STUDI PATOGENESIS TRYPANOSOMA EVANSI PADA KERBAU, SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DAN SAM PERANAKAN ONGOLE S. PARTOUTOMO ' , M . SOLEH', F. POI1TFmY 1 , A . DAYI A.J . WILSON' dan D. B . COPEMAN2 I Balai Penefinan Veteriner Jalan R. E. Martadinata No . 30, P.O . Btu 52, Bogor 16114, Indonesia 2 James Cook University of North Queensland, Australia (Diterima dewan redaksi 17 Mare 1995) ABSTRACT PARTouromo, S., M. SOLEH, F. POLMEDY, A. DAY, A. J. WILSON, and D. B. COPEMAN. 1995 . A study on the pathogenesis of Trypanosoma evansi in buffaloes, Holstein Friesian and Ongole cattle . Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1 (I) : 41-48. A study on the pathogenesis of Trypanosoma evawi was carried out in 5 buffalo calves and 5 buffalo adults, 6 Holstein-Friesian calves and 6 Holstein-Friesian adults, and 6 Ongole calves and 6 Ongole adults, each of which was divided into 3 infected and 2 uninfected buffalo calves and adults, and 3 infected and 3 uninfected calves and adults of Holstein Friesians and Ongoles. None of infected animals showed acute clinical signs along the course of the observation period, however roughness of the hair and skin, emaciation, weakness and loss of weight gains were the common clinical signs. Clinical signs of calves were more severe than adults, and those of buffaloes were more severe than cattle . Gross pathological changes were not specific . The mortality rate was 2/3 in buffalo calves, 1/3 in Holstein-Friesian calves and 1/3 in Ongole calves . None of infected adults died of infection . Buffaloes had longer and higher parasitemia than Holstein-Friesians or Ongoles. Erythrocyte counts of infected animals decreased to lower levels than controls, however they fluctuated in the normal values . Haemoglobin and PCV values of infected animals were significantly lower than those of non-infected controls, and those of calves were more severe than adults, and those of buffaloes were more severe than cattle . Infections resulted in loss of weight gains which was the greatest in buffaloes then followed by Holstein-Frisians and finally Ongoles. Key words : Trypanosoma etnnsi, pathogenesis, buffalo, Holstein Friesian cattle, Ongole cattle ABSTRAK PARTOUromo, S., M. SOLEH, F. POLrrEDY, A. DAY, A. 1. WILSON dan D. B. COPEMAN. 1995 . Stud i patogenesis Trypanosoma evansi pada kerbau, sapi Friesian Holstein dan sapi Peranakan Ongole . Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1 (1): 41-48. Studi patogenesis Trypanosoma evansi pada 5 ekor anak kerbau dan 5 ekor kerbau dewasa, 6 ekor anak sapi FH dsn 6 ekor sapi FH dewasa, dan 6 ekor anak sapi PO dsn 6 ekor sapi PO dewasa telah dilakukan. Masing-masing kelompok menurut umur dan jenis hewan tersebut selanjutnya dibagi atas 3 ekor diinfeksi dan 2 ekor tidak diinfeksi pada anak dan kerbau dewasa, dan 3 ekor diinfeksi dan 3 ekor tidak diinfeksi pada anak dan sapi FH dsn PO dewasa . Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua hewan yang diinfeksi dengan T. evansi tidak ads yang menunjukkan gejala klinis tripanosomiasis akut (surra akut), sedangkan gejala khronis seperti bulu dan kulit kasar, kurus, lemah, dan kehilangan bobot badan merupakan gejala umum yang ditemukan dengan intensitas yang bervariasi pada hewan yang diinfeksi. Gejala klinis pada anak nampak lebih nyata daripada gejala klinis pada hewan dewasa, dan gejala klinis pada kerbau nampak lebih nyata daripada gejala klinis pada sapi FH dsn sapi PO . Perubahan patologi anatotni dari bangkai tidak menciri. Mortalitas pada anak kerbau, anak sapi FH dan anak sapi PO yang diinfeksi masing-masing adalah 2/3, 1/3 dan 1/3. Tidak ada kematian pada hewan dewasa yang diinfeksi. Kerbau menunjukkan parasitemia yang lebih lama dan lebih tinggi daripada pada sapi FH dan sapi PO . Jumlah eritrosit hewan yang diinfeksi turun di bawah nilai hewan kontrol, tetapi pada umumnya berfluktuasi di dalam kisaran nilai normal . Nilai hemoglobin dsn PCV dari hewan yang diinfeksi menunjukkan nilai yang lebih rendah daripada hewan kontrol secara nyata, sedangkan penurunan nilai hemoglobin dan PCV dari anak lebih rendah daripada hewan dewasa dan pada kerbau lebih rendah daripada pada sapi FH dsn sapi PO . Infeksi menintbulkan kehilangan bobot badan yang terbesar pada kerbau, diikuti oleh sapi FH dsn akhirnya sapi PO . Kata kuuci: Trypanosoma evansi, patogenesis, kerbau, sapi Friesian Holstein, sapi peranakan Ongole PENDAHULUAN daging sebesar 295.900 30.5% dari kebutuhan daging nasional, dan 338 .200 tort susu setiap tahunnya . Kerbau, sapi FH dan sapi PO mssih dipelihara secara tradisional, dan terdapat di Pulau Jawa masing-masing sebesar 43.8%, 96% dsn 31% . Dengan jumlah Tmak yang kecil dan memberikan sumbangan ton/tahun atau Sapi dan kerbau masih merupakan sumber tenaga pupuk alam, susu dan FH (Friesian Holstein) tarik di bidang pertanian, sumber daging . Populasi kerbau, sapi sspi PO (Peranakan Ongole) masing-masing sebe3.244.000, 288.000 dan 10.094.000 (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 1991). Temak tersebut dan sar tersebar beberapa secara luas, penyakit, maka di pengendalian antaranya terhadap tripanosomiasis, 41 S . PARTOUrOMO et a l. . Studi Patogenesis Trypanosoma evansi pada Kerbau, Sapi FH dan Sapi PO menjadi lebih sulit dan mahal dibandingkan dengan ternak yang berada dalam lokasi yang berdekatan. Di samping itu, sistem berternak yang tradisional, yaitu ternak dipelihara sejak kecil hingga tua terutama induknya, merupakan faktor yang mendukung perkembangan T. evansi di alam. Situasi tripanosomiasis dApat dikatakan endemik stabil (PAYNE et al., 1991) . Hal ini menjadi ancaman terutama bagi ternak yang baru datang dari daerah lain atau luar negeri yang bebas T. evansi . Ancaman tersebut telah terbukti dengan dimasukkannya kerbau dari Australia di suatu lokasi sebanyak 131 ekor yang 12 di antaranya mati karena tripanosomiasis, sedangkan di lokasi lain dari sebanyak 45 ekor terdapat 33 ekor mati, dan 25 ekor di antaranya diduga mati karena tripanosomiasis (PAYNE et al., 1990). Dilaporkan pula bahwa sapi-sapi sebuah feedlot di daerah endemik yang diobati dengan Suramin memberi kenaikan bobot badan yang lebih besar secara nyata dibandingkan dengan sapi-sapi yang tidak diobati (PAYNE et al., 1994). Kerbau diduga lebih peka terhadap T. evansi daripada sapi (PARTOU'romo, 1987; PAYNE, 1989). MATERI DAN METODE Hewan percobaan Sebanyak 34 ekor hewan percobaan dibagi atas 2 kelompok, kelompok anak (10-12 bulan) sebanyak 17 ekor, dan kelompok dewasa (18-24 bulan) sebanyak 17 ekor . Kelompok anak terdiri atas 6 grup, yaitu 3 grup (3 anak kerbau, 3 anak sapi FH dan 3 anak sapi PO) yang diinfeksi dengan T. evansi dan 3 grup (2 anak kerbau, 3 anak sapi FH dan 3 anak sapi PO) lagi tidak diinfeksi . Dengan cara yang sama pembagian grup dilakukan pula pada kelompok dewasa . Jenis kelamin hewan percobaan adalah campuran : jumlah jantan dan betina sama pada masing-masing grup kontrol dan perlakuan . Karena sulit mendapatkan anak kerbau di pasar, maka kontrol anak kerbau dan kerbau dewasa masing-masing hanya 2 ekor. Semua hewan pereobaan ditempatkan di dalam kandang bebas lalat, dan diberi pakan rumput gajah (Penicetum purpureurn) dan konsentrat komersial . Pengamatan gejala klinis dan pembagian pakan konsentrat dimulai 1 bulan sebelum diinfeksi . Semua hewan percobaan diberi vaksinasi terhadap SE, diobati terhadap cacing hati, cacing gastrointestinal, dan disuntik dengan ivomek untuk menghilangkan ektoparasit satu bulan sebelum percobaan dimulai . 42 Trypanosoma evansi T. evansi (Bakit 102), isolat yang berasal dari sapi FH di Bogor digunakan dalam studi ini . Stabilet di dalam nitrogen cair dicairkan sebanyak 0,3 ml dari darah yang mengandung trypanosome disuntikkan pada tikus secara intraperitoneal untuk memperbanyak parasit sebagai bahan infeksi . Tiga hari pascainfeksi tikus dibunuh dan darahnya dikumpulkan . Konsentrasi parasit dalam darah dihitung dengan menggunakan hemositometer (Neubauer improved, Germany), kemudian darah disuntikkan secara intravenus kepada hewan percobaan dengan dosis 107 trypanosome per ekor. Pengamatan Pengamatan klinis, pemeriksaan parasit, pemeriksaan antibodi terhadap trypanosome dengan ELISA dilakukan untuk pertama kali pada waktu hewan masuk kandang Balitvet . Pemeriksaan hewan pascainfeksi meliputi pengukuran suhu badan, pengukuran PCV dArah, dan pemeriksaaan parasit dengan HCT dilakukan setiap hari. Pemeriksaan parasit dengan MIC, parameter darah lainnya dilakukan setiap minggu sekali . Semua hewan percobaan ditimbang setiap minggu sekali dengan menggunakan timbangan elektronik ( MP600/ TRU-TEST/New Zealand ). Bila ada hewan yang mati dilakukan bedah bangkai untuk peneguhan diagnosis . Pemeriksaan dengan technique (HCT) haematocrit centrifugation Sebanyak 0,2 ml darah diambil langsung dari vena telinga dengan menggunakan tabung mikrohematokrit yang telah dilapisi heparin . Setelah darah masuk ke dalam tAbung kemudian salah satu ujung tabung ditutup dengan penutup (plastisin) . Kapiler kemudian disimpan di dalam termos es dan dibawa ke laboratorium . Di dalam laboratorium, tabung disentrifuse dengan kecepatan kira-kira 8.000 rpm selama 3-5 menit . Dengan menggunakan reader khusus maka PCV dapat diukur, dan parasit dapat ditemukan pada lapisan "buffy coat" dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran lOx40. Pemeriksaan dengan mouse inoculation test (MIC) Teknik ini selain untuk mendeteksi ada/tidak adanya parasit, juga untuk mendappkan bahwa trypanosome yang didapat adalah T. evansi dan bukan T. theileri, karena T. evansi dapat tumbuh di dalam tubuh tikus sedangkan T. theileri tidak. Darah hewan sebanyak 0,3 Jumal Rmu Ternak dan Veterner Vol. I No . I 7h.1995 ml disuntikkan pada tilcus intraperitoneal, kemudian tikus diamati selama tiga minggu dengan diperiksa darahnya setiap hari dengan HCT . Kalau hewan positif biasanya tikus juga positif dalam waktu 3-5 hari pascainfeksi dan mati dalam waktu 5-7 hari pascainfeksi . Untuk menunuukan beda periode prepaten, total hari parasitemia, total hari parasitemia tinggi, dan nilai parameter darah lainnya antara jenis dan umur hewan digunakan t-test dari Program Statistix . Suhu badan Semua hewan yang diinfeksi menunjukkan perubahan suhu badan yang serupa, yakni mula-mula naik mencapai 400C atau lebih pada hari ke 1-5 pascainfeksi, kemudian turun kembali, dan selanjutnya berfluktuasi di sekitar nilai normal . Tidak ada korelasi antara kenaikan suhu badan dan jumlah parasit di dalam darah . Periode prepaten clan parasiteinia HASQ. Gejala klinis Pengamatan gejala klinis pada kelompok hewan dewasa berlangsung selama 131 hari (4,5 bulan), sedangkan pada kelompok anak, pengamatan hanya berlangsung selama 45 hari. Perbedaan waktu observasi terpaksa dilakukan karena terjadi kematian 2 anak kerbau yang diinfeksi pada ininggu ke-7 pascainfeksi . Selama pengamatan tidak ada gejala tripanosomiasis akut yang timbul dari semua jenis dan semua umur hewan yang diinfeksi, tetapi ditemukan gejala khronis yang bervariasi pada semua hewan yang diinfeksi . Gejala khronis tersebut berupa bulu dan kulit menjadi kasar, hewan menjadi kurus bahkan beberapa hewan nampak lemah dan menunjukkan tanda-tanda paresis. Gejala klinis pada kerbau nampak lebih jelas daripada pada sapi, dan lebih jelas pada hewan muda daripada pada hewan dewasa . Geiala keluarnya cairan dari mata dan konjungtivitis pada beberapa hewan percobaan tidak diketahui dengan pasti apakah merupakan bagian dari gejala surra khronis atau gejala dari penyakit lain. Anak kerhau yang diinfeksi ternyata menderita skabies walaupun sebelum percobaan telah diobati dengan ivomek, sedangkan anak sapi dan hewan percobaan lainnya tidak menunjukkan adanya infeksi skabies secara klinis . Periode prepaten adalah jumlah hari dihitung dari sejak hewan diinfeksi sampai dengan ditemukan parasit di dalam darahnya. Periode prepaten pada anak kerbau, anak sapi FH dan anak sapi PO masing-masing adalah 2-3, 1-3 dan 2-5 hari. Periode prepaten pada anak sapi PO tampak lebih lama dibandingkan dengan pada anak sapi FH ataupun anak kerbau, namun perbedaan tersebut tidak nyata (P > 0,05) . Periode prepaten kerbau dewasa, sapi FH dewasa dan sapi PO dewasa adalah masing-masing 3 hari, dan tidak berbeda nyata . Jumlah parasit di dalam darah (dinyatakan dalam jumlah parasit/tabung kapiler) sapi dan kerbau berfluktuasi dari setiap individu, tetapi variasi tersebut dapat dikelompokkan menurut jenis induk semangnya, yakni kerbau, sapi FH, clan sapi PO. Kerbau yang diinfeksi mulai positif pada hari ke-2-3 pascainfeksi . Jumlah parasit langsung menjadi tinggi, selanjutnya berfluktuasi pada level yang tinggi sampai dengan hari ke-60 pascainfeksi atau lebih (Gambar IA) . Sapi FH yang diinfeksi mulai positif pada hari ke-1-3 pasca infeksi . Jumlah parasit langsung meningkat dan berfluktuasi pada level yang tinggi sampai hari ke-17 pasca lumlah Parasitrrabung n Mortalitas Dua ekor anak karbau yang diinfeksi mati karena tripanosomiasis, masing-masing pada minggu ke-7 setelah infeksi, satu ekor anak sapi FH mati pada minggu ke-10 dan satu anak sapi PO mati pada minggu ke-12 . Semua hewan dewasa yang diinfeksi dengan Tevatui tetap hidup sampai pengamatan berakhir. A 01 10 20 30 40 50 Hari Pasca Infeksi G.unbar IA . Fluktuasi jumlah parasit dalam darah seekor kerbau dewasa yang diinfeksi dengan T. evansi 43 S . PARTOtfFOMO et aL : Studi Patogenesis Trypanosoma infeksi . Setelah itu, jumlah parasit menurun dan berfluktuasi pada level yang rendah (Gambar 1B). Sapi PO yang diinfeksi mulai positif pada hari ke-2-5 pasta infeksi . Jumlah parasit langsung meningkat tinggi dan selanjutnya berfluktuasi pada level yang tinggi sampai hari ke-8 pascainfeksi. Setelah itu, jumlah parasit menurun dan berfluktuasi dalam level yang rendah (Gambar 1C). Jumlah Pamsit/rabung evansi ptda Kerbau, Sapi FH dan Sapi PO anak sapi FH atau antara anak sapi FH dan anak sapi PO. Demikian pula halnya pada hewan dewasa, jumlah hari parasitemia tinggi (%) antara kerbau dan sapi PO berbeda sangat nyata (P<0,01), tetapi tidak berbeda nyata antara FH dan PO, dan antara kerbau dan sapi FH. Hari parasitemia tinggi dengan ditetapkan sebagai hari parasitemia dengan jumlah parasit sebesar 20 atau lebih per tabung hematokrit. Jumlah Pamsitrfabung 20 15 10 AM^ rMA -A -5 01 T 10 20 30 B 40 Hari Pasta Infeksi Gautbar 1B . Fluktuasi jumlah parasit dalam darah seekor sapi FH dewasa yang diinfeksi dengan Tevansi Jumlah Pamsit/fabung Positif Gambar r--j Positif tinggi 1D . Jumlah hari positif (%) dan hari positif tinggi (%) pada anak dan hewan dewasa yang diinfeksi dengan T. evansi selama pengamatan Perubahan patologi anatomi Kelainan pascamati pada anak kerbau dan anak sapi yang mati karena infeksi T. evami tidak menciri . Secara umum kelainan patologi anatomi adalah berupa kekurusan (emaciation), oedema pada ginjal, sebagian limfoglandula superfisialis dan jantung . PCV pads kerbau Hari Pasta Infeksi Gambar 1C. Fluktuasi jumlah parasit dalam darah seekor sapi PO yang diinfeksi dengan T. evansi Jumlah hari parasitemia tidak berbeda nyata antara anak kerbau, anak sapi FH dan anak sapi PO (Gambar 1D), sedangkan pada hewan dewasa terdapat perbedaan yang nyata antara kerbau dan sapi PO, tetapi tidak berbeda nyata antara kerbau dewasa dan sapi FH dewasa atau antara sapi FH dewasa dan sapi PO dewasa. Jumlah hari parasitemia tinggi (%) yang merupakan potensi untuk penyebaran parasit oleh lalat pada anak kerbau berbeda nyata dengan anak sapi PO (Gambar 1D), tetapi tidak berbeda nyata antara anak kerbau dan PCV rata-rata pada anak kerbau yang diinfeksi menurun dengan drastis dan lebih rendah dari PCV anak kerhau kontrol (P<0,05) mulai minggu ke-3 dan seterusnya . Pada kerbau dewasa nilai PCV kerbau yang diinfeksi lebih rendah (P<0,05) dari kontrol mulai minggu ke-2, tetapi pada minggu ke-13 dan seterusnya menjadi tidak berbeda nyata . PCV pada sapi FH PCV rata-rata anak sapi FH yang diinfeksi menjadi lebih rendah dari kontrol (P<0,05) mulai minggu ke-2 dan seterusnya . Pada sapi FH dewasa yang diinfeksi, nilai PCV mulai lebih rendah dari kontrol (P<0,05) pada minggu ke-4 dan seterusnya, nilai terendah sebesar 19,7 % dicapai pada minggu ke-16 pascainfeksi . Jrtrnal Ilntu Tenuik dan Veteiner Vol. 1 No . I A.1995 PCV pada sapi PO Hemoglobulin dan komponen darah lainnya PCV rata-rata anak sapi PO yang diinfeksi cenderung menurun dibandingkan dengan PCV rataan anak sapi PO kontrol, tetapi tidak berbeda nyata . Pada sapi PO dewasa yang diinfeksi, nilai PCV lebih rendah dari kelompok kontrol (P<0,05) pada minggu ke-12,-15, -16,-17 dan -19 pascainfeksi . Pada kerbau clan sapi yang diinfeksi menunjukkan penurunan nilai PCV yang konsisten (Gambar 2A). Pada anak kerbau, nilai PCV menurun lebih besar dibandingkan dengan penurunan PCV pada anak sapi FH (i) Kerbau PCV (%) A 2 4 Minggu Pasca Infeksi Anak KB Diinfeksi - Anak FH Diinfeksi -,11e- Anak PO Diinfeksi Gambar 2A . Nilai PCV pascainfeksi (%) terhadap nilai PCV pada waktu infeksi (100%) pada anak kerbau, anak sapi FH dan anak sapi PO yang diinfeksi dengan T. evansi dan anak sapi PO, sedangkan pada hewan dewasa (Gambar 2B) ada kecenderungan bahwa penurunan nilai PCV pada kerbau lebih konsisten daripada pada sapi FH atau sapi PO. PCV (S) - Anak B KB Diinfeksi - Anak FH Diinfeksi -a- Anak PO Diinfeksi Gambar 2B. Nilai PCV pascainfeksi (%) terhadap nilai PCV pada waktu infeksi (100%) pada kerbau dewasa, sapi FH dewasa dan sapi PO dewasa yang diinfeksi dengan T. evansi a. Eritrosit : Jumlah rataan eritrosit pada kelompok yang diinfeksi dan kelompok kontrol, baik pada anak kerbau dan kerbau dewasa berfluktuasi dalam kisaran normal selama masa pengamatan, walaupun terdapat kecenderungan bahwa kelompok yang diinfeksi lebih rendah daripada kelompok kontrol mulai minggu ke-2 dan seterusnya . b. Hemoglobin : Konsentrasi hemoglobin kelompok anak kerbau yang diinfeksi lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol mulai minggu ke-1 dan seterusnya . Pada kerbau dewasa yang diinfeksi nilai hemoglobin mulai nampak lebih rendah dari kelompok kontrol (P<0,05) terhitung mulai minggu ke-7 dan seterusnya . Nilai terendah sebesar 9,4 mg% dicapai pada minggu ke-12 dan 13 pascainfeksi pada kerbau dewasa . c. Leukosit : Jumlah leukosit rata-rata pada anak kerbau yang diinfeksi naik pada minggu ke-4-5, tetapi kemudian menurun kembali menjadi normal . Pada anak kerbau dan kerbau dewasa jumlah eosinofil, monosit, limfosit dan neutrofil berfluktuasi pada kisaran normal baik pada kelompok infeksi maupun kelompok kontrol. (if) Sapi FH a. Eritrosit : Jumlah rata-rata eritrosit pada anak sapi FH dan dewasa, baik kelompok yang diinfeksi maupun kontrol berfluktuasi dalam kisaran normal selama pengamatan. b. Hemoglobin : Konsentrasi hemoglobin pada kelompok anak sap[ FH yang diinfeksi menunjukkan nilai yang tidak berbeda dengan nilai kelompok kontrol, selanjutnya menurun di bawah kelompok kontrol (P<0,05) mulai minggu ke-3 sampai selesai pengamatan . Pada sapi FH dewasa, kelompok infeksi menuniukkan konsentrasi hemoglobin lebih rendah dari kontrol (P<0,05) sepanjang pengamatan. Nilai terendah sebesar 9,2 mg% dicapai pada minggu ke-5 pascainfeksi . c. Leukosit : Pada anak sapi FH dan dewasa baik kelompok yang diinfeksi maupun kelompok kontrol junilah rata-rata leukosit, eosinofil, monosit, limfosit dan neutrofil berfluktuasi dalam kisaran normal . 45 S. PARTOLrromo et al. : SttaG Patogenesis Trypanosoma evansi pada Kerbau, Sapi FH dan Sapi PO (iii) Sapi PO a. Eritrosit : Jumlah rataan eritrosit pada anak dan sapi PO dewasa baik yang diinfeksi maupun kontrol berfluktuasi dalam kisaran normal . b. Hemoglobin: Pada anak sapi PO yang diinfeksi konsentrasi hemoglobin mulai menurun lebih rendah dari kontrol P<0,05) pada minggu ke-1 dan seterusnya . Pada hewan dewasa, kelompok yang diinfeksi menurun lebih rendah (P<0,05) dari kontrol mulai minggu ke-4 dan seterusnya . Nilai terendah sebesar 9,8 mg% dicapai pada minggu ke-15 pascainfeksi . c. Leukosit : Pada anak dan sapi PO dewasa baik yang diinfeksi maupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan jumlah rataan dari leukosit, eosinofil, monosit dan neutrofil, umumnya berfluktuasi dalam kisaran normal. Terdapat kenaikan yang agak tinggi beberapa individu, tetapi kenaikan tersebut diduga bukan merttpakan resptm yang spesifik terhadap infeksi T. evansi . Bobot badan Persentase kenaikan bobot badan pada anak kerbau, anak sapi FH dan anak sapi PO pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 2C, sedangkan pada hewan dewasa pada nunggu ke-6 dan ke-12 dapat dilihat pada Gambar 2D. Persentase kenaikan bobot badan anak kerbau, anak sapi FH, dan anak sapi PO yang diinfeksi pada minggu ke-6 masing-masing sebesar 7,3, 1,6 dan 1,2 kalilebih rendah daripada kenaikan bobot badan anak kerbau, anak sapi FH dan anak sapi PO yang tidak diinfeksi . Pada hewan dewasa, persentase kenaikan bohot badan tersebut pada kerbau, sapi FH dan sapi PO Kenaikan Bobot Badan t`b) 12 10 8 6 4 2 Minggu ke-6 pascainfeksi Anak KB Diinfeksi © Anak PO Diinfeksi Anak FH Kontrol 100040 Anak KB Kontrol' Anak FH Diinfeksi Anak PO Kontrol Gtuubar 2C . Kenaikan bobot badan (%) anak kerbau, anak sapi FH dan anak sapi PO pascainfeksi terhadap bobot pada waktu diinfeksi dengan T. evansi yang diinfeksi pada minggu ke-6 masing-masing sebesar 12,6, 7,8 dan 4,9 kali lebih rendah daripada kerbau, sapi FH dan sapi PO dewasa yang tidak diinfeksi, dan angka tersebut pada minggu ke-12 masingmasing sebesar 20,6, 9,5 dan 5 kali lebih besar daripada hewan yang diinfeksi . D Kenaikan Bobot Badan (96) 20 15 10 5 0 -5 -10 - KB Dewasa Infeksi ® KB Dewasa Kontrol © FH Dewasa Kontrol 700905 PO Dewasa Infeksi PO Dewasa Kontrol ® FH Dewasa Infeksi Gambar 211. Kenaikan bobot hadan (%) kerhau dewasa, sapi FH dewasa dan sapi Pt) dewasa pascainfeksi terhadap bohot pada waktu diinfeksi dengan T. evansi PEMBAHASAN Gejala klinis surra akut tidak diketemukan baik pada kerbau, sapi FH maupun sapi PO yang diinfeksi dengan T. evansi . Hasil yang sama telah dilaporkan bahwa pada sapi dan kerbau yang mendapat infeksi secara alam dan diamati selama 2 tahun lebih tidak ada yang menunjukkan gtrjala klinis akut (PARTOUTOMO et al., 1994) . Hasil ini memberi petunjuk bahwa pada sapi dan kerhau, tripanosomiasis akut tidak pernah diketemukan baik pada infeksi buatan maupun infeksi alam. Berbeda dengan tripanosomiasis pada kuda (Ian pada anjing. Pada kuda dapat bersifat khronis, akut atau subakut . Bila akut, gejala yang sering dijumpai adalah misalnya kenaikan suhu badan, urtikaria, edema, ikterus, pembengkakan kelenjar getah bening, lemah sampai paralisis (NG and VANCELOW, 1978). Pada anjing, infeksi T. evanvi biasanya berakhir dengan kematian dengan gejala-gejala antara lain demam selang-sering, anemia bobot, anoreksia, kekeruhan komea unilateral atau belateral yang hiasanya berakhir dengan kebutaan, bobot badan menurun (HUSEIN et al., 1995) . Perubahan patologi anatomi pada anjing antara lain berupa anemia, kurus, kornea keruh, hati kuning, limpa bengkak, ptekia pada limpa dan otot dagingjantung, dan kadangkadang terdapat ulkus ventrikuli (DAMAYANTI et al., 1995) . Perubahan patologi anatomi yang menonjol pada Jurnal 1lnus Terruik dan Vcteriner Vol. 1 No . 1 7h.1995 anak sapi dan anak kerbau yang mati karena infeksi T. evansi adalah kekurusan (emaciation) disertai dengan edema berbagai organ sebagaimana telah dilaporkan pada kerbau (DAMAYANTI, 1991) . Kelainan patologi anatomi berupa kekurusan serta edema tersebut mengarahkan pada kelainan patologi anatomi dari suatu penyakit yang sangat khronis, atau mungkin infeksi T. evansi mengakibatkan timbulnya gangguan unsur hara tertentu dalam tubuh hewan (misalnya kekurangan glukose darah) sehingga hewan nampak sangat kurus dengan tidak ada kelainan patologi anatomi yang berarti . Namun hal ini masih harus dibuktikan. Daerah yang terinfeksi tetapi tidak pernah ada kasus penyakit secara klinis dikenal dengan keadaan endemik yang stabil (PAYNE et al., 1991). Adanya infeksi campuran dengan penyakit lain perlu mendapat perhatian kita, terutama infeksi campuran antara kudis dan T. evansi di daerah endemis yang merupakan salah satu penyebab terjadinya anak kerbau kerdil, atau mungkin infeksi campuran dengan penyakit lain misalnya neoaskaris (PARTOUTOMO et al., 1991) . Paling tidak adanya infeksi campuran antara tripanosomiasis dan penyakit kudis atau penyakit lainnya merupakan hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak kerbau dan sapi rakyat di daerah endemis . Mortalitas pada hewan dewasa adalah 0, dan pada anak kerbau, anak sapi FH dan anak sapi PO masingmasing sebesar 2/3, 1/3 dan 1/3, sedangkan kematian akut sampai 80% pada anak kerbau yang diinfeksi (VERMA dan GAUTAM, 1978) dan kematian 100% pada kerbau seperti dilaporkan oleh RAZZAQUE et al. (1978) tidak didapatkan dalam penelitian ini . Dalam penelitian terdahulu juga tidak didapatkan tripanosomiasis akut atau kematian pada sapi dan kerbau yang diamati selama lebih dari 2 tahun di lapangan (PARTOUTOMO et al., 1994). Sangat mungkin faktor lain ikut berperan sebagai penentu terjadinya sakit atau kematian hewan tripanosomiasis di lapangan seperti pemeliharaan, makanan, dan ada atau tidaknya infeksi campuran, terutama kudis dan neoaskaris pada anak. Infeksi yang khronis juga ditandai dengan kenaikan suhu badan antara hari ke-1-5 pascainfeksi yang selanjutnya suhu badan berfluktuasi pada nilai normal . Walaupun jumlah parasit di dalam darah meningkat sampai jumlah yang sangat tinggi, tetapi suhu badan tidak menunjukkan kenaikan. Atau dapat dikatakan bahwa tidak ada korelasi antara jumlah parasit di dalam darah dan kenaikan suhu badan (PARTOUTOMO, 1987) . Periode prepaten pada beberapa jenis parasit mungkin dipengaruhi oleh jumlah parasit yang diinjeksikan ke dalam tubuh hewan . Dalam penelitian ini dosis yang sama yakni 107/hewan disuntikkan baik pada anak maupun hewan dewasa yang bobot badannya jauh lebih besar . Namun, dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan periode prepaten antara anak dan hewan dewasa, meskipun ada kecenderungan pada sapi PO periode prepaten lebih lama daripada kerbau. Hal ini belum dapat disimpulkan karena data yang diperoleh belum mencukupi . Gambar IA, 1B, dan 1C secara jelas menunjukkan adanya perbedaan fluktuasi jumlah parasit antara kerbau, sapi FH dan sapi PO. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa jumlah parasit pada kerbau berfluktuasi pada level yang tinggi sejak 3 hari pascainfeksi hingga hari ke-60 pascainfekasi atau bahkan lebih. Pada sapi FH mulai hari ke-3 sampai dengan hari ke-7 pascainfeksi, setelah itu jumlah parasit menurun dan berfluktuasi pada level yang rendah, dan pada sapi PO 2-5 hari pascainfeksi langsung positif tinggi sampai minggu ke-8, setelah itu berfluktuasi pada level normal . Hasil pengamatan ini menunjukkan adanya jumlah parasit yang tinggi dan berlangsung lebih lama pada kerbau, kemudian diikuti oleh sapi FH dan akhirnya sapi PO. Lama hari parasitemia dan lama hari parasitemia tinggi nampak dengan jelas pada Gambar 1D. Jumlah hari parasitemia tinggi pada kerbau berbeda sangat nyata terhadap jumlah hari parasitemia pada sapi PO (P<0,01). Sesuai dengan hasil pengamatan di lapangan yang menunjukkan bahwa kerbau mempunyai derajat infeksi lebih tinggi dari sapi (PARTOU'romo et al., 1994), maka ' hasil penelitian yang menyatakan bahwa kerbau mempunyai derajat parasitemia tinggi lebih lama daripada sapi dapat diartikan bahwa perpindahan parasit dari kerbau ke hewan lain akan lebih mudah daripada sapi. Atau dengan kata lain kerbau merupakan sumber penularan parasit yang lebih potensial daripada sapi. Hasil ini mendukung pernyataan yang menyebut bahwa prevalensi T. evansi pada kerbau lebih besar dan kerbau lebih peka daripada sapi (PAYNE, 1989) . Anak kerbau dan anak sapi FH yang diinfeksi dengan T. evansi menunjukkan penurunan nilai PCV, sedangkan pada anak sapi PO yang diinfeksi dan kelom pok kontrol tidak berbeda nyata . Demikian pula anak kerbau yang diinfeksi menunjukkan penurunan PCV yang lebih berat daripada anak sapi FH atau anak sapi PO (Gambar 2A). Walaupun perbedaan perubahan PCV pada hewan dewasa yang diinfeksi tidak begitu 47 S. PARTovrohto et al. : Studi Patogenesis Trypanosoina evansi pada Kerbau, Sapi FH clan Sapi PO jelas (Gambar 2B), tetapi PCV rataan pada kerbau dewasa yang diinfeksi menunjukkan penurunan yang lebih rendah daripada pada sapi FH dewasa dan sapi PO dewasa . Atau dengan kata lain kerbau yang diinfeksi dengan T. evatLvi secara konsisten mentmjukkan perubahan PCV lebih nyata daripada sapi FH atau PO . Jumlah eritrosit pada semua hewan yang diinfeksi ada kecenderungan lebih rendah daripadA jumlah eritrosit pada hewan kontrol, walaupun perubahan tersebut tidak berbeda nyata. Nilai hemoglobin pada semua hewan yang diinfeksi lebih rendah secara nyata dibandingkan dengan nilai hemoglobin pada hewan kontrol. Walaupun perubahan nilai hemoglobin dan jumlah eritrosit antara hewan kerbau, sapi FH dan sapi PO tidak dapat dibandingkan secara langsung, tetapi semua menunjukkan adanya perubahan nilai yang khronis, yakni suatu perubahan yang berialan dengan waktu yang agak lama . UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr . Poernomo Ronohardjo, Prof. Dr .R .S .F .Campbell yang telah memberi bantuan dan saran sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar. Ueapan terima kasih juga disampaikan kepada staf Parasitologi Balitvet yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini . DAFfAR PUSTAKA DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN . 1991 . Buku Statistik Peternakan . Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Peternakan . Jakarta. DAMAYANTI, R. 1991 . Studies of Pathology of Trypanosoina evansi in the Buffalo (Bubalis bubalis) . Thesis untuk MSc pada Graduate School of Trop . Vet. Science and Agric. James Cook University of North Queensland . Australia. DAMAYANTI, R., A . HUSEIN, S . PARTOUTOMO, dan M . PEARCE . 1995 . Aspek patologis dari anjing yang diinfeksi secara buatan dengan Trypanosoma evansi . Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Mcningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak . Cisarua-Bogor 22 - 24 Maret 1994 . Balitvet, Bogor. 48 HUSEIN, A., S . PRAWIRADISASTRA, R. DAMAYANTI, S . PARTouTOMo, dan M . PEARCE . 1995 . Gambaran klinis dan darah anjing yang diinfeksi Trypanosoina evansi . Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Mcningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Temak. Cisarua-Bogor 22 - 24 Maret 1994 . Balitvet, Bogor. No, B. K . Y. and B. VANCEI.OW. 1978 . Outbreak of surra in horses and the pathogenesis of anaemia. Kajian Vel . 10(2) : 88-98. PARTOUTOMO, S. 1987 . Patogenesls dan serologi sapi dan kerbau . Maj . Trypanosoma evansi pada Parasitol. /mi. : 1(l) 9-14 . PAR'rotiTOMO, S., SUHARDONO, dan G. ADIWINATA. 1991 . Infeksi Taxocara vitulortan pada anak sapi dan anak kerbau di daerah Sclabintana, Sukaraja dan Surado di Kabupaten Sukabumi . Penyakii Hewan 23 (41) : 53-54. PARTOUTOMO, S ., M. SOI.EH, F. POUTI:DY, A. DAY, P. STEVENSON, A. J . WILSON, D . B . COLEMAN, and L. OWE?N . 1994 . The epidemiology of Tryltanoattna evattvi and Ttylmnosonta theileri in cattle and buffalo in small holder farms in Java . Penyakil Hewan 26 (48) : 41-46. PAYNE, R.C . Trypanosoma 1989 . Studies on the Epidemiology of evansi in the Republic of Indonesia. A thesis submitted for the degree of Master of Philosophy . University of Edinburgh. UK . PAYNE, R. C ., S . PARTouTomo dan 1. P. SUKAN'ro . 1990 . Studies on the epidemiology of Trypanosoina evansi in buffaloes in Indonesia . Domestic buffalo production in Asia . Proceedings of the Final Research Coordination Meeting on the Use of Nuclear Techniques to Improve Domestic Buffalo Production . Rochampton, Australia . PAYNE, R. C ., 1 . P. SILKANTO, D . DJAIIHARI, S . PARTOm'OMo, A. J . WILSON, T.W . WILSON, T.W . JONES, R .Bo1D, and A .G .LUCKINS . 1991 . Try, panosoina evansi infection in cattle, buffaloes and horses in Indonesia. Vet . Parasitol . 38 : 109-119. PAYNE, R. C., I. P. SUKAN'ro, S. PARTOU'romo, P. SITEPU, dan T.W .JONES . 1994 . Effect of Suramin treatment on the productivity of feedlot cattle in Trypanosoma evansi endemic area of Indonesia. Trop . itnim . Hlth . Prod . 26 : 35-36. RAZZAQUE, A., S. S. MISHRA and B . N . SAHAI. 1978 . Effects of cortisone and splenectomy on the symptoms and course of experimental Trypanosoina evansi infection in buffalo calves . Kajian Vet. 10 (2) : 83-87. VERMA, B. B. and O. P. GAUTAM . 1978 . Studie s on experimental surra (Trypanosoma evansi infection) in buffalo and cow calves . Ind. Vet. J. 55 (8) : 648-653.