SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PEKERJA UNIT UTILITIES PT.PERTAMINA (PERSERO) REFINERY UNIT VI BALONGAN, INDRAMAYU TAHUN 2014 OLEH : RIKI AKBAR NIM : 107101002322 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M ii FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juli 2014 Riki Akbar, NIM : 107101002322 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. xvii + 87 halaman, 14 tabel, 2 bagan, 1 gambar, 4 lampiran. ABSTRAK Gangguan pendengaran akibat bising ialah disebabkan akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Berdasarkan hasil pemeriksaan audiometri tahun 2013 di PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan terdapat 16 dari 56 pekerja di Unit Utilities yang mengalami gangguan pendengaran. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu tahun 2014. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni tahun 2014. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan yang masih aktif bekerja sampai tahun 2014 dan sampel yang digunakan sebanyak 55 pekerja. Diketahui dari hasil penelitian terdapat pekerja menderita gangguan pendengaran sebanyak 16 (29,1%) pekerja dan berdasarkan analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi Square bahwa faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran ialah dosis kebisingan dengan pvalue 0.000. Untuk mengurangi terjadinya gangguan fungsi pendengaran ialah perlu dilakukannya rotasi kerja, pemberian barrier atau penghalang pada mesin yang mengeluarkan intensitas kebisingan diatas NAB, pemakaian APT dengan NRR yang sesuai, pelatihan pemakain APT yang baik, pemberian reward dan punishment terhadap penggunaan APT. Daftar bacaan : 35 (1975-2011) iii FACULTY MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF OCCUPTIONAL SAFETY AND HEALTH Underground Thesis, Juli 2014 Riki Akbar, NIM : 107101002322 Factors That Are Associated With Hearing Loss Worker The Utilities Unit PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu by 2014. xvii + 87 pages + 14 tables + 2 chart + 1 picture + 4 appendix. ABSTRAK Hearing loss due to noise is caused due to noisy exposed by a fairly hard in quite a long period of time and is usually caused by a noisy work environment. Based on the results of the examination of the audiometry by 2013 in PT. Pertamina (Persero) Balongan Refinery Unit VI there are 16 of 56 workers in Utilities Unit experiencing hearing loss. Type of this research is quantitative with the design of cross sectional. This research aims to know the factors that are associated with hearing impairment Utilities Unit workers PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu by 2014. This research was carried out in April until June 2014. Population and sample the study was the entire Unit PT Utilities workersPertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan active work until 2014 and samples that used as many as 55 workers. Known from the results of the research there were workers suffering from hearing loss as much as 16 (29.1%) of workers and based on the analysis of statistical test Chi Square bivariat use that factors associated with hearing loss is the noise dose with a pvalue 0000. To reduce the occurrence of disturbance of auditory function was he had to do a work rotation, giving the barrier on the machines that dispense the intensity of noise above NAB, use APT with appropriate training, the use of APT was good NRR, delivery of reward and punishment against the use of APT. Reading list 35 (1975-2011) vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama : Riki Akbar Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 08 Agustus 1989 Agama : Islam Golongan Darah :A Status Kewarganegaraan : WNI Alamat : Jl. Rempoa raya No.2 RT 01/05, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Provinsi DKI Jakarta-Selatan 12330. No. Telp : (021)-93463799 / (021)-7352486 E-Mail : [email protected] PENDIDIKAN FORMAL 1995 – 2001 SDN B intaro 014 PG 2001 – 2004 SLTP Muhammadiyah 17 Ciputat Tangerang Selatan 2004 – 2007 SMA Dua Mei Ciputat Tangerang Selatan 2007 – Sekarang S1 Kesehatan Masyarakat, Peminatan Keselamatan dan Kesehatan kerja, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta vii KATA PENGANTAR بسماللهالرحمنالرحيم اسالمعليكمىرحمةاللهىبركاته Dengan menyebut nama ALLAH yang maha pengasih lagi maha penyayang, Segala puji kehadirat Allah SWT zat tunggal yang maha agung, yang telah meninggikan langit tanpa tiang dan yang telah mengokohkan bumi tanpa pondasi. Syukur senantiasa selalu terucapkan atas segala nikmat dan rahmat-Nya hingga skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014” ini dapat selesai dan tersusun dengan baik. Salawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Habibana wa Habibana Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya dari zaman jahilyah sampai zaman yang berilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Penyusunan Skripsi ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis, melainkan banyak pihak yang telah memberikan supor, bantuan, bimbingan, motivasi, dan semangat. Untuk itu penulis merasa pantas berterima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Kedua orang tua yang selalu dirahmati ALLAH SWT, yang selalu mendoakan, memberikan semangat, kasih sayang dan dukungan baik secara moril maupun materil, sebagai teladan dalam menjalani kehidupan ini, semoga diberikan umur panjang dalam iman dan islam serta sehat selalu. viii 2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Febrianti,SP,M.Si selaku dosen pembimbing I dan selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Catur Rosidati,MKM, sebagai sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat, Penanggung Jawab Skripsi dan Sebagai Penguji Skripsi. 5. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK Selaku Penanggung Jawab Peminatan Kesehatan & Keselamatan Kerja (K3). 6. Bapak dr.Yuli Prapanca Satar, MARS, selaku dosen pembimbing II yang tak pernah lelah dalam membimbing dan yang selalu memberikan kemudahan kepada mahasiswa & mahasiswinya. Semoga ALLAH SWT selalu memberikan kemudahan dalam setiap derap langkah bapak & keluarga, Aaaaamien… 7. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 8. Bapak Mochamad Askar, selaku pembimbing lapangan dan selaku Occupatinal Health Section Head serta staf-staf HSE PT. PERTAMINA (PERSERO) Refinery Unit (RU) VI Balongan, yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis selama melaksanakan kegiatan penelitian di perusahaan tersebut. ix 9. Bapak-bapak pekerja Unit Utilities yang telah meluangkan waktunya untuk membantu peneliti selama berada di field. 10. Teman-teman dari UNHAS 2007, Dhea, Lily dan Ivone yang telah banyak memberikan asupan makanan (Snack dll) selama di meja Perpus HSE hahhahhah.....oh ya makasi juga atas pinjamian Camdig (Kamera digitalnya ye) 11. Teman baik ku pipit, yang seneng ngebanyol dan super humoris. 12. Nur Najmi Laila (Profesor/suhu Ami hehehe…,,) yang selalu membantu & memberikan semangat kepada teman-teman seperjuangan. Ente dah kaya pembimbing III w mi, thank’s berat ye mi, w hutang budi sama lw. Dan w rasa yg lebih berhutang budi sama lw adalah Nurli Faiz (Faiz) hahahah… dan lw w ksh predikat sebagai ibunya Faiz hihihih…. 13. Teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan 2007 (Opus), Khususnya anak-anak K3 FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tetap Semangat Untuk Meraih Masa Depan yang Gemilang. Akhir kata dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca lain. والسالمعليكمىرحمةاللهىبركاته Jakarta, Juli 2014 Penulis x DAFTAR ISI Lembar Pernyataan ……………............................................................................................. i Abstrak ………………………………………………………………………….………....... ii Lembar Persetujuan ……………………………………………………………….………... iv Lembar Pengesahan ………………………………………………………………………… v Daftar Riwayat Hidup ……………………………………………………………………… vi Kata Pengantar ……………………………………………………………………………...vii Daftar Isi …………………………………………………………………………………… x Daftar Tabel ……………………………………………………………………………….. xiv Daftar Bagan ……………………………………………………………………...………. xvi Daftar Gambar ……………………………………………………………………………. xvii Daftar Lampiran ………………………………………………………………………...... xviii BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5 1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................................... 5 1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................................. 7 1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................................ 7 1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................... 7 1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................................... 9 1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti .................................................................................... 9 1.5.2 Manfaat Bagi Perusahaan .............................................................................. 9 1.5.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan ................................................................ 9 1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................................ 10 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Gangguan Pendengaran …………………………………............................................. 11 2.1.1 Gangguan Pendengaran Konduktif …………................................................. 12 2.1.2 Gangguan Pendengaran Sensori-Neural.......................................................... 12 2.1.3 Gangguan Pendengaran Campuran ……......................................................... 13 2.2 Anatomi dan Fisiologi Telinga ...................................................................................... 14 2.2 1 Anatomi Telinga …………………………………………...………….……. 14 xi 2.2.2 Fisiologi Telinga ............................................................................................ 14 2.2.2.1 Telinga Bagian Luar ......................................................................... 15 2.2.2.2 Telinga Bagian Tengah ................................................................... 15 2.2.2.3 Telinga Bagian Dalam ..................................................................... 15 2.3 Mekanisme Pendengaran …………………………………………………..…………. 16 2.4 Dampak Gangguan Pendengaran ……………………………………..………...…….. 19 2.4.1 Dampak Auditorial Akibat Bising ……………………………………....... 19 2.4.2 Damak Non-Auditorial Akibat Bising ……………………………………. 22 2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran atau Pemeriksaan Audiometri ………………… 23 2.6 Pengendalian Kebisingan .............................................................................................. 24 2.6.1 Eliminasi ......................................................................................................... 24 2.6.2 Substitusi ........................................................................................................ 24 2.6.3 Engineering Control ....................................................................................... 25 2.6.3.1 Pengendalian Pada Sumber Bunyi ............................................... 26 2.6.3.2 Pengendalian Pada Jalannya Transmisi ....................................... 26 2.6.3.3 Pengendalian Pada Penerima Suara .............................................. 27 2.6.4 Administrasi Control ...................................................................................... 28 2.6.5 Alat Pelindung Telinga .................................................................................. 28 2.6.5.1 Ear Plug ..................................................................................... 29 2.6.5.2 Ear Muff ..................................................................................... 31 2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran ...................................... 33 2.9.1 Dosis Kebisingan ........................................................................................... 34 2.9.2 Masa Kerja ..................................................................................................... 37 2.9.3 Usia Pekerja ................................................................................................... 38 2.9.4 Kebiasaan Merokok ....................................................................................... 39 2.9.5 Penggunaan Obat Ototoksik .......................................................................... 40 2.9.6 Riwayat Penyakit Telinga .............................................................................. 41 2.9.7 Penggunaan APT ........................................................................................... 42 2.8 Kerangka Teori ............................................................................................................. 43 BAB III Kerangka Konsep 3.1 Kerangka Konsep ......................................................................................................... 44 xii 3.2 Definisi Operasional ................................................................................................... 45 3.3 Hipotesis ..................................................................................................................... 48 BAB IV Metodologi Penelitian 4.1 Jenis Penelitian ............................................................................................................ 49 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................................... 49 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................................... 49 4.4 Pengumpulan Data ....................................................................................................... 51 4.5 Instrument Penelitian ................................................................................................... 52 4.6 Pengolahan Data .......................................................................................................... 53 4.7 Analisis Data ................................................................................................................ 55 4.7.1 Analisis Univariat .......................................................................................... 55 4.7.2 Analisis Bivariat ............................................................................................ 56 BAB V Hasil 5.1 Gambaran Umum PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan ………... 57 5.2 Analisis Univariat ……………………………………………………………………. 58 5.2.1 Gambaran Gangguan Pendengaran ……………………………………… 59 5.2.2 Gambaran Dosis Kebisingan …………………………………………….. 60 5.2.3 Gambaran Masa Kerja …………………………………………………… 60 5.2.4 Gambaran Usia Pekerja ………………………………………………….. 61 5.2.5 Gambaran Kebiasaan merokok ………………………………………….. 62 5.2.6 Gambaran Pemakaian APT ……………………………………………… 62 5.3 Analisis Bivariat ……………………………………………………………………... 63 5.3.1 Gambaran Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 63 5.3.2 Gambaran Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 64 5.3.3 Gambaran Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 65 xiii 5.3.4 Gambaran Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 66 5.3.5 Gambaran Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 67 BAB VI Pembahasan 6.1 Keterbatasan Penelitian …………………………………………………….……. 69 6.2 Gangguan Pendengaran ………………………………………………………….. 70 6.3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran ………………. 72 6.4 Hubungan Antara Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ………….. 72 6.5 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran ………………… 75 6.6 Hubungan Antara Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran …………….…. 77 6.7 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran ….….… 80 6.8 Hubungan Antara Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran …………… 81 BAB VII Simpulan dan Saran 7.1 Simpulan ………………………………………………………………………… 84 7.2 Saran …………………………………………………………………………….. 85 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xiv DAFTAR TABEL Nomor Tabel Halaman 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan (Kepmenaker) …………………… 35 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan (Kepmen LH) ………………….... 35 4.1 Coding Data ………………………………………………………… 54 5.1 Gambaran Distribusi Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 …………………………………………………. 5.2 59 Gambaran Distribusi Dosis Kebisingan Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ………………………………………………………… 5.3 60 Gambaran Distribusi Masa Kerja Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014………………………………………………………………. 5.4 Gambaran Distribusi Usia Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ……..… 5.5 61 61 Gambaran Distribusi Kebiasaan Merokok Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014……………………………………………………………… 5.6 62 Gambaran Distribusi Pemakaian APT Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 …………….................................................................... 5.7 63 Gambaran Distribusi Hubungan Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ………. 5.8 64 Gambaran Distribusi Hubungan Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ………................... 5.9 65 Gambaran Distribusi Hubungan Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 …………………… 5.10 66 Gambaran Distribusi Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ............... 67 xv 5.11 Gambaran Distribusi Hubungan Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 .............. 68 xvi DAFTAR BAGAN Nomor Bagan Halaman 2.1 Kerangka Teori ……………………………………………………… 43 3.1 Kerangka Konsep ………………………………………………….... 44 xvii DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar 2.1 Halaman Anatomi Telinga Manusia ………………………………………... 14 xviii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Izin Penelitian & Surat Konfirmasi Izin Penelitian Lampiran 2 Kwesioner Lampiran 3 Dokumentasi Foto Penelitian (Skripsi) Lampiran 4 Lembar Analisis Data Statistik (Output) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pendengaran masih menjadi salah satu masalah utama Kesehatan Masyarakat khususnya pada pekerja-pekerja yang bekerja di tempat yang terpapar bising, misalnya pekerja dikawasan industi antara lain pertambangan, perkapalan, penerbangan maupun mesin yang berada di pabrik-pabrik tekstil. Hal ini akan sangat merugikan para pekerja karena dapat menyebabkan ketulian menetap. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa industri dan mekanisasi tumbuh dan berkembang dalam rangka mewujudkan masyarakat industri yang maju dan mandiri. Berbagai mesin dan peralatan canggih dipergunakan dan diproduksi oleh industri-industri dan perusahaan-perusahaan. Mesin-mesin dan peralatan tersebut di satu sisi sangat penting bagi pembangunan namun juga ternyata membawa dampak negatif bagi kesehatan manusia khususnya tenaga kerja (Depnaker, 1993). Dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat, maka penggunaan alat-alat dan mesin modern menjadi suatu kebutuhan bagi suatu industri. Salah satu dampak dari penggunaan mesin modern tersebut adalah kebisingan yang disebabkan mesin tersebut. Suara-suara gaduh atau bunyi yang bising merupakan salah satu penyebab penyakit akibat kerja dari golongan fisik (Suma’mur, 1992). 1 2 Penggunaan teknologi yang tinggi di tempat kerja dalam hal sarana dan prasarana yang menghasilkan suara atau bunyi atau kegaduhan yang melebihi standar akan menimbulkan gangguan kesehatan khususnya pada pekerja, yaitu terjadinya penyakit akibat kerja. Bising yang sangat keras (di atas 85 dB untuk daerah pabrik, industri dan sejenisnya) dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan seseorang pada umumnya, dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan gangguan pendengaran sementara, yang lambat laun dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan pendengaran antara lain adalah intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, dan lamanya orang tersebut berada di tempat atau di dekat sumber bunyi, baik dari hari ke hari atau seumur hidup (Azwar, 1990). Kebisingan 75 dB untuk 8 jam per hari jika hanya terpapar satu hari saja pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan. Tetapi jika berlangsung setiap hari terus menerus minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun maka suatu saat akan melewati batas dimana paparan kebisingan tersebut akan menyebabkan gangguan pendengaran (Sasongko, 2000). Badan kesehatan dunia (WHO) melaporkan tahun 2000 sebanyak 250 juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dari dampak kebisingan dalam berbagai bentuk. Angka itu diperkirakan akan terus meningkat. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 5-6 juta orang yang terancam menderita tuli akibat bising. Sedangkan Belanda jumlahnya mencapai 200.000300.000 orang, di Inggris sekitar 0,2%, di Canada dan Swedia masing-masing 3 sekitar 0,03% dari seluruh populasi. Dan sekitar 75 – 140 juta (50%) berada di Asia Tenggara. Indonesia cukup dominan, yaitu nomer 4 di Asia Tenggara sesudah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%) dan di Indonesia diperkirakan sedikitnya (4,6%) dan akan terus meningkat (Budiono, 2003). Sementara dari Survei Nasional pada tujuh propinsi di Indonesia, pada 19941996, angka gangguan pendengaran 16,8% atau 35,28 juta penduduk dan ketulian 0,4 % atau 840.000 penduduk (Komnas PGPKT, 2011). Berdasarkan data yang didapat dari Balai Kesehatan Indera Masayarakat atau BKIM Kota Semarang pada November 2007 yang dilakukan pada anakanak usia sekolah dasar, dari 467 siswa kelas satu yang diperiksa telinganya ditemukan sebanyak 29,55% siswa mengalami gangguan pendengaran yang diakibatkan serumen obsturan, Otitis media kronik Supuratif 1,28% dan Sensory Neural Hearing Loss 0,21%. Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor pendengaran Corti pada telinga dalam. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga. Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian (Irwandi, 2007). Kebisingan merupakan bahaya fisik yang mungkin terjadi dalam setiap proses produksi dan lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat, misalnya bising yang melebihi ambang batas yang merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya gangguan kesehatan terutama gangguan pendengaran. Batas yang 4 sudah ditetapkan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja adalah 85 dBA untuk 8 jam kerja per harinya atau 40 jam kerja per minggunya. Kebisingan selain dapat menimbulkan gangguan pendengaran juga akan berdampak negatif lain seperti gangguan komunikasi, efek pada pekerjaan, stress, kelelahan, dan sebagainya. PT. PERTAMINA (Persero) Refiery Unit VI Balongan adalah perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang pengolahan minyak bumi dalam hal ini Crude Oil atau Minyak Mentah menjadi BBM (Bahan Bakar Minyak) siap pakai. PT. PERTAMINA (Persero) Refiery Unit VI Balongan memiliki banyak unit bisnis dalam pekerjaannya, salah satunya adalah unit utilities. Di unit utilities terdapat 64 (enam puluh empat) mesin. Mesin-mesin yang menjadi sumber-sumber kebisingan di area utilities adalah Pompa, Kompresor, Boiler, Generator Plant dan Nitrogen Plant. Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada bulan januari 2013 didapatkan hasil pengukuran intensitas kebisingan di unit utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dengan menggunakan Sound Level Meter (SLM) merk Larson Davis LxT2 sebesar 81 dB – 104 dB dengan rata-rata intensitas kebisingan yang cukup besar (90,4 dB). Kemudian berdasarkan hasil Tes Audiometri yang dilakukan pada pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2013 ditemukan adanya pekerja yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 16 orang (29 %) dari 56 orang yang memeriksakan diri. 5 1.2 Rumusan Masalah Terjadi gangguan pendengaran pada pekerja, berdasarkan hasil Tes Audiometri yang dilakukan pada pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) RU VI Balongan Tahun 2013 ditemukan adanya pekerja yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 16 orang (29 %) dari 56 orang yang memeriksakan diri. Hal ini didukung oleh hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada bulan Januari 2013 didapatkan hasil pengukuran intensitas kebisingan di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) RU VI Balongan sebesar 81 dB - 104 dB. Hal inilah yang melandasi penulis untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja di unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran gangguan pendengaran yang dialami pekerja di UnitUtilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 2. Bagaimana gambaran dosis kebisingan yang diterima pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 3. Bagaimana gambaran usia pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 6 4. Bagaimana gambaran masa kerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 5. Bagaimana gambaran pemakaian APT di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 6. Bagaimana gambaran kebiasaan merokok di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 7. Apakah ada hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 8. Apakah ada hubungan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 9. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 10. Apakah ada hubungan antara pemakaian APT dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 11. Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014? 7 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya hubungan antara usia pekerja, dosis kebisingan, masa kerja, pemakaian APT dan kebiasaan merokok dengan gangguan fungsi pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran gangguan pendengaran yang dialami pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 2. Diketahuinya gambaran dosis kebisingan pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 3. Diketahuinya gambaran usia di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 4. Diketahuinya gambaran masa kerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 5. Diketahuinya gambaran pemakaian APT di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 6. Diketahuinya gambaran kebiasaan merokok di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 8 7. Diketahuinya hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran di Unit Utilities PT. PERTAMINA(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 8. Diketahuinya hubungan antara usia pekerja dengan gangguan pendengarandi Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 9. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengarandi Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 10. Diketahuinya hubungan antara pemakaian APT dengan gangguan pendengaran di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 11.Diketahuinya hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 9 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Peneliti Dapat meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan teori yang telah didapat selama dibangku perkuliahan, serta sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti selanjutnya. 1.5.2 Bagi Perusahaan 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti tentang dampak kebisingan yang diterima pekerja akibat terpapar intensitas kebisingan yang tinggi. 2. Sebagai masukan dan informasi bagi pekerja sehingga pekerja lebih memahami tentang dampak kebisingan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja bagi dirinya sehingga tumbuh kesadaran untuk mematuhi peraturan menggunakan alat pelindung telinga. 1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan Dapat menambah kapasitas dan kualitas pendidikan serta dapat dijadikan referensi mengenai gangguan pendengaran pada pekerja untuk mahasiswa peminatan kesehatan dan keselamatan kerja. 10 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara antara usia pekerja, dosis kebisingan, masa kerja, pemakaian APT dan kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. Hasil studi pendahuluan di bulan Januari tahun 2013 pada unit utilities sebagian besar memiliki intensitas kebisingan yang melampaui NAB. Berdasarkan hasil tes audiometri tahun 2013 terdapat 16 orang pekerja (29%) yang mengalami gangguan pendengaran dari 56 orang pekerja yang mengikuti pemeriksaan audiometri. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh pekerja unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan yang masih aktif bekerja sampai tahun 2014 dan sampel yang digunakan sebanyak 55 pekerja. Penelitian ini akan dilaksanakan di unit utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balogan selama bulan Maret-Juni tahun 2014. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran adalah menurunnya atau memburuknya fungsi pendengaran. Tuli adalah memburuknya fungsi pendengaran yang lebih parah. Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh masalah mekanis didalam liang telinga atau telinga tengah yang menghalangi konduksi suara atau karena rusaknya telinga dalam. (Billy, 2003). Sedangkan menurut Jenny Basharudin, dkk (2007) gangguan pendengaran dapat diakibatkan dari gangguan atau kerusakan pada salah satu telinga, gangguan pendengaran telinga saat bayi dan anak-anak, gangguan pendengaran akibat bising dan gangguan pendengaran akibat obat ototoksik. Suara dapat mencapai telinga bagian dalam melalui hantaran udara ( Air Conduction) dan hantaran tulang (Bone Conduction). Suara yang masuk dari telinga luar kemudian melalui tulang pendengaran yang berada ditelinga bagian tengah hingga mencapai cairan ditelinga bagian dalam, disebut sebagai hantaran udara. Sedangkan hantaran tulang adalah suara yang mencapai telinga bagian dalam melalui tulang tengkorak. Ada tiga kategori gangguan pendengaran, yaitu gangguan pendengaran konduktif, gangguan pendengaran sensori-neural dan gangguan pendengaran campuran (Widana, I Dewa Ketut Kerta, 2006). 11 12 2.1.1 Gangguan Pendengaran Konduktif (Widana, I Dewa Ketut Kerta, 2006). Gangguan pendengaran hantaran udara (conductive hearing loss), dimana hasil test menunjukkan gangguan pada hantaran udara tetapi pada hantaran tulang normal. Hal ini memberi ganbaran bahwa tidak terdapat kerusakan pada struktur telinga bagian dalam. Gangguan pendengaran konduktif disebabkan oleh adanya kelainan yang terdapat pada telinga bagian luar atau bagian tengah. Kelainan ditelinga luar yang menyebabkan gangguan pendengaran konduktif adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta dan osteoma liang telinga. Kelainan ditelinga tengah yang menyebabkan gangguan pendengaran konduktif adalah sumbatan tuba eustakhius, otitis media, timpanosklerosis dan dislokasi tulang pendengaran 2.1.2 Gangguan Pendengaran Sensori-neural Gangguan pendengaran saraf (sensori-neural hearing loss), dimana hasil test menunjukkan gangguan pada hantaran udara maupun hantaran tulang. Hal ini memberikan gambaran bahwa adanya kerusakan pada struktur telinga bagian dalam. Beberapa penyebab yang dapat mengakibatkan tejadinya gangguan pendengaran saraf yaitu karena terpajan oleh tingkat kebisingan yang tinggi, trauma pada kepala dan telinga, terpajan suara ledakan, penyakit yang disebabkan oleh virus sepert mumps, rubella, diabetes, hipertensi dan obatobatan tertentu yang berefek pada pendengaran seperti streptomisin, aspirin dan juga karena proses penuaan. 13 2.1.3 Gangguan Pendengaran Campuran Gangguan pendengaran campuran yaitu suatu kondisi dimana antara gangguan pendengaran konduktif dan gangguan pendengaran sensorineural yang terjadi secara bersamaan. Gangguan pendengaran campuran disebabkan karena kombinasi gangguan pendengaran konduktif dan gangguan pendengaran saraf, berupa penyakit radang telinga tengah dengan kompilasi ketelinga dalam atau merupakan gangguan pendengaran saraf dengan radang telinga tengah. Menurut International Standard Organization (ISO), dalam Istantyo (2011) derajat gangguan pendengaran karena kebisingan adalah sebagai berikut : a. Pendengaran Normal Jika peningkatan ambang dengar antara 0 - < 25 dB b. Tuli Ringan Jika peningkatan ambang dengar antara 26 - 40 dB. c. Tuli Sedang Jika peningkatan ambang dengar antara 41-60 dB. d. Tuli Berat Jika peningkatan ambang dengar antara 61 - 90 dB. e. Tuli Sangat Berat Jika peningkatan ambang dengar antara ≥ 90 dB. 14 2.2 Anatomi & Fisiologi Telinga 2.2.1 Anatomi Telinga Gambar 2.1 Anatomi Telinga Manusia 2.2.2 Fisiologi Telinga Telinga terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Bagian luar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik yang berbeda yaitu: Koklea, yang mengandung reseptorreseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi implus-implus saraf, sehingga kita dapat mendengar, dan aparatus vestibularis, yang penting untuk sensasi keseimbangan (Lauralee sherwood, 2001). 15 2.2.2.1 Telinga Bagian Luar (Lauralee sherwood, 2001). Telinga luar terdiri dari daun telinga (ear flap), liang telinga (ear canal) yang panjangnya kurang lebih dua sentimeter sampai dengan membran timpani (membrane tympanic). 2.2.2.2 Telinga Bagian Tengah Teliga tengah (middle ear) terdapat tiga buah tulang yang saling berhubungan (ossicular system) yaitu malleus, incus dan stapes. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. 2.2.2.3 Telinga Bagian Dalam Telinga bagian dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilymph sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli (membran Reissner) dan dasar skala media (membran basalis) terdapat organ korti yang merupakan organ reseptor yang membangkitkan implus saraf sebagai respons terhadap getaran membran basilar. 16 Daun telinga berfungsi menangkap gelombang tekanan suara dan meneruskan gelombang tersebut ke gendang telinga. Ketika gelombang tekanan suara mencapai gendang telinga, maka gendang telinga akan bergetar. Getaran suara itu akan diteruskan sampai ke telinga tengah. Getaran suara yang sampai pada tulangtulang tersebut akan diteruskan sampai ke telinga bagian dalam. Suara yang sampai ke telinga bagian dalam akan diterima oleh membran oval window. Membran ini meneruskan gelombang suara ke dalam koklea, dimana di dalamnya terdapat cairan dan 25.000 sel-sel saraf. Selanjutnya gerakan fluida ini akan menggetarkan ribuan sel berbentuk rambut halus (hair cells) yang akan mengonversi getaran yang diterimanya menjadi implus bagi saraf pendengaran. Oleh saraf pendengaran (audiory nerve), implus tersebut akan dikirim ke otak untuk diterjemahkan menjadi suara yang kita dengar (Bridger R.S, 1995). 2.3 Mekanisme Pendengaran (Pearce, 2002). Suara ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak melalui rongga telinga luar yang menyebabkan membrana tympani bergetar. Getaran tersebut selanjutnya diteruskan menuju inkus dan stapes, melalui malleus yang terikat pada membrana itu. Karena gerakan-gerakan yang timbul pada setiap tulang ini sendiri, maka tulang-tulang itu memperbesar getaran. Yang kemudian 17 disalurkan melalui fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan melalui membran menuju endolimfe dalam saluran kokhlea dan rangsangan mencapai ujung-ujung akhir saraf dalam organ corti, untuk kemudian diantarkan menuju otak oleh nervus auditorius. Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak enak, hingar bingar atau musikal. Istilah-istilah ini digunakan dalam artinya yang seluas-luasnya. Gelombang suara yang tidak teratur menghasilkan keributan atau kehingarbingaran, sementara gelombang suara berirama teratur menghasilkan bunyi musikal enak. Suara merambat dengan kecepatan 343 m/detik dalam udara tenang pada suhu 15, 50 C. Menurut Budiono (2003) apabila telinga memperoleh rangsang suara, maka sesuai dengan besarnya rangsangan akan terjadi proses: a. Adaptasi, yang berlangsung 0-3 menit, yakni berupa kenaikan ambang dengar sesaat. Jika rangsangan berhenti, ambang dengar akan kembali seperti semula. b. Pergeseran ambang dengar sementara (temporary threshold shift), sebagai kelanjutan proses adaptasi akibat rangsang suara yang lebih kuat dan dapat dibedakan dalam dua tahap yakni kelelahan (fatigue) dan tuli sementara terhadap rangsangan (temporary stimulation deafness). Kelelahan tersebut akan pulih kembali secara lambat dan akan semakin bertambah lambat lagi jika tingkat kelelahan semakin tinggi. Sedang tuli sementara akibat rangsang suara terjadi akibat pengaruh mekanisme vibrasi pada koklea yang mengalami rangsang suara dengan intensitas tinggi dan berlangsung lama. 18 c. Pergeseran ambang dengar yang persisten (persistent treshold shift), yang masih ada setelah 40 jam rangsang suara berhenti. d. Pergeseran ambang suara yang menetap (permanent threshold shift), meskipun rangsang suara sudah tidak ada. Pada keadaan ini sudah terjadi kelainan patologis yang permanen pada koklea, umumnya pada kasus trauma akustik dan akibat kebisingan di tempat kerja. Proses pendengaran sangatlah menakjubkan. Getaran sumber bunyi dihantarkan melalui media udara menggetarkan gendang dan tulang-tulang kecil yang terletak dalam rongga telinga bagian tengah, yang kemudian menghantarkan getaran ke dalam suatu sistem cairan yang terletak dalam putaran rongga bangunan menyerupai rumah siput atau lebih dikenal sebagai koklea, yang terletak bersebelahan dengan alat keseimbangan di dalam tulang temporalis. Di dalam telinga bagian tengah juga terdapat sebuah otot terkecil dalam tubuh manusia, yaitu tensor timpani, yang bertugas membuat tegang rangkaian tulang pendengaran pada saat bunyi yang mencapai sistem pendengaran kita berkekuatan lebih dari 70 dB, untuk meredam getaran yang mencapai sel-sel rambut reseptor pendengaran manusia. Namun, otot ini yang bekerja terus menerus juga tak mampu bertahan pada keadaan bising yang terlalu kuat dan kontinu, dan terjadilah stimulasi berlebih yang merusak fungsi sel-sel rambut. Kerusakan sel rambut dapat bersifat sementara saja pada awalnya sehingga dapat terjadi ketulian sementara. Akan tetapi, kemudian bila terjadi rangsangan terus menerus, terjadi kerusakan permanen, sel rambut berkurang sampai menghilang dan terjadi ketulian menetap. 19 Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris dengan mengenai nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam frekuensi 3000 sampai 6000 Hz. Sering kali juga terjadi penurunan tajam (dip) hanya pada frekuensi 4000 Hz, yang sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena yang terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada percakapan manusia, sering kali pada awalnya sama sekali tidak dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu jelas gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama (Djelantik, 2004). 2.4 Dampak Gangguan Pendengaran Dampak gangguan pendengaran pada manusia secara umum dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu dampak auditorial atau Auditory Effects dan dampak non-auditorial atau Non Auditory Effects (National Safety Council, 1975). 2.4.1 Dampak Auditorial Akibat Bising Dampak auditori akibat bising adalah terjadinya gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Lose) adalah gangguan pendengaran yang berkembang secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup lama yang diakibatkan karena terpajan kebisingan yang keras secara terus menerus atau terputus-putus (ACOEM, 2002). Ciri khas NIHL, menurut The American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM) antara lain sebagai berikut : 20 a. Kerusakan bersifat sensori-neural, mempengaruhi sel-sel rambut telinga bagian dalam. b. Gangguan pendengaran terjadi secara bilateral. c. Pajanan kebisingan tunggal tidak menyebabkan gangguan pendengaran yang lebih besar dari pada 75 dB pada frekuensi tinggi dan 40 dB pada frekuensi rendah. d. Pada umumnya, pajanan kebisingan yang terus menerus selama beberapa tahun lebih merusak dari pada pajanan kebisingan terputusputus. Akan tetapi, pajanan kebisingan pada tingkat tinggi walau sesaat dapat mengakibatkan gangguan pendengaran yang bermakna. Dampak Auditorial akibat bising, kemungkinan dapat berupa : a. Trauma Akustik Trauma akustik merupakan luka pada elemen sensori-neural ditelinga bagian dalam. Akibat terpajan bising tinggi atau kuat yang tiba-tiba seperti ledakan bom atau terjadi trauma langsung pada kepala atau telinga menyebabkan robeknya membran timpani atau terjadi dislokasi serta kerusakan tulang-tulang pendengaran disebut denga trauma akustik (National Safety Council, 1975). b. Perubahan Ambang Pendengaran Sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS) Akibat terpajan bising ditempat kerja, mula-mula pekerja merasa terganggu, tetapi lama kelamaan akan menjadi terbiasa dan 21 suara bising yang tinggi tidak lagi dirasakan, artinya bahwa pekerja tersebut telah mengalami gangguan pendengaran. Setelah pekerja tersebut keluar dari tempat kerja yang bising, maka pendengarannya sedikit demi sedikit akan pulih seperti semula. Hal tersebut berarti gangguan pendengaran yang dialami bersifat sementara. Waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan sangat tergantung pada tingkat kebisingan, lama pajanan, jenis bising, serta kerentanan atau kepekaan seseorang. Biasanya dibutuhkan waktu beberapa menit sampa paling lama 10 (sepuluh ) hari. Bila penurunan ambang pendengaran kurang dari 30 dB, maka pemulihan biasanya terjadi setelah 16 (enam belas) jam bebas dari bising (Bashiruddin, 2001). c. Perubahan Ambang Pendengaran Menetap atau Permanent Threshold Shift (PTS). Pekerja yang mengalami perubahan ambang dengar sementara, terus berlanjut terpajan oleh bising sebelum pemulihan secara bertahap terjadi, maka akan terjadi sisa gangguan pendengaran. Jika hal tersebut berlangsung secara berulang-ulang dan menahun maka mengakibatkan gangguan pendengaran yang bersifat menetap. Gangguan pendengaran menetap mula-mula terjadi pada frekuensi 4000 Hz, kemudian berkembang pada frekuensi 2000, 1000 dan 500 Hz yang merupakan frekuensi pembicaraan manusia. Jika ini terjadi akibatnya pekerja akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi (National Safety Council, 1975). 22 2.4.2 Dampak Non-Auditorial Akibat Bising Akibat pajanan kebsingan, pada seluruh menit pertama tubuh manusia akan melakukan penyesuaian fungsi biologi dengan cara meningkatkan denyut jantung, yang akan mengakibatkan terjadinya nyeri atau sakit kepala, peningkatan tekanan darah dan frekuensi pernapasan. Selain itu hormon adrenalin dan cortisol juga meningkat sehingga meningkatkan kadar gula dalam dan lemak dalam darah. Dapat terjadinya berbagai macam stres seperti mudah marah, penurunan tingkat konsentrasi, kelelahan, depresi dan gangguan tidur. Juga terjadi peningkatan peristaltik sistem gastrointestinal. Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa kebisingan diatas 55 dB selain terasa mengganggu juga mengakibatkan penurunan kinerja (Berglund, 1996). Dampak lain akibat pajanan bising adalah meningkatnya abseinteisme, penurunan tingkat produktifitas karena kelelahan dan penurunan konsentrasi, peningkatan biaya produksi, penurunan kualitas kerja, produksi dan gangguan komunikasi (Jeyaratman, 1996). Kebisingan juga dapat berdampak terjadinya gangguan kenyamanan (annoyance) bagi orang yang terpajan. Berbagai reaksi psikologis akan timbul pada orang yang mengalami gangguan bising, biasanya reaksi yang timbul bergantung pada status fisik, perilaku dan motifasi pribadi seseorang (National Safety Council, 1975). Sulit untuk memprediksi ganguan kenyamanan karena persepsi dalam penerimaan bising seseorang dengan yang lainnya berbeda, 23 seorang mungkin dapat menikmati bising sedangkan orang lainnya tidak menghendaki. Umumnya, suara terputus-putus (intermuttent), intensitas dan frekuensi bising yang tinggi sangat mengganggu. 2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran atau Pemeriksaan Audiometri Berkurangnya pendengaran akibat bising terjadi secara perlahan-lahan, bertahap dan tanpa terasa sehingga upaya pemeriksaan ketajaman pendengaran perlu dilakukan secara berkala. Pemeriksaan Audiometri merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai kemampuan pendengaran seseorang (PT.Pertamina Persero RU VI Balongan, 2009). Audiometri berfungsi untuk mengukur nilai ambang pendengaran yaitu suara yang paling lemah yang masih dapat didengar telinga. Alat untuk melakukan pemeriksaan audiometri digunakan Audiometer. Tujuan dari pemeriksaan pendengaran ditempat kerja adalah untuk mendapatkan status fungsi pendengaran karyawan, mengidentifikasi adanya gangguan fungsi pendengaran, alat bantu untuk mendiagnosa, sebagai panduan penatalaksanaan terhadap pasien dengan gangguan pendengaran, untuk memonitor progresivitas penurunan fungsi pendengaran karyawan selama bekerja di perusahaan dan untuk menerapkan program konservasi pendengaran (National Safety Council, 1975). Pemeriksaan audiometri sebaiknya dilakukan pada : (National Safety Council, 1975). a. Pemeriksaan sebelum bekerja (Pre-Employment Examination) 24 Hasil audiometri ini berguna untuk mengevaluasi tingkat pendengaran karyawan sebelum bekerja, sebagai data dasar (Baseline Audiometry), untuk menilai adanya penurunan fungsi pendengaran atau menentukan ketulian akibat kerja b. Pemeriksaan Berkala (Periodic Examination) Dilakukan setiap tahun atau dua tahun untuk memonitor penurunan fungsi pendengaran pada karyawan yang bekerja di area bising. c. Pemeriksaaan khusus pada waktu tertentu Pemeriksaan ini dilakukan bila ditemukan indikasi ganguan pendengaran pada pemeriksaan kesehatan berkala d. Pemeriksaan Pada Akhir Masa Kerja Pemeriksaan yang dilakukan pada akhir masa kerja karyawan, untuk menilai tingkat penurunan atau hilang fungsi pendengaran yang mungkin timbul selama bekerja. Hal ini berhubungan dengan masalah kompensasi. 2.6 Pengendalian Kebisingaan 2.6.1 Eliminasi Eliminasi merupakan upaya pengendalian dengan cara menghilangkan bahaya yang ada di lingkungan kerja. 2.6.2 Substitusi Substitusi merupakan upaya pengendalian dengan cara mengganti proses berbahaya dengan proses yang tidak berbahaya. Substitusi untuk pengendalian kebisingan dapat juga berupa : 25 a. Substitusi Mesin Yaitu dengan cara mengganti mesin lain yang lebih tidak menimbulkan bising. Dalam menerapkan metode substitusi mesin ini harus dipertimbangkan pengeluaran dana yang harus dikeluarkan perusahaan dan apakah mesin yang baru tidak menimbulkan bahaya lain yang berbahaya. b. Substitusi Proses Yaitu dengan cara mengganti proses lain yang lebih baik tidak menimbulkan bising. Substitusi proses ini harus mempertimbangkan apakah proses yang baru dapat teruji dengan bunyi bising yang lebih rendah dibandingkan dengan proses yang lama dan apakah dengan proses yang baru ini tidak merubah kualitas dari hasil akhir produksi. (Chandra, 2006) 2.6.3 Pengendalian Teknik (Engineering Control) Pengendalian teknik merupakan suatu pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi pada faktor lingkungan pekerja selain pekerja. Pengendalian ini bertujuan untuk mereduksi tingkat tekanan suara pada sumber bising (Noise Source), transmisi suara (Sound Path) dan pada si pendengarnya (Receiver), dengan cara-cara sebagai berikut : 26 2.6.3.1 Pengendalian pada sumber bunyi (Noise Source) Menurut Heru Subaris dan Haryono (2007), pengendalian kebisingan pada sumber bunyi dapat dilakukan dengan cara berikut ini : a. Meredam bising atau getaran yang ada. b. Mengurangi luas permukaan yang bergetar. c. Mengatur kembali tempat sumber d. Mengatur waktu operasi mesin. e. Pengecilan atau pengurangan volume. f. Pembatasan lalu lintas dan lainnya. Sedangkan menurut Chandra (2006), pengendalian pada sumber kebisingan dapat juga dilakukan dengan cara : a. Melakukan modifikasi mesin atau bangunan. b. Mengganti mesin dan menyusun perencanaan bangunan baru. c. Bagian-bagian bergerak dari seluruh mesin, perlengkapan dan peralatan senantiasa diberikan minyak pelumas. 2.6.3.2 Pengendalian pada jalanya transmisi (Sound Path) Pengendalian kebisingan pada jalannya transmisi (Sound Path) menurut Heru Subaris dan Haryono (2007) dapat dilakukan dengan cara : 27 a. Memperbesar jarak sumber bising dengan pekerjaan atau pemukiman. b. Memasang peredam suara pada dinding dan langit-langit. c. Membuat ruang kontrol agar dapat dipergunakan mengontrol pekerjaan dari ruang terpisah. d. Bila sumber bising adalah lalu lintas, bisa dialkukan pembatasan jalan dengan rumah atau gedung atau rumah sakit dan lain-lain. Dengan penanaman pohon, pembuatan gundukan tanah, pembuatan tembok atau pagar, pembuatan jalur hijau, daerah penyangga dan lainnya. 2.6.3.3 Pengendalian Pada Penerima Suara (Receiver) Pengendalian kebisingan pada penerima suara (Receiver) menurut Heru Subaris dan Haryono (2007) dapat dilakukan dengan cara : a. Memberi alat pelindung diri seperti ear plug, ear muff dan helmet. b. Memberikan latihan keselamatan kerja, dan pendidikan kesehatan dan khususnya tentang kebisingan dan pengaruhnya. c. Tindakan pengamanan juga dapat dilakukan dengan cara memindahkan tenaga kerja yang terkena bising. 28 2.6.4 Pengendalian Administratif (Administratif Control) Pengendalian administratif merupakan suatu pengendalian bahaya dengan cara melakukan modifikasi pada interaksi pekerja dengan lingkungan kerja. Penerapan pengendalian administrstif merupakan upaya yang berdasarkan prilaku manusia, yakni upaya mengurangi pemaparan bahaya yang didukung perilaku untuk bekerja selamat dan sehat. Pengendalian dengan cara ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : a. Pengaturan waktu kerja yaitu dengan di buat sistem shift. b. Pengurangan waktu bekerja di tempat bising. c. Pemeriksaan kesehatan pekerja. d. Monitoring area pekerja atau pekerja. e. Memberikan latihan dan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja, khususnya tentang kebisingan dan pengaruhnya. f. Memasang tanda-tanda atau peringatan keselamatan (Safety Sign). g. Tindakan pengamanan juga dapat dilakukan dengan cara memindahkan tenaga kerja yang terkena bising. 2.6.5 Alat Pelindung Telinga (APT) Bekerja sebagai penghalang bising pada telinga. Alat pelindung telinga ini umumnya dibagi menjadi dua jenis yaitu sumbat teling (ear plug) dan tutup telinga (ear muff). 29 Setiap alat pelindung telinga memiliki kemampuan tingkat meredam kebisingan yang berbeda, tergantung dari jenis dan kebutuhan. Dengan adanya perbedaan kemampuan meredam kebisingan tersebut ada perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan tingkat meredam kebisingan suatu alat pelindung telinga dapat digunakan perhitungan sebagai berikut : dB (A)’ = dB (A) - (NRR-7) Keterangan : dB (A)’ : standar kebisingan dB (A) : tingkat kebisingan di area kerja NRR : kemampuan mereduksi kebisingan dari suatu ear protector 2.6.5.1 Sumbat Telinga (ear plug) Menurut Beranek, LL, 1992 Ukuran, bentuk dan posisi saluran telinga untuk tiap-tiap individu berbeda, bahkan antara kedua telinga dari individu yang sama berlainan pula. Oleh karena itu, sumbat telinga harus dipilih sesuai bentuk, ukuran dan posisi saluran teling pemakainya. Diameter saluran telinga berkisar antara 3 – 14 mm, tetapi paling besar antara 5 – 11 mm. Umumnya bentuk saluran telinga adalah lonjong, tetapi beberapa diantaranya berbentuk bulat. 30 Saluran manusia umumnya tidak lurus, walaupun sebagian kecil dapat diketemukan berbentuk lurus. Penyebaran ukuran saluran telinga laki-laki dalam hubungannya dengan ukuran-ukuran alat sumbat telinga (ear plug) kurang lebih sebagai berikut : 5 % sangat kecil, 15 % kecil, 30 % sedang, 30 % besar, 15 % sangat besar dari sumbat telinga yang disuplai oleh pabrik-pabrik pembuatnya. Sumbat telinga dapat dibuat dari kapas, malam (wax), plastik karet alami dan sintetik. Menurut cara pemakaiannya, dibedakan jenis sumbat telinga yang hanya menyumbat lubang masuk telinga luar (semi insert type) dan yang menutupi seluruh telinga luar (insert type). Menurut cara penggunaanya, dibedakan menjadi “disposible ear plug” yaitu sumbat telinga yang digunakan sekali pakai saja kemudian dibuang, misalnya sumbat telinga dari kapas dan malam. Dan “non-disposible ear plug” yaitu sumbat telinga yang di gunakan untuk waktu yang lama yang dibuat dari karet atau plastik yang dicetak. Keuntungan dan kerugian sumbat telinga (ear plug) adalah sebagai berikut : 1. Keuntungan a. Mudah dibawa karena ukuranya yang kecil. 31 b. Relatif lebih nyaman dipakai ditempat kerja yang panas. c. Tidak mebatasi gerakan kepala d. Harga relatif murah dari pada tutup telinga (ear muff). e. Dapat dipakai dengan efektif tanpa dipengaruhi oleh pemakaian kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut. 2. Kerugian a. Memerlukan waktu yang lebih lama dari tutup telinga untuk pemasangan yang tepat. b. Tingkat proteksinya lebih kecil dari tutup telinga. c. Sulit untuk memonitor tenaga kerja apakah ia memakai atau tidak. Oleh karena pemakaiannya sulit dilihat oleh pengawas. d. Hanya dapat dipakai oleh saluran telinga yang sehat. e. Bila tangan yang digunakan untuk memasang sumbat telinga kotor, maka saluran telinga akan mudah terkena infeksi karena iritasi. 2.6.5.2 Tutup Telinga (ear muff) Menurut Beranek, LL, 1992 Tutup telinga (ear muff) terdiri dari dua buah tudung untuk tutup telinga, dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk menyerap suar berfrekuensi tinggi. Pada pemakaian yang lama, sering ditemukan efektifitas telinga menurun yang disebabkan karena bantalannya mengeras dan mengerut akibat reaksi bahan 32 bantalan dengan minyak kulit dan keringat. Reaksi ini juga dapat terjadi pada sumbat telinga, sehingga pada pemilihan sumbat telinga disarankan agar memilih jenis yang berukuran agak besar. Keuntungan dan kerugian tutup telinga (ear muff) adalah sebagai berikut: 1. Keuntungan a. Atenuasi suara oleh ear muff umumnya lebih besar dari ear plug. b. Satu ukuran ear muff dapat digunakan oleh beberapa orang dengan ukuran telinga yang berbeda. c. Mudah dimonitor pemakainnya oleh pengawas. d. Dapat dipakai pada telinga yang terkena infeksi ringan. e. Tidak mudah hilang (terselip). 2. Kerugian a. Tidak nyaman dipakai di tempat kerja yang panas b. Efektifitas dan kenyaman pemakanya dipengaruhi pemakaian kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut yang menutupi telinga. c. Relatif tidak mudah dibawa atau disimpan. d. Dapat membatasi gerakan kepala pada ruang kerja yang agak sempit. e. Harganya relatif lebih mahal dari ear plug. 33 f. Pada penggunaanya yang terlalu sering atau bila pita penghubungnya yang berpegas sering ditekuk pemakainya, daya atenuasinya akan berkurang. Seorang yang pendengarannya normal bila berada ditempat kerja yang bising (intensitas kebisingan 85 dB – 105 dB, kebisingan kontinu) dikatakan baginya untuk mengerti pembicaraan orang lain bila ia memakai Alat Pelindung Telinga. Tetapi bila orang tersebut telah kehilangan pendengarannya pada suara frekuensi tinggi, atau bila tingkat kebisingan tempat kerja kurang dari 80 dB, maka pemakaian Alat Pelindung Telinga ditempat kerja dengan kebisingan yang terputus-putus yang intensitasnya 85 dB – 105 dB komunikasi dikatakan lebih mudah pada saat suara mengeras dan komunikasi menjadi terganggu pada saat suara melemah (A. Siswanto, 1983). 2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran Menurut Rangga Adi Leksono (2009) dalam poernomo (1996), banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain : Intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, jenis kebisingan, lamanya pajanan perhari, masa kerja, usia pekerja dan kerentanan individu (individual susceptibility). Kemudian Buchari (2007) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketulian akibat kerja (occupational hearing loss) antara 34 lain intensitas kebisingan, penyakit telinga sebelum bekerja, frekuensi kebisingan, usia pekerja, masa kerja, jarak dari sumber suara dan gaya hidup diluar pekerjaan. Kemudian Basharudin dan Soetirto (2007) menambahkan bahwa banyak hal yang mempengaruhi gangguan pendengaran akibat bising antara lain intenitas kebisingan, frekuensi kebisingan, lama paparan dan penggunaan obat ototoksik. 2.7.1 Dosis Kebisingan Semakin besar dosis bising yang diterima oleh seorang pekerja, maka semakin besar pula potensi terjadinya gangguan pendengaran. Nilai ambang batas adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (KEPMENAKER No.Kep-51 MEN/1999). NAB kebisingan di tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan nilai rata-rata, yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003). Berikut adalah pedoman pemaparan terhadap Nilai Ambang Batas atau NAB Kebisingan berdasarkan lampiran II Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja : 35 Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan Waktu Pemajanan Per Hari Intensitas Kebisingan dalam dB 8,00 jam 85 4,00 jam 88 2,00 jam 91 1,00 jam 94 30,00 menit 97 15,00 menit 100 7,50 menit 103 3,75 menit 106 1,88 menit 109 0,94 menit 112 28,12 detik 115 14,06 detik 118 7,03 detik 121 3,52 detik 124 1,76 detik 130 0,88 detik 133 0,44 detik 136 0,22 detik 139 0,11 detik Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB walaupun hanya sesaat Sumber : Kepmenaker No. 51/MEN/1999 Berikut Keptusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48/1996 tentang Nilai Baku Tingkat Kebisingan di indonesia. Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan No A Peruntukan Kawasan / Lingkungan Tingkat Kebisingan dB Kesehatan Peruntukan Kawasan 1. Perumahan dan pemukiman 55 2. Perdagangan dan jasa 70 3. Perkantoran dan perdagangan 65 4. Ruang terbuka hijau 50 5. Industri 70 6. Pemerintahan dan fasilitas umum 60 7. Rekreasi 70 8. Khusus : 36 B Bandar udara Stasiun Kereta api Pelabuhan Cagar budaya Lingkungan Kegiatan 1. Rumah sakit atau sejenisnya 2. Sekolah atau sejenisnya 3. Rumah ibadah atau sejenisnya 70 60 70 60 55 55 55 Sumber : Kepmen LH No. 48/1996 Adapun waktu paparan yang diizinkan akibat intensitas kebisingan dapat dihitung dengan rumus berikut : 23 L-85 T= 2 3 Keterangan 2: T = Lama paparan kebisingan (Jam) L = Tingkat kebisingan 85 dBA = Konstanta (NAB kebisingan per 8 jam) 2 = exchange rate Dosis kebisingan dapat dilihat dari hasil pengukuran tingkat kebisingan dengan waktu paparan kebisingan. Perhitungan dosis kebisingan dapat dihitung dengan rumus dibawah ini: C1 + C2 + C n D= T1 + T2 + Tn 37 Keterangan : D = Jumlah dosis kebisingan (%) T = Lama paparan kebisingan (Jam) C = Konsentrasi kebisingan (Jam) Dari hasil penelitian yang dilakukan Srisantyorini (2002) diketahui bahwa terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan terjadinya penurunan pendengaran setelah bekerja dan lingkungan kerja yang sangat bising berpeluang memberikan risiko terhadap terjadinya penurunan pendengaran 5 kali dibandingkan dengan lingkungan kerja yang tidak bising. Kemudian pada studi tentang hubungan antara kebisingan dengan ganggguan pendengaran pekerja di Petrochina pada hasil analisis hubungan antara intensitas kebisingan dengan status pendengaran diperoleh ada 2 orang dari 5 orang (28,6%) pekerja dengan intensitas kebisingan lebih dari 85 dBA mempunyai status pendengaran tidak normal. Pekerja dengan intensitas kebisingan ≤ 85 dBA ada sebanyak 18 orang dari 30 orang (37,5%) yang mempunyai status pendengaran tidak normal (Herman, 2000). 2.7.2 Masa Kerja Semakin lama masa kerja sesorang pekerja, maka semakin besar pula risiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran. Menurut (National Safety Council, 1975), Gangguan pendengaran terjadi 5 – 10 38 tahun setelah pekerja bekerja di tempat bising. Menick, 1998, menambahkan semakin lama pajanan kebisingan setiap tahunnya maka semakin besar kerusakan yang terjadi pada pendengaran. Sedangkan menurut Encyclopedia of Occupational Health and Safety, adanya gangguan pendengaran karena kebisingan akan terlihat pada seseorang sesudah ia bekerja dilingkungan kerja yang bising selama kurang lebih 3 – 4 tahun (Stellman, 1998). Kemudian dari hasil penelitian diketahui bahwa masa kerja mempunyai pengaruh yang bermakna dengan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun. Pekerja dengan masa kerja lebih dari 10 tahun mempunyai risiko 5 kali lebih besar dibandingkan pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 10 tahun (Abdul Baktiansyah, 2004). 2.7.3 Usia Pekerja Menurut (Nasri, 1997) sensitivitas pendengaran seseorang akan berkurang dengan bertambahnya usia, semakin tua usia maka semakin besar terjadinya gangguan pendengaran. Pada usia tua relatif akan mengalami penurunan kepekaan rangsangan suara karena adanya faktor proses penuaan (Presbycusis) yaitu proses degeneratif organ pendengaran yang umumnya dimulai sejak usia 40 tahun ke atas. Biasanya, sensitivitas 39 pendengaran seseorang akan berkurang dengan bertambahnya umur (Gloria dan Nixon, 1962 dalam WHO, 1980). Kemudian Achmadi (1994) berpendapat bahwa orang yang berusia 40 tahun akan lebih mudah mengalami gangguan pendengaran akibat bising. Sedangkan menurut Iskandar (1996) pengaruh usia terhadap terjadinya gangguan pendengaran terlihat pada usia 30 tahun. 2.7.4 Kebiasaan Merokok Merokok dapat menyebabkan menurunnya fungsi pendengaran melalui efek dari nikotin dan CO atau karbonmonoksida yang mengganggu peredaran darah manusia. Nikotin merupakan zat yang yang bersifat ototoksik secara langsung merusak sel saraf manusia pada organ dalam telinga yang bernama koklea, sedangkan karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan antara CO dan haemoglobin), dimana akibat terbentuknya ikatan tersebut, hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen. Akibatnya ialah terjadinya gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea, dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek lainnya adalah spasme pembuluh darah, kekentalan darah, atau juga melalui terjadinya arteriosklerosis (Ditalia, 2011) Beberapa penelitian klinis membuktikan bahwa merokok menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya gangguan pendengaran, suatu 40 penelitian pada tahun 2006 yang melibatkan lebih dari 1.500 remaja Amerika Serikat yang berusia 12 – 19 tahun menunjukkan bahwa merokok pasif berdampak langsung merusak telinga anak-anak muda. Semakin besar paparan, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Pada beberapa kasus, keruakan tersebut cukup mengganggu kemampuan seorang remaja untuk memahami pembicaraan (Mc Geaw-Hill, 2008). 2.7.5 Penggunaan Obat Ototoksik Penggunaan obat-obatan lebih dari 14 hari baik diminum maupun melalui suntikan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Obatobatan yang mempengaruhi organ pendengaran pada umumnya adalah jenis antibiotik aminoglikosid yang mempunyai efek ototoksik. Obatobatan tersebut adalah neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin yang berpengaruh pada komponen akustik (Gan, 1999). Gangguan akustik ini tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap gelombang frekuensi tinggi akan berkurang dan tidak disadari. Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi dapat bertahan sampai dua minggu setelah pemberian aminoglikosid dihentikan. Patologi kerusakan akustik terutama berupa degenerasi berat sel rambut organ corti mulai di bagian basilar menjalar ke apeks (Gan, 1999). 41 Gangguan akustik akibat streptomisin bila terapi lebih dari satu minggu, gentamisin, tobramisin dan amikasin tergantung dosis dan faktor lain. Neomisin paling mudah menyebabkan tuli saraf, dan amikasin menyebabkan gangguan pendengaran terutama bila pengobatan lebih dari 14 hari (Gan, 1999). 2.7.6 Riwayat Penyakit Telinga 1) Otitis Media Yaitu suatu peradangan telinga tengah yang terjadi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemopilus influenzae, atau Staphylococcus aureus. Otitis media juga dapat timbul akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa) yang biasanya diobati dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi (otitis media serosa) yang dapat diobati dengan antihistamin dengan atau tanpa antibiotik (Corwin, 2000). Peradangan telinga tengah terjadi apabila tuba eustakhius yang secara normal mengalirkan sekresi telinga tengah ke tenggorokan tersumbat. Hal ini menyebabkan penimbunan sekresi telinga tengah. Sewaktu tuba tersebut membuka kembali, tekanan di telinga yang mengalami kongesti tersebut dapat menarik sekresi hidung yang tercemar melalui tuba eustakhius untuk masuk ke telinga tengah sehingga terjadi infeksi telinga tengah. Infeksi telinga tengah yang terjadi berulang-ulang dapat 42 menyebabkan pembentukan jaringan parut di gendang telinga dan hilangnya pendengaran secara permanen (Corwin, 2000). 2) Tinnitus Tinnitus adalah suara berdenging di satu atau kedua telinga. Tinnitus dapat timbul pada penimbunan kotoran telinga atau presbiakusis, kelebihan aspirin dan infeksi telinga (Corwin, 2000). 2.7.7 Pemakaian Alat Pelindung Telinga Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam (Sasongko, 2000). Alat pelindung telinga berupa tutup telinga (Ear Muff) lebih efektif daripada tipe sumbat telinga (Ear Plug), karena dapat mengurangi intensitas suara hingga 20 s/d 30 dB. Namun pelindung telinga tipe Ear Muff kurang efektif dipakai untuk orang yang berkacamata dan bertopi keras, agak berat dan panas dibanding pelindung telinga tipe Ear Plug (Budiono, 2003). 43 2.8 Kerangka Teori Dosis Kebisingan Masa Kerja Usia Pekerja Kebiasaan Merokok Gangguan Pendengaran Penggunaan Obat Ototoksik Riwayat Penyakit Telinga Pemakaian Alat Pelindung Telinga Sumber : Modifikasi Buchari (2007) ; Rangga Adi Leksono (2009) ; Basharudin dan Soetirto (2007). Bagan 2.1 Kerangka Teori BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ini untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. Variabel independen yang di teliti adalah dosis kebisingan, masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian APT. Untuk variabel penggunaan obat ototoksik dan riwayat penyakit telinga tidak diteliti dikarenakan harus melewati serangkaian fase uji klinis yang kompleks, seperti pemeriksaan penunjang (pemeriksaan darah, radiologi atau ct scan), dan dikhawatirkan terjadi bias data jika dilakukan recall atau wawancara tanpa didukung data medical check up yang valid. Dosis Kebisingan Masa Kerja Usia Pekerja Gangguan Pendengaran Kebiasaan Merokok Pemakaian Alat Pelindung Telinga Bagan 3.1 Kerangka Konsep 44 45 3.2 Variabel Definisi Operasional Definisi Operasional Gangguan adalah berkurangnya atau Pendengaran hilangnya pendengaran seseorang Cara Ukur Alat Ukur Tes Audiometri Audiometer (Jibelmed Hasil Ukur 1. Menderita gangguan pendengaran (> 25 dB) Pemeriksaan yang terdapat pada kedua telinga ambang dengar pada AS5-AOM) 2. Tidak Menderita gangguan pendengaran (≤ 25 dB) atau dapat juga ditemukan pada frekuensi 250 Hz, salah satu sisi telinga saja. (ISO, dalam Istantyo 2011). 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz. Skala Ukur Ordinal 46 Dosis Total jumlah pajanan bising yang Pengukuran kebisingan Kebisingan dihasilkan oleh sumber bunyi dari dengan cara kegiatan pengoperasian. memasangkan alat Personal Noise PND ( Larson Davis Spark 706) Dosimeter / PND pada 1. > 100 % Ordinal (Nilai TWA yang melebihi NAB) 2. ≤ 100 % (Nilai TWA yang tidak melebihi NAB) para pekerja dengan (KEPMENAKER, posisi PND berada di No.Kep-51 MEN/1999). pundak pekerja selama 8 jam kerja. Masa Kerja Lamanya pekerja bekerja diarea Wawancara bising, dihitung dari waktu pertama diterima diperusahaan sampai dengan saat pengambilaan data penelitian dilakukan. Kuesioner 1. > 10 Tahun 2. ≤ 10 Tahun (Baktiansyah, 2004). Ordinal 47 Usia Pekerja Jumlah tahun lahir para pekerja, Wawancara Kuesioner 1. > 40 Tahun Ordinal 2. ≤ 40 Tahun yang dihitung sejak tanggal lahir sampai dengan saat pengambilaan (Achmadi, 1994). data penelitian dilakukan. Kebiasaan Kegiatan menghisap atau Merokok mengkonsumsi bahan tembakau Wawancara Kuesioner 1. Merokok Ordinal 2. Tidak Merokok dan hasil olahannya (rokok) dalam sehari. Pemakaian Dipakainya Alat Pelindung Wawancara dan Kuesioner 1. Tidak Pernah APT Telinga (APT) pada saat bekerja Observasi 2. Kadang-kadang dengan baik dan benar. 3. Selalu Ordinal 48 3.3 Hipotesis 1. Adanya hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. 2. Adanya hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. 3. Adanya hubungan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. 4. Adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran pekeeja Unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. 5. Adanya hubungan antara pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) dengan gangguan pendengaran pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain study cross sectional dimana penelitian terhadap variabel independen dan variabel dependen dilakukan pada waktu yang bersamaan. 4.2 Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret sampai bulan Juli tahun 2014 di unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan sebanyak 83 pekerja dan masih aktif bekerja sampai tahun 2013. 49 50 Dalam pengambilan sampel digunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu : n = Besar sampel Z1-α = derajat kepercayaan yaitu 95 %, jadi Z = 1,96 Z1-β = 0,84 pada kekuatan uji 80 % P1 = 0,369 (proporsi pekerja yang mengalami gangguan pendengaran dengan masa kerja >10 tahun di PT. SMART Tbk Padang oleh Siti Ftimah Dalimunthe tahun 2010) P2 = 0,053 (proporsi pekerja yang mengalami gangguan pendengaran dengan masa kerja ≤10 tahun di PT. SMART Tbk Padang oleh Siti Ftimah Dalimunthe tahun 2010) P = Proporsi rata-rata (0,369+0,053) = 0,211 2 n = {1,96√2x0,211 (1-0,211)+0,84√0,369 (1-0,369)+0,053 (1-0,053)}2 (0,369-0,053)2 n = 25x2= 50 pekerja 51 Untuk menghindari missing jawaban dari responden dan untuk kebutuhan analisis data maka jumlah sampel tersebut perlu di tambahkan menjadi 55 pekerja. 4.4 Pengumpulan Data Metodologi pengumpulan data yang dilakukan adalah : 1. Gangguan pendengaran Cara mengetahui derajat gangguan pendengaran yang terjadi pada para pekerja adalah dengan melihat data skunder (data audiometri) para pekerja yang wajib mengikuti pemeriksaan kesehatan setahun sekali, yang terdapat di Rumah Sakit PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu. sebelum melakukan pemeriksaan audiometri ini pekerja diliburkan satu hari dengan maksud agar para pekerja terbebas dari kebisingan. 2. Dosisi kebisingan Pengukuran dosis kebisingan dengan menggunakan Personal Noise Dosimeter (PND) merk Larson Davis tipe atau model Spark 706 serial 02786, yang sebelumnya sudah dikalibrasi dengan alat kalibrator dengan merk yang sama. Pengukuran kebisingan dilakukan dengan cara menjepitkan PND disaku baju para pekerja dengan harapan agar memudahkan para 52 pekerja untuk bergerak dan memberikan kenyamanan selama 8 jam kerja mulai pukul 08.00 pagi sampai pukul 16.00 sore. Setelah pekerja selesai dengan pekerjaanya barulah di lihat hasil record yang terdapat di display Personal Noise Dosimeter (PND), dari data tersebut kita dapat melihat Time Wight Average (TWA) atau nilai rata-rata tingkat keterpaparan itensitas kebisingan selama 8 jam. dan dari nilai TWA tersebut itulah yang dijadikan patokan apakah dosis kebisingan yang diterima pekerja melebihi 100% atau tidak. 3. Faktor Risiko lainnya Pengukuran faktor resiko lainnya seperti masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian APT dilakukan dengan metode kuesioner yang diisi oleh subjek yang telah ditetapkan sebagai sampel penelitian. Disamping pengisian kuesioner untuk menghindari bias karena informasi, dilakukan juga wawancara dan observasi langsung terhadap subyek penelitian. 4.5 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam hal pengumpulan data. Jenis instrumen dalam penelitian ini antara lain audiometer untuk mengetahui pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, sound level meter untuk mengetahui kebisingan dari setiap mesin yang beroperasi dan Personal Noise Dosimeter untuk mengetahui dosis bising. Sedangkan metode 53 pengumpulan data tentang faktor resiko lainnya menggunakan instrumen berupa kuesioner, yaitu daftar pertanyaan yang diberikan kepada subyek penelitian dengan maksud agar mendapatkan data primer langsung dari subyek yang diteliti dengan cara mewawancarai pekerja. 4.6 Pengolahan Data Dalam pengolahan data yang dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu sebagai berikut : 1. Editing Data Editing data merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan pada setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner. Sebelum data diolah, data terlebih dahulu perlu diedit dengan tujuan untuk mengoreksi data yang meliputi kelengkapan pengisian jawaban kuesioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan jawaban pada kuesioner. Sehingga dapat diperbaiki jika dirasakan ada kesalahan data. 2. Coding Data Coding data merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka atau bilangan yang terdapat pada jawaban kuesioner guna mempermudah proses pengolahan dalam proses komputerisasi. Pada proses coding, variabel independent dan dependent akan diberi kode untuk memudahkan dalam menganalisa yaitu : 54 Tabel 4.1 Coding data No Variabel Hasil Coding Gangguan pendengaran Ada [1] Tidak ada [2] > 100 % [1] ≤ 100 % [2] > 10 Tahun [1] ≤ 10 Tahun [2] > 40 Tahun [1] ≤ 40 Tahun [2] Merokok [1] Tidak Merokok [2] Tidak Pernah [1] Kadang-Kadang [2] Selalu [3] 1 Dosis bising 2 Masa kerja 3 Usia pekerja 4 Kebiasaan merokok 5 Pemakaian APT 6 3. Entry Data Setelah semua kuesioner terisi dengan benar, serta sudah melewati pengkodingan, maka selanjutnya adalah memproses data agar dapat dianalisis dengan cara mengentry dari data kuesioner kedalam program komputer untuk selanjutnya akan diolah. 55 4. Cleaning Data Pembersihan data (Cleaning data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan, apakah ada atau tidak kesalahan data. Kesalahan tersebut kemungkinan terjadi pada saat memasukkan data ke komputer. Tahapan cleaning data terdiri dari mengetahui missing data, mengetahui variasi data dan mengetahui konsistensi data. 4.7 Analisis Data Setelah melakukan pengolahan data mentah, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Analisis data tidak secara langsung dapat memberikan jawaban penelitian, sehingga perlu diinterpretasikan terlebih dahulu, yang bertujuan untuk menjelaskan hasil analisis data guna memperoleh makna atau arti yang bermanfaat bagi pemecahan masalah penelitian. Proses analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 4.7.1 Univariat Analisis ini dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan presentase dari setiap varibel yang diamati kemudian disajikan dalam bentuk tulisan, tabel maupun grafik.Variabel yang di analisis ialah variabel dependent dan independent. Variabel tersbut antara lain gangguan pendengaran, dosis kebisingan, masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian APT. 56 4.7.2 Bivariat Analisis ini dilakukan untuk menguji hipotesis, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer dengan derajat kemaknaan yang digunakan p value ≤ 0,05 maka dapat berarti data sampel mendukung adanya hubungan antara variabel independent dan dependent, sebaliknya apabila p value > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara vriabel independent dan variabel dependent. Uji yang digunakan untuk data kategorik yaitu uji Chi-square dengan derajat kemaknaan 5 %. Pada uji Chi-square dilakukan pada variabel dosis kebisingan, masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian APT untuk mengetahui hubungan dengan gangguan pendengaran. Metode ini digunakan untuk mendapatkan probabilitas kejadianya. Jika P value > 0,05 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Sebaliknya jika P value ≤ 0,05 berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan. PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan merupakan salah satu unit pengolahan dari tujuh unit pengolahan yang dimiliki Pertamina. PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI dibangun tahun 1990 dibalongan diatas lahan seluas 250 Ha dengan nama EXOR I (Export Oriented Refinery I), namun seiring dengan perkembangannya setelah operasi, nama tersebut diganti dengan Pertamina Refinery Unit VI Balongan. PT.Pertamina RU VI ini mulai beroperasi pada tahun 1995 dengan tujuan mengolah minyak mentah (Crude Oil) dari Duri dan Minas dengan kapasitas 125.000 BPSD (Barrel Per Stream Day) menjadi produk siap pakai seperti (Pertamax, Premium, Kerosene, Diesel Oil, LPG, Propylene, Sulfur). Guna memberi paduan dalam menjalankan usahanya maka manajemen PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan menetapkan visi, misi dan tujuan perusahaan, yaitu : 1) Visi Menjadi kilang Unggulan 57 58 2) Misi a) Mengolah minyak bumi untuk memproduksi BBM, non BBM secara tepat, jumlah mutu, waktu dan berorientasi laba serta berdaya saing tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar. b) Mengoperasikan kilang yang berteknologi maju dan terpadu secara : aman, andal, efisien serta berwawasan lingkungan. c) Mengelola aset RU VI secara professional yang didukung sistem manajemen yang tangguh berdasarkan ; semangat kebersamaan, keterbukaan, kepercayaan dan prinsip bisnis saling menguntungkan. 3) Tujuan : a) Menyelesaikan permasalahan pemasaran minyak mentah (Crude Oil) Duri. b) Mengantisipasi kebutuhan produk BBM nasional (terutama daerah DKI Jakarta, Jawa Barat dan sekitarnya), regional dan international. c) Menghasilkan produk dengan nilai taambah tinggi d) Pengembangan daerah. 5.2 Analisis Univariat Analisis univariat dalam penelitian ini meliputi analisa deskriptif data gangguan pendengaran, masa kerja, dosis kebisingan, pemakaian APT, status merokok dan usia. 59 5.2.1 Gambaran Gangguan Pendengaran pekerja Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui gangguan pendengaran pada penelitian ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tes Audiometri. Pada pemeriksaan tes audiometri pekerja akan dilakukan pemeriksaan kedua telinga mulai dari frekuensi 250 Hz sampai dengan 8000 Hz. Sehingga dari hasil pemeriksaan responden dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu menderita dan tidak menderita. Gambaran gangguan pendengaran dapat dilihat pada table 5.1 Tabel 5.1 Gambaran Distribusi Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Gangguan Pendengaran Menderita gangguan pendengaran Tidak menderita gangguan pendengaran Total Jumlah % 16 29,1 39 70,9 55 100 Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja terdapat 16 (29,1%) pekerja yang mengalami gangguan pendengaran. 60 5.2.2 Gambaran Dosis Kebisingan Untuk mengetahui gambaran dosis kebisingan yang diterima pekerja di unit utilities PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI dilakukan pengukuran dosis kebisingan yang diterima pekerja menggunakan Personal Noise Dosimeter (PND). Dosis kebisingan pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu >100% dan ≤100%. Gambaran dosis kebisingan dapat dilihat pada table 5.2 Tabel 5.2 Gambaran Distribusi Dosisi Kebisingan Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Dosis Kebisingan Jumlah % > 100% 30 54,5 < 100% 25 45,5 Total 55 100 Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 30 (54,5%) pekerja yang terpapar dosis kebisingan > 100%. 5.2.3 Gambaran Masa Kerja Masa kerja pada pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu >10 tahun dan <10 tahun. Gambaran masa kerja dapat dilihat pada table 5.3 61 Tabel 5.3 Gambaran Distribusi Masa Kerja Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Masa Kerja Jumlah % > 10 Tahun 30 54,5 < 10 Tahun 25 45,5 Total 55 100 Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 30 (54,5%) pekerja dengan masa kerja >10 tahun. 5.2.4 Gambaran Usia Pekerja Usia pada pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu >40 Tahun dan < 40 Tahun. Gambaran masa kerja dapat dilihat pada table 5.4 Tabel 5.4 Gambaran Distribusi Usia Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Usia Pekerja Jumlah % > 40 Tahun 16 29,1 < 40 Tahun 39 70,9 Total 55 100 62 Berdasarkan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 16 (29,1%) pekerja dengan usia >40 tahun. 5.2.5 Gambaran Kebiasaan Merokok Kebiasaan merokok pada pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu merokok dan tidak merokok. Gambaran status merokok dapat dilihat pada table 5.5 Tabel 5.5 Gambaran Distribusi Kebiasaan Merokok Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Kebiasaan Merokok Jumlah % Merokok 34 61,8 Tidak Merokok 21 38,2 Total 55 100 Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 34 (61,8%) pekerja yang merokok. 5.2.6 Gambaran Pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) Pemakaian APT pada pekerja dikategorikan menjadi 3 (tiga) yaitu tidak pernah, kadang-kadang, dan selalu. Gambaran pemakaian APT dapat dilihat pada table 5.6 63 Tabel 5.6 Gambaran Distribusi Pemakaian APT Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Pemakaian APT Jumlah % Tidak Pernah 19 34,5 Kadang-Kadang 21 38,2 Selalu 15 27,3 Total 55 100 Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 19 (34,5%) pekerja yang tidak pernah memakai alat pelindung telinga. 5.3 Analisis Bivariat 5.3.1 Gambaran Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Gambaran dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pekerja di unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dapat dilihat pada tabel 5.7 64 Tabel 5.7 Gambaran Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Gangguan Pendengaran Dosis Kebisingan Menderita Total Tidak P value Menderita n % n % n % > 100% 16 53,3 14 46,7 30 100 < 100% 0 0 25 25 25 100 0,000 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar dosis kebisingan > 100% dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 16 (53,3%) pekerja. Sedangkan pekerja yang terpapar dosisi kebisingan < 100% dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 0 (0%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,000 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran. 5.3.2 Gambaran Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Gambaran masa kerja dengan gangguan pendengaran pekerja di unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dapat dilihat pada table 5.8 65 Tabel 5.8 Gambaran Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Gangguan Pendengaran Masa Kerja Menderita Total Tidak P value Menderita n % n > 10 Tahun 10 33,3 < 10 Tahun 6 24,0 % n % 20 60,7 30 100 19 76,0 25 100 0,645 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja > 10 tahun dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 10 (33,3%) pekerja, Sedangkan pekerja memiliki masa kerja < 10 tahun dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 6 (24,0%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,645 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran. 5.3.3 Gambaran Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Gambaran usia pekerja dengan gangguan pendengaran pekerja di unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dapat dilihat pada tabel 5.9 66 Tabel 5.9 Gambaran Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Usia Gangguan Pendengaran Tidak Menderita Menderita n % n % Total n % >40 Tahun 6 37,5 10 62,5 16 100 <40Tahun 10 25,6 29 74,4 39 100 P value 0,515 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang berusia > 40 tahun dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 6 (37,5%) pekerja, Sedangkan pekerja yang berusia ≤40 tahun dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 10 (25,6%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,515 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran. 5.3.4 Gambaran Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Gambaran kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran pekerja di unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dapat dilihat pada tabel 5.10 67 Tabel 5.10 Gambaran Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Status Merokok H HMerokok Tidak Merokok Gangguan Pendengaran Tidak Menderita Menderita n % n % 10 6 29,4 28,6 24 15 Total n % 70,6 34 71,4 21 100 100 P value 1,000 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang merokok dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 10 (29,4%) pekerja, Sedangkan pekerja yang tidak merokok dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 6 (28,6%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 1,000 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran. 5.3.5 Gambaran Pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Gambaran pemakaian alat pelindung telinga dengan gangguan pendengaran pekerja di unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dapat dilihat pada tabel 5.11 68 Tabel 5.11 Gambaran Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Pemakaian APT H Tidak Pernah Kadang-Kadang Selalu Gangguan Pendengaran Tidak Menderita Menderita n % n % 8 6 2 42,1 28,6 13,3 11 15 13 57,9 71,4 86,7 Total n % 19 21 15 100 100 100 P value 0,186 A Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang tidak pernah memakai APT dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 8 (42,1%) pekerja, Sedangkan pekerja yang kadang-kadang memakai APT dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 6 (28,6%) pekerja, dan pekerja yang selalu memakai APT dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 2 (13,3%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,186 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pemakaian APT dengan gangguan pendengaran. BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian 1. Peneliti tidak dapat mengeliminasi faktor bising yang memapar pekerja sebelum dilakukannya pemeriksaan audiometri yang terjadi sebelum memasuki rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan pendengaran pekerja. Kemungkinan disebabkan oleh bising yang tidak diperlukan seperti bising kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalan raya saat menuju rumah sakit. 2. Hasil penelitian sangat dipengaruhi oleh kejujuran pekerja dalam menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner karena khawatir memberikan jawaban yang fiktif. 69 70 6.2 Gangguan Pendengaran pada Pekerja Gangguan pendengaran adalah menurunnya atau memburuknya fungsi pendengaran. Tuli adalah memburuknya fungsi pendengaran yang lebih parah. Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh masalah mekanis didalam telinga tengah yang menghalangi konduksi suara atau karena rusaknya telinga bagian dalam (Billy, 2003). Sedangkan menurut Jenny Basharudin, dkk, 2007, gangguan pendengaran dapat diakibatkan dari gangguan atau kerusakan pada salah satu telinga, gangguan pendengaran telinga saat bayi dan anak-anak, gangguan pendengaran akibat bising dan gangguan pendengaran akibat obat ototoksik. Berdasarkan hasil tabel 5.1 analisis univariat tentang gambaran distribusi gangguan pendengaran pada pekerja unit utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI, Balongan indramayu tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat 16 (29,1%) dari 55 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran. Menurut International Standard Organization (ISO), dalam Istantyo (2011) jika dilihat berdasarkan derajat gangguan pendengaran yang dialami pekerja kebanyakan pekerja mengalami gangguan pendengaran ringan yaitu terjadi peningkatan ambang dengar antara 26-40 dB. Gangguan pendengaran bisa saja terjadi akibat paparan bising yang sementara ataupun kronis. Paparan bising yang sementara akan menimbulkan kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan-lahan dan akan kembali seperti semula. Paparan bising yang sementara ini bisa disebut ketulian 71 sementara atau Temporary Threshold Shift. Sedangkan paparan bising kronis dapat menyebabkan ketulian tetap atau Permanent Threshold Shift (Rambe, 2003). Ketulian menetap ini atau tuli akibat bising merupakan gangguan pendengaran yang sifatnya permanent kumulatif, akibat pajanan bising terusmenerus selama jangka waktu yang panjang, biasanya untuk beberapa tahun dan hampir mengenai kedua telinga (Harrianto, 2009). Sehingga disarankan pemeriksaan audiometri bagi pekerja lebih diintensifkan lagi, guna mengetahui pekerja-pekerja yang mengalami gangguan pendengaran. Dengan begitu para pimpinan perusahaan dapat mengambil keputusan ataupun kebijakan yang mengedepankan aspek kesehatan pekerja, seperti rotasi kerja dari tempat yang mempunyai intensitas kebisingan tinggi ke tempat yang mempunyai intensitas kebisingan lebih rendah. Menurut Suma’mur (1996), mula-mula efek kebisingan pada pendengaran adalah sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah dihentikannya kerja ditempat bising. Tetapi kerja terus menerus ditempat bising berakibat daya dengar yang menetap dan tidak bisa pulih kembali.Biasanya dimulai pada frekuensi-frekuensi sekitar 4000 Hz dan kemudian menghebat dan meluas kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi-frrekuensi yang digunakan untuk percakapan. 72 6.3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Utilities PT Pertamina Persero Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 Hubungan antara Dosis Kebisingan, Masa Kerja, Usia Pekerja, Kebiasaan Merokok, dan Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran Pekerja akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini. 6.3.1 Hubungan Antara Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Utilities PT Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 Gambaran dosis kebisingan yang diterima pekerja di unit utilities PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI dilakukan dengan cara pengukuran dosis kebisingan yang diterima pekerja menggunakan Alat Personal Noise Dosimeter (PND). Dosis kebisingan pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu >100% dan ≤100%, gambaran dosis kebisingan dapat dilihat pada table 5.2. Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja terdapat 30 (54,5%) pekerja yang terpapar dosis kebisingan > 100%. Sedangkan pekerja yang terpapar dosis kebisingan < 100% sebanyak 25 (45,5%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,000, artinya pada alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran. Sistem waktu kerja yang dilaksanakan di Unit Utilites 8 jam sehari dalam 7 hari seminggu dengan sistem pembagian shift sebanyak 4 shift kerja. Nilai Ambang Batas standar faktor tempat kerja yang dapat diterima pekerja tanpa 73 mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu kerja tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. (Kepmenaker No.Kep-51 MEN/1999.Untuk system waktu kerja, jika dibandingkan dengan kepmenaker hal ini masih sesuai dengan standar yang di tetapkan oleh kepmenaker. Pada Tabel 5.2 diketahui lebih banyak pekerja yang terpapar dosis kebisingan > 100% dibandingkan dengan yang terpapar dosis kebisingan < 100%. Hal ini dikarenakan di unit utilities memang terdapat 64 buah mesin yang dimana menjadi sumber kebisingan. Adapun mesin-mesin yang menjadi sumber kebisingan di area utilities adalah mesin pompa, compressor, boiler, generator plant dan nitrogen plant. Berdasarkan hasil pengukuran kebisingan yang dilakukan di tempat tersebut didapatkan juga rata-rata intensitas kebisingan yang cukup besar (90,4 dB). Hal ini lah yang menyebabkan banyaknya pekerja yang terpapar dosis kebisingan > 100%. Semakin besar dosis bising yang diterima oleh seorang pekerja, maka semakin besar pula potensi terjadinya gangguan pendengaran. Di dalam telinga bagian tengah terdapat sebuah otot terkecil dalam tubuh manusia, yaitu tensor timpani, yang bertugas membuat tegang rangkaian tulang pendengaran pada saat bunyi yang mencapai sistem pendengaran kita berkekuatan lebih dari 70 dB, untuk meredam getaran yang mencapai sel-sel rambut reseptor pendengaran manusia. Namun, otot ini yang bekerja terus menerus juga tak mampu bertahan pada keadaan bising yang terlalu kuat dan kontinu, dan terjadilah stimulasi berlebih yang merusak fungsi sel-sel rambut. Kerusakan sel rambut dapat bersifat 74 sementara saja pada awalnya sehingga dapat terjadi ketulian sementara. Akan tetapi, kemudian bila terjadi rangsangan terus menerus, terjadi kerusakan permanen, sel rambut berkurang sampai menghilang dan terjadi ketulian menetap. Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris dengan mengenai nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam frekuensi 3000 sampai 6000 Hz. Sering kali juga terjadi penurunan tajam (dip) hanya pada frekuensi 4000 Hz, yang sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena yang terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada percakapan manusia, sering kali pada awalnya sama sekali tidak dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu jelas gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama (Djelantik, 2004). Dari hasil penelitian yang dilakukan Srisantyorini (2002) diketahui bahwa terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan terjadinya penurunan pendengaran setelah bekerja dan lingkungan kerja yang sangat bising berpeluang memberikan risiko terhadap terjadinya penurunan pendengaran 5 kali dibandingkan dengan lingkungan kerja yang tidak bising. Kemudian pada studi tentang hubungan antara kebisingan dengan ganggguan pendengaran pekerja di Petrochina pada hasil analisis hubungan antara intensitas kebisingan dengan status pendengaran diperoleh ada 2 dari 5 orang (28,6%) pekerja dengan intensitas kebisingan lebih dari 85 dBA mempunyai status pendengaran tidak normal. Pekerja dengan intensitas kebisingan ≤ 85 dBA ada sebanyak 18 orang dari 30 orang (37,5%) yang mempunyai status pendengaran tidak normal (Herman, 2000). 75 Pada Penelitian ini, berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan dosis diketahui dapat mempengaruhi gangguan pendengaran. Dengan demikian hipotesis awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran dapat terbukti. Meskipun begitu, walaupun dari 55 pekerja yang ada, dan 16 orang terpapar kebisingan dengan dosis lebih dari 100 persen dan mengalami gangguan pendengaran, hal tersebut harus diperhatikan agar tidak bertambah lagi pekerja yang mengalami hal tersebut. Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan sumber kebisingan yang ada, jika memungkinkan pada alat yang menimbulkan kebisingan dapat diberikan barier atau penghalang. Pengawasan dan penggunaan APT pada pegawai juga harus dilakukan untuk mengurangi dosis yang diterima pekerja. 6.3.2 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Utilities PT Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 30 Pekerja (54,5%) dengan masa kerja yang sudah lebih dari 10 tahun. Sedangkan pekerja dengan masa kerja yang kurang dari 10 tahun sebanyak 25 (45,5%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,645 artinya pada alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran. Semakin lama masa kerja sesorang pekerja, maka semakin besar pula risiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran. Menurut (National Safety 76 Council, 1975), Gangguan pendengaran terjadi 5 – 10 tahun setelah pekerja bekerja di tempat bising. Menick, 1998, menambahkan semakin lama pajanan kebisingan setiap tahunnya maka semakin besar kerusakan yang terjadi pada pendengaran. Sedangkan menurut Encyclopedia of Occupational Health and Safety, adanya gangguan pendengaran karena kebisingan akan terlihat pada seseorang sesudah ia bekerja dilingkungan kerja yang bising selama kurang lebih 3 – 4 tahun (Stellman, 1998). Pada Penelitian ini, sebagian besar pekerja sudah bekerja lebih dari 10 tahun. Adapun dari hasil perhitungan statistik analisis bivariat, diperoleh tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja. Dengan demikian maka hipotesis awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran tidak terbukti. Hal ini dimungkinan pekerja yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun sudah terpapar kebisingan lebih lama ditempat pekerjaan mereka sebelum di Pertamina dibanding pekerja yang bekerja kurang dari 10 tahun. Meski begitu, walaupun masa kerja dalam penelitian ini tidak berhubungan, akan tetapi para pekerja yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun patut diperhatikan kesehatan pendengarannya, jika dilihat pada table 5.8 pada pekerja yang telah bekerja lebih dari 10 tahun, terdapat 10 pekerja yang menderita gangguan pendengaran dari 16 orang yang mengalami gangguan pendengaran. 77 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masa kerja mempunyai pengaruh yang bermakna dengan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun. Pekerja dengan masa kerja lebih dari 10 tahun mempunyai risiko 5 kali lebih besar dibandingkan pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 10 tahun (Abdul Baktiansyah, 2004). Tentunya hal ini harus diwaspadai agar tidak bertambah lagi pekerja dengan masa kerja lebih dari 10 tahun yang mengalami gangguan pendengaran. Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan pekerja yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun agar dilakukan pemeriksaan rutin terhadap adanya gangguan pendengaran, pemberian dan pengawasan terhadap penggunaan APT juga perlu diperhatikan, dan jika memungkinkan adanya rotasi pegawai atau pemberian barrier atau penghalang bagi alat yang menjadi sumber kebisingan dilingkungan kerja. 6.3.3 Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Utilities PT Pertamina Persero Refinery Unit Balongan Indramayu Tahun 2014 Berdasarkan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja terdapat 16 (29,1%) pekerja dengan usia lebih dari 40 tahun. Sedangkan pekerja dengan usia kurang dari 40 tahun sebanyak 39 (70,9%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,515 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran. 78 Menurut (Nasri, 1997) sensitifitas pendengaran seseorang akan berkurang dengan bertambahnya usia, semakin tua usia maka semakin besar terjadinya gangguan pendengaran. Pada usia tua relatif akan mengalami penurunan kepekaan rangsangan suara karena adanya faktor proses penuaan (Presbycusis) yaitu proses degeneratif organ pendengaran yang umumnya dimulai sejak usia 40 tahun ke atas. Biasanya, sensitivitas pendengaran seseorang akan berkurang dengan bertambahnya umur (Gloria dan Nixon, 1962 dalam WHO, 1980). Kemudian Achmadi (1994) berpendapat bahwa orang yang berusia 40 tahun akan lebih mudah mengalami gangguan pendengaran akibat bising. Sedangkan menurutIskandar (1996) pengaruh usia terhadap terjadinya gangguan pendengaran terlihat pada usia 30 tahun. Pada Penelitian ini, pekerja dengan usia lebih dari 40 tahun hanya terdapat 6 orang yang menderita gangguan pendengaran. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja dengan usia kurang dari 40 tahun yang menderita gangguan pendengaran (10 orang). Adapun dari hasil perhitungan statistik analisis bivariat, diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja. Dengan demikian maka hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa ada hubungan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran tidak terbukti, hal ini dimungkinkan karena pekerja yang usianya kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan dengan usia pekerja yang lebih dari 10 tahun. 79 Meski begitu, walaupun usia pekerja dalam penelitian ini tidak berhubungan, pada pekerja dengan usia dibawah 40 tahun lebih banyak menderita gangguan pendengaran dibandingkan dengan yang diatas 40 tahun walaupun secara teori pekerja yang berusia lebih dari 40 tahun dan terpapar kebisingan akan lebih rentan mengalami gangguan pendengaran dibandingkan pekerja yang berusia di bawah 40 tahun. Menurut asumsi peneliti, pekerja yang berusia dibawah 40 tahun biasanya merupakan pekerja yang dalam masa produktif, sehingga biasanya bekerjanya lebih mobile dibandingkan dengan pekerja yang usianya lebih dari 40 tahun. Kemungkinan hal ini lah yang menyebabkan pekerja yang berusia kurang dari 40 tahun lebih banyak mengalami gangguan pendengaran. Hal ini tentunya harus tetap diperhatikan agar pekerja yang usianya dibawah 40 tahun tidak bertambah lagi yang mengalami gangguan pendengaran. Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan pekerja yang berusia kurang dari 40 tahun agar dilakukan pemeriksaan rutin terhadap adanya gangguan pendengaran, pemberian dan pengawasan terhadap penggunaan APT juga perlu diperhatikan, dan jika memungkinkan adanya rotasi pegawai atau pemberian barrier atau penghalang bagi alat yang menjadi sumber kebisingan dilingkungan kerja. 80 6.3.4 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Utilities PT Pertamina Persero Refinery Unit Balongan Indramayu Tahun 2014 Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja terdapat 34 (61,8%) pekerja yang merokok. Sedangkan pekerja yang tidak merokok sebanyak 21 (38,2%) pekerja.. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 1,000 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran. Merokok dapat menyebabkan menurunnya fungsi pendengaran melalui efek dari nikotin dan CO atau karbonmonoksida yang mengganggu peredaran darah manusia. Nikotin merupakan zat yang yang bersifat ototoksik secara langsung merusak sel saraf manusia pada organ dalam telinga yang bernama koklea, sedangkan karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan antara CO dan haemoglobin), dimana akibat terbentuknya ikatan tersebut, hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen. Akibatnya ialah terjadinya gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea, dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek lainnya adalah spasme pembuluh darah, kekentalan darah, atau juga melalui terjadinya arteriosklerosis (Ditalia, 2011) Pada Penelitian ini, berdasarkan hasil perhitungan statistik analisis bivariat, diperoleh tidak terdapat hubungan yang signifikan antara merokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja. Dengan demikian maka hipotesis 81 awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara merokok dengan gangguan pendengaran tidak terbukti. Hal ini di karenakan pekerja yang merokok setiap harinya hanya menghisap rokok 3-4 batang dan juga rata-rata pekerja yang merokok hanya baru satu tahun aktif merokok. Meski begitu, walaupun merokok dalam penelitian ini tidak berhubungan, akan tetapi para pekerja yang merokok dan menderita gangguan pendengaran lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak merokok. Beberapa penelitian klinis membuktikan bahwa merokok menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya gangguan pendengaran, suatu penelitian pada tahun 2006 yang melibatkan lebih dari 1.500 remaja Amerika Serikat yang berusia 12 – 19 tahun menunjukkan bahwa merokok pasif berdampak langsung merusak telinga anak-anak muda. Semakin besar paparan, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Pada beberapa kasus, kerusakan tersebut cukup mengganggu kemampuan seorang remaja untuk memahami pembicaraan.(McGraw-Hill; 2008). Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan pekerja yang merokok agar mengurangi atau bahkan untuk tidak merokok. Sehingga gangguan pendengaran yang ada dapat berkurang dan tidak bertambah. 5.3.5 Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014 Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 19 (34,5%) pekerja yang tidak pernah memakai alat pelindung telinga. Sedangkan pekerja yang kadang-kadang memakai alat pelindung telinga sebanyak 21 82 (38,2%) pekerja dan pekerja yang selalu memakai alat pelindung telinga sebanyak 15 (27,3%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,186 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pemakaian APT dengan gangguan pendengaran. Pemakaian alat pelindung telinga merupakan alternatif terakhir bila pengendalian yang lain telah dilakukan. Tenaga kerja dilengkapi dengan sumbat telinga yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan, kondisi dan penurunan intensitas kebisingan yang diharapkan. Potensi bahaya yang terdapat disetiap perusahaan berbeda-beda. Hal ini tergantung pada jenis produksi, jenis teknologi yang digunakan, bahan produksi dan proses produksi (Palsapah, 2010). Di Refinery Unit ini sendiri memberikan ear plug sebagai alat pelindung telinga terhadap pekerja dari kebisingan tempat kerja. Pada Penelitian ini, sebagian besar pekerja yang tidak menggunakan APT lebih banyak yang mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang selalu menggunakan APT, begitu juga dengan pekerja yang kadang-kadang menggunakan APT lebih banyak yang mengalami gangguan pendengaran dibandingkan yang selalu menggunakan. Adapun dari hasil perhitungan statistik analisis bivariat, diperoleh tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan APT dengan gangguan pendengaran pada pekerja. Dengan demikian maka hipotesis awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara penggunaan APT dengan gangguan 83 pendengaran tidak terbukti. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya infeksi ringan pada telinga pekerja yang mana sebelum pekerja menggunakan APT jarang sekali yang menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan dengan sabun. Meski begitu, jika dilihat dari dari table 5.11 proporsi yang tidak pernah megunakan APT lebih banyak yang mengalami gangguan pendengaran. Karena Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam kesehariannya menerima kebisingan, karena daerah utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam (Sasongko, 2000). Sehingga jika para pekerja tidak menggunakan APT maka kemungkinan akan mengalami gangguan pendengaran, tentunya hal ini harus diwaspadai. Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan pemberian dan pengawasan terhadap penggunaan APT pada pekerja, selain itu dapat pula dilakukan pelatihan pemakaian APT yang baik dan benar serta penjelasan pentingnya penggunaan APT di tempat yang terpapar kebisingan. Saran selanjutnya yang dapat diberikan adalah jika memungkinkan diperusahaan dapat pula memberlakukan system reward dan Punishment terhadap pekerja atas penggunaan APT sehingga para pekerja selalu menggunakan APT ketika bekerja. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka didapatkan kesimpulan antara lain : Dengan menggunakan uji statistik univariat diketahui bahwa sebanyak 55 pekerja unit utilities PT.Pertamina (Persero) RU VI tahun 2014 yang diteliti terdapat : a. Pekerja yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak (29,1%). b. Pekerja yang terpapar dosis kebisingan > 100% sebanyak (54,5 %). c. Pekerja dengan masa kerja > 10 tahun sebanyak (54,5 %). d. Pekerja yang berusia > 40 tahun sebanyak (29,1 %). e. Pekerja yang merokok sebanyak (61,8 %). f. Pekerja yang tidak pernah memakai alat pelindung telinga sebanyak (34,5%). Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji statistik bivariat dengan uji Chi Square antar variabel dependent dan independent maka diketahui bahwa; a. Terdapat hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pekerja dengan melihat nilai P value < 0,05. 84 85 b. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian alat pelindung telinga dengan gangguan pendengaran pada pekerja dengan melihat nilai P value > 0,05. 7.2 Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka terdapat beberapa saran terkait dengan permasalahan kebisingan antara lain : 1. Bagi perusahaan a. Jika memungkinkan diperlukan adanya rotasi kerja dari tempat yang dosis kebisingan tinggi ke tempat dosis kebisingan rendah, sehingga dosis yang diterima pekerja tidak melebihi dosis kebisingan. b. Perlu dilakukan pelatihan pemakaian APT yang baik dan benar dan penjelasan pentingnya penggunaan APT c. Pemberian reward dan punishment terhadap pekerja atas penggunaan APT sehingga para pekerja selalu menggunakan APT ketika bekerja. d. dan jika memungkinkan pemberian barrier atau penghalang bagi alat yang menjadi sumber kebisingan dilingkungan kerja. 2. Bagi Peneliti a. Perlu melakukan pemeriksaan tes lababoratorium terkait variabel penggunaan obat ototoksik pada setiap pekerja. DAFTAR PUSTAKA Achmadi, UF. 1994. Kesehatan Lingkungan Kerja : Lingkungan Fisik. Jakarta : Depkes Republik Indonesia. Azwar, Azrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Baktiansyah, Abdul. 2004. Tesis. Hubungan Merokok dengan Gangguan Pendengaran di Kalangan Pekerja Pria PT. X. Jakarta. Program Studi Kedokteran Okupasi. Bashiruddin, Jenny, 2002. Pengaruh Bising dan Getaran pada Fungsi Keseimbangan dan Pendengaran, Bagian THT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Berglund, Birgitta, 1996. Workshop I : Noise and Pollution, Aircraft Noise And Health. In the second Airport Regions Conferens VantaaFinland ; City Of Vantaa. Bridger R.S., 1995. Hearing, Sound and Noise : Introduction to Ergonomic, Mc GrawHill, Inc. Singapore. Budiono, A.M. Sugeng. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Semarang; Universitas Diponegoro. Chandra, Budiman.2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : EGC. Corwin, Elzabeth J.2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Departemen Tenaga Kerja,1993. Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bidang Kesehatan Kerja, Proyek peningkatan Pengawasan Norma Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: Depnaker. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 1999. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Nomor : Kep-51/Men/1999 tentang Nilai Ambang batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, Jakarta. Ditalia, 2011. Pengaruh Rokok Terhadap Pendengaran. Artikel Djelantik-Soejoto, Ayu Bulantrisna. 2004. Memelihara Pendengaran, Menjaga Kesehatan : http://www.kompas.com. Diakses pada tanggal 22 Mei 2010. Gan, Sulistia. 1999. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Harrianto, Ridwan. Buku Ajar Kesehatan Kerja. EGC: Jakarta, 2009 Herman, Mulyadi. 2002. Studi Tentang Hubungan Gangguan Pendengaran Pekerja Di PT. Petrochina Tahun 2002. Depok. Program Studi Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Iskandar N., 1996. Kebisingan dan Kesehatan Telinga, Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja Vol. XXIX No.3 Juli-September 1996. Istantyo, Dan. 2011. Skripsi. Pengaruh Dosis Kebisingan dan Faktor Determinan Lainnya Terhadap Gangguan Fungsi Pendengaran Pada Pekerja Operator PLTU Unit 1-4 PT. Indonesia Power UBP. Suralaya. Jenny, Basharudin dan Indro, soetirto. Gangguan Pendengaran akibat Bising dalam THT kepala leher. Edisi ke 6. 2007: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jeyaratman J., Koh david, 1996. Auditory Effects : Texbook of Occupational Medicine. Komnas PGPKT., 2011, Sayangi Pendengaran Anda, BKKKS, Batam. Leksono, Rangga Adi. 2009. Tesis. Gambaran Kebisingan di Area Kerja Shop C-D Unit Jembatan Usaha PT.Bukaka Teknik Utama. Mesie, Billy, 2003. Tuli Bisa Datang Bertahap atau Tiba-tiba, Media Indonesia, Jakarta. Nasri S.M, 1997. Teknik Pengukuran dan Pemantauan Kebisingan di Tempat Kerja, Pusat Kajian dan Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. National Safety Council, 1975. Industrial Noise and Hearing Conservation, Chicago. Pearce Evelyn C. 202. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia. P.K Suma’mur, 1992. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. CV. Haji Masagung, Jakarta. Practice, World Scince, Publishing Co.Pte.Ltd.Singapore-NewJersey-London- Hongkong. PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI, Balongan, 2009. Pedoman Program Conservasi Pendengaran, Indramayu, Jawa Barat. Rambe, Andriana Yuniati Murni. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Usu Digital Library: FK Bagian Ilmu Penyakit THT Universitas Sumatra Utara, 2003. Sasongko, Dwi P. 2000. Kebisingan Lingkungan. Semarang: Universitas Diponegoro. Sherwood L, 2001. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem (Human Physiology : From Cell to Systems). Trans. Jakarta. Siswanto .A. 1983. Alat Pelindung Diri. Majalah Hygene perusahaan kesehatan dan keselamatan kerja. XIV. Srisantyorini, Triana. Tingkat kebisingan dengan gangguan pendengaran pada karyawan PT. friesche vlag Indonesia tahun 2002. Tesis. Pasca Sarjana Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKM, Universitas Indonesia. 2002. Stellman, Jeanne Mager, 1998. Encyclopedia of Occupational health and Safety, Internatinal Labour Office, Geneva. Subaris Heru, Haryono. 2007. Hygiene Lingkungan Kerja. Jogjakarta : Mitra Cendikia press. World Health Organization, 1980, Environmental Health Criteria, Noise, Geneva. Widana, I Dewa Ketut Kerta. Pengaruh Kebisingan terhadap Terjadinya Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Teknisi (Ground Crew) Pesawat Tempur TNI AU di Lanud Iswahyudi Tahun 2006. Tesis. Pasca Sarjana Prodi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, FKM, Universitas Indonesia. 2006. Penelitian Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja unit utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu tahun 2014.” Assalamualaikum Wr, Wb. Bersama ini, saya mahasiswa Peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, ingin menyampaikan bahwa ingin melaksanakan penelitian dengan judul “Faktorfaktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja unit utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu tahun 2014.” Yang merupakan penelitian untuk skripsi syarat S1 Kesehatan Masyarakat. Untuk itu, Saya mohon kesediaan anda untuk menjawab pertanyaan dibawah ini dengan jujur tanpa pengaruh dari pihak manapun, karena jawaban anda dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) diperusahaan tempat anda bekerja. Saya menjamin kerahasiaan atas jawaban yang saudara berikan. Atas perhatian dan kerjasama saudara, saya ucapkan terimakasih. Peneliti, Riki Akbar Kuesioner Penelitian No. Responden : ………………….(Di isi Peneliti) Nama : ………………………………….. Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan NIP/No Pekerja : ………………………………….. Unit/Bagian Kerja : ………………………………….. A. Gangguan Pendengaran 1. Status gangguan pendengaran anda? (Dilakukan tes Audiometri) …………………………………… A1[ ] 2. Apakah akhir-akhir ini anda merasa ada gangguan pendengaran dalam berkomunikasi? 1. Ya 2. Tidak A2[ ] A3[ ] A4[ ] 3. Apakah telinga anda sering berdenging? 1. Ya 2. Tidak 4. Apakah anda terganggu bekerja dalam suasana bising ? 1. Ya 2. Tidak B. Dosis Kebisingan 1. Dosis kebisingan anda ? (Dilakukan pengukuran) ……………………………… B1[ ] C1[ ] C2[ ] C3[ ] D1[ ] C. Masa Kerja 1. Mulai tahun berapa anda bekerja di bagian tersebut? …………………………………………… 2. Sebelum anda bekerja dibagian sekarang, di bagian manakah anda bekerja? ………………………………………….... 3. Apakah di bagian anda bekerja mengalami kebisingan saat anda bekerja? 1. Ya 2. Tidak D. Usia Pekerja 1. Tanggal, bulan dan tahun berapa anda lahir? ……………………………………… E. Kebiasaan Merokok 1. Apakah anda merokok? (Jika ya, ke pertanyaan ke-3) 1.Merokok 2. Tidak Merokok E1[ ] E2[ ] E3[ ] 2. Jika tidak, apakah anda pernah merokok sebelumnya? 1. Ya 2. Tidak 3. Mulai tahun berapa anda merokok? ………………………………….. 4. Sejak tahun berapa anda berhenti merokok? (jika masih merokok, kepertanyaan ke-5) ………………………………….. E4[ ] E5[ ] 5. Berapa banyak batang rokok yang anda habiskan setiap hari? ……………………………….batang/hari F. Pemakaian APT 1. Apakah anda menggunakan earplug saat bekerja? (jika tidak pernah, berhenti d isini) 1. Tidak Pernah 2. Kadang-kadang 3.Selalu F1[ ] F2[ ] F3[ ] F4[ ] 2. Disaat situasi seperti apa anda menggunakan earplug? …………………………………………………… 3. Apakah anda menggunakan earplug dengan baik dan benar? 1. Tidak 2. Ya 4. Apakah sebelum mengunakan earplug anda mencuci tangan anda? 1. Tidak 2. Ya -Terima kasih- DOKUENTASI PENGUKURAN DOSIS KEBISINGAN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PND (PERSONAL NOISE DOSIMETER) FREQUENCIES VARIABLES=masa_kerja pemakaian_APT status_merokok usia Gangguan_Kebisingan Dosis_Kebisia ngan /ORDER=ANALYSIS. Frequencies Statistics Pemakaian Alat N Gangguan Masa Kerja Pelindung Status Merokok Pekerja Telinga Pekerja Valid Missing Pendengaran Usia Pekerja Pada Pekerja 55 55 55 55 55 55 0 0 0 0 0 0 Frequency Table Masa Kerja Pekerja Cumulative Frequency Valid lebih dari 10 tahun kurang dari sama dengan 10 tahun Total Percent Valid Percent Percent 30 54.5 54.5 54.5 25 45.5 45.5 100.0 55 100.0 100.0 Pemakaian Alat Pelindung Telinga Cumulative Frequency Valid Dosis Kebisingan Percent Valid Percent Percent tidak pernah 19 34.5 34.5 34.5 kadang-kadang 21 38.2 38.2 72.7 selalu 15 27.3 27.3 100.0 Total 55 100.0 100.0 Status Merokok Pekerja Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent merokok 34 61.8 61.8 61.8 tidak merokok 21 38.2 38.2 100.0 Total 55 100.0 100.0 Usia Pekerja Cumulative Frequency Valid lebih dari 40 tahun kurang dari sama dengan 40 tahun Total Percent Valid Percent Percent 16 29.1 29.1 29.1 39 70.9 70.9 100.0 55 100.0 100.0 Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent menderita gangguan 16 29.1 29.1 29.1 tidak menderita gangguan 39 70.9 70.9 100.0 Total 55 100.0 100.0 Dosis Kebisingan Cumulative Frequency Valid lebih dari 100 persen kurang dari sama dengan 100 persen Total Percent Valid Percent Percent 30 54.5 54.5 54.5 25 45.5 45.5 100.0 55 100.0 100.0 CROSSTABS /TABLES=masa_kerja pemakaian_APT status_merokok usia Dosis_Kebisiangan BY Gangguan_Kebisingan /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT ROW /COUNT ROUND CELL. Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent 55 100.0% 0 .0% 55 100.0% 55 100.0% 0 .0% 55 100.0% 55 100.0% 0 .0% 55 100.0% Usia Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja 55 100.0% 0 .0% 55 100.0% Dosis Kebisingan * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja 55 100.0% 0 .0% 55 100.0% Masa Kerja Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Pemakaian Alat Pelindung Telinga * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Status Merokok Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Masa Kerja Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Crosstab Gangguan Pendengaran Pada Pekerja tidak menderita Masa Kerja Pekerja lebih dari 10 tahun Count % within Masa Kerja Pekerja kurang dari sama dengan 10 tahun Count % within Masa Kerja Pekerja Total Count % within Masa Kerja Pekerja menderita gangguan gangguan Total 10 20 30 33.3% 66.7% 6 19 24.0% 76.0% 16 39 29.1% 70.9% 100.0 % 25 100.0 % 55 100.0 % Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Continuity Correction b Likelihood Ratio Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) .556 .324 Value df sided) .576a 1 .448 .212 1 .645 .581 1 .446 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases .565 b 1 .452 55 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.27. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper 1.583 .481 5.210 1.389 .587 3.288 .877 .627 1.227 Odds Ratio for Masa Kerja Pekerja (lebih dari 10 tahun / kurang dari sama dengan 10 tahun) For cohort Gangguan Pendengaran Pada Pekerja = menderita gangguan For cohort Gangguan Pendengaran Pada Pekerja = tidak menderita gangguan N of Valid Cases 55 Dosis Kebisingan * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Crosstab Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Dosis Kebisingan lebih dari 100 persen menderita tidak menderita gangguan gangguan Total 16 14 30 53.3% 46.7% 100.0% 0 25 25 % within Dosis Kebisingan .0% 100.0% 100.0% Count 16 39 55 29.1% 70.9% 100.0% Count % within Dosis Kebisingan kurang dari sama dengan 100 Count persen Total % within Dosis Kebisingan Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Continuity Correction b Likelihood Ratio Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) .000 .000 Value df sided) 18.803a 1 .000 16.307 1 .000 24.871 1 .000 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 18.462 b 1 .000 55 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.27. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper .467 .318 .684 For cohort Gangguan Pendengaran Pada Pekerja = tidak menderita gangguan N of Valid Cases 55 Usia Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Crosstab Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Usia Pekerja lebih dari 40 tahun menderita tidak menderita gangguan gangguan Total 6 10 16 37.5% 62.5% 100.0% 10 29 39 25.6% 74.4% 100.0% 16 39 55 29.1% 70.9% 100.0% Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) .515 .286 Count % within Usia Pekerja kurang dari sama dengan 40 Count tahun % within Usia Pekerja Total Count % within Usia Pekerja Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Continuity Correction b Likelihood Ratio Value df sided) .773a 1 .379 .305 1 .581 .753 1 .386 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases .759 b 1 .384 55 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.65. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper 1.740 .503 6.021 1.462 .639 3.348 Odds Ratio for Usia Pekerja (lebih dari 40 tahun / kurang dari sama dengan 40 tahun) For cohort Gangguan Pendengaran Pada Pekerja = menderita gangguan For cohort Gangguan Pendengaran Pada Pekerja = .841 .551 1.282 tidak menderita gangguan N of Valid Cases 55 Status Merokok Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Crosstab Gangguan Pendengaran Pada Pekerja tidak menderita Status Merokok Pekerja merokok menderita gangguan gangguan Total 10 24 34 29.4% 70.6% 100.0% 6 15 21 28.6% 71.4% 100.0% 16 39 55 29.1% 70.9% 100.0% Count % within Status Merokok Pekerja tidak merokok Count % within Status Merokok Pekerja Total Count % within Status Merokok Pekerja Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Continuity Correction b Likelihood Ratio Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) 1.000 .598 Value df sided) .004 a 1 .947 .000 1 1.000 .004 1 .947 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b .004 1 .947 55 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.11. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper 1.042 .314 3.459 1.029 .438 2.417 .988 .699 1.398 Odds Ratio for Status Merokok Pekerja (merokok / tidak merokok) For cohort Gangguan Pendengaran Pada Pekerja = menderita gangguan For cohort Gangguan Pendengaran Pada Pekerja = tidak menderita gangguan N of Valid Cases 55 Pemakaian Alat Pelindung Telinga * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Crosstab Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Pemakaian Alat Pelindung tidak pernah Telinga Count % within Pemakaian Alat Pelindung Telinga kadang-kadang Count % within Pemakaian Alat Pelindung Telinga selalu Count % within Pemakaian Alat Pelindung Telinga Total Count % within Pemakaian Alat Pelindung Telinga menderita tidak menderita gangguan gangguan Total 8 11 19 42.1% 57.9% 100.0% 6 15 21 28.6% 71.4% 100.0% 2 13 15 13.3% 86.7% 100.0% 16 39 55 29.1% 70.9% 100.0% Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square 3.368a 2 .186 Likelihood Ratio 3.555 2 .169 Linear-by-Linear Association 3.303 1 .069 N of Valid Cases 55 a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.36. Risk Estimate Value Odds Ratio for Pemakaian Alat Pelindung Telinga (tidak a pernah / kadang-kadang) a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.