnya makna ahli kitab itu haruslah mengalami transformasi makna dengan tidak lagi dipahami sebagaimana tekstual adanya. Tetapi mengikuti sesuai sifat bahasa adalah terus bergerak dinamis mengikuti gerak zaman dan tempat, agar bahasa yang dipakai dan digunakan bersifat konstekstual, sama sekali tidak statis dengan ciri tekstualnya. Pemahaman A. H. Hakim tentang perluasan makna ahli kitab melalui interpretasi pengetahuan bahasa dan linguistik yang ia miliki, telah memandang bahwa konsep ahli kitab dalam al-Qur'an yang umum dipahami oleh kebanyakan ulama dan kaum muslimin sebagai agama Yahudi dan Nasrani saja, menurutnya sudah tidak tepat dan tidak konstekstual. Seharusnya maknanya harus diperluas dengan memasukkan agama-agama di luar kedua agama semitik tersebut.25 Ahli kitab dipahami sebagai umat beragama yang memiliki kitab suci atau "semacam" kitab suci atau syibh ahli kitab yang telah diwahyukan kepada seorang nabi yang membawa ajaran dasar tauhid, baik yang dikenal dalam tradisi agama Ibrahim atau selainnya seperti Majuzi, Sabi’in, Hindu, Buddha, Kong Hucu, Taoisme bahkan agama Shinto. Bukankah agama-agama India dan China itu lebih dahulu datangnya ketimbang agama-agama semitik dan tidak ada angka yang pasti berapa sebenarnya jumlah nabi atau rasul yang pernah diutus oleh Allah?.Walaupun, dalam kepercayaan teologis kaum Sunni ada 25 Rasul yang wajib diimani.26 25 Hakim, Al-Mu’in , hlm. 55. Ibid. 26 Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 63 Nasrullah Penafsiran A. H. Hakim ini bisa digambarkan sebagai penolakan atau respon keberatan atas makna ahli kitab yang hanya dipahami sebagai agama Yahudi dan Nasrani an-sich, dan penafsiran yang mengorientasikan kepada pemahaman etnik tertentu.27Dalam bahasa yang lain Hakim berusaha "menggugat" otonomi teks pertama yang ditujukan kepada konteks tertentu (Yahudi dan Nasrani) sesuai kondisi sosial saat itu, bergeser perlahan dengan menerapkan "sifat bahasawi’ (the lingualcharacter) yang memandang secara luwes terhadap istilah ahli kitab dan terakhir lalu melakukan interpretasi.28 Parameter eksistensi kitab suci atau "semacam" kitab suci telah menjadi argumennya dalam memasukkan kaum agama di luar Yahudi dan Nasrani secara inklusif, dengan dukungan informasi yang terdapat dalam al-Qur'an, bahwa “pada tiap-tiap umat telah diutus seorang rasul yang bertugas member peringatan”,29 “dan tiap-tiap kaum diutus pemberi petunjuk“ 30. Informasi al-Qur'an ini seolah-olah dalam pandangan A. H. Hakim telah memperkuat relasi antar ayat yang satu dengan ayat yang lain, atau dalam konteks hermeneutika al-Qur'an, Hakim melakukan metode inter-teks ayat 27 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 336. 28 Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dan Pergumulan Islam dan Tradisi, (Yogyakarta: Samha, 2002), hlm. 11. Lihat juga buku Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, alih bahasa Musnur Herry dan Damanhuri Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 98. 29 Fatir ( 3 ): 24. 30 Ar-Ra'ad (13): 38. 64 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 atau dalam istilah ulum al-Qur'an, “al-Qur'an yufassiru ba'dhuhu ba'dha.” 31 Legitimasi ayat-ayat di atas telah mendorongnya memaknai bahwa agama-agama yang disebutkan itu awalnya sebagai agama tauhid hingga sekarang dan menilai bahwa kitab-kitab suci mereka adalah "samawiyyah".Walaupun telah diakui kemudian adanya penyimpangan dan perubahan di dalamnya (tahrif) karena faktor kesejarahan yang cukup lama dalam penulisan, sehingga menimbulkan keraguan otentisitas kandungan dan ajaran kitab suci mereka. Sebagaimana juga telah diragukan akan keaslian kitab suci agama Yahudi dan Nasrani.32 Memahami pemikiran A. H. Hakim terhadap perluasan makna ahli Kitab, haruslah juga memahami kondisi riil, sosial budaya dan politik saat itu. Karena proses interpretasi seseorang, sedikit banyak akan ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai variabel yang sifatnya kompleks. Interpretasi seseorang terhadap teks atau kenyataan sosial ditentukan oleh variabel-variabel berikut ini; Pertama, terpaan informasi atau pembacaan seseorang terhadap corak literatur akan menentukan interpretasi seseorang terhadap teks dan kenyataan sosial (konteks). Kedua, setting sosial atau latar belakang dan peranan sosial juga akan menentukan 31 Sahiron Syamsuddin, “Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrur dalam PenafsiranAl-Qur'an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur'an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 137. 32 Hakim, Al-Muin, hal. 55. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 65 Nasrullah interpretasi seseorang, terutama dalam menentukan pentingnya fokus dan agenda masalah. Ketiga, latar belakang pendidikan atau disiplin ilmu yang dikuasai seseorang akan menentukan cara dan analisis mereka. Keempat, pengalaman dan karakteristik personal. Kelima, perubahan kondisi sosial politik- ekonomi dan sosiokultural.33 Kelima variabel tersebut tidak bisa dan tidak mungkin diabaikan terutama saat kita bermaksud secara lebih tajam dan jernih dalam melakukan telaah terhadap pernak-pernik dan gerakan sosial keagamaan maupun pemikiran seseorang. Dalam tinjauan sejarah kehidupan A. H. Hakim, dapat ditemukan bahwa ia hidup dalam suatu masa yang penuh dengan gejolak pemikiran dan kegelisahan kaum pembaharu kaum mudo terhadap pentingnya pembaharuan dalam tatanan sistem berpikir dan praktek keagamaan. Arus modernisasi Islam yang disuarakan di Timur Tengah khususnya Mesir dengan pelopornya Jamaluddin alAfghani, Muhammad abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain, dirasakan begitu derasnya laksana air mengalir.34 Suasana ini disebabkan oleh beberapa orang ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekkah dan Mesir “terpengaruh” dan membawa ide-ide pembaharuan ke Minangkabau, bahkan para ulama ini telah menjadi agen-agen pembaharu dalam lingkungan baru di Minangkabau. Tokoh-tokoh seperti Thaher Jalaluddin al-Azhari, Abdullah Ahmad, Abdul 33 Zainul Milal, Perlawanan Kultural, hal. 9. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 50-51, dan 69. 34 66 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 Karim Amrullah, Djamil Djambek dan Thaib Umar seolah-olah menjadi perpanjangan tangan dari tokoh-tokoh modernis Timur Tengah dalam menyebarkan isu-isu pembaharuan pemikiran agama yang cukup“provokatif” melalui sarana membangun sekolah-sekolah bercorak moderen, yang banyak mengadopsi model sekolah Barat yang nota bene adalah bangsa kolonial dan menerbitkan majalah-majalah atau jurnal sebagai media propaganda polemik dan corong pemikiran.35 Ide-ide pembaharuan mereka yang digunakan sebagai konsep untuk kritik sosial keagaamaan saat itu, telah berdampak kemudian kepada timbulnya goncangan hebat dalam pemikiran keagamaan di Sumatera Barat. Para ulama yang kemudian disebut sebagai para ulama kaum mudo karena ide proregsifnya telah dihadapkan pada realitas pertentangan dengan kalangan ulama tradisi konservatif dan kalangan adat yang merasa dirugikan dengan kritikan-kritikan para ulama kaum mudo. Pada dasarnya kritikan mereka ditujukan pada tiga aspek; pertama adalah syari'at, sebutan mereka untuk ibadah-ibadah ritual (fiqih) yang biasanya berkisar pada masalah khilafiah. Kedua, adalah adat yang mereka anggap banyak terjadi penyimpangan dan menjurus kesesatan, dan ketiga adalah tarekat yang lebih menjurus pada unsur ritualitas tarekat yang mereka anggap tidak ada dasarnya dalam syari’at.Realitas 35 Deliar Noer, Gerakan Modern, Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 38. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 67 Nasrullah obyektif ini telah berlangsung cukup lama, bahkan masih dirasakan sampai sekarang adanya polarisasi tersebut. 36 Pertentangan pemahaman keagamaan yang diakibatkan perspektif yang berbeda dalam memahami "epistimologi" agama, telah berdampak luas dan menjadikan Minangkabau "bergolak" dalam tataran “ketegangan kreatif”, sampai-sampai ilmuan asal Belanda, Schrieke memberi judul buku reportasenya sewaktu ia bertugas di Sumatera Barat dengan judul "pergolakan Agama di Sumatera Barat.37Adapun Taufik Abdullah menamai masa ini sebagai pergolakan sosial dan intelektual. 38 Secara hermeneutis, inter-relasi dari penggalan paparan sejarah pergerakan kaum mudo di Minangkabau tersebut, telah mewarnai corak berpikir A. H. Hakim, karena ia adalah nota bene anak didik sekaligus generasi kedua dari gerakan ulama pembaharu kaum mudo. Relasi intelektualnya dengan tokoh-tokoh utama kaum mudo seperti Abdul Karim Amrullah, Thaib Umar dan Abdullah Ahmad secara intens telah memberikan andil besar terhadap penyerapan ide-ide sentral maupun periferal modernisasi dari Timur Tengah. Maka A. H. Hakim, otomatis mendapat bimbingan keilmuan dalam hal metodologi maupun literatur-literatur yang dibawa oleh pembaharu tersebut. Haji Rasul (Abdul Karim Amrullah) sebagai guru utamanya di samping yang lain, turut menggemblengnya 36 Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, hlm. 165. Lihat juga buku Hamka, Ayahku, hlm. 242. 37 B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah SumbanganBibliografi, alih bahasa Soegarda Poerbawakatja, (Jakarta: Bhratara,1973). 38 Taufik Abdullah, lihat dalam kata pengantar buku Schrieke di atas. 68 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 terutama saat di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Bahkan, ia adalah murid kesayangan dan orang yang pertama ditunjuk menggantikan Haji Rasul ketika sang guru mundur menjadi pimpinan.39 Penguasaan referensi dan literatur karya tokoh-tokoh modernis semisal Abduh dan Ridha, sangat akrab dalam diri A. H. Hakim. Ia banyak sekali mengutip pendapat dua modernis ini dalam karyanya. Pemahamannya tentang perluasan makna ahli kitab bisa dibuktikan, betapa Hakim begitu terpengaruh dengan pengarang Tafsir al-Manar tersebut. Karya fiqihnya al-Mui’n al-Mubin, khususnya jilid yang ke-IV tempat ia menuliskan ide-idenya dalam fiqih munakahat dengan Tafsir al-Manar telah terjadi jaringan intertekstualitas baik ditinjau dari segi penyamaaan ide maupun sebagai penguat legitimasi pendapat.40 Hal inilah yang dikatakan oleh Hamim Ilyas dalam penelitiannya, bahwa ide sentral dari Ridha tentang perluasan makna ahli kitab secara luas telah diterima oleh tokoh-tokoh ulama Indonesia, salah satunya adalah Hakim di samping Hamka, Nurcholish Madjid, dan Muhammadiyah. 41 Pada tataran psiko-historis-sosiologis, realitas masa Hakim hidup bertepatan dengan terjadinya fakta obyektif pertentangan antar kaum mudo sebagai representasi kaum pembaharu dengan kaum tuo sebagai representasi kalangan "penjaga" dogma status quo 39 Sanusi Latief (ed.), Riwayat Hidup, hlm. 201. Hakim, Al-Muin, hal. 55. 41 Hamim Ilyas, “Pandangan Muslim Modernis Terhadap Non-Muslim: Studi Pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida terhadap Ahli kitab dalam Tafsir alManar”, disertasi doktorIAIN Sunan Kalijaga, tahun 2002, hlm. 434-435. 40 Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 69 Nasrullah pemikiran konservatif agama. Kondisi ini telah memperlihatkan A. H. Hakim sebagai seorang yang turut terpanggil untuk melakukan pembaharuan dengan instrumen kebebasan berpendapat dan berijtihad yang disertai dengan dalil yang kokoh. Walaupun, medan pemikirannya lebih banyak secara intelektual dilakukan di ruang sekolah di Thawalib dan tuangan ide-ide pembaharuannya yang terdapat di berbagai karyanya. Kondisi masyarakat yang jumud dan stagnan dalam berpikir tentang keagamaan turut membuka cakrawala berpikir A. H. Hakim untuk memperjuangkan ide-ide pembaharuan paham keagamaan yang telah berlangsung. Salah satu kontribusinya ialah dengan memahami perluasan makna ahli kitab, yang pada intinya sesungguhnya ia telah menyuarakan "kebebasan" berijtihad sebagai tandingan sikap taklid yang dipegangi oleh kalangan ulama kaum tuo. Walaupun idenya tersebut termaktub penyampaiannnya dalam satu bentuk buku pelajaran fiqih yang dipakai hingga kini dibanyak sekolah dan pesantren di Indonesia. Menurut Mahmud Yunus dalam penelitianya tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia, buku fiqih al-Mu’in al-Mubin digunakan sebagai pengganti kitab Fath alMu’in karangan al-Malibari yang lazim digunakan di pesantrenpesantren tradisional.42 Motif penggantian ini memang kurang jelas.Tetapi menurut penyusun, A. H. Hakim telah membuat manuver pentingnya kesadaran untuk memakai sesuatu ide yang 42 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan, hlm. 153. 70 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 "baru" dan segar dalam memahami disiplin fiqih (al-fiqh fi tsaubihi al-jadid). Pengungkapan sisi suasana sosial-politik yang menjadi latar belakang pemikiran A, H. Hakim di atas, menjadi suatu hal yang urgen. Paling tidak hal ini bisa mempermudah pemahaman struktur berpikirnya dengan segala dinamika intelektualnya yang telah melakukan suatu pemahaman teks agama dengan mengkombinasikan antara realitas fenomena stagnasi pemikiran dan kehidupan keagamaan. Usaha tersebut dilakukan untuk sebuah keinginan merekonstruksi pemahaman agama melalui ide-ide pembaharuan yang melahirkan "produktivitas bahasa" dan "makna baru" yang dihasilkan melalui interpretasi. Dalam konteks ini, A.H. Hakim memaknai dan menafsirkan ahli kitab secara lebih luas dan terbuka, di mana secara sadar ia juga meyakini, akan atau telah banyak kalangan yang tidak setuju dengan pendapatnya ini. 43 C. KESIMPULAN Dari paparan pembahasan di atas dapatlah disimpulkan menurut tafsiran penyusun, bahwa konstruksi interpretasi A. H. Hakim tentang ahli kitab yang diperluas cakupannya, dapat disebutkan ada tiga kriteria pendorong sebagai faktor yang bisa dimungkinkan dalam ijtihadnya terhadap inklusifitas batasan ahli kitab tersebut. Pertama, belum adanya kejelasan secara jelas (qath’i) tentang batasan dan makna yang spesifik terhadap ahli kitab, sehingga 43 Kaelan, Filsafat Bahasa dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), hlm. 187. Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 71 Nasrullah dimungkinkan adanya perluasan cakupan makna di luar agama Yahudi dan Nasrani. Kedua, dalam al-Qur'an terdapat khitab Allah terhadap Yahudi dan Nasrani sebagai ahli kitab, tetapi di sisi lain, Allah menginformasikan, bahwa agama-agama di luar kedua agama tersebut juga diberi kitab suci melalui Nabi atau Rasul utusan Allah yang barangkali tidak temasuk dalam pengkisahan (qashash) secara tersurat dalam al-Qur’an, sehingga ia memahami bahwa ahli kitab tidak terbatas hanya untuk kedua agama tersebut. Ketiga, disebabkan adanya suatu prediksi konstruk sosial ke depan tentang akan kemungkinan adanya eksistensi pluaralitas agama dalam konteks sosial keagamaan masyarakat, yang saat sekarang telah menjadi suatu realitas keniscayaan, yang mengitari kehidupan dalam hubungan antar agama. Posisi agama dan umat Islam dituntut untuk lebih membuka diri secara inklusif dalam berhadapan dengan realitas perbedaan secara teologis. Implikasi penafsiran inklusif A. H. Hakim tentang tafsir terhadap ahli kitab ini akan besar kontribusinya dalam upaya menjalin hubungan sosial antara muslim dengan ahli kitab yang walaupun berbeda secara teologis tetapi mempunyai tugas yang sama secara sosiologis dalam mewujudkan visi yang jauh ke depan dengan memperhatian aspek hubungan sosial antar agama dengan bersikap inklusif, toleran, dan menghormati hak asasi beragama masing-masing. Wallahu a’lamu! 72 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik “Kata Pengantar” buku B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah SumbanganBibliografi, alih bahasa Soegarda Poerbawakatja, (Jakarta: Bhatara, 1973). Abdullah, Amin, “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikulturaldan Multireligius”, Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000. Abu Zaid, Nashr Hamid, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majaz dalam AlQur'an Menurut Mu'tazilah, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, (Bandung: Mizan, 2003). Bizawie, Zainul Milal, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dan Pergumulan Islam dan Tradisi, (Yogyakarta: Samha, 2002). Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat:Tradisitradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994). Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus SumateraThawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacan, 1995). Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, alih bahasa Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1983). Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982). Hakim, Abdul Hamid, Al-Mu’in al-Mubin, jilid lV, (Bukittinggi: Matba’ah Nusantara, t.t.). --------, Mabadi’ Awwaliah, (Jakarta: Sa’adiyah Putera, t.t.). --------, As-Sullam, (Jakarta: Sa’adiyah Putera, t.t.). Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 73 Nasrullah --------, Al-Bayan, (Jakarta: Sa’adiyah Putera, t.t.). Hanafi, A., Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995). Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996). Ilyas, Hamim, “Pandangan Muslim Modernis Terhadap Non-Muslim: Studi Pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida terhadap Ahli kitab dalam Tafsir Al-Manar”, disertasi doktorIAIN Sunan Kalijaga, tahun 2002. Kaelan, Filsafat Bahasa dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 2002). Latief, Sanusi (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, (Padang: Islamic Centre, 1988). Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 2000). Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000). Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1997). ----------, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996). Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996). 74 | Jurnal Syahadah Vol. IV, No. 1, April 2016 Palmer, Richard E., Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, alih bahasa Musnur Herry dan Damanhuri Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Rais, Isnawati, “Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim: Sebuah Upaya Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, disertasi doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2000. Rida, Rasyid, Tafsir Al-Manar, jilid II dan Vl, (Beirut: Dar al-Fikr, 1393 H/1973 M). Ropi, Ismatu, “Wacana Inklusif Ahli Kitab”, dalam Jurnal Paramadina, Vol. l, No. 2, 1999. Schrieke, B.J.O., Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah SumbanganBibliografi, alih bahasa Soegarda Poerbawakatja, (Jakarta: Bhratara, 1973). Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999). Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1996). Sirry, Mun’im A. (ed.), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004). Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993. Syamsuddin, Sahiron, “Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrur dalam PenafsiranAl-Qur'an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur'an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002). Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996).