Ramudi Ariffin, Makna Sesungguhnya Sisa Hasil Usaha Koperasi 53 MAKNA SESUNGGUHNYA DARI SISA HASIL USAHA KOPERASI Ramudi Ariffin Institut Manajemen Koperasi Indonesia [email protected] ABSTRAK Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi cenderung disamaartikan dengan laba. Padahal bila diurut secara konsisten berdasarkan nilai, norma dan prinsip-prinsip Koperasi, maka makna saja menjadi berbeda dengan laba pada perusahaan kapitalistik. ABSTRACT Sisa Hasil Usaha (SHU) is considered the same as profit . When in fact if ordered by the values, norms and principles of cooperatives , the sense will be different from the profit in the capitalistic enterprise . 1. PENDAHULUAN Terminologi Sisa Hasil Usaha (SHU) biasa dipergunakan oleh Gerakan Koperasi di Indonesia. Dalam beberapa literatur Koperasi dijumpai pula sebutan Cooperative’s Profit (Laba Koperasi) disertai dengan beberapa penjelasan untuk membedakannya dengan laba perusahaan bukan Koperasi. Tetapi, lembaga-lembaga internasional seperti ICA, ILO dan beberapa lainnya cenderung menggunakan terminologi surplus-defisit. Memang dirasakan masih terdapat perbedaan persepsi dan nama terhadap apa yang disebut dengan SHU Koperasi tersebut. P.R. Dubhashi (1970), ahli Koperasi pada Institut Manajemen Koperasi Poona, India, secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan istilah profit di dalam Koperasi. Melalui uraianuraiannya yang cukup mendalam. Djubhashi merekomendasikan untuk digunakan terminologi surplus dan defisit di dalam Koperasi. Mengenai pemaknaan terhadap SHU memang belum banyak dipersoalkan dan menuntut pemikiran yang rasional di dalam mendefinisikannya. Hasil pemikiran tersebut sangat diperlukan. Berpikir adalah proses menalar untuk membangun pengertian didalam mencari kebenaran, meskipun kebenaran yang didapatkan bersifat nisbi (terbatas). Kebenaran yang diyakini saat ini, mungkin tidak benar pada masa lalu atau masa depan. Kebenaran yang diterima di suatu tempat mungkin tidak diterima atau diragukan di tempat lain, sejauh kebenaran itu adalah hasil manusia di dalam berpikir yang menggunakan logika. Karena itu dalam hal mencari kebenaran makna dari SHU Koperasi perlu didekati dengan logika yang tersusun secara konsisten dan runut. Mengenai cara berpikir seperti ini, sangat boleh jadi uraiannya menjadi panjang-lebar dan mungkin juga menjadi membosankan. Karena itu, di dalam tulisan ini penguraiannya hanya bersifat garis besar yang berisikan inti pemikiran untuk sampai pada kesimpulan tentang pemaknaan SHU yang sesungguhnya menurut karakteristik Koperasi. 2. MUNCULNYA IDE BERKOPERASI Munculnya ide berkoperasi dimulai di Eropa pada abad 18. Didahului dengan diterimanya paham individualisme dan berkembang menjadi liberalisme dan dalam bidang usaha menjadi kapitalisme. Atas dasar pemikiran bahwa setiap individu bebas mengejar kesejahteraan hidupnya berdasarkan kemampuannya masingmasing. Dengan ditemukannya mesin uap pertama kali mendorong modernisasi industri berteknologi mesin uap dan berbasis pada modal. Tenaga manusia diganti dengan mesin yang lebih produktif dan efisien. Pengangguran menjadi tinggi dan bila masih ada kesempatan untuk bekerja maka buruh akan menerima upah 54 Coopetition, Vol VII, Nomor 1, Maret 2016, 53 - 58 yang sangat rendah. Petani, perajin, industri rumah dan kaum marjinal lainnya juga menghadapi tekanan situasi yang sama di dalam kancah sistem ekonomi pasar tersebut. Tekanan ekonomi yang memberatkan itu mendorong para pemikir mencari cara untuk keluar dari kesulitan. Prinsipnya, didalam sistem ekonomi pasar yang liberal-kapitalistik tidak akan ada pihak lain yang peduli terhadap nasib mereka kecuali mereka harus mampu menolong dirinya sendiri. Bentuk perusahaan yang disebut Koperasi mulai diperkenalkan dan dipraktekkan. Prinsip dasarnya adalah mampu menolong diri sendiri (self help) percaya pada kemampuan sendiri (self reliance) dan mampu bertanggungjawab sendiri (self responsibility). Tugas pokok Koperasi bukan memupuk laba, melainkan sebagai alat memecahkan kesulitankesulitan ekonomi secara bersama-sama sehingga setiap individu anggota mampu memperbaiki kehidupannya masing-masing. Kesimpulannya, ide berkoperasi dimunculkan untuk mengatasi kegagalan sistem ekonomi pasar bagi mereka yang terdesak, bekerja bersama-sama atas kekuatan sendiri. kesulitan-kesulitan ekonomi anggota dapat dihilangkan atau dikurangi melalui layanan perusahaan Koperasi yang menunjang perekonomian mereka. Untuk menjamin tugas Koperasi tersebut, dirumuskan seperangkat nilai, norma dan prinsip-prinsip Koperasi untuk dilaksanakan dan ditaati bersama. 3. PARTISIPASI ANGGOTA, BASIS KEKUATAN KOPERASI Di dalam sistem ekonomi kapitalistik, modal adalah pemegang kekuasaan. Pendayagunaan modal menghasilkan manfaat ekonomi, karena itu disebut capital base firms (perusahaan berbasis modal). Perusahaan adalah subyek dan konsumen adalah obyeknya. Konsumen dieksploitasi untuk laba guna memperbesar modal dan memperkuat perusahaan. Ilmu ekonomi perusahaan dibangun atas dasar pemikiran ini. Rapat pemegang saham merupakan kekuasaan tertinggi tetapi pemegang saham terbesar memiliki hak suara terbesar pula. Berbeda bila perusahaan itu berbentuk Koperasi. Anggota adalah pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan perusahaan Koperasi. Tidak mungkin anggota sebagai pelanggan dieksploitasi oleh Koperasi karena pelanggan itu adalah pemilik perusahaan Koperasi. Tugas perusahaan Koperasi adalah menjalankan fungsi-fungsi kegiatan ekonomi yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi anggota. Untuk menjamin terwujudnya fungsi ini maka tata kelola organisasi dan perusahaan Koperasi harus berjalan secara demokratis, satu anggota satu suara di dalam Rapat Anggota, besarnya kontribusi modal setiap anggota diabaikan. Artinya, makna dari Rapat Anggota di dalam Koperasi berbeda dengan Rapat Pemegang Saham di dalam perusahaan kapitalistik. Rapat Anggota adalah pemegang kekausaan tertinggi di dalam Koperasi. Keputusankeputusan Rapat Anggota wajib dijalankan oleh semua aparat penyelenggara organisasi dan perusahaan Koperasi. Artinya, manajemen Koperasi adalah mandataris dari Rapat Anggota, setelah mandat itu dilaksanakan, hasilnya harus dilaporkan pada Rapat Anggota berikutnya dan begitu seterusnya. Anggota sebagai pemilik ditunjukkan oleh partisipasi mereka di dalam mengambil keputusan-keputusan, memberikan kontribusi modal dan biaya-biaya yang dibutuhkan oleh Koperasi, mengendalikan gerak Koperasi agar tetap berada dalam koridor kepentingan ekonomi anggota dan seterusnya. Aktivitas layanan Koperasi didasarkan pada keputusan seluruh anggota di dalam Rapat Anggota. Artinya, layanan-layanan dari perusahaan Koperasi wajib dimanfaatkan oleh seluruh anggota dalam kedudukannya sebagai pelanggan Koperasi. Menurut logika, Koperasi tidak akan menjadi bangkrut manakala partisipasi anggota, baik sebagai pemilik maupun pelanggan, cukup tinggi. 4. PARTISIPASI FINANSIAL ANGGOTA Partisipasi finansial Anggota dapat dilihat dengan jelas pada saat anggota menggunakan layanan perusahaan Koperasi, pada tingkat harga Koperasi yang ditetapkan. Di dalam harga Koperasi, terkandung biaya pokok untuk barang/ jasa dan marjin harga sebagai sumber pendapatan Koperasi. Mengikuti pandangan principle of cost coverage (Jens Jokisch; 1994), Koperasi bekerja pada posisi menutupi biayanya, yaitu menutupi biaya-biaya organisasi di luar biaya pokok barang/ jasa. Itulah sebabnya Anggaran Belanja Koperasi harus mendapat persetujuan dan pengesahan dari Rapat Ramudi Ariffin, Makna Sesungguhnya Sisa Hasil Usaha Koperasi Anggota. Penerapan dari prinsip menutupi biaya adalah untuk menjamin agar Koperasi mampu memberikan manfaat ekonomis, langsung atau tidak langsung, kepada seluruh anggota dalam upaya menjalankan fungsinya sebagai alat mempromosikan ekonomi anggota. Manfaat ekonomis Koperasi antara lain dapat diukur dari perbedaan harga di antara harga di Koperasi dengan harga di pasar di luar Koperasi. Bila anggota berada pada posisi membeli maka harga di Koperasi lebih murah dibanding harga di pasar. Bila anggota berada pada posisi menjual maka mereka menerima harga yang lebih tinggi dari Koperasinya. Begitu pula halnya dengan bunga pinjaman di Koperasi Simpan Pinjam. Anggota sebagai pemilik Koperasi bertanggungjawab untuk menanggung semua biaya organisasi Koperasi. Pengertian prinsip menutupi biaya berarti anggota harus menanggung biaya pokok barang/ jasa plus marjin harga Koperasi untuk menutupi biaya organisasi (biaya rapat anggota, menyusun laporan, gaji/ upah, honorarium, bunga kredit biaya resiko, biaya pengembangan dan sebagainya) Jumlah total penerimaan Koperasi dari marjin harga biasanya disebut pendapatan Koperasi dipergunakan untuk menutupi semua biaya organisasinya. SHU muncul dengan mengurangkan pendapatan Koperasi terhadap biaya riil organisasi. Berdasarkan alur berpikir seperti ini, maka pendapatan Koperasi diartikan sebagai partisipasi finansial anggota terhadap biaya organisasi Koperasi. SHU tidak lain adalah Sisa Partisipasi Finansial Anggota. Contoh hipotesis berikut ini ditampilkan agar memperjelas pengertiannya. Contoh 1: Koperasi pembelian, posisi anggota adalah pembeli barang/ jasa. Diasumsikan Koperasi membeli barang X dari pasar pada harga beli Rp.1.100 untuk memenuhi kebutuhan anggota. Harga beli X sebesar Rp.1.000 merupakan biaya pokok bagi Koperasi. Koperasi menetapkan harga X sebesar Rp.1.000 kepada anggotanya. Kelebihan harga sebesar Rp. 100 (disebut marjin harga Koperasi) dipergunakan oleh Koperasi untuk menutupi semua biaya organisasinya dan menjadi kewajiban anggota sebagai pelanggan. Anggota membayar X sebesar Rp.1.100 , disebut sebagai partisipasi bruto anggota. Karena biaya pokok sebesar 55 Rp.1000 sudah keluar dari Koperasi, maka yang tersisa di Koperasi hanya sebesar Rp. 100 dan disebut partisipasi neto anggota. Dengan demikian partisipasi neto anggota adalah kontribusi anggota terhadap biaya-biaya organisasi Koperasi. Besarnya kontribusi anggota tergantung pada jumlah X yang dimanfaatkan oleh masing-masing anggota, tentu menjadi berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Contoh 2 : Koperasi Penjualan, posisi anggota adalah penjual barang/jasa. Diasumsikan Koperasi menampung produk Y yang dihasilkan oleh para anggotanya untuk dijual ke pasar pada harga jual sebesar Rp 1.100,- Harga jual sebesar Rp 1.100,- tersebut merupakan partisipasi bruto anggota. Koperasi membayar Rp 1.000,- kepada anggota untuk setiap satuan produk Y dan Koperasi mencatatnya sebagai biaya (harga) pokok. Koperasi memperoleh marjin Rp 100 untuk setiap produk Y dan dipergunakan menutupi semua kebutuhan biaya organisasinya. Pendapatan Koperasi dari marjin harga sebesar Rp 100,- tidak lain merupakan kontribusi anggota (sebagai pemilik) untuk membiayai organisasi Koperasi dan disebut sebagai partisipasi neto anggota. Besarnya kontribusi anggota tergantung pada jumlah produk Y yang dipasok oleh masing-masing anggota kepada Koperasi, sehingga kontribusinya menjadi berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Contoh 3 : Koperasi Simpan Pinjam, posisi anggota adalah peminjam uang. Diasumsikan seorang anggota menarik pinjaman Rp 10 juta berjangka waktu satu tahun dengan bunga 10% setahun. Koperasi mencatat Rp 10 juta sebagai beban pokok. Anggota membayar kembali ke Koperasi sebesar pokoknya Rp 10 juta ditambah Rp 1 juta bunganya. Nilai setoran anggota sebesar Rp 11 juta (pokok plus bunga) merupakan Partisipasi bruto anggota sebagai pelanggan. Partisipasi neto anggota sebesar Rp 1 juta adalah kontribusi anggota (sebagai pemilik) untuk ikut serta menanggung biaya organisasi Koperasi. Karena jumlah penarikan pinjaman untuk setiap anggota berbeda-beda, maka partisipasi neto setiap anggota menjadi berbeda-beda. Kesimpulan analisis berlogikanya bahwa: 56 Coopetition, Vol VII, Nomor 1, Maret 2016, 53 - 58 1. Semakin efisien Koperasi di dalam mengorbankan biaya-biayanya, semakin mengecil marjin harga (partisipasi neto anggota) yang dibebankannya kepada anggota. 2. Semakin mengecil marjin harga Koperasi, semakin besar manfaat ekonomis (harga) yang diberikan oleh Koperasi kepada anggota. 3. Semakin besar manfaat ekonomis Koperasi, semakin meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota. 4. Semakin besar manfaat ekonomis Koperasi yang mendorong peningkatan kesejahteraan anggota, semakin besar pula partisipasi anggota, baik sebagai pemilik maupun sebagai pelanggan. 5. Semakin tinggi partisipasi anggota, semakin kokoh eksistensi Koperasi dan semakin mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya. 6. Semakin kokoh dan kuat kehadiran Koperasi di masyarakat, semakin terwujud peran dan fungsinya sebagai sokoguru perekonomian nasional dan seterusnya. . 5. SISA HASIL USAHA KOPERSI Ditegaskan kembali bahwa terminologi SHU yang sangat familier di dalam praktek berkoperasi di Indonesia itu, bila diurut secara konsisten atas dasar tujuan Koperasi mempromosikan ekonomi anggota dapat dijelaskan bahwa : 1. SHU berhubungan dengan interaksi antara layanan Koperasi dan partisipasi anggota sebagai pelanggan yang di dalamnya terkandung kewajiban anggota sebagai pemilik Koperasi untuk membiayai organisasi Koperasi agar koperasi mampu menjalankan fungsi dan perannya sebagai alat untuk mempromosikan ekonomi anggota. 2. Kewajiban anggota untuk membiayai organisasi Koperasi diimplementasikan dalam wujud memberikan marjin harga kepada setiap satuan layanan Koperasi dan disebut partisipasi neto anggota. 3. Total partisipasi neto anggota dalam satu tahun kerja dipergunakan oleh Koperasi untuk menutupi semua keperluan biaya organisasinya. 4. Besarnya marjin harga atau partisipasi neto anggota ditetapkan berdasarkan besarnya Anggaran Belanja organiasi Koperasi dan karena itu Anggaran Belanja Koperasi harus mendapat persetujuan dari Rapat Anggota. Realisasi penggunaan anggaran belanja yang bersangkutan harus dipertanggungjawabkan pada Rapat Anggota berikutnya. Selisih antara pendapatan Koperasi dengan biaya riil organisasi, menunjukkan SHU yang di dalam tulisan ini cenderung digunakan terminologi Surplus dan Defisit. 5. Surplus menunjukkan jumlah total partisipasi neto anggota lebih besar daripada jumlah riil biaya organisasi. Disebut defisit di dalam pengertian sebaliknya. Baik surplus maupun defisit merupakan Sisa Partisipasi Anggota di dalam keikutsertaannya membiayai organisasi Koperasi. Mengikuti prinsip menutupi biaya, maka sisa partisipasi tersebut dikembalikan kepada setiap anggota yang telah berpartisipasi, sebanding dengan besarnya partisipasi masing-masing anggota (baca : SHU dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa masingmasing anggota). 6. Kesulitan praktis cenderung terjadi ketika Koperasi mengembalikan defisit kepada anggota . Karena itu, ketika yang terjadi adalah surplus, maka tidak seluruh surplus dikembalikan kepada anggota. Sekian persen dari surplus (menurut norma atau keputusan Rapat Anggota) disisihkan terlebih dahulu sebagai Dana Cadangan Koperasi. Fungsi dana cadangan adalah untuk menutupi difisit ketika terjadi. Bila defisit tidak terjadi, maka dana cadangan berputar sebagai modal sendiri. 6. BISNIS KOPERASI DENGAN BUKAN ANGGOTA Bila perusahaan Koperasi melakukan transaksi dengan bukan anggota harus diberi pengertian sebagai bisnis murni, sebab terhadap bukan anggota maka semua nilai, norma dan prinsip-prinsip Koperasi menjadi tidak berlaku. Secara normatif Koperasi tidak memiliki kewajiban meningkatkan kesejahteraan bukan anggota. Meskipun demikian nilainilai Koperasi memang mengharuskan Koperasi untuk peduli terhadap lingkungan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan pemeliharaan lingkungan hidup. Ramudi Ariffin, Makna Sesungguhnya Sisa Hasil Usaha Koperasi Dalam hal ini, perlu dibedakan di antara interaksi Koperasi dengan anggota dan bukan anggota. Interaksi Koperasi dengan anggota berada di dalam sistem Koperasi berdasarkan mekanisme Koperasi yang sarat dengan nilai, norma dan prinsip-prinsip Koperasi, yang harus ditaati dan diterapkan secara bersama-sama. Sedangkan interaksi antara Koperasi dengan bukan anggota berada di dalam sistem pasar dan berdasarkan mekanisme pasar. Identitas anggota sebagai pemilik sekaligus pelangan membangun mekanisme Koperasi sedangkan mekanisme pasar terjadi karena pemiik perusahaan tidak identik sebagai pelanggan (pemilik dan pelanggan merupakan dua pihak yang terpisah). Ketika Koperasi berbisnis dengan bukan anggota maka Koperasi berubah fungsi menjadi perusahaan kapitalistik yang berorientasi kepada laba. Karena itu, keputusan Koperasi untuk melakukan bisnis dengan bukan anggota perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak kehilangan jatidirinya sebagai Koperasi yang mengemban tugas pokok untuk mempromosikan ekonomi anggota. Pada dasarnya, Koperasi tidak dilarang untuk melakukan bisnis dengan bukan anggota dengan syarat seluruh kepentingan dan kegiatan ekonomi anggota yang diambil-alih Koperasi dari anggotanya telah dijalankan dengan sebaik-baiknya dan ternyata masih terdapat kelebihan kapasitas usahanya. Untuk menghindari kerugian, Koperasi dapat menggunakan kelebihan kapasitas tersebut dengan berbisnis terhadap bukan anggota. Hasil bisnis Koperasi dengan bukan anggota ditampilkan dalam bentuk Laporan Laba/Rugi. Dengan demikian pencatatan aktivitas Koperasi dalam melayani anggota dan bisnis Koperasi dengan bukan anggota perlu dipisahkan. Hal ini perlu dilakukan karena : 1. Interaksi Koperasi dengan anggota berhubungan dengan partisipasi angota sebagai pelanggan. Interaksinya mengikuti sistem atau mekanisme Koperasi. 2. Interaksi Koperasi dengan bukan anggota adalah bisnis seperti pada umumnya, mengikuti sistem atau mekanisme pasar. 3. Distribusi sisa partisipasi anggota didasarkan pada besar-kecilnya kontribusi masingmasing anggota terhadap pembiayaan organisasi Koperasi, mengikuti sistem Koperasi. Sedangkan distribusi Laba/Rugi 57 didasarkan pada kontribusi modal dari masing-masing anggota, mengikuti sistem kapatalistik. 7. KLAIM ANGGOTA TERHADAP ASET KOPERASI Bahasan tentang SHU Koperasi tentu berkaitan langsung dengan aspek-aspek finansial lainnya seperti modal, asset, solvabilitas dan sebagainya. Dalam hal pajak pendapatan badan misalnya, Undang-Undang pajak menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendapatan badan (perusahaan) adalah keuntungan yang diperoleh. Secara teoritis, berarti pajak pendapatan Koperasi dikenakan pada laba yang dihasilkan dari bisnis Koperasi dengan bukan anggota. Perlakuan pajak mestinya berbeda terhadap SHU di dalam pengertian sebagai sisa partisipasi anggota yang tidak dapat diartikan persis sama dengan laba. Ketika kontribusi modal dari angota relatif tidak mencukupi kebutuhan Koperasi akan modalnya, maka pembentukan Dana Cadangan merupakan salah satu jalan keluar untuk mengatasi kelemahan modal tersebut. Dana cadangan berasal dari SHU atau sisa partisipasi anggota yang tidak dikembalikan kepada anggota kontributornya. Dana cadangan adalah bagian dari ekuitas (asset tetap) Koperasi. Banyak Koperasi yang mampu berkembang menjadi besar karena didukung oleh pemupukan dana cadangan tersebut sehingga Koperasi memiliki asset yang cukup kuat. Di dalam posisinya sebagai pemilik Koperasi, maka secara teoritis anggota memiliki klaim terhadap kekayaan bersih Koperasi, misalnya pada saat Kopersi dilikuidasi atau pada saat anggota menyatakan keluar dari keanggotaannya di Koperasi. Dalam hal ini, Koperasi perlu memiliki acuan normatif untuk mengukur penyetaraan modal anggota. Nilai nominal modal yang disetor oleh setiap anggota perlu disetarakan terhadap perubahanperubahan kekayaan bersih Koperasi, Logikanya, bila kekayaan bersih Koperasi berkembang semakin besar, maka klaim anggota terhadap nominal modal yang telah disetornya ke Koperasi menjadi lebih besar dari nominalnya setorannya. Begitu juga terjadi sebaliknya. 58 Coopetition, Vol VII, Nomor 1, Maret 2016, 53 - 58 Untuk menghitung modal penyetaraan anggota, perlu diketahui nilai indek penyetaraannya terlebih dahulu. Contoh sederhananya: dimisalkan setoran nominal simpanan pokok dan simpanan wajib seluruh anggota sebesar Rp 400 juta. Kekayaan bersih Koperasi (nilai seluruh aset dikurangi seluruh hutangnya) sebesar Rp 1.600 juta, maka indek penyetaraan berilai 4 dihitung dari Rp 1.600 juta dibagi dengan Rp 400 juta Bila seorang anggota telah menyetor simpanan pokok dan simpanan wajib sebesar Rp 500 ribu, maka nilai penyetaraannya adalah Rp 2 juta.. Akan terjadi sebaliknya bila nilai kekayaan bersih Koperasi merosot menjadi hanya Rp 300 juta, maka indek penyetaraan menjadi 0,75. Nilai nominal setoran yang Rp 500 ribu itu disetarakan menjadi Rp 375 ribu. Sebagai catatan, nilai penyetaraan modal tersebut hanya bersifat administrasi, tidak dapat ditarik setiap saat kecuali anggota menyatakan ke luar dari keanggotaan dan tidak dimungkinkan untuk mendaftarkan keanggotaannya kembali atau bila Koperasi dalam keadaan dilikuidasi. 8. DEFINISI PERUSAHAAN KOPERASI Dimulai dengan bahasan tentang arti sesungguhnya dari SHU dan berimplikasi terhadap aspek-aspek finansial lainnya, maka definisi Koperasi sebagai perubahaan dapat dirumuskan, yaitu Perusahaan Koperasi adalah perusahaan yang didirikan, dimodali/dibiayai, dikelola, dikendalikan dan dimanfaatkan sendiri oleh anggotanya. Posisi anggota yang mendirikan, memodali/ membiayai, mengelola dan mengendalikan perusahaan Koperasi menunjukkan statusnya sebagai pemilik perusahaan. Posisi anggota yang memanfaatkan sendiri layanan-layanan perusahaan Koperasi menunjukkan statusnya sebagai pelanggan Koperasi. Dengan demikian, ciri khas perusahaan Koperasi terletak pada identitas anggotanya yaitu sebagai pemilik sekaligus sebagai pelanggannya (users own firm, perusahaan yang dimiliki pelanggan). Bila pemilik perusahaan tidak identik sebagai pelanggan maka ia bukan perusahaan Koperasi melainkan perusahaan kapitalistik. Dengan demikian, karakteristik koperasi dapat dijelaskan dan perbedaan-perbedaan intrinsiknya dengan perusahaan kapitalistik menjadi lebih teridentifikasi. DAFTAR PUSTAKA Blumle, Ernst B. 1985. Methods of Measuring Success and Effects in a Cooperative. Quiller Press, London Dubhashi, PR.1970. Principle and Philosophy of Cooperation, Vaikunth Mehta National Institute of Cooperative Management. Poona, India. Dulfer, Eberhard,1994. Evaluation of Cooperative Organizations. Dalam International Handbook of Cooperative Organizations. Vandenhoeck & Ruprecht. Cottingen.