PRESENTASI KASUS GANGGUAN NUTRISI Oleh: Angela Christina

advertisement
PRESENTASI KASUS
GANGGUAN NUTRISI
Oleh:
Angela Christina
0906639663
Narasumber:
Dr. dr. Lanny Christine Gultom, SpA
MODUL KESEHATAN ANAK DAN REMAJA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA 2014
BAB I
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama
: An. AF
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jayakarsa
Usia
: 8 tahun
Tanggal lahir
: 9 Maret 2006
No rekam medis
: 1287626
Caretaker
: Tante
Kebangsaan
: Indonesia
Alloanamnesis
: Tante
Tanggal masuk
: 15 Maret 2014
Tanggal pemeriksaan : 18 Maret 2014
Keluhan Utama
Diare yang memberat dalam 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dikatakan sudah diare sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, namun
semakin parah dalam 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien BAB >4x/hari,
konsistensi cair, tidak ada ampas (hanya air saja), tidak ada lendir, tidak ada darah, kadang
tampak busa, warna kuning-coklat, tidak pernah seperti warna air cucian beras. Pasien
dikatakan tetap diare meski makan dihentikan, tante pasien mengatakan feses pasien berbau
tidak biasa. Nyeri perut disangkal, mules disangkal. Demam hilang timbul diakui tante pasien
1 minggu SMRS, namun tidak diukur. Pasien kadang muntah, isi dan jumlah muntahan sama
dengan apa yang dimakan. Mual disangkal.
Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sariawan, nyeri
tenggoroknya, dan sakit bila menelan. Terdapat bercak-bercak putih di mulut dan lidah, di
pinggir bibir pasien tampak kering dan luka. Pasien jarang membuka mulutnya, hanya mau
makan 2-3 sendok saja. Pasien cenderung untuk minun yang banyak diakui tante pasien
supaya nyeri tenggoroknya berkurang. Pasien juga tampak semakin kurus, sangat lemas dan
tidak mampu berdiri dan berjalan sendiri. Pasien tidak masuk sekolah selama 1 minggu
karena lemas. Mata pasien tampak lebih cekung dari biasanya.
Pasien juga batuk dalam 1 bulan terakhir, sempat sembuh kemudian batuk lagi, tidak
ada dahak pada awalnya, namun sejak dirawat tampak dahak warna hijau. Demam naik turun
diakui tante pasien, keringat malam disangkal, kontak keluarga/teman yang memiliki sakit
TB disangkal, berat badan tidak naik sejak 1 tahun SMRS. Pasien sejak kecil memang tidak
pernah gemuk (tante pasien mengaku biasanya ukuran tubuh pasien sedang saja tidak terlalu
kurus), berat sempat naik hingga 18 kg selama setahun terakhir, namun saat ini turun karena
diare lama menjadi 14 kg.
Pasien pernah mengalami diare yang serupa pada desember 2012 tetapi hanya
sebentar (sekitar 2 minggu), saat itu napsu makan pasien baik, tidak ada demam, tidak sampai
penurunan berat badan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang disangkal. Sakit lama, alergi, riwayat pengobatan TB disangkal. Pasien
dikatakan mudah sakit batuk pilek dan bisul di seluruh tubuh. Pasien tidak pernah diare
karena minum susu sapi.
Riwayat Penyakit Keluarga
Batuk lama atau batuk darah disangkal. Orang tua pasien meninggal karena sakit namun tidak
diketahui sakit apa.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Lingkungan Keluarga
Pasien diangkat oleh tantenya karena orang tua pasien sudah tidak ada. Saat ini pasien tinggal
dengan tante, kedua anak tantenya yang sudah bekerja, seorang bekerja di daerah Sudirman,
seorang lagi bekerja di kedai kopi Starbucks. Om pasien bekerja sebagai supir pribadi dan
kuli di sebuah pabrik di Jakarta.
Ibu pasien meninggal karena sakit pada saat pasien berusia 1 tahun, sedangkan ayah pasien
meninggal karena sakit pada saat pasien usia 8 tahun. Sejak pasien berusia 1 tahun, pasien
dititipkan oleh ayahnya untuk diurus oleh keluarga tantenya (suami tantenya dengan ayah
pasien merupakan kakak beradik). Sakit kedua orang tua pasien tidak diketahui.
Jaminan yang digunakan KJS-JKN.
Pasien tidak diberi uang jajan oleh tantenya karena tantenya takut pasien jajan sembarangan,
namun guru pasien dan ibu-ibu teman-teman pasien suka memberinya uang, sehingga pasien
dapat jajan. Di sekolah pasien suka jajan mie kocok, es dan mie lainnya.
Riwayat Kehamilan
Pasien adalah anak tunggal. Riwayat saat hamil ibu pasien tidak diketahui sakit apa dan
minum obat apa. Ibu pasien meninggal saat pasien berusia 1 tahun.
Riwayat Kelahiran
Pasien lahir ditolong oleh bidan, lahir spontan, cukup bulan, berat lahir dan panjang lahir
tidak diketahui tante pasien, pasien langsung menangis, tidak biru, tidak pucat, tidak kuning,
tidak kejang, nilai APGAR tidak diketahui, tidak ada kelainan bawaan saat lahir.
Riwayat Nutrisi
Riwayat ASI dan susu formula tidak diketahui. Selama ini pola makan biasa, 3x/hari, selalu
habis 1 porsi, makanan yang biasa dimakan nasi lauk pauk dan sayur.
Riwayat Imunisasi
Pasien hanya mendapat imunisasi pada saat baru lahir, dan campak saja yang di sekolah.
Alasannya karena saat itu diurus ibunya dan tidak diimunisasi oleh ibunya. Tante pasien
mengaku pernah membawa pasien untuk imunisasi oral pada usia 1 tahun.
Riwayat Tumbuh Kembang
Pasien masih dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Saat ini pasien berusia 8
tahun, kelas 2 SD. Guru pasien mengatakan pada tantenya bahwa pasien memiliki kemauan
belajar sehingga dapat mengikuti pelajaran dan sejajar dengan anak-anak lainnya walaupun
pasien sedang sakit.
Pemeriksaan Fisik (15 Maret 2014)
Antropometrik
Berat badan= 14 kg
Tinggi badan= 116 cm
LLA = 11,5 cm
Status Nutrisi
BB/U: 14/26 x 100% = 53,8%
TB/U: 116/128 x 100% = 90,6%
BB/TB: 14/21 x 100% = 66,6%
Tebal lemak lengan atas kiri 0,8 cm
Kesimpulan: gizi buruk marasmik
Kesadaran
Kompos mentis
Keadaan umum
Tampak sakit berat, tidak tampak pucat, tidak tampak sianosis, tidak
tampak kuning, aktif bergerak
Denyut nadi
110x/ menit, reguler, isi cukup, ekual
Laju napas
28x/ menit
Suhu
37,3°C di axilla
Tekanan darah
100/60 mmHg
Kepala
Normosefal, tidak ada deformitas, rambut hitam, persebaran merata,
tidak mudah dicabut
Mata
Mata terlihat cekung, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik,
RCL +/+, RCTL +/+
Hidung
Tidak ada napas cuping hidung.
Mulut
Mukosa kering, ada oral trush.
Telinga
Tidak ada deformitas, tidak ada sekret, membran timpani intak
Leher
KGB tidak teraba membesar, tidak ada gerakan otot bantu napas m.
sternokleidomastoideus
Paru
Inspeksi: tidak ada kelainan bentuk dada, pergerakan dada simetris,
tidak ada retraksi.
Palpasi: fremitus simetris
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi: vesikuler/vesikuler, tidak ada rhonki dan tidak ada
wheezing.
Jantung
Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga IV 1 jari medial linea
midklavikula kiri, tidak ada heaving, lifting, maupun thrilling
Perkusi: batas jantung normal
Auskultasi: BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen
Inspeksi: datar, lemas, tidak terdapat venektasi
Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan, hepar teraba 3 cm di bawah
arcus costae, 5 cm di bawah prosesus xyphoideus, tepi tajam,
permukaan rata, kenyal. Lien tidak teraba.
Perkusi: shifting dullness (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Punggung
Tidak terdapat gibbus, tidak terdapat deformitas lainnya
Genital
Tidak diperiksa
Anus
Tidak diperiksa
Extremitas
Tidak terdapat pitting edema, terdapat wasting, terdapat clubbing
finger, tidak terdapat baggy pants
Kulit
Turgor kulit kurang
Pemeriksaan Fisik (18 Maret 2014)
Kesadaran
Kompos mentis
Keadaan umum
Tampak sakit berat, tidak tampak pucat, tidak tampak sianosis, tidak
tampak kuning, aktif bergerak
Denyut nadi
104x/ menit, reguler, isi cukup, ekual
Laju napas
18x/ menit
Suhu
36,3°C di axilla
Tekanan darah
120/70 mmHg
Kepala
Normosefal, tidak ada deformitas, rambut hitam, persebaran merata,
tidak mudah dicabut, muka tampak lebih tua dari usia
Mata
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, becak bitot tidak ada,
ulkus kornea tidak ada
Hidung
Tidak ada napas cuping hidung.
Mulut
Mukosa kering, tidak ada oral thrush.
Telinga
Tidak ada deformitas, tidak ada sekret, membran timpani intak
Leher
KGB tidak teraba membesar, tidak ada gerakan otot bantu napas m.
sternokleidomastoideus
Paru
Inspeksi: tidak ada kelainan bentuk dada, pergerakan dada simetris,
tidak ada retraksi.
Palpasi: fremitus simetris
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi: vesikuler/vesikuler, tidak ada rhonki dan tidak ada
wheezing.
Jantung
Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga IV 1 jari medial linea
midklavikula kiri, tidak ada heaving, lifting, maupun thrilling
Perkusi: batas jantung normal
Auskultasi: BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen
Inspeksi: datar, lemas, tidak terdapat venektasi
Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan, hepar teraba 3 cm di bawah
arcus costae, tepi tajam, permukaan rata, kenyal. Lien tidak teraba.
Perkusi: shifting dullness (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Punggung
Tidak terdapat gibbus, tidak terdapat deformitas lainnya
Genital
Tidak diperiksa
Anus
Tidak diperiksa
Extremitas
Tidak terdapat pitting edema, terdapat wasting, terdapat clubbing
finger, tidak terdapat baggy pants, CRT<2”, akral hangat, tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening.
Kulit
Turgor kulit baik
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan Darah (15 Maret 2014)
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
VER/HER/KHER/RDW
VER
HER
KHER
RDW
Kimia Klinik
SGOT
SGPT
Ureum Darah
Kreatinin Darah
GDS
Elektrolit Darah
Natrium
Kalium
Klorida
Analisis Gas Darah
pH
pCO2
pO2
HCO3
O2 Saturasi
BE (Base Excess)
Total CO2
Hasil
Rujukan
11,8
34
12,2
512
4,7
10,7 – 14,7
31-43
5,0 – 14,5
181-521
3,8 – 5,8
72,1
25,0
34, 7
15,5
72,0 – 88,0
23,0 – 31,0
26,0 – 34,0
11,5 – 14,5
41
27
54
1,5
108
0 – 34
0 – 40
0 – 48
0,0 – 0,9
60 – 100
117
2,86
95
135 – 147
3,10 – 5,10
95-108
7,373
16,6
92,8
9,4
97,2
-12,8
10
7,370 – 7,440
35,0 – 45,0
83,0 – 108,0
21,0 – 28,0
95,0 – 99,0
-2,5 – 2,5
19 – 24
Pemeriksaan Darah (16 Maret 2014)
Pemeriksaan
Ureum Darah
Kreatinin Darah
Natrium
Kalium
Klorida
Hasil
49
0,6
128
3,17
104
Rujukan
0 – 48
0 – 0,9
135 – 147
3,10 – 5,10
95 – 108
Pemeriksaan Feses (17 Maret 2014)
Pemeriksaan
Makroskopik
Konsistensi
Warna
Bau
pH
Unsur lain
Cacing
Nanah
Lendir
Darah
Mikroskopik
Leukosit
Eritrosit
Lemak
E. coli
E. Histolytica
Amilum
Jamur
Serat Otot
Serat Tumbuhan
Telur Cacing
Kimia
Gula
Darah Samar
Pemeriksaan Bakteriologi
Hasil
Rujukan
Lunak
Kuning
Normal
8
Lunak
Kuning-coklat
Normal
7-8
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
0-1
0-1
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
<10/LPB
<3/LPB
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Bakteri batang gram negatif (+)
Pencitraan
CXR PA Thorax (15 Maret 2014): infiltrate perikardiak
Daftar Masalah
1. Gizi buruk marasmik
2. Diare kronik dd/ diare persisten
3. Kandidosis oral
4. Intake sulit dengan dehidrasi ringan-sedang
5. Suspek TB paru
Rencana Tatalaksana
1. Rawat inap
2. Diet F-75 (bahan dasar pregestinil) 8 x 200 ml / NGT
3. KaEN 3B 1000 ml/ 24 jam + KCl 10 mg/kolf
4. Pasang NGT
5. Cefotaxime 3 x 500 mg IV
6. Mycostatin drip 3 x 2 ml
7. Metronidazol 3 x 150 mg IV
8. Vit A 1 x 200.000
9. Asam folat 1 x 5 mg
10. Zinc 1 x 20 mg
Rencana Diagnosis
1.
2.
3.
4.
5.
Kultur darah
Kultur urin
Kultur feses
Analisis feses
Tes Mantoux
Prognosis
Ad vitam
: bonam
Ad functionam: bonam
Ad sanactionam: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Gizi Buruk
Anak didiagnosis mengalami gizi buruk bila1,2:
•
•
BB/TB < -3 SD atau < 70% dari median (pada marasmus)
Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB > -3
SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB < -3 SD).
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, penilaian dilakukan secara klinis, yaitu anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting), tidak memiliki jaringan lemak bawah kulit
(dinilai pada bahu, lengan, pantat, dan paha), tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa
edema.1
Bila BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, bila anak tersebut pendek, maka tidak terlihat
sangat kurus. Anak tersebut tidak perlu rawat inap kecuali memiliki penyakit lain yang berat.1
Gambar 1. Gambaran klinis pasien anak dengan marasmus dan kwashiorkor1
Anamnesis awal ditujukan untuk mencari kedaruratan, yaitu dehidrasi dan/atau syok, yang
harus diatasi segera1:
•
•
•
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lendir)
Tangan dan kaki terasa dingin sejak kapan
Anamnesis lanjutan ditujukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan ditangani1:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit
Riwayat pemberian ASI
Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
Hilangnya napsu makan
Kontak pasien campak atau TB paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Batuk kronik
Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
Berat lahir
Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara, dll
Riwayat imunisasi
Pengukuran berat badan setiap bulan
Lingkungan keluarga (menilai latar belakang sosial anak)
Diketahui/tersangka infeksi HIV
Pemeriksaan fisik:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Habitus: sangat kurus, edema kedua punggung kaki
Status gizi dengan BB/TB-PB
Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk
Tanda syok : tangan dingin, waktu pengisian kapiler lambat, nadi lemah, dan cepat,
kesadaran menurun
Demam (suhu aksila ≥ 37,5 oC) atau hipotermi (suhu aksila < 35,5 oC)
Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
Sangat pucat
Pembesaran hati dan ikterus
Perut kembung, bising usus melemah/meninggi, asites, suara pukulan pada
permukaan air (abdominal splash)
Tabel 1. Tatalaksana anak gizi buruk (10 langkah)1,2
Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 2 fase yaitu: fase stabilisasi dan
fase rehabilitasi.1
Hipoglikemia1
Semua anak gizi buruk berisiko hipoglikemia (ditandai dengan kadar gula darah < 3 mmol/L
atau <54 mg/dl), maka setiap anak gizi buruk harus mendapat makan atau larutan glukosa
10% segera setelah masuk rumah sakit. Bila tidak ada fasilitas untuk memeriksa kadar gula
darah maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera
ditangani sesuai panduan.1
Tatalaksana:
•
•
•
•
•
Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaan memungkinkan.
Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 mL larutan
glukosa atau gula 10% (1 sendok terh munjung gula dalam 50 ml air) secara
oral/NGT.
Bila masih mendapat ASI, teruskan di luar jadwal pemberian F-75.
Jika anak tidak sadar (letargis), diberikan larutan glukosa 10% secara IV bolus
sebanyak 5 ml/kgBB atau larutan glukosa (gula pasir) 50 ml secara NGT.
Antibiotik.
Pantau:
Jika kadar gula darah awal rendah maka ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30
menit.
•
•
Jika masih hipoglikemia (kadar gula darah < 3 mmol/L atau <54 mg/dl), ulangi
pemberian glukosa atau gula 10%.
Jika suhu rektal <35,5 oC atau kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia
disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula darah sesuai keadaan yaitu
hipotermia dan hipoglikemia.
Pencegahan:
Beri makanan awal F-75 setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu lakukan
rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang malam.
Hipotermia (suhu aksila < 35,5 OC)1
Tatalaksana
•
•
•
Segera beri F-75 (jika perlu, rehidrasi dulu)
Anak diberi pakaian dan topi, tutup dengan selimut hangat dan pemanas atau lampu di
dekatnya (tidak mengarah langsung), atau letakkan anak pada dada atau perut ibu
secara langsung (metode kanguru: dari kulit ke kulit).
Beri antibiotik sesuai pedoman.
Pemantauan
•
•
•
Ukur suhu aksila setiap 2 jam hingga meningkat menjadi ≥36,5 oC, bila menggunakan
pemanas, suhu diukur setiap 30 menit dan dihentikan bila suhu mencapai 36,5 oC.
Anak selalu tertutup pakaian atau selimut.
Kadar gula darah.
Pencegahan
•
•
Anak ditempatkan di area yang hangat, tidak banyak angin, dan selalu tertutup
pakaian atau selimut, dan dijaga tetap kering.
Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin, sepanjang
hari
Dehidrasi1
Diagnosis
Pada anak dengan gizi buruk, sulit ditentukan derajat dehidrasi secara tepat bila hanya
menggunakan gejala klinis. Menurut pedoman WHO, cenderung terjadi diagnosis berlebihan
dari dehidrasi dan estimasi berlebihan mengenai keparahan pada anak dengan gizi buru. Pada
anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas maka dianggap dehidrasi
ringan. Pada hipovolemia, dapat bersamaan dengan edema.
Tatalaksana
•
•
Jangan menggunakan infus untuk rehidrasi kecuali kasus dehidrasi berat dengan syok.
Beri ReSoMal secara oral atau NGT, lakukan lebih lambat dibandingkan rehidrasi
pada anak dengan gizi baik.
 Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
 Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan
F-75 dengan jumlah sama setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang
keluar, dan apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) memiliki kadar natrium tinggi dan kalium
rendah, sehingga cairan ReSoMal lebih tepat.
Bila larutan mineral-mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal dapat dibuat larutan
sebagai berikut:
Karena laurtan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka dapat diberikan makanan
yang mengandung mineral tersebut atau melalui MgSO4 40% IM 1x/hari dengan dosis 0,3
ml/kgBB, maksimal 2 ml/hari.
Larutan mineral mix
Larutan ini digunakan untuk membuat F-75, F-100, dan ReSoMal. Jika tidak tersedia maka
larutan dibuat dengan bahan:
Jika ada, ditambah selenium (0,01 g natrium selenat, NaSeO4.10H20) dan iodium (0,005 g
kalium iodida) per 1000 ml.
Tambahkan 20 ml larutan mineral-mix pada setiap pembuatan 1000 ml F-57/F-100, bila tidak
mungkin, beri K, Mg, dan Zn secara terpisah. Buat larutan KCl 10% (100 g dalam 1 liter air)
dan larutan 1,5% seng asetat (15 g dalam 1 liter air). Untuk pembuatan ReSoMal, gunakan 45
ml larutan KCl 10% sebagai pengganti 20 ml larutan mineral-mix. Berikan larutan Zn-asetat
1,5% secara oral dengan dosis 1 ml/kgBB/hari. Beri MgSO4 50% IM, 1x/hari dengan dosis
0,3 ml/kgBB/hari, maksimum 2 ml.
•
•
Selanjutnya F-75 diberikan secara teratur setiap 2 jam.
Jika masih diare, ReSoMal diberikan setiap diare, pada anak < 1 tahun 50-100 ml
setiap BAB, sedangkan ≥ 1 tahun 100-200 ml setiap BAB.
Catatan:
a. Volume dibulatkan dengan kelipatan 5 ml yang terdekat
b. Perubahan frekuensi makan dilakukan bila makanan dapat dihabiskan dan toleransi
baik (tidak muntah/diet)
c. Anak dengan edema ringan dan sedang (+ dan ++) juga menggunakan tabel ini:
− Edema ringan (+): edema hanya punggung kaki
− Edema sedang (++): tungkai dan lengan
Gangguan keseimbangan elektrolit1
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium, untuk
mengatasinya membutuhkan waktu hingga 2 minggu atau lebih. Dapat juga terjadi kelebihan
natrium total dalam tubuh, walau kadar dalam serum dapat rendah, hal ini dapat
mengakibatkan edema. Edema ini tidak boleh diberikan diuretik. Pemberian natrium
berlebihan dapat menyebabkan kematian.
Tatalaksana
•
•
•
Pemberian mineral-mix yang ditambahkan dalam F-75, F-100, atau ReSoMal
Untuk rehidrasi, gunakan ReSoMal
Pemberian makanan tanpa tambahan garam (NaCl)
Pemantauan
Selama proses rehidrasi, perlu dipantau perbaikan keadaan klinis setiap 30 menit selama 2
jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Yang dipantau adalah gejala
kelebihan cairan (karena dapat mengakibatkan gagal jantung dan kematian), yaitu frekuensi
napas, frekuensi nadi, frekuensi miksi dan jumlah urin, frekuensi BAB dan muntah.
Perbaikan klinis rehidrasi adalah frekuensi napas dan nadi berkurang dan adanya diuresis. Air
mata, mulut basah, mata cekung, dan fontanel berkurang, juga turgor kulit yang membaik.
Pada anak gizi buruk, tanda-tanda tersebut seringkali tidak terlihat walaupun telah terjadi
rehidrasi penuh sehingga sangat penting untuk memantau berat badan. Pada tanda kelebihan
cairan ditemukan frekuensi napas meningkat 5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit, segera
hentikan pemberian cairan/ ReSoMal dan nilai ulang setelah 1 jam.
Pencegahan
•
•
•
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan
F-75 diberikan sesegera mungkin
Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap BAB cair
Infeksi1
Gejala infeksi seperti demam seringkali tidak ada pada gizi buruk, padahal sering terjadi
infeski ganda, oleh karena itu, menurut WHO, semua anak dengan gizi buruk dianggap
mengalami infeksi dan perlu segera ditangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan
hipotermia merupakan tanda infeksi berat.
Tatalaksana
Diberikan pada semua anak dengan gizi buruk:
•
•
Antibiotik spektrum luas
Vaksin campak (bila belum pernah mendapat), tunda bila anak syok
Pilihan antibiotik spektrum luas:
•
•
Tanpa komplikasi atau tanpa infeksi nyata: kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5
mg TMP/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari.
Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, letargis, atau tampak sakit berat) atau
ada infeksi nyata:
 Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan
Amoksisilin per oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) atau ampisilin
•
per oral (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 5 hari) sehingga total selama
7 hari, ditambah:
 Gentamisin (7,5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari
Catatan: bila anuria/oliguria, tunda gentamisin dosis ke-2 sampai ada
diuresis untuk mencegah efek samping/toksik gentamisin.
Jika tidak membaik dalam 48 jam, tambah kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV setiap
8 jam) selama 5 hari.
Jika diduga meningitis, dilakukan pungsi lumbal untuk memastikan, dan berikan
kloramfenikol. Infeksi spesifik lainnya (pneumonia, tuberkulosis, malaria, disentri, infeksi
kulit, atau jaringan lunak), beri antibiotik sesuai.
Pemantauan
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik, lanjutkan pengobatan sampai 10 hari
penuh, bila napsu makan belum membaik, lakukan penilaian ulang secara menyeluruh.
Defisiensi zat mikro1
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral, termasuk anemia. Namun
pemberian zat bezi ditunda sampai anak mempunyai napsu makan yang baik dan mulai
bertambah berat badan (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi, bukan pada fase
awal), karena zat besi dapat memperparah infeksi.
Tatalaksana
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:
•
•
•
•
•
•
Multivitamin
Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
Seng 2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
Tembaga (0,3 mg Cu/kgBB/hari)
Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)
Vitamin A: per oral pada hari 1
Jika terdapat gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan
terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
Pemberian makan awal (Initial refeeding)
Fase awal harus diberikna secara hati-hati karena keadaan fisiologis masih rapuh.
Karakteristik utama:
•
•
Jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas dan rendah laktosa.
Diberikan secara oral atau NGT, hindari parenteral.
•
•
•
•
Energi: 100 kkal/kgBB/hari
Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari
Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat, beri 100 ml/kgBB/hari)
Bila masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi dosis F-75 harus terpenuhi.
Bila anak memiliki napsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapat dipercepat
menjadi 2-3 hari.
Formula awal F-75 sesuai resep dan jadwal makan, dibuat untuk mencukupi kebutuhan zat
gizi pada fase stabilisasi. Pada F-75 yang berbahan serealia, sebagian gula diganti tepung
beras atau maizena sehingga memiliki osmolaritas yang lebih rendah. Formula ini
menguntungkan bagi anak gizi buruk dnegan diare persisten, tetapi perlu dimasak dulu.
Pemberian formula ini dibagi menjadi 2 yaitu gizi buruk tanpa edema dan dengan edema
berat (+++).1
Cara membuat formula WHO (F-75, F-100)
− Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan masukkan susu bubuk
sedikit demi sedikit, aduk sampai kalis dan berbentuk gel. Tambahkan air hangat dan
larutan mineral-mix sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai homogen dan
volumenya menjadi 1000 ml. Larutan ini bisa langsung diminum atau dimasak selama
4 menit.
− Untuk F-75 yang menggunakan campuran tepung beras atau maizena, larutan harus
dididihkan (5-7 menit) dan mineral-mix ditambahkan setelah larutan mendingin.
− Apabila tersedia blender, semua bahan dapat dicampur sekaligus dengan air hangat
secukupnya. Setelah tercampur homogen baru ditambahkan air hingga volume
menjadi 1000 ml. Apabila tidak tersedia blender, gula dan minyak sayur (dianjurkan
minyak kelapa) harus diaduk dahulu sampai rata, baru tambahkan bahan lain dan air
hangat.
Apabila secara oral pada fase awal tidak mencapai kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari),
berikan melalui NGT. Jangan melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal. Pemberian makan
sepanjang malam hari sangat penting agar anak tidak terlalu lama puasa, karena risiko
kematian dapat meningkat.1
Pemantauan
Setiap hari perlu pantau dan catat:
•
•
•
•
Jumlah makanan yang diberikan dan habiskan
Muntah
Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
Berat badan
Tumbuh kejar1
Tanda yang menunjukkan fase ini:
•
•
Napsu makan kembali
Edema minimal/hilang
Tatalaksana
Transisi bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh kejar (F-100) yaitu fase
transisi:
•
•
•
Ganti F-75 dengan F-100, F-100 yang diberikan sejumlah sama dnegan F-75 selama 2
hari berturut-turut.
Selanjutnya, jumlah F-100 dinaikkan sebanyak 10 ml setiap pemberian sampai anak
tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit, biasanya saat pemberian mencapai
200 ml/kgBB/hari. Dapat digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang
kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100.
Setelah transisi bertahap, selanjutnya diberikan:
 Pemberian makan sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai kemampuan
anak)
 Energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
 Protein: 4-6 g/kgBB/hari
Pemantauan
Hindari gagal jantung, dengan mengamati gejala dini gagal jantung yaitu nadi cepat dan
napas cepat. Jika meningkat (pernapasan naik 5x/menit dan nadi naik 25x/menit) dan
kenaikan ini menetap selama 2 kali pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan 4 jam berturutturut, merupakan tanda bahaya yang harus dicari penyebabnya. Lakukan segera:
•
•
Pengurangan volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam
Kemudian tingkatkan perlahan-lahan:
− 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya
− 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya
− Selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml
− Atasi penyebab
Penilaian kemajuan
Dinilai dari kenaikan berat badan setelah tahap transisi dan mendapat F-100:
•
•
Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/jari
Jika kenaikan berat badan:
•
•
•
Kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap
Sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau mungkin ada
infeksi yang tidak terdeteksi.
Baik (> 10 g/kgBB/hari).
Stimulasi sensorik dan emosional
•
•
•
•
•
Ungkapan kasih sayang
Lingkungan ceria
Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit per hari
Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
Keterlibatan ibu sesering mungkin
Penanganan kondisi penerta1
Masalah pada mata1
•
Jangan menggunakan sediaan salep, gunakan penutup mata yang dibahasi larutan
garam normal, ganti kasa setiap hari.
•
Anak dengan defisiensi vitamin A sering fotofobia sehingga selalu menutup matanya,
penting untuk diperiksa matanya secara hati-hati untuk menghidari ruptur kornea
Anemia berat1
Transfusi dilakukan jika Hb < 4 g/dl atau Hb 4-6 g/dl pada anak mengalami gangguan napas
atau gagal jantung. Pada gizi buruk, transfusi diberikan lebih lambat dan volume lebih kecil:
•
•
Darah utuh (whole blood) 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam
Furosemid, 1 mg/kg IV saat transfusi dimulai
Bila terdapat gejala gagaI jantung, diberikan komponen sel darah merah (packed red cells) 10
ml/kgBB. Pada anak dengan kwashiorkor terdapat redistribusi cairan sehingga terjadi
penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan transfusi.1
Selama trasnfusi, hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT. Monitor frekuensi nadi
dan pernapasan setiap 15 menit selama transfusi. Jika terjadi peningkatan (frekuensi napas
meningkat 5x/menit atau nadi 25x/menit), perlambat transfusi. Catatan: Jika Hb tetap rendah
setelah transfusi, jangan ulangi transfusi dalam 4 hari.1
Diare persisten1
Tatalaksana:
Giardiasis dan kerusakan mukosa usus
•
•
Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskop atas spesimen feses
Jika ditemukan kista atau trofozoid Giardia lambia, beri metronidazol 7,5 mg/kg
setiap 8 jam selama 7 hari).
Intoleransi laktosa1
Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana intoleransi laktosa hanya
diberikan jika diare terus menerus menghambat perbaikan umum. F-75 sudah merupakan
formula rendah laktosa. Pada kasus tertentu:
•
•
Ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa
Pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu diberikan kembali secara
bertahap.
Diare osmotik1
Diare osmotik perlu diduga jika diare makin memburuk pada pemberian F-75 yang
hiperosmolar dan akan berhenti jika kandungan gula dan osmolaritasnya dikurangi. Pada
kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia dengan osmolaritas yang lebih rendah.
Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.
Tuberkulosis1
Bila ada kecurigaan kuat lakukan tes Mantoux (walaupun seringkali negatif palsu) dan foto
thoraks.
Pemulangan dan tidak lanjut1
Anak dapat dianggap telah sembuh bila tercapai BB/TB > -2 SD (setara >80 %). Anak
mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak berperawakan pendek. Pola pemberian
makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah.
Sarankan:
•
•
Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)
Pemulangan sebelum sembuh total
Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh. Waktu untuk
pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko. Faktor sosial juga harus
dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan melalui rawat jalan untuk
menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk mencegah kekambuhan.
Beberapa pertimbangan:
Anak harus:
•
•
•
•
telah menyelesaikan pengobatan antibiotik
nafsu makan baik
kenaikan berat badan yang baik
edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang.
Ibu atau pengasuh seharusnya:
•
•
•
mempunyai waktu untuk mengasuh anak
memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis, jumlah dan
frekuensi)
mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak mungkin,nasihati
tentang dukungan yang tersedia.
II. Diare Kronis dan Diare Peristen3
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair
dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Pada bayi dan anak-anak adalah
pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi
sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang
berkepanjangan (kronis dan/atau persisten). Gishan mendefinisikan diare kronis sebagai
episode diare lebih dari 2 minggu, sedangkan Walker mendefinisikan diare persisten dengan
kondisi serupa dengan diare kronis dengan disertai berat badan menurun atau sukar naik.
Menurut Bhutta, diare kronis adalah episode diare lebih dari dua minggu, sebagian besar
disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The
American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung lebih dari
4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Adanya
perbedaan kejadian diare kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju
menyebabka bervariasinya definisi ini. Pada negara berkembang, infeksi lebih banyak terjadi,
sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan pada negara maju.3,4
Menurut PPM IDAI, diare persisten tidak meliputi diare kronik atau diare rekuren, seperti
tropical sprue, celiac disease, cystic fibrosis, dan kelainan herediter lain dengan manifestasi
diare. Dari semua episode diare, 3 sampai 20% dapat berlangsung lebih dari 14 hari dan
menjadi diare persisten, dan lebih dari 50% kematian akibat diare berhubungan dengan
episode persisten.4
Di Indonesia, menurut ahli gastrohepatologi anak, 2 jenis diare yang berlangsung
≥14 hari,
yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang
mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Etiologi non infeksi umumnya intoleransi protein susu
sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan, tinja sering disertai dengan darah); celiac disease
(gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis. Namun, perlu diperhatikan pada diare
berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini
banyak terjadi di negara-negara berkembang. Berikut jenis patogen yang menyebabkan diare
infeksi di Indonesia3
Patogenesis3
Menurut CAPGAN (Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition),
konsep patogenesis diare kronis adalah paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi
maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya memicu
kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Kedua jenis diare (persisten dan
kronis) seringkali tidak dapat dipisahkan, sehingga lebih sering dianggap sebagai diare oleh
karena infeksi.3
Faktor malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan terapi diare,
merupakan faktor risiko diare berkepanjangan (prolonged diarrhea). Pada akhirnya diare
berkepanjangan menjadi diare persisten yang menjadi enteropati dan malabsorpsi lebih
lanjut.4
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah faktor intralumen dan faktor mukosal.
Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk gangguan
pankreas, hepar dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang
mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses
yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada
fungsi transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh
proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi laktosa.
Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penukar ion natriumhidrogen dan klorida-bikarbonat.3
Ghishan membagi patofisiologi diare kronis/persisten menjadi 5 mekanisme3:
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat
mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah
terjadinya pengikatan antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak
dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan
mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam),
konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon
terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di
mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah
disebutkan sebelumnya.
2. Osmotik
Manifestasi terjadi ketika kegagalan proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam
usus halus sehingga zat tersebut akan langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan
peningkatan tekanan osmotik di lumen usus yang menarik cairan ke dalam lumen usus.
Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada
kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel.
Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan penurunan waktu transit usus
yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis
diare ini adalah diare akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai
sebab baik infeksi maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer),
menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang
tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat
dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH <5, bereaksi positif
terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang
memicu diare.
3. Mutasi protein transport
Akibat mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion
Cl-/HCO3- pada sel brush border apikal ileokolon, menyebabkan gangguan absorpsi Cl- dan
menyebabkan HCO3- tidak dapat disekresi. Hal ini berlanjut menjadi alkalosis metabolik dan
pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+
yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada
kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion,
kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah, sedangkan
kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan mutasi CLD ini ditemukan di Amerika Serikat,
Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi
pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+–protein
pengangkut asam empedu.
4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus
Yang dikenal sebagai short bowel syndrome akibat pemotongan usus atau tindakan
pembedahan pada gangguan usus seperti pada kondisi-kondisi tertentu seperti necrotizing
enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain. Diare dengan
patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang masif, serta malabsorbsi
makro dan mikronutrien.
5. Perubahan gerakan usus
Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma, obstruksi usus
dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan
bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak
meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik.
Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom,
misalnya saraf adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan/atau
proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu terjadinya diare.
Manifestasi klinis (komplikasi)
Roy et al (2006) melaporkan bahwa pada diare persisten memiliki gambaran diare cair
dibandingkan diare disentriform. Selain diare cair, diare persisten memiliki gambaran
malnutrisi. Berdasarkan suatu studi kohort, gejala lain antara lain: penurunan nafsu makan,
muntah, demam, adanya lendir dalam tinja, dan gejala-gejala flu, banyak ditemukan bila
dibandingkan dengan diare akut. Gejala tidak khas yang ada sangat terkait dengan penyakit
yang mendasarinya.3
Diagnosis
1. Anamnesis3,4
Meliputi perjalanan penyakit diare termasuk berapa lama, frekuensi diare, faktor risiko
penyebab diare (seperti riwayat pemberian makanan atau susu, ada darah dalam tinja, riwayat
pemberian obat, penyakit sistemik). Menurut PPM IDAI, perlu jug mencari faktor-faktor
risiko penyebab diare antara lain: pemberian ASI eksklusif, riwayat makanan (faktor
modifikasi yang mempengaruhi BAB), stress, riwayat masa kehamilan, jenis kelamin,
riwayat diare dalam 2 bulan terakhir (menunjukkan masalah system imunologi), tanda adanya
penyakit sistemik, pneumonia, di daerah endemis HIV, riwayat pemberian antimikrobaatau
antiparasit yang tidak diperlukan sebelumnya.
2. Pemeriksaan fisik3,4
•
•
•
•
Khususnya pada penilaian status dehidrasi, status gizi, status perkembangan anak.
Edema mungkin menunjukkan adanya protein losing enteropathy yang merupakan
akibat sekunder dari inflammatory bowel disease, lymphangiektasia atau colitis.
Perianal rash merupakan akibat dari diare yang memanjang atau merupakan tanda
dari malabsorpsi karbohidrat karena feses menjadi bersifat asam.
Tanda-tanda malnutrisi seperti cheilosis, rambut merah jarang dan mudah dicabut, -lidah yang halus, badan kurus, baggy pants.
•
Periksa setiap anak dengan diare persisten apakah menderita infeksi yang tidak
berhubungan dengan usus seperti pneumonia, sepsis, infeksi saluran kencing,
sariawan mulut dan otitis media. Jika ada, beri pengobatan yang tepat.
3. Pemeriksaan laboratorium3,4
a. Pemeriksaan darah
Yaitu pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12,
folat, kalsium, feritin, laju endap darah, dan protein C-reaktif.3
Menurut PPM IDAI, perlu jug untuk memeriksa serum imunologi untuk mengevaluasi
adanya defisiensi imun, HIV testing, albumin, vitamin A, D, E, waktu protombin (petanda
defisiensi vitamin K), untuk mengevaluasi gangguan nutrisi diare berkepanjangan.4
b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal elastase,
untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. pH tinja <5 atau adanya subtansi yang
mereduksi pada pemeriksaan tinja (glukosa, fruktosa, laktosa), membantu mengarahkan
kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa, seperti
giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan kejadian diare persisten, juga untuk
mencari patogen yang sering ditemukan yaitu E. coli (EPEC), Salmonella, enteroaggregative
E. Coli (EAEC), Klebsiella, Aeromonas, Amebiasis, Campylobacter, Shigella, Giardiasis dan
Cryptosporidium (antigen testing), Rotavirus (Elisa).3,4
Diperiksa juga smolalitas feses dan elektrolit feses untuk menghitung osmotik gap dapat
membantu membedakan antara diare osmotik dengan diare sekretorik. Osmotic gap dihitung
dengan rumus: 290 – 2 (Na+ + K+). Osmotic gap > 50 mOsm menunjukkan diare osmotik.3
c. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan radiologi tidak digunakan pada kasus diare persisten, barium meal dapat
menunjukkan nodularitas, striktur dengan dilatasi proksimal usus yang bisa merupakan
tempat small bacterial overgrowth yang dapat menyebabkan diare.4
Endoskopi dapat digunakan untuk mengevaluasi beberapa kasus diare persisten. Endoskopi
dan kolonoskopi dengan biopsi digunakan untuk mengevaluasi pasien yang dicurigai
mengalami inflammatory bowel disease.4
Breath hydrogen test atau pemberian susu bebas laktosa sementara waktu dapat dikerjakan
pada pasien yang dicurigai intoleransi laktosa.4
Terapi
Pada diare persisten yang disertai gangguan nutrisi harus selalu dianggap sebagai penyakit
yang serius, dan terapi harus segera dimulai. Terapi dibagi menjadi : suportif umum,
rehabilitasi nutrisi, obat.3
Tatalaksana diare persisten dilakukan secara bertahap meliputi:3,4
1. Penilaian awal, resusitasi, dan stabilisasi3,4
Dinilai status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Pada diare persisten seringkali disertai
gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya hipokalemia dan
asidosis. Pada anak-anak dengan gambaran kegawatan atau infeksi sistemik perlu diberikan
antibiotik spektrum luas sebelum hasil kultur diperoleh.
Kematian akibat diare paling sering disebabkan oleh dehidrasi, maka intervensi awal yang
paling utama adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang. Rehidrasi paling baik
dilakukan dengan cairan rehidrasi oral.
Larutan oralit efektif bagi kebanyakan anak dengan diare persisten. Namun demikian, pada
sebagian kecil kasus, penyerapan glukosa terganggu dan larutan oralit tidak efektif. Ketika
diberi larutan oralit, volume BAB meningkat dengan nyata, rasa haus meningkat, timbul
tanda dehidrasi atau dehidrasi memburuk dan tinja mengandung banyak glukosa yang tidak
dapat diserap. Anak ini memerlukan rehidrasi intravena sampai larutan oralit bisa diberikan
tanpa menyebabkan memburuknya diare.
2. Pemberian nutrisi3
Rehabilitasi nutrisi sangatlah penting pada anak malnutrisi yang mengalami infeksi --usus.
Sejumlah kalori yang cukup harus selalu disediakan. Menurut PPM IDAI memasukan kalori
dinaikkan secara bertahap sampai 50% atau lebih di atas RDA (Recomended Daily
Allowance) untuk umur dan jenis kelamin. Pemberian kalori dimulai dari 75 kkal/kgBB/hari
dinaikkan bertahap sebesar 25 kkal/kgBB/hari sampai bisa mencapai 200 kkal/kgBB/hari.
Pemberian makan harus dimulai kembali segera setelah anak bisa makan. Makanan harus
diberikan setidaknya 6 kali sehari untuk mencapai total asupan makanan setidaknya 110
kalori/kg/hari. Walaupun demikian, sebagian besar anak akan malas makan, sampai setiap
infeksi serius telah diobati selama 24 – 48 jam. Anak ini mungkin memerlukan pemberian
makan melalui pipa nasogastrik pada awalnya.
Untuk anak yang tidak dapat menerima volume makanan dalam jumlah yang banyak,
kepadatan kalori dapat ditingkatkan dengan penambahan lemak atau karbohidrat, tetapi
kapasitas absorpsi usus harus selalu dimonitor.
a. Kebutuhan dan jenis diet3,4
Kebutuhan energi sebesar 100 kkal/kgBB/hari dan kebutuhan protein sebesar 2-3
g/kgBB/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung energi 1 kkal/gram. Pilihan
terapi nutrisi: diet elemental, diet berbahan dasar susu, dan diet berbahan dasar ayam.
Susu bebas laktosa sebaiknya diberikan pada semua anak dengan diare persisten yang tidak
mendapat ASI (sesuai dengan algoritme terapi yang dibuat oleh WHO).
Eksklusi makanan biasanya diberikan dengan maksud untuk mengatasi intoleransi makanan,
yang mungkin merupakan penyebab primer dari diare persisten atau sebagai komplikasinya.
Rangkaian eliminasi diet harus dilakukan bertahap mulai dari diet yang masih mengandung
sedikit sampai yang sama sekali tidak mengandung bahan yang dilarang, seperti misalnya
cow’s milk protein hydrolisat sampai amino acid-based formula, atau sebaliknya sesuai
dengan kondisi pasien.
Bila tidak terdapat susu protein hidrolisat, dapat dipertimbangkan pemberian susu --protein
kedelai, walaupun dari konsensus menyatakan bahwa protein kedelai dapat menyebabkan
alergi, tetapi beberapa penelitian memperlihatkan hasil yang baik tentang penggunaan susu
kedele untuk kasus intoleransi protein.
Pada beberapa kasus, nutrisi klinik harus dipertimbangkan: hal ini meliputi enteral --atau
parenteral nutrisi. Enteral nutrisi dapat diberikan melalui selang nasogastrik atau gastrostomi.
Hal ini diindikasikan untuk anak yang tidak dapat makan lewat mulut, baik karena penyakit
primer di usus atau karena sangat lemah.
Continuous enteral nutrition efektif untuk anak dengan fungsi absorpsi yang menurun. Dasar
pemikiran dari continuous enteral nutrition adalah rasio dari waktu yang bertambah
dibanding dengan fungsi absorpsi. Dengan menambah waktu fungsi permukaan yang
berkurang akan meningkatkan absorpsi nutrisi setiap harinya
Anak yang sangat kurus, nutrisi enteral mungkin tidak cukup. Pada beberapa kasus --nutrisi
parenteral adalah prosedur untuk menyelamatkan jiwa. Nutrisi parenteral harus dilakukan
pada fase awal, segera setelah pendekatan nutrisi yang lebih sedikit invasif sudah dicoba
tetapi tidak berhasil. Walaupun demikian harus diingat bahwa nutrisi parenteral mempunyai
banyak risiko, sehingga merupakan pilihan terakhir, yaitu pada pasien dengan intoleransi
terhadap hampir semua makanan, termasuk monosakarida.
b. Pemberian mikronutrien3
Vitamin A, asam folat, besi, vitamin B12, zinc bekerja pada mukosa intestinal dan respons
imun sehingga harus diberikan pada pasien diare persisten. Pasien diare persisten rentan
terhadap kekurangan mikronutrien, diakibatkan asupan nutrisi yang tidak adekuat dan
pembuangan mikronutrien melalui defekasi. Akibat asupan yang tidak adekuat dan
pembuangan melalui defekasi, terjadi defisiensi zinc, vitamin A, dan besi. Suplementasi
multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA (Recommended Daily
Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1 tahun meliputi asam folat 50
mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan
magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak berusia
≤
6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet),
dengan masa pemberian 10-14 hari. Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigator
Collaborative Group menunjukkan bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas
pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar
42%.
c. Probiotik3
Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung Lactobacillus
casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii pada penderita diare persisten
selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan durasi muntah yang menyertai.
Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006) menunjukkan bahwa pemberian
probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-associated diarrhea.
3. Terapi Farmakologis
Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak efektif. Antibiotik
diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstraintestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk
shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi selama 5 hari) diberikan pada
kondisi adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia
lamblia pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua antibotik
berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah infeksi lainnya,
antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas. Beri metronidazol 30 mg/kg
dibagi 3 dosis, bila ditemukan Clostridium defisil (atau tergantung hasil kultur). Jika
ditemukan Klebsiela spesies atau Escherichia coli patogen, antibiotik disesuaikan dengan
hasil sensitivitas dari kultur.3,4
4. Follow up
Berupa tumbuh kembang anak dan perkembangan hasil terapi. Bila tidak menunjukkan
perbaikan, lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan intractable
diarrhea, yaitu diare yang berlangsung ≥ 2 minggu dimana 50% kebutuhan cairan anak harus
diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara maju, dan
berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan manajemen nutrisi ditandai dengan adanya
peningkatan frekuensi berak dan diikuti kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan
pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari. Ketika semua terapi telah dilakukan namun
tidak ada perbaikan, maka satu-satunya pilihan adalah nutrisi parenteral atau pembedahan,
termasuk transplantasi usus.3,4
Pengobatan yang berhasil dengan diet mana pun dicirikan dengan:3,4
•
•
•
•
Asupan makanan yang cukup
Pertambahan berat badan
Diare yang berkurang
Tidak ada demam
Ciri yang paling penting adalah bertambahnya berat badan. Bertambahnya berat badan
dipastikan dengan terjadinya penambahan berat badan setidaknya selama tiga hari berturutturut.4
Kegagalan diet ditunjukkan oleh:4
Peningkatan frekuensi BAB anak (biasanya menjadi >10 berak encer per harinya), sering
diikuti dengan kembalinya tanda dehidrasi (biasanya terjadi segera setelah dimulainya diet
baru), ATAU Kegagalan dalam pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari.
Faktor risiko dan pencegahan
Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma
menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama
terjadinya diare persisten.4
Diare persisten pada kondisi khusus
1. Diare persisten pada infeksi HIV3
Diare persisten merupakan salah satu menifestasi klinis yang banyak dijumpai pada penderita
HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih tinggi pada
anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang meningkatkan kerentanan
anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode diare akut
sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk
terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining yang
dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV seropositif.
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum diketahui
secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan perubahan status
imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan
CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri.
Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat menyebabkan diare persisten
pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak dijumpai pada
penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi infeksi
oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah. Schmidt (1997)
mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare persisten pada
HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan luas permukaan villi usus,
meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-pasien HIV tanpa gejala diare persisten.
Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi
microsporidiasis. Grohmann et al (1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus,
Calicivirus, dan Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.
2. Diare persisten pada keganasan3
Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang secara langsung menstimulus sekresi usus
dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi
nutrien dan berdampak pada diare. Pada pancreatic cholera, terbentuk neoplasma sel
endokrin pada pankreas yang menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu terjadinya
sekresi berlebihan di usus. Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid yang
mensekresi serotonin, bradikinin, prostaglandin dan substansi P yang kesemuanya
menstimulus proses sekresi di usus. Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin yang
menstimulus sekresi di usus, menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma tersebut
mengalami diare. Pada sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi asam
lambung yang disebabkan tumor penghasil gastrin dapat mengganggu enzim pencernaan dan
menyebabkan presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan malabsorpsi zat nutrien. Pada
diare jenis ini, tinja memiliki pH yang rendah.
Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi
menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agen-agen
kemoterapi yang sering berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan Irinotecan. 5Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta terhadap villi,
sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.
BAB III
PEMBAHASAN
Gizi buruk marasmik ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan antropometrik.
Berdasarkan klinis didapatkan adanya pengeluaran berlebihan dan pemasukan nutrisi yang
berkurang (adanya anoreksia), adanya penurunan berat badan sebanyak 4 kg dalam 1 bulan
(dari 18 kg menjadi 14 kg ~ 77% dari semula). Terhitung kehilangan berat badan sedang (1625%). Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan adanya bentuk tubuh yang sangat kurus
(visible severe wasting), tidak adanya jaringan lemak bawah kulit pada bahu, lengan, dan
paha, tulang iga yang terlihat jelas, dan tidak ada edema.5
Antropometrik
Berat badan= 14 kg
Tinggi badan= 116 cm
LLA = 11,5 cm
Status Nutrisi
BB/U: 14/26 x 100% = 53,8%
TB/U: 116/128 x 100% = 90,6%
BB/TB: 14/21 x 100% = 66,6%
Tebal lemak lengan atas kiri 0,8 cm
Berdasarkan perhitungan status nutrisi dengan kurva CDC, BB/U pasien adalah termasuk gizi
buruk marasmus (<60% tanpa edema). Data BB/U merupakan data yang menunjukkan status
nutrisi sesaat. Berdasarkan tinggi badan, pasien termasuk dalam kategori baik dan normal.
Hal ini menyimpulkan bahwa pasien di banding anak-anak seusianya memiliki tinggi yang
sama dengan sesuai, namun berdasarkan kurva, pasien sudah berada < persentil 3.5
Berdasarkan rasio berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) maka pasien berada dalam
status gizi buruk. Rasio BB/TB lebih akurat dalam menilai status nutrisi, sehingga pasien
dapat dikatakan gizi buruk.5
Berdasarkan bagan alur tatalaksana dari Direktorat Bina Gizi, pasien ini termasuk dalam gizi
buruk dengan komplikasi (terlihat sangat kurus dengan BB/TB <-3 SD) serta anoreksia, maka
keputusan pasien harus di rawat inap di RS sudah tepat.6
Kedaruratan pada gizi buruk dinilai pada anamnesis awal dan pemeriksaan awal yaitu
penilaian derajat dehidrasi. Pasien pada saat datang tampak sadar dan masih memberikan
respon yang adekuat, tidak pernah pingsan/tidak sadar/kejang. Menurut anamnesis ulang pada
caregiver, tampak mata pasien yang lebih cekung dari biasanya. Menurut pemeriksaan oleh
dokter pada saat pasien datang, turgor kulit berkurang, namun mata pasien dinilai tidak
tampak cekung. Pasien tidak tampak tanda sesak, namun ada takipneu.1
Pada analisis, pasien ini termasuk gizi buruk dengan kedaruratan berupa dehidrasi berat
(severe dehydration). Ditandai dengan diare + 2 tanda klinis lemah, mata cekung, dan
penurunan turgor. Namun pada diagnosis di IGD, pasien termasuk dehidrasi ringan-sedang.1
Hal ini perlu diperhatikan ada pasien dengan malnutrisi tidak boleh direhidrasi dengan infus
karena dapat mengakibatkan overhidrasi dan kematian karena gagal jantung, kecuali pada
pasien dengan syok. Pada pasien tidak ditemukan tanda syok, tidak ada penurunan kesadaran,
tekanan darah pasien termasuk normal (masih dalam batas bawah: 100/60), dan laju nadi
masih termasuk normal yaitu 110x/menit (masih dalam batas atas), kuat, isi cukup, akral
pasien juga hangat, tidak ada perlambatan pada waktu pengisian kapiler. Pada pasien harus
diberi perawatan rehidrasi secara oral (melalui mulut) dengan larutan rehidrasi khusus gizi
buruk (ReSoMal). Jika anak sadar (tidak syok), jaga agar tetap hangat dan berikan glukosa
10% 10 ml/kgBB lewat mulut atau pipa nasogastrik.1,2
Untuk pemberian resomal dilakukan secara lambat dengan dosis 5 ml/kgBB setiap 30 menit
untuk 2 jam pertama, kemudian dilanjutkan 5-10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75
dengan jumlah sama setiap jam selama 10 jam. Pada pasien ini tidak diberikan ReSoMal,
hanya diberikan F-75.1,2,6
Pada pemeriksaan laboratorium juga ditemukan peningkatan ureum darah dan kreatinin
darah. Menurut anamnesis dokter di IGD ditemukan riwayat BAK berkurang, temuan ini
mendukung adanya dehidrasi sehingga menimbulkan gagal ginjal akut pre-renal. Setelah
direhidrasi dan dilakukan pemeriksaan ulang, ditemukan perbaikan nilai ureum darah dan
kreatinin darah, yang mendukung dugaan adanya dehidrasi pada pasien.
Untuk penatalaksanaan gizi buruk perlu diperhatikan jug status hipoglikemi, hipotermi,
infeksi berat, anemia berat, atau kemungkinan kebutaan pada mata, namun pada pasien tidak
ditemukan. Pada saat dating, hasil GDS pasien 108 mg/dl, suhu 37,3oC, tidak tampak infeksi
berat (tidak demam, tidak takikardi, tidak takipneu, leukositosis tidak terlalu tinggi 12.200),
konjungtiva tidak pucat dengan hemoglobin 11,8 mg/dl, serta tidak ditemukan bercak bitot
atau ulkus pada kornea pasien.1
Namun semua pasien dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia, sehingga harus diberikan
tatalaksana berupa pemberian makan atau larutan glukosa 10%. Pemberian F-75 harus
diberikan segera. Pada pasien ini diberikan F-75 via NGT sebanyak 8 x 200 ml dengan bahan
dasar pregestinil.1
Menurut perhitungan berdasarkan PPM WHO dan IDAI, pemberian awal diberikan energi
80-100 kkal/kgBB/hari, protein 1-1,5 g/kgBB/hari, dan cairan 130 ml/kgBB/hari.1
Pada hari 1-2 frekuensi yang diberikan setiap 2 jam dengan volume per pemberian adalah 11
ml (11 x 14 = 154 ml). Volume yang diberikan per hari adalah 130 ml x 14 = 1.820 ml. Pada
pasien ini diberikan sebanyak 8 kali (artinya setiap jam) dengan volume 200 ml, artinya
dalam sehari diberikan 1.600 ml. Berdasarkan perhitungan ini sebenarnya volume cairan
yang diberikan kurang. Jumlah energi yang diberikan adalah 14 x (80-100) = 1120 – 1400
kkal/hari. Pada pemberian 1.600 ml x 0,75 = 1.200 kkal/hari, maka pemberian kalori per hari
pada tatalaksana awal ini sesuai (termasuk dalam kisaran energi yang diberikan pada fase
awal).
Pada pasien ini tidak ditemukan gangguan elektrolit, sehingga tidak perlu ditatalaksana.
Namun, hasil analisis gas darah ditemukan penurunan HCO3 dan CO2 tetapi dengan pH darah
normal. Hal ini dipikirkan pasien mengalami kompensasi dari asidosis metabolik yaitu
melalui peningkatan frekuensi napas. Asidosis metabolik diperkirakan akibat pasien muntahmuntah dan diare sehingga HCO3 banyak keluar dari tubuh.
Untuk tatalaksana infeksi, dimulai sejak hari 1. Walaupun pada pasien tidak ada demam, pada
pasien ini perlu diberi antibiotik, karena pada gizi buruk, demam dan gejala infeksi lainnya
seringkali tidak ada. Pada pasien harus diberikan antibiotic spectrum luas, di mana
pemberiannya dibedakan berdasarkan ada/ tidaknya komplikasi dan ada/ tidaknya infeksi
nyata. Pada pasien yang tidak ada komplikasi/ infeksi nyata diberi kotrimoksazol per oral (25
mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari. Pada pasien ini tidak diberikan,
namun diberikan cefotaxime dan metronidazole.1
Pada semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral, sehingga perlu
disuplementasi. Berdasarkan PPM WHO, diberikan:1
•
•
•
•
•
Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
Seng 2 mg Zn elemental/kgBB/hari
Tembaga (0,3 mg Cu/kgBB/hari)
Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)
Vitamin A: per oral pada hari 1
Pada pasien ini diberikan vitamin A, asam folat, dan zinc namun tidak diberikan tembaga.
Selain gizi buruk, pasien mengalami diare > 14 hari. Pada pasien ini dipikirkan diare
berkepanjangan (persisten atau/dan kronis). Diare berkepanjangan ini dapat disebabkan oleh
infeksi maupun non-infeksi. Pada anamenesis berat badan pasien adalah 18 kg sebelum diare,
artinya, pada awalnya pasien sudah mengalami malnutrisi, yaitu gizi kurang (baik
berdasarkan BB/U maupun BB/TB, keduanya termasuk dalam gizi kurang). Adanya kondisi
yang mendasari ini, membuat diare akut menjadi diare yang berkepanjangan. Berdasarkan
data epidemiologi, pasien yang berada di Indonesia, lebih didominasi oleh diare persisten
(yang disebabkan oleh infeksi), hal ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan analisis feses
dan kultur feses, dan diperkirakan adanya Giardiasis karena sifat giardiasis yang dapat
merusak mukosa usus sehingga menyebabkan gizi buruk. Berdasarkan anamnesis juga lebih
mengarah kepada infeksi, karena pasien tetap mengalami diare meski asupan pasien
berkurang (lebih mengarah kepada sekretori daripada osmotik), dengan konsistensi sangat
cair, dan diare tidak bertambah bila pasien minum susu. Sebelumnya pasien tidak diare bila
minum susu, sehingga dapat menyingkirkan adanya intoleransi laktosa. Diare baru muncul
dalam 1 bulan SMRS, tidak bersifat congenital sehingga bias menyingkirkan adanya mutasi
gen seperti CLD. Riwayat pembedahan juga disangkal. Perubahan motilitas juga disangkal.3,4
Berdasarkan epidemiologi di Indonesia, enteropatogen yang dapat ditemukan pada diare
kronis antara lain: Rotavirus, V. cholera, Salmonella sp., E. coli, Campylobacter j.,
Entamoeba histolytica, Staphylococcus aureus, Shigella, Pseudomonas, Salmonella thypi,
Morganella morgagni, Klebsiella, Enterobacter, Aeromonas, Klebsiella oxytocin, dan infeksi
campuran. Pada analsis feses pasien ini ditemukan adanya lendir dan bakteri batang gram
negatif, temuan ini mengarah kepada infeksi Shigella, Salmonella, Klebsiella, Enterobacter.
Morganella, Aeromonas. Bau normal dan pH yang normal (cenderung basa), dapat
konfirmasi untuk menyingkirkan intoleransi laktosa.3,4
Gizi buruk diperkirakan akibat asupan nutrisi yang kurang karena adanya oral thrush atau
kandidosis pada mulut, lidah, dan tenggoroknya sehingga pasien tidak mau makan dalam 1
minggu SMRS. Gizi buruk diperberat dengan adanya riwayat diare selama 1 bulan SMRS,
yang semakin memberat dalam 1 minggu SMRS, yang dipikirkan akibat dari malnutrisi
sehingga terjadi perkembangbiakan bakteri usus yang berlebihan dan menyebabkan
kerusakan epitel mukosa usus lebih parah dan diare yang lebih parah. 3
Berdasarkan Nelson textbook of Pediatrics, adanya kandidosis oral ini perlu pemeriksaan dan
tatalaksana lebih lanjut, seperti pemeriksaan untuk kecurigaan yang mengarah kepada kondisi
imunodefisiensi, seperti HIV, ditambah dengan adanya gizi buruk dan diare persisten.
Berdasarkan PPM IDAI, pasien dengan diare persisten dilakukan pemeriksaan HIV testing.7
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: WHO Indonesia.
2009; 193-219.
2. IDAI. Pedoman pelayanan medis IDAI. Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011;
183-8.
3. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Buku ajar gastroenterologihepatologi. Jakarta: UKK-Gastroenterologi-hepatologi IDAI. 2009; 125-40.
4. IDAI. Pedoman pelayanan medis IDAI. Jilid II. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011;
53-9.
5. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH.
Diagnosis fisis pada anak. Jakarta: CV Sagung Seto. 2009;32-4
6. Kemenkes. Bagan tatalaksana anak gizi buruk. Buku I. Jakarta: Direktorat bina gizi.
2011.
7. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier. 2011.
Download