SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN BIAS GENDER DALAM BAHASA ( ANALISIS TEKSTUAL TERHADAP FALSAFAH DAN AJARAN JAWA) Netty Dyah Kurniasari Prodi Ilmu Komunikasi, FISIB, Universitas Trunojoyo Madura Abstrak Gender adalah konstruksi masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan bertindak. Sejatinya gender tidak menjadi masalah, namun yang menjadi permasalahan adalah jika konstruksi gender tersebut menyebabkan bias gender. Bahasa, merupakan salah satu media yang ikut melanggengkan bias gender tersebut. Penelitian ini ingin mengungkap bias gender dalam peribahasa, falsasah hidup orang Jawa. Metode yang dipakai adalah tekstual analisis terhadap teks,moto, falsafah hidup orang Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar istilah dan ajaran Jawa sangat bias gender terhadap perempuan.Perempuan tidak hanya diposisikan memiliki sifat feminine tapi lebih dari itu yaitu adanya stereotype, marginalisasi dan subordinasi. Kata Kunci : Falsafah, Bias Gender, Jawa A. Pendahuluan Dalam masyarakat kita, seringkali beredar pemahaman yang salah dan keliru tentang perbedaan antara kodrat dan gender.Dalam perbincangan, sering kita temui pernyataan yang mengatakan bahwa kodrat perempuan adalah di dapur, di kasur dan di sumur, kodrat perempuan adalah mendidik anak, menjadi ibu rumah tangga yang baik dan melayani suami.Sebaliknya kodrat suami adalah mencari nafkah, kepala rumah tangga, dan pengambil keputusan. Beberapa pemahaman tersebut tumbuh subur dan sampai sekarang masih berlanjut. Padahal yang sebenarnya, kodrat bukanlah seperti itu. Kodrat adalah ketentuan dari Tuhan yang tidak bisa dirubah lagi seperti jika wanita melahirkan, mengeluarkan asi susu. Sedangkan mengasuh, memasak, melayani adalah gender (konstruksi masyarakat tentang bagaimana wanita itu seharusnya bertindak dan berperilaku).Kesalahpahaman tentang perbedaan konsep kodrat dan gender ituterus berlangsung terus menerus sampai sekarang karena adanya sosialisasi. Salah satu media sosialisasi konstruksi gender adalah bahasa. Berdasarkan pada fakta diatas, maka penelitian inin mencoba membongkar tentang bahasa Jawa. Apakah dalam bahasa Jawa (ajaran , istilah peribahasa Jawa) masih terdapat bias gender atau tidak. B. Metode Penelitian tentang bias gender dalam bahasa ini mengambil sasaran penelitian semua istilah bahasa Jawa yang terdapat dalam berbagai literature baik cetak ataupun elektronik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengunakan metode analisis tekstual kualitatif. Analisis tekstual mempunyai tiga dimensi tujuan yang bersifat independen dalam bidang terapannya,yang berisi seperangkat framework bagaimana seharusnya sebuah teks dianalisis. Dimensi-dimensi itu adalah dimensi penggunaan bahasa , dimensi interpretasi berdasarkan kepercayaan dan kognisi peneliti, dan penafsiran teks dari segi psikologis. Yang ketiga adalah dimensi konteks sosial dan interaksi individu anggota masyarakat. Dimensi ini menginterpretasikan teks berdasarkan makna-makna yang beredar di masyarakat. Salah satu genre analisis tekstual yang secara khusus dipakai dalam penelitian ini adalah feminist criticism. Analisis dilakukan terhadap istilah-istilah, peribahasa dalam literature cetak maupun elektronik.Unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh teks, kata, kalimat atau narasi yang menggambarkan (berisi) tentang 41 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN falsafah Jawa yang mempunyai relevansi dengan rumusan masalah. C. Pembahasan Surga Nunut, Neraka Katut Peribahasa ini mengandung arti bahwa surganya seorang perempuan itu tergantung dari laki-laki.Maksudnya seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga.Dia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya, yaitu istrinya dan anaknya.Jika seorang suami tersebut sholeh, taat dan beriman kepada Allah SWT, maka dia akan bisa masuk ke surga bersama keluarganya (istri dan anaknya). Namun, sebaliknya, jika seorang laki-laki tidak beriman, ingkar pada Allah SWT, maka dia akan masuk neraka bersama dengan istri dan anaknya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernyataan ini.Namun, falsafah ini justru menempatkan perempuan sebagai makhluk yang tidak berdaya, tunduk mutlak kepada suami.Padahal, dalam ajaran agama Islam sendiri, perempuan ditempatkan sejajar dengan suami.Yang menentukan apakah makhluk itu masuk neraka atau surga karena keimanan dan amal perbuatannya masing-masing.Berikut kutipan ayat AlQuran Surat al-Hujurat ayat 14 yang intinya laki-laki dan perempuan tidak ada yang lebih mulia, yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa. „Sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuandan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian lebih saling mengenali,; sesungguhnya yang mulai di antara kalian adalah yang paling takwa.‟ (QS al-Hujurat ayat 14) Perempuan adalah „Wadon‟ dan „Wanito; (Wani Ditoto) Kata „wadon‟ berasal dari bahasa Kawi wadu yang artinya kawula atau abdi. Artinya, perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki.(http://thefilosofi.blogspot.co.id).Perempuan dititahkan sebagai abdi laki-laki mengandung arti bahwa perempuan itu diciptakan sebagai abdi (pembantu) laki-laki. Sebagai seorang abdi maka perempuan tersebut harus patuh, setia, menurut kepada majikannya (baca: suami). Apapun yang dititahkan (diperintahkan) suami, maka perempuan tersebut harus menurut.Posisi abdi ini tidak hanya menempatkan perempuan dalam posisi termarginalkan, namun juga tersubordinasi, terpinggirkan dan posisinya sebagai obyek. Kata „Putri‟. Berasal dari bahasa Jawa yang terdiri dari kata putus tri perkawis.Artinya menunjuk kepada karya perempuan dalam kedudukannya sebagai putri. Perempuan dituntut untuk merealisasikan tiga kewajiban.Tiga kewajiban perempuan (tri perkawis).Baik kedudukannya sebagai wadon, wanita maupun estri. Kata wanita berasal dari bahasa Jawa yaitu wani yang berarti berani dan tata yang artinya diatur. Secara lengkap wanita mempunyai arti bahwa seorang perempuan itu harus berani diatur.(http://thefilosofi.blosgpot.co.id).„Estri‟. Kata estri berasal dari bahasa Kawi Estren yang berarti panjurung (pending). Maksudnya selalu ada wanita yang hebat di samping laki-laki yang hebat.(http://thefilosofi.blogspot.co.id). „WongLanang Kuwi Kudu Nduwe Aji‟ (Laki-Laki Harus Memiliki Kehormatan) Peribahasa ini menunjukan bahwa sebagai seorang laki-laki harus memiliki kekuatan. Hal ini karena masyarakat mensyaratkan bahwa laki-laki adalah pemimpin, pencari nafkah sekaligus pelindung bagi keluarganya . Untuk memenuhi peran tersebut, maka dia harus memiliki sifat maskulin antara lain perkasa, kuat dan memiliki kekuatan (aji) „Kenes Ora Etes‟ Sebutan „kenes ora etes‟ diperuntukkan untuk perempuan centil tapi bodoh.Istilah tersebut sangat merendahkan perempuan. Istilah tersebut mengandung arti bahwa perempuan itu centil tapi bodoh. Kata centil ini mengandung arti bahwa perempuan adalah makhluk yang 42 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN menggoda.Cerita Adam yang harus keluar dari surga seringkali diartikan karena kesalahan Hawa. Allah memerintahkan Adam dan Hawa untuk tidak memakan buah khuldi.Namun mereka berdua tergoda oleh rayuan iblis (setan).Dalam beberapa literatur, penyebabnya selain setan adalah karena rayuan Hawa yang ingin memakan buah tersebut. „WongWadon Cowek Gopel‟ ( Orang Perempuan seperti Cobek yang Rusak) Arti dari istilah tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa perempuan itu seperti cobek yang rusak. Cobek adalah alat untuk menghaluskan bumbu .Biasanya untuk membuat sambal. Cobek ini akan berguna jika masih dalam keadaan utuh (tidak pecah atau tidak rusak). Namun, jika sudah rusak, maka tidak akan bisa dipakai lagi dan tidak bisa diperbaiki. Cobek jika rusak maka langsung akan dibuang begitu saja. „Wong Wadon Cowek Gopel‟ ini mengandung arti bahwa perempuan jika sudah rusak (baik akhlak atau perilakunya) maka dia tidak akan berharga sama sekali. Tempat yang pantas adalah sampah (dibuang).Istilah tersebut memang hanya ditujukan untuk perempuan.Tidak ada istilah yang menyebut „wong Lanang Cowek Gopel‟. Lebih lanjut, cobek adalah peralatan dapur, identik dengan perempuan yang diberi peran domestik.Peran domestik perempuan menurut konstruksi masyarakat memang di dapur, selain kasur dan sumur. „Wuwusekang Wus Ing Ngelmi/Kaprawolu Wanudyo Lan Priyo/Ing Kabisan Myang Kewate/TuwinWiwekanipun/ Arti dari peribahasa tersebut adalah (wanita hanya seperdelapan dibanding pria dalam hal kepandaian dan kekuatan serta kebijaksanaannya. Kalimat ini menggambarkan ada ketidaksetaraan antara pria dan wanita dalam hal mencari ilmu.Peribahasa tersebut sangat bias gender karena dalam agama Islam saja (yang mayoritas dianut masyarakat Jawa), tidak ada ayat yang menyatakan bahwa kaum perempuan lebih hebat dibandingkan dengan laki-laki.Yang paling mulia di sisi Tuhan adalah yang paling bertaqwa.Panutan dan contoh-contoh dalam Islam banyak menggambarkan tentang kehebatan kaum perempuan.Siti Aisyah sebagai perawi hadist yang handal. Siti Khadijah sebagai pedagang eksportir yang sukses. Sehingga, seluruh kata dalam peribahasa tersebut sangat stereotype sekali. „Wedi-Gemi dan Gemati‟ Istilah tersebut untuk menggambarkan bahwa wanita digambarkan dengan sifat pasrah, tidak boros dan penuh kasih sayang. Konstruksi masyarakat memandang bahwa perempuan harus memiliki sifat feminine. Beberapa butir feminine antara lain pasrah, tidak boros dan penuh kasih sayang. Implikasi dari butir feminin tersebut adalah beberapa pekerjaan ada yang dikontruksi (pantas) dikerjakan oleh perempuan dan pantas dikerjakan oleh laki-laki.Karena perempuan mempunyai sifat feminine tersebut, maka beberapa pekerjaan yang pantas untuk perempuan adalah guru (pengajar), bendahara dan sekretaris. „Kanca Wingking‟ (Perempuan Adalah Teman di Dapur) Salah satu konsepsi paternalistik yang berkembang di masyarakat Jawa adalah istri sebagai konco wingking. Kutipan panjang tentang konsep tersebut bisa dilihat di bawah ini Handayani (2004) „Mula bukane wong wedok ikikonco wingking seko kitab suci. Naliko Gusti Allah nitahake manungso sing sepisanan kuwi ding dititahake wong lanang dhisik, bar kuwi nembe wong wadon sing dijupuk saka igane bapa Adam sing sisih kiwa. Wis mung iga, sisih kiwa pisan. Pokoe, wong wedok ki drajate luwih cendhek tinimbang wong lanang. Upama tangan tiba tangan kiwa, upama awak tiba bokong.‟ (Handayani, 2004) 43 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN Terjemahan bebasnya : „Asal mula wanita menjadi konco wingking tertera dalam kitab suci. Ketika Tuhan mencipatakan manusia pertama, yang diciptakan dahulu adalah laki-laki, sesudah itu baru wanita yang diambil dari rusuk Adam sebelah kiri.Sudah lah hanya iga (dari laki-laki), sebelah kiri lagi.Intinya.Wanita derajatnya lebih rendah dari laki-laki.Seumpanya tangan maka mereka adalah tangan kiri.Seumpama tubuh maka mereka adalah bagian pantat.(Handayani, 2004) „Tiga Ikang abener Lakunya ring loka/iwirnya/ikang iwah/ikang udwad/ikang janmasri// yen katelu/wilut gatinya//yadin pweka nang istri hana satya budhinya/dadi ikang tunjung tumuwuh ring cila/// Istilah tersebut terdapat dalam Kitab Clokantara disebutkan (ada pepatah) Jawa yaitu :. Artinya: Tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu sungai, tanaman melata, dan wanita. Ketiganya berjalan berbelit-belit. Jika ada wanita yang lurus budinya akanada bunga tunjung tumbuh di batu. (http://thefilosofi.blogspot.co.id). Secara implisit mengandung arti bahwa wanita disamakan dengan sungai dan tanaman melata yang berbelit belit.Ketiganya berjalan berbelit belit.Stereotipe perempuan dalam masyarakat dikenal berbelit-belit.Hal ini terlihat dari penggunaan kata dan kalimat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan cenderung menggunakan kata dan kalimat yang komplek (panjang dan berbelit belit) dibandingkan dengan laki-laki yang menggunakan kata dan kalimat yang pendek dan langsung „Watak Wedi, Watak Gemi dan Watak Gemati‟ Menurut Ronggowarsito (dalam http://thefilosofi.blogspot.co.id) sedikitnya ada 3 watak perempuan yang jadi pertimbangan laki-laki ketika akan memilih wanita yaitu. Watak wedi ; menyerah, pasrah, jangan suka mencela, membantah, atau menolak pembicaraan. Lakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati. (Ronggowarsito dalam http://thefilosofi.blogspot.co.id) Watak Gemi : tidak boros akan nafkah yang diberikan. Banyak sedikit harus diterima dengan syukur.Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang tidak bermanfaat.Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti ngati-ati. Kurang lebih artinya sama dengan penjelasan gemi diatas.( Ronggowarsito dalam http://thefilosofi.blogspot.co.id) Watak Gemati¸penuh kasih: Menjaga apa yang disenangi suami lengkap dengan alat-alat kesenangannya sepertimenyediakan makanan, minuman, serta segala tindakan. ( Ronggowarsito dalam http://thefilosofi.blogspot.co.id) „Ajaran Rancang Kapti (Kias Lima Jari)‟ Dalam Serat Centhini terdapat ajaran Nyi Hartati kepada anak perempuannya Rancang Kapti mengenai „kias lima jari‟ Ajaran tersebut menuturkan: (Murniati,1992) 1. Jempol(ibu jari), berarti „pol ing tyas‟ Sebagai istri harus berserah diri dan sepenuhnya kepada suami.Apa saja yang menjadi kehendak suami harus dituruti 2. Penuduh (telunjuk) Berarti jangan sekali-kali berani mematahkan „tudhung kakung‟(petunjuk suami). Petunjuk suami tidak boleh dipersoalkan. 3. Penunggal (jari tengah) Berarti selalu „meluhurkan‟ (mengunggulkan) suami dan menjaga martabat suami 4. Jari Manis 44 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN Berarti tetap manis air mukanya dalam melayani suami dan bila suami menghendaki sesuatu. 5. Jejenthik (kelingking) Berarti istri haru selalu „athak ithikan‟ (trampil dan banyak akal) dalam sembarang kerja melayani suami. Dalam melayani suami hendaknya cepat tapi lembut.(Murniati, 1992) Dalam kutipan-kutipan Serat Panitisastra, perempuan dituntut berkorban, bahkan suami yang telah meninggal pun masih menuntut pengorbanan perempuan (Murniati, 1992) „Yen mungguling wanudya/kang linuweh iku/wanudya kang patibrata/lan kang becik suwarnanira upami/tegese patibrata//„Yen lakine amilu mati/nora mati asuduka jiwa/myang ta kuwu ing setrane/yeka kawala lamun/lakinipun tumekeng pati/tan karsa karma liyan/tumetra ing lampus/yeka dyah kapatibrata/sedya tumut mring delahan wong kakalih/tembe kanthena asta// Terjemahan: Adapun bagi perempuan//yang dinilai lebih ialah/perempuan yang patibrata/dan yang tampan wajahnya/arti patibrata//. Bila suaminya meninggal dia ikut mati/bukan mati dengan bunuh diri/ataupun berpondok di makam/itu hanya berarti, bila/ suaminya sampai pada ajal/dia tidak mau menikah dengan orang lain/sampai ia mati/itupun perempuan patibrata, berhasrat ikut sampai ke akhirat; berdua mereka/nanti akan bergandengan tangan// „Sembilan Butir Ajaran Serat Candrarini‟ Selain itu juga ada konsep perempuan Jawa yang tertuang dalam Serat Candrarini yang diringkas ke dalam sembilan butir (https://trimurcahyo21.wordpress.com/2013/01/22/perempuanjawa/). Beberapa ajaran tersebut antara lain: 1). setia kepada lelaki, 2). rela dimadu, 3). mencintai suami, 4). terampil dalam pekerjaan wanita, 5). pandai berdandan dan merawat diri, 6). sederhana, 7). pandai melayani kehendak lelaki, 8). menaruh perhatian kepada mertua, dan 9). gemar membaca buku-buku yang berisi nasehat. „Primbon Kuno Jawa tentang Sifat Wanita‟ Selain pepatah tersebut dalam ramalan primbon masyarakat Jawa beredar beberapa kepercayaan tentang sifat wanita. Sifat wanita (menurut primbon) bisa dilihat dari ciri fisiknya. Beberapa sifat wanita Jawa yang tertuang dalam ramalan primbon Jawa tersebut antara lain (www.ramalanzodiakshioterbaru.com): a. Wanita dengan sebutan Sirih Terlentang. Wanita Sirih Terlentang dicirikan mempunyai kaki yang agak melintang dan berjalan dengan menendang tanah. Adapun sifat yang wanita Sirih Terlentang ini adalah boros dan suka pada sesuatu yang tidak terpuji. b. Wanita dengan sebutan Emping Hijau bercirikan mempunyai kaki kecil serta kering, kuku panjang serta kecil. Mempunyai tubuhn yang tegap dengan muka panjang dan rambut hitam lembut. Sifat yang dimiliki wanita Emping Hijau ini adalah gampang rejekinya, baik serta suka merajuk ke rumah orang tuanya. c. Wanita Sari Maya. Sari Maya digunakan untuk menyebut wanita yang mempunyai ciri ciri muka kemerahan, rambut kasar dan genjur serta tubuh kurus. Wanita ini mempunyai sifat patuh pada perintah Allah, menerima takdir (situasi) apapun serta pantang untuk meminta. 45 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN d. Wanita Durgasari. Durgasari digunakan untuk menyebut wanita yang mempunyai ciri-ciri leher panjang, muka bujur telur sedikit kemerah-merahan.Wanita dengan tipe ini mempunyai sifat suka berbohong, berkhianat sehingga tidak baik ketika nantinya berumah tangga. e. Wanita Cahaya Kencana. Wanita dengan kulit gelap, rambut hitam, halus dan lembut disebut Cahaya Kencana. Selain mempunyai ciri tersebut, wanita tipe ini duduknya tenang dan agak pendiam.Perempuan dengan tipe ini mempunyai sifat baik serta pandai melindungi hatinya. f. Wanita Bunga Lawang. Wanita Bunga Lawang ini dicirikan dengan kulit putih kekuningan, postur kecil, selalu ingin cepat pergi kemana mana dan langkahnya cepat seperti harimau lapar.Wanita dengan tipe ini mempunyai sifat memetingkan kebahagian rumah tangga, pandai menaruh rahasia dan terkenal sopan santun. g. Wanita Silasari. Wanita Silasari ini bercirikan mempunyai tahi lalat di daun telinga, rambut keperangan lembut hingga ke ujung serta kulitnya kuning. Biasanya mempunyai sifat boros. h. Wanita Bintang Kesiangan. Wanita ini bercirikan mata redup seperti mengantuk, rambut lebat bergelombang, muka manis dan kulit hitam manis. Wanita tipe ini mempunyai sifat baik kepada suami. i. Beras Tumpah. Wanita ini bercirikan mempunyai rambut lembut sampai ujung, kulitkuning danada tahi lalat di telinga. Sifat wanita ini adalah pemarah, boros, dan suka berkelahi. j. Wanita Puspa Mekar. Wanita ini bercirikan tulang agak menonjol, tubuh seperti laki-laki dan seolah kakinya bersua bila berdiri .Sifat wanita ini adalah kepatuhannya pada suami. D. Kesimpulan Berdasarkan temuan data yang diperoleh dari berbagai literature, buku, sumber online ditemukan bahwa sebagian besar ajaran Jawa masih sangat bias gender terhadap perempuan. Bentuk bias gender tersebut antara lain domestifikasi yaitu menempatkan perempuan pada peran domestik. Selanjutnya adalah stereotype (pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu), marginalisasi (pemiskinan ekonomi) dan subordinasi (menempatkan perempuan pada posisi tidak penting) Daftar Pustaka Fakih, Mansour, 2001, Analisis Gender dan Trasnformasi Sosial.Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Https://trimurcahyo21.wordpress.com/2013/01/22/perempuan-jawa/ Murniati, 1992, Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa), Yogyakarta: KANISIUS Ajaran Ajaran Berumah tangga Bagi Wanita Jawah dalam Http://eprints.ums.ac.id/20824/12/NASKAH_PUBLIKASI.pdf Ronggowarsito dalam http://thefilosofi.blogspot.co.id www.ramalanzodiakshioterbaru.com 46 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download