Perkembangan Usaha di Kalangan Pengusaha Industri Kreatif Fesyen di Kota Bandung Nur Rina Maskayanti Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 Email: [email protected] Abstrak Ekonomi kreatif merupakan fenomena baru dalam perekonomian yang menekankan pada ide, kreativitas, keterampilan, dan bakat yang dimiliki oleh sumber daya manusia. Ekonomi kreatif diimplementasikan dalam bentuk industri kreatif yang terdiri dari 14 subsektor. Salah satunya, yaitu fesyen. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menjelaskan hubungan variabel keluasan jaringan sosial, status sosial ekonomi, dan peran triple helix dalam perkembangan usaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif di antara variabel-variabel penelitian. Secara sosiologi, ide-ide dan kreativitas kelompok berkolaborasi untuk menghasilkan suatu produk kreatif yang mempunyai nilai tambah, sehingga mempunyai daya saing. Kata kunci: Ekonomi Kreatif, Industri Kreatif, Jaringan Sosial, Status Sosial Ekonomi, Triple Helix Abstract Creative economy is a new phenomenon in the economy which emphasizes on ideas, creativity, skills, and talents of human resources. Creative economy implemented in creative industry are composed of 14 sub-sectors, one of them is fashion. This study used a quantitative approach to describe relationship between social network, socioeconomic status, and the role of triple helix in the development of creative industry fashion in Bandung. The result of this study indicate that there is a positive relationship between research variables. In Sociology, the ideas and creativity of group collaborate to produce creative products which have added value, thus having competitiveness. Keywords: Creative Economy, Creative Industry, Social Network, Socioeconomic Status, Triple Helix. 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Produk Indonesia harus mempunyai daya saing ketika disejajarkan dengan produk luar negeri. Peningkatan daya saing tersebut dapat dilakukan melalui ekonomi kreatif yang menekankan nilai tambah pada produk. Konsep ekonomi kreatif pertama kali diperkenalkan oleh John Howkins dalam bukunya yang berjudul Creative Economy, How People Make Money from Ideas. Ekonomi kreatif fokus mengandalkan potensi sumber daya manusia yang diharapkan mampu mendukung perekonomian masyarakat. Di Indonesia, pengembangan ekonomi kreatif dilakukan melalui dua tahapan utama, yakni tahapan penguatan (2008-2014) dan tahap akselerasi (2015-2025). Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 Ekonomi kreatif salah satunya diimplementasikan dalam bentuk industri kreatif. Industri kreatif telah berkembang di beberapa kota di Indonesia, salah satunya Kota Bandung. Di kota ini mulai banyak berkembang komunitas kreatif yang bergerak di berbagai bidang, sehingga disebut sebagai Kota Kreatif. Selain itu, Kota Bandung juga merupakan pusat mode di Indonesia. Perkembangan Kota Bandung sebagai pusat mode tidak terlepas dari peran pengusaha industri kreatif fesyen. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan komunitas yang memfasilitasi program kegiatan pengusaha industri kreatif fesyen dalam mengembangkan usahanya, yakni Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK). Selain itu, terdapat aktor lain yang berpengaruh pada perkembangan usaha industri kreatif fesyen, yaitu Triple Helix mencakup akademisi dari universitas, pengusaha, dan pemerintah. Tulisan ini berusaha memberikan gambaran hasil penelitian penulis tentang perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung kaitannya dengan konsep keluasan jaringan sosial, status sosial ekonomi, dan peran Triple Helix. Keluasan jaringan sosial antar aktor industri kreatif fesyen berpengaruh pada proses penyebaran informasi (stock of knowledge). Begitu pula status sosial ekonomi pengusaha industri kreatif fesyen yang terkait dengan latar belakang keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan faktor produksi. Selain itu, faktor eksternal yang juga berperan dalam pengembangan industri kreatif fesyen, yaitu Triple Helix. Peran dari ketiga aktor Triple Helix ini terkait dengan kelekatan kelembagaan dalam Sosiologi Ekonomi yang akan diulas lebih lanjut dalam tulisan ini. 1.2 Penelitian Sejenis Yang Telah Dilakukan Sebagian besar penelitian terkait ekonomi kreatif menekankan pada level makro, yakni negara. Ekonomi kreatif telah mengambil peran dalam perekonomian di beberapa negara. Ekonomi kreatif terkait erat dengan industri kreatif. Penelitian sejenis terkait industri kreatif dilakukan oleh Achwan (2013) dengan metode extended case dan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam. Hasil penelitian tersebut menjelaskan konteks kemasyarakatan, distro fesyen dan provinsi kreativitas, tantangan dan peluang yang dihadapi oleh pengusaha distro fesyen, serta kerapuhan kelekatan kelembagaan. Kerapuhan kelembagaan ditunjukkan oleh kurangnya dukungan pemerintah setempat dalam perkembangan industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Akibatnya, provinsi kreativitas pun tidak bisa berkembang. Hal ini yang menjadi penghambat perkembangan distro fesyen di Kota Bandung. Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 Penelitian lain terkait industri kreatif dilakukan oleh Purwanto (2013) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan klaster industri kreatif keramik di Kasongan dan membahas modal sosial di antara aktor yang terlibat dengan menggunakan konsep Putnam, yakni jaringan, norma, dan trust. Selain itu, penelitian ini juga melihat lingkungan institusional di level makro yang kemudian berhubungan dengan organisasi di level meso dan sosial antar individu di level mikro. Hubungan-hubungan tersebut dideskripsikan dalam berbagai bentuk, seperti dominasi, subordinasi, dan resistensi. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksplanasi yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antar variabel dalam perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk (1) menjelaskan hubungan antara keluasan jaringan sosial dengan tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung; (2) menjelaskan hubungan antara status sosial ekonomi dengan tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung; dan (3) menjelaskan hubungan peran triple helix dengan tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung. 1.4 Manfaat Penelitian Dari segi akademis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pengetahuan dan data empirik terkait industri kreatif fesyen untuk pengembangan ilmu pengetahuan sosial, khususnya Sosiologi Ekonomi dan Modal Sosial. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dan referensi baru bagi penelitian atau berbagai karya akademis lain yang terkait dengan isu pengembangan industri kreatif fesyen. Dari segi praktis praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan rekomendasi bagi pihakpihak terkait (stakeholder), yakni pemerintah; pengusaha; serta pihak akademisi untuk mengembangkan berbagai program dalam rangka pengembangan industri kreatif. 2. Metode 2.1 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan empat konsep utama yang terdiri dari satu variabel dependen dan tiga variabel independen. Variabel dependen dari penelitian ini, yaitu perkembangan usaha di kalangan industri kreatif fesyen, sedangkan variabel independen dari penelitian ini, yaitu keluasan jaringan sosial, status sosial ekonomi, dan peran triple helix. Berikut pemaparan dari keempat variabel tersebut. Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 2.1.1 Industri Kreatif UK DCMS (dalam NESTA, 2013) mendefinisikan industri kreatif sebagai industri yang mengandalkan keaslian kreativitas, keterampilan, dan bakat individu yang secara potensial mampu menciptakan kekayaan dan lapangan kerja melalui kekayaan intelektual. Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis melihat ada dua dimensi yang perlu diperhatikan terkait industri kreatif, yakni dimensi sumber daya manusia dan dimensi produk. Dimensi sumber daya manusia merujuk pada para aktor industri kreatif yang dilihat dari indikator kreativitas, keterampilan, dan bakat (talenta). Selanjutnya, dimensi produk merujuk pada input industri kreatif yang dilihat dari dua indikator mencakup inovasi dan komersialisasi (pemasaran, penjualan, dan promosi). John Howkins membagi industri kreatif menjadi 14 subsektor, yakni (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) pertunjukan seni, (4) kerajinan, (5) desain, (6) film, video, fotografi, (7) musik, (8) permainan (game), (9) publikasi, (10) penelitian dan pengembangan, (11) perangkat lunak (software), (12) TV dan radio, (13) seni rupa, dan (14) fesyen. Tulisan ini akan berfokus pada salah satu subsektor industri kreatif, yakni industri kreatif fesyen. Menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), industri fesyen mencakup tiga jenis industri, yaitu industri pakaian, industri alas kaki, dan industri aksesoris (tas, dompet, dan lain-lain) (Departemen Perindustrian, 2009: 45). 2.1.2 Keluasan Jaringan Sosial Jaringan sosial merupakan salah satu unsur utama dari modal sosial (dalam Moelyono, 2010: 176). Solow (2010) juga menjelaskan bahwa hubungan sosial dalam bentuk jaringan kerja (network) mempunyai kontribusi yang signifikan dalam keberhasilan dan keberlanjutan ekonomi, baik di level makro maupun level mikro. Konsep jaringan sosial yang dimaksud terdiri dari tiga indikator hubungan yang terjalin, yakni bonding, bridging, dan linking. Bonding merujuk pada hubungan antarindividu yang berada dalam kelompok primer atau lingkungan ketetanggaan yang saling berdekatan. Bridging adalah hubungan yang terjalin di antara orang-orang yang berbeda, termasuk pula orang-orang dari komunitas, budaya, atau latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda. Linking memungkinkan individu-individu untuk menggali dan mengelola sumber daya, ide, informasi, dan pengetahuan dalam suatu komunitas atau kelompok pada level pembentukan dan partisipasi dalam organisasi formal. Ketiga hal tersebut kemudian dikembangkan oleh Mark Graovetter melalui konsep jaringan sosial dalam Sosiologi Ekonomi. Konsep jaringan sosial ini didefinisikan sebagai hubungan Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 sosial antar individu yang relatif stabil dan digunakan sebagai bahan dasar yang mempunyai posisi strategis dalam pertukaran ekonomi (Achwan, 2014: 26). 2.1.3 Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi merupakan posisi sosial seseorang dalam masyarakat yang menunjukkan suatu prestise. Status sosial ekonomi dan kelas sosial merupakan penentu dasar dalam kehidupan manusia yang mencakup perkembangan, kesejahteraan, serta kesehatan baik fisik maupun mental (Saegert et.all, 2007; 1). Status sosial ekonomi dari para pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung dilihat dari dimensi pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan faktor produksi. Dimensi pendidikan dilihat dari pendidikan formal terakhir dan non formal yang telah diselesaikan oleh para pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Dimensi pekerjaan dilihat dari pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan yang dimiliki oleh responden. Jenis pekerjaan tersebut kemudian diurutkan berdasarkan skala prestise. Dimensi yang ketiga, yakni kepemilikan faktor produksi. Dimensi ini didasarkan pada pemikiran Marx terkait stratifikasi sosial yang disebabkan oleh kesenjangan dalam relasi kepemilikan atau kesenjangan akses terhadap alat-alat produksi dalam masyarakat (Pattinasarany, 2012; 2). Kepemilikan faktor produksi dalam penelitian ini mencakup kepemilikan mesin, kepemilikan modal, kepemilik tanah, dan kepemilikan tenaga kerja. 2.1.4 Peran Triple Helix Peran aktor penggerak industri kreatif dapat dilihat dari konsep embeddedness institution atau kelekatan antar institusi. Embededdnes institution mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Block and Evans (2005) menjelaskan bahwa ada tiga institusi yang mempunyai peranan penting dalam pengembangan perekonomian dalam suatu negara. Ketiga institusi itu adalah negara, ekonomi, dan masyarakat. Dalam industri kreatif, ketiga institusi tersebut direpresentasikan dalam tiga aktor penggerak industri kreatif atau yang sering disebut dengan triple helix, yakni akademisi, pengusaha, dan pemerintah. Peran utama triple helix, yakni menciptakan masyarakat kreatif, riset, dan pengembangan yang menciptakan inovasi, desain, produktivitas, dan kinerja bisnis (Suryana, 2013; 55). Ketiga aktor tersebut mempunyai peran yang telah terklasifikasi masing-masing, tetapi tidak untuk bergerak parsial. Peran ketiga aktor tersebut diharapkan dapat berkolaborasi secara sinergis dalam memberikan dukungan terhadap keberlanjutan industri kreatif di Indonesia. Peran yang diberikan bisa dalam bentuk materiil maupun nonmateriil. Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 2.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya dilakukan pada pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Selain itu, penelitian ini mempunyai keterbatasan data resmi terkait jumlah populasi produsen industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Sehingga, populasi yang diperoleh peneliti berjumlah 55 pengusaha industri kreatif fesyen yang di Kota Bandung yang telah mempunyai brand dan minimal telah menjalankan usaha selama 1 tahun. Data populasi tersebut dijadikan sebagai kerangka sampel penelitian. 2.3 Hipotesis Peneliti merumuskan tiga hipotesis penelitian, yaitu: (1) semakin tinggi tingkat keluasan jaringan sosial, maka semakin tinggi tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung; (2) semakin tinggi tingkat status sosial ekonomi, maka semakin tinggi tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung; (3) semakin tinggi tingkat peran triple helix, maka semakin tinggi tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung. 2.4 Metode dan Teknik Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Ada dua jenis data yang dukumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer penelitian dikumpulkan dengan teknik survei menggunakan instrumen berupa kuesioner ditujukan pada 55 pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung yang memiliki brand sendiri dan minimal telah menjalankan usaha selama 1 tahun. Selain itu, data primer juga diperoleh dari wawancara mendalam kepada beberapa aktor penggerak industri kreatif, seperti akademisi dari universitas terdekat dengan lokasi penelitian, pengusaha industri kreatif fesyen, dan pihak pemerintah. Wawancara mendalam ini diperlukan sebagai data tambahan pendukung data kuantitatif. Data sekunder penelitian dikumpulkan melalui teknik dokumentasi kepustakaan dari buku-buku, jurnal, dan penelitian sebelumnya yang terkait dengan topik penelitian. 3. Analisis dan Interpretasi Data Berdasarkan data lapangan, responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 85,5% dan responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 14,4%. Lebih dari setengah (52,10%) responden berusia 21 – 27 tahun. Hasil penelitian terkait variabel dependen, menunjukkan bahwa sebagian besar responden (85,50%) menyatakan perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung tergolong tinggi. Angka tersebut Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 menunjukkan bahwa sumber daya manusia mempunyai peranan signifikan dalam menciptakan produk kreatif yang berdaya saing, sehingga usaha kreatif fesyen terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sebagian besar responden (98,20%) menyatakan bahwa inspirasi desain produk tidak hanya berasal dari dirinya sendiri, melainkan berasal dari proses diskusi dengan berbagai pihak. Sebagian besar responden mempunyai keterampilan dalam perencanaan desain produk (98,20%) dan penciptaan kreasi desain baru (100,00%). Mayoritas responden (94,50%) menyatakan bahwa mereka mampu mengenali tantangan bisnis fesyen di masa depan. Selanjutnya, semua responden (100,00%) menyatakan memiliki komitmen pengembangan bisnis fesyen yang dijalankannya. Komitmen menjalankan dan mengembangkan bisnis fesyen dapat menjadi penguat dalam menghadapi berbagai permasalahan bisnis. Hal ini menunjukkan bahwa kreativitas, keterampilan, dan bakat yang dimiliki oleh sumber daya aktor industri kreatif fesyen mampu menghasilkan produk yang kreatif pula. Produk kreatif tersebut dapat dilihat dari inovasi dan komersialisasi produk yang didapat dari proses belajar. Data tersebut diperkuat data wawancara mendalam dengan salah satu responden sebagai berikut: Yang paling penting adalah tidak berhenti menyesuaikan, belajar, belajar dari apapun, belajar ke junior, belajar ke pasar, belajar ke sesama pemilik brand, kemudian juga kreativitas. Itu kunci sebetulnya, karena persaingan pasar ini sangat ketat, tidak hanya dengan sesama brand lokal, tetapi juga brand internasional. (Hasil wawancara pada tanggal 26 April dengan salah satu pengusaha distro fesyen di Bandung). Perkembangan industri kreatif fesyen juga tidak terlepas dari potensi yang dimiliki oleh Kota Bandung, yakni people (manusia), place (tempat), dan idea (ide). People dan ideas ini merupakan dua hal yang saling terkait satu dengan lainnya. Keduanya dapat dilihat dari sumber daya manusia yang mempunyai kreativitas, keterampilan, dan bakat yang kemudian diwujudkan dalam bentuk produk kreatif dan inovatif. Kreativitas dan ide akan muncul dengan mudah ketika sekelompok orang berkumpul dan berdiskusi. Hal ini sesuai dengan pernyataan sebagai berikut: ...Orang Bandung seneng nongkrong, ngumpul bareng. Jadi memang kreativitasnya akan muncul ketika bareng-bareng, muncul ide ini itu. Sebenernya pakaian kan ada sejak dulu, tetapi kenapa kok jadi trend itu yang namanya distro clothing. Ya itu karena ide kreatif dan inovatif dari kita yang membuatnya unik... (Hasil wawancara pada tanggal 21 April 2014 dengan Ketua KICK). Place dapat dilihat dari potensi Kota Bandung yang dapat menyediakan bahan baku pendukung berjalannya industri kreatif fesyen. Selain itu, dari segi place Kota Bandung juga merupakan tujuan wisata dan relatif dekat dengan ibukota, sehingga menjadi faktor Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 pendukung berkembangnya industri kreatif fesyen, terlebih akses untuk menuju Bandung relatif mudah. Hasil penelitian terkait variabel jaringan sosial menunjukkan bahwa mayoritas responden (78,20%) memiliki jaringan sosial yang luas dalam menjalankan usaha kreatif fesyennya. Mereka menjalin hubungan dengan sesama pengusaha fesyen, pengusaha garmen, komunitaskomunitas kreatif di Kota Bandung, dan struktur pasar fesyen. Jaringan sosial ini membantunya dalam proses produksi hingga distribusi produk fesyen. Hal ini diperkuat dengan penjelasan salah satu responden yang menyatakan bahwa ia pernah mendistribusikan produk fesyennya hingga ke luar negeri, yakni di Singapura dan Eropa melalui kerja sama dengan temannya yang tinggal di luar negeri. Kita juga kalau di luar negeri sampai saat ini masih ada toko di Kuala Lumpur dan Kuala Trengganu Malaysia, pernah di Singapura sekian tahun tapi kebetulan partner saya ini sekolah S2 lagi di Australi, jadi berhenti. Pernah juga di Eropa (Hasil wawancara pada tanggal 26 April dengan salah satu pengusaha distro fesyen di Bandung). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pengembangan bisnis salah satunya dapat dilakukan dengan memanfaatkan jaringan sosial yang dimiliki untuk menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Hasil penelitian yang terkait dengan variabel status sosial ekonomi menunjukkan bahwa sebagian responden (69,10%) memiliki status sosial ekonomi yang tinggi. Hal ini terkait dengan dimensi-dimensi pembentuknya, yakni pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan faktor produksi. Dari dimensi pendidikan hampir semua pengusaha industri kreatif fesyen tersebut merupakan lulusan atau sedang melakukan studi di perguruan tinggi dan beberapa merupakan lulusan Sekolah Menengah Atas atau sederajat. Dimensi pekerjaan menunjukkan mayoritas responden (92,70%) memiliki pekerjaan utama dalam kategori tinggi, seperti pengusaha, dosen, dan desainer. Dimensi kepemilikan faktor produksi menunjukkan lebih dari setengah responden (69,10%) memiliki faktor produksi tinggi. Kepemilikan faktor produksi tersebut mencakup alat transportasi khusus usaha, mesin, tempat usaha (toko), kantor manajemen usaha, dan tenaga kerja. Hasil penelitian terkait variabel peran triple helix menunjukkan bahwa 54,50% responden menilai peran triple helix yang dilakukan oleh akademisi, pengusaha (bisnis), dan pemerintah cenderung rendah. Tiap-tiap dimensi triple helix mempunyai besar peran yang berbeda-beda dalam upaya pengembangan industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Pertama, peran akademisi dalam perkembangan industri kreatif di Kota Bandung cenderung rendah dinyatakan oleh 67,30% responden. Hal ini terkait dengan penyuluhan ilmu baru, sosialisasi Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 alat baru, pelatihan, seminar, dan sebagainya. Kendala yang dihadapi kurang sinergisnya kampus dan masyarakat dimana ilmu pengetahuan yang ada belum tentu dapat diaplikasikan dengan baik dalam kehidupan nyata. Selanjutnya, sebagian responden (70,90%) menyatakan bahwa peran pengusaha dalam pengembangan industri kreatif fesyen di Kota Bandung cenderung tinggi. Hal ini terkait kontribusi pengusaha dalam pemberian arahan bisnis, mentoring, motivasi, penciptaan lapangan kerja, dan pembentukan komunitas kreatif. Salah satunya dilakukan melalui KICK yang anggotanya adalah para pengusaha clothing di Kota Bandung. Penjelasan tersebut diperkuat dengan hasil wawancara salah satu responden sebagai berikut: “Sebenarnya si KICK itu bukan hanya sebagai acara,tetapi juga sebagai forum diskusi...Dengan adanya forum ini diharapkan bisa saling share informasi, jadi sebenarnya uniknya si KICK ini semua sama clothing distro, tetapi ada spesialisasi desain.” (Hasil wawancara pada tanggal 21 April 2014 dengan Ketua KICK) Kutipan tersebut menjelaskan bahwa KICK tidak hanya sekedar acara tahunan yang menyelenggarakan bazar clothing brand lokal. Akan tetapi, KICK ini juga sebagai forum diskusi antar pengusaha fesyen, khususnya clothing distro di Bandung. Selanjutnya, sebagian responden (58,20%) menyatakan peran pemerintah dalam perkembangan industri kreatif fesyen di Kota Bandung cenderung rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil wawacara salah satu responden yang menyatakan: “Saya rasa, peran pemerintah dalam perkembangan industri kreatif UMKM fesyen masih kurang. Saya belum merasakan ikut pelatihan, ntah tidak dapat undangan atau memang tidak ada pelatihan dari pemerintah. Pernah dulu sekali ikut bazar yang diadain pemerintah, tepatnya Dinas UKM, Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan. Itupun Cuma sekali, semua dilakukan secara independen saya sendiri dan teman-teman saya” (Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2014 dengan salah satu pengusaha alas kaki di Bandung) Kutipan tersebut menjelaskan bahwa kontribusi pemerintah dalam pengembangan industri kreatif fesyen di Bandung dinilai masih kurang. Berdasarkan penjelasan di atas, belum terlihat jelas tipe ideal embededdnes institution yang dikemukakan oleh Block dan Evans (2005) antara masyarakat, ekonomi, dan pemerintah. Peran triple helix masih cenderung rendah. Pada kenyataannya, terdapat pihak lain yang mendukung perkembangan industri kreatif fesyen di Bandung, yakni keberadaan komunitas kreatif yang berjejaring Komunitas kreatif tersebut, antara lain komunitas musik, desainer, lingkungan, dan sebagainya. Selanjutnya, dilakukan uji statistik Somers’d untuk mengetahui kekuatan hubungan antarvariabel dengan signifikansi sebesar 0,05 (α = 0,05). Signifikansi digunakan untuk mengetahui keberlakukan hasil penelitian di tingkat populasi. Berikut tabel yang menyajikan hasil uji kekuatan hubungan antarvariabel tersebut: Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 Rangkuman Hasil Uji Kekuatan Hubungan Antarvariabel Dependen dan Independen Hubungan Antarvariabel Tingkat keluasan jaringan sosial Tingkat status sosial ekonomi Tingkat peran triple helix Sig. 0,019 0,003 0,620 Hubungan 0,330 (lemah) 0,662 (cukup kuat) 0,093 (sangat lemah) Sumber: Hasil Olahan Data SPSS Versi 16 Pertama, variabel tingkat keluasan jaringan sosial dengan tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen memiliki kekuatan hubungan lemah dengan nilai 0,330. Hal ini disebabkan karena ikatan jaringan sosial yang kuat hanya pada dimensi bonding, yakni sesama pengusaha industri kreatif fesyen. Sehingga, informasi yang menyebar relatif sama dan tidak berkembang. Sedangkan, peran dimensi bridging dan linking cenderung lemah. Pada dasarnya, bridging dan linking mempunyai peran penting dalam perkembangan usaha industri kreatif fesyen, karena memungkinkan beragamnya informasi yang tersebar di antara pengusaha industri kreatif fesyen. Lebih lanjut, hubungan antarvariabel tersebut berlaku di tingkat populasi penelitian, karena nilai signifikansinya 0,019, lebih kecil dari α yang ditetapkan sebesar 0,05. Kedua, variabel tingkat status sosial ekonomi dengan tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen memiliki kekuatan hubungan cukup kuat dengan nilai 0,662. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial ekonomi yang dimiliki oleh pengusaha industri kreatif fesyen mempunyai peran yang cukup signifikan dalam mendukung perkembangan usahanya. Pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang prestisius mampu merepresentasikan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh para pengusaha industri kreatif fesyen juga luas. Mereka mampu memanfaatkan pengetahuan dan materi yang dimiliki untuk menentukan strategi guna mengahadapi tantangan pasar. Kepemilikan faktor produksi yang mencukupi, seperti mesin, alat transportasi khusus usaha, toko, kantor manajemen, dan tenaga kerja juga dapat mempermudah upaya pengembangan usaha industri kreatif fesyen. Lebih lanjut, hubungan antarvariabel tersebut dapat berlaku di tingkat populasi, karena nilai signifikasinya 0,003. Nilai tersebut lebih kecil dari α yang ditetapkan sebesar 0,05. Ketiga, variabel tingkat peran triple helix dengan tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen memiliki kekuatan hubungan sangat lemah dengan nilai 0,093. Berdasarkan data lapangan, aktor yang paling banyak berperan dalam perkembangan industri kreatif fesyen di Kota Bandung, yaitu pengusaha industri kreatif fesyen itu sendiri, mulai dari merintis hingga memperluas cakupan usaha. Selain itu, juga terdapat peran dari komunitas, seperti KICK, komunitas desainer, komunitas musik, dan komunitas lingkungan. Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 Lebih lanjut, hubungan antarvariabel tersebut hanya berlaku di tingkat sampel penelitian, karena nilai signifikansinya 0,620. Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari α yang ditetapkan sebesar 0,05. Adapun tabel silang yang menunjukkan hubungan antara variabel dependen dan tiap-tiap variabel independen sebagai berikut: Hubungan antara Tingkat Perkembangan Usaha di Kalangan Pengusaha Industri Kreatif fesyen dengan Tingkat Keluasan Jaringan Sosial Tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen Rendah Tinggi Total Tingkat Keluasan Jaringan Sosial (n = 55) Rendah Tinggi 66,67% 33,33% 100,00% 9,30% 90,70% 100,00% Sumber: Hasil Olahan Data SPSS Versi 16 Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel silang di atas, dapat diketahui bahwa responden yang memiliki tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen yang tinggi cenderung memiliki tingkat keluasan jaringan sosial yang tinggi pula (90,70%). Begitu pula pada responden yang memiliki tingkat perkembangan industri kreatif yang rendah paling banyak terdapat pada responden yang memiliki tingkat keluasan jaringan sosial yang rendah (66,67%). Hal ini menunjukkan fenomena bahwa semakin banyak dan padat jaringan sosial yang dimiliki oleh pengusaha industri kreatif fesyen, baik itu di tingkat bonding, bridging, dan linking, maka semakin banyak pula informasi dan peran dari jaringan sosial tersebut dalam mendukung pengembangan usaha industri kreatif fesyen. Hal ini sesuai dengan pernyataan dua responden penelitian sebagai berikut: Ngga, bukan saya sepenuhnya yang memunculkan ide desain produk fesyen ini. Saya kan sarjana ekonomi, kebetulan partner bisnis saya seorang desainer. Dalam perjalanan saya bermitra dengan desainer, saya mencari desainer yang bisa menerjemahkan ide saya. Pada prinsipnya, memang kalau desain jadi ada desainernya, desainer saya yang menerjemahkan keingininan saya... (Hasil wawancara pada tanggal 26 April 2014 dengan salah satu pengusaha distro fesyen di Bandung) Kalau bisnis ini kan bisnis komunitas, pada akhirnya memang ini bisnis pertemanan. Ketika saya bisa membuka toko di mana-mana itu aslinya dari pertemanan. Sehingga, saya ada Flashy at sendiri di Malang, di Jogja itu juga karena pertemanan. (Hasil wawancara pada tanggal 21 April 2014 dengan Ketua KICK) Dengan demikian, dapat diketahui bahwa jaringan sosial berpengaruh pada perkembangan usaha industri kreatif fesyen mulai dari tahap produksi hingga distribusi produk. Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 Selanjutnya, akan disajikan tabel hubungan tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen dengan tingkat status sosial ekonomi. Hubungan antara Tingkat Perkembangan Usaha di Kalangan Pengusaha Industri Kreatif Fesyen dengan Tingkat Status Sosial Ekonomi Tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen Rendah Tinggi Total Tingkat Status Sosial Ekonomi (n = 55) Rendah Tinggi 58,82% 41,18% 100,00% 2,63% 97,37% 100,00% Sumber: Hasil Olahan Data SPSS Versi 16 Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel silang di atas, dapat diketahui bahwa responden yang memiliki tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen yang tinggi cenderung memiliki tingkat status sosial ekonomi yang tinggi (97,37%). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan faktor produksi yang dimiliki oleh pengusaha industri kreatif fesyen mempengaruhi tingkat perkembangan usaha industri kreatif fesyen yang mereka tekuni saat ini. Pendidikan yang tinggi dapat dilihat dari semakin banyaknya pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh pengusaha industri kreatif yang dapat mendukung perkembangan gagasan dan kreativitasnya dalam menghasilkan hingga memasarkan produk kreatif fesyen. Pengusaha industri kreatif yang memiliki modal ekonomi tinggi mempunyai peran yang cukup signifikan dalam pengembangan industri kreatif fesyen yang dimilikinya, misalnya dengan mudah mengajak para profesional dari kelompok lain untuk bergabung dalam mengembangkan usahanya. Hubungan antarvariabel yang positif ditunjukkan pula pada responden yang memiliki tingkat perkembangan industri kreatif yang rendah, paling banyak terdapat pada responden yang memiliki tingkat status sosial ekonomi yang rendah pula (58,82%). Selanjutnya, akan disajikan tabel hubungan antara tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen dengan tingkat peran triple helix. Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 Hubungan antara Tingkat Perkembangan Usaha di Kalangan Pengusaha Industri Kreatif Fesyen dengan Tingkat Peran Triple Helix Tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen Rendah Tinggi Total Tingkat Peran Triple Helix (n = 55) Rendah Tinggi 83,33% 16,67% 100,00% 12,00% 88,00% 100,00% Sumber: Hasil Olahan Data SPSS Versi 16 Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel silang di atas, dapat diketahui bahwa responden yang memiliki tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen yang tinggi cenderung dipengaruhi oleh tingkat peran triple helix yang tinggi pula (88,00%). Begitu pula pada responden yang memiliki tingkat perkembangan industri kreatif yang rendah cenderung dipengaruhi oleh tingkat peran triple helix yang rendah (83,33%). Dua variabel tersebut menunjukkan hubungan yang positif. Kutipan hasil wawancara berikut menunjukkan peran ideal pemerintah dalam perkembangan usaha industri kreatif fesyen: “Kalau bicara pemerintah ya begitu aja, belum ada dukungannya langsung terhadap usaha kita, mungkin secara tidak langsung pemerintah mendukung dari subsidi bahan baku, mungkin saja.” (Hasil wawancara pada tanggal 29 Mei 2014 dengan salah satu pengusaha kaos di Bandung) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa peran salah satu triple helix, yakni pemerintah masih kurang mendukung penuh usaha kreatif fesyen yang ia tekuni saat ini. Dari segi permodalan dan promosi dilakukan secara independen oleh pengusaha industri kreatif fesyen itu sendiri. Selanjutnya, peran pengusaha yang telah mapan pada umumnya mereka belum banyak melakukan arahan dan pendampingan bisnis, serta pemberian bantuan permodalan masih belum terlihat dalam konteks penelitian ini. Peran yang dilakukan oleh pengusaha yang telah mapan masih berada dalam tataran distribusi produk kreatif fesyen. Hal ini sesuai dengan hasil kutipan wawancara dengan salah satu responden, sebagai berikut: “Kalau bicara pihak mana saja yang mendukung ya dari pengusaha yang mapan aja paling, kita punya rekanan pengusaha yang mapan di pulau Sumatera, jadi beberapa hasil produksi kita titipkan ke sana, sebenernya ini usaha yang bergerak independen, dimana kita berusaha sendiri baik itu dari modal maupun bidang promosi.” (Hasil wawancara pada tanggal 29 Mei 2014 dengan salah satu pengusaha kaos) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pengusaha industri kreatif fesyen ini mengembangkan usahanya secara mandiri dari segi permodalan dan promosi. Peran pengusaha yang telah Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 mapan dapat dilihat dari segi distribusi produk, baik yang ada di daerah maupun di Kota Bandung dengan memberlakukan sistem konsinasyi, yakni menitipkan produk di toko orang lain hingga produk tersebut terjual dengan sistem bagi hasil antara pemilik produk dan pemilik toko. Selanjutnya, peran akademisi dari universitas di Bandung masih dalam tahap penyedia konsumen yang sebagian besar adalah mahasiswa perguruan tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu responden sebagai berikut: “Kalau secara support mereka membeli ya, jadi mereka konsumen. Banyak universitas di sini, banyak mahasiswa, anak muda yang bisa jadi konsumen kita.” (Hasil wawancara pada tanggal 21 April 2014 dengan Ketua KICK). Dalam hal ini masih kurang adanya sinergisasi antara pihak universitas dan masyarakat terkait peran akademisi dari universitas pada umumnya. Kendalanya terletak pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkadang kurang dapat terimplementasi dengan baik dalam kehidupan nyata. Sehingga, peran akademisi dari universitasdalam upaya pengembangan usaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung belum terlihat secara jelas. 4. Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan tingkat keluasan jaringan sosial, tingkat status sosial ekonomi, dan tingkat peran triple helix mempunyai hubungan dengan tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat keluasan jaringan sosial yang dimiliki oleh pengusaha industri kreatif fesyen, semakin tinggi pula tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Tingkat keluasan jaringan sosial merujuk pada hubungan bisnis yang terjalin di antara sesama anggota kelompok, anggota kelompok lain yang mempunyai latar belakang sosial berbeda, dan struktur sosial yang lebih luas. Keluasan jaringan sosial mempunyai peran dalam proses produksi hingga distribusi produk fesyen kreatif baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya, semakin tinggi tingkat status sosial ekonomi yang dimiliki oleh pengusaha industri kreatif fesyen, semakin tinggi pula tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Status sosial ekonomi dalam penelitian ini diukur dari dimensi pendidikan, pekerjaan utama dan sampingan, serta kepemilikan faktor produksi yang mencakup kepemilikan mesin dan alat transportasi, kepemilikan modal, kepemilikan tempat usaha, serta kepemilikan tenaga kerja. Pengusaha industri kreatif fesyen Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 ini dapat terus berkembang dengan memanfaatkan peran jaringan sosial dan status sosial ekonomi yang dimiliki dalam proses produksi hingga distribusi, meskipun salah satu dimensi dalam status sosial ekonominya tergolong rendah. Selanjutnya terkait dengan peran triple helix yang mencakup akademisi, pengusaha, dan pemerintah. Semakin tinggi tingkat peran triple helix, semakin tinggi pula tingkat perkembangan usaha di kalangan pengusaha industri kreatif fesyen di Kota Bandung. Akan tetapi, kekuatan hubungan kedua variabel ini cenderung sangat lemah. Hal ini menunjukkan bahwa peran akademisi, pengusaha, dan pemerintah belum sinergis satu dengan lainnya. Tipe ideal embededness institution yang dikemukakan oleh Block dan Evans (2005) belum terjadi dalam konteks penelitian ini. Berdasarkan data penelitian, sebagian besar pengembangan industri kreatif didukung oleh pihak dari pengusaha yang telah mapan dan pengusaha industri kreatif fesyen itu sendiri secara independen yang tergabung dalam voluntary association, seperti KICK. Secara sosiologis, kreativitas yang berperan dalam industri kreatif fesyen ini bukan hanya berasal dari individu secara personal, tetapi berasal dari kelompok sosial yang memiliki keragaman profesi. Proses munculnya inspirasi produk kreatif fesyen merupakan hasil diskusi dari berbagai pihak dengan latar belakang yang berbeda. Budaya senang berkumpul dalam masyarakat Bandung mempengaruhi munculnya berbagai usaha kreatif sebagai suatu bentuk solusi dari permasalahan yang ada di masyarakat. Sebagian besar dari usaha kreatif fesyen tersebut dilakukan atas kerjasama sesama teman yang mempunyai latar belakang yang berbeda tetapi mempunyai kesamaan tujuan dalam menjalankan bisnis. Dalam perkembangannya tidak terlepas pula dari peran komunitas kreatif yang terus berkembang di tengah-tengah masyarakat Kota Bandung. 5. Ucapan Terimakasih Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian skripsi yang dilakukan oleh penulis. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih atas masukan dari Dr.Der. Soz. Rochman Achwan, MDS sebagai dosen pembimbing dan Prof. Dr. der. Soz. Gumilar R. Somantri sebagai dosen penguji. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada para responden dan informan yang telah memberikan data penelitian. Selanjutnya, penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014 6. Daftar Acuan Achwan, Rochman. 2014. Sosiologi Ekonomi di Indonesia. Jakarta: UI Press. Aspers, Patrik. 2006. Contextual Knowledge. USA: Sage Publication, 745 – 763. Etzkowitz, H., dan Leydesdorff. L. 2000. The Dynamics of Innovation: From National Systems and Mode 2 to a Triple Helix of University-Industry-Government Relations. Research Policy, 29 (2), 109-123. Bryman, A. dan Cramer, D. 2001. Quantitative Data Analysis with SPSS Release 10 for Windows, London: Routlegde. Castiglione, et all. 2007. The Handbook of Social Capital. Oxford University Press: USA. Chowdhury, Subir. 2002. The Talent Era. Prentice Hall: USA. Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publication, Inc. Giddens, Anthony. 2000. Runaway World: How Globalization Is Reshaping Our Lives. London: Routledge Howkins, John. 2013. The Creative Economy: How People Make Money from Ideas. London: Penguin. . Moeheriono. 2010. Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi. Bogor: Ghalia Indonesia. Moelyono, Mauled. 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif (Antara Tuntutan dan Kebutuhan). Jakarta: Rajawali Pers Neuman W. Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. USA: Pearson Education Inc. Nurhadi. 2010. Modal Sosial.Bantul:Kreasi Wacana. Ratna Irawati Pattinasarany, Indera. 2012. Stratifikasi Sosial dan Mobilitas Sosial. Depok: Universitas Indonesia. Saegert, Susan, et all. 2007. Report o the APA Task Force on Socioeconomic Status. Washington, DC: American Psychological Association. Solow, Robert M. 2000. Notes on Social Capital and Economic Performance. Dalam Dasgupta, Partha (Eds). Social Capital A Multifaceted Perspective. (hlm 6 – 10) Washington D.C : The Intenational Bank for Reconstruction and Development/ The World Bank. Suryana. 2013. Ekonomi Kreatif, “Ekonomi Baru: Mengubah Ide dan Menciptakan Peluang”. Jakarta: Salemba Empat. Swedberg. 2006. The Cultural Entrepreneur and The Creative Industries: Beginning in Vienna. Springer Scince + Business Media B.V. 2006 (13 October 2006). Bandung Creative City Forum. 2013. UNESCO City of Design Bandung. Bandung. Perkembangan Usaha..., Nur Rina Maskayanti, FISIP UI, 2014