MENGATASI PERILAKU MARAH SISWA SMA 01 SEKOLAH OENGAN WELLNESS COUNSELING Lucia Hernawati Fakultas Psikologi - Unika Soegijapranata ABSTRACT Anger problems among senior high school students at schools in Semarang are increasing both quantitatively and qualitatively from year to year. This issue has impacted on students' low academic achievement, low social relation quality, violence at schools, and the worsening of students' mental health which will affect the next development phase. Being angry is an acute emotional reaction triggered by a number of situations that stimulate anger induding treat, verbal attack, disappointment and frustration. Senior high school students' anger is commonly triggered by unsatisfied feeling towards relations with parents, teachers and friends. Unsatisfactory usually causes uncontrollably expressed anger. Senior high school students' anger at school can be in the form of keeping anger, having verbal quarrel, fighting, even murdering. Students' anger impacts on students' low academic achievement, low social relation quality, violence at schools, and the worsening of students' mental health. Students have to be assisted to manage their anger emotion. This can be done by giving them weI/ness counseling as an effort to educate students to have life orientation that is healthy and satisfactory life focused and spiritually. psychologically, physically integrated. This is to enable them to actualize all of the potential which will lead them to happiness. Key words : angry. well counseling PENOAHULUAN Fakta menunjukkan bahwa tipe, intensitas dan frekuensi kemarahan siswa di Sekolah-Sekolah Menengah Atas (SMA) di Semarang meningkat dari tahun ke tahun. Siswa cenderung sangat mudah marah walaupun sebenamya dipicu oleh hal yang sepele seperti tersenggol anggota tubuhnya secara tidak sengaja, saling tatap mata, olok-olokan eh facebook. Ekspresi kemarahan ini dapat berupa memendam kemarahan, percekcokan verbal, perkelahian, tawuran pengrusakan fasilitas sekolah. (Sukri, 2011). hingga pembunuhaan dan 45 Hal yang disebutkan diatas sejalan dengan ungkapan beberapa guru BK SMA di Semarang pada pertemuan yang dilaksanakan bulan Januari 2015.Disebutkan bahwa siswa SMA dari hari ke hari menunjukkan kecenderungan mudah marah walau dipicu dengan hal sepele. Misalnya teguran teman karena melihat tatanan rambutnya yang tidak seperti biasanya atau sapaan guru saat melihat siswa belum pulang walau sekolah sudah usaL Apalagi jika pemicunya dianggap berat misalnya pacar direbut teman lain, atau ditegur guru karena tidak mengerjakan pekerjaaan rumah maka kemarahan yang hebat akan segera ditunjukkan. Pada umumnya kemarahan siswa diekspresikan dengan berkata-kata kasar yang menyakiti pihak lain, membanting pintu, berkelahi lain yang sangat berpotensi menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Hasil penelitian Hernawati tahun 2014 tentang fenomena marah siswa SMA di Semarang menunjukkan bahwa kemarahan siswa di sekolah termasuk pad a kategori tinggL Temuan ini semakin mendukung fakta bahwa sekolah bukan lagi menjadi tempat yang kondusif untuk belajar namun malah membentuk karakter yang negatif. Sekolah idealnya berperan sebagai tempat untuk memperoleh ," . berbagai ilmu pengetahuan dan menjadi tempat pembentukan karakter yang positif bagi siswa. Salah satu karakter yang dikembangkan di sekolah adalah kemampuan mengelola kemarahan. Kemampuan ini menjadi penting karena ketidakmampuan mengelola emosi akan memungkinkan individu melakukan perilaku destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain. Safari dan Saputra (2009) ketidakmampuan siswa mengelola emosinya akan menyesal setelah marah, dan terjalinnya relasi dengan orang lain. menyebutkan menimbulkan rasa yang tidak harmonis Dampak terburuknya adalah akan terbawanya ketidakmampuan mengelola emosi ini pada fase perkembangan yang berikutnya sehingga akan memperburuk kesehatan mental siswa. Sementara tokoh lain yang be mama Campano dan Munakata (2004) .c·':'-:/Pus ·:.:~;· r: 46 menyebutkan bahwa dampak kemarahan siswa di sekolah yang tidak kerkendali adalah pencapaian nilai akademik yang rendah, penolakan teman sebaya dan munculnya psychosomatis syndrome. Selanjutnya kemarahan siswa yang tidak terkontrol akan menyebabkan kekerasan di sekolah. Seharusnya siswa SMA mampu mengelola emosi marahnya karen a mereka pada usianya yang berkisar antara 15 sampai dengan 17 tahun termasuk fase remaja akhir. Santrock (2007) menyebutkan pada usia ini individu telah mampu berpikir formal operasional (membuat analisa dan sintesa); mampu bertanggungjawab; ketergantungan pada orangtua semakin berkurang; mampu memasuki struktur sekolah yang lebih besar dengan jumlah siswa yang semakin banyak; mampu beradaptasi dengan berbagai karakter guru dan metode mengajar; mampu memasuki kelompok teman sebaya yang semakin banyak dan heterogen. Semarang adalah salah satu proponsi di Indonesia yang terletak di Jawa Tengah. Kota ini adalah kota industri yang disibukkan oleh berbagai perdagangan dan menjadi pusat pemerintahan daerah di Jawa Tengah. Berdasarkan pengalaman penulis dalam membantu konseli pada sesi konseling di kota Semarang sejak tahun 2007 hingga kini, diketahui bahwa sebagian besar penduduk Semarang adalah pendatang dari berbagai kota lain yang memiliki karakteristik dan nilai-nilai sosial sangat heterogen. Pada umumnya penduduk bekerja sebagai wirausahawan, pegawai di bidang swasta dan pegawai pemerintahan.Tuntutan pekerjaan di tempat kerja membuat suami dan isteri meninggalkan rumah mulai pagi hingga petang. Pendidikan formal anak dan pengembangan karakternya dipercayakan sepenuhnya pada sekolah. Kurangnya waktu bertemu membuat relasi orangtua dan anak menjadi kurang berkualitas. Sang~t jarang orangtua mengajari anak untuk membuat interpretasi positif pada berbagai pengalamannya, memahami berbagai perasaannya, dan mengekpresikannya dengan tepat. Saat anak berkembang menjadi remaja hal seperti ini sangat berpotensi untuk menimbulkan berbagai 47 masalah emosional dan perilaku, termasuk didalamnya kemarahan remaja di sekolah. Agresivitas remaja yang tidak terkontrol orang tua akan berkembang pada relasi teman sebaya. Karena tanpa disadari tekanan untuk melakukan apa yang dilakukan oleh teman sebaya menjadi fenomena penting dalam upaya menjalin relasi sosial yang harmonis diantara mereka. Pada situasi seperti ini relasi sosial yang penuh dengan agresivitas berpotensi terjadi. Remaja saling mengajari tentang cara mengekspresikan kemarahan dengan agresif. T ermasuk didalamnya mengekspresikan kemarahan karena adanya pengalaman yang tidak diharapkan di sekolah. Sekolah kerap tidak berdaya mengatasi semua ini bisa jadi karena tidak tahu caranya atau sama sekali tidak peduli dengan pengelolaan emosi mn baharah siswa. Keadaan yang demikian tidak boleh dibiarkan, perlu dilakukan konseling yang berdasarkan pada wellbeing sehingga mampu mengajak siswa untuk memiliki orientasi hidup yang sehat dan bahagia. KEMARAHAN SISWA DI SEKOLAH: PENGERTIAN, CIRI-CIRI, EKSPRESI, DAN PENGELOLAAN EMOSI MARAH 1.Pengertian Kemarahan Siswa Di Sekolah Furlong & Smith (2006) menjelaskan bahwa marah di sekolah adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi menstumulasi yang dialami siswa di sekolah. Sedangkan Tokoh lain yang bernama Safaria dan Saputra (2009) menyebutkan ekspresi emosi marah siswa di sekolah adalah reaksi emosional siswa yang disebabkan adanya berbagai tekanan, agresivitas fisik dan verbal, kekecewaan serta frustasi yang dial ami siswa di sekolah. Jadi kemarahan siswa di sekolah adalah reaksi emosinal SiSV\id karena adanya berbagai pengalaman di sekolah yang menstimulasi seperti tekanan, agresivitas fisik dan verbal, kekecewaan serta frustasi. 48 2. Ciri-Ciri Individu yang Sedang Marah Safaria dan Saputra (2009) mengemukakan ciri ciri individu yang sedang marah: a. Ciri pada wajah, warna kulit berubah menjadi kuning pucat, tubuh terutama pad a ujung-ujung jari bergetar keras, timbul buih pada sudut mulut, bola mata memerah, hidung kembang kempis, gerakan menjadi tidak terkendali, serta terjadi perubahan-perubahan lain pada fisik. b.Ciri pada Iidah: meluncurnya makian, celaan, kata-kata yang menyakitkan, dan ucapan-ucapan keji yang membuat orang berakal sehat merasa risih untuk mendengarnya. c. Ciri pada anggota tubuh: munculnya keinginan untuk memukul, melukai, merobek, bahkan membunuh. Jika amarah tersebut tidak terlampiaskan pada orang yang dimarahinya, kekesalannya akan berbalik pada dirinya sendiri. d.Ciri pada hati: munculnya rasa benci, dendam dan dengki, menyembunyikan keburukan, merasa gembira dalam dukanya serta merasa sedih atas kegembiraannya, memutuskan hubungan, dan menjelek-jelekkannya. 3. Ekspresi Emosi Marah Spielberger (1998) menyebutkan bahwa cara mengekspresikan kemarahan tiap orang berbeda-beda. Hal terse but dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu anger out, anger in, dan anger contro/. a. Angerin Pengungkapan emosi marah yang dirasakan seseorang, cenderung ditekan ke dalam dirinya tanpa mengekspresikannya ke luar. Misalnya ketika sedang marah, seseorang lebih memilih diam dan tidak mau menceritakannya pada siapa pun atau tidak menegur seseorang yang membuatnya marah b. Anger out 49 Reaksi ke luar yang dimunculkan oleh seseorang ketika dalam keadaan marah atau reaksi yang dapat diamati secara umum. Kondisi ini bisa menjadi perbuatan merusak, misalnya memukul atau menendang sesuatu yang ada didekatnya, namun setelah itu akan dirasakan kelegaan karena perasaan marah yang dirasakan sudah terpuaskan. Anger out berkaitan dengan ketidakmampuan individu mengekspresikan emosinya secara konstruktif dan asertif. c. Anger control Kemampuan seseorang untuk mengontrol atau melihat sisi positif dari permasalahan yang dihadapi dan berusaha konsisten menjaga sikap positif walau menghadapi situasi yang buruk. Megargee ( dalam Davey, Day & Howells, 2004) menyebutkan ekspresi marah seeorang berbeda-beda. Secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu undercontrolled dan overcontrolled. Ekspresi marah seseorang termasuk dalam kategori undercontrolled bila cenderung tidak mampu mengontrol kemarahannya yang impulsive. Perilaku berang dapat menjadi ekspresi marahnya. Sedangkan over-controlled adalah kategori untuk seseorang yang jarang merasakan kemarahannya demikian pula mengekspresikannya. Seseorang termasuk ke dalam kategori over-controlled bila baru akan marah kalau tak mampu lagi menahan rasa marahnya yang demikian besar 4. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kemarahan Siswa Di Sekolah a. Relasi yang tidak berkualitas antara orangtua dan remaja. Relasi orangtua dan remaja yang tidak berkualitas berpotensi memunculkan komunikasi tidak lancar. Remaja tidak maU menceritakan perasaan dan emosinya dalam aktivitas sehari-hari kepada orangtua dan selanjutnya orangtua tidak dapat mengajarinya 50 untuk mengelola emosi yang salah satunya adalah emosi marah agar dapat diekspresikan dengan tepat (Kerr & Statin, 2000). b.Tekanan ternan sebaya Kim, Hetherington, & Reis (2009) menemukan bahwa relasi dengan ternan sebaya yang penuh tekanan membuat siswa tidak mampu membuat coping yang positif saat mengalami pengalaman yang membuatnya marah. c. Kepribadian Narsisistik Dalam relasi sosial, remaja yang memiliki kepribadian narsisistik kerap menimbulkan kemarahan bagi orang lain karena ia hanya mengekspresikan kebanggaan diri (self admiration) namun ia tidak memberi perhatian pada orang lain (Barry & Malkin, 2010) d.lklim Sekolah Iklim sekolah yang negatif membuat siswa cenderung mengembangkan karakter tidak respek pada guru, sesama siswa, dan staf administrasi di lingkungan sosial sekitar sekolah. Selanjutnya berdampak pada proses pembelajaran yang tidak efektif di kelas (Wilson, 2004). 5.Kemampuan Mengatasi Perlaku Marah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2005), kemampuan mengelola emosi marah diartikan sebagai kecakapan mengatur atau mengontrol emosi marah. Spielberger (1998) menyebutkan kemampuan mengelola emosi marah adalah kemampuan untuk mengontrol atau melihat sisi positif dari permasalahan yang dihadapi dan berusaha konsisten menjaga sikap positif walau menghadapi situasi yang buruk. Dengan demikian kemampuan mengendalikan emosi marah dapat diartikan sebagai kecakapan untuk mengontrol atau melihat sisi positif dari permasalahan yang dihadapi dan berusaha konsisten menjaga sikap positif walau menghadapi situasi yang buruk. 51 Menurut pandangan teori kognitif, emosi banyak ditentukan oleh hasil interpretasi individu terhadap peristiwa yang dialaminya. Persepsi yang negatif menyebabkan emosi yang negatif seperti kemarahan. Salah satu cara untuk mengendalikan emosi marah yaitu dengan memahami peristiwa yang dialami dan membuat interpretasi positif terhadapnya (Safaria & Saputra, 2009). WeI/ness Counseling sebuah pendekatan konseling yang berkarakteristik kognitif behavioral menyebutkan bahwa pengendalian emosi marah dapat dilakukan dengan mengembangkan awarenes tentang berbagai pengalaman yang mungkin dialami secara spritual-psikis-fisik (Myers, Sweeney, & Witmer, 2000) Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengendalian emosi marah dapat dilakukan dengan mengembangkan awarenes tentang berbagai pengalaman yang mungkin dialami secara spiritual-psikis-fiik seperti yang ditawarkan weI/ness counseling. WELLNESS COUNSELING: PENGERTIAN, CIRI-CIRI, DAN PROSEDUR 1.Pengertian wellness counseling, Larson (1999) menyebutkan bahwa Aristoteles pada abad 5 Sebelum Masehi merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep weI/ness. Saat itu istilah yang dipakai Aristoteles adalah eudaimonia yang berarti kebahagiaan Menurut Aristoles manusia berupaya memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Namun bahagia bukanlah diperoleh jalan dengan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu, melainkan melalui tindakan nyata yang mengaktualisasikan potensipotensi yang dikembangkan dimilikinya. oleh Selanjutnya Descartes dengan konsep Aristoteles menggabungkan ini konsep weI/ness dengan konsep dualitas mind and body. Pada akhir abad 20 konsep weI/ness ini berkembang menjadi orientasi hidup yang 52 terintegrasi dalam spirit-mind-body untuk mengaktualisasikan seluruh potensi diri yang pad a akhirnya membawa individu pad a kebahagiaan. Hettler (1984) menyebutkan weI/ness adalah sebuah proses untuk menyadari kepuasan hidup dan secara aktif membuat pilihan agar dapat hidup lebih optimum. Tokoh lain yang bernama Myers & Sweeney (2008) menyebutkan bahwa weI/ness adalah orientasi hidup menuju kesehatan dan kepuasan hidup yang optimal, terintegrasi dalam spirit-psikis-fisik individu yang membuatnya dapat hidup lebih bahagia diantara manusia lain maupun alam. Counseling dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai proses pemberian bantuan dari seseorang yang terlatih dan profesional (konselor) kepada seseorang yang memiliki masalah namun tidak dapat menyelesaikan sendiri (konseli) (Corey, 2010). WeI/ness counseling adalah proses pemberian bantuan dari seorang konselor kepada seorang konseli agar konseli memiliki orientasi hidup menuju kesehatan dan kepuasan hidup yang optimal, terintegrasi dalam spirit-psikis- fisik yang dapat membuatnya hidup lebih bahagia diantara manusia lain maupun alam. 2. Ciri-ciri individu yang berada pad a keadaan weI/ness Menurut Larson (1999) individu yang berada pad a keadaan weI/ness akan merasa bahagia karena mampu mengaktualisasikan seluruh potensi dirinya. Sementara (Egbert (1980) menyebutkan ciri-ciri individu yang mengalami weI/ness kemampuan untuk mampu memotivasi diri, memiliki menyelesaikan masalah secara kreatif, berpengharapan, dan terbuka pada penggalangan relasi dengan orang lain maupun alam. Tokoh lain Hattie, Myers & Sweeney (2004) menyampaikan kemampuan untuk merefleksikan seluruh potensi diri dan mengoptimalkannya agar memberi dampak yang positif adalah ciri dari individu mengalami weI/ness. Senada dengan kedua tokoh diatas, 53 Lauren (2009) menyebutkan ciri-ciri individu yang berada pada keadaan weI/ness adalah mampu memaksimalkan seluruh potensi dirinya dengan cara terintegrasi antara spirit-psikis-fisik 3. Konsep weI/ness Dalam konseling yang berbasis konsep weI/ness, pada umumnya didasarkan pada konsep the wheel of weI/ness atau the indivisible self. Dibawah ini penjelasannya secara terperinci. Sweeney dan Witmer (1991) mengembangkan konsep weI/ness dengan menggabungkan pandangan Adler yang menyebutkan bahwa fisik dan mental mempengaruhi adalah dengan satu berbagai kesatuan konsep dan dari keduanya studi saling psikologi , antropologi, sosiologi,agama, dan pendidikan. Konsep weI/ness yang dikemukakan Sweeney dan Witmer dikenal dengan the wheel of weI/ness. Disebutkan individu harus mengembangkan 5 hal utama dalam hidupnya yaitu spirituality, work and leisure, friendship, love, and self direction. Kelima hal utama tersebut selanjutnya dibagi kedalam12 tugas yang harus dilakukan individu dalam hidup yaitu sense of worth, sense of control, realistic beliefs, emotional awareness dan coping, sense of humour, nutrition, exercise, self-care, stress management, gender identity, dan culture identity. Berdasarkan konsep diatas telah disusun pula alat ukur The Wheel of WeI/ness of Lifestyle (WEL) untuk mengetahui kepuasan hidup individu. Sexton ( 2001) menyebutkan konsep wel/nes dan alat ukur WEL banyak dipakai konselor untuk membantu konseli merefleksikan tingkat kesehatan dan kepuasan hidupnya saat ini dan upaya untuk meningkatkannya agar dapat mencapai kebahagiaan. Konseling yang berbasis konsep weI/ness disebut konseling weI/ness (weI/ness counseling). Pada tahun 2004 Hattie, Myers dan Sweeney merevisi konsep weI/ness yang dikembangkan Sweeney dan Witmer tahun 1991. Disebutkan terdapat 3 dimensi yang terstruktur dalam weI/ness. 54 Dimensi terdalam yang menjadi pusat dari individu adalah the indivisible self. Dimensi kedua terdiri dari 5 hal yaitu creative, coping, sosial, essential, dan physical. Dimensi ketiga terdiri dari 12 hal yaitu thinking, emotion, control, work, positive humour, leisure, stress management, self worth, realistic beliefs, frienship, love. spirituality, gender identity, cultural identity, self- care, exercise, nutrition. Dimensi pertama sebagai pusat individu sedangkan dimensi ketiga mendukung dimensi kedua secara kategorial. Dimensi thinking, emotion, control, work, positive humour mendukung dimensi creative. Dimensi leisure, stress management, self worth, realistic beliefs mendukung dimensi coping. Dimensi friendship, love mendukung dimensi sosial. Dimensi spirituality, gender identity, cultural identity, self- care mendukung dimensi essential. Dimensi exercise, nutrition mendukung dimensi physical. Konsep weI/ness ini lebih menunjukkan hubungan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya dibandingkan konsep sebelumnya. Alat ukur yang bernama Five Factor WeI/ness Inventory (SF-Wei) dikembangkan Myers dan Sweeney pada tahun 2005 berdasar konsep weI/ness yang terakhir ini. Konsep weI/ness dan alat ukur 5F-Wel ini juga dipakai konselor untuk membantu konseli merefleksikan tingkat kesehatan dan kepuasan hidupnya (weI/ness) serta meningkatkannya pada berbagai dimensi untuk mencapai kebahagiaan. Pada penelitian in; konsep tentang weI/ness yang terakhir dan alat ukur 5F-Wel yang akan dipakai. 4. Prosedur pelaksanaan wellnes counseling Dalam weI/ness counseling, setelah building raport dan konseli menceritakan permasalahannya selanjutnya dilakukan 4 tahapan aktivitas sebagai berikut : a. Konselor menjelaskan konsep wellnes. Dimulai dari penjelasan bahwa indivisible self merupakan self yang tak terbagi. Antara spirit, psikis dan fisik merupakan satu 55 kesatuan dan saling mempengaruhi. Self menjadi pusat diri individu. Dalam realisasinya self memancar keluar menjadi Kemampuan creative yang memungkinkan (1) individu mengembangkan diri secara unik. Adapun kemampuan creative ini didukung oleh kemampuan berpikir yang terbuka, mampu mengekspresikan emosi positive atau negatif secara tepat, mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan, merasa puas dengan pekerjaan yang dilakukan dan uang yang diperoleh, mampu menertawakan manakala individu membuat kesalahan; (2)Kemampuan melakukan coping. Kemampuan ini memungkinkan individu untuk merespon pengalaman hidup dan menangkap proses pembelajaran dibalik pengalaman negatif. Kemampuan ini didukung oleh kemampuan mengelola stress, mengembangkan keyakinan yang realistik, merasa diri berharga, mampu menikmati waktu luang untuk berekreasi; (3)Kemampuan bersosialisasi yang memungkinkan individu untuk menggalang relasi sosial dalam keluarga dan kemampuan Iingkungan bersosialisasi sosial yang didukung lebih luas. Adapun oleh kemampuan untuk percaya pada orang lain dan kemauan untuk memberikan support bila diperlukan; (4) Kemampuan untuk mengembangkan aspek essential. Kemampuan ini memungkinkan individu untuk memberi makna pada proses hidupnya maupun hidup orang lain. Kemampuan ini didukung oleh penyadaran bahwa manusia lebih dari hanya sekedar aspek material, merasa puas pada peran gender yang dimiliki, merasa puas dengan budayanya, mampu berupaya untuk mencapai kebahagiaan; (5) Kemampuan untuk mengembangkan aspek physical. Kemampuan ini memungkinkan individu untuk menggunakan aspek biologinya secara maksimal . Kemampuan ini didukung kemampuan untuk berolahraga secara teratur dan mengkonsumsi makanan yang bergizi. 56 Selanjutnya konseli diminta untuk menyampaikan opininya tentang konsep weI/ness yang baru dibicarakan dan menceritakan konsep weI/ness menurutnya. Berikutnya konseli distimulasi untuk merefleksikan pengalaman hidupnya pada tiap dimensi dalam konsep weI/ness yang disampaikan konselor untuk menemukan pada dimensi mana yang masih kurang optimum dikembangkan dan dimensi mana yang telah optimum dikembangkan. Tujuan dari tahap ini (1 )menyampaikan kepada konseli perlunya mencapai kesehatan dan kepuasan hidup yang optimum secara terintegrasi spirit-psikis- fisik agar dapat mencapai kebahagiaan dalam berealasi dengan orang lain dan alam; (2)mengajak konseli berpikir kritis tentangnya dan merefleksikan pengalaman-pengalaman hidupnya pada area-area pembentuk weI/ness secara umum. b. Pengukuran keadaan weI/ness konseli Pada tahap ini konselor dapat mengajak konseli untuk merefleksikan diri pad a tiap dimensi dari konsep weI/ness dengan jawaban berkisar antara skala 1 sampai 10. Skala 1 mencerminkan sangat tidak sehat dan tidak puas akan hidup (very low weI/ness) dan skala 10 mencerminkan sangat sehat dan puas akan hidup (very high weI/ness) Dari aktivitas ini dapat diketahui dimensi mana yang menurut konseli masih perlu ditingkatkan dan dimensi mana yang tidak perlu lagi ditingkatkan. Atau konselor dapat meminta konseli untuk mengisi alat ukur 5F-Wel kemudian dilakukan skoring. Bagian yang mendapat skor rendah berarti masih perlu ditingkatkan dan bagian yang mendapat skor tinggi berarti tidak perlu lagi ditingkatkan. Tahap kedua ini sangat bermanfaat untuk menentukan keadaan weI/ness konseli sekarang dan membut rancangan untuk meningkatkan keadaan weI/ness konseli secara optimum. 57 c. Intervensi untuk meningkatkan keadaan wellness konseli Pada tahap ini konselor meminta konseli untuk memperhatikan dimensi dari konsep weI/ness yang memiliki skor rendah. Bila dimensi tersebut lebih dari satu maka konseli diminta memilih 1 atau 2 dimensi dari konsep weI/ness yang akan ditingkatkan. Tidak disarankan untuk meningkatkan lebih dari dua dimensi secara bersama-sama karena akan memberikan be ban secara berlebihan. Meningkatkan 1 atau 2 dimensi akan mempengaruhi yang lain juga. Selanjutnya konselor dan konseli membuat perencanaan yang dapat dilakukan konseli untuk meningkatkan dimensi weI/ness yang dipilih untuk ditingkatkan. d.Evaluasi dan follow-up Setelah dilaksanakan aktivitas yang telah direncanakan maka pada tahap ini dilakukan evaluasi untuk mengetahui sejauhmana aktivitas yang telah direncanakan dapat dijalankan dan dapat memberi dampak yang positif. Bila teryata aktivitas yang direncanakan tidak dapat dilaksanakan atau tidak memberi dampak positif maka perlu dipikirkan ulang untuk direncanakan aktivitas yang lebih sesuai. Pada tahap ini pula konseli perlu diberi dukungan sosial agar memiliki motivasi yang tinggi untuk terus menjalankan aktivitas yang telah direncanakan. Konselor memberi dukungan bagi konseli pad a membuat perencanaan jangka menjalankannya. Pada pendek dan proses jangka konseling panjang kepada serta konseli diperkenalkan konsep weI/ness, diajarkan cara mengukur keadaan weI/ness yang dimiliki saat ini, diajarkan cara membuat perencanaan, dan mengevaluasi serta melakukan fol/ow up. Dalam jangka panjangnya diharapkan konseli mampu mengembangkan pemahaman weI/ness khas milik diri sendiri yang bisa jadi berbeda dengan konsep weI/ness miliki Hatti, Myers 58 & Sweeney dan mewujudkannya dalam kehidupan riil. (Myers, Sweeney, & Witmer, 2000) 5 Keterkaitan pengendalian emosi marah siswa dengan weI/ness counseling Siswa SMA berada pada fase remaja akhir. Santrock (2007) menyebutkan pada usia ini individu telah mampu berpikir formal operasional, mampu membuat analisa dan sintesa pada berbagai pengalaman hidupnya, mampu mengontrol diri, bertanggungjawab, mampu berelasi sosial dengan damai sehingga memungkinkannya untuk mengelola emosi marahnya Emosi marah bukan hanya melibatkan aspek psikis namun juga fisik maka membantu siswa dalam mengelola kemarahannya tidak cukup dengan pendekatan konseling yang fokus pad a aspek kognitif saja seperti pendekatan konseling realitas atau afektif saja seperti pendekatan konseling client centered atau perilaku saja seperti pendekatan konseling behavioural namun perlu pendekatan konseling yang bersifat komprehensip yang mampu mengekplorasi aspek spirit, psikis dan fisik serta mengoptimalkannya untuk mencapai kebahagiaan. Dengan demikian diperlukan weI/ness counseling. WeI/ness counseling adalah konseling yang mendasarkan seluruh aktivitasnya pada konsep weI/ness. Dalam sejarah, weI/ness counseling dilaksanakan berdasar konsep weI/ness yang dikembangkan oleh Sweeney dan Witmer pada 1991 yaitu the wheel of weI/ness atau yang dikembangkan oleh Hattie, Myers dan Sweeney tahun 2004 yaitu the indivisible self (Myers & Sweeney, 2008). Emosi marah siswa di sekolah muncul karena adanya berbagai pengalaman yang menstimulasi seperti tekanan, agresivitas fisik dan verbal, kekecewaan serta frustrasi. Selanjutnya pengalaman tersebut diinterpretasikan secara negatif. Dalam weI/ness counseling, konseli 59 yang nota bene siswa SMA diajak untuk memahami dan menyadari bahwa orientasi hidup menuju kesehatan dan kepuasan hidup yang optimal akan dapat menjadikan hidup lebih bahagia. Untuk itu siswa diajak untuk merefleksikan mengekspresikan emosi kemampuan positive atau berpikir negatif secara terbuka, tepat, kemampuan mencapai tujuan yang telah direncanakan, perasaan puas dengan kemampuan peke~aan yang dilakukan dan uang yang diperoleh, menertawakan diri manakala membuat kesalahan, kemampuan mengelola stress, mengembangkan keyakinan yang realistik, merasa diri berharga, kemampuan menikmati waktu luang untuk berekreasi, kemampuan mempercayai orang lain dan kemauan untuk memberikan support pada orang lain, penyadaran bahwa manusia lebih dari hanya sekedar aspek material, merasa puas pada peran gender yang dimiliki, merasa puas dengan budayanya, kemampuan berolahraga secara teratur dan mengkonsumsi makanan yang bergizi. Selanjutnya konseli diminta memberi skor yang bergerak dari 1 (sangat rendah) hingga 10 (sangat tinggi) pad a tiap dimensi. Maksimal 2 dimensi harus dipilih konseli untuk diubah. Strategi untuk meningkatkan dimensi yang dipilih konseli ditetapkan bersama dengan konselor. Setelah perencanaan dilaksanakan berikutnya dilakukan evaluasi dan follow up. Penyadaran yang semakin luas tentang spirit-psikis-fisik setelah mengikuti wellness counseling membuat siswa berupaya membuat interpretasi positif pada pengalaman yang mengecewakan di sekolah, mampu mengekpresikan emosi dengan tepat, mampu mengelola stress, mampu memanfaatkan waktu luang untuk rekreasi, mampu berelasi sosial dengan kasih, berolahraga teratur dan makan teratur agar fungsi fisik normal dan mampu mentoleransi kelelahan. 60 DAFTAR PUSTAKA Barry, C.T, & Malkin, M.L. (2010). The relation between adolescent narcIssism and internalizing problems depends on the conceptualization of narcissism. Journal of Research in Personality, Vol.30, NO.30 Campano, J.P., & Munakata, T, (2004). Anger and aggression among Filipino students. Journal of Adolescence, Vol 37, No.156 Corey, G. (2010) Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th ed.). United States: Brooks/Cole. Furlong, M.J., & Smith D.C. (2006). Cross-validation and rasch analyses of the australian version of the multidimensional school anger inventory - revised . Journal of Psychoeducational Assessment, Vol. 24,No.3, 225-242. Hattie, J.A., Myers, J.E, &Sweeney, TJ. (2004). A factor structure of wellness: Theory, assessment, analysis, and practice. Journal of Counseling & Develompent, 77,339-343. Hernawati, L. (2014). Fenomena Kemarahan Siswa SMA Di Sekolah. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan . Hettler, W.(1984). Weliness:Encouraging a lifetime pursuit of excellence. Health Values: Achieving High Level WeI/ness, 8, 13-17. Keer, M., & Statin, H. (2000). What parent know, how they know it, and several forms of adolescent adjustment. Journal of Developmental Psychology, 36, 366-380 Kim, J.E., Hetherington, E.M., & Reiss, D. (2009). Associations among family relationship, antisocial peers, and adolescent's externaling behavior: gender and family type differences. Journal of Child Development, 70, 1209-1230. Larson, D.D.(1999).The conceptualization of health. Research and Review, 56, 123-136 Medical Care Myers, Sweeney, & Witmer, 2000.The Wheel of Wellness Counseling for Wellness: A Holistic Model for Treatment Planning. Journal of Counseling and Develompment JCD; Summer 2000; 78,3. Myers J.E, & Sweeney. T.J, (2008). Well ness Counseling: The evidence base for practice. Journal of Counseling and Development JeD; 86,482-493. 61 Safaria, T, & Saputra, N.E (2009). Manajement Emosi. Sebuah Panduan Cerda~ Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda,. Jakarta: Bumi Aksara. Santrock, J.W.(2007), Remaja [Adolescence], Jakarta: Erlangga T(2001). Evidence-based counseling intervention Sexton, programs:Practicing "best practices." In D.C. Locke, J.E.Myers, &E.H.Herr(eds), The handbook of counseling (pp.499-512). Thousand Oaks, CA: Spielberger, 1998. Factor Structure of The State-Trait Anger Expression Inventory. Departemet of Psychology University of South Florida. Florida.497 -507 Sukri, S.S. (2011). Suara Merdeka On line. Kenakalan Meningkat Siswa Semakin Sweeney, TJ . & Witmer,J.M. (1991). Beyond social Interest: Striving toward optimum Health and wellness. Individual Psychology, 47,527-540 Sweeney, TJ., & Myers,J.E., (2004). The Indivisible Self: An evidencebased model of weI/ness. Greensboro, NC:Authors Wilson (2004). The interface of school climate and school connectedness and relationships with aggreSSion and victimization. Journal of School Health, Vo1.74, NO.7.