rekonstruksi objektif dan subjektif dalam pemikiran islam

advertisement
REKONSTRUKSI OBJEKTIF DAN SUBJEKTIF
DALAM PEMIKIRAN ISLAM
(Studi Penafsiran Abdul Hamid Hakim tentang Ahli Kitab)
Nasrullah
Dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir FIAI UNISI Tembilahan
E-Mail: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini mengangkat salah satu pemikiran ulama Nusantara,
yang bernama Abdul Hamid Hakim. Tokoh yang menjadi fokus
kajian ini, memiliki suatu penafsiran tentang konsep ahli kitab.
Pendekatan dalam analisis kajian ini menggunakan teori
hermeneutika Schleirmacher tentang dimensi rekonstruksi
objektif dan subjektif pengarang dalam membedah
pemikirannya. Dalam analisisnya yang menarik dan dianggap
kontroversial, tokoh ini memberikan tafsir dalam konteks
memperluas cakupan makna ahli kitab, tidak se-ekslusif
sebagaimana tafsiran para mufassir klasik pda umummnya.
Konsekuensi tafsir ini berdampak pada suatu inklusifitas
terhadap cakupan komunitas kaum beriman dalam konfigurasi
sosial, politik dan budaya dalam hubungannya dengan kaum
muslim. Oleh sebab itu pemikirannnya tentang ahli kitab ini
dianggap sebagai kontribusi argumentatif dalam konteks tafsir
hubungan antar agama di era multi agama dan multi kultural
kini.
Kata Kunci: Penafsiran, Hermeneutika, Ahli Kitab, Hubungan
Antar Agama
A. Pendahuluan
Semua bentuk pemikiran, menurut Nashr Hamid Abu Zaid secara
aksiomatis, tidak luput dari gesekan ruang dan waktu, atau independen
dari kondisi objektif, baik secara sosiologis, politis dan budaya.
Pemikiran sebenarnya merupakan suatu jawaban, respon atau
46 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
merupakan solusi, baik untuk persoalan sosial maupun politis yang
bersifat mengubah atau melegitimasi pemikiran sebelumnya. 1
Telah menjadi suatu asumsi, bahwa teks atau pemikiran bukanlah
sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah. Namun, di
balik sebuah teks atau pemikiran sesungguhnya terdapat sekian banyak
variabel serta gagasan tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika
seseorang ingin memahami variabel dan situasi di balik sebuah teks
atau pemikiran yang dilahirkan, seperti kondisi-kondisi di atas.
Dapat dikatakan, bahwa setiap pemikir hakikatnya
adalah
“tawanan” situasi dan dibatasi oleh kondisi riil sekitarnya. Hal yang
sama dikatakan pakar filsafat sejarah, Louis Gottschalk, bahwa
pemikiran seseorang pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari
interaksi antara orang tersebut dengan realitas yang mengitarinya. Oleh
karena itu, menurutnya seorang peneliti apabila ingin mengerti
pemikiran seorang tokoh, maka ia harus mempertimbangkan segi-segi
sosial budaya bahkan politik yang menjadi sasaran studinya. 2
Atas dasar itu, salah satu pendekatan yang relevan untuk
menangkap apa sesungguhnya yang ada di balik teks dan fenomena
pemikiran dengan segala latar belakang kultur maupun kondisi sosial
maupun intelektual yang melingkupi kehidupan seorang tokoh yang
akan dikaji, adalah pendekatan hermeneutika. Karena, dalam
hermeneutika terdapat proses dialektika triadik yang intens antara sang
1
Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majaz dalam AlQur'an Menurut Mu'tazilah, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan,
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 23.
2
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, alih bahasa Nugroho Notosusanto,
(Jakarta: UI Press, 1983), hlm. 23.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 47
Nasrullah
peneliti (penafsir), teks (obyek studi), dan pengarang (pemikir) dengan
segala komponen perangkat analisis untuk menghantarkan kepada
suatu interpretasi dan pemahaman (verstehen) terhadap suatu teks yang
akan menghasilkan sebuah makna. Salah satu ciri pendekatan
hermeneutika ialah adanya kesadaran yang mendalam, bahwa untuk
menangkap makna sebuah teks atau pemikiran, tidak bisa hanya
mengandalkan pemahaman grammatika bahasa teks secara struktural,
melainkan memerlukan data imajinasi konteks sosial serta psikologis
pengarang teks.3
Secara umum, hermeneutika adalah sebuah ilmu memahami
(recovery
of
meaning).
Schleirmacher,
salah
seorang
tokoh
hermeneutika klasik, memulai proyek ini dengan menggaris bawahi,
bahwa hermeneutika adalah sebuah teori umum tentang kognisi. Ada
dua hal yang ditawarkannya dalam pembacaan teks, yaitu interpretasi
grammatikal dan interpretasi psikologis yang bergerak simultan.
Interpretasi grammatikal adalah syarat berpikir, sedangkan interpretasi
psikologis adalah pemahaman untuk menangkap pribadi pengarang
teks. Kedua model "pembacaan" ini bagi Schleirmacher, berada dalam
rekonstruksi-historis obyektif dan subyektif yang dilakukan oleh
penafsir. Rekonstruksi obyektif-historis bekerja untuk mengenal
keseluruhan teks, sementara rekonstruksi subyektif bergerak dalam
cakrawala pengarang. Di sinilah kemudian hermeneutika menjadi
“proses” interpretasi dan pemahaman sekaligus.4
3
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 217.
4
E Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), hlm. 38-40.
48 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
Tulisan ini ingin mengangkat pemikiran seorang tokoh ulama
Nusantara, yang bernama Abdul Hamid Hakim (selanjutnya disebut A.
H. Hakim), di mana tokoh asal ranah Minang ini, disebut oleh
Nurcholish Madjid (sering juga dipanggil dengan sebutan Cak Nur)
sebagai sosok ulama pembaharu dengan penguasaan sumber-sumber
keislaman yang luar biasa. Salah satu pemikirannya yang diapresiasi
Cak Nur ialah mengenai tafsir tentang ahli kitab.5 Pemikirannya
diketahui berbeda dari pendapat kebanyakan ulama pada masanya, dan
bisa dikatakan sangat responsif dan positif dalam menilai konsep ahli
kitab sebagai legitimasi al-Qur’an dalam hal hubungan antara agama,
di tengah kebanyakan literatur atau pendapat ulama yang terkesan
“negatif” dalam menilai ahli kitab, baik dari segi sosiologis apalagi dari
segi teologis.
Oleh karena itu, pemikiran Abdul Hamid Hakim tentang ahli
kitab, penyusun anggap sebagai sebuah “teks” yang bisa diberikan tafsir
dan makna. Jadi, dapat diasumsikan pemikiran yang hendak dikaji pada
dasarnya tidak akan luput dari muatan-muatan kultural, sosial, politik,
ideologi, dan gerakan-gerakan keagamaan ketika ia menuliskan
pikiran-pikirannya yang kemudian menjadi teks dalam karyanya.
Keseluruhan aspek-aspek tersebut melahirkan faktor-faktor pemikiran
obyektif dan subyektif.
Sebagai sebuah manfaat dari kajian tentang tema ini, ada baiknya
dipaparkan suatu alasan manfaat dalam membahas pemikiran A. H.
5
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina,
2000), hlm. 189.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 49
Nasrullah
Hakim, yang bisa disimpulkan minimal ada dua manfaat yang didapat:
pertama, mengapresiasi pemikiran yang lebih responsif terhadap ahli
kitab, yang dalam literatur klasik sangat sulit ditemukan, dan kedua,
sekaligus apresiasi terhadap ulama Nusantara, dalam hal ini adalah A.
H. Hakim sendiri yang dikenal sebagai pengarang produktif buku-buku
pelajaran (daras) berbahasa Arab untuk kalangan madrasah dan
pesantren di Indonesia, bahkan dipakai sampai ke wilayah negara
tetangga di Asia Tenggara.6
B. Pembahasan
1. Mengenal Riwayat Hidup Abdul Hamid Hakim
Abdul Hamid Hakim, dilahirkan pada tahun 1893, tepatnya
di sebuah desa yang bernama Sumpur, di tepi Danau Singkarak,
Sumatera Barat. Ayahnya bernama Abdul Hakim, seorang yang
berprofesi sebagai pedagang di kota Padang, dan ibunya bernama
Cari. Hakim adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Kakaknya
yang tertua bernama Muhammad Nur, yang kedua adalah Husein.
Adapun adik-adiknya antara lain bernama Hasan, Halimah dan
Sofya.7
6
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisitradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994, hlm. 128. Lihat juga dalam
Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim: Sebuah Upaya Pengembangan
Hukum Islam di Indonesia”, disertasi doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2000. Tulisan tentang biografi Abdul Hamid Hakim ini banyak dikutip dari tulisan
penelitian di atas. Sebab tulisan tentang biografi tertulis beliau sangat sedikit
sumbernya. Berbeda dengan disertasi Isnawati Rais yang banyak menggali informasi
tentang A.H. Hakim dari sumber wawancara dari sejumlah murid-murid dan rekan
sejawat almarhum. Jadi nuansanya lebih kaya informasi.
7
Ibid. Bandingkan juga dengan Sanusi Latief, (ed.), Riwayat Hidup dan
Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, (Padang: Islamic Centre, 1988), hlm.
50 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
Masa kecil A.H. Hakim dilewatkan di kota Padang, karena
sang ayah bekerja sebagai pedagang di kota tersebut. Di kota ini
pula ia sempat menamatkan sekolah tingkat dasarnya. Setelah
menamatkan pendidikan dasar, ia kembali ke kampungnya untuk
melanjutkan
pendidikan
di
suatu madrasah yang khusus
mempelajari al-Qur’an. Setelah berhasil menamatkan madrasah di
kampungnya, pada tahun 1908 ia berangkat ke daerah Sungayang,
Batu Sangkar untuk belajar berbagai ilmu dasar agama seperti;
nahwu, sharaf, fiqih, tauhid, tafsir dan hadis kepada Haji
Muhammad Thaib Umar, salah seorang tokoh pembaharu di
Minangkabau yang termasuk golongan kaum mudo.
Lembaga pendidikan di Minangkabau waktu itu yang
lazimnya disebut surau, yang dikelola oleh Thaib Umar ini
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang telah melakukan
semacam perubahan materi dan metode pengajaran ilmu-ilmu alat
dan ilmu-ilmu keagamaan dari corak lama ke corak yang lebih baru
(terutama dalam penambahan variasi kitab-kitab yang diajarkan) di
Sumatera Barat.8 A. H. Hakim di surau ini tercatat hanya menempuh
studi
selama
dua
tahun. Namun, berkat
ketekunan dan
kecerdasannya, dalam waktu yang relatif singkat, iatelah dianggap
cukup mengenali dan memahami ilmu-ilmu alat dan keagamaan
dari berbagai kitab yang diajarkan gurunya itu.
199.
8
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1996), hlm. 142.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 51
Nasrullah
Setelah belajar selama dua tahun kepada Thaib Umar, pada
tahun 1910, Hakim melanjutkan studinya ke Sungai Batang di
daerah Maninjau untuk belajar kepada Haji Abdul Karim Amrullah
(Haji Rasul), tokoh ulama kaum mudo yang terkenal berwatak keras
dan tanpa kompromi, terutama dengan kalangan adat. Sebagai
murid yang disayangi oleh sang guru, ia kemudian mengikuti Haji
Rasul ketika dua tahun kemudian yakni pada tahun 1912, sang guru
pindah ke kota Padang atas permintaan dari sahabatnya Abdullah
Ahmad, untuk membantu mengelola majalah al-Munir, yang
merupakan salah satu jurnal tempat para pembaharu menuangkan
ide dan pemikiran mereka. Ketika sang guru kemudian pindah lagi
ke Padang Panjang pada tahun 1914, artinya dua tahun kemudian,
karena diminta masyarakat kembali untuk mengelola kembali
pendidikan di Surau Jembatan Besi, yang merupakan cikal-bakal
dari lembaga pendidikan Sumatera Thawalib, dengan setia ia juga
mengikuti gurunya tersebut.9
Melalui bimbingan dan disiplin keilmuan yang diterapkan
Haji Rasul, terutama pada saat sang guru menekuni pengajian di
Surau Jembatan Besi, A. H. Hakim belajar lebih intensif dan
sistematis, sejalan dengan upaya sang guru untuk meningkatkan
kualitas pendidikan bagi murid-muridnya yang semakin hari
semakin bertambah. Usaha tersebut ditandai
dengan merubah
sistem pengajian dari halaqah menjadi sistem klasikal pada tahun
9
Lihat Sanusi Latief, Riwayat Hidup, hlm. 200.
52 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
1916 dengan dibukanya suatu lembaga pendidikan yang bernama
Perguruan Sumatera Thawalib.
Selama belajar dengan Haji Rasul, ia tidak saja mendalami
kembali (muraja’ah) kitab-kitab yang pernah dipelajarinya dengan
Thaib Umar, melainkan juga dari kitab-kitab yang berfaham
moderen dan rasional,
seperti kitab Risalah at-Tauhid karya
Muhammad Abduh.10 Kitab lain yang tidak kalah penting yang
dipelajari olehnya adalah kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad
Abduh dan muridnya Rasyid Ridha, yang merupakan kitab tafsir
yang memberi inspirasi pemahaman al-Qur’an sesuai dengan
semangat moderen.11
Dari semua disiplin ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari A.
H. Hakim, nampaknya ia lebih tertarik dan memfokuskan diri dalam
spesialisasi bidang fiqh dan ushul fiqih. Hal ini dibuktikan dengan
persentase dari buku-buku karangannya yang bisa dikatakan lebih
banyak dalam kedua bidang di atas, walaupun ia juga ada menulis
karangan dalam bidang akhlak. Selain belajar dengan Haji Rasul
sendiri, ia
juga diketahui mempelajari kitab-kitab lain secara
mandiri atau otodidak, mengingat penguasaan ilmu alat dan
10
Harun Nasution, Muhammad Abduh danTeologi Rasional Mu’tazilah,
(Jakarta: UII Pres, 1997), hlm. 94.
11
Pemikiran kedua guru dan murid ini mempengaruhi banyak gerakan
pembaharuan di dunia Islam pada awal abad 20 ini. Buku tafsir yang banyak berasal
dari tulisan-tulisan dari majalah al-Manar ini telah mewarnai khazanah penafsiran alQuran dengan coraknya Adab al-Ijtima’i, lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 71.
Bandingkan dengan Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih”, hlm. 65.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 53
Nasrullah
wawasan ilmu-ilmu keagamaan yang ia kuasai
sehingga
memudahkannya mengakses materi-materi kitab apapun.
Berkat kecerdasannya, yang diiringi dengan kesungguhan
dan minat baca yang luar biasa, A. H. Hakim tidak hanya mampu
menguasai materi pelajaran yang diajarkan gurunya, melainkan
juga
mengembangkannya
secara
mandiri.
Maka
tidak
mengherankan pengetahuannya menjadi dalam dan luas. Karena itu
ia pun dipercaya Haji Rasul menjadi guru pengganti beliau, dan
namanya pun semakin dikenal di kalangan murid-murid sang guru.
Oleh karena reputasi keilmuan dan akhlaknya yang luhur, dalam
suatu pertemuan di Pasa Gadang, Padang Panjang, Haji Rasul
memberi murid kesayangannya itu gelar kehormatan yang
disandangnya sampai ia wafat dengan sebutan Angku Mudo.12
Profesinya sebagai guru bantu di Surau Jembatan Besi
selanjutnya telah mengantarkannya menjadi pendamping setia
gurunya dalam lembaga pendidikan Sumatera Thawalib yang
didirikan Haji Rasul pada tahun 1918. Lembaga pendidikan yang
ditranformasi dari Surau Jembatan Besi ini, menempatkannya
sebagai wakil kepala, mendampingi Haji Rasul sebagai kepala
sekolah. Ketika Haji Rasul menyatakan non-aktif dari jabatan
12
Ibid. Lihat juga apa yang dikomentari oleh Sanusi Latief tentang makna gelar
yang dianugerahi kepada Hakim dengan mengatakan bahwa gelar “Angku Mudo” itu
bisa disamakan dengan asisten profesor saat ini. Lihat Sanusi Latief (ed.), Riwayat
Hidup, hlm. 202. Bandingkan dengan buku Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H.
Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta:
Umminda, 1982).
54 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
kepala tahun 1922, karena terdapat gejolak internal Thawalib yang
tidak disenanginya, dengan isu masuknya paham komunis,13maka
A. H. Hakim-lah yang menggantikan posisi tersebut sebagai pejabat
kepala. Barulah kemudian pada tahun 1926, ketika Haji Rasul
meyatakan resmi mundur dari Thawalib, sang murid kesayangan
inilah yang memegang tanggung jawab penuh terhadap perguruan.
Aktivitas mengajar A.H. Hakim, selain Thawalib, ia juga
tercatat mengajar di lembaga Diniyah School pimpinan Zainuddin
Labai dan di Diniyah Puteri yang didirikan oleh Rahmah elYunusiyah. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi salah seorang
penguji akhir pada perguruan-perguruan cabang Thawalib yang
berada dan tersebar di daerah-daerah
Sumatera Barat dan
sekitarnya, dan juga mengajar di sekolah Kulliyyatul Muballighin
yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah di Padang Panjang
dalam mata pelajaran fiqih dan ushul fiqih. Tidak ketinggalan
kesibukannya ditambah mengajar agama di sekolah Normal School
untuk pemerintah, namun tugas ini akhirnya ia serahkan kepada
muridnya, Zainal Abidin Ahmad.14 Dalam dunia perguruan tinggi,
kiprah aktifitas mengajar pun dijalaninya. Ia dipercaya menjadi
salah seorang dosen sekaligus diamanahi sebagai Wakil Rektor di
Universitas Dar al-Hikmah yang didirikan pada tahun 1953, dengan
Rektornya kala itu adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek.
13
Di antara tokoh-tokoh yang “diduga” menganut ideologi paham komunis
adalah Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, Lihat Burhanuddin Daya, Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1995), hlm. 245.
14
Sanusi Latief, Riwayat Hidup, hlm. 202.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 55
Nasrullah
Universitas ini pertama kali diresmikan oleh Menteri Agama saat
itu, K.H.M. Ilyas.15
Dunia tulis menulis sebagai curah intelektual dan keulamaan,
juga telah lama ditekuni A. H. Hakim, terutama pada waktu
dipercaya sebagai wakil redaktur (muharrir) majalah al-Munir alManar, yang banyak disebut sebagai kelanjutan dari majalah atau
jurnal al-Munir yang sudah tidak terbit lagi. Majalah ini dipimpin
oleh Zainuddin Labai. Tulisan-tulisannya sering dimuat di majalah
ini, terutama menyangkut persoalan ushul fiqih, fiqih dan akhlaq.
Di samping menulis untuk majalah atau jurnal, ia juga sangat
menekuni dalam menulis buku-buku yang umumnya ditulis dalam
bahasa Arab yang kesemuanya dipakai di berbagai Perguruan
Thawalib, bahkan dipakai juga hingga sekarang dibanyak sekolahsekolah, madrasah dan pesantren di Indonesia dan juga sampai ke
wilayah negara Asia Tenggara lainnya. 16
Di antara karya-karyanya tersebut adalah: trilogi buku ushul
fiqih dan qawa’id fiqihnya, Mabadi’ ‘Awwaliyyah, as-Sullam, dan
al-Bayan, buku dalam bidang fiqih al-Mu’in al-Mubin (4 jilid),
buku dalam bidang akhlak Tahzib al-Akhlaq (3 jilid), dan buku
syarah dari kitab fiqih perbandingan Bidayah al-Mujtahid yang
berjudul al-Hidayah ila ma Yanbaghi min az-Ziyadah ‘ala alBidayah. Namun menurut data yang dapat diketahui, buku karyanya
yang terakhir ini tidak sempat ia selesaikan, karena kondisi A. H.
Hakim yang sudah mengalami kondisi sakit yang berujung pada
15
Ibid., hlm. 203.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 145.
16
56 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
wafatnya pada hari Senin tanggal 13 Juli 1959 M, atau tepatnya
pada tanggal 7 Muharram 1379 H di Padang Panjang dalam usia
sekitar 66 tahun.17
2. Ahli Kitab Menurut Penafsiran Abdul Hamid Hakim
Wacana perdebatan tentang ahli kitab dalam sejarah
intelektual Islam, memang melahirkan berbagai macam pendapat
sesuai dengan pemahaman dan argumentasi masing-masing ulama.
Untuk memahami perdebatan tersebut, dapat ditipologikan, bahwa
kontroversi batasan tentang ahli kitab, dapat dibagi menjadi dua
corak interpretasi.
Pertama, ulama yang berpandangan “eksklusif”, yaitu
menafsirkan ahli kitab hanya mencakup dua komunitas agama
Yahudi dan Nasrani, hal ini didasarkan kepada pemahaman tekstual
ayat-ayat yang berhubungan dengan konsep ahli kitab di dalam alQuran. Kedua, adalah ulama yang memahami bahwa ahli kitab tidak
hanya dimaknai pengertiannya hanya kepada dua agama Ibrahim di
atas. Namun, bisa menjangkau kepada agama-agama lain di luar
agama-agama Ibrahim, di mana berdasarkan penafsiran dan
petunjuk al-Qur’an dalam suatu ayat bahwa “setiap umat telah
diutus seorang Rasul yang menyampaikan wahyu”.
Jadi menurut golongan ini, ahli kitab adalah suatu
pemahaman dari interpretasi terbuka atau “inklusif”. Yakni, dalam
pengertian lain pendapat ini menyatakan bahwa di luar kedua agama
tersebut, agama-agama lain juga berhak disebut sebagi ahli kitab,
17
Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih”, hlm. 77, dan Sanusi Latief, Riwayat
Hidup, hlm. 206.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 57
Nasrullah
yang dalam persyaratannya terdapat dalam agama tersebut sebuah
kitab suci. Corak interpretasi ini, pada dasarnya adalah anti-tesis
terhadap corak berpikir “eksklusif”.18
Pembahasan
yang
dilakukan
A.
H.
Hakim
atas
interpretasinya mengenai ahli kitab kalau dicermati memang cukup
kontroversial. Padahal secara kultural ia berada dalam suatu
masyarakat yang konservatif dengan mayoritas ulama-ulama
tradisional (kaum tuo) yang dianggap literalis dalam pemahaman
keagamaan. Tetapi A.H. Hakim dengan menggunakan argumen
yang cukup otoritatif dengan memegang pendapat para ulama
beraliran moderen semisal Rasyid Ridha mengatakan, bahwa
konsep ahli kitab tidak hanya dibatasi cakupannya untuk kaum
Yahudi dan Nasrani an sich, namun juga untuk umat beragama
tertentu yang lainnya.
Alasannya, menurut analisis A.H. Hakim yang mengutip
tafsir al-Manar berpendapat, bahwa kitab-kitab mereka, seperti
kitab suci Kong Hucu, Hindu dan Budha, bahkan sampai kepada
18
Menurut penyusun, walaupun terma eksklusif dan inklusif dipakai dalam
teologi tentang “ide keselamatan”, namun istilah tersebut pada awalnya berangkat dari
aktivitas penafsiran atas teks agama, yang memandang secara tertutup dan terbuka.
Penafsiran yang dilandasi dengan muatan-muatan ideologinya masing-masing,
pastinya akan membentuk “pandangan dunia” tertentu dalam masalah interpretasinya.
Jadi pada prinsipnya kedua istilah tersebut bisa saling terpakai, baik tentang cara
berpikir tentang ide keselamatan, maupun tentang corak penafsirannya. Lebih lanjut
lihat artikel Ismatu Ropi, “Wacana Inklusif Ahli Kitab”, Jurnal Paramadina, Vol 1:
2 (1999), hlm. 96. Bandingkan dengan buku yang ditulis Tim Penulis Paramadina
yang diedit oleh Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina,
2004), hlm. 64. Lihat juga Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 84. Bandingkan selanjutnya dengan buku
yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan pemikiran Islam PP
Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat
Beragama, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), hlm. 142.
58 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
agama yang dianut oleh bangsa Jepang yang sering disebut agama
Shinto itu pada asalnya, semuanya tergolong kategori kitab
“samawiyyah”.Artinya, bisa jadi kitab-kitab tersebut mengandung
prinsip ketauhidan, walaupun dalam kenyataan sejarah eksistensi
dari kitab-kitab suci agama-agama tersebut telah terjadi semacam
“penyimpangan” dan “perubahan” baik dari segi redaksi maupun isi
dan prinsip ajaran.
Dari paparan ini dapat diambil suatu tesis bahwa pada
prinsipnya perbedaan antara Islam dan ahli kitab (Yahudi, Kristen,
plus Hindu, Budha, Kong Hucu, Shinto dan sebagainya tentu saja
dalam pandangan A. H. Hakim) bukan dilandaskan pada suatu
perbedaan yang sifatnya teologis-dikotomik antara muslim dan
musyrik. Tetapi dapat dianalogikan kepada perbedaan yang sifatnya
teologis-konsistensialistik dalam menjalankan ajaran agama seperti
halnya menyerupai perbedaan antara orang-orang Islam yang betulbetul berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan para ahli
bid’ah. Jadi, sepertinya mereka kaum ahli kitab itu dianggap telah
melakukan bid’ah karena banyak ketentuan agama yang telah
dilanggar “dibuat-buat” untuk “kepentingan” tertentu sehingga
telah berdampak pada perubahan (tahrif) dan penyimpangan
(tabdil) ajaran agama mereka.19
Lebih jauh A.H. Hakim memaparkan, bahwa kaum ahli kitab
berbeda dari orang-orang musyrik. Hal ini terbukti jelas menurut
Hakim, ketika al-Qur’an menyebutkan para pemeluk agama (Islam,
19
Hakim, Al-Mu’in, hlm. 55.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 59
Nasrullah
Yahudi, Nasrani, Shabiin dan Majuzi), maka antara pemeluk agama
tersebut
dan
antara
“musyrik”
terjadi
dikotomi
dalam
pengklasifikasian golongan. 20 Pembedaan antara muslim dan
musyrik dalam konteks hubungan antar agama dalam masa awal
Islam
menjadi sangat signifikan. Sebab akan terkait dengan
persoalan ajakan untuk berdakwah kepada mereka kaum musyrik
yang belum memeluk agama, seperti kaum pagan jahiliah Mekkah,
di mana Nabi diperintah untuk menyampaikan risalah Islam kepada
mereka.
Kondisi Mekkah ini berbeda dengan Madinah sebagai kota
dengan penghuni masyarakat yang sudah memeluk suatu agama
dengan kebanyakan memeluk agama Nasrani , Yahudi dan sebagian
Majusi. Indikator kebahasaan yang bisa ditampilkan adalah adanya
huruf “athaf” (waw) yang menunjuk kepada unsur “perbedaan”
antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini antara
penganut agama-agama di atas dengan golongan “musyrik”
terdapat diferensiasi golongan. Lalu kemudian A. H. Hakim
melanjutkan bahasannya, bahwa menurutnya tidaklah logis
menyamakan antara ahli kitab dengan predikat sebagai kaum
musyrik.21
Atas argumen tersebut, maka menjadi hal yang wajar, bila
Hakim berpendirian bahwa agama-agama Hindu, Budha dan
agama-agama Cina dan Jepang, juga termasuk agama ahli kitab.
Dengan kata lain tidak sebagai kaum yang musyrik.
20
Ibid., hlm. 52.
Ibid.
21
Dalam
60 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
konstruk hukum Islam ada perbedaan perlakuan antara musyrik dan
kafir.
3. Analisis Rekonstruksi Obyektif dan Subyektif Pemikiran Abdul
Hamid Hakim
Berdasarkan teori bahasa, teks atau pemikiran yang dipahami
oleh konteks yang berbeda, akan menghasilkan suatu pemahaman
yang khas bersifat lokalistik,
sesuai dengan karakter dasar
pengetahuan dan tradisi di mana teks atau pemikiran itu dipahami,
sesuai dengan konteksnya masing-masing.22 Hal yang paling
faktual dalam sejarah hukum Islam adalah timbulnya periode
mazhab qaul qadim Imam Syafi'i ketika berada di Irak dan periode
qaul jadid-nya waktu ia berada di Mesir. Artinya segala perbuatan
atau penafsiran dalam sebuah pemahaman itu terjadi disebabkan
oleh settinglocus dan tempus yang berbeda dengan yang pernah
dialami, sehingga mengambil tindakan yang lain dari yang pertama,
atau lazim dalam kaedah fiqih, taghayyur al-ahkam bi taghayyur alazminah wa al-amkinah.23
Begitu juga ungkapan al-Qur'an tentang konsep ahli kitab.
Pada awalnya pengkhitaban lebih diarahkan kepada komunitas
agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama yang mendahului
kedatangan agama Islam. Khitab al-Qur’an ini harus dipahami
22
Amin Abdullah “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat
Multikulturaldan Multireligius”, Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000, hlm 16.
23
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1995), hlm 33.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 61
Nasrullah
lewat konteks ayat itu diturunkan, di mana waktu itu Yahudi dan
Nasrani adalah umat yang intens berhubungan dengan umat Islam.
Sikap akomodatif al-Qur'an terhadap kaum Yahudi dan Nasrani
dengan menyebut keduanya sebagai kaum ahli kitab yang
muhaqqaq, menunjukkan bahwa Al-Qur'an bukan berada dalam
dimensi metafisis dan mengawang-awang.Tetapi al-Qur'an telah
berperan dalam membangun regulasi sosial hubungan antar agama,
apalagi kedua agama tersebut adalah rumpun dari agama-agama
Ibrahim (semitik).
Jadi, sebenarnya dari keterangan singkat diatas, bahwa teks
al-Qur'an tidak "memaksakan" audiensinya untuk memahami halhal yang “unknowble”, dengan memasukkan selain kedua agama
tersebut, seperti agama India dan Jepang itu, sebagaimana yang
dimaknai oleh A. H. Hakim yang persis dengan pendapat Rasyid
Ridha, yang dinilai oleh Ismatu Ropi sedikit apologetis. Dalam
konteks ini, jika ahli kitab langsung dimaknai mencakup agama di
luar Yahudi dan Nasrani tentu akan menimbulkan kesan ighrab atau
asing dalam pengetahuan mukhatab. Maka kesan “asing” tersebut
berakibat bisa dikatakan al-Qur'an tidak akomodatif terhadap
konteks sosial mqasyarakat penerimanya, yang mengakibatkan
kebingungan kepada orientasi teks (khitab). Bukankah dalam alQur’an dinyatakan dalam salah satu ayatnya bahwa para nabi atau
rasul diutus yang sesuai dengan kemampuan nalar dan bahasa yang
dipakai kaumnya.24
24
Ismatu Ropi, "Wacana Inklusif”, hlm. 91. Lihat juga Rasyid Rida, Tafsir
al-Manar, jilid VI, (Dar al-Fikr,1972), hlm.156.
62 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
Pada waktu berikutnya, termasuk saat ini, kemudian bahasa
atau tepatnya makna ahli kitab itu haruslah mengalami transformasi
makna dengan tidak lagi dipahami sebagaimana tekstual adanya.
Tetapi mengikuti sesuai sifat bahasa adalah terus bergerak dinamis
mengikuti gerak zaman dan tempat, agar bahasa yang dipakai dan
digunakan bersifat konstekstual, sama sekali tidak statis dengan ciri
tekstualnya. Pemahaman A. H. Hakim tentang perluasan makna
ahli kitab melalui interpretasi pengetahuan bahasa dan linguistik
yang ia miliki, telah memandang bahwa konsep ahli kitab dalam
al-Qur'an yang umum dipahami oleh kebanyakan ulama dan kaum
muslimin sebagai agama Yahudi dan Nasrani saja, menurutnya
sudah tidak tepat dan tidak konstekstual. Seharusnya maknanya
harus diperluas dengan memasukkan agama-agama di luar kedua
agama semitik tersebut.25
Ahli kitab dipahami sebagai umat beragama yang memiliki
kitab suci atau "semacam" kitab suci atau syibh ahli kitab yang telah
diwahyukan kepada seorang nabi yang membawa ajaran dasar
tauhid, baik yang dikenal dalam tradisi agama Ibrahim atau
selainnya seperti Majuzi, Sabi’in, Hindu, Buddha, Kong Hucu,
Taoisme bahkan agama Shinto. Bukankah agama-agama India dan
China itu lebih dahulu datangnya ketimbang agama-agama semitik
dan tidak ada angka yang pasti berapa sebenarnya jumlah nabi atau
rasul yang pernah diutus oleh Allah?.Walaupun, dalam kepercayaan
teologis kaum Sunni ada 25 Rasul yang wajib diimani.26
25
Hakim, Al-Mu’in , hlm. 55.
Ibid.
26
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 63
Nasrullah
Penafsiran A. H. Hakim ini bisa digambarkan sebagai
penolakan atau respon keberatan atas makna ahli kitab yang hanya
dipahami sebagai agama Yahudi dan Nasrani an-sich, dan
penafsiran yang mengorientasikan kepada pemahaman etnik
tertentu.27Dalam bahasa yang lain Hakim berusaha "menggugat"
otonomi teks pertama yang ditujukan kepada konteks tertentu
(Yahudi dan Nasrani) sesuai kondisi sosial saat itu, bergeser
perlahan
dengan
menerapkan
"sifat
bahasawi’
(the
lingualcharacter) yang memandang secara luwes terhadap istilah
ahli kitab dan terakhir lalu melakukan interpretasi.28
Parameter eksistensi kitab suci atau "semacam" kitab suci
telah menjadi argumennya dalam memasukkan kaum agama di luar
Yahudi dan Nasrani secara inklusif, dengan dukungan informasi
yang terdapat dalam al-Qur'an, bahwa “pada tiap-tiap umat telah
diutus seorang rasul yang bertugas member peringatan”,29 “dan
tiap-tiap kaum diutus pemberi petunjuk“ 30. Informasi al-Qur'an ini
seolah-olah dalam pandangan A. H. Hakim telah memperkuat relasi
antar ayat yang satu dengan ayat yang lain, atau dalam konteks
hermeneutika al-Qur'an, Hakim melakukan metode inter-teks ayat
27
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai
Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 336.
28
Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan
Paham Keagamaan Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dan Pergumulan Islam dan
Tradisi, (Yogyakarta: Samha, 2002), hlm. 11. Lihat juga buku Richard E. Palmer,
Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, alih bahasa Musnur Herry dan
Damanhuri Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 98.
29
Fatir ( 3 ): 24.
30
Ar-Ra'ad (13): 38.
64 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
atau dalam istilah ulum al-Qur'an, “al-Qur'an yufassiru ba'dhuhu
ba'dha.” 31
Legitimasi ayat-ayat di atas telah mendorongnya memaknai
bahwa agama-agama yang disebutkan itu awalnya sebagai agama
tauhid hingga sekarang dan menilai bahwa kitab-kitab suci mereka
adalah "samawiyyah".Walaupun telah diakui kemudian adanya
penyimpangan dan perubahan di dalamnya (tahrif) karena faktor
kesejarahan yang cukup lama dalam penulisan, sehingga
menimbulkan keraguan otentisitas kandungan dan ajaran kitab suci
mereka. Sebagaimana juga telah diragukan akan keaslian kitab suci
agama Yahudi dan Nasrani.32
Memahami pemikiran A. H. Hakim terhadap perluasan
makna ahli Kitab, haruslah juga memahami kondisi riil, sosial
budaya dan politik saat itu. Karena proses interpretasi seseorang,
sedikit banyak akan ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai
variabel yang sifatnya kompleks. Interpretasi seseorang terhadap
teks atau kenyataan sosial ditentukan oleh variabel-variabel berikut
ini;
Pertama, terpaan informasi atau pembacaan seseorang
terhadap corak literatur akan menentukan interpretasi seseorang
terhadap teks dan kenyataan sosial (konteks). Kedua, setting sosial
atau latar belakang dan peranan sosial juga akan menentukan
31
Sahiron Syamsuddin, “Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrur dalam
PenafsiranAl-Qur'an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi
al-Qur'an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002), hlm. 137.
32
Hakim, Al-Muin, hal. 55.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 65
Nasrullah
interpretasi seseorang, terutama dalam menentukan pentingnya
fokus dan agenda masalah. Ketiga, latar belakang pendidikan atau
disiplin ilmu yang dikuasai seseorang akan menentukan cara dan
analisis mereka. Keempat, pengalaman dan karakteristik personal.
Kelima, perubahan kondisi sosial politik- ekonomi dan sosiokultural.33
Kelima variabel tersebut tidak bisa dan tidak mungkin
diabaikan terutama saat kita bermaksud secara lebih tajam dan
jernih dalam melakukan telaah terhadap pernak-pernik dan gerakan
sosial keagamaan maupun pemikiran seseorang. Dalam tinjauan
sejarah kehidupan A. H. Hakim, dapat ditemukan bahwa ia hidup
dalam suatu masa yang penuh dengan gejolak pemikiran dan
kegelisahan kaum pembaharu kaum mudo terhadap pentingnya
pembaharuan dalam
tatanan sistem berpikir dan praktek
keagamaan. Arus modernisasi Islam yang disuarakan di Timur
Tengah khususnya Mesir dengan pelopornya Jamaluddin alAfghani, Muhammad abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain, dirasakan
begitu derasnya laksana air mengalir.34
Suasana ini disebabkan oleh beberapa orang ulama
Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekkah dan Mesir
“terpengaruh”
dan
membawa
ide-ide
pembaharuan
ke
Minangkabau, bahkan para ulama ini telah menjadi agen-agen
pembaharu dalam lingkungan baru di Minangkabau. Tokoh-tokoh
seperti Thaher Jalaluddin al-Azhari, Abdullah Ahmad, Abdul
33
Zainul Milal, Perlawanan Kultural, hal. 9.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 50-51, dan 69.
34
66 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
Karim Amrullah, Djamil Djambek dan Thaib Umar seolah-olah
menjadi perpanjangan tangan dari tokoh-tokoh modernis Timur
Tengah dalam menyebarkan isu-isu pembaharuan pemikiran
agama yang cukup“provokatif” melalui sarana membangun
sekolah-sekolah
bercorak moderen, yang banyak mengadopsi
model sekolah Barat yang nota bene adalah bangsa kolonial dan
menerbitkan
majalah-majalah
atau
jurnal
sebagai
media
propaganda polemik dan corong pemikiran.35
Ide-ide pembaharuan mereka yang digunakan sebagai
konsep untuk kritik sosial keagaamaan saat itu, telah berdampak
kemudian kepada timbulnya goncangan hebat dalam pemikiran
keagamaan di Sumatera Barat. Para ulama yang kemudian disebut
sebagai para ulama kaum mudo karena ide proregsifnya telah
dihadapkan pada realitas pertentangan dengan kalangan ulama
tradisi konservatif dan kalangan adat yang merasa dirugikan dengan
kritikan-kritikan para ulama kaum mudo. Pada dasarnya kritikan
mereka ditujukan pada tiga aspek; pertama adalah syari'at, sebutan
mereka untuk ibadah-ibadah ritual (fiqih) yang biasanya berkisar
pada masalah khilafiah. Kedua, adalah adat yang mereka anggap
banyak terjadi penyimpangan dan menjurus kesesatan, dan ketiga
adalah tarekat yang lebih menjurus pada unsur ritualitas tarekat
yang mereka anggap tidak ada dasarnya dalam syari’at.Realitas
35
Deliar Noer, Gerakan Modern, Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1996), hlm. 38.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 67
Nasrullah
obyektif ini telah berlangsung cukup lama, bahkan masih dirasakan
sampai sekarang adanya polarisasi tersebut. 36
Pertentangan pemahaman keagamaan yang diakibatkan
perspektif yang berbeda dalam memahami "epistimologi" agama,
telah berdampak luas dan menjadikan Minangkabau "bergolak"
dalam tataran “ketegangan kreatif”, sampai-sampai ilmuan asal
Belanda, Schrieke memberi judul buku reportasenya sewaktu ia
bertugas di Sumatera Barat dengan judul "pergolakan Agama di
Sumatera Barat.37Adapun Taufik Abdullah menamai masa ini
sebagai pergolakan sosial dan intelektual. 38 Secara hermeneutis,
inter-relasi dari penggalan paparan sejarah pergerakan kaum mudo
di Minangkabau tersebut, telah mewarnai corak berpikir A. H.
Hakim, karena ia adalah nota bene anak didik sekaligus generasi
kedua dari gerakan ulama pembaharu kaum mudo.
Relasi intelektualnya dengan tokoh-tokoh utama kaum mudo
seperti Abdul Karim Amrullah, Thaib Umar dan Abdullah Ahmad
secara intens telah memberikan andil besar terhadap penyerapan
ide-ide sentral maupun periferal modernisasi dari Timur Tengah.
Maka A. H. Hakim, otomatis mendapat bimbingan keilmuan dalam
hal metodologi maupun literatur-literatur yang dibawa oleh
pembaharu tersebut. Haji Rasul (Abdul Karim Amrullah) sebagai
guru utamanya di samping yang lain, turut menggemblengnya
36
Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, hlm. 165. Lihat juga buku
Hamka, Ayahku, hlm. 242.
37
B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah
SumbanganBibliografi, alih
bahasa Soegarda Poerbawakatja, (Jakarta:
Bhratara,1973).
38
Taufik Abdullah, lihat dalam kata pengantar buku Schrieke di atas.
68 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
terutama saat di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Bahkan, ia
adalah murid kesayangan dan orang yang pertama ditunjuk
menggantikan Haji Rasul ketika sang guru mundur menjadi
pimpinan.39
Penguasaan referensi dan literatur karya tokoh-tokoh
modernis semisal Abduh dan Ridha, sangat akrab dalam diri A. H.
Hakim. Ia banyak sekali mengutip pendapat dua modernis ini dalam
karyanya. Pemahamannya tentang perluasan makna ahli kitab bisa
dibuktikan, betapa Hakim begitu terpengaruh dengan pengarang
Tafsir al-Manar tersebut. Karya fiqihnya al-Mui’n al-Mubin,
khususnya jilid yang ke-IV tempat ia menuliskan ide-idenya dalam
fiqih munakahat dengan Tafsir al-Manar telah terjadi jaringan
intertekstualitas baik ditinjau dari segi penyamaaan ide maupun
sebagai penguat legitimasi pendapat.40 Hal inilah yang dikatakan
oleh Hamim Ilyas dalam penelitiannya, bahwa ide sentral dari
Ridha tentang perluasan makna ahli kitab secara luas telah diterima
oleh tokoh-tokoh ulama Indonesia, salah satunya adalah Hakim di
samping Hamka, Nurcholish Madjid, dan Muhammadiyah. 41
Pada tataran psiko-historis-sosiologis, realitas masa Hakim
hidup bertepatan dengan terjadinya fakta obyektif pertentangan
antar kaum mudo sebagai representasi kaum pembaharu dengan
kaum tuo sebagai representasi kalangan "penjaga" dogma status quo
39
Sanusi Latief (ed.), Riwayat Hidup, hlm. 201.
Hakim, Al-Muin, hal. 55.
41
Hamim Ilyas, “Pandangan Muslim Modernis Terhadap Non-Muslim: Studi
Pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida terhadap Ahli kitab dalam Tafsir alManar”, disertasi doktorIAIN Sunan Kalijaga, tahun 2002, hlm. 434-435.
40
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 69
Nasrullah
pemikiran konservatif agama. Kondisi ini telah memperlihatkan A.
H. Hakim sebagai seorang yang turut terpanggil untuk melakukan
pembaharuan dengan instrumen kebebasan berpendapat dan
berijtihad yang disertai dengan dalil yang kokoh. Walaupun, medan
pemikirannya lebih banyak secara intelektual dilakukan di ruang
sekolah di Thawalib dan tuangan ide-ide pembaharuannya yang
terdapat di berbagai karyanya. Kondisi masyarakat yang jumud dan
stagnan dalam berpikir tentang keagamaan turut membuka
cakrawala berpikir A. H. Hakim untuk memperjuangkan ide-ide
pembaharuan paham keagamaan yang telah berlangsung.
Salah satu kontribusinya ialah dengan memahami perluasan
makna ahli kitab, yang pada intinya sesungguhnya ia telah
menyuarakan "kebebasan" berijtihad sebagai tandingan sikap taklid
yang dipegangi oleh kalangan ulama kaum tuo. Walaupun idenya
tersebut termaktub penyampaiannnya dalam satu bentuk buku
pelajaran fiqih yang dipakai hingga kini dibanyak sekolah dan
pesantren di
Indonesia. Menurut Mahmud Yunus dalam
penelitianya tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia, buku
fiqih al-Mu’in al-Mubin digunakan sebagai pengganti kitab Fath alMu’in karangan al-Malibari yang lazim digunakan di pesantrenpesantren tradisional.42 Motif penggantian ini memang kurang
jelas.Tetapi menurut penyusun, A. H. Hakim telah membuat
manuver pentingnya kesadaran untuk memakai sesuatu ide yang
42
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan, hlm. 153.
70 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
"baru" dan segar dalam memahami disiplin fiqih (al-fiqh fi tsaubihi
al-jadid).
Pengungkapan sisi suasana sosial-politik yang menjadi latar
belakang pemikiran A, H. Hakim di atas, menjadi suatu hal yang
urgen. Paling tidak hal ini bisa mempermudah pemahaman struktur
berpikirnya dengan segala dinamika intelektualnya yang telah
melakukan
suatu
pemahaman
teks
agama
dengan
mengkombinasikan antara realitas fenomena stagnasi pemikiran
dan kehidupan keagamaan. Usaha tersebut dilakukan untuk sebuah
keinginan merekonstruksi pemahaman agama melalui ide-ide
pembaharuan yang melahirkan "produktivitas bahasa" dan "makna
baru" yang dihasilkan melalui interpretasi. Dalam konteks ini, A.H.
Hakim memaknai dan menafsirkan ahli kitab secara lebih luas dan
terbuka, di mana secara sadar ia juga meyakini, akan atau telah
banyak kalangan yang tidak setuju dengan pendapatnya ini. 43
C. KESIMPULAN
Dari paparan pembahasan di atas dapatlah disimpulkan menurut
tafsiran penyusun, bahwa konstruksi interpretasi A. H. Hakim tentang
ahli kitab yang diperluas cakupannya, dapat disebutkan ada tiga kriteria
pendorong sebagai faktor yang bisa dimungkinkan dalam ijtihadnya
terhadap inklusifitas batasan ahli kitab tersebut.
Pertama, belum adanya kejelasan secara jelas (qath’i) tentang
batasan dan makna yang spesifik terhadap ahli kitab, sehingga
43
Kaelan, Filsafat Bahasa dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma,
2002), hlm. 187.
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 71
Nasrullah
dimungkinkan adanya perluasan cakupan makna di luar agama Yahudi
dan Nasrani. Kedua, dalam al-Qur'an terdapat khitab Allah terhadap
Yahudi dan Nasrani sebagai ahli kitab, tetapi di sisi lain, Allah
menginformasikan, bahwa agama-agama di luar kedua agama tersebut
juga diberi kitab suci melalui Nabi atau Rasul utusan Allah yang
barangkali tidak temasuk dalam pengkisahan (qashash) secara tersurat
dalam al-Qur’an, sehingga ia memahami bahwa ahli kitab tidak terbatas
hanya untuk kedua agama tersebut. Ketiga, disebabkan adanya suatu
prediksi konstruk sosial ke depan tentang akan kemungkinan adanya
eksistensi pluaralitas agama dalam konteks sosial keagamaan
masyarakat, yang saat sekarang telah menjadi suatu realitas
keniscayaan, yang mengitari kehidupan dalam hubungan antar agama.
Posisi agama dan umat Islam dituntut untuk lebih membuka diri secara
inklusif dalam berhadapan dengan realitas perbedaan secara teologis.
Implikasi penafsiran inklusif A. H. Hakim tentang tafsir terhadap
ahli kitab ini akan besar kontribusinya dalam upaya menjalin hubungan
sosial antara muslim dengan ahli kitab yang walaupun berbeda secara
teologis tetapi mempunyai tugas yang sama secara sosiologis dalam
mewujudkan visi yang jauh ke depan dengan memperhatian aspek
hubungan sosial antar agama dengan bersikap inklusif, toleran, dan
menghormati hak asasi beragama masing-masing. Wallahu a’lamu!
72 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik “Kata Pengantar” buku B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama
di Sumatera Barat: Sebuah SumbanganBibliografi, alih bahasa
Soegarda Poerbawakatja, (Jakarta: Bhatara, 1973).
Abdullah, Amin, “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat
Multikulturaldan Multireligius”, Pidato pengukuhan Guru Besar
Ilmu Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 13 Mei 2000.
Abu Zaid, Nashr Hamid, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majaz dalam AlQur'an Menurut Mu'tazilah, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dan
Hamka Hasan, (Bandung: Mizan, 2003).
Bizawie, Zainul Milal, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan
Paham Keagamaan Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dan Pergumulan
Islam dan Tradisi, (Yogyakarta: Samha, 2002).
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat:Tradisitradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994).
Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus
SumateraThawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacan, 1995).
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, alih bahasa Nugroho Notosusanto,
(Jakarta: UI Press, 1983).
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982).
Hakim, Abdul Hamid, Al-Mu’in al-Mubin, jilid lV, (Bukittinggi: Matba’ah
Nusantara, t.t.).
--------, Mabadi’ Awwaliah, (Jakarta: Sa’adiyah Putera, t.t.).
--------, As-Sullam, (Jakarta: Sa’adiyah Putera, t.t.).
Rekontstruksi Objektif dan Subjektif dalam Pemikiran Islam | 73
Nasrullah
--------, Al-Bayan, (Jakarta: Sa’adiyah Putera, t.t.).
Hanafi, A., Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1995).
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996).
Ilyas, Hamim, “Pandangan Muslim Modernis Terhadap Non-Muslim: Studi
Pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida terhadap Ahli kitab
dalam Tafsir Al-Manar”, disertasi doktorIAIN Sunan Kalijaga,
tahun 2002.
Kaelan, Filsafat Bahasa dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma,
2002).
Latief, Sanusi (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar
Sumatera Barat, (Padang: Islamic Centre, 1988).
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,
(Jakarta: Paramadina, 2000).
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat
Beragama, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000).
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
(Jakarta: UI Press, 1997).
----------, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996).
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1996).
74 | Jurnal Syahadah
Vol. IV, No. 1, April 2016
Palmer, Richard E., Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, alih
bahasa Musnur Herry dan Damanhuri Muhammad, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003).
Rais, Isnawati, “Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim: Sebuah Upaya
Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, disertasi doktor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2000.
Rida, Rasyid, Tafsir Al-Manar, jilid II dan Vl, (Beirut: Dar al-Fikr, 1393
H/1973 M).
Ropi, Ismatu, “Wacana Inklusif Ahli Kitab”, dalam Jurnal Paramadina, Vol.
l, No. 2, 1999.
Schrieke, B.J.O., Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah
SumbanganBibliografi, alih bahasa Soegarda Poerbawakatja,
(Jakarta: Bhratara, 1973).
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,
(Bandung: Mizan, 1999).
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai
Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1996).
Sirry, Mun’im A. (ed.), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004).
Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Syamsuddin, Sahiron, “Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrur dalam
PenafsiranAl-Qur'an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron
Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur'an Kontemporer: Wacana Baru
Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002).
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1996).
Download