7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Literasi Sains dan Teknologi Istilah literasi sains dan teknologi berasal dari tiga kata yaitu literasi, sains dan teknologi. Secara harfiah literasi berasal dari bahasa Inggris yaitu literacy yang artinya melek huruf atau gerakan pemberantasan buta huruf (Echols dan Shadily, 2005). Sedangkan menurut Rustaman (dalam Purwanti, 2008) literasi diartikan sebagai kemampuan baca-tulis-hitung yakni kemampuan esensial yang diperlukan orang dewasa untuk memberdayakan pribadi, memperoleh dan melaksanakan pekerjaan, serta berpartisipasi dalam kehidupan sosial, kultural dan politik secara lebih luas. Kata sains berasal dari bahasa Inggris yaitu science yang artinya pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dengan menggunakan metode ilmiah. Sains merupakan sekumpulan ilmu-ilmu serumpun yang terdiri atas Biologi, Fisika, Kimia, Geografi dan Astronomi yang berupaya menjelaskan setiap fenomena yang terjadi di alam (Liliasari dalam Purwanti, 2008). Adapun teknologi yang juga berasal dari bahasa Inggris yaitu technology diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan sains dalam rangka membuat perubahan pada alam untuk memudahkan aktivitas manusia. Dengan demikian literasi sains dan teknologi dapat didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains dan penerapannya, mengidentifikasi bukti-bukti 8 dalam rangka memahami serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang terjadi pada alam sebagai akibat aktivitas manusia (Firman, 2007). Seseorang yang literat sains memiliki pengetahuan dan pemahaman konsep fundamental sains, keterampilan melakukan proses penyelidikan sains, serta menerapkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan tersebut dalam berbagai konteks secara luas. Kemampuan menjadi literat sains seperti itu harus sudah dimiliki oleh anak berusia 15 tahun. Artinya anak usia 15 tahun diharapkan mampu memahami pengetahuan sains, memiliki keterampilan proses sains, serta menerapkan pemahaman dan keterampilannya dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini bukan berarti orang dewasa harus lebih banyak menguasai pengetahuan sains melainkan harus mampu berpikir ilmiah dan menerapkannya dalam konteks personal, sosial dan global (Rustaman dalam Purwanti, 2008). Selain itu, Graber (dalam Netwig, 2002) mengemukakan bahwa kompetensi lain yang harus dicapai dalam literasi sains dan teknologi adalah sikap. Hal senada juga disampaikan oleh Poedjiadi (1996) bahwa literasi sains dan teknologi meliputi sikap, apresiasi, minat, estetika, nilai, etika dan sejenisnya yang dikaitkan dengan masalah ekonomi dan budaya masyarakat. Kompetensi-kompetensi tersebut merujuk pada ranah afektif yang dicapai oleh siswa dalam penerapan belajar sebagai indikator yang mencerminkan pemahaman yang telah dimiliki. Hal ini sesuai dengan taksonomi Bloom tentang hasil belajar. 9 B. Pembelajaran Berbasis Literasi Sains dan Teknologi Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pembelajaran didefinisikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Ditinjau dari sudut kegiatan siswa, pembelajaran merupakan pengalaman belajar siswa yaitu kegiatan siswa yang direncanakan oleh guru untuk dialami siswa selama kegiatan belajar mengajar. Hal ini berarti pembelajaran melibatkan interaksi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik. Dalam proses ini tugas guru merupakan fasilitator, dinamisator, mediator, evaluator, instruktor sekaligus manager (Arifin, 2003). Dalam pembelajaran sains, selain harus menimbulkan pengalaman bagi siswa, pembelajaran tersebut juga harus memiliki relevansi dengan kehidupan sehari-hari atau kehidupan bermasyarakat. Relevansi ini harus diketahui oleh siswa sehingga menimbulkan ketertarikan dalam diri siswa tersebut. Hal ini penting dilakukan agar siswa dapat lebih menghargai kimia dan pendidikan kimia. Oleh karena itu pembelajaran sains harus dirancang sedemikian rupa agar mudah dipahami dan benar-benar dirasakan manfaatnya (Holbrook, 2005). Menurut Holbrook (2005), usaha merelevansikan pendidikan kimia antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Cara mengajar harus dipertimbangkan kembali. 2. Relevansi materi subjek yang nyata dengan kehidupan masyarakat secara langsung melibatkan siswa. 3. Struktur pengajaran menunjukkan kepedulian terhadap kehidupan masyarakat sehingga diharapkan pembelajaran akan berdampak lebih baik terhadap para siswa. 4. Struktur materi yang tidak hanya teori saja terutama pada tingkat sekolah. 10 Sebenarnya pemikiran tentang relevansi pembelajaran kimia dengan perkembangan kehidupan masyarakat telah muncul sejak lama. Salah satu gagasan tersebut muncul dengan adanya pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM). Pembelajaran dengan pendekatan STM merupakan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa (Dikdasmen dalam Hadiyanto, 2008). Akan tetapi relevansi pembelajaran dengan pendekatan STM masih menjadi keraguan banyak pihak. Dengan kata lain, untuk meningkatkan dan memastikan relevansi tersebut masih diperlukan sesuatu yang lebih dalam yang berkaitan dengan social link. Untuk itu Holbrook (2005) memberikan suatu gagasan penting terkait dengan usaha pengembangan pelajaran kimia yang relevan dengan proses dan produk yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan tersebut adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang disebut Pembelajaran Berbasis STL. Dalam pembelajaran berbasis STL terdapat dua kemampuan penting yang harus didapatkan oleh siswa yaitu penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan sosial-ilmiah. Kemampuan pertama dilakukan dengan melibatkan siswa secara langsung dalam kegiatan aktif seperti praktikum. Adapun kemampuan kedua siswa diharapkan mampu mengambil keputusan yang bersifat dinamis. Keputusan yang diambilnya dapat berubah sesuai dengan perkembangan waktu 11 dan keadaan serta tujuan yang lebih jauh. Penekanan adanya proses pengambilan keputusan inilah yang membedakan STL dengan STM (Holbrook, 2005). Pada pelaksanaannya, walaupun menggunakan pendekatan sosial, dalam STL pembelajaran konsep tetap sangat ditekankan. Dalam hal ini Holbrook (2005) memberikan kriteria-kriteria dalam pelaksanaan pembelajaran STL: 1. Hasil-hasil yang diharapkan dalam pembelajaran harus mengarah pada tujuan pendidikan. 2. Pembelajaran yang dicapai dapat dirangkum ke dalam peta konsekuensi yang mengarahkan guru mengajar sesuai dengan konsep. Peta konsekuensi ini meliputi nilai-nilai pengajaran untuk pengambilan keputusan sosialilmiah. 3. Pengajaran memajukan konsep sains. 4. Pendekatan mengajar dimulai dari perspektif sosial yang relevan dengan siswa atau kebutuhan sosial. 5. Pembelajaran yang membangun dibentuk oleh pendekatan partisipasi siswa. 6. Para siswa terlibat aktif dalam aktivitas yang berkaitan dengan hasil yang diharapkan. 7. Aktivitas siswa mencakup pemecahan masalah secara ilmiah. 8. Penilaian ditunjukkan dengan peningkatan prestasi. Dalam Chemie im Kontext (Netwig et al., 2002) disebutkan bahwa implementasi pembelajaran kimia berbasis STL haruslah mengacu pada tiga aspek yaitu: 1. Berorientasi pada konteks dan menanamkan proses belajar pada masalah yang otentik. Lingkungan belajar dianggap seperti lingkungan nyata yang benar-benar dirasakan siswa sebagai pembelajaran. Pengetahuan, kompetensi dan isu-isu yang diberikan kepada siswa menjadi sangat relevan dengan kehidupan nyata. 2. Menggunakan metode pembelajaran yang mengembangkan pembelajaran mandiri maupun pembelajaran kooperatif. Rancangan lingkungan belajar 12 seperti kumpulan materi dan persiapan eksperimen disusun agar memungkinkan siswa belajar mandiri sehingga dukungan dan bimbingan guru hanya dilakukan jika diperlukan saja. Diawali dengan situasi nyata, aktivitas siswa dirangsang pada tujuan perluasan pengetahuan dan kompetensi sehingga masalah yang diajukan dapat diselesaikan secara lebih efisien dan siswa merasa puas. Aktivitas seperti ini banyak disajikan dalam bentuk diskusi kelompok-kelompok kecil. Dalam diskusi tersebut siswa dihadapkan pada permasalahan sosial yang akan membantu pengembangan konsep dan penelusuran pemahaman teman sebaya. Dengan demikian peran guru sebagai penghubung pengetahuan berubah menjadi penyedia sumber pengetahuan dan penentu langkah-langkah pembelajaran. 3. Bertujuan pada pengembangan yang sistematis dari sejumlah konsep dasar kimia. Agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks pembelajaran, maka diperlukan dekontekstualisasi yang diambil dari intisari pengetahuan. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan konteks yang berbeda tetapi memerlukan konsep pengetahuan yang sama untuk pemecahannya. Dalam pelaksanaan pembelajaran kimia berbasis STL ada beberapa langkah yang dilakukan. Langkah-langkah pembelajaran berbasis STL yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Making Chemistry Teaching Relevant (Holbrook, 2005) dan Chemie im Kontext (Netwig et al., 2002) adalah sebagai berikut: 13 1. Tahap Kontak (Contact Phase) Pada tahap ini dikemukakan isu-isu yang ada di masyarakat atau menggali peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar siswa serta mengaitkannya dengan materi yang akan dipelajari. Hal ini ditujukan agar siswa menyadari pentingnya memahami materi tersebut. 2. Tahap Kuriositi (Curiosity Phase) Pada tahap ini dikemukakan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya membutuhkan pengetahuan kimia. Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengundang rasa penasaran dan keingintahuan (curiosity) siswa sehingga semakin tertarik untuk mengikuti pembelajaran. 3. Tahap Elaborasi (Elaboration Phase) Pada tahap ini dilakukan penggalian, pembentukan dan penguatan konsep sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Tahap ini bisa dilakukan dengan ceramah bermakna, diskusi dan praktikum, atau gabungan dari ketiganya. 4. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Making Phase) Pada tahap ini siswa diarahkan untuk mengambil keputusan atas masalahmasalah sosial yang diberikan dihubungkan dengan konsep partikel materi. 5. Tahap Pengembangan Konsep (Nexus Phase) Pada tahap ini dilakukan proses pengambilan intisari (konsep dasar) materi yang dipelajari kemudian diaplikasikan pada konteks lain (dekontekstualisasi). Tahap ini dilakukan agar pengetahuan diperoleh lebih aplikatif dan bermakna secara lebih luas. 14 6. Tahap Penilaian (Assessment Phase) Pada tahap ini dilakukan evaluasi secara keseluruhan untuk menilai keberhasilan belajar siswa. Evaluasi dilakukan pada berbagai aspek termasuk aspek-aspek pada ranah afektif. C. Ranah Afektif sebagai Bagian dari Literasi Sains Dalam literasi sains, terdapat berbagai kompetensi dalam setiap domain (pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan nilai) yang saling berhubungan dan saling mendukung dalam mewujudkan literasi sains yang utuh. Rumusan kompetensi dalam literasi sains tersebut dihasilkan berdasarkan diskusi yang dilakukan IPN (Institüt für Pädagogik der Naturwiscenschaft) Universitas Kiel Jerman (Nentwig et al., 2002), seperti dapat dilihat pada Gambar 2.1. Kompetensi etika (aspek nilai dan sikap) yang digambarkan pada Gambar 2.1. merupakan ranah afektif. Ranah ini mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Tipe hasil belajar afektif terlihat pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar dan hubungan sosial. Sekalipun bahan pelajaran berisi ranah kognitif, ranah afektif harus menjadi bagian integral dari bahan tersebut dan harus tampak dalam proses maupun hasil belajar yang dicapai oleh siswa (Depdiknas, 2003). 15 Nilai dan sikap Pengetahuan Kompetensi Mata Pelajaran Kompetensi Epistemologi Kompetensi Etika Literasi Sains Kompetensi Belajar Kompetensi Komunikasi Kompetensi Sosial Keterampilan Gambar 2.1. Model Pembagian Kompetensi dalam Literasi Sains Menurut Popham (dalam Depdiknas, 2003) ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan 16 sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini, tetapi belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik (Depdiknas, 2003). Menurut Depdiknas (2003) terdapat berbagai macam karakteristik afektif. Di antara karakteristik afektif tersebut adalah sikap, minat, kesadaran diri dan kecakapan sosial. Sikap diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep atau orang. Sikap peserta didik setelah mengikuti pembelajaran harus lebih positif dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Adapun minat adalah sesuatu yang terorganisasi melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Kesadaran diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Kesadaran diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, maka bisa dipilih alternatif karir yang tepat bagi diri peserta didik. Selain itu informasi kesadaran diri ini penting bagi sekolah untuk memotivasi belajar peserta didik dengan tepat (Depdiknas, 2003). 17 Kecakapan sosial merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. (communication Kecakapan skill) dan sosial mencakup kecakapan kecakapan bekerjasama berkomunikasi (collaboration skill) (Purwanto, 2006). Sebagai makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat tempat tinggal maupun tempat kerja, peserta didik sangat memerlukan kecakapan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Dalam realitanya, komunikasi lisan ternyata tidak mudah dilakukan. Seringkali orang tidak dapat menerima pendapat lawan bicaranya bukan karena isi atau gagasannya tetapi karena cara penyampaiannya yang kurang berkenan. Dalam hal ini diperlukan kemampuan memilih kata dan cara menyampaikan agar mudah dimengerti oleh lawan bicaranya. Karena komunikasi secara lisan sangat penting, maka perlu ditumbuhkembangkan sejak dini kepada peserta didik. Adapun dalam komunikasi secara tertulis diperlukan kecakapan cara menyampaikan pesan dengan pilihan kalimat, kata-kata, tata bahasa dan aturan lainnya agar mudah dipahami orang atau pembaca lain (Purwanto, 2006). Bekerja dalam kelompok merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari sepanjang manusia hidup. Salah satu hal yang diperlukan untuk bekerja dalam kelompok adalah adanya kerjasama. Kemampuan bekerjasama perlu dikembangkan agar peserta didik terbiasa memecahkan masalah yang sifatnya 18 kompleks. Kerjasama tersebut dimaksudkan untuk saling pengertian dan membantu antarsesama dalam mencapai tujuan yang baik (Purwanto, 2006). Menurut Krathwohl (dalam Depdiknas, 2003) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif. Sebagai contoh, dalam pembelajaran sains ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization dan characterization. 1. Tingkat receiving Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku atau senang bekerjasama. 2. Tingkat responding Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus. 19 3. Tingkat valuing Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. 4. Tingkat organization Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup. 5. Tingkat characterization Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization atau pewatakan nilai. Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi dan sosial. Dalam memilih karakterisitik afektif untuk pengukuran, para pengelola pendidikan harus mempertimbangkan rasional teoritis dan program sekolah. Masalah yang timbul adalah bagaimana ranah afektif akan diukur. Isi dan validitas konstruk ranah afektif tergantung pada definisi operasional yang secara langsung mengikuti definisi konseptual (Depdiknas, 2003). 20 Menurut Andersen (dalam Depdiknas, 2003) ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan atau reaksi psikologi. Namun metode ini mengandung penilaian yang terlalu subyektif dari observer. Akibatnya penilaian terhadap seseorang dapat memiliki hasil yang berbeda karena observernya berbeda. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri. Menurut Lewin (dalam Depdiknas, 2003), perilaku seseorang merupakan fungsi dari watak (kognitif, afektif dan psikomotor) dan karakteristik lingkungan saat perilaku atau perbuatan ditampilkan. Jadi tindakan atau perbuatan seseorang ditentukan oleh watak dirinya dan kondisi lingkungan. D. Konsep dan Konteks pada Materi Pokok Partikel Materi 1. Konsep Partikel Materi (Atom, Molekul dan Ion) Semua materi tersusun dari bagian yang paling kecil yang disebut partikel. Pensil, buku, kursi, rambut dan sebagainya tersusun atas partikel. Partikel ini berukuran sangat kecil, sehingga tidak memungkinkan untuk dipegang atau dilihat secara langsung. Meskipun demikian, dengan menggunakan mikroskop elektron kumpulan partikel dapat dilihat (Tim Penulis, 2006). 21 Gambar 2.2. berikut ini adalah gambar sebuah jarum. Jika dilihat menggunakan mikroskop elektron dengan pembesaran 130 kali, jarum tersebut akan terlihat seperti gambar yang di tengah. Dengan pembesaran 60.000 kali jarum akan terlihat gambar sebelah kanan yang memperlihatkan bagaimana jarum tersusun dari kumpulan partikel. (Tim Penulis, 2006) Gambar 2.2. Jarum dan Benang Partikel dan jarak antarpartikel memiliki ukuran yang sangat kecil. Akibatnya keberadaan partikel beserta ruang-ruang antarpartikel tersebut tidak bisa dilihat secara kasat mata. Dalam keadaan padat, suatu materi tersusun oleh partikel-partikel yang susunannya teratur dan masing-masing tetap berada pada tempatnya. Dalam wujud cair, partikel-partikel suatu materi tersusun tidak beraturan dan ikatan antarpartikel tersebut lemah sehingga tiap partikel bisa berpindah tempat. Dalam wujud gas, suatu materi tersusun atas partikelpartikel yang susunannya tidak teratur dan dapat bergerak bebas karena tidak ada ikatan antarpartikelnya. Dalam setiap wujud, antarpartikel penyusun materi dipisahkan oleh ruang hampa (vakum). Sebagai gambaran, pada Gambar 2.3. ditunjukkan model partikel materi dalam wujud gas, padat dan cair (Tim Penulis, 2006). 22 Gambar 2.3. Model Partikel Materi dalam Wujud Gas, Padat, dan Cair Partikel terkecil penyusun materi ini dapat berupa atom, molekul, atau ion. Contohnya adalah emas, air, dan garam dapur. Emas tersusun atas atomatom emas maka atom-atom emas adalah partikel karena merupakan bagian terkecil dari materi emas. Air tersusun atas molekul-molekul air maka molekul air adalah partikel. Garam dapur tersusun atas ion-ion natrium dan ion-ion klorida maka ion natrium dan ion klorida adalah partikel (Sunarya, 2005). a. Atom Apa yang terjadi jika sepotong besi dibentuk menjadi pisau, parang dan peralatan lainnya? Agar mudah dibentuk, partikel penyusun unsur besi yang teratur susunannya dalam wujud padat harus dipanaskan terlebih dahulu agar partikel-partikel tersebut menjadi relatif tidak beraturan dan ikatan antarsesamanya lemah sehingga tiap partikel bisa berpindah tempat. Dalam keadaan demikian maka besi menjadi lebih mudah dibentuk menjadi sesuatu yang diinginkan. Partikel terkecil penyusun besi dinamakan atom besi. Jadi unsur besi tersusun dari atom-atom besi (Tim Penulis, 2006). 23 Pemikiran tentang struktur materi telah berkembang di kalangan pakar filsafat sejak zaman Yunani kuno. Pemikiran tersebut bertolak dari masalah pembelahan materi. Jika suatu materi dipecah-pecah sampai halus, maka apabila pemecahan dilanjutkan lagi secara terus menerus menimbulkan dua pendapat yang berbeda. Aristoteles (384-332 SM) berpendapat bahwa materi bersifat sinambung, artinya materi dapat dibelah sampai tak hingga. Sedangkan Democritus (400-370 SM) berpendapat bahwa pembelahan materi bersifat tidak sinambung, artinya jika pembelahan terus dilakukan maka akan sampai pada suatu bagian yang tidak bisa dibelah lagi yang dinamakan atom (Sunarya, 2005). Secara sederhana atom dapat didefinisikan sebagai bagian terkecil dari suatu unsur yang tidak dapat dipecah lagi dengan cara kimia biasa melainkan harus menggunakan reaksi inti (nuclear). Setiap unsur memiliki jenis atom yang berbeda dengan atom unsur lain. Beberapa materi yang tersusun atas atom-atom sejenis di antaranya emas, tembaga, perak, aluminium, besi, raksa, gas helium, dan gas kripton. Pada umumnya logam-logam yang terdapat di alam bebas tersusun atas atom-atomnya (Subandi, 2005). Atom-atom berukuran sangat kecil. Setiap atom memiliki diameter sekitar 0,1 nanometer atau 0,1 x 10-9 meter. Jumlah atom yang terdapat pada kepala jarum adalah sekitar 1.000.000.000.000.000 atau 1015 atom. Kita tidak dapat melihat secara langsung atom-atom ini, tetapi dengan mikroskop elektron gambaran kasar atom-atom ini dapat dilihat. Gambaran kasar atom 24 hasil pengamatan dengan mikroskop elektron dapat dilihat pada Gambar 2.4. (Tim Penulis, 2006). Gambar 2.4. Permukaan Kristal Silikon Tonjolan-tonjolan yang tampak pada Gambar 2.4. diyakini merupakan atom-atom dari unsur silikon yang diamati dengan menggunakan mikroskop elektron (Tim Penulis, 2006). b. Molekul Molekul adalah gabungan dua atom atau lebih yang berasal dari unsur yang sama atau dengan unsur yang berbeda jenis. Atom-atom dapat bergabung dengan atom unsur sejenis ataupun dengan unsur dari jenis lain membentuk suatu molekul dalam komposisi yang sederhana. Unsur-unsur yang berada di alam dalam keadaan bebas pada umumnya berbentuk molekul (Sunarya, 2005). Gambar 2.5. merupakan salah satu gambaran kasar bentuk molekul. Gambar tersebut adalah gambar molekul tembaga pthalosianin yang diamati dengan menggunakan mikroskop elektron (Tim Penulis, 2006). 25 Gambar 2.5. Molekul Tembaga Pthalosianin Melalui Mikroskop Elektron Ada dua jenis molekul yaitu molekul unsur dan molekul senyawa. Molekul unsur adalah gabungan atom-atom dari unsur sejenis. Contohnya adalah gas hidrogen (H2), oksigen (O2) dan Ozon (O3). Sedangkan molekul senyawa adalah gabungan dari atom-atom dari unsur yang berbeda jenis. Contohnya adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan air (H2O). Gambar 2.6. merupakan model molekul unsur (oksigen dan hidrogen) dan molekul senyawa (air) (Tim Penulis, 2006). Gambar 2.6. Model Molekul Hidrogen dan Oksigen (Kiri) serta Air (Kanan) Atom-atom atau molekul-molekul dapat bergerak secara acak dalam suatu medium. Gerakan tersebut disebut difusi. Difusi atom atau molekul 26 dipengaruhi oleh konsentrasi, semakin tinggi konsentrasinya maka kecepatan relatif difusinya semakin kecil. c. Ion Selain atom dan molekul, terdapat sebagian materi yang tersusun atas ion-ion. Ion adalah atom atau gugus atom yang bermuatan listrik. Ion bermuatan positif dinamakan kation sedangkan ion bermuatan negatif dinamakan anion. Suatu senyawa ion akan memiliki jumlah muatan positif dan negatif sama dan saling bergantian membentuk suatu makromolekul atau struktur raksasa. Dengan demikian senyawa ion tersebut bermuatan netral (Sunarya, 2005). Suatu senyawa yang tersusun atas kation dan anion dinamakan senyawa ion. Salah satu contoh senyawa ionik adalah garam dapur atau NaCl seperti pada Gambar 2.7. Garam dapur tersusun atas ion-ion Na+ dan ion-ion Cl-. Jika garam dapur dilarutkan dalam air maka akan terurai menjadi ion-ionnya. Gambar 2.7. Garam Dapur Salah Satu Contoh Senyawa Ionik Adanya ion dalam suatu larutan menyebabkan larutan tersebut dapat menghantarkan arus listrik. Adanya ion dalam suatu larutan dapat dilihat 27 dengan alat uji elektrolit seperti pada Gambar 2.8. Jika lampu pada alat uji elektrolit dapat menyala dan atau menghasilkan gelembung gas menunjukkan dalam larutan tersebut terdapat ion-ion. Jika natrium klorida dilarutkan dalam air akan terurai menjadi ion positif (ion natrium) dan ion negatif (ion klorida) (Tim Penulis, 2006). Keterangan: 1. Batere 2. Kabel 3. Lampu 4. Batang Karbon 5. Batang Karbon 6. Larutan Uji 7. Gelas Kimia Gambar 2.8. Alat Uji Elektrolit 2. Konteks Pewarna Makanan dan Pewangi a. Pewarna Makanan Dalam kehidupan sehari-hari banyak ditemukan makanan atau minuman yang dibuat dari bahan pokok yang sama tetapi memiliki banyak perbedaan. Salah satu perbedaan tersebut adalah warnanya. Sebagai contoh, berbagai macam kue dari bahan pokok yang sama ternyata dapat dibuat dengan warna yang bervariasi. Pemberian warna pada makanan atau minuman umumnya bertujuan agar makanan atau minuman tersebut terlihat segar dan lebih menarik (Subandi, 2005). 28 Bila ditinjau dari asalnya pewarna makanan digolongkan menjadi tiga yaitu pewarna alami, identik dengan pewarna alami dan pewarna sintetik. Pewarna alami merupakan pewarna yang diperoleh dari bahan-bahan alami baik nabati, hewani, ataupun mineral. Pewarna alami yang banyak dikenal masyarakat misalnya daun suji untuk memberikan warna hijau seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.9., kunyit untuk warna kuning, daun jati atau cabai untuk warna merah, dan gula merah untuk warna coklat. Zat pewarna alami lebih aman digunakan dibandingkan dengan pewarna sintetik (Tim Penulis, 2006). Gambar 2.9. Contoh Pewarna Alami (Daun Suji) Penggunaan pewarna alami relatif terbatas karena beberapa kekurangan antara lain: 1) Sering terkesan memberikan rasa khas yang tidak diinginkan, misalnya kunyit. 2) Konsentrasi pigmennya rendah sehingga memerlukan bahan baku relatif banyak. 29 3) Stabilitas pigmennya rendah (umumnya hanya stabil pada tingkat keasaman tertentu). 4) Keseragaman warnanya kurang baik. Pewarna identik alami adalah pigmen yang dibuat secara sintetik tetapi struktur kimianya mirip dengan pewarna alami. Contohnya, santoxantin (merah), apokaroten (merah-orange), orange), dan beta karoten (orange sampai kuning). Penggunaan pewarna identik alami hanya boleh digunakan dalam konsentrasi tertentu, kecuali beta karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas (Tim Penulis, 2006). Adapun pun pewarna sintetik untuk makanan penggunaannya harus melalui pengujian yang ketat demi keselamatan konsumen. Pewarna yang telah melewati pengujian-pengujian pengujian pengujian tersebut dan diijinkan pemakaiannya untuk makanan dinamakan permited colour atau certified coloredd (Tim Penulis, 2006).. Salah satu contoh pewarna sintetik ditunjukkan pada Gambar 2.10. Gambar 2.10. Pewarna Sintetik untuk Makanan Berdasarkan rumus kimianya zat warna sintetis dalam makanan menurut “Joint Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives” Additives” (JECFA) dapat 30 digolongkan dalam beberapa kelas yaitu azo, triarilmetana, quinolin, xanten, dan indigoid. Kelas azo merupakan zat warna sintetis yang paling banyak jenisnya dan mencakup warna kuning, merah, ungu dan coklat. Sedangkan kelas triarilmetana mencakup warna biru dan hijau (Tim Penulis, 2006). Penggunaan pewarna sintetik sudah begitu luas di masyarakat. Sampai sekarang, diperkirakan hampir 90% pewarna yang beredar dan sering digunakan adalah pewarna sintetik. Beberapa kelebihan pewarna sintetik antara lain warnanya seragam, tajam, mengembalikan warna asli yang mungkin hilang selama proses pengolahan, melindungi zat-zat vitamin yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan dan hanya diperlukan dalam jumlah sedikit (Tim Penulis, 2006). Seiring dengan meluasnya pemakaian pewarna sintetik, sering terjadi penyalahgunaan pewarna pada makanan. Contohnya adalah penggunaan pewarna tekstil untuk makanan sehingga membahayakan konsumen. Zat pewarna tekstil dan pewarna cat biasanya mengandung logam berat, seperti arsen, timbal dan raksa sehingga bersifat racun. Di Indonesia, terutama industri kecil dan rumah tangga, masih sering terjadi adanya penggunaan pewarna nonmakanan untuk mewarnai makanan atau minuman (Subandi, 2005). Di Indonesia peraturan peggunaan zat pewarna sintetik baru dibuat pada tanggal 22 Oktober 1973 melalui SK Menkes RI No. 11332/A/SK/73, sedangkan di Amerika Serikat aturan pemakaian pewarna sintetis sudah dikeluarkan sejak tahun 1906. Peraturan ini dikenal dengan Food and Drug 31 Act (FDA) yang mengizinkan penggunaan tujuh macam zat pewarna sintetis, yaitu Orange No. 1, erythrosin, Ponceau 3R, amaranth, indigotine, naptholyellow dan light green (Tim Penulis, 2006). b. Pewangi Pewangi atau parfum adalah campuran berbagai macam fragnance (wewangian) yang mudah menguap dan memiliki wangi tertentu. Bahan kimia pewangi sering ditambahkan ke dalam berbagai produk seperti sabun, detergen, sampo, softener serta pengharum tubuh maupun ruangan. Komposisi zat-zat di dalam pewangi adalah etil alkohol (50-90)%, air suling (5-20)% dan fragnance (10-30)% (Tim Penulis, 2006). Pada Gambar 2.10. ditunjukkan beberapa contoh pewangi yang sering digunakan. Gambar 2.11. Beberapa Contoh Pewangi Bahan kimia yang digunakan sebagai pewangi biasanya tidak tunggal tetapi merupakan pencampuran beberapa macam fragnance dengan komposisi 32 tertentu. Akan tetapi biasanya perusahaan tidak menyebutkan komposisi fragnance karena dianggap sebagai rahasia perusahaan. Adanya pencampuran berbagai bahan kimia fragnance serta pencampuran beberapa jenis fragnance dengan kompoisi tertentu menimbulkan berbagai macam aroma yang lebih variatif. Contoh bahan kimia yang dapat dicampurkan untuk menghasilkan bau tertentu dapat dilihat pada Tabel 2.1. (Tim Penulis, 2006). Tabel 2.1. Contoh Spesifikasi Bau dan Bahan Pewangi Sfesifikasi Bau Nama Zat Kimia floral, jasmine Amil salisilat herbaceous Amilsinamat aldehid rocy, citrus Sitronelol musk, sweet Galaksolida rose Geraniol pine needle Sobornil asetat murbai Butil asetat pisang ambon Amil asetat jeruk Oktil asetat arbei Etil butirat apel Amil valerat minyak gandapura Metil salisilat