peruntukan dan pemeliharaan lahan bekas tambang golongan c

advertisement
PERUNTUKAN LAHAN WILAYAH PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C
(SEDIMEN LEPAS)1)
Syekhfani2)
PENDAHULUAN
Lahan untuk pertambangan adalah lahan yang mempunyai potensi untuk
ditambang dan ditetapkan sebagai lokasi tambang. Material dapat dijumpai
di permukaan atau berada di bawah lapisan tanah.
Untuk
jenis
pertama,
penambangan
langsung
dilakukan
tanpa
penghalang; berbeda dengan jenis kedua yang memerlukan penggalian tanah
agar material dapat diambil.
Pekerjaan penambangan akan berdampak negatif terhadap lahan karena
terjadi kerusakan-kerusakan pada saat aktivitas berlangsung. Untuk
menjaga agar kondisi lingkungan tidak menjadi rusak, maka lahan bekas
penambangan perlu direklamasi.
Reklamasi, selain memperbaiki lingkungan yang rusak juga dapat
memfungsikan kembali lahan dari tidak produktif menjadi produktif. Usaha
penghijauan lahan bekas tambang merupakan tindakan pemulihan dan
pelestarian lingkungan;
bila penghijauan disertai program penanaman
tanaman pertanian, maka usaha tersebut berfungsi ganda yaitu selain
pelestarian lingkungan juga peningkatan hasil.
Pada wilayah yang ditetapkan sebagai lahan pertambangan, sebelum
aktivitas penambangan dilakukan, lahan dapat dimanfaatkan agar tidak
berstatus non-produktif. Akan tetapi, bila pemanfaatan ditujukan untuk
pertanian maka selain tanah sebagai faktor produksi, perlu diperhatikan
pula faktor tanaman, iklim dan sistim pengelolaan.
Kemampuan lahan (land capability) menyangkut sifat dan ciri tanah,
sedang kesesuaian lahan (land suitability) berkaitan dengan jenis
tanaman, iklim serta pengelolaan tersebut.
Berdasarkan hal di atas, maka dalam tulisan ini dicoba mengkaji
sistim peruntukan lahan (land utilization) di wilayah pertambangan untuk
usaha pelestarian dan pertanian, baik sebelum dilakukan aktivitas
penambangan (pra penambangan) maupun setelah penambangan selesai (pasca
penambangan).
Tinjauan dilakukan khususnya terhadap jenis bahan galian golongan C
(sedimen lepas) seperti:
pasir, pasir kuarsa, pasir-batu (sirtu), dan
tanah urug (timbunan); di samping juga tambang kapur, dolomit, dan batu
fosfat sebagai tambahan karena banyak dijumpai di Jawa Timur.
1) Disajikan dalam
Lokakarya Petunjuk Teknis Reklamasi Lahan Bekas
Penambangan Bahan Galian Golongan C di Jawa Timur, di hotel New VictoryBatu, Malang, BAPEDALDA JATIM, 28 s/d 30 Oktober 1993,
2) Staf Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang
1
SIFAT DAN CIRI LAHAN TAMBANG GOLONGAN C
Lahan Pasir dan Pasir-Batu
Lahan tambang pasir, pasir kuarsa, dan pasir batu umumnya dijumpai
di daerah dataran banjir (flood-plain) terutama daerah meander berasal
dari proses aluviasi; atau pada perbukitan yang ter- bentuk dari
penimbunan pada proses koluviasi.
Ciri lahan bertekstur kasar hingga berbatu, tidak mempunyai
kemampuan menahan air dan mengikat unsur hara atau mempunyai kemampuan
kecil; struktur lepas sehingga sangat peka terhadap erosi.
Potensi kesuburan tergantung asal bahan induk pasir;
mempunyai
potensi besar bila bahan induk dari batuan basik dan potensi rendah bila
batuanmasam.
Pasir kuarsa mempunyai potensi kesuburan sangat rendah
karena berasal dari batuan masam, sehingga lahan pasir kuarsa tidak layak
untuk dijadikan lahan pertanian.
Kendala yang dihadapi bila lahan pasir akan dijadikan lahan
pertanian adalah daya pegang air rendah, miskin unsur hara dan mudah
mengalami erosi. Reklamasi lahan meliputi perbaikan sifat fisik/fisikokimia agar tata air dan udara tanah menjadi baik serta konsistensi lebih
mantap, kapasitas penahanan ion lebih besar;
dan sifat kimia berupa
penambahan unsur-unsur hara secara alami maupun masukan pupuk yang
seimbang.
Ketersediaan air tergantung kedalaman air tanah dan kontinyuitas
pengaliran air ke atas (uprise flow) sangat ditentukan oleh kehalusan
fraksi pasir.
Penambahan liat merupakan cara ideal dalam mengubah tekstur kasar
menjadi lebih halus (tekstur Pasir menjadi Pasir berlempung, Lempung
berpasir atau Lempung). Tetapi cara ini sulit diterapkan karena umumnya
lokasi tanah liat jauh dari lokasi tanah pasir sehingga tidak ekonomis.
Cara yang paling mungkin adalah masukan bahan organik, karena bahan
organik seperti halnya liat mampu meningkatkan daya pegang air (water
holding capasity) maupun daya ikat hara (cation exchange capasity).
Pemasukan bahan organik dapat berupa pupuk kandang, pupuk hijau atau
bahan sisa panen. Keberadaan jenis tanaman legum dalam pola tanam dapat
membantu masukan unsur N berasal dari fiksasi atmosferik.
Kondisi lahan pasca tambang, sangat tergantung pada pemunculan
tanah asli di mana pasir atau sirtu ditambang.
Pada lokasi dataran
banjir, tanah bekas penambangan dapat berupa cekungansehingga berpeluang
untuk tergenang secara terus menerus. Tetapi pada lokasi perbukitan,
cekungan hanya tergenang secara temporer.
2
Lahan Bekas Urugan
Lahan bekas urugan dijumpai sebagai tanah yang mengalami kehilangan
lapisan atas (top soil)karena lapisan ini telah diangkut sebagai tana
urug, dan meninggalkan lapisan bawah (sub soil). Oleh karena itu sifat
dan ciri tanah bekas urugan sangat tergantung pada proses pedogenesis
sebelumnya.
Tanah-tanah yang mengalami perkembangan lanjut dicirikan
oleh adanya diferensiasi horizon pada profilnya. Lapisan bawah (horizon
B) merupakan lapisan penimbunan liat atau akumulasi unsur-unsur tertentu
berasal dari proses eluviasi ataupun iluviasi.
Kadar bahan organik rendah hingga sangat rendah, tekstur berliat,
dan seringkali dijumpai kadar Fe dan Mn tinggi pada proses podzolisasi
atau kadar Si tinggi pada proses laterisasi. Pemunculan lapisan bawah ke
permukaan dapat mengubah kondisi tanah menjadi keras dan masif akibat
proses sementasi oleh unsur-unsur tersebut.
Sifat dan ciri lahan bekas urugan di atas menyebabkan berbagai
kendala bila ia akan digunakan sebagai lahan pertanian.
Kendala utama
adalah miskin akan unsur hara, rendahnya kadar bahan organik, serta
kemungkinan terjadi keracunan bila drainase memburuk. Untuk hal terakhir
ini terjadi bila permukaan tanah urugan lebih rendah dari lahan
sekitarnya.
Lahan Kapur, Dolomit dan Fosfat
Penambangan umumnya dilakukan pada lokasi perbukitan di mana
deposit kapur, dolomit atau fosfat dijumpai.
Di Jawa Timur, lokasi
penambangan tersebar di bagian selatan dan utara pada rangkaian
pegunungan kapur serta pulau Madura.
Deposit kapur dan dolomit umumnya dijumpai dalam suatu perbukitan
utuh, sedang batu fosfat alam berupa kantong-kantong pada perbukitan.
Kawasan tambang ini dicirikan oleh kondisi iklim kering atau setengah
kering, kalkareus dengan nilai pH tinggi, kedalaman air tanah sangat
dalam, dan topografi berombak hingga berbukit. Dengan demikian kendala
yang dihadapi bila lahan akan dijadikan pertanian adalah kekurangan air,
kadar bahan organik rendah, dan pH tinggi yang menyebabkan unsur-unsur
tertentu bermasalah (N, K, Fe, Mn, Cu, Zn dan fiksasi P).
KESESUAIAN LAHAN TAMBANG GOLONGAN C UNTUK PERTANIAN
Lahan Pasir dan Pasir-Batu
Di bagian depan telah disinggung bahwa kehalusan fraksi pasir
menentukan jenis tanaman yang akan diusahakan karena menyangkut suplai
3
air tanah ke permukaan.
Oleh sebab itu, kesesuaian
dipertimbangkan berdasar pada ukuran fraksi pasir.
tanaman
perlu
Fraksi Kasar:
Tanaman yang dipilih adalah jenis pohon atau perdu berakar dalam
dan tahan terhadap kekurangan air. Tanaman jenis legum merupakan pilihan
bijaksana karena ia mampu mengikat N atmosferik. Beberapa jenis tanaman
dapat dipertimbangkan berupa tanaman hutan industri (HTI) yang bernilai
ekonomis, seperti misalnya Albizia, Leucaena, Sesbania, dan lain-lain.
Fraksi Sedang:
Kemampuan menyuplai air lebih baik dibandingkan dengan fraksi kasar
meskipun belum mencukupi untuk jenis tanaman berperakaran dangkal. Oleh
sebab itu, pertanaman yang tepat adalah sistim Tanaman Pagar (Tanaman
Lorong, Alley Cropping), di mana tanaman pohon/perdu dari jenis legum
seperti dikemukakan di atas dan tanaman lorong berupa jagung digilirkan
dengan legum (kacang tanah, kacang tunggak, kacang hijau) dan penutup
tanah (Centrosema, Crotalaria).
Fraksi Halus:
Sifat penyediaan air paling baik dari ketiga jenis fraksi sehingga
tanah kecukupan air meskipun perakaran tanaman dangkal.
Jenis tanaman
berupa tanaman semusim berakar dangkal dengan mengikutkan tanaman penutup
tanam dalam pola pergiliran (jagung-palawija - penutup-tanah, ubi-ubian penutup-tanah atau palawija-palawija - penutup-tanah).
Lahan Pasca Tambang:
Lahan ini hanya sesuai dijadikan persawahan atau usaha tanaman yang
toleran kelebihan air seperti tebu atau sayur-sayuran dari jenis tanaman
air.
Pada lokasi perbukitan, lahan pasca tambang bisa berupa cekungan
yang berpeluang tergenang secara temporer. Lahan ini bisa ditanami jenis
tanaman darat (jagung, palawija, ubi-ubian)
asalkan dilakukan usaha
perbaikan drainase, misalnya pembuatan guludan atau gondokan tanah.
Lahan Bekas Urugan
Reklamasi lahan bekas urugan meliputi perbaikan sifat fisik tanah
melalui penambahan baha organik, mengusahakan agar drainase tetap baik,
pengolahan tanah serta masukan pupuk.
Jenis tanaman yang diusahakan
beragam dan dalam kisaran lebar sesuai dengan iklim dan pengelolaan
setempat.
4
Lahan Kapur, Dolomit dan Fosfat
Dalam program diperlukan pemilihan jenis tanaman yang toleran
terhadap kekeringan dan kalkareus dan bila mungkin mempertimbangkan
tanaman indiginous (asli setempat).
Pemasukan bahan organik mutlak diperlukan berupa pupuk kandang dan
pupuk hijau.
Sisa tanam harus dikembalikan ke lahan dan diusahakan
memasukan tanaman jenis legum dalam pola pertanaman.
Sistim agroforestri, sebagai contoh tanaman kayu putih dengan
palawija atau sayur-sayuran, dijumpai di daerah bukit berkapur di deretan
Gunung Kapur Utara.
Pada kondisi bukit kapur, dolomit atau batu fosfat, di mana lapisan
tanah sangat tipis atau bahkan tidak terbentuk, maka usaha pemanfaatan
dapat dilakukan dengan menanami celah-celah atau lubang-lubang di antara
bebatuan yang terisi tanah. Tanaman dapat berupa pohon/perdu jenis HTI
atau tanaman buah-buahan yang toleran terhadap kalkareus dan kekurangan
air. Tanaman pepaya dilaporkan tumbuh baik pada kondisi demikian.
Tanah bekas tambang menyisakan bagian batuan keras dan masif dan
tidak lagi bernilai tambang. Bagian ini tidak mungkin ditanami kecuali
mendapat perlakuan khusus dalam reklamasi.
Salah satu usaha misalnya
membuat lubang-lubang tanam dengan cara menggali batuan kemudian diisi
dengan tanah atau bahan organik. Selanjutnya tanaman dari jenis pioner
ditanaman dalam lubang tersebut.
Secara suksesi pertumbuhan tanaman akan membentuk lapisan tanah
pada permukaan batuan. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu relatif lama
dan pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian dapat dilakukan setelah
lapisan tanah yang terbentuk cukup tebal. Tindakan mempercepat pelapukan
melalui proses kimia dan/atau biologi serta pencegahan erosi merupakan
kunci keberhasilan program.
PENUTUP
Beberapa
atas, yaitu:
butir
penting
yang
dapat
dikemukakan
dari
tinjauan di
1. Peruntukan lahan wilayah pertambangan bahan galian golongan C, selain
untuk tambang dapat pula dimanfaatkan untuk lahan pertanian asalkan
diikuti oleh tindakan reklamasi.
2. Pemanfaatan
dipertimbangkan
berdasar pada kemampuan lahan serta
kesesuaian tanaman terhadap iklim dan pengelolaan setempat. Pemanfaatan
lahan dapat dilakukan pra ataupun pasca penambangan.
5
3. Penggunaan lahan pertambangan untuk pertanian selain ditujukan untuk
meningkatkan hasil juga dapat bersifat pencegahan kerusakan serta
pelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Dent, F.J.
1980.
Land utilization type catalogue. Pertemuan Teknis
Survei dan Pemetaan TanahDaerah Transmigrasi. P3MT-LPT,
Litbang. Tan., Cisarua 3-5 Maret 1980.
Desaunettes, J.R. 1977. Catalogue of landforms for Indonesia. Examples of
physiographic approach to land evaluation for agricultural
development.
Trust Fund of Govern. of Indonesia-FAO, Soil
Res. Inst. Bogor, Indonesia.
Dijkerman, J.C. and Julia Widianingsih. 1985. Evaluasi Lahan. Com. Soil
Sci. No. 2, Jurusan Tanah, Fak. Pertanian Univ. Brawijaya,
Malang.
FAO-UNESCO.
1976.
A framework for land
evaluation.
Development and Conser. Service Land and
Devis. Soil Bull. 32.
Soil Resources
Water Develop.
Madiadipoera, T., Amir, dan Zulfahmi. 1977. Batu gamping dan dolomit di
Indonesia. Publ. Teknik-Seri Geol. Ekon. No. 8. Dir. Geol.
Dirjen. Pertamb. Umum, Dep. Pertambangan.
Soepraptohardjo, M.
and G.H. Robinson (eds.). 1975.
A proposed land
capability
appraisal
system
for
agricultural
uses
in
Indonesia. FAO-United Nation-Dir. Gen. Agric. Ministry of
Agric.
Soil
Res.
Inst.
Bogor,
No
9/1975.
6
Download