PRESENTASI KASUS GANGGUAN NUTRISI Oleh: Angela Christina 0906639663 Narasumber: Dr. dr. Lanny Christine Gultom, SpA MODUL KESEHATAN ANAK DAN REMAJA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2014 BAB I ILUSTRASI KASUS Identitas Pasien Nama : An. AF Jenis kelamin : Laki-laki Alamat : Jayakarsa Usia : 8 tahun Tanggal lahir : 9 Maret 2006 No rekam medis : 1287626 Caretaker : Tante Kebangsaan : Indonesia Alloanamnesis : Tante Tanggal masuk : 15 Maret 2014 Tanggal pemeriksaan : 18 Maret 2014 Keluhan Utama Diare yang memberat dalam 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dikatakan sudah diare sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, namun semakin parah dalam 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien BAB >4x/hari, konsistensi cair, tidak ada ampas (hanya air saja), tidak ada lendir, tidak ada darah, kadang tampak busa, warna kuning-coklat, tidak pernah seperti warna air cucian beras. Pasien dikatakan tetap diare meski makan dihentikan, tante pasien mengatakan feses pasien berbau tidak biasa. Nyeri perut disangkal, mules disangkal. Demam hilang timbul diakui tante pasien 1 minggu SMRS, namun tidak diukur. Pasien kadang muntah, isi dan jumlah muntahan sama dengan apa yang dimakan. Mual disangkal. Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sariawan, nyeri tenggoroknya, dan sakit bila menelan. Terdapat bercak-bercak putih di mulut dan lidah, di pinggir bibir pasien tampak kering dan luka. Pasien jarang membuka mulutnya, hanya mau makan 2-3 sendok saja. Pasien cenderung untuk minun yang banyak diakui tante pasien supaya nyeri tenggoroknya berkurang. Pasien juga tampak semakin kurus, sangat lemas dan tidak mampu berdiri dan berjalan sendiri. Pasien tidak masuk sekolah selama 1 minggu karena lemas. Mata pasien tampak lebih cekung dari biasanya. Pasien juga batuk dalam 1 bulan terakhir, sempat sembuh kemudian batuk lagi, tidak ada dahak pada awalnya, namun sejak dirawat tampak dahak warna hijau. Demam naik turun diakui tante pasien, keringat malam disangkal, kontak keluarga/teman yang memiliki sakit TB disangkal, berat badan tidak naik sejak 1 tahun SMRS. Pasien sejak kecil memang tidak pernah gemuk (tante pasien mengaku biasanya ukuran tubuh pasien sedang saja tidak terlalu kurus), berat sempat naik hingga 18 kg selama setahun terakhir, namun saat ini turun karena diare lama menjadi 14 kg. Pasien pernah mengalami diare yang serupa pada desember 2012 tetapi hanya sebentar (sekitar 2 minggu), saat itu napsu makan pasien baik, tidak ada demam, tidak sampai penurunan berat badan. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat kejang disangkal. Sakit lama, alergi, riwayat pengobatan TB disangkal. Pasien dikatakan mudah sakit batuk pilek dan bisul di seluruh tubuh. Pasien tidak pernah diare karena minum susu sapi. Riwayat Penyakit Keluarga Batuk lama atau batuk darah disangkal. Orang tua pasien meninggal karena sakit namun tidak diketahui sakit apa. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Lingkungan Keluarga Pasien diangkat oleh tantenya karena orang tua pasien sudah tidak ada. Saat ini pasien tinggal dengan tante, kedua anak tantenya yang sudah bekerja, seorang bekerja di daerah Sudirman, seorang lagi bekerja di kedai kopi Starbucks. Om pasien bekerja sebagai supir pribadi dan kuli di sebuah pabrik di Jakarta. Ibu pasien meninggal karena sakit pada saat pasien berusia 1 tahun, sedangkan ayah pasien meninggal karena sakit pada saat pasien usia 8 tahun. Sejak pasien berusia 1 tahun, pasien dititipkan oleh ayahnya untuk diurus oleh keluarga tantenya (suami tantenya dengan ayah pasien merupakan kakak beradik). Sakit kedua orang tua pasien tidak diketahui. Jaminan yang digunakan KJS-JKN. Pasien tidak diberi uang jajan oleh tantenya karena tantenya takut pasien jajan sembarangan, namun guru pasien dan ibu-ibu teman-teman pasien suka memberinya uang, sehingga pasien dapat jajan. Di sekolah pasien suka jajan mie kocok, es dan mie lainnya. Riwayat Kehamilan Pasien adalah anak tunggal. Riwayat saat hamil ibu pasien tidak diketahui sakit apa dan minum obat apa. Ibu pasien meninggal saat pasien berusia 1 tahun. Riwayat Kelahiran Pasien lahir ditolong oleh bidan, lahir spontan, cukup bulan, berat lahir dan panjang lahir tidak diketahui tante pasien, pasien langsung menangis, tidak biru, tidak pucat, tidak kuning, tidak kejang, nilai APGAR tidak diketahui, tidak ada kelainan bawaan saat lahir. Riwayat Nutrisi Riwayat ASI dan susu formula tidak diketahui. Selama ini pola makan biasa, 3x/hari, selalu habis 1 porsi, makanan yang biasa dimakan nasi lauk pauk dan sayur. Riwayat Imunisasi Pasien hanya mendapat imunisasi pada saat baru lahir, dan campak saja yang di sekolah. Alasannya karena saat itu diurus ibunya dan tidak diimunisasi oleh ibunya. Tante pasien mengaku pernah membawa pasien untuk imunisasi oral pada usia 1 tahun. Riwayat Tumbuh Kembang Pasien masih dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Saat ini pasien berusia 8 tahun, kelas 2 SD. Guru pasien mengatakan pada tantenya bahwa pasien memiliki kemauan belajar sehingga dapat mengikuti pelajaran dan sejajar dengan anak-anak lainnya walaupun pasien sedang sakit. Pemeriksaan Fisik (15 Maret 2014) Antropometrik Berat badan= 14 kg Tinggi badan= 116 cm LLA = 11,5 cm Status Nutrisi BB/U: 14/26 x 100% = 53,8% TB/U: 116/128 x 100% = 90,6% BB/TB: 14/21 x 100% = 66,6% Tebal lemak lengan atas kiri 0,8 cm Kesimpulan: gizi buruk marasmik Kesadaran Kompos mentis Keadaan umum Tampak sakit berat, tidak tampak pucat, tidak tampak sianosis, tidak tampak kuning, aktif bergerak Denyut nadi 110x/ menit, reguler, isi cukup, ekual Laju napas 28x/ menit Suhu 37,3°C di axilla Tekanan darah 100/60 mmHg Kepala Normosefal, tidak ada deformitas, rambut hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut Mata Mata terlihat cekung, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, RCL +/+, RCTL +/+ Hidung Tidak ada napas cuping hidung. Mulut Mukosa kering, ada oral trush. Telinga Tidak ada deformitas, tidak ada sekret, membran timpani intak Leher KGB tidak teraba membesar, tidak ada gerakan otot bantu napas m. sternokleidomastoideus Paru Inspeksi: tidak ada kelainan bentuk dada, pergerakan dada simetris, tidak ada retraksi. Palpasi: fremitus simetris Perkusi: sonor/sonor Auskultasi: vesikuler/vesikuler, tidak ada rhonki dan tidak ada wheezing. Jantung Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga IV 1 jari medial linea midklavikula kiri, tidak ada heaving, lifting, maupun thrilling Perkusi: batas jantung normal Auskultasi: BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop Abdomen Inspeksi: datar, lemas, tidak terdapat venektasi Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan, hepar teraba 3 cm di bawah arcus costae, 5 cm di bawah prosesus xyphoideus, tepi tajam, permukaan rata, kenyal. Lien tidak teraba. Perkusi: shifting dullness (-) Auskultasi: bising usus (+) normal Punggung Tidak terdapat gibbus, tidak terdapat deformitas lainnya Genital Tidak diperiksa Anus Tidak diperiksa Extremitas Tidak terdapat pitting edema, terdapat wasting, terdapat clubbing finger, tidak terdapat baggy pants Kulit Turgor kulit kurang Pemeriksaan Fisik (18 Maret 2014) Kesadaran Kompos mentis Keadaan umum Tampak sakit berat, tidak tampak pucat, tidak tampak sianosis, tidak tampak kuning, aktif bergerak Denyut nadi 104x/ menit, reguler, isi cukup, ekual Laju napas 18x/ menit Suhu 36,3°C di axilla Tekanan darah 120/70 mmHg Kepala Normosefal, tidak ada deformitas, rambut hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut, muka tampak lebih tua dari usia Mata Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, becak bitot tidak ada, ulkus kornea tidak ada Hidung Tidak ada napas cuping hidung. Mulut Mukosa kering, tidak ada oral thrush. Telinga Tidak ada deformitas, tidak ada sekret, membran timpani intak Leher KGB tidak teraba membesar, tidak ada gerakan otot bantu napas m. sternokleidomastoideus Paru Inspeksi: tidak ada kelainan bentuk dada, pergerakan dada simetris, tidak ada retraksi. Palpasi: fremitus simetris Perkusi: sonor/sonor Auskultasi: vesikuler/vesikuler, tidak ada rhonki dan tidak ada wheezing. Jantung Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga IV 1 jari medial linea midklavikula kiri, tidak ada heaving, lifting, maupun thrilling Perkusi: batas jantung normal Auskultasi: BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop Abdomen Inspeksi: datar, lemas, tidak terdapat venektasi Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan, hepar teraba 3 cm di bawah arcus costae, tepi tajam, permukaan rata, kenyal. Lien tidak teraba. Perkusi: shifting dullness (-) Auskultasi: bising usus (+) normal Punggung Tidak terdapat gibbus, tidak terdapat deformitas lainnya Genital Tidak diperiksa Anus Tidak diperiksa Extremitas Tidak terdapat pitting edema, terdapat wasting, terdapat clubbing finger, tidak terdapat baggy pants, CRT<2”, akral hangat, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Kulit Turgor kulit baik Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan Darah (15 Maret 2014) Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit Eritrosit VER/HER/KHER/RDW VER HER KHER RDW Kimia Klinik SGOT SGPT Ureum Darah Kreatinin Darah GDS Elektrolit Darah Natrium Kalium Klorida Analisis Gas Darah pH pCO2 pO2 HCO3 O2 Saturasi BE (Base Excess) Total CO2 Hasil Rujukan 11,8 34 12,2 512 4,7 10,7 – 14,7 31-43 5,0 – 14,5 181-521 3,8 – 5,8 72,1 25,0 34, 7 15,5 72,0 – 88,0 23,0 – 31,0 26,0 – 34,0 11,5 – 14,5 41 27 54 1,5 108 0 – 34 0 – 40 0 – 48 0,0 – 0,9 60 – 100 117 2,86 95 135 – 147 3,10 – 5,10 95-108 7,373 16,6 92,8 9,4 97,2 -12,8 10 7,370 – 7,440 35,0 – 45,0 83,0 – 108,0 21,0 – 28,0 95,0 – 99,0 -2,5 – 2,5 19 – 24 Pemeriksaan Darah (16 Maret 2014) Pemeriksaan Ureum Darah Kreatinin Darah Natrium Kalium Klorida Hasil 49 0,6 128 3,17 104 Rujukan 0 – 48 0 – 0,9 135 – 147 3,10 – 5,10 95 – 108 Pemeriksaan Feses (17 Maret 2014) Pemeriksaan Makroskopik Konsistensi Warna Bau pH Unsur lain Cacing Nanah Lendir Darah Mikroskopik Leukosit Eritrosit Lemak E. coli E. Histolytica Amilum Jamur Serat Otot Serat Tumbuhan Telur Cacing Kimia Gula Darah Samar Pemeriksaan Bakteriologi Hasil Rujukan Lunak Kuning Normal 8 Lunak Kuning-coklat Normal 7-8 Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 0-1 0-1 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif <10/LPB <3/LPB Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Bakteri batang gram negatif (+) Pencitraan CXR PA Thorax (15 Maret 2014): infiltrate perikardiak Daftar Masalah 1. Gizi buruk marasmik 2. Diare kronik dd/ diare persisten 3. Kandidosis oral 4. Intake sulit dengan dehidrasi ringan-sedang 5. Suspek TB paru Rencana Tatalaksana 1. Rawat inap 2. Diet F-75 (bahan dasar pregestinil) 8 x 200 ml / NGT 3. KaEN 3B 1000 ml/ 24 jam + KCl 10 mg/kolf 4. Pasang NGT 5. Cefotaxime 3 x 500 mg IV 6. Mycostatin drip 3 x 2 ml 7. Metronidazol 3 x 150 mg IV 8. Vit A 1 x 200.000 9. Asam folat 1 x 5 mg 10. Zinc 1 x 20 mg Rencana Diagnosis 1. 2. 3. 4. 5. Kultur darah Kultur urin Kultur feses Analisis feses Tes Mantoux Prognosis Ad vitam : bonam Ad functionam: bonam Ad sanactionam: dubia ad bonam BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Gizi Buruk Anak didiagnosis mengalami gizi buruk bila1,2: • • BB/TB < -3 SD atau < 70% dari median (pada marasmus) Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB > -3 SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB < -3 SD). Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, penilaian dilakukan secara klinis, yaitu anak tampak sangat kurus (visible severe wasting), tidak memiliki jaringan lemak bawah kulit (dinilai pada bahu, lengan, pantat, dan paha), tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa edema.1 Bila BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, bila anak tersebut pendek, maka tidak terlihat sangat kurus. Anak tersebut tidak perlu rawat inap kecuali memiliki penyakit lain yang berat.1 Gambar 1. Gambaran klinis pasien anak dengan marasmus dan kwashiorkor1 Anamnesis awal ditujukan untuk mencari kedaruratan, yaitu dehidrasi dan/atau syok, yang harus diatasi segera1: • • • Kejadian mata cekung yang baru saja muncul Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare (encer/darah/lendir) Tangan dan kaki terasa dingin sejak kapan Anamnesis lanjutan ditujukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan ditangani1: • • • • • • • • • • • • • • Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit Riwayat pemberian ASI Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir Hilangnya napsu makan Kontak pasien campak atau TB paru Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir Batuk kronik Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung Berat lahir Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara, dll Riwayat imunisasi Pengukuran berat badan setiap bulan Lingkungan keluarga (menilai latar belakang sosial anak) Diketahui/tersangka infeksi HIV Pemeriksaan fisik: • • • • • • • • • Habitus: sangat kurus, edema kedua punggung kaki Status gizi dengan BB/TB-PB Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk Tanda syok : tangan dingin, waktu pengisian kapiler lambat, nadi lemah, dan cepat, kesadaran menurun Demam (suhu aksila ≥ 37,5 oC) atau hipotermi (suhu aksila < 35,5 oC) Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung Sangat pucat Pembesaran hati dan ikterus Perut kembung, bising usus melemah/meninggi, asites, suara pukulan pada permukaan air (abdominal splash) Tabel 1. Tatalaksana anak gizi buruk (10 langkah)1,2 Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 2 fase yaitu: fase stabilisasi dan fase rehabilitasi.1 Hipoglikemia1 Semua anak gizi buruk berisiko hipoglikemia (ditandai dengan kadar gula darah < 3 mmol/L atau <54 mg/dl), maka setiap anak gizi buruk harus mendapat makan atau larutan glukosa 10% segera setelah masuk rumah sakit. Bila tidak ada fasilitas untuk memeriksa kadar gula darah maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani sesuai panduan.1 Tatalaksana: • • • • • Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaan memungkinkan. Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 mL larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok terh munjung gula dalam 50 ml air) secara oral/NGT. Bila masih mendapat ASI, teruskan di luar jadwal pemberian F-75. Jika anak tidak sadar (letargis), diberikan larutan glukosa 10% secara IV bolus sebanyak 5 ml/kgBB atau larutan glukosa (gula pasir) 50 ml secara NGT. Antibiotik. Pantau: Jika kadar gula darah awal rendah maka ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30 menit. • • Jika masih hipoglikemia (kadar gula darah < 3 mmol/L atau <54 mg/dl), ulangi pemberian glukosa atau gula 10%. Jika suhu rektal <35,5 oC atau kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula darah sesuai keadaan yaitu hipotermia dan hipoglikemia. Pencegahan: Beri makanan awal F-75 setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang malam. Hipotermia (suhu aksila < 35,5 OC)1 Tatalaksana • • • Segera beri F-75 (jika perlu, rehidrasi dulu) Anak diberi pakaian dan topi, tutup dengan selimut hangat dan pemanas atau lampu di dekatnya (tidak mengarah langsung), atau letakkan anak pada dada atau perut ibu secara langsung (metode kanguru: dari kulit ke kulit). Beri antibiotik sesuai pedoman. Pemantauan • • • Ukur suhu aksila setiap 2 jam hingga meningkat menjadi ≥36,5 oC, bila menggunakan pemanas, suhu diukur setiap 30 menit dan dihentikan bila suhu mencapai 36,5 oC. Anak selalu tertutup pakaian atau selimut. Kadar gula darah. Pencegahan • • Anak ditempatkan di area yang hangat, tidak banyak angin, dan selalu tertutup pakaian atau selimut, dan dijaga tetap kering. Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin, sepanjang hari Dehidrasi1 Diagnosis Pada anak dengan gizi buruk, sulit ditentukan derajat dehidrasi secara tepat bila hanya menggunakan gejala klinis. Menurut pedoman WHO, cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi berlebihan mengenai keparahan pada anak dengan gizi buru. Pada anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas maka dianggap dehidrasi ringan. Pada hipovolemia, dapat bersamaan dengan edema. Tatalaksana • • Jangan menggunakan infus untuk rehidrasi kecuali kasus dehidrasi berat dengan syok. Beri ReSoMal secara oral atau NGT, lakukan lebih lambat dibandingkan rehidrasi pada anak dengan gizi baik. Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah sama setiap jam selama 10 jam. Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang keluar, dan apakah anak muntah. Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) memiliki kadar natrium tinggi dan kalium rendah, sehingga cairan ReSoMal lebih tepat. Bila larutan mineral-mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal dapat dibuat larutan sebagai berikut: Karena laurtan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka dapat diberikan makanan yang mengandung mineral tersebut atau melalui MgSO4 40% IM 1x/hari dengan dosis 0,3 ml/kgBB, maksimal 2 ml/hari. Larutan mineral mix Larutan ini digunakan untuk membuat F-75, F-100, dan ReSoMal. Jika tidak tersedia maka larutan dibuat dengan bahan: Jika ada, ditambah selenium (0,01 g natrium selenat, NaSeO4.10H20) dan iodium (0,005 g kalium iodida) per 1000 ml. Tambahkan 20 ml larutan mineral-mix pada setiap pembuatan 1000 ml F-57/F-100, bila tidak mungkin, beri K, Mg, dan Zn secara terpisah. Buat larutan KCl 10% (100 g dalam 1 liter air) dan larutan 1,5% seng asetat (15 g dalam 1 liter air). Untuk pembuatan ReSoMal, gunakan 45 ml larutan KCl 10% sebagai pengganti 20 ml larutan mineral-mix. Berikan larutan Zn-asetat 1,5% secara oral dengan dosis 1 ml/kgBB/hari. Beri MgSO4 50% IM, 1x/hari dengan dosis 0,3 ml/kgBB/hari, maksimum 2 ml. • • Selanjutnya F-75 diberikan secara teratur setiap 2 jam. Jika masih diare, ReSoMal diberikan setiap diare, pada anak < 1 tahun 50-100 ml setiap BAB, sedangkan ≥ 1 tahun 100-200 ml setiap BAB. Catatan: a. Volume dibulatkan dengan kelipatan 5 ml yang terdekat b. Perubahan frekuensi makan dilakukan bila makanan dapat dihabiskan dan toleransi baik (tidak muntah/diet) c. Anak dengan edema ringan dan sedang (+ dan ++) juga menggunakan tabel ini: − Edema ringan (+): edema hanya punggung kaki − Edema sedang (++): tungkai dan lengan Gangguan keseimbangan elektrolit1 Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium, untuk mengatasinya membutuhkan waktu hingga 2 minggu atau lebih. Dapat juga terjadi kelebihan natrium total dalam tubuh, walau kadar dalam serum dapat rendah, hal ini dapat mengakibatkan edema. Edema ini tidak boleh diberikan diuretik. Pemberian natrium berlebihan dapat menyebabkan kematian. Tatalaksana • • • Pemberian mineral-mix yang ditambahkan dalam F-75, F-100, atau ReSoMal Untuk rehidrasi, gunakan ReSoMal Pemberian makanan tanpa tambahan garam (NaCl) Pemantauan Selama proses rehidrasi, perlu dipantau perbaikan keadaan klinis setiap 30 menit selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Yang dipantau adalah gejala kelebihan cairan (karena dapat mengakibatkan gagal jantung dan kematian), yaitu frekuensi napas, frekuensi nadi, frekuensi miksi dan jumlah urin, frekuensi BAB dan muntah. Perbaikan klinis rehidrasi adalah frekuensi napas dan nadi berkurang dan adanya diuresis. Air mata, mulut basah, mata cekung, dan fontanel berkurang, juga turgor kulit yang membaik. Pada anak gizi buruk, tanda-tanda tersebut seringkali tidak terlihat walaupun telah terjadi rehidrasi penuh sehingga sangat penting untuk memantau berat badan. Pada tanda kelebihan cairan ditemukan frekuensi napas meningkat 5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit, segera hentikan pemberian cairan/ ReSoMal dan nilai ulang setelah 1 jam. Pencegahan • • • Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan F-75 diberikan sesegera mungkin Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap BAB cair Infeksi1 Gejala infeksi seperti demam seringkali tidak ada pada gizi buruk, padahal sering terjadi infeski ganda, oleh karena itu, menurut WHO, semua anak dengan gizi buruk dianggap mengalami infeksi dan perlu segera ditangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia merupakan tanda infeksi berat. Tatalaksana Diberikan pada semua anak dengan gizi buruk: • • Antibiotik spektrum luas Vaksin campak (bila belum pernah mendapat), tunda bila anak syok Pilihan antibiotik spektrum luas: • • Tanpa komplikasi atau tanpa infeksi nyata: kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari. Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, letargis, atau tampak sakit berat) atau ada infeksi nyata: Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan Amoksisilin per oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) atau ampisilin • per oral (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari, ditambah: Gentamisin (7,5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari Catatan: bila anuria/oliguria, tunda gentamisin dosis ke-2 sampai ada diuresis untuk mencegah efek samping/toksik gentamisin. Jika tidak membaik dalam 48 jam, tambah kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari. Jika diduga meningitis, dilakukan pungsi lumbal untuk memastikan, dan berikan kloramfenikol. Infeksi spesifik lainnya (pneumonia, tuberkulosis, malaria, disentri, infeksi kulit, atau jaringan lunak), beri antibiotik sesuai. Pemantauan Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik, lanjutkan pengobatan sampai 10 hari penuh, bila napsu makan belum membaik, lakukan penilaian ulang secara menyeluruh. Defisiensi zat mikro1 Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral, termasuk anemia. Namun pemberian zat bezi ditunda sampai anak mempunyai napsu makan yang baik dan mulai bertambah berat badan (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi, bukan pada fase awal), karena zat besi dapat memperparah infeksi. Tatalaksana Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu: • • • • • • Multivitamin Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari) Seng 2 mg Zn elemental/kgBB/hari) Tembaga (0,3 mg Cu/kgBB/hari) Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi) Vitamin A: per oral pada hari 1 Jika terdapat gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15. Pemberian makan awal (Initial refeeding) Fase awal harus diberikna secara hati-hati karena keadaan fisiologis masih rapuh. Karakteristik utama: • • Jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas dan rendah laktosa. Diberikan secara oral atau NGT, hindari parenteral. • • • • Energi: 100 kkal/kgBB/hari Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat, beri 100 ml/kgBB/hari) Bila masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi dosis F-75 harus terpenuhi. Bila anak memiliki napsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapat dipercepat menjadi 2-3 hari. Formula awal F-75 sesuai resep dan jadwal makan, dibuat untuk mencukupi kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi. Pada F-75 yang berbahan serealia, sebagian gula diganti tepung beras atau maizena sehingga memiliki osmolaritas yang lebih rendah. Formula ini menguntungkan bagi anak gizi buruk dnegan diare persisten, tetapi perlu dimasak dulu. Pemberian formula ini dibagi menjadi 2 yaitu gizi buruk tanpa edema dan dengan edema berat (+++).1 Cara membuat formula WHO (F-75, F-100) − Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan masukkan susu bubuk sedikit demi sedikit, aduk sampai kalis dan berbentuk gel. Tambahkan air hangat dan larutan mineral-mix sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai homogen dan volumenya menjadi 1000 ml. Larutan ini bisa langsung diminum atau dimasak selama 4 menit. − Untuk F-75 yang menggunakan campuran tepung beras atau maizena, larutan harus dididihkan (5-7 menit) dan mineral-mix ditambahkan setelah larutan mendingin. − Apabila tersedia blender, semua bahan dapat dicampur sekaligus dengan air hangat secukupnya. Setelah tercampur homogen baru ditambahkan air hingga volume menjadi 1000 ml. Apabila tidak tersedia blender, gula dan minyak sayur (dianjurkan minyak kelapa) harus diaduk dahulu sampai rata, baru tambahkan bahan lain dan air hangat. Apabila secara oral pada fase awal tidak mencapai kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan melalui NGT. Jangan melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal. Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak tidak terlalu lama puasa, karena risiko kematian dapat meningkat.1 Pemantauan Setiap hari perlu pantau dan catat: • • • • Jumlah makanan yang diberikan dan habiskan Muntah Frekuensi defekasi dan konsistensi feses Berat badan Tumbuh kejar1 Tanda yang menunjukkan fase ini: • • Napsu makan kembali Edema minimal/hilang Tatalaksana Transisi bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh kejar (F-100) yaitu fase transisi: • • • Ganti F-75 dengan F-100, F-100 yang diberikan sejumlah sama dnegan F-75 selama 2 hari berturut-turut. Selanjutnya, jumlah F-100 dinaikkan sebanyak 10 ml setiap pemberian sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit, biasanya saat pemberian mencapai 200 ml/kgBB/hari. Dapat digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100. Setelah transisi bertahap, selanjutnya diberikan: Pemberian makan sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai kemampuan anak) Energi: 150-220 kkal/kgBB/hari Protein: 4-6 g/kgBB/hari Pemantauan Hindari gagal jantung, dengan mengamati gejala dini gagal jantung yaitu nadi cepat dan napas cepat. Jika meningkat (pernapasan naik 5x/menit dan nadi naik 25x/menit) dan kenaikan ini menetap selama 2 kali pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan 4 jam berturutturut, merupakan tanda bahaya yang harus dicari penyebabnya. Lakukan segera: • • Pengurangan volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam Kemudian tingkatkan perlahan-lahan: − 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya − 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya − Selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml − Atasi penyebab Penilaian kemajuan Dinilai dari kenaikan berat badan setelah tahap transisi dan mendapat F-100: • • Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/jari Jika kenaikan berat badan: • • • Kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap Sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi. Baik (> 10 g/kgBB/hari). Stimulasi sensorik dan emosional • • • • • Ungkapan kasih sayang Lingkungan ceria Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit per hari Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat Keterlibatan ibu sesering mungkin Penanganan kondisi penerta1 Masalah pada mata1 • Jangan menggunakan sediaan salep, gunakan penutup mata yang dibahasi larutan garam normal, ganti kasa setiap hari. • Anak dengan defisiensi vitamin A sering fotofobia sehingga selalu menutup matanya, penting untuk diperiksa matanya secara hati-hati untuk menghidari ruptur kornea Anemia berat1 Transfusi dilakukan jika Hb < 4 g/dl atau Hb 4-6 g/dl pada anak mengalami gangguan napas atau gagal jantung. Pada gizi buruk, transfusi diberikan lebih lambat dan volume lebih kecil: • • Darah utuh (whole blood) 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam Furosemid, 1 mg/kg IV saat transfusi dimulai Bila terdapat gejala gagaI jantung, diberikan komponen sel darah merah (packed red cells) 10 ml/kgBB. Pada anak dengan kwashiorkor terdapat redistribusi cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan transfusi.1 Selama trasnfusi, hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT. Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfusi. Jika terjadi peningkatan (frekuensi napas meningkat 5x/menit atau nadi 25x/menit), perlambat transfusi. Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfusi, jangan ulangi transfusi dalam 4 hari.1 Diare persisten1 Tatalaksana: Giardiasis dan kerusakan mukosa usus • • Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskop atas spesimen feses Jika ditemukan kista atau trofozoid Giardia lambia, beri metronidazol 7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari). Intoleransi laktosa1 Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana intoleransi laktosa hanya diberikan jika diare terus menerus menghambat perbaikan umum. F-75 sudah merupakan formula rendah laktosa. Pada kasus tertentu: • • Ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa Pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu diberikan kembali secara bertahap. Diare osmotik1 Diare osmotik perlu diduga jika diare makin memburuk pada pemberian F-75 yang hiperosmolar dan akan berhenti jika kandungan gula dan osmolaritasnya dikurangi. Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia dengan osmolaritas yang lebih rendah. Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap. Tuberkulosis1 Bila ada kecurigaan kuat lakukan tes Mantoux (walaupun seringkali negatif palsu) dan foto thoraks. Pemulangan dan tidak lanjut1 Anak dapat dianggap telah sembuh bila tercapai BB/TB > -2 SD (setara >80 %). Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak berperawakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah. Sarankan: • • Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus) Pemulangan sebelum sembuh total Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh. Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko. Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk mencegah kekambuhan. Beberapa pertimbangan: Anak harus: • • • • telah menyelesaikan pengobatan antibiotik nafsu makan baik kenaikan berat badan yang baik edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang. Ibu atau pengasuh seharusnya: • • • mempunyai waktu untuk mengasuh anak memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis, jumlah dan frekuensi) mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak mungkin,nasihati tentang dukungan yang tersedia. II. Diare Kronis dan Diare Peristen3 Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Pada bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis dan/atau persisten). Gishan mendefinisikan diare kronis sebagai episode diare lebih dari 2 minggu, sedangkan Walker mendefinisikan diare persisten dengan kondisi serupa dengan diare kronis dengan disertai berat badan menurun atau sukar naik. Menurut Bhutta, diare kronis adalah episode diare lebih dari dua minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Adanya perbedaan kejadian diare kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju menyebabka bervariasinya definisi ini. Pada negara berkembang, infeksi lebih banyak terjadi, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan pada negara maju.3,4 Menurut PPM IDAI, diare persisten tidak meliputi diare kronik atau diare rekuren, seperti tropical sprue, celiac disease, cystic fibrosis, dan kelainan herediter lain dengan manifestasi diare. Dari semua episode diare, 3 sampai 20% dapat berlangsung lebih dari 14 hari dan menjadi diare persisten, dan lebih dari 50% kematian akibat diare berhubungan dengan episode persisten.4 Di Indonesia, menurut ahli gastrohepatologi anak, 2 jenis diare yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Etiologi non infeksi umumnya intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan, tinja sering disertai dengan darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis. Namun, perlu diperhatikan pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang. Berikut jenis patogen yang menyebabkan diare infeksi di Indonesia3 Patogenesis3 Menurut CAPGAN (Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition), konsep patogenesis diare kronis adalah paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Kedua jenis diare (persisten dan kronis) seringkali tidak dapat dipisahkan, sehingga lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi.3 Faktor malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan terapi diare, merupakan faktor risiko diare berkepanjangan (prolonged diarrhea). Pada akhirnya diare berkepanjangan menjadi diare persisten yang menjadi enteropati dan malabsorpsi lebih lanjut.4 Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah faktor intralumen dan faktor mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi laktosa. Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penukar ion natriumhidrogen dan klorida-bikarbonat.3 Ghishan membagi patofisiologi diare kronis/persisten menjadi 5 mekanisme3: 1. Sekretoris Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah terjadinya pengikatan antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya. 2. Osmotik Manifestasi terjadi ketika kegagalan proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen usus yang menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH <5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare. 3. Mutasi protein transport Akibat mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion Cl-/HCO3- pada sel brush border apikal ileokolon, menyebabkan gangguan absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat disekresi. Hal ini berlanjut menjadi alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion, kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan mutasi CLD ini ditemukan di Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+–protein pengangkut asam empedu. 4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus Yang dikenal sebagai short bowel syndrome akibat pemotongan usus atau tindakan pembedahan pada gangguan usus seperti pada kondisi-kondisi tertentu seperti necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang masif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien. 5. Perubahan gerakan usus Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma, obstruksi usus dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik. Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom, misalnya saraf adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan/atau proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu terjadinya diare. Manifestasi klinis (komplikasi) Roy et al (2006) melaporkan bahwa pada diare persisten memiliki gambaran diare cair dibandingkan diare disentriform. Selain diare cair, diare persisten memiliki gambaran malnutrisi. Berdasarkan suatu studi kohort, gejala lain antara lain: penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam tinja, dan gejala-gejala flu, banyak ditemukan bila dibandingkan dengan diare akut. Gejala tidak khas yang ada sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya.3 Diagnosis 1. Anamnesis3,4 Meliputi perjalanan penyakit diare termasuk berapa lama, frekuensi diare, faktor risiko penyebab diare (seperti riwayat pemberian makanan atau susu, ada darah dalam tinja, riwayat pemberian obat, penyakit sistemik). Menurut PPM IDAI, perlu jug mencari faktor-faktor risiko penyebab diare antara lain: pemberian ASI eksklusif, riwayat makanan (faktor modifikasi yang mempengaruhi BAB), stress, riwayat masa kehamilan, jenis kelamin, riwayat diare dalam 2 bulan terakhir (menunjukkan masalah system imunologi), tanda adanya penyakit sistemik, pneumonia, di daerah endemis HIV, riwayat pemberian antimikrobaatau antiparasit yang tidak diperlukan sebelumnya. 2. Pemeriksaan fisik3,4 • • • • Khususnya pada penilaian status dehidrasi, status gizi, status perkembangan anak. Edema mungkin menunjukkan adanya protein losing enteropathy yang merupakan akibat sekunder dari inflammatory bowel disease, lymphangiektasia atau colitis. Perianal rash merupakan akibat dari diare yang memanjang atau merupakan tanda dari malabsorpsi karbohidrat karena feses menjadi bersifat asam. Tanda-tanda malnutrisi seperti cheilosis, rambut merah jarang dan mudah dicabut, -lidah yang halus, badan kurus, baggy pants. • Periksa setiap anak dengan diare persisten apakah menderita infeksi yang tidak berhubungan dengan usus seperti pneumonia, sepsis, infeksi saluran kencing, sariawan mulut dan otitis media. Jika ada, beri pengobatan yang tepat. 3. Pemeriksaan laboratorium3,4 a. Pemeriksaan darah Yaitu pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, kalsium, feritin, laju endap darah, dan protein C-reaktif.3 Menurut PPM IDAI, perlu jug untuk memeriksa serum imunologi untuk mengevaluasi adanya defisiensi imun, HIV testing, albumin, vitamin A, D, E, waktu protombin (petanda defisiensi vitamin K), untuk mengevaluasi gangguan nutrisi diare berkepanjangan.4 b. Pemeriksaan tinja Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. pH tinja <5 atau adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja (glukosa, fruktosa, laktosa), membantu mengarahkan kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya. Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa, seperti giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan kejadian diare persisten, juga untuk mencari patogen yang sering ditemukan yaitu E. coli (EPEC), Salmonella, enteroaggregative E. Coli (EAEC), Klebsiella, Aeromonas, Amebiasis, Campylobacter, Shigella, Giardiasis dan Cryptosporidium (antigen testing), Rotavirus (Elisa).3,4 Diperiksa juga smolalitas feses dan elektrolit feses untuk menghitung osmotik gap dapat membantu membedakan antara diare osmotik dengan diare sekretorik. Osmotic gap dihitung dengan rumus: 290 – 2 (Na+ + K+). Osmotic gap > 50 mOsm menunjukkan diare osmotik.3 c. Pemeriksaan lain Pemeriksaan radiologi tidak digunakan pada kasus diare persisten, barium meal dapat menunjukkan nodularitas, striktur dengan dilatasi proksimal usus yang bisa merupakan tempat small bacterial overgrowth yang dapat menyebabkan diare.4 Endoskopi dapat digunakan untuk mengevaluasi beberapa kasus diare persisten. Endoskopi dan kolonoskopi dengan biopsi digunakan untuk mengevaluasi pasien yang dicurigai mengalami inflammatory bowel disease.4 Breath hydrogen test atau pemberian susu bebas laktosa sementara waktu dapat dikerjakan pada pasien yang dicurigai intoleransi laktosa.4 Terapi Pada diare persisten yang disertai gangguan nutrisi harus selalu dianggap sebagai penyakit yang serius, dan terapi harus segera dimulai. Terapi dibagi menjadi : suportif umum, rehabilitasi nutrisi, obat.3 Tatalaksana diare persisten dilakukan secara bertahap meliputi:3,4 1. Penilaian awal, resusitasi, dan stabilisasi3,4 Dinilai status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Pada diare persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya hipokalemia dan asidosis. Pada anak-anak dengan gambaran kegawatan atau infeksi sistemik perlu diberikan antibiotik spektrum luas sebelum hasil kultur diperoleh. Kematian akibat diare paling sering disebabkan oleh dehidrasi, maka intervensi awal yang paling utama adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang. Rehidrasi paling baik dilakukan dengan cairan rehidrasi oral. Larutan oralit efektif bagi kebanyakan anak dengan diare persisten. Namun demikian, pada sebagian kecil kasus, penyerapan glukosa terganggu dan larutan oralit tidak efektif. Ketika diberi larutan oralit, volume BAB meningkat dengan nyata, rasa haus meningkat, timbul tanda dehidrasi atau dehidrasi memburuk dan tinja mengandung banyak glukosa yang tidak dapat diserap. Anak ini memerlukan rehidrasi intravena sampai larutan oralit bisa diberikan tanpa menyebabkan memburuknya diare. 2. Pemberian nutrisi3 Rehabilitasi nutrisi sangatlah penting pada anak malnutrisi yang mengalami infeksi --usus. Sejumlah kalori yang cukup harus selalu disediakan. Menurut PPM IDAI memasukan kalori dinaikkan secara bertahap sampai 50% atau lebih di atas RDA (Recomended Daily Allowance) untuk umur dan jenis kelamin. Pemberian kalori dimulai dari 75 kkal/kgBB/hari dinaikkan bertahap sebesar 25 kkal/kgBB/hari sampai bisa mencapai 200 kkal/kgBB/hari. Pemberian makan harus dimulai kembali segera setelah anak bisa makan. Makanan harus diberikan setidaknya 6 kali sehari untuk mencapai total asupan makanan setidaknya 110 kalori/kg/hari. Walaupun demikian, sebagian besar anak akan malas makan, sampai setiap infeksi serius telah diobati selama 24 – 48 jam. Anak ini mungkin memerlukan pemberian makan melalui pipa nasogastrik pada awalnya. Untuk anak yang tidak dapat menerima volume makanan dalam jumlah yang banyak, kepadatan kalori dapat ditingkatkan dengan penambahan lemak atau karbohidrat, tetapi kapasitas absorpsi usus harus selalu dimonitor. a. Kebutuhan dan jenis diet3,4 Kebutuhan energi sebesar 100 kkal/kgBB/hari dan kebutuhan protein sebesar 2-3 g/kgBB/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung energi 1 kkal/gram. Pilihan terapi nutrisi: diet elemental, diet berbahan dasar susu, dan diet berbahan dasar ayam. Susu bebas laktosa sebaiknya diberikan pada semua anak dengan diare persisten yang tidak mendapat ASI (sesuai dengan algoritme terapi yang dibuat oleh WHO). Eksklusi makanan biasanya diberikan dengan maksud untuk mengatasi intoleransi makanan, yang mungkin merupakan penyebab primer dari diare persisten atau sebagai komplikasinya. Rangkaian eliminasi diet harus dilakukan bertahap mulai dari diet yang masih mengandung sedikit sampai yang sama sekali tidak mengandung bahan yang dilarang, seperti misalnya cow’s milk protein hydrolisat sampai amino acid-based formula, atau sebaliknya sesuai dengan kondisi pasien. Bila tidak terdapat susu protein hidrolisat, dapat dipertimbangkan pemberian susu --protein kedelai, walaupun dari konsensus menyatakan bahwa protein kedelai dapat menyebabkan alergi, tetapi beberapa penelitian memperlihatkan hasil yang baik tentang penggunaan susu kedele untuk kasus intoleransi protein. Pada beberapa kasus, nutrisi klinik harus dipertimbangkan: hal ini meliputi enteral --atau parenteral nutrisi. Enteral nutrisi dapat diberikan melalui selang nasogastrik atau gastrostomi. Hal ini diindikasikan untuk anak yang tidak dapat makan lewat mulut, baik karena penyakit primer di usus atau karena sangat lemah. Continuous enteral nutrition efektif untuk anak dengan fungsi absorpsi yang menurun. Dasar pemikiran dari continuous enteral nutrition adalah rasio dari waktu yang bertambah dibanding dengan fungsi absorpsi. Dengan menambah waktu fungsi permukaan yang berkurang akan meningkatkan absorpsi nutrisi setiap harinya Anak yang sangat kurus, nutrisi enteral mungkin tidak cukup. Pada beberapa kasus --nutrisi parenteral adalah prosedur untuk menyelamatkan jiwa. Nutrisi parenteral harus dilakukan pada fase awal, segera setelah pendekatan nutrisi yang lebih sedikit invasif sudah dicoba tetapi tidak berhasil. Walaupun demikian harus diingat bahwa nutrisi parenteral mempunyai banyak risiko, sehingga merupakan pilihan terakhir, yaitu pada pasien dengan intoleransi terhadap hampir semua makanan, termasuk monosakarida. b. Pemberian mikronutrien3 Vitamin A, asam folat, besi, vitamin B12, zinc bekerja pada mukosa intestinal dan respons imun sehingga harus diberikan pada pasien diare persisten. Pasien diare persisten rentan terhadap kekurangan mikronutrien, diakibatkan asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi. Akibat asupan yang tidak adekuat dan pembuangan melalui defekasi, terjadi defisiensi zinc, vitamin A, dan besi. Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA (Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari. Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigator Collaborative Group menunjukkan bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%. c. Probiotik3 Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii pada penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006) menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-associated diarrhea. 3. Terapi Farmakologis Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak efektif. Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstraintestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi selama 5 hari) diberikan pada kondisi adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia lamblia pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua antibotik berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas. Beri metronidazol 30 mg/kg dibagi 3 dosis, bila ditemukan Clostridium defisil (atau tergantung hasil kultur). Jika ditemukan Klebsiela spesies atau Escherichia coli patogen, antibiotik disesuaikan dengan hasil sensitivitas dari kultur.3,4 4. Follow up Berupa tumbuh kembang anak dan perkembangan hasil terapi. Bila tidak menunjukkan perbaikan, lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung ≥ 2 minggu dimana 50% kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan manajemen nutrisi ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari. Ketika semua terapi telah dilakukan namun tidak ada perbaikan, maka satu-satunya pilihan adalah nutrisi parenteral atau pembedahan, termasuk transplantasi usus.3,4 Pengobatan yang berhasil dengan diet mana pun dicirikan dengan:3,4 • • • • Asupan makanan yang cukup Pertambahan berat badan Diare yang berkurang Tidak ada demam Ciri yang paling penting adalah bertambahnya berat badan. Bertambahnya berat badan dipastikan dengan terjadinya penambahan berat badan setidaknya selama tiga hari berturutturut.4 Kegagalan diet ditunjukkan oleh:4 Peningkatan frekuensi BAB anak (biasanya menjadi >10 berak encer per harinya), sering diikuti dengan kembalinya tanda dehidrasi (biasanya terjadi segera setelah dimulainya diet baru), ATAU Kegagalan dalam pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari. Faktor risiko dan pencegahan Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama terjadinya diare persisten.4 Diare persisten pada kondisi khusus 1. Diare persisten pada infeksi HIV3 Diare persisten merupakan salah satu menifestasi klinis yang banyak dijumpai pada penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining yang dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV seropositif. Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri. Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat menyebabkan diare persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak dijumpai pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah. Schmidt (1997) mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare persisten pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan luas permukaan villi usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-pasien HIV tanpa gejala diare persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi microsporidiasis. Grohmann et al (1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus, Calicivirus, dan Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare. 2. Diare persisten pada keganasan3 Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang secara langsung menstimulus sekresi usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada pancreatic cholera, terbentuk neoplasma sel endokrin pada pankreas yang menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu terjadinya sekresi berlebihan di usus. Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid yang mensekresi serotonin, bradikinin, prostaglandin dan substansi P yang kesemuanya menstimulus proses sekresi di usus. Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin yang menstimulus sekresi di usus, menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma tersebut mengalami diare. Pada sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi asam lambung yang disebabkan tumor penghasil gastrin dapat mengganggu enzim pencernaan dan menyebabkan presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan malabsorpsi zat nutrien. Pada diare jenis ini, tinja memiliki pH yang rendah. Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agen-agen kemoterapi yang sering berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan Irinotecan. 5Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta terhadap villi, sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus. BAB III PEMBAHASAN Gizi buruk marasmik ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan antropometrik. Berdasarkan klinis didapatkan adanya pengeluaran berlebihan dan pemasukan nutrisi yang berkurang (adanya anoreksia), adanya penurunan berat badan sebanyak 4 kg dalam 1 bulan (dari 18 kg menjadi 14 kg ~ 77% dari semula). Terhitung kehilangan berat badan sedang (1625%). Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan adanya bentuk tubuh yang sangat kurus (visible severe wasting), tidak adanya jaringan lemak bawah kulit pada bahu, lengan, dan paha, tulang iga yang terlihat jelas, dan tidak ada edema.5 Antropometrik Berat badan= 14 kg Tinggi badan= 116 cm LLA = 11,5 cm Status Nutrisi BB/U: 14/26 x 100% = 53,8% TB/U: 116/128 x 100% = 90,6% BB/TB: 14/21 x 100% = 66,6% Tebal lemak lengan atas kiri 0,8 cm Berdasarkan perhitungan status nutrisi dengan kurva CDC, BB/U pasien adalah termasuk gizi buruk marasmus (<60% tanpa edema). Data BB/U merupakan data yang menunjukkan status nutrisi sesaat. Berdasarkan tinggi badan, pasien termasuk dalam kategori baik dan normal. Hal ini menyimpulkan bahwa pasien di banding anak-anak seusianya memiliki tinggi yang sama dengan sesuai, namun berdasarkan kurva, pasien sudah berada < persentil 3.5 Berdasarkan rasio berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) maka pasien berada dalam status gizi buruk. Rasio BB/TB lebih akurat dalam menilai status nutrisi, sehingga pasien dapat dikatakan gizi buruk.5 Berdasarkan bagan alur tatalaksana dari Direktorat Bina Gizi, pasien ini termasuk dalam gizi buruk dengan komplikasi (terlihat sangat kurus dengan BB/TB <-3 SD) serta anoreksia, maka keputusan pasien harus di rawat inap di RS sudah tepat.6 Kedaruratan pada gizi buruk dinilai pada anamnesis awal dan pemeriksaan awal yaitu penilaian derajat dehidrasi. Pasien pada saat datang tampak sadar dan masih memberikan respon yang adekuat, tidak pernah pingsan/tidak sadar/kejang. Menurut anamnesis ulang pada caregiver, tampak mata pasien yang lebih cekung dari biasanya. Menurut pemeriksaan oleh dokter pada saat pasien datang, turgor kulit berkurang, namun mata pasien dinilai tidak tampak cekung. Pasien tidak tampak tanda sesak, namun ada takipneu.1 Pada analisis, pasien ini termasuk gizi buruk dengan kedaruratan berupa dehidrasi berat (severe dehydration). Ditandai dengan diare + 2 tanda klinis lemah, mata cekung, dan penurunan turgor. Namun pada diagnosis di IGD, pasien termasuk dehidrasi ringan-sedang.1 Hal ini perlu diperhatikan ada pasien dengan malnutrisi tidak boleh direhidrasi dengan infus karena dapat mengakibatkan overhidrasi dan kematian karena gagal jantung, kecuali pada pasien dengan syok. Pada pasien tidak ditemukan tanda syok, tidak ada penurunan kesadaran, tekanan darah pasien termasuk normal (masih dalam batas bawah: 100/60), dan laju nadi masih termasuk normal yaitu 110x/menit (masih dalam batas atas), kuat, isi cukup, akral pasien juga hangat, tidak ada perlambatan pada waktu pengisian kapiler. Pada pasien harus diberi perawatan rehidrasi secara oral (melalui mulut) dengan larutan rehidrasi khusus gizi buruk (ReSoMal). Jika anak sadar (tidak syok), jaga agar tetap hangat dan berikan glukosa 10% 10 ml/kgBB lewat mulut atau pipa nasogastrik.1,2 Untuk pemberian resomal dilakukan secara lambat dengan dosis 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama, kemudian dilanjutkan 5-10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah sama setiap jam selama 10 jam. Pada pasien ini tidak diberikan ReSoMal, hanya diberikan F-75.1,2,6 Pada pemeriksaan laboratorium juga ditemukan peningkatan ureum darah dan kreatinin darah. Menurut anamnesis dokter di IGD ditemukan riwayat BAK berkurang, temuan ini mendukung adanya dehidrasi sehingga menimbulkan gagal ginjal akut pre-renal. Setelah direhidrasi dan dilakukan pemeriksaan ulang, ditemukan perbaikan nilai ureum darah dan kreatinin darah, yang mendukung dugaan adanya dehidrasi pada pasien. Untuk penatalaksanaan gizi buruk perlu diperhatikan jug status hipoglikemi, hipotermi, infeksi berat, anemia berat, atau kemungkinan kebutaan pada mata, namun pada pasien tidak ditemukan. Pada saat dating, hasil GDS pasien 108 mg/dl, suhu 37,3oC, tidak tampak infeksi berat (tidak demam, tidak takikardi, tidak takipneu, leukositosis tidak terlalu tinggi 12.200), konjungtiva tidak pucat dengan hemoglobin 11,8 mg/dl, serta tidak ditemukan bercak bitot atau ulkus pada kornea pasien.1 Namun semua pasien dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia, sehingga harus diberikan tatalaksana berupa pemberian makan atau larutan glukosa 10%. Pemberian F-75 harus diberikan segera. Pada pasien ini diberikan F-75 via NGT sebanyak 8 x 200 ml dengan bahan dasar pregestinil.1 Menurut perhitungan berdasarkan PPM WHO dan IDAI, pemberian awal diberikan energi 80-100 kkal/kgBB/hari, protein 1-1,5 g/kgBB/hari, dan cairan 130 ml/kgBB/hari.1 Pada hari 1-2 frekuensi yang diberikan setiap 2 jam dengan volume per pemberian adalah 11 ml (11 x 14 = 154 ml). Volume yang diberikan per hari adalah 130 ml x 14 = 1.820 ml. Pada pasien ini diberikan sebanyak 8 kali (artinya setiap jam) dengan volume 200 ml, artinya dalam sehari diberikan 1.600 ml. Berdasarkan perhitungan ini sebenarnya volume cairan yang diberikan kurang. Jumlah energi yang diberikan adalah 14 x (80-100) = 1120 – 1400 kkal/hari. Pada pemberian 1.600 ml x 0,75 = 1.200 kkal/hari, maka pemberian kalori per hari pada tatalaksana awal ini sesuai (termasuk dalam kisaran energi yang diberikan pada fase awal). Pada pasien ini tidak ditemukan gangguan elektrolit, sehingga tidak perlu ditatalaksana. Namun, hasil analisis gas darah ditemukan penurunan HCO3 dan CO2 tetapi dengan pH darah normal. Hal ini dipikirkan pasien mengalami kompensasi dari asidosis metabolik yaitu melalui peningkatan frekuensi napas. Asidosis metabolik diperkirakan akibat pasien muntahmuntah dan diare sehingga HCO3 banyak keluar dari tubuh. Untuk tatalaksana infeksi, dimulai sejak hari 1. Walaupun pada pasien tidak ada demam, pada pasien ini perlu diberi antibiotik, karena pada gizi buruk, demam dan gejala infeksi lainnya seringkali tidak ada. Pada pasien harus diberikan antibiotic spectrum luas, di mana pemberiannya dibedakan berdasarkan ada/ tidaknya komplikasi dan ada/ tidaknya infeksi nyata. Pada pasien yang tidak ada komplikasi/ infeksi nyata diberi kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari. Pada pasien ini tidak diberikan, namun diberikan cefotaxime dan metronidazole.1 Pada semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral, sehingga perlu disuplementasi. Berdasarkan PPM WHO, diberikan:1 • • • • • Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari) Seng 2 mg Zn elemental/kgBB/hari Tembaga (0,3 mg Cu/kgBB/hari) Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi) Vitamin A: per oral pada hari 1 Pada pasien ini diberikan vitamin A, asam folat, dan zinc namun tidak diberikan tembaga. Selain gizi buruk, pasien mengalami diare > 14 hari. Pada pasien ini dipikirkan diare berkepanjangan (persisten atau/dan kronis). Diare berkepanjangan ini dapat disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi. Pada anamenesis berat badan pasien adalah 18 kg sebelum diare, artinya, pada awalnya pasien sudah mengalami malnutrisi, yaitu gizi kurang (baik berdasarkan BB/U maupun BB/TB, keduanya termasuk dalam gizi kurang). Adanya kondisi yang mendasari ini, membuat diare akut menjadi diare yang berkepanjangan. Berdasarkan data epidemiologi, pasien yang berada di Indonesia, lebih didominasi oleh diare persisten (yang disebabkan oleh infeksi), hal ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan analisis feses dan kultur feses, dan diperkirakan adanya Giardiasis karena sifat giardiasis yang dapat merusak mukosa usus sehingga menyebabkan gizi buruk. Berdasarkan anamnesis juga lebih mengarah kepada infeksi, karena pasien tetap mengalami diare meski asupan pasien berkurang (lebih mengarah kepada sekretori daripada osmotik), dengan konsistensi sangat cair, dan diare tidak bertambah bila pasien minum susu. Sebelumnya pasien tidak diare bila minum susu, sehingga dapat menyingkirkan adanya intoleransi laktosa. Diare baru muncul dalam 1 bulan SMRS, tidak bersifat congenital sehingga bias menyingkirkan adanya mutasi gen seperti CLD. Riwayat pembedahan juga disangkal. Perubahan motilitas juga disangkal.3,4 Berdasarkan epidemiologi di Indonesia, enteropatogen yang dapat ditemukan pada diare kronis antara lain: Rotavirus, V. cholera, Salmonella sp., E. coli, Campylobacter j., Entamoeba histolytica, Staphylococcus aureus, Shigella, Pseudomonas, Salmonella thypi, Morganella morgagni, Klebsiella, Enterobacter, Aeromonas, Klebsiella oxytocin, dan infeksi campuran. Pada analsis feses pasien ini ditemukan adanya lendir dan bakteri batang gram negatif, temuan ini mengarah kepada infeksi Shigella, Salmonella, Klebsiella, Enterobacter. Morganella, Aeromonas. Bau normal dan pH yang normal (cenderung basa), dapat konfirmasi untuk menyingkirkan intoleransi laktosa.3,4 Gizi buruk diperkirakan akibat asupan nutrisi yang kurang karena adanya oral thrush atau kandidosis pada mulut, lidah, dan tenggoroknya sehingga pasien tidak mau makan dalam 1 minggu SMRS. Gizi buruk diperberat dengan adanya riwayat diare selama 1 bulan SMRS, yang semakin memberat dalam 1 minggu SMRS, yang dipikirkan akibat dari malnutrisi sehingga terjadi perkembangbiakan bakteri usus yang berlebihan dan menyebabkan kerusakan epitel mukosa usus lebih parah dan diare yang lebih parah. 3 Berdasarkan Nelson textbook of Pediatrics, adanya kandidosis oral ini perlu pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut, seperti pemeriksaan untuk kecurigaan yang mengarah kepada kondisi imunodefisiensi, seperti HIV, ditambah dengan adanya gizi buruk dan diare persisten. Berdasarkan PPM IDAI, pasien dengan diare persisten dilakukan pemeriksaan HIV testing.7 DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: WHO Indonesia. 2009; 193-219. 2. IDAI. Pedoman pelayanan medis IDAI. Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011; 183-8. 3. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Buku ajar gastroenterologihepatologi. Jakarta: UKK-Gastroenterologi-hepatologi IDAI. 2009; 125-40. 4. IDAI. Pedoman pelayanan medis IDAI. Jilid II. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011; 53-9. 5. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH. Diagnosis fisis pada anak. Jakarta: CV Sagung Seto. 2009;32-4 6. Kemenkes. Bagan tatalaksana anak gizi buruk. Buku I. Jakarta: Direktorat bina gizi. 2011. 7. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier. 2011.