Penerapan Teori Difusi Inovasi dalam Perubahan Sosial Budaya Oleh

advertisement
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 130
Penerapan Teori Difusi Inovasi dalam Perubahan Sosial Budaya
Oleh: Fahrul Rizal1
Abstract
Innovative diffusion is a new word comes from two joined words. The
diffusion means a process of how innovation is communicated through a
particular medium for members of social culture. It is a typical
communication which its massage is a new idea. Moreover, it is a social
culture changes type which means changes process of structure and
social culture system function. Finally, diffusion means innovation
which its process function is having innovation for social culture system.
Kata Kunci: Difusi, Inovasi dan Sosial Budaya.
Fahrul Rizal adalah Dosen Jurusan Dakwah IAIN Sumatera Utara alumni S-2
Pascasarjana IAIN Sumatera Utara.
1
131 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
Pengertian dan Latar Belakang Teori
Difusi inovasi merupakan gabungan dua kata yang kemudian membentuk
satu arti baru. Difusi diartikan dengan suatu proses dimana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap
anggota suatu sistem sosial budaya. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe
komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga
dapat diangap sebagai suatu jenis perubahan sosial budaya yaitu suatu proses
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial budaya. Jelas disini
bahwa istilah difusi tidak terlepas dari kata inovasi. Karena tujuan utama proses
difusi adalah diadopsinya suatu inovasi oleh anggota sistem sosial budaya tertentu.
Anggota sistem sosial budaya dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi
dan atau sub sistem. Everett Rogers (1964) mendefinisikan difusi sebagai proses
dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan jangka waktu
tertentu
dalam
sebuah
sistem
sosial
budaya.
(en.wikipedia.org/wiki/Everett_Rogers).
Inovasi merupakan ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh manusia
atau unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke
seluruh masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan
mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar inovasi tersebut.
Sedangkan beberapa kelompok masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama
untuk kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak
diadopsi oleh sejumlah orang, hal itu dikatakan exploded atau meledak.
Jennings Bryant dan Susan Thompson mendefinisikan inovasi sama dengan
teknologi, yaitu suatu desain yang digunakan untuk tindakan instrumental dalam
rangka mengurangi ketidakteraturan suatu hubungan sebab akibat dalam mencapai
suatu tujuan tertentu. Jadi, inovasi dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk
mencapai tujuan tertentu (2002: 113).
Teori Difusi Inovasi mulai muncul pada awal abad ke-20, tepatnya tahun
1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi
berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan
bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari
dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu
menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi
waktu. (en.wikipedia.org/wiki/Everett_Rogers).
Pendapat lain menyebutkan bahwa titik awal munculnya teori Difusi Inovasi
pada tahun 1944 ketika Paul Lazarfeld, Bernard Berelson dan H. Guadet menulis
artikel berjudul “The People’s Choice”. Pada teori itu disebutkan bahwa komunikator
yang mendapatkan pesan dari media massa sangat kuat untuk mempengaruhi orangorang (Nuruddin, 2007: 188).
Teori ini kemudian menjadi populer dan sangat luas setelah lahirnya sebuah
buku berjudul Diffusion of Innovation (1961) yang ditulis oleh Everett M. Rogers.
Kemudian Roger dianggap sebagai tokoh sentral teori ini (Burhan, 2008: 279).
Pada awalnya teori ini menjadi kajian pada bidang ilmu sosiologi saja, karena
difusi inovasi merupakan bagian dari perubahan sosial. Namun kemudian difusi
inovasi juga menjadi kajian penting pada ilmu komunikasi, karena satu unsur
penting dari difusi inovasi adalah saluran komunikasi. Artinya difusi inovasi menjadi
lancar jika saluran komunikasinya tidak mengalami hambatan.
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 132
Sejarah Teori
Salah satu tokoh utama teori difusi inovasi adalah Everett M. Rogers. Ia lahir
tanggal 6 Maret 1931 dan wafat tanggal 21 Oktober 2004. Ia dibesarkan dalam
lingkungan keluarga pemilik Pinehurst Farm. Awalnya Rogers tidak memiliki ide
untuk mengambil kuliah hingga gurunya mengarahkannya beserta beberapa temanteman sekelasnya untuk mengambil Agriculture untuk S1 dan S2-nya di Iowa State
University. Selanjutnya ia sempat menjadi suka relawan di perang Korea selama 2
tahun. Sepulangnya dari perang itu Rogers kembali lagi ke Iowa State University
untuk mendapatkan gelar Ph.D di bidang sosiologi dan statistik pada tahun 1957.
(http://Riztikhairinnisa.com)
Sebenarnya teori Difusi Inovasi ini sudah ada sejak tahun 1903 ketika
seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S
(S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana
suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu.
Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat
adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu (Byant dan
Thompson, 2002: 113).
Teori ini kemudian menjadi populer dan berkembang sejak Roger menulis
bukunya berjudul Diffusion of Innovation (1961). Ide buku ini berawal karena
banyak sekali inovasi pertanian yang dihasilkan seperti benih jagung hybrid, pupuk
kimiawi, dan semprotan untuk rumput liar. Namun tidak semua petani mengadopsi
beberapa inovasi tersebut, hanya ada beberapa petani saja yang mengadopsinya
setelah inovasi tersebut berhasil dilakukan oleh beberapa petani barulah inovasi
tersebut menyebar secara perlahan-lahan. Hal inilah yang menjadi pertanyaan besar
bagi Rogers hingga akhirnya menjadi inti dari disertasi Rogers di Iowa State
University. Disertasinya berupa penyebaran atau difusi weed spray, ia juga
melakukan wawancara langsung terhadap 200 petani tentang keputusannya untuk
keputusan mereka mengadopsi inovasi tersebut. Selain itu Rogers juga mempelajari
bagaimana difusi inovasi dari bidang-bidang lain, misalnya pada bidang pendidikan,
marketing, dan obat-obatan. Ia menemukan banyak kesamaan dalam beberapa
bidang tersebut. Hasilnya merujuk kepada S-shaped Diffusion Curve yang
diperkenalkan oleh seorang sosiolog Prancis bernama Gabriel Tarde pada awal abad
ke-20.
Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi
seseorang atau sekelompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua
sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang
lainnya menggambarkan dimensi waktu.
Rogers (1983) mengatakan, “Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current
importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan
sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam
penelitian-penelitian
sosiologi,
khususnya
komunikasi.
(http://Riztikhairinnisa.com).
Menurut Bandura, difusi inovasi dipandang sebagai model simbolik,
persuasi, dorongan sosial dan motivasi. Tiga peristiwa penting menentukan proses
difusi: (a) ketika seseorang belajar mengenai inovasi, (b) ketika seseorang menerima
inovasi dan (c) ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain dalam suatu jaringan
sosial (Braynt dan Thompson, 1996: 113).
133 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
Esensi Teori
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu
inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang
waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial budaya. Hal tersebut sejalan
dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an
innovation is communicated through certain channels over time among the
members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu
bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesanpesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut
“which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its
ultimate users or adopters.” (http://wsmulyana.wordpress.com/).
Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4
(empat) elemen pokok, yaitu:
1. Inovasi
Yaitu gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan
individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka
ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak
harus baru sama sekali.
Rogers (1983, 165) mengemukakan lima karakteristik inovasi meliputi:
a) keunggulan relatif (relative advantage)
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih
baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari
beberapa segi, seperti segi ekonomi, prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan
lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin
cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin
cepat inovasi tersebut dapat diadopsi. Contoh: dalam pembelian handphone,
pengguna handphone akan mencari handphone yang lebih baik dari yang ia
gunakan sebelumnya. Misalnya dari penggunaan Nokia N97 berganti ke
Blackberry.
b) kompatibilitas (compatibility)
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap
konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan
pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi
dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).
Contoh: dalam suku Badui terdapat aturan untuk tidak menggunakan
teknologi dari luar, sehingga bentuk inovasi seperti alat-elektronik tidak mereka
adopsi karena tidak sesuai dengan norma sosial budaya yang mereka miliki.
c) kerumitan (complexity)
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang
sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan
mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang
sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka
semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 134
Contoh: masyarakat pengguna PC atau notebook terbiasa dengan
penggunaan Windows yang lebih mudah dibandingkan Linux, walaupun Linux
memiliki kelebihan dibandingkan Windows tetapi karena penggunaannya lebih
rumit masih sedikit orang yang menggunakan Linux.
d) kemampuan diuji cobakan (trialability)
Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana suatu inovasi
dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat diujicobakan dalam
seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat
dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan
(mendemonstrasikan) keunggulannya.
Contoh: produk Molto Ultra Sekali Bilas cepat diterima masyarakat
karena secara langsung dapat dibandingkan dengan produk-produk sejenis
lainnya.
e) kemampuan diamati (observability).
Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi
dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu
inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut
mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif;
kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan
untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat
kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.
2. Saluran komunikasi
Tujuan komunikasi adalah tercapainya suatu pemahaman bersama
(mutual understanding) antara dua atau lebih partisipan komunikasi terhadap
suatu pesan (dalam hal ini adalah ide baru) melalui saluran komunikasi tertentu.
Dengan demikian diadopsinya suatu ide baru (inovasi) dipengaruhi oleh:
a) partisipan komunikasi
Dari sisi partisipan komunikasi, Rogers mengungkapkan bahwa derajat
kesamaan atribut (seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial budaya, dan
lain-lain) antara individu yang berinteraksi (partisipan) berpengaruh terhadap
proses difusi. Semakin besar derajat kesamaan atribut partisipan komunikasi
(homophily), semakin efektif komuniksi terjadi. Begitu pula sebaliknya. Semakin
besar derajat perbedaan atribut partisipan (heterophily), semakin tidak efektif
komunikasi terjadi. Oleh karenanya, dalam proses difusi inovasi, penting sekali
untuk memahami betul karakteristik adopter potensialnya untuk memperkecil
“heterophily”.
b) saluran komunikasi
Saluran komunikasi juga perlu diperhatikan. Dalam tahap-tahap tertentu
dari proses pengambilan keputusan inovasi, suatu jenis saluran komunikasi
tertentu memainkan peranan lebih penting dibandingkan dengan jenis saluran
komunikasi lain. Hasil penelitian berkaitan dengan saluran komunikasi
menunjukan beberapa prinsip sebagai berikut:
1) saluran komunikasi masa relatif lebih penting pada tahap pengetahuan dan
saluran antar pribadi (interpersonal) relatif lebih penting pada tahap
persuasi;
2) saluran kosmopolit lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluran lokal
relatif lebih penting pada tahap persuasi.
135 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
3) saluran media masa relatif lebih penting dibandingkan dengan saluran antar
pribadi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter
akhir (late adopter);
4) saluran kosmopolit relatif lebih penting dibandingkan denan saluran lokal
bagi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir
(late adopter).
3. Jangka waktu;
Waktu merupakan salah satu unsur penting dalam proses difusi. Dimensi
waktu, dalam proses difusi, berpengaruh dalam hal:
(a) proses pengambilan keputusan inovasi,
(b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima
inovasi,
(c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial (seberapa banyak
jumlah anggota suatu sistem mengadopsi suatu inovasi dalam periode waktu
tertentu).
4. Sistem sosial budaya
Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial budaya. Dalam suatu
sistem sosial budaya terdapat struktur sosial budaya, individu atau kelompok
individu, dan norma-norma tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Rogers (1983)
menyebutkan adanya empat faktor yang mempengaruhi proses keputusan
inovasi. Keempat faktor tersebut adalah: 1) struktur sosial budaya (social
structure); 2) norma sistem (system norms); 3) pemimpin opini (opinion
leaders); dan 4) agen perubah (change agent).
Struktur sosial adalah susunan suatu unit sistem yang memiliki pola
tertentu. Struktur ini memberikan suatu keteraturan dan stabilitas perilaku
setiap individu (unit) dalam suatu sistem sosial budaya tertentu. Struktur sosial
budaya juga menunjukan hubungan antar anggota dari sistem sosial budaya. Hal
ini dapat dicontohkan seperti terlihat pada struktur organisasi suatu perusahaan
atau struktur sosial budaya masyarakat suku tertentu. Struktur sosial budaya
dapat memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi dalam suatu sistem. Katz
(1961) seperti dikutip oleh Rogers menyatakan bahwa sangatlah bodoh
mendifusikan suatu inovasi tanpa mengetahui struktur sosial budaya dari
adopter potensialnya, sama halnya dengan meneliti sirkulasi darah tanpa
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur pembuluh nadi dan arteri.
Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan Kincaid (1981) di Korea menunjukan
bahwa adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik individu itu sendiri
dan juga sistem sosial dimana individu tersebut berada.
Norma adalah suatu pola perilaku yang dapat diterima oleh semua anggota
sistem sosial yang berfungsi sebagai panduan atau standar bagi semua anggota
sistem sosial. Sistem norma juga dapat menjadi faktor penghambat untuk menerima
suatu ide baru. Hal ini sangat berhubungan dengan derajat kesesuaian
(compatibility) inovasi dengan nilai atau kepercayaan masyarakat dalam suatu
sistem sosial budaya. Jadi, derajat ketidaksesuaian suatu inovasi dengan
kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu (sekelompok masyarakat)
dalam suatu sistem sosial berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi tersebut.
“Opinion Leaders” dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yaitu
orang-orang tertentu yang mampu mempengaruhi sikap orang lain secara informal
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 136
dalam suatu sistem sosial budaya. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini
dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka)
berperan sebagai model dimana perilakunya (baik mendukung atau menentang)
diikuti oleh para pengikutnya. Jadi, jelas disini bahwa orang berpengaruh (opinion
leaders) memainkan peran dalam proses keputusan inovasi.
Agen perubah, adalah bentuk lain dari orang berpengaruh. Mereka samasama orang yang mampu mempengaruhi sikap orang lain untuk menerima suatu
inovasi. Tapi, agen perubah lebih bersifat formal yang ditugaskan oleh suatu agen
tertentu untuk mempengaruhi kliennya. Agen perubah adalah orang-orang
professional yang telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan tertentu untuk
mempengaruhi kliennya. Dengan demikian, kemampuan dan keterampilan agen
perubah berperan besar terhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai
contoh, lemahnya pengetahuan tentang karakteristik struktur sosial budaya, norma
dan orang kunci dalam suatu sistem sosial (misal: suatu institusi pendidikan),
memungkinkan ditolaknya suatu inovasi walaupun secara ilmiah inovasi tersebut
terbukti lebih unggul dibandingkan dengan apa yang sedang berjalan saat itu.
Tahapan Proses Inovasi dan Perubahan Sosial budaya
Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi
mencakup:
1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit
pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan
keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi.
2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil
keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik.
3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada
pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.
4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil
keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau
penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya. (Morissan, 2010:148).
Sztompka menggambarkan tahapan tersebarnya inovasi dan perubahan
sosial budaya dengan skema tahapan penyebaran inovasi sebagai berikut:
137 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
Awal
Perubahan
Penyaringan
Perubahan
Penyebaran
Perubahan
Legitimasi
Perubahan
Privat
Menerima
Mengimbangi
Atau
Atau
Atau
Publik
Menolak
Menguatkan
Pada tahap awal inovasi masih milik pribadi, belum menjadi milik umum
atau dikenal luas. Ketika inovasi mulai dikenal orang banyak, bukan berarti segera
menimbulkan dampak sosial budaya. Ada penyaringan terhadap inovasi baru itu,
ada penerimaan dan ada juga penolakan. Jika komunitas lebih kuat menerimanya,
baru kemudian terjadi penyebaran inovasi. Kemudian diikuti proses sosial budaya
penyeimbangan atau penguatan inovasi. Pada tahapan akhir inovasi mendapatkan
legitimasi dari komunitas atau masyarakat luas sehingga terjadilah perubahan sosial
budaya. (Sztompka, 2006: 300).
Apabila inovasi berhasil melewati semua mekanisme penyaringan dan
menjangkau masyarakat, maka tahap penyebarannya pun dimulai. Penyebarannya
melalui berbagai kemungkinan:
1. Kompensasi. Bila perubahan awal memicu umpan balik negatif ia cenderung
mengurangi arti penting inovasi norma dan berakibat dilenyapkannya sama
sekali melalui cara perubahan tandingan.
2. Kompensasi berlebihan. Ini terjadi bila perlawanan yang dimobilisasi terhadap
inovasi norma sedemikian kuat sehingga menimbulkan mekanisme kompensasi
berlebihan yang berakibat tak hanya melestarikan status quo, tetapi akhirnya
merubah struktur ke arah yang diharapkan.
3. Isolasi perubahan. Ini terjadi bila inovasi awal tidak mampu menimbulkan reaksi
selanjutnya. Inovasi dipertahankan, tetapi terbatas di bidang struktur normatif di
tempat semula diperkenalkan, dampaknya tidak meluas.
4. Tersebar. Apabila perubahan awal menyebabkan transformasi serampangan
sejumlah komponen struktur norma tertentu. Ini menimbulkan kekacauan
terhadap struktur norma yang ada.
5. Memperkuat perubahan berdasarkan umpan balik simpatik. Disinilah perubahan
awal memicu perubahan berantai pada komponen lain. (Baumgartner, 1976:
216).
Kategori Adopter
Anggota sistem sosial budaya dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok
adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam
menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 138
pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961).
Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:
1. Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi.
Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan
ekonomi tinggi.
2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam
penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang
dihormati, akses di dalam tinggi.
3. Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya:
penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4. Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam
penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi
atau tekanan sosial, terlalu hati-hati.
5. Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum
kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan
opinion leaders,sumberdaya terbatas. (Morissan, 2010:143).
Penerapan dan Keterkaitan Teori
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori
Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat.
Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial budaya, dan perubahan
sosial budaya pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers
dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari
proses perubahan sosial budaya. Perubahan sosial budaya adalah proses dimana
perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial budaya. Perubahan sosial
budaya terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi
(diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences).
Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau
dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan
kepada anggota sistem sosial budaya, sedangkan konsekuensi adalah suatu
perubahan dalam sistem sosial budaya sebagai hasil dari adopsi atau penolakan
inovasi.
Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh dimana
fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial budaya dalam
pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan
berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai
perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi, seperti
perspektif ekonomi, perspektif ‘market and infrastructure’ (Brown, 1981). Salah
satu defenisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan
Parker (1974), yang mendefenisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan
memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga
menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan
teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana
keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan
melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai
bagian dari kegiatan produktif. (http://Riztikhairinnisa.com).
139 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the
Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat)
dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:
1. Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu
yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
2. Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk
baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
3. Dimensi Media (MEDIUM) diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan
atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
4. Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk
dimaksud. (http://Http://Riztikhairinnisa.com).
Kritik-kritik
Dalam pengaplikasiannya terhadap bidang pertanian ada beberapa kritik
mengenai teori difusi inovasi sebagai berikut:
Pro-Innovation Bias
Maksud dari pro-innovation bias disini adalah adanya prasangka berlebihan
terhadap inovasi (pro-innovation). Dalam teori ini semua inovasi dianggap baik
tetapi pada kenyataanya tidak selalu seperti itu. Ada kemungkinan konsekuensi
negatif sebagai akibat dari inovasi tersebut.
Bias in Favor of Larger and Wealthier Farmers
Ada bias terhadap petani yang lebih kaya dan besar. Orang-orang tersebut
adalah orang-orang yang sangat mau untuk menerima ide baru sehingga semua
informasi diarahkan terhadap mereka. Sedangkan yang membutuhkan bantuan
diabaikan. Sama dengan pengaplikasian inovasi di bidang lain selain pertanian. Iklan
sebuah inovasi biasanya lebih digembar-gemborkan di kalangan masyarakat yang
termasuk innovator, early adopter, dan early majority sedangkan yang tergolong
sebagai late majority dan laggard tidak mendapatkan perhatian khusus.
Individual-Blame Bias
Dalam teori ini mereka yang tidak mengadopsi teknologi langsung dicap
sebagai “laggard” dan disalahkan karena kurangnya respon mereka terhadap
inovasi. Beberapa kritik mengatakan bahwa perusahaan, agensi pengembangan, dan
badan riset seharusnya merespon kebutuhan semua petani. Begitu pula saat
penerapan di bidang lainnya, seharusnya golongan yang mendapat perhatian lebih
dalam penyebaran inovasi adalah golongan yang termasuk kategori late majority
dan laggard. Karena bisa saja mereka terlambat mengadopsi atau tidak mengadopsi
inovasi karena kurangnya informasi mengenai inovasi tersebut.
Issue of equality.
Dari teori ini lahir beberapa issue. Akankah inovasi menyebabkan
pengangguran atau migrasi warga desa? Akankah yang kaya menjadi lebih kaya dan
yang miskin menjadi lebih miskin? Apakah dampak buruk dari inovasi sudah
dipertimbangkan? (Http://Riztikhairinnisa.com).
Daftar Bacaan
Baumgartner, Tom buckley. Metapower and the Structuring of Social Hierarchies”,
(Beverly Hills, Sage, 1976)
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 140
Bryant Jennings dan Susan Thompson. Fundamentals of Media Effect, McGraw Hill,
2002
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada, 2008
en.wikipedia.org/wiki/Everett_Rogers
http://Riztikhairinnisa.com
http://wsmulyana.wordpress.com/
Morissan, et al. Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Ghalia Indonesia
Nuruddin, Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2007
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial budaya. Jakarta, Prenada Media: 2005
Download