BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara maju

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara maju maupun negara berkembang di dunia ini menganut
berbagai sistem hukum, apakah sistem hukum kodifikasi maupun sistem
hukum-hukum lainnya. Indonesia menganut sistem campuran antara hukum
continental dan sistem Anglo Saxon. Perkembangan hukum secara
menyeluruh tidak terkecuali Hukum Kedokteran, di satu sisi tidak terlepas dari
sistem hukum yang dianut suatu negara tertentu, dan di sisi lain sistem hukum
campuran karena adanya kemajemukan masyarakat dalam menganut tingkat
dan sistem sosial budaya sebagaimana telah dikembangkan dalam doktrin
Bhineka Tunggal Ika. Hukum kedokteran menurut konsep yang berlaku antara
bangsa-bangsa, pada dasarnya berbunyi sebagai berikut: Medical Law is the
Study of the Juridical Relations to Which the Doctor is a party, is a part of
health law. 1
Bertolak dari dasar tersebut walaupun perkembangan hukum di tiap
negara tidak sama, tergantung dari titik berat orientasi yang berkembang
sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, namun fungsi hukum
kesehatan terdapat kesamaan norma pelayanan kesehatan. Dilihat dari sudut
hukum kesehatan sebagai hak yang didapat masyarakat dalam suatu
penyelenggaraan dan pelayanan kesehatan dan dikaitkan dengan hak-hak
1
J. Guwandi, 1990, Kelainan Medik, Seri Hukum Kesehatan, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Gaya Baru, Jakarta, hlm. 5
1
2
dasar yang telah melekat pada diri manusia sejak lahir sampai meninggal
dunia dan ditegaskan pula oleh Undang-Undang Dasar 1945 dari hasil
amandemen Pasal 34 ayat (3), bahwa negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak. 2 Pelayanan kesehatan masyarakat menurut Undang-Undang Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2009 bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan salah
satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita
bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Negara Indonesia adalah negara hukum ditegaskan dalam Bab I UUD
1945, bahwa upaya penegakan hukum di berbagai bidang pemerintah telah
banyak melakukan perubahan untuk memperjelas hak-hak serta kewajiban
bagi penegakan hukum yang diwujudkan dengan peraturan perundangundangan dalam setiap konflik kepentingan hukum. Sesuai dengan tuntutan
reformasi diharapkan pemerintah dapat melakukan perubahan di berbagai
bidang. Di masa orde lama, hal ini telah berjalan terbukti dengan keluarnya
undang-undang terdahulu yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Kesehatan dan perhatian pemerintah terhadap kesehatan telah
ada namun masih ada tebang pilih serta jenjang yang sangat kelihatan secara
kasat mata perbedaan pelayanan kesehatan antara golongan tertentu dengan
golongan lainnya, atau lebih dikenal golongan elite dalam pemerintah lebih
dilayani dibandingkan masyarakat lain pada umumnya. Walaupun ada
2
Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945
lengkap (Pertama 1999 – Keempat 2002), hlm. 49
3
peraturan yang mengatur untuk tidak membedakan golongan demi terciptanya
perbaikan kesehatan sesuai dengan perundang-undangan yang ditetapkan,
sehingga bila terjadi konflik hukum tidak ada perbedaan antara golongan elite
dan masyarakat pada umumnya demi kepentingan hukum itu sendiri.
Dalam pemahaman hukum kedokteran, untuk masyarakat tertentu
secara umum tidaklah semudah yang diperkirakan karena tidak mengertinya
hak-hak secara hukum bila terjadi pelanggaran etika kedokteran dalam
menjalankan profesi sebagai seorang dokter maupun sebagai tenaga kesehatan
lainnya, karena dokter berhadapan langsung dengan mendengar keluhan
pasien dan dokter langsung berbicara satu sama lainnya tentang apa yang
terjadi pada pasien, disinilah hak dokter menjalankan profesi dengan
menjelaskan apa yang terjadi berdasarkan keluhan pasien itu sendiri. Sebagai
dokter dan tenaga kesehatan lainnya berkewajiban menjelaskan secara terbuka
bila mengambil tindakan medis agar pasien mengetahui solusi apa yang akan
diterapkan pada dirinya sesuai dengan keahlian dokter yang menangani pasien
tersebut.
Manusia di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mempunyai naluri
untuk berhubungan dengan sesamanya. Hubungan yang terjadi antara manusia
dengan sesamanya menunjukkan bahwa manusia itu merupakan makhluk
sosial yang tak sempurna yang memiliki kekurangan dan kelemahan.
Salah satu contoh kekurangan atau kelemahan yang dihadapi oleh
manusia yaitu apabila ia dalam keadaan sakit. Pada waktu sakit ia
membutuhkan seorang dokter yang dapat membantu dalam menyembuhkan
4
penyakit yang dideritanya. Kedatangan Pasien ke dokter dalam rangka
penyembuhan penyakit yang dideritanya merupakan awal dari timbulnya
relasi medis dan juga relasi hukum yang dalam hal ini disebut kontrak
(perjanjian) medis, yang bila hanya dalam rangka penyembuhan (kuratif)
disebut kontrak terapeutis.
Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat bahwa seorang yang
menyandang profesi dokter itu mempunyai status sosial dan status ekonomi
yang tinggi ditengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat dan
warga-warganya tidak mungkin terlepas dari masalah-masalah kesehatan dan
juga persoalan hukum. Kedua aspek tersebut mengambil peranan dalam
memelihara serta mengembangkan system kemasyarakatan sebagai wadah
maupun proses dari kebutuhan bersama.
Seorang dokter dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan
selalu berhungan dengan pasien. Salah satu aspek yang penting dalam
hubungan dokter dan pasien menyangkut mengenai hubungan yang
menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik. Hubungan antara seorang
dokter dengan pasiennya merupakan suatu hubungan hukum, dimana
hubungan itu merupakan peristiwa hukum yang dapat menimbulkan akibat
hukum antara kedua belah pihak. Suatu hubungan hukum memberikan hak
dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga bagi yang
melanggar dapat dituntut di muka pengadilan. 3
3
Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 130-132.
5
Hubungan hukum antara pasien dan dokter merupakan transaksi
terapeutik yang dalam hukum dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian untuk
melakukan jasa-jasa tertentu. Dengan adanya perjanjian ini dimaksudkan
untuk mendapatkan hasil dari suatu tujuan tertentu yang dikehendaki pasien
dengan harapan seorang dokter dapat memberikan pelayanan yang memadai
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pasien. Perbedaan presepsi antara
dunia kedokteran dengan masyarakat awam berkaitan dengan pelayanan
kesehatan yang dirasa kurang memuaskan pasien menjadi dasar sengketa
medik.
Seorang dokter hanya berusaha menyembuhkan pasien tersebut. Ia
tidak dapat memberikan jaminan bahwa pasien itu pasti akan sembuh atau
tindakan medisnya selalu berhasil sehingga secara yuridis hubungan yang
terjadi antara dokter-pasien digolongkan ke dalam hubungan ikhtiar. Hal ini
berarti bahwa andaikata pasien itu tidak berhasil disembuhkan, tidaklah berarti
bahwa dokter itu dapat dipersalahkan atau dianggap telah berbuat kelalaian.
Hanya saja di dalam cara menjalankan praktiknya (melakukan anamnesis,
menegakkan diagnosis, serta dalam memberikan terapi) haruslah dilakukan
cara yang lazim berdasarkan standar profesi medis yang berlaku menurut
ukuran kepandaian seorang dokter rata-rata yang setingkat.
Dunia kedokteran (profesi kedokteran) merupakan profesi yang
spesifik, karena langsung berhubungan dengan masyarakat. Salah satu
konsekuensinya bahwa profesi kedokteran banyak mendapat sorotan dari
masyarakat lewat media massa, baik media televisi, majalah maupun surat
6
kabar menyebutkan berbagai tindakan dokter dalam pelayanan kesehatan
dapat digabungkan sebagai tindakan tercela dan dianggap merugikan
masyarakat. Misalnya dokter kurang tepat dalam menangani pasien sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia.
Peranan
dokter
dalam
masyarakat
dirasakan
sangat
penting
manfaatnya, oleh karena itu jika seorang atau anggota masyarakat menderita
suatu penyakit baik yang ringan maupun yang berat maka secara otomatis
mereka akan menemui dokter dan meminta pengobatan akan penyakit yang
dideritanya dan berharap dapat disembuhkan. Oleh karena begitu pentingnya
peranan dokter tersebut bagi anggota masyarakat, menyebabkan seorang
dokter harus siap untuk menjalankan kewajibannya apabila masyarakat
membutuhkan.
Seorang dokter selalu diwajibkan untuk melakukan kewajibannya
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dengan pertanggungjawaban
yang penuh atas setiap upaya pengobatan yang dilakukan terhadap pasien.
Akan tetapi sebagai manusia biasa ia juga tidak luput dari kesalahan yang
memungkinkan ia dapat berbuat salah karena kelalaian atau kealpaan. Oleh
sebab itu maka ada kalanya seorang dokter terbukti menyebabkan seorang
pasien penyakitnya bertambah parah, maka peristiwa ini dapat dikategorikan
sebagai perbuatan yang melanggar hukum atau perjanjian dan mungkin juga
dalam hal malpraktek medis. Kelalaian atau kecerobohan dokter yang
menangani pasien itu dalam ilmu kedokteran dikenal dengan “Malpraktek
Medis”.
7
Dalam melakukan suatu tindakan medis secara sepihak tidak
dijelaskan, sehingga saat terjadi perbuatan yang merugikan atas tindakan
medis terhadap pasien setelah ada satu pengaduan ataupun gugatan baru kedua
belah pihak mengambil suatu jalan penyelesaian terhadap kejadian yang
sementara waktu dianggap sebagai konflik malpraktek. Namun ini mesti
ditelusuri satu persatu penyebab kejadiannya, apakah benar salah tindakan
oleh dokter atau pasien itu sendiri tidak secara terbuka menjelaskan keluhan
atau riwayat penyakit sebelumnya yang mengakibatkan kesalahan dari
tindakan medis oleh dokter, sehingga terjadilah konflik yang berakibatkan
saling tuntut menuntut atas peristiwa yang terjadi di dalam tindakan medis
mengarah pada ranah hukum. Akibat itu sering terjadi tuntutan medis yang
tidak didukung oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) setelah dipelajari awal dari
tindakan yang mengarah pada penyelesaian hukum baik di kepolisian sesuai
dengan aduan maupun di peradilan setelah masuk ranah hukum itu sendiri.
Hukum kedokteran yang semakin luas objek pelayanan kesehatan dan
tidak hanya dokter yang menjadi subjek pelayanan, tetapi juga perawat, bidan,
apotik dan petugas kesehatan lainnya, termasuk rumah sakit. Pelayanan
kesehatan mengarah pada risiko medis yang melekat pada tindakan medis
yang dilakukan sesuai standar medis yang termuat dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 secara benar adanya persyaratan adminsitratif yang
harus dipenuhi sesuai standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge,
skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang
8
individu untuk melakukan kegiatan secara profesionalnya pada masyarakat
secara mandiri. 4
Saat ini semakin sering terjadi suatu kesalahan dan kelalaian yang
menimbulkan akibat hukum terkait perbuatan dokter dan tenaga kesehatan
lainnya yang lebih dikenal dengan sebutan malpraktek. Malpraktek dalam
istilah asing “Medical Malpractice” merupakan perbuatan pelayanan yang
memberikan suatu efek atau akibat yang bisa saja terjadi, seperti salah analisis
dalam menentukan penyakit yang mengakibatkan terjadi salah pemberian
obat. Dalam hal ini telah didapati tiga persoalan hukum kesehatan yaitu mal
administrasi, mal medicine, mal analysis, bukan dalam lingkup malpraktek
melainkan dalam lingkup administrasi kesehatan bukan salah tindakan pidana.
Untuk menentukan terjadi kelalaian atau kesalahan dalam tindakan
medis dan menghindari prasangka malpraktek yang tidak terjangkau dalam
satu kode etik kedokteran, sebaiknya pemerintah dalam hal ini Menteri
Kesehatan beserta jajarananya menerapkan peraturan yang jelas dan ketentuan
dalam bentuk hukum medik. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka akan timbul
perdebatan yang akan terus berlanjut dalam setiap kasus dugaan malpraktek
medik.
Dalam suatu tindakan medis, pasien dan dokter harus mengerti serta
menyepakati suatu tindakan untuk mewujudkan perbuatan dalam pertolongan
medis yang dilakukan oleh dokter untuk menolong serta melakukan
penyelamatan pasien sesuai dengan tugas dokter dan atas permintaan pasien
4
A. Dinajani S. Abidin Mahdi, 2008, Quo Vadis Kliniko Medico Legal Indonesia, Fak.
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 16
9
serta disetujui setelah diberi pengertian dan kenapa tindakan ini dilakukan
dengan alasan-alasan yang dimengerti oleh pasien. Apabila terjadi keraguan,
pasien berhak menolak atau dokter menjelaskan lebih rinci lagi supaya pasien
memahami atas tindakan yang dilakukan, sehingga persetujuan yang diambil
tidak sepihak yang berarti satu sama lainnya telah mendapat penjelasan dan
menyetujui untuk suatu prosedur baik pembedahan, pengoperasian serta
lainnya yang bermanfaat diharapkan atas tindakan tersebut. Namun dalam
tindakan tanpa diharapkan bisa saja terjadi suatu kegagalan medik sekalipun
telah ada kesepakatan antara pihak dokter dan pasien.
Pasien dapat menentukan nasib sendiri (self determination). Hal ini
berarti pasien bisa menyetujui atau menolak persetujuan terhadap tindakan
yang akan diambil seorang dokter karena ini otonomi pasien yang harus
dihargai dan dihormati guna kelangsungan kerja dokter. Pasien mempunyai
peluang melakukan penuntutan bila otonomi, dalam hal ini persetujuan
tindakan tidak disetujui namun tindakan medis tetap dilakukan sepihak.
Tindakan medis tanpa persetujuan pasien bisa membuka peluang penuntutan
secara perdata atau pidana.
Memang dalam tindakan medis, tidak semua tindakan medis harus
disertai dengan persetujuan dari pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini
persetujuan pasien dilakukan jika tindakan medis yang akan dilakukan
mempunyai risiko tinggi terhadap diri pasien, misalnya tindakan medis
operasi. Sedangkan tindakan medis yang tidak memerlukan persetujuan dari
pasien maupun keluarganya adalah apabila pasien dalam keadaan kritis serta
10
tidak sadarkan diri, sedang pihak keluarga tidak ada dan pasien harus segera
mendapatkan tindakan medis, yang apabila tidak segera dilakukan tindakan
media akan membahayakan nyawa pasien.
Akibat
terjadinya
penyimpangan
yang
lebih
dikenal
dengan
malpraktek yang menimbulkan reaksi di dalam masyarakat atas terjadinya
kesalahan tindakan medis dan masyarakat sesuai dengan taraf kehidupan
ditunjang dengan informasi-informasi yang tepat baik melalui media cetak,
radio, televisi serta penyuluhan yang dilakukan di lapangan mulai dari tingkat
posyandu dan penyuluhan langsung dari pihak Dinas Kesehatan di seluruh
wilayah Indonesia. Guna memenuhi maksud undang-undang kesehatan itu
sendiri, upaya pembangunan harus dilandasi wawasan kesehatan dalam arti
pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan
merupakan tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat
berdasarkan Pasal 20, Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan ketentuan tersebut, masyarakat mulai sedikit mengerti dan
memang harus mengerti untuk mendapat pelayanan kesehatan secara wajar
sesuai dengan tingkat kemampuan pemerintah di dalam pembiayaan
pendanaan baik di kota maupun di desa terpencil di wilayah NKRI. Adanya
tanggapan dari masyarakat bila terjadi kematian, cacat dalam pertolongan
kesehatan masyarakat sendiri tanpa asas yang jelas melakukan tindakan
penuntutan yang dimana penuntutan itu tidak dimengerti apakah ini kesalahan
medis atau kesalahan keterangan dari pasien yang mengakibatkan terjadinya
11
penuntutan perdata dan pidana, sehingga tanpa diselidiki lebih dahulu atau
ketidakmengertian atas tindakan itu sendiri, mereka telah menganggap
kesalahan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain, padahal ini belum
diselidiki.
Tuntutan
tersebut
terlepas
dari
apakah
nanti
terbukti
ada
penyimpangan ataukah tidak di dalam praktek kedokteran (medical
malpractice) atau hal itu merupakan suatu risiko (medical risk) yang wajar
yang tidak ada penyimpangan.
Masyarakat belum dapat membedakan bahwa kejadian tidak
diinginkan dapat terjadi karena risiko medik (proses penyakit yang berlanjut,
penyakit lain yang bersamaan, komplikasi penyakit atau mungkin medication
error. Semua dianggap sebagai malpraktik, yang mana kata malpraktik tidak
pernah disebut dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 atau UndangUndang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian guna penyusunan tesis dengan mengambil judul ”TANGGUNG
JAWAB DOKTER TERHADAP PASIEN DALAM HAL TERJADINYA
MALPRAKTEK MEDIS DITINJAU DARI SEGI HUKUM PERDATA”.
B. Rumusan Masalah
Berpangkal tolak dari hal tersebut di atas, maka permasalahan yang
akan dikemukakan dalam tesis ini adalah:
1. Bagaimanakah hubungan dokter dan pasien ditinjau dari sudut hukum
perdata khususnya hukum perjanjian?
12
2. Bagaimanakah tanggungjawab dokter terhadap pasien dalam hal terjadinya
malpraktek medis ditinjau dari segi hukum perdata?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan mengkaji hubungan dokter dan pasien ditinjau dari
sudut hukum perdata khususnya hukum perjanjian.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji pertanggungjawaban dokter terhadap
pasien dalam hal terjadinya malpraktek medis ditinjau dari segi hukum
perdata.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran dan kontribusi bagi pengembangan
ilmu hukum pada umumnya, dan khususnya yang berkaitan dengan hukum
kesehatan.
2. Manfaat Praktis
Memberikan gambaran yang jelas tentang tanggungjawab dokter terhadap
pasien dalam hal terjadinya malpraktek medis ditinjau dari hukum perdata.
E. Keaslian Penelitian
Menelusuri kepustakaan, ternyata sudah ada hasil penelitian dan karya
ilmiah dibidang hak-hak terhadap pasien. Penelitian-penelitian tersebut di
antaranya:
13
1. Penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Kedudukan Hukum Pasien
Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen”, yang ditulis oleh Dianne Eka Rusmawati pada
tahun 2004. Penelitian tersebut membahas mengenai kedudukan hukum
pasien dalam perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen serta untuk mengetahui perlindungan hukum bagi
pasien apabila terjadi malpraktek oleh dokter. 5
2. Penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Implementasi Permenkes
Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Tarakan Provinsi Kalimantan Timur”, yang ditulis oleh
Budyarto pada tahun 2012. Penelitian tersebut membahas mengenai
implementasi Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis di
Rumah
Sakit
Umum
Daerah
(RSUD)
Tarakan;
kendala
dalam
mengimplementasikan Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam
Medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan; serta kendala bagi
pasien dalam memperoleh hak atas isi dari rekam medisnya. 6
Penelitian ini tentang tanggungjawab dokter terhadap pasien dalam hal
terjadinya malpraktek medis ditinjau dari segi hukum perdata. Dengan
demikian penelitian ini dapat dikatakan telah memenuhi keaslian penelitian.
Apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian yang sama, maka penelitian
ini diharapkan dapat melengkapinya.
5
Dianne Eka Rusmawati, 2004, “Kedudukan Hukum Pasien Dalam Perspektif UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, Tesis, Magister Hukum Bisnis,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
6
Budyarto, 2012, “Implementasi Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam
Medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan Provinsi Kalimantan Timur”, Tesis,
Magister Hukum Kesehatan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Download