8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) merupakan jenis buah buni yang berbentuk bulat telur, berukuran (3-10) cm x (3-5) cm, meruncing pada ujungnya (Gambar 1). Buah ini memiliki kulit tipis, licin, berwarna ungu kemerah- merahan, merah jingga sampai kekuning-kuningan serta mengandung suatu zat yang berasa pahit (Morton, 1987). Zat ini dapat dibuang dengan cara mengupas kulitnya atau menyeduh dengan air panas selama 4 menit. Buah terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) bergelantungan pada batang pohon, bertangkai panjang, daging buahnya mengandung banyak sari buah, bijinya bulat pipih, tipis, dan keras, rasanya agak asam sampai manis, berwarna kekuning-kuningan sampai kehitam-hitaman. Setiap 100 gram bagian terung Belanda yang dapat dimakan mengandung air 85 gram, protein 1,5 gram, lemak 0,006 – 1,28 gram, karbohidrat 10 gram, serat 1,4 – 4,2 gram, abu 0,7 gram, vitamin A 150 – 500 SI dan vitamin C 25 mg (Astawan dan Kasih 1997). Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) mempunyai potensi yang cukup berkembang di wilayah Sumatra, hal ini dapat dilihat dari produksinya sebesar 6.770,33 ton/tahun (Sembiring, 2013). Terung Belanda lebih banyak dikonsumsi sebagai buah yang dimakan segar maupun dibuat sirup atau jus. Sewaktu muda 9 berwarna kuning, dan bila sudah masak terjadi perubahan warna disebabkan karena pemecahan klorofil secara enzimatik yang mengakibatkan terbentuknya pigmen baru, karotenoid yang menyebabkan warna kuning dan merah, serta antosianin yang menghasilkan warna merah ungu (Silaban et al., 2013) Gambar 1. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) Sumber : Dokumentasi penelitian B. Antosianin Antosianin merupakan salah satu pigmen penting dalam tanaman selain klorofil dan betakaroten. Antosianin berasal dari bahasa Yunani yaitu anthos yang berarti bunga dan kyanos yang berarti biru gelap. Zat pewarna alami antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air, menghasilkan warna merah, ungu sampai biru yang tersebar luas dalam bunga dan daun (Jackman dan Smith, 1996). Di dalam kulit terung, baik terung ungu maupun terung Belanda juga terdapat pigmen antosianin yang berperan pada pewarnaan kulit terung (Diniyah, 2010). Antosianin terung Belanda yang paling dominan adalah jenis delphinidin-3- 10 rutinoside, sedangkan pada kulit terung Belanda tergolong ke dalam jenis cyanidin-3-rutinoside (Wrolstad dan Heatherbell, 1974). Antosianin merupakan gugus glikosida yang dibentuk dari gugus aglikon dan glikon. Apabila gugus glikon dihilangkan melalui proses hidrolisis maka akan dihasilkan antosianidin. Struktur dasar antosianin adalah 2-phenylbenzo pyrylium (Brouillard, 1982) yang dapat dilihat pada Gambar 2. Struktur utama turunan benzo pyrylium ditandai oleh adanya dua cincin aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin. Gugus-gugus aglikon berupa asil terdiri dari asam-asam aromatik (asam p-kumarat, kafeat, ferulat, sinapat dan galat) serta asam-asam alifatik (asam malonat, asetat, malat, suksinat dan oksalat) yang terasilisasi pada gula (Brouillard, 1982). Gugus gula pada antosianin, biasanya berupa glukosa, ramnosa, silosa, galaktosa, arabinosa, dan fruktosa (Ozela et al., 2007). Molekul gula antosianin umumnya berupa monosakarida dan terikat pada C-3. Gambar 2. Sruktur dasar antosianidin (Brouillard, 1982) Keterangan : R3’ dan R5’ R : Gugus substitusi : Jenis glikon (gula atau gula terasilasi) Molekul antosianin diketahui memiliki berbagai bentuk antosianin yang ditemukan di alam, tetapi hanya enam yang memegang peranan penting dalam 11 bahan pangan, yaitu sianidin, malvidin, petunidin, pelargonidin, delfinidin, dan peonidin (Brouillard, 1982). Pada setiap inti kation flavilium (Gambar 2) terdapat molekul yang berperan sebagai gugus substitusi yang dapat dilihat pada Tabel 1. Berbagai bentuk struktur kimia antosianin secara umum hanya berbeda pada gugus alkil (-R) seperti pada Gambar 3. Tabel 1. Gugus substitusi pada antosianidin Struktur antosianidin Gugus substutusi pada atom karbon nomor Pelargonidin R3’ H R5’ H Sianidin OH H Deipinidin OH OH Peonidin OCH3 H Petunidin OH OCH3 OCH3 OCH3 Malvinidin Sumber : Brouillard, 1982 Gambar 3. Bentuk-bentuk sruktur antosianidin (Brouillard, 1982) 12 C. Stabilitas Antosianin Antosianin memiliki stabilitas yang rendah, sehingga mudah mengalami kerusakan selama proses pengolahan dan penyimpanan. Inti kation flavilium dari pigmen antosianin kekurangan elektron, sehingga sangat reaktif. Reaksi yang terjadi umumnya mengakibatkan terjadinya degradasi warna. Laju kerusakan antosianin tergantung pada pH, semakin tinggi pH semakin tinggi laju kerusakannya. Substitusi antosianidin berupa jumlah dan posisi gugus hidroksil dan metoksil pada aglikon berpengaruh pada sifat kimia antosianin. Molekul antosianidin terdapat asam-asam organik yang terikat pada aglikon, posisi ikatan asam organik ini berpengaruh nyata terhadap stabilitas dan reaktivitas molekul antosianin. Faktor fisik dan kimia yang dapat mempengaruhi stabilitas warna antosianin antara lain struktur dan konsentrasi antosianin, suhu, cahaya, ion-ion logam, enzim, oksigen, molekul air, gula, asam askorbat dan turunannya serta keberadaan kopigmen (Rein, 2005; Francis, 1982; Elbe dan Schwartz, 1996; Jackman dan Smith, 1996). Stabilitas antosianin juga dipengaruhi oleh pH (Gambar 4). Antosianin lebih stabil pada kondisi asam dibandingkan pada kondisi larutan alkali (Brouillard, 1982 dan Harborne, 1967). Pada pH sangat asam (pH 1-2), bentuk dominan antosianin adalah kation flavilium. Pada bentuk ini, antosianin berada dalam kondisi paling stabil dan berwarna. Ketika pH meningkat di atas 4, antosianin menjadi tidak stabil membentuk kalkon yang tidak berwarna (Brat et al., 2008). Pemanasan pada suhu tinggi selama waktu tertentu juga dapat menggeser kesetimbangan antosianin menuju bentuk yang tidak berwarna, yaitu 13 bentuk basa karbinol dan kalkon (Mateus dan Freitas, 2009). Mahkamah (2004) melaporkan bahwa pada pemanasan antosianin Tradescantia pallida pada suhu 65oC dan 80oC dalam pH 3,5 selama 8 jam, antosianin yang tersisa berturut-turut 70% dan 60%. Gambar 4. Struktur antosianin pada kondisi pH yang berbeda (Wrolstad dan Giusti, 2001) Stabilitas warna antosianin sebagai fungsi suhu dan lama pemanasan dinyatakan sebagai persen retensi warna antosianin (Rein dan Heinonen, 2004). Pemanasan dapat menstimulasi pembentukan senyawa hasil degradasi antosianin seperti karbinol dan turunannya yang tidak berwarna sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai retensi warna selama perlakuan pemanasan. Menurut Mazza dan Brouillard (1990), peningkatan suhu menyebabkan penguraian (disosiasi) dari molekul antosianin yang menghasilkan struktur monomer yang menyebabkan 14 senyawa tidak berwarna. Gambar 5 menunjukkan perubahan molekul antosianin yang sudah terdegradasi oleh proses pemanasan. Gambar 5. Degradasi antosianin monoglukosida pada pH 3,5 oleh panas (Rein, 2005). Antosianin memiliki kecenderungan yang kuat mengabsorpsi sinar tampak dan energi radiasi sinar tersebut menyebabkan reaksi fotokimia pada spektrum tampak yang dapat merusak struktur antosianin sehingga mengakibatkan perubahan warna yaitu kehilangan warna merah. Produk akhir degradasi fotokimia sama seperti degradasi warna molekul antosianin oleh proses termal (Rein, 2005). Secara enzimatis, kehadiran enzim antosianase atau polifenol oksidase mempengaruhi kestabilan antosianin karena bersifat merusak antosianin (Talcot et al., 2003). D. Kopigmentasi Kopigmentasi didefinisikan sebagai interaksi antara antosianin yang berwarna dengan senyawa kopigmen antara lain senyawa polifenol, logam, dan asam organik sehingga terbentuk ikatan antara molekul antosianin dengan kopigmen (Brouillard, 1982), yang menyebabkan peningkatan stabilitas warna antosianin. Prinsip interaksi kopigmentasi dapat berlangsung seperti ditunjukkan pada Gambar 6, yaitu pembentukan gabungan antar molekul antosianin itu sendiri (self association), kopigmentasi intermolekul (intermolecular copigmentation), 15 pembentukan kompleks dengan logam (metal complexation), kopigmentasi intramolekul (intramolecular copigmentation), pembentukan kompleks dengan aglikon, gula dan asam. Penggabungan molekul antosianin Kopigmentasi intermolekul Kopigmentasi intramolekul Aglikon Kompleks dengan logam Gula Kopimen Asam Gambar 6. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin (Rein, 2005) Mekanisme penggabungan molekul antosianin (self association) dapat digambarkan sebagai interaksi antarmolekul antosianin yang saling bertumpuk (stacking-like interaction), peristiwa ini umumnya terjadi pada proses pembuatan anggur (wine). Mekanisme interaksi ini dapat memberikan kontribusi terhadap warna wine yang dihasilkan (Rein, 2005). Kopigmentasi intramolekuler merupakan mekanisme kopigmentasi dimana kopigmen merupakan bagian dari molekul antosianin itu sendiri (Brouilard, 1982). Gugus asil yang berupa komponen aromatik berinteraksi dengan kation flavilium yang reaktif pada C-2 dan C-4 dengan reaktan nukleofilik. Kopigmentasi model ini diaplikasikan pada ekstrak black carrot yang banyak mengandung antosianin yang mengalami asilasi. Beberapa logam dapat membentuk komplek dengan antosianin adalah Sn, Cu, Fe, Al, Mg, dan K (Brouilard, 1982). Sianidin, delphinidin, dan petunidin memiliki lebih dari 1 grup hidroksil yang mampu mengkelat logam. Interaksi antosianin 16 dengan logam jarang diaplikasikan karena bisa mengakibatkan aroma yang menyimpang pada produk (Castenada et al., 2009). Secara garis besar, mekanisme kopigmentasi dapat terjadi ketika kation flavilium yang bermuatan positif (kekurangan elektron), menerima elektron dari senyawa kopigmen yang memiliki elektron bebas, sehingga terjadi kesetimbangan elektron (Castenada et al., 2009). Hal ini mengakibatkan molekul antosianin lebih stabil karena proses hidrolisis dapat dihindari (Gambar 7). Mekanisme seperti ini merupakan kopigmentasi intermolekuler antara antosianin dengan senyawa kopigmen yang bukan berasal dari molekul antosianin itu sendiri. Gambar 7. Perpindahan muatan (charge transfer) kompleks antosianin dengan katekol (Castenada et al., 2009) Asen et al. (1972) dan Dangles et al. (1993) menyatakan bahwa kopigmentasi intermolekuler antara antosianin dengan senyawa kopigmen ditandai oleh adanya pergeseran batokromik dan hiperkromik. Pergeseran batokromik (disebut juga red shift atau bathochromic effect) adalah pergeseran puncak absorbsi ke arah panjang gelombang yang lebih besar. Hal ini terjadi karena adanya subsitusi 17 gugus glikon maupun aglikon atau pengaruh pelarut. Efek hiperkromik adalah efek yang disebabkan oleh gugus fungsi sehingga menyebabkan kenaikan nilai intensitas serapan maksimum. Kopigmentasi yang tidak stabil belum mampu menghambat reaksi degradasi antosianin selama penyimpanan waktu tertentu, sehingga dapat menyebabkan pergeseran hipsokromik dan hipokromik. Pergeseran hipsokromik (disebut juga blue shift atau hypsochromic effect) adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih kecil/pendek. Efek Hipokromik adalah penurunan nilai intensitas serapan maksimum. Kopigmentasi dilaporkan dapat menjadi metode dalam memperbaiki warna produk pangan dengan menambahkan ekstrak tanaman yang mengandung senyawa kopigmen, baik yang berasal dari tanaman yang sama maupun berbeda. Penambahan ekstrak kasar dari bahan yang mengandung senyawa kopigmen dilaporkan memberikan pengaruh lebih baik untuk stabilitas warna antosianin dibandingkan dengan ekstrak murni (Wilska-Jeszka, 2007). Reaksi kopigmentasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pH, suhu, dan konsentrasi (Dangels et al., 1993). Peningkatan pH dapat menyebabkan penurunan monomer dan absorbansi antosianin (Yuwono dan Choirunnisa, 2009). Meningkatnya suhu akan menyebabkan terjadinya kerusakan parsial pada ikatan hydrogen, oleh karena itu konsentrasi kopigmen yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap proses kopigmentasi. Jumlah kopigmen yang ditambahkan harus lebih banyak dibandingkan antosianin (Dangles et al., 1993). Perbandingan konsentrasi kopigmen terhadap konsentrasi pigmen antosianin dinyatakan dalam rasio molar. Kopigmentasi senyawa tanin pada pH 2,5 terhadap antosianin jus buah dengan konsentrasi 2x10-5M dilaporkan dapat meningkatkan kestabilan 18 warna antosianin pada penyimpanan dalam refrigerator selama 7 hari (Hagerman et al., 1992). Menurut Boulton (2001), penggunaan rasio molar kopigmen yang terlalu rendah menyebabkan kopigmentasi tidak efektif, dan rasio terlalu tinggi tidak efisien terhadap penggunaan kopigmen, sehingga kopigmentasi akan efektif apabila konsentrasi antosianin di atas 3,5 x 10-5 M sebelum reaksi kopigmentasi. Kopjar dan Pilizota (2009) melakukan kopigmentasi ekstrak antosianin pada jus buah kismis merah dengan penambahan kopigmen katekol, 4-metil katekol, katekin, dan asam galat pada rasio molar kopigmen terhadap antosianin 50:1 dan 100:1. E. Kopigmen Senyawa kopigmen antara lain berasal dari golongan flavonoid, yaitu flavanol monomer (katekin dan epikatekin ), oligomer (proantosianidin), polimer seperti tanin, golongan alkaloid (misalnya katekol), asam organik (kafeat, ferulat, khlorogenat, tanat, galat), asam amino, logam dan bahkan molekul antosianin itu sendiri (Mazza dan Brouilard, 1990; Boulton, 2001; Bakowska et al. 2003). Kopigmen dapat berupa isolat tunggal maupun ekstrak kasar dari tanaman tertentu yang mengandung senyawa-senyawa kopigmen tersebut di atas. Ekstrak kasar tanaman sumber kopigmen diharapkan membawa senyawa-senyawa lain yang berkontribusi pada stabilitas kopigmentasi seperti halnya pembentukan warna pada tanaman (Elbe and Schwartz, 1996). Selain itu ekstrak bahan alam lebih efektif dan aman. 19 1. Katekol Katekol termasuk dalam golongan alkaloid yang banyak terdapat di alam. Katekol memiliki rumus kimia C6H6O2 (Gambar 8). Katekol berbentuk padat, kristal tidak berwarna, berbau seperti fenol, warnanya berubah menjadi coklat jika terpapar udara dan cahaya. Katekol memiliki titik didih 245 ℃ (750 mm Hg), titik lebur 105℃, densitas 1,1493 g/cm 3 (21 ℃), berat molekul 110,11 3g/mMol, larut dalam air, eter alkohol, kloroform, piridin, larutan alkali, dan larut dingin benzene. Katekol adalah senyawa turunan flavon tereduksi, terdapat pada jaringan tanaman, seperti apel, anggur, dan buah pir (Pudjaatmaka, 2002). Nama lain dari katekol yaitu 1,2-Benzenediol; Benzenediol; 1,2-Dihydroxybenzene; o-Dihydroxybenzene; 2-Dihydroxyphenol; Dioxybenzene; Oxyphenic oacid; Phthalhydroquinone; Pyrocatechin; Pyrocatechol. Gambar 8. Katekol (IARC, 1977) Katekol banyak digunakan dalam industri tekstil sebagai campuran pewarna, sedangkan di bidang pertanian digunakan sebagai pestisida. Selain itu, katekol juga dapat digunakan di industri farmasi dan kosmetik. Katekol yang terdapat pada ekstrak daun dan ranting tanaman gambir memiliki kandungan antimikroba dan anti diare (Zulfadli, 1989). Penggunaan katekol sebagai kopigmen sudah banyak diteliti, seperti pada kopigmentasi jus kismis merah menunjukkan 20 penurunan warna sampai kekuningan pada 15 hari penyimpanan (Kopjar dan Pilizota, 2009). 2. Tanin Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup besar (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein. Struktur dasar tanin tan dapat dilihat pada Gambar 9. Tanin yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari suplier bahan kimia merk Sigma Aldrich dengan rumus kimia C76H52O46 dan berat molekul 1701 mg/mMol . Berdasarkan strukturnya, ya, tanin dibedakan menjadi dua yaitu y tanin terkondensasi (condensed ( tannins) dan tanin-terhidrolisiskan terhidrolisiskan (hydrolysabletannins) ( ) (Hagerman et al., 1992). Gambar 9. Struktur dasar tanin (Hagerman et al.,., 1992) Menurut Clydesdale dan Francis dalam Fennema (1976), nama nama tanin, asam tanat dan asam galotanat didefinisikan dalam Merck Index sebagai senyawa kompleks yang ditemukan dalam kulit batang pohon oak. ak. Tanin yang terdapat di alam ada yang tidak berwarna dan ada juga yang berwarna kuning sampai coklat. coklat Tanin dalam makanan berkontribusi terhadap sifat menyamak dan juga terhadap 21 pembentukan warna coklat (browning). Penggunaan tanin sebagai senyawa kopigmen sudah diteliti, seperti pada reaksi kopigmentasi antosianin ekstrak bunga rosella (Khusna, 2009 ; Yuwono dan Choirunnisa, 2009).