Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Yogyakarta, 15 November 2014 ISSN: 1979-911X APLIKASI LOW METHOXYL PECTIN (LMP) KULIT PISANG SEBAGAI BIOSORBEN LOGAM KADMIUM Laeli Kurniasari1, Indah Hartati2, Nur Satik3 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang e-mail :[email protected], [email protected] 1,2,3 ABSTRACT Cadmium is one of heavy metal which is very toxic for human even in low concentration. This metal belongs to non essential metal and useless for human body. One alternative for reducing cadmium in liquid waste is using biomass as an adsorbent. The process then is called biosorption. In biosorption, active site of biomass will play important role for adsorbing the metal. Pectin from banana peel is one component from agricultural waste that can be used as an adsorbent for heavy metal. This research applied low methoxyl banana peel pectin as an cadmium biosorbent. Research was conducted in three steps, the first was extraction of banana peel pectin, the second was demethylation of pectin in to low methoxyl pectin and the third was apllication of low methoxyl pectin as an adsorbent for cadmium. Biosorption processes were conducting in batch, using single synthetic waste. The initial cadmium concentration was 100 ppm. There are three variable observed, pH (3,4,5 and 6), pectin concentration (5,10,15 and 20 g/l) and contact time (30, 60, 90 and 120 minutes). It can be concluded from the result that the maximum conditions for adsorbing cadmium using LMP are in pH 5, pectin concentration 5 g/l and contact time 120 minutes with adsoption capacity 2 mg/g adsorbent. Keywords : banana peel, biosorbent, cadmium, low methoxyl pectin PENDAHULUAN Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar perairan. Keberadaan logam-logam ini sangat berbahaya, meskipun dalam jumlah yang kecil. Berbagai kegiatan manusia seperti penambangan logam, pelapisan dan pencampuran logam, industri minyak dan pigmen, pembuatan pestisida dan industri penyamakan kulit sangat berpotensi menghasilkan limbah yang mengandung logam berat (Igwe dan Abia 2006; Kaewsarn dkk, 2008). Logam berat merupakan zat yang beracun serta umumnya bersifat karsinogenik.Oleh karena itu pengolahan dan penghilangan logam berat dari perairan sangatlah diperlukan. Diantara berbagai jenis logam berat, kadmium (Cd) merupakan jenis logam yang sangat berbahaya. Logam ini banyak digunakan secara luas pada industri paduan logam, pelapisan logam dan elektronika. Kadmium merupakan logam non esensial dan tidak bermanfaat bagi tubuh. Logam ini sangat beracun meskipun pada konsentrasi rendah. Kadmium tidak terdegradasi dan dapat masuk melalui rantai makanan. Keberadaan logam kadmium akan memberikan efek negatif pada tubuh, khususnya bagian ginjal. Selain disfungsi ginjal, logam kadmium juga dapat menyebabkan hipertensi dan anemia (Saikaew dkk, 2009). Bagi lingkungan, kadmium juga mempunyai efek negatif berupa degradasi lingkungan. Beberapa proses pengambilan logam berat yang telah ada diantaranya adalah pengendapan secara kimia, ion exchange, pemisahan dengan membran, elektrolisa dan ekstraksi dengan solvent (Das dkk., 2008). Akan tetapi, proses-proses ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah produksi lumpur limbah beracun yang tinggi dan dapat menyulitkan proses penanganan serta pembuangannya (Prasad dan Abdullah, 2009). Selain itu, proses-proses diatas umumnya memerlukan biaya tinggi serta kurang efektif bila diaplikasikan pada konsentrasi limbah yang rendah (Ashraf, 2010). Salah satu alternatif lain dalam pengolahan limbah yang mengandung logam berat adalah penggunaan bahan-bahan biologis sebagai adsorben. Proses ini kemudian disebut sebagai biosorption. Biosorption menunjukkan kemampuan biomass untuk mengikat logam berat dari dalam larutan melalui langkah-langkah metabolisme atau kimia-fisika. Keuntungan penggunaan proses biosorption diantaranya adalah biaya yang relatif murah, efisiensi tinggi pada larutan encer, minimalisasi pembentukan lumpur, serta kemudahan proses regenerasinya (Ashraf, 2010). C-239 Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Yogyakarta, 15 November 2014 ISSN: 1979-911X Berbagai alternatif bahan-bahan biologis dapat digunakan sebagai bahan baku biosorben. Bahan-bahan ini diantaranya adalah alga, fungi dan bakteri. Namun penggunaan mikroorganisme tersebut memiliki beberapa kendala diantaranya adalah sangat dipengaruhi oleh kontaminan lain, adanya kebutuhan perawatan serta pemberian nutrisi tambahan (Torresday dkk., 2004). Hal ini cukup menjadi kendala mengingat di dalam perairan sangat mungkin terdapat berbagai kontaminasi. Alternatif bahan biologis lain yang dapat digunakan sebagai bahan baku biosorben adalah limbah produk-produk pertanian. Limbah produk pertanian merupakan limbah organik yang tentunya akan sangat mudah ditemukan dalam jumlah besar. Pemanfaatan dan penggunaan limbah pertanian sebagai bahan baku biosorben selain dapat membantu mengurangi volume limbah juga dapat memberdayakan limbah menjadi suatu produk yang mempunyai nilai jual. Oleh karena itu, potensi limbah pertanian sangat besar untuk digunakan sebagai bahan baku biosorben logam berat (Kurniasari, 2010). Komponen yang berperan dalam proses adsorpsi logam berat dengan adsorben bahan-bahan biologis adalah keberadaan gugus aktif yang ada di bahan tersebut. Gugus-gugus itu diantaranya adalah gugus acetamido pada kitin, gugus amino dan posphat pada asam nukleat, gugus amido, amino, sulphydryl dan karboksil pada protein dan gugus hidroksil pada polisakarida. Gugus-gugus inilah yang akan menarik dan mengikat logam pada biomass (Ahalya dkk., 2003). Pektin merupakan salah satu senyawa yang terdapat pada dinding sel tumbuhan daratan. Pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan 1,4 glikosidik dan banyak terdapat pada lamella tengah dinding sel tumbuhan. Sebagian gugus karboksil pada polimer pektin mengalami esterifikasi dengan metil menjadi gugus metoksil. Bila didasarkan pada derajat esterifikasinyanya, maka pektin dapat diklasifikasikan menjadi high methoxyl pectin (HMP) dan low methoxyl pectin (LMP). HMP memiliki derajat esterifikasi lebih dari 50%, sedangkan LMP mempunyai derajat esterifikasi kurang dari 50% (Sharma dkk, 2006). Selama ini pektin banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, farmasi dan kosmetik. Pada industri-industri tersebut pektin digunakan terutama sebagai bahan pembentuk gel. Namun bila mengingat bahwa struktur kompenen pektin juga banyak mengandung gugus aktif, maka pektin juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber biosorben (Wong dkk, 2008; Mata dkk, 2009). Pektin yang umum terdapat pada limbah pertanian adalah pektin jenis HMP. Pektin jenis ini akan membentuk gel pada pH rendah dan dengan adanya padatan terlarut dalam jumlah besar. Gel yang terbentuk akan mudah larut dalam air sehingga praktis pektin jenis HMP tidak bisa digunakan sebagai adsorben logam berat (Mata dkk., 2009). Semakin rendah kadar metoksil pektin maka sifat pembentukan jellinya akan semakin berkurang, sehingga jenis pektin yang dapat digunakan sebagai adsorben adalah LMP. LMP dapat dihasilkan dari HMP dengan proses demetilasi. Kulit buah pisang mengandung pektin dalam jumlah yang cukup banyak, sekitar 10-21% (Mohapatra dkk, 2010). Selain itu, pisang merupakan salah satu komoditas buah unggulan di Indonesia dimana luas panen dan produksinya selalu menempati posisi pertama. Namun pektin yang dihasilkan dari kulit buah pisang termasuk pektin jenis HMP (Emaga dkk, 2008), sehingga untuk aplikasi sebagai biosorben logam berat, pektin yang dihasilkan perlu didemetilasi. Demetilasi adalah proses penurunan kadar metoksil pektin. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan LMP dari bahan HMP. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mempelajari variabel yang mempengaruhi proses biosorpsi logam kadmium dengan menggunakan LMP kulit pisang. METODE PENELITIAN Proses produksi biosorben meliputi ekstraksi dan demetilasi pektin dari kulit pisang. Proses ekstraksi mengacu pada penelitian Emaga dkk (2008) dengan sedikit modifikasi. Kulit pisang dihilangkan bagian pulpnya dan kemudian dioven pada suhu 50 0C selama 24 jam. Kulit pisang yang dipakai adalah kulit pisang matang yang berwarna kuning. Selanjutnya kulit pisang kering di hancurkan. Kulit pisang halus dicampur dengan larutan H2SO4 encer dengan perbandingan padatan : cairan = 1 : 29 w/v diaduk dengan kecepatan 250 rpm menggunakan magnetic stirrer. Campuran dipanaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam. Slurry yang dihasilkan kemudian didinginkan pada suhu ruang dan disaring. pH larutan diukur dan diubah menjadi 3,5 dengan penambahan 0,2M KOH. Larutan kemudian didispersikan dalam etanol 96% selama 1 jam pada suhu ruang. Proses selanjutnya adalah sentrifugasi selama 20 menit untuk mendapatkan gel pektin. Gel pektin yang diperoleh C-240 Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Yogyakarta, 15 November 2014 ISSN: 1979-911X kemudian dicuci dengan etanol 70% (rasio gel : solven = 1:2 w/w) , diremas dalam kain nilon untuk menghilangkan sisa etanol, dibilas dengan air dan dioven untuk mendapatkan pektin kering. Pektin yang diperoleh disebut HMP. Untuk proses demetilasi, pektin kering yang telah dihasilkan pada proses ekstraksi didispersikan dalam aquades dan dibuat pada konsentrasi 50 mg/ml serta diaduk pada suhu ruang. pH larutan dibuat 4 dengan penambahan HCl pekat. Reaksi dilakukan selama 5 jam pada suhu 500C. Setelah proses demetilasi selesai, larutan didinginkan dan pektin diendapkan dengan penambahan etanol 96%. Endapan yang dihasilkan dicuci 3-4 kali dengan etanol 70% dan disaring dengan menggunakan kertas saring. Endapan dikeringkan pada suhu 400C dan disimpan dalam wadah tertutup rapat. Proses selanjutnya adalah biosorpsi logam kadmium dengan menggunakan LMP. Uji coba biosorpsi LMP dilakukan dengan proses bacth dalam limbah sintetis tunggal, artinya hanya ada satu logam sintetis dalam larutan. Konsentrasi awal larutan adalah 100 ppm, yang diperoleh dengan melarutkan Cd(NO3)2 dalam aquadest. Untuk mengatur pH dilakukan dengan penambahan HNO3 atau NaOH. Adapun variabel percobaan meliputi pH, konsentrasi biosorben dan waktu. Pektin dengan konsentrasi tertentu di campurkan ke dalam larutan yang mengandung Cd(NO3)2 dengan konsentrasi 100 ppm. Larutan kemudian diatur pH nya sesuai variabel dengan menggunakan HNO3 atau NaOH. Larutan diaduk, dan proses adsorpsi dilakukan sesuai dengan variabel waktu pada suhu ruang (300C). Setelah proses adsorpsi selesai, campuran di sentrifugasi selama 10 menit untuk proses pemisahan adsorben. Kadar ion logam yang tersisa dalam larutan selanjutnya dianalisa dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectrofometer). Kapasitas adsoprsi dihitung dengan persamaan : V (1) Q = (Co – Cf) x ………………………… M Dimana Q adalah konsentrasi logam teradsorp (mg/g adsorben), Co dan Cf adalah konsentrasi awal dan akhir ion logam dalam larutan (mg/L), V adalah volume larutan (l) dan M adalah massa adsorbent (g). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pH terhadap proses biosorpsi logam kadmium dapat dilihat pada Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kapasitas adsorpsi logam kadmium pada pH rendah cukup kecil dan naik dengan kenaikan pH. Kapasitas adsorpsi tertinggi dicapai pada pH 5 dan diatas pH 5 nilainya menurun lagi. Gambar 1. Pengaruh pH terhadap Kapasitas Adsorpsi Nilai pH merupakan salah satu variabel penting pada proses biosorpsi. Hal ini disebabkan karena pH berpengaruh pada ionisasi gugus fungsional pada permukaan adsorben. Selain itu, ion hidrogen sendiri bisa bersaing secara kuat dengan adsorbat (Sathasivam dan Haris, 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biosorpsi pada pH rendah relatif kecil. Hal ini disebabkan pada pH rendah terjadi peningkatan kompetensi/persaingan dengan proton pada bagian situs aktif adsorben (Kaewsarn dkk, 2008; Saikaew dkk, 2009; Mata dkk, 2009; Vazques dkk, 2011)). Proses biosorpsi pada pH dibawah 2 dilaporkan kecil karena adanya persaingan dengan ion hidrogen pada situs aktif adsorben. Kenaikan pH akan menyebabkan persaingan dengan hidrogen menurun, sehingga kapasitas adsorpsi meningkat. Pada percobaan ini, nilai maksimal dicapai pada pH 5 dan diatas pH 5 nilainya kembali turun. Penurunan ini disebabkan oleh terbentuknya kompleks anion hidroksida pada pH tinggi yang C-241 Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Yogyakarta, 15 November 2014 ISSN: 1979-911X menyebabkan penurunan konsentrasi ion kadmium bebas dalam larutan. Lebih lanjut pada kondisi basa, justru dimungkinkan munculnya efek lain yang dapat merusak proses biosorpsi, seperti terbentuknya senyawa hidrat dengan logam berat serta pembentukan garam yang kemudian akan mengendap (Kaewsarn dkk, 2008). Kaewsarn dkk (2008) melaporkan bahwa pH terbaik proses biosorpsi kadmium dengan biosorben kulit pisang pada pH 5, demikian pula Saikaew dkk (2009) untuk proses biosorpsi logam kadmium dengan biosorben kulit buah pome. Sedangkan Mata dkk (2009) dan Vazques dkk (2011) menyebutkan kondisi terbaik proses biosorpsi logam kadmium adalah pada pH 6. Sedangkan hasil percobaan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi biosorben dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Pengaruh Konsentrasi Biosorben terhadap Kapasitas Adsorpsi Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi biosorben terbaik dicapai pada 5g/l. Ahalya dkk (2003) menuliskan bahwa pada konsentrasi biosorben yang lebih rendah akan terjadi peningkatan kapasitas adsorpsi. Sedangkan peningkatan konsentrasi biosorben justru akan menurunkan kapasitas adsorpsi. Penurunan kapasitas adsorpsi ini disebabkan oleh adanya penurunan gaya elektromotif dalam larutan serta kemungkinan terjadinya agregat partikel biosorben (Seolatto dkk, 2012). Dengan demikian saat proses adsorpsi situs aktif adsorben menjadi berkurang. Sedangkan Mata dkk (2009) memberikan hipotesis bahwa penurunan kapasitas adsorpsi pada peningkatan konsentrasi biosorben disebabkan oleh penurunan ketersediaan situs aktif biosorben. Hal ini dapat disebabkan oleh interaksi elektrostatik partikel biosorben, saling pengaruh dengan ion logam maupun karena masalah pengadukan. Waktu kontak cukup memegang peran penting dalam proses biosorpsi. Sathasivam dan Haris (2010) menuliskan bahwa biosorpsi dapat dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap yang secara kuantitatif dominan dan biasanya terjadi diawal proses biosorpsi. Pada tahap ini laju proses biosorpsi cepat karena ketersediaan situs aktif adsorben yang masih banyak. Menurut Sathasivam dan Haris (2010), ini biasanya terjadi pada 15 menit pertama proses biosorpsi. Tahap kedua adalah tahap yang lebih lambat dan secara kuantitatif tidak signifikan. Apabila kontak diteruskan, maka peningkatan persentase adsorpsi akan menurun karena keterbatasan area adsorben. Bahkan setelah waktu tertentu yang disebut sebagai kondisi kesetimbangan, maka peningkatan jumlah adsorbate yang teradsorp menjadi tidak signifikan lagi (Singanan, 2011). C-242 Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Yogyakarta, 15 November 2014 ISSN: 1979-911X Gambar 3. Pengaruh Waktu Kontak terhadap Kapasitas Adsorpsi Dalam penelitian ini, waktu kontak yang memberikan hasil optimum adalah pada menit ke120 (Gambar 3). Sun dkk (2010) melaporkan bahwa dinamika biosorpsi dan kapasitas biosorben untuk mengadsorp suatu logam sangat dipengaruhi oleh diameter ion logam, potensial elektrode, afinitas gugus fungsi dan interaksi antara ion logam dengan biosorben. Lebih lanjut Sun dkk (2010) menuliskan bahwa kesetimbangan biosorpsi logam kadmium dalam Aspergillus juga cenderung lebih lambat bila dibandingkan dengan logam lain seperti timbal. KESIMPULAN Dari hasil penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Low methoxyl pectin (LMP) dapat diaplikasikan sebagai biosorben untuk logam kadmium 2. Variabel yang mempengaruhi proses biosorpsi adalah pH, konsentrasi biosorben dan waktu kontak 3. pH terbaik untuk proses biosorpsi logam kadmium dengan LMP adalah 5, konsentrasi LMP terbaik adalah 5 g/liter dan waktu kontak terbaik adalah 120 menit. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas pendanaan kegiatan penelitian ini melalui program Hibah Bersaing Tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Ahalya, N., Ramachandra, T.V., Kanamadi, RD., 2003, Biosorption of Heavy Metal, Research Journal Of Chemical And Environment Vol. 7(4), 71-79 Ashraf, MA., Maah, MJ., Yusoff, I., 2010, Study of Banana peel (Musa sapientum) as a Cationic Biosorben, American-Eurasian J. Agric & Environ. Sci 8(1): 7-17 Das, N., Karthika, P., Vimala, R., Vinodhini, V., 2008, Use of Natural Products as Biosorbent of Heavy Metals: An Overview, Natural Product Radiance, Vol. 7(2), 133-138. Emaga, T.H., Ronkart, S.N., Robert, C., Wathelet, B., Paquot, M., 2008, Characteization of Pectins Extracted from Banana Peels (Musa AAA) under Different Conditions Using an Experimental Design, Food Chemistry 108, 463-471. Igwe, J.C and Abia, A.A., 2006, A Bioseparation Process for Removing Heavy Metals from Waste Water Using Biosorbents, African Journal of Biotechnology Vol.5(12), 1167-1179 Kaewsarn, P., Saikaew, W., Wongcharee, S., 2008, Dried Biosorbent Derived from Banana Peel: A Potential Biosorbent for Removal of Cadmium from Aqueous Solution, The 18th Thailand Chemical Engineering and Applied Chemistry Conference Kurniasari, L., 2010, “Pemanfaatan Mikroorganisme dan Limbah pertanian Sebagai Bahan Baku Biosorben Logam Berat” Majalah Ilmiah Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang, MOMENTUM, ISSN 0216 7395, Volume 6 Nomor 2, 5-8 Mata, YN., Blazquez, ML., Ballester, A., Gonzalez, F., Munoz, JA., 2009, Sugar-beet Pulp Pectin Gels as Biosorbent for Heavy Metals: Preparation and Determination of Biosorption and Desorption Characteristics, Chemical Engineering Journal 150, 289-301. Mohapatra, D., Mishra, S., Sutar, N., 2010, Banana and Its By-product Utilisation: An Overview, C-243 Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Yogyakarta, 15 November 2014 ISSN: 1979-911X Journal of Scientific & Industrial Research Vol. 69, 323-329 Prasad, AGD., Abdullah, MA., 2009, Biosorption of Fe(II) from Aqueous Solution Using Tamarind Bark and Potato Peel Waste: Equilibrium and Kinetic Studies, Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation 4(3): 273-282. Saikaew, W., Kaewsarn, P., Saikaew, W., 2009, Pomelo Peel: Agricultural Waste for Biosorption of Cadmium Ions from Aqueous Solutions, World Academy of Science, Engineering and Technology 56, 287-291. Sathasivam, K., Haris, MRHM., 2010, Banana trunk Fibers as an Efficient Biosorben For The Removal of Cd(II), Cu(II), Fe(II), Zn(II) From Aqueous Solutions, J. Chil. Chem. Soc, 55, No. 2, 278-282 Seolatto, AA., Filho, CJS., Mota DLF., 2012, Evaluation of the Efficiency of Biosorption of Lead, Cadmium and Chromium by the Biomass of Pequi Fruit Skin (Caryocar brasiliense Camb), Chemical Engineering Transactions Vol. 27, doi: 10.3303/CET1227013 Sharma, B.R., Naresh, L., Dhuldhoya, N.C., Merchant, S.U., Merchant, U.C., 2006, An Overview on Pectins, Times Food Processing Journal, 44-51 Singanan, M., 2011, Removal of Lead (II) and Cadmium (II) ions From Wastewater Using Activated Biocarbon, Science Asia 37: 115-119, doi: 10.2306/scienceasia1513-1874.2011.37.115 Sun, YM., Horng, CY., Chang FL., Cheng, LC., Tian, WX., 2010, Biosorption of Lead, Mercury and Cadmium ions by Aspergillus terreus Immobilized in a Natural Matrix, Polish Journal of Microbiology Vol. 59, No. 1, 37-44 Torresday, J.L.G., Rosa, G., Videa, J.R.P., 2004, Use of Phytofiltration Technologies in The Removal of Heavy Metals: A review, Pure Appl. Chem. Vol. 76, No. 4, 801-813. Vazquez, ARH., Villanueva, AC., Benavides, LM., Martinez, RC, 2011, Cadmium and Lead Removal From Aqueous Solutions Using Pine Sawdust as Biosorbent, Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitations Vol. 6 No.4: 447-462 Wong, W.W., Abbas F.M.A., Liong, M.T., Azhar, M.E., 2008, Modification of Durian Rind Pectin for Improving Biosorbent Ability, International Food Research Journal 15(3), 363-365 C-244