Designfreebies free InDesign newsletter

advertisement
PRODUK
ANSIS
®
(analisis situasi)
JA RIN GA N S URV E I I NI SI ATI F
kenapa bulan bintang masih
diperdebatkan dan siapa yang
memerlukannya?
3rd Edition
Desember 2015
DAFTAR ISI
1
PROLOGUE
4
KENAPA BULAN BINTANG
BENDERA ACEH
PERDEBATAN HUKUM DAN POLITIK IDENTITAS
5
DIPERDEBATKAN?
RESPON JAKARTA: POLITIK DI
ATAS HUKUM
6
EPILOGUE
JARINGAN SURVEI INISIATIF
PROLoGUE
S
alah satu konsesi politik dalam perjanjian damai antara
Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Garakan Aceh
Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finland
adalah diberikan kewenangan kepada Aceh untuk memiliki
bendera sendiri. Hal ini sebagaimana ditulis dalam point 1.1.5.
MoU Helsinki yang menyebutkan:
“Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol
wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.”
Disatu sisi, klausul pernjanjian ini dianggap sebagai “kemenangan
bagi” Aceh khususnya bagi delegasi GAM karena bendera, simbol dan
hymne merupakan bagian penting dalam politik identitas dan kekuasaan. Disisi lain, klausul yang ditulis dalam perjanjian tersebut bersifat
umum, politis, dan dapat menimbulkan berbagai tafsir tentang bentuk
dan modelnya. Selain itu, ketentuan dalam MoU merupakan suatu perjanjian politik yang harus diterjemahkan dalam bahasa hukum. Sayangnya, delegasi GAM menyerahkan kepada RI secara absolut untuk
merumuskan butir-butir MoU menjadi UU yang kemudian diterapkan
di propinsi Aceh.
ANSIS JSI Vol. III - Desember 2015
HEAD OFFICE
Jl. Syiah Kuala, Lr. Nyak Bintang,
Gp. Lamdingin, Kec. Kuta Alam,
Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh-23127
INDONESIA
Telp. (0651) 6303 146
Web: www.jsithopi.org
Email: [email protected]
EDITORIAL STAFF
EDITOR IN CHIEF
Aryos Nivada
WRITERS
Chairul Fahmi
LAY OUT & Cover
Teuku Harist Muzani
SENIOR EXPERT
ANDI AHMAD YANI, CAROLINE PASKARINA,
ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI,
MONALISA, AFFAN RAMLI
FAHRUL RIZA YUSUF
1
“.....Bagi kelompok mantan GAM, bendera ‘bulan
bintang’ merupakan identitas perjuangan
sekaligus identitas politik..”
Dalam kaitannya dengan point terkait bendera,
UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA) memasukkannya dalam aturan hukum.
Pada pasal 246 ayat (2), menyebutkan :
“selain bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan
dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.”
Namun demikian, kata keistimewaan dan kekhususan yang dimaksud disini dipahami bukanlah
sebagai bendera kedaulatan, seperti halnya bendera
merah putih.
raja Aceh terakhir ditangkap Belanda serta seluruh
keturunannya “dihilangkan”, lalu proses nasionalisasi oleh Soekarno setelah kekalahan DI/TII, dan
terakhir melalui penundukan diri secara politik dan
hukum dalam sebuah perundingan damai di Helsinki Finland antara delegasi RI dengan GAM.Namun
pemerintah Jakarta tetap menganggap GAM adalah
separatis, beserta dengan segala simbol dan lambang
yang pernah digunakannya. Hal ini seperti dinyatakan dalam PP No.77 Tahun 2007 tentang bendera
dan lambang daerah, menyebutkan:
(a).“Desain logo dan bendera daerah tidak boleh
mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan desain logo dan bendera
organisasi terlarang atau organisasi/perkumpuHal ini ditegaskan pada ayat (3) UUPA, bahwa:
lan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara
“Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimaKesatuan Republik Indonesia.
na dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol
kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera
(b).“Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera
kedaulatan di Aceh.”
organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan
Menurut J.H.A Logemann, seperti dikutip oleh C.ST.
ini misalnya logo dan Bendera Bulan Sabit yang
Kansil (2000) mendefinisikan kedaulatan (negara)
digunakan oleh gerakan separatis di Provinsebagai kekuasaan mutlak atau kekuasaan tertinggi
si Aceh, logo burung Mambruk dan Bintang
atas penduduk dan wilayah bumi beserta isinya yang
Kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di
dipunyai oleh suatu sistem negara nasional yang berProvinsi Papua, serta Bendera Benang Raja yang
daulat. Dalam konteks negara, kedaulatan merupadigunakan oleh gerakan separatis di Provinsi
kan suatu kewenangan penuh untuk mengelola dan
Maluku.”
mengatur wilayahnya tanpa adanya campur tangan
dari negara lain. Jika merujuk kepada definisi di atas, Pasal yang digunakan dalam PP No.77 Tahun 2007
dapat dipahami bahwa Aceh bukan merupakan ben- tersebut menunjukkan suatu ‘prejudice’ bahasa
dera ‘kedaulatan’ karena memang Aceh sudah tidak
hukum yang biasanya digunakan oleh militer dalam
berdaulat lagi secara ‘kenegaraan’ baik secara defacto operasi militer di Aceh dalam menempatkan GAM
maupun de jure. Keruntuhan kedaulatan Aceh sejak dan segala simbolnya.
2
ANSIS JSI Vol. III - Desember 2015
Padahal GAM merupakan para pihak yang menandatangi perjanjian dengan RI dalam skala internasional. Yusuf Qardhawi (2014) menyebutkan bahwa
perjanjian MoU Helsinki merupakan salah satu
bentuk pernjanjian internasional sesuai dengan konvensi Viene 1969, dan sepatutnya para pihak harus
menghormati satu sama lain.
Sebagai para pihak dalam penandatanganan sebuah
perjanjian, asas kesetaraan dan kedudukan yang
sama merupakan prinsip yang seharusnya dijadikan
sebagai dasar utama.
Kenyataannya, paska MoU Helsinki ditanda tangani,
prinsip-prinsip tersebut menjadi hilang. Penulis
melihat, perjanjian damai antara GAM dan RI tidak
diakui sebagai perjanjian internasional oleh RI,
melainkan sebagai proses aquisisi atau penundukan
oleh pemerintah RI terhadap GAM secara soft power dan dengan tanpa adanya konpensasi apapun.
Proses penundukan ini terlihat pada poin 4.2. MoU
Helsinki yang menyebutkan: “GAM melakukan
demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya.
Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan embel atau simbol militer setelah
penandatanganan Nota Kesepahaman ini.”
Disinilah pemerintah RI mendefinisikan bahwa
militer GAM beserta dengan segala simbol dilarang
untuk digunakan, termasuk bendera bulan bintang
selamanya paska MoU ditanda-tangani. Namun
Abdul Gani (2015) dalam artikelnya “Qanun Aceh:
Berakhir Bahagia atau Kecewa?” menyatakan bahwa
jika yang dilarang itu adalah militer GAM, maka
sepatutnya sipil dan rakyat Aceh tidak ada larangan
untuk menggunakan bendera tersebut.
Terlepas dari segala tafsiran butir-butir MoU,
kekuasaan dan kekuatan politik pusatlah yang menentukan boleh – tidaknya penggunaan simbol dan
lambang tersebut. Kekuasaan terhadap MoU hanya
ada pada satu pihak, karena pihak kedua yaitu GAM
sudah “melikuidasi” dirinya, dan kemudian melakukan transformasi menjadi Partai Aceh (PA), sebelum
kemudian terpecah dua dengan berdirinya Partai
Nasional Aceh (PNA).
“Permainannya” kemudian bukan lagi pada mempertanyakan kedudukan para pihak dalam perjanjian MoU Helsinki, (RI dan GAM). Kerena setelah
GAM “dihilangkan” dalam proses ‘aquisisi’ politik di
Finlandia, dan petinggi GAM melikuidasi posisinya
dalam posisi politik di tingkat lokal, yaitu Gubernur,
Bupati/Walikota, DPRA/DPRK.
Permainan baru ini merupakan bagian dari proses
aktualisasi “self government”. Sebuah term yang
pernah dibanggakan oleh delegasi GAM untuk tidak
menyebut – Aceh sebagai propinsi -. Sebuah permainan politik baru paska MoU, dalam bahasa lain,
perebutan kekuasaan ditingkat lokal. Aceh ibarat
“anak perusahaan” republik dimana para pihak
memperebutkan posisi direktur president, direktur,
manajer, dsb.
“.....Terlepas dari segala tafsiran butir-butir MoU, kekuasaan
dan kekuatan politik pusatlah yang menentukan boleh –
tidaknya penggunaan simbol dan lambang tersebut. ..”
ANSIS JSI Vol. III - Desember 2015
3
Kenapa Bulan Bintang
diperdebatkan ?
Pertanyaan di atas kembali muncul, kepada
bulan bintang masih diperdebatkan dan
siapa yang memerlukannya? Apakah bendera
tersebut milik Aceh atau milik GAM? Apakah
Aceh adalah GAM dan GAM Adalah Aceh?
Sejumlah pertanyaan terus bermunculan terkait
dengan bulan bintang. – Ketika konflik masih terjadi,
TNI/Polri sering mengatakan bahwa Aceh adalah
GAM, dan GAM adalah Aceh. Sebuah stereotype
yang kemudian membuat orang Aceh semuanya
harus discreening dan wajib memiliki KTP Merah
Putih. – Sekali lagi, Aceh dipaksa dengan simbolsimbol karena kecurigaan yang berlebihan.
Bencana tersebut mendorong kedua belah pihak
untuk mengakhiri perang. Didukung oleh Uni Eropa
dan difasilitasi oleh Crisis Management Initiative
(CMI) pimpinan Marti Ahtiisari, terjadilah perjanjian
damai di Helsinki.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kedua belah
pihak merupakan para pihak yang menandatangani
sebuah perjanjian di level “internasional”. Dalam
perjanjian ini GAM menyatakan tidak lagi menuntut
kemerdekaan, dan RI menyatakan memberikan status
istimewa bagi Aceh, yaitu otonomi khusus.
Disisi lain, GAM melakukan demolisasi serta
mentrasformasi gerakan bersenjata menjadi gerakan
politik. Sebagai organisasi politik, penggunaan simbol
Sebaliknya, bagi sebagian orang Aceh – secara dan lambang menjadi sangat penting untuk menjadi
territorial- mereka mengatakan bahwa mereka ‘trend mark’ bagi pemilih. Partai yang didirikan oleh
bukanlah GAM. – Begitupun, tidak semua anggota mantan elit GAM dinamai dengan Partai GAM.
GAM beretnis Aceh. Mereka ada yang beretnis Gayo, Sayangnya RI menolak penamaan partai GAM dalam
Alas, Jamee, Devayan, Cina, dll.
proses verifikasi tahun 2009. Lalu berubah menjadi
partai Aceh dengan bendera yang pernah digunakan
Kecurigaan terhadap rakyat Aceh dimasa lalu tidak oleh GAM. Sekali lagi, RI menolak penggunaan
saja bagi mereka yang tidak memiliki KTP Merah bendera GAM oleh PA.
Putih, tapi juga mereka yang tidak bisa berbahasa
Indonesia, - padahal di Jawa banyak yang tidak bisa PA mengalah, dan mengubah beberapa ornament
berbahasa Indonesia – atau mereka yang memiliki berndera GAM, yaitu dengan menghilangkan ‘bulan
mata uang ringgit, dan bahkan terhadap kendaraan bintang’ dan digantikan dengan kata ‘Partai Aceh’.
mereka yang ber-plat BL jika memasuki wilayah Pemilu 2009 dimenangkan oleh PA, dan menjadi
Sumatera Utara.
penguasa suara mayoritas di parlemen Aceh, serta
beberapa kabupaten/kota.
Lalu, kenapa bulan bintang menjadi persoalan kembali
paska perjanjian damai? Persoalannya muncul, ketika Persoalan bendera kembali muncul, Gubernur Irwandi
mantan elit dan kombatan GAM masih memiliki didesak untuk mengesahkan bendera, lambang dan
‘post power syndrom’ terhadap kehebatan perjuangan hymne Aceh oleh elit PA lainnya. Namun selama
masa lalu dengan segala simbolnya.
pemerintahan Irwandi Yusuf (2006 – 2012) persoalan
bendera Aceh tak kunjung di sahkan. Irwandi
Harus diakui bahwa GAM merupakan representasi dianggap tidak memperjuangkan amanah MoU dan
perlawanan terhadap tirani Jakarta. Bahkan pada era UUPA dalam hal bendera, sehingga pada pemilukada
2000an GAM mencapai puncak kehebatannya, di 2012, Irwandi dikeluarkan dari keanggotaan Partai
bawah panglima Tgk. Abdullah Sjafii. Pertempuran Aceh – kemudian memilih jalur Independen.
antara TNI/Polri dan GAM terjadi hampir setiap hari,
dan sebagian rakyat begitu bangga dengan gerakan Tahun 2013 lalu, Gubernur Aceh periode 2012- 2019,
tersebut. Aceh menjadi trens topic dalam satu decade Zaini Abdullah menetapkan Qanun No.3 Tahuhn
sebelum dihancurkan oleh bencana gempa – tsunami 2013 setelah sebelumnya disahkan oleh DPRA
26 Desember 2004.
sebagai Qanun Aceh, dimana dalam Qanun tersebut,
mengadopsi bendera yang pernah digunakan oleh
4
ANSIS JSI Vol. III - Desember 2015
GAM sebagai bendera Aceh. Bagi kelompok mantan GAM, bendera ‘bulan bintang’ merupakan identitas
perjuangan dan sekaligus identitas politik yang harus disahkan, karena merupakan amanah MoU Helsinki dan
UUPA. – dalam pemilu legislatif (pileg) 2009, pemilukada 2012, serta pileg 2014 lalu, PA mengklaim sebagai
pihak yang ‘berhak’ menyandang ‘predikat’ pejuang MoU dan UUPA.
Pengesahan qanun bendera ‘bulan bintang’ sebagai bendera Aceh juga dianggap sebagai ‘the last gun’, meminjam istilah Abu Usman, pejuang senior GAM yang ditembak mati oleh TNI – bagi PA untuk tidak
menghilangkan sejarah perjuangannya, serta modal ‘identitas’ bagi pemilu 2019 mendatang.
Namun bagi pemerintah pusat, pengesahan qanun ‘bulan bintang’ sebagai bendera Aceh seperti mengalami
‘post traumatic stress disorder (PTSD), sebuah istilah yang biasa digunakan dalam dunia medis, karena bendera
‘bulan bintang’ menjadi nightmare bagi NKRI – sebagai siapapun yang pernah menggunakan bendera tersebut
pada masa konflik dicap sebagai ‘separatis’, dan hukumannya dipenjara, disiksa atau ditembak mati.
Respon Jakarta:
Politik di atas Hukum
Lalu bagaimana Jakarta merespon
Qanun tersebut? Dibatalkan atau
dimumikan? Kenyataaan tidak dibatalkan melainkan “dimumikan”,
atau dimati surikan.
Padahal secara UU, sebagaimana di atur dalam UU
No.32 Tahun 2004 Jo UU No.12 Tahun 2008 tentang
Pemerintah Dearah yang mejadi dasar PP No.77
Tahun 2007, jika pemerintah pusat tidak menyetujui
terhadap suatu perda/qanun dapat membatalkannya
melalui keputusan presiden (kepres).
Pasal 145 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan ada
dua alasan pembatalan sebuah perda/Qanun, yaitu
(1) bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, dan
(2) bertentangan dengan kepentingan umum.
Dalam kasus bendera ‘bulan bintang’ Jakarta beralasan, bahwa qanun tersebut bertentangan dengan PP
No.77 Tahun 2007,
ANSIS JSI Vol. III - Desember 2015
karena ‘bulan bintang’ dianggap separatis. Padahal
ketika PP tersebut disahkan, tanpa dilakukan konsultasi dengan pemerintahan Aceh. Disisi lain, Aceh
mempunyai UU No.11 Tahun 2006 yang bersifat ‘lex
spesialis’, sehingga tidak tunduk di bawah UU No.32
Tahun 2004 yang bersifat ‘lex generalis’.
Namun sekali lagi, persoalannya bukan hukum,
melainkan politik. Jika pun merujuk ke hukum,
seharusnya pemerintah pusat membatalkan qanun
tersebut jika memang dianggap ‘bertentangan dengan PP.
Sebagaimana disebutkan pada ayat (2) pasal
145 UU No.32 Tahun 2004, “Peraturan Dearah yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan
oleh Pemerintah”.
5
Proses pembatalan ini harus mengikuti pasal (3)
yang menyebutkan:
“Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60
(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”
Kenyataannya, dalam kasus qanun bendera Aceh,
pemerintah pusat tidak membatalkan qanun tersebut setelah melewati 60 hari sebagaimana ditetapkan
dalam UU No.32 Tahun 2004. Maka secara formil
dan materil Qanun No.3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh sudah sah berlaku dan dapat
dilaksanakan.
Hal ini sebagaimana diatur dalam ayat (7)
UU No.23 Tahun 2004 yang berbunyi: “Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda
dimaksud dinyatakan berlaku”.
Apakah mekanisme hukum ini dilalui oleh pemerintah pusat? Kenyataannya tidak. Jakarta tidak menyelesaikan kasus bendera ‘bulan bintang’ dengan
mekanisme hukum yang telah ditetapkannya sendiri,
melainkan dengan mekanisme intervensi politik.
Jakarta melakukan pendekatan politik dengan sandi
“cooling down”. Sebuah upaya politik Jakarta untuk meredam pengibaran ‘bulan bintang’ sebagai
bendera daerah otonomi khusus Aceh. Pelaksanaan ‘cooling down’ juga disertai dengan instrument
pengerahan TNI/Polri untuk memastikan tidak ada
kelompok-kelompok di Aceh yang berani menjalankan qanun tersebut.
Disisi lain, ‘bintang bulan’ juga memicu pemecahan
teroritorial Aceh sebagai propinsi. Beberapa kelompok politik di Aceh bagian tengah memproklamirkan
propinsi Aceh Leuser Antara (ALA), begitu juga
bagian barat – selatan memperkenalkan propinsi
Aceh Barat Selatan (ABaS). Kedua isu ini akan selalu
muncul ketika menjelang pemilu maupun saat isu
bendera ‘bulan bintang’ dikembangkan.
epilogue
Aceh merupakan satu wilayah yang unik, heroic, kadang juga ironic. Keunikannya terlihat dari cara
masyarakatnya berfikir atau berzikir – kadang zikir dipahami cara mendekatkan diri dengan Tuhan.
Disisi lain, zikir juga diasumsikan sebaga relasi dengan kekuasaan politik. Dalam berpolitik pun demikian, kadang sulit menebak arah dan arus yang mengalir. Sebagian menyebutnya ‘anomali’. Kasus
‘bulan bintang’ adalah anomaly politik dan hukum. Saat hukum dinyatakan sudah sah untuk diberlakukan, namun secara politik menjadi tidak sah untuk dilaksanakan.
Membenarkan secara politik itu tidak sah kadang tidak jarang diberangi dengan ‘kekuatan’ secara
fisik. TNI/Polri sebagai simbol “kekuatan” negara menjadi bagian terdepan untuk mencegah agar
‘bulan bintang itu tidak berkibar. Bagi rakyat kecil, seperti saya, berkibar atau tidak, bulan bintang
tidak menjadi sesuatu yang penting, karena kesejahteraan dan kedamaian jauh lebih penting dari
sebuah simbol.
Namun Jakarta juga tidak perlu lagi banyak curiga dan praduga, biarkan damai mengalir, dan berikan kebebasan bagi Aceh untuk mengubah wajah politiknya menjadi lebih santun berdasarkan
hukum yang berkeadilan. Jakarta harus kembali mengigat satu filosofis yang berbunyi: “Fiat Justitia
Ruat Coelum.[]
****
6
ANSIS JSI Vol. III - Desember 2015
Download