oleh : riki akbar nim : 107101002322

advertisement
SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN
PENDENGARAN PEKERJA UNIT UTILITIES PT.PERTAMINA (PERSERO)
REFINERY UNIT VI BALONGAN, INDRAMAYU TAHUN 2014
OLEH :
RIKI AKBAR
NIM : 107101002322
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Juli 2014
Riki Akbar, NIM : 107101002322
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities
PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014.
xvii + 87 halaman, 14 tabel, 2 bagan, 1 gambar, 4 lampiran.
ABSTRAK
Gangguan pendengaran akibat bising ialah disebabkan akibat terpapar oleh bising yang
cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja. Berdasarkan hasil pemeriksaan audiometri tahun 2013 di PT. Pertamina (Persero)
Refinery Unit VI Balongan terdapat 16 dari 56 pekerja di Unit Utilities yang mengalami gangguan
pendengaran.
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja Unit
Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu tahun 2014. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni tahun 2014. Populasi dan sampel penelitian ini
adalah seluruh pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan yang
masih aktif bekerja sampai tahun 2014 dan sampel yang digunakan sebanyak 55 pekerja.
Diketahui dari hasil penelitian terdapat pekerja menderita gangguan pendengaran sebanyak
16 (29,1%) pekerja dan berdasarkan analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi Square bahwa
faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran ialah dosis kebisingan dengan pvalue 0.000.
Untuk mengurangi terjadinya gangguan fungsi pendengaran ialah perlu dilakukannya rotasi
kerja, pemberian barrier atau penghalang pada mesin yang mengeluarkan intensitas kebisingan diatas
NAB, pemakaian APT dengan NRR yang sesuai, pelatihan pemakain APT yang baik, pemberian
reward dan punishment terhadap penggunaan APT.
Daftar bacaan : 35 (1975-2011)
iii
FACULTY MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF OCCUPTIONAL SAFETY AND HEALTH
Underground Thesis, Juli 2014
Riki Akbar, NIM : 107101002322
Factors That Are Associated With Hearing Loss Worker The Utilities Unit PT.Pertamina
(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu by 2014.
xvii + 87 pages + 14 tables + 2 chart + 1 picture + 4 appendix.
ABSTRAK
Hearing loss due to noise is caused due to noisy exposed by a fairly hard in quite a long
period of time and is usually caused by a noisy work environment. Based on the results of the
examination of the audiometry by 2013 in PT. Pertamina (Persero) Balongan Refinery Unit VI
there are 16 of 56 workers in Utilities Unit experiencing hearing loss.
Type of this research is quantitative with the design of cross sectional. This research aims
to know the factors that are associated with hearing impairment Utilities Unit workers
PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu by 2014. This research was
carried out in April until June 2014. Population and sample the study was the entire Unit PT
Utilities workersPertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan active work until 2014 and
samples that used as many as 55 workers.
Known from the results of the research there were workers suffering from hearing loss as
much as 16 (29.1%) of workers and based on the analysis of statistical test Chi Square bivariat
use that factors associated with hearing loss is the noise dose with a pvalue 0000.
To reduce the occurrence of disturbance of auditory function was he had to do a work
rotation, giving the barrier on the machines that dispense the intensity of noise above NAB, use
APT with appropriate training, the use of APT was good NRR, delivery of reward and
punishment against the use of APT.
Reading list 35 (1975-2011)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama
: Riki Akbar
Tempat Tanggal Lahir
: Jakarta, 08 Agustus 1989
Agama
: Islam
Golongan Darah
:A
Status Kewarganegaraan
: WNI
Alamat
: Jl. Rempoa raya No.2 RT 01/05, Kelurahan Bintaro,
Kecamatan Pesanggrahan, Provinsi DKI Jakarta-Selatan 12330.
No. Telp
: (021)-93463799 / (021)-7352486
E-Mail
: [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
1995 – 2001
SDN B intaro 014 PG
2001 – 2004
SLTP Muhammadiyah 17 Ciputat Tangerang Selatan
2004 – 2007
SMA Dua Mei Ciputat Tangerang Selatan
2007 – Sekarang
S1 Kesehatan Masyarakat, Peminatan Keselamatan dan Kesehatan
kerja,
Fakultas
Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK),
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
KATA PENGANTAR
‫بسماللهالرحمنالرحيم‬
‫اسالمعليكمىرحمةاللهىبركاته‬
Dengan menyebut nama ALLAH yang maha pengasih lagi maha penyayang,
Segala puji kehadirat Allah SWT zat tunggal yang maha agung, yang telah meninggikan
langit tanpa tiang dan yang telah mengokohkan bumi tanpa pondasi. Syukur senantiasa
selalu terucapkan atas segala nikmat dan rahmat-Nya hingga skripsi yang berjudul
“Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit
Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014”
ini dapat selesai dan tersusun dengan baik. Salawat dan salam selalu tercurah kepada
junjungan kita Habibana wa Habibana
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah
membimbing umatnya dari zaman jahilyah sampai zaman yang berilmu pengetahuan
seperti sekarang ini.
Penyusunan Skripsi ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis, melainkan
banyak pihak yang telah memberikan supor, bantuan, bimbingan, motivasi, dan
semangat. Untuk itu penulis merasa pantas berterima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Kedua orang tua yang selalu dirahmati ALLAH SWT, yang selalu mendoakan,
memberikan semangat, kasih sayang dan dukungan baik secara moril maupun
materil, sebagai teladan dalam menjalani kehidupan ini, semoga diberikan umur
panjang dalam iman dan islam serta sehat selalu.
viii
2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Febrianti,SP,M.Si selaku dosen pembimbing I dan selaku ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Catur Rosidati,MKM, sebagai sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Penanggung Jawab Skripsi dan Sebagai Penguji Skripsi.
5. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK Selaku Penanggung Jawab Peminatan Kesehatan &
Keselamatan Kerja (K3).
6. Bapak dr.Yuli Prapanca Satar, MARS, selaku dosen pembimbing II yang tak
pernah lelah dalam membimbing dan yang selalu memberikan kemudahan kepada
mahasiswa & mahasiswinya. Semoga ALLAH SWT selalu memberikan
kemudahan dalam setiap derap langkah bapak & keluarga, Aaaaamien…
7. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
8. Bapak Mochamad Askar, selaku pembimbing lapangan dan selaku Occupatinal
Health Section Head serta staf-staf HSE PT. PERTAMINA (PERSERO) Refinery
Unit (RU) VI Balongan, yang telah meluangkan waktunya untuk membantu
penulis selama melaksanakan kegiatan penelitian di perusahaan tersebut.
ix
9. Bapak-bapak pekerja Unit Utilities yang telah meluangkan waktunya untuk
membantu peneliti selama berada di field.
10. Teman-teman dari UNHAS 2007, Dhea, Lily dan Ivone yang telah banyak
memberikan asupan makanan (Snack dll) selama di meja Perpus HSE
hahhahhah.....oh ya makasi juga atas pinjamian Camdig (Kamera digitalnya ye)
11. Teman baik ku pipit, yang seneng ngebanyol dan super humoris.
12. Nur Najmi Laila (Profesor/suhu Ami hehehe…,,) yang selalu membantu &
memberikan semangat kepada teman-teman seperjuangan. Ente dah kaya
pembimbing III w mi, thank’s berat ye mi, w hutang budi sama lw. Dan w rasa yg
lebih berhutang budi sama lw adalah Nurli Faiz (Faiz) hahahah… dan lw w ksh
predikat sebagai ibunya Faiz hihihih….
13. Teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan 2007 (Opus), Khususnya anak-anak
K3 FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tetap Semangat Untuk Meraih Masa
Depan yang Gemilang.
Akhir kata dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun
pembaca lain.
‫والسالمعليكمىرحمةاللهىبركاته‬
Jakarta, Juli 2014
Penulis
x
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ……………............................................................................................. i
Abstrak ………………………………………………………………………….………....... ii
Lembar Persetujuan ……………………………………………………………….………... iv
Lembar Pengesahan ………………………………………………………………………… v
Daftar Riwayat Hidup ……………………………………………………………………… vi
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………...vii
Daftar Isi …………………………………………………………………………………… x
Daftar Tabel ……………………………………………………………………………….. xiv
Daftar Bagan ……………………………………………………………………...………. xvi
Daftar Gambar ……………………………………………………………………………. xvii
Daftar Lampiran ………………………………………………………………………...... xviii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5
1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................................. 7
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................................ 7
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................................... 9
1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti .................................................................................... 9
1.5.2 Manfaat Bagi Perusahaan .............................................................................. 9
1.5.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan ................................................................ 9
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................................ 10
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Gangguan Pendengaran …………………………………............................................. 11
2.1.1 Gangguan Pendengaran Konduktif …………................................................. 12
2.1.2 Gangguan Pendengaran Sensori-Neural.......................................................... 12
2.1.3 Gangguan Pendengaran Campuran ……......................................................... 13
2.2 Anatomi dan Fisiologi Telinga ...................................................................................... 14
2.2 1 Anatomi Telinga …………………………………………...………….……. 14
xi
2.2.2 Fisiologi Telinga ............................................................................................
14
2.2.2.1 Telinga Bagian Luar ......................................................................... 15
2.2.2.2 Telinga Bagian Tengah ...................................................................
15
2.2.2.3 Telinga Bagian Dalam ..................................................................... 15
2.3 Mekanisme Pendengaran …………………………………………………..…………. 16
2.4 Dampak Gangguan Pendengaran ……………………………………..………...…….. 19
2.4.1 Dampak Auditorial Akibat Bising ……………………………………....... 19
2.4.2 Damak Non-Auditorial Akibat Bising ……………………………………. 22
2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran atau Pemeriksaan Audiometri ………………… 23
2.6 Pengendalian Kebisingan ..............................................................................................
24
2.6.1 Eliminasi ......................................................................................................... 24
2.6.2 Substitusi ........................................................................................................
24
2.6.3 Engineering Control .......................................................................................
25
2.6.3.1 Pengendalian Pada Sumber Bunyi ...............................................
26
2.6.3.2 Pengendalian Pada Jalannya Transmisi .......................................
26
2.6.3.3 Pengendalian Pada Penerima Suara .............................................. 27
2.6.4 Administrasi Control ...................................................................................... 28
2.6.5 Alat Pelindung Telinga .................................................................................. 28
2.6.5.1 Ear Plug .....................................................................................
29
2.6.5.2 Ear Muff ..................................................................................... 31
2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran ...................................... 33
2.9.1 Dosis Kebisingan ........................................................................................... 34
2.9.2 Masa Kerja ..................................................................................................... 37
2.9.3 Usia Pekerja ................................................................................................... 38
2.9.4 Kebiasaan Merokok ....................................................................................... 39
2.9.5 Penggunaan Obat Ototoksik .......................................................................... 40
2.9.6 Riwayat Penyakit Telinga .............................................................................. 41
2.9.7 Penggunaan APT ........................................................................................... 42
2.8 Kerangka Teori ............................................................................................................. 43
BAB III Kerangka Konsep
3.1 Kerangka Konsep ......................................................................................................... 44
xii
3.2 Definisi Operasional ...................................................................................................
45
3.3 Hipotesis .....................................................................................................................
48
BAB IV Metodologi Penelitian
4.1 Jenis Penelitian ............................................................................................................ 49
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................................... 49
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................................... 49
4.4 Pengumpulan Data ....................................................................................................... 51
4.5 Instrument Penelitian ................................................................................................... 52
4.6 Pengolahan Data .......................................................................................................... 53
4.7 Analisis Data ................................................................................................................ 55
4.7.1 Analisis Univariat .......................................................................................... 55
4.7.2 Analisis Bivariat ............................................................................................ 56
BAB V Hasil
5.1 Gambaran Umum PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan ………... 57
5.2 Analisis Univariat ……………………………………………………………………. 58
5.2.1 Gambaran Gangguan Pendengaran ……………………………………… 59
5.2.2 Gambaran Dosis Kebisingan …………………………………………….. 60
5.2.3 Gambaran Masa Kerja …………………………………………………… 60
5.2.4 Gambaran Usia Pekerja ………………………………………………….. 61
5.2.5 Gambaran Kebiasaan merokok ………………………………………….. 62
5.2.6 Gambaran Pemakaian APT ……………………………………………… 62
5.3 Analisis Bivariat ……………………………………………………………………... 63
5.3.1 Gambaran Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran
Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery
Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 63
5.3.2 Gambaran Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran
Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery
Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 64
5.3.3 Gambaran Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran
Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery
Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 65
xiii
5.3.4 Gambaran Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran
Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery
Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 66
5.3.5 Gambaran Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran
Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery
Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……………………………… 67
BAB VI Pembahasan
6.1
Keterbatasan Penelitian …………………………………………………….……. 69
6.2
Gangguan Pendengaran ………………………………………………………….. 70
6.3
Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran ………………. 72
6.4
Hubungan Antara Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ………….. 72
6.5
Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran ………………… 75
6.6
Hubungan Antara Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran …………….…. 77
6.7
Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran ….….… 80
6.8
Hubungan Antara Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran …………… 81
BAB VII Simpulan dan Saran
7.1
Simpulan ………………………………………………………………………… 84
7.2
Saran …………………………………………………………………………….. 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Halaman
2.1
Nilai Ambang Batas Kebisingan (Kepmenaker) ……………………
35
2.2
Nilai Ambang Batas Kebisingan (Kepmen LH) …………………....
35
4.1
Coding Data …………………………………………………………
54
5.1
Gambaran Distribusi Gangguan Pendengaran Pekerja Unit
Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan,
Indramayu Tahun 2014 ………………………………………………….
5.2
59
Gambaran Distribusi Dosis Kebisingan Pekerja Unit Utilities
PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu
Tahun 2014 …………………………………………………………
5.3
60
Gambaran Distribusi Masa Kerja Pekerja Unit Utilities
PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu
Tahun 2014……………………………………………………………….
5.4
Gambaran Distribusi Usia Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina
(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ……..…
5.5
61
61
Gambaran Distribusi Kebiasaan Merokok Pekerja Unit Utilities
PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu
Tahun 2014………………………………………………………………
5.6
62
Gambaran Distribusi Pemakaian APT Pekerja Unit Utilities
PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu
Tahun 2014 ……………....................................................................
5.7
63
Gambaran Distribusi Hubungan Dosis Kebisingan dengan
Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina
(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ……….
5.8
64
Gambaran Distribusi Hubungan Masa Kerja dengan Gangguan
Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero)
Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ………...................
5.9
65
Gambaran Distribusi Hubungan Usia Pekerja dengan Gangguan
Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero)
Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ……………………
5.10
66
Gambaran Distribusi Hubungan Kebiasaan Merokok dengan
Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina
(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ...............
67
xv
5.11
Gambaran Distribusi Hubungan Pemakaian APT dengan
Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina
(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu T ahun 2014 ..............
68
xvi
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan
Halaman
2.1
Kerangka Teori ………………………………………………………
43
3.1
Kerangka Konsep …………………………………………………....
44
xvii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
2.1
Halaman
Anatomi Telinga Manusia ………………………………………...
14
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Izin Penelitian & Surat Konfirmasi Izin Penelitian
Lampiran 2
Kwesioner
Lampiran 3
Dokumentasi Foto Penelitian (Skripsi)
Lampiran 4
Lembar Analisis Data Statistik (Output)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan pendengaran masih menjadi salah satu masalah utama Kesehatan
Masyarakat khususnya pada pekerja-pekerja yang bekerja di tempat yang
terpapar bising, misalnya pekerja dikawasan industi antara lain pertambangan,
perkapalan, penerbangan maupun mesin yang berada di pabrik-pabrik tekstil.
Hal ini akan sangat merugikan para pekerja karena dapat menyebabkan ketulian
menetap.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa industri dan
mekanisasi tumbuh dan berkembang dalam rangka mewujudkan masyarakat
industri yang maju dan mandiri. Berbagai mesin dan peralatan canggih
dipergunakan dan diproduksi oleh industri-industri dan perusahaan-perusahaan.
Mesin-mesin dan peralatan tersebut di satu sisi sangat penting bagi
pembangunan namun juga ternyata membawa dampak negatif bagi kesehatan
manusia khususnya tenaga kerja (Depnaker, 1993).
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat, maka
penggunaan alat-alat dan mesin modern menjadi suatu kebutuhan bagi suatu
industri. Salah satu dampak dari penggunaan mesin modern tersebut adalah
kebisingan yang disebabkan mesin tersebut. Suara-suara gaduh atau bunyi yang
bising merupakan salah satu penyebab penyakit akibat kerja dari golongan fisik
(Suma’mur, 1992).
1
2
Penggunaan teknologi yang tinggi di tempat kerja dalam hal sarana dan
prasarana yang menghasilkan suara atau bunyi atau kegaduhan yang melebihi
standar akan menimbulkan gangguan kesehatan khususnya pada pekerja, yaitu
terjadinya penyakit akibat kerja. Bising yang sangat keras (di atas 85 dB untuk
daerah pabrik, industri dan sejenisnya) dapat menyebabkan kemunduran yang
serius pada kondisi kesehatan seseorang pada umumnya, dan bila berlangsung
lama dapat menyebabkan gangguan pendengaran sementara, yang lambat laun
dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya gangguan pendengaran antara lain adalah intensitas
kebisingan, frekuensi kebisingan, dan lamanya orang tersebut berada di tempat
atau di dekat sumber bunyi, baik dari hari ke hari atau seumur hidup (Azwar,
1990).
Kebisingan 75 dB untuk 8 jam per hari jika hanya terpapar satu hari saja
pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan. Tetapi jika berlangsung setiap
hari terus menerus minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun
maka suatu saat akan melewati batas dimana paparan kebisingan tersebut akan
menyebabkan gangguan pendengaran (Sasongko, 2000).
Badan kesehatan dunia (WHO) melaporkan tahun 2000 sebanyak 250 juta
(4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dari dampak
kebisingan dalam berbagai bentuk. Angka itu diperkirakan akan terus
meningkat. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 5-6 juta orang yang terancam
menderita tuli akibat bising. Sedangkan Belanda jumlahnya mencapai 200.000300.000 orang, di Inggris sekitar 0,2%, di Canada dan Swedia masing-masing
3
sekitar 0,03% dari seluruh populasi. Dan sekitar 75 – 140 juta (50%) berada di
Asia Tenggara. Indonesia cukup dominan, yaitu nomer 4 di Asia Tenggara
sesudah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%) dan di Indonesia
diperkirakan sedikitnya (4,6%) dan akan terus meningkat (Budiono, 2003).
Sementara dari Survei Nasional pada tujuh propinsi di Indonesia, pada 19941996, angka gangguan pendengaran 16,8% atau 35,28 juta penduduk dan
ketulian 0,4 % atau 840.000 penduduk (Komnas PGPKT, 2011).
Berdasarkan data yang didapat dari Balai Kesehatan Indera Masayarakat
atau BKIM Kota Semarang pada November 2007 yang dilakukan pada anakanak usia sekolah dasar, dari 467 siswa kelas satu yang diperiksa telinganya
ditemukan sebanyak 29,55% siswa mengalami gangguan pendengaran yang
diakibatkan serumen obsturan, Otitis media kronik Supuratif 1,28% dan
Sensory Neural Hearing Loss 0,21%.
Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan
kerusakan reseptor pendengaran Corti pada telinga dalam. Sifat ketuliannya
adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga. Banyak hal
yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain
intensitas bising yang tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising dan
faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian (Irwandi, 2007).
Kebisingan merupakan bahaya fisik yang mungkin terjadi dalam setiap
proses produksi dan lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat, misalnya
bising yang melebihi ambang batas yang merupakan salah satu faktor penyebab
timbulnya gangguan kesehatan terutama gangguan pendengaran. Batas yang
4
sudah ditetapkan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja
adalah 85 dBA untuk 8 jam kerja per harinya atau 40 jam kerja per minggunya.
Kebisingan selain dapat menimbulkan gangguan pendengaran juga akan
berdampak negatif lain seperti gangguan komunikasi, efek pada pekerjaan,
stress, kelelahan, dan sebagainya.
PT. PERTAMINA (Persero) Refiery Unit VI Balongan adalah
perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang pengolahan minyak bumi
dalam hal ini Crude Oil atau Minyak Mentah menjadi BBM (Bahan Bakar
Minyak) siap pakai. PT. PERTAMINA (Persero) Refiery Unit VI Balongan
memiliki banyak unit bisnis dalam pekerjaannya, salah satunya adalah unit
utilities. Di unit utilities terdapat 64 (enam puluh empat) mesin. Mesin-mesin
yang menjadi sumber-sumber kebisingan di area utilities adalah Pompa,
Kompresor, Boiler, Generator Plant dan Nitrogen Plant.
Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada bulan januari 2013
didapatkan
hasil
pengukuran
intensitas
kebisingan
di
unit
utilities
PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dengan menggunakan
Sound Level Meter (SLM) merk Larson Davis LxT2 sebesar 81 dB – 104 dB
dengan rata-rata intensitas kebisingan yang cukup besar (90,4 dB). Kemudian
berdasarkan hasil Tes Audiometri yang dilakukan pada pekerja Unit Utilities
PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2013
ditemukan adanya pekerja yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak
16 orang (29 %) dari 56 orang yang memeriksakan diri.
5
1.2
Rumusan Masalah
Terjadi gangguan pendengaran pada pekerja, berdasarkan hasil Tes
Audiometri yang dilakukan pada pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA
(Persero) RU VI Balongan Tahun 2013 ditemukan adanya pekerja yang
mengalami gangguan pendengaran sebanyak 16 orang (29 %) dari 56 orang
yang memeriksakan diri. Hal ini didukung oleh hasil studi pendahuluan
yang telah dilakukan pada bulan Januari 2013 didapatkan hasil pengukuran
intensitas kebisingan di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) RU VI
Balongan sebesar 81 dB - 104 dB.
Hal inilah yang melandasi penulis untuk melakukan penelitian
mengenai “Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran
pekerja di unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI
Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
1.3
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran gangguan pendengaran yang dialami pekerja di
UnitUtilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun
2014?
2. Bagaimana gambaran dosis kebisingan yang diterima pekerja di Unit Utilities
PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?
3. Bagaimana gambaran usia pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA
(Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?
6
4. Bagaimana gambaran masa kerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero)
Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?
5. Bagaimana gambaran pemakaian APT di Unit Utilities PT. PERTAMINA
(Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?
6. Bagaimana gambaran kebiasaan merokok di Unit Utilities PT. PERTAMINA
(Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?
7. Apakah ada hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran
pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI
Balongan Tahun 2014?
8. Apakah ada hubungan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran pada
pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI
Balongan Tahun 2014?
9. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada
pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI
Balongan Tahun 2014?
10. Apakah ada hubungan antara pemakaian APT dengan gangguan pendengaran
pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI
Balongan Tahun 2014?
11. Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan
pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero)
Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?
7
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara usia pekerja, dosis kebisingan, masa
kerja, pemakaian APT dan kebiasaan merokok dengan gangguan fungsi
pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero)
Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
1.4.2
Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran gangguan pendengaran yang dialami pekerja di Unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu
Jawa Barat tahun 2014”.
2. Diketahuinya gambaran dosis kebisingan pekerja di Unit Utilities PT.
PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat
tahun 2014”.
3. Diketahuinya gambaran usia di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero)
Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
4. Diketahuinya gambaran masa kerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA
(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
5. Diketahuinya gambaran pemakaian APT di Unit Utilities PT. PERTAMINA
(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
6. Diketahuinya
gambaran
kebiasaan
merokok
di
Unit
Utilities
PT.
PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat
tahun 2014”.
8
7. Diketahuinya hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan
pendengaran di Unit Utilities PT. PERTAMINA(Persero) Refinery Unit VI
Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
8. Diketahuinya hubungan antara usia pekerja dengan gangguan pendengarandi
Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan,
Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
9. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengarandi
Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan,
Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
10. Diketahuinya hubungan antara pemakaian APT dengan gangguan
pendengaran di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI
Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
11.Diketahuinya hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan
pendengaran di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI
Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.
9
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan kesempatan untuk
mengaplikasikan teori yang telah didapat selama dibangku perkuliahan, serta
sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti
selanjutnya.
1.5.2
Bagi Perusahaan
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti
tentang dampak kebisingan yang diterima pekerja akibat terpapar
intensitas kebisingan yang tinggi.
2.
Sebagai masukan dan informasi bagi pekerja sehingga pekerja lebih
memahami tentang dampak kebisingan terhadap keselamatan dan
kesehatan kerja bagi dirinya sehingga tumbuh kesadaran untuk mematuhi
peraturan menggunakan alat pelindung telinga.
1.5.3
Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah kapasitas dan kualitas pendidikan serta dapat dijadikan
referensi mengenai gangguan pendengaran pada pekerja untuk mahasiswa
peminatan kesehatan dan keselamatan kerja.
10
1.6
Ruang Lingkup Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross
sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara antara
usia pekerja, dosis kebisingan, masa kerja, pemakaian APT dan kebiasaan
merokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT.
PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat
tahun 2014”. Hasil studi pendahuluan di bulan Januari tahun 2013 pada unit
utilities sebagian besar memiliki intensitas kebisingan yang melampaui NAB.
Berdasarkan hasil tes audiometri tahun 2013 terdapat 16 orang pekerja (29%)
yang mengalami gangguan pendengaran dari 56 orang pekerja yang mengikuti
pemeriksaan audiometri. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh
pekerja unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan
yang masih aktif bekerja sampai tahun 2014 dan sampel yang digunakan
sebanyak 55 pekerja. Penelitian ini akan dilaksanakan di unit utilities PT.
PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balogan selama bulan Maret-Juni
tahun 2014.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran adalah menurunnya atau memburuknya fungsi
pendengaran. Tuli adalah memburuknya fungsi pendengaran yang lebih parah.
Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh masalah mekanis didalam liang
telinga atau telinga tengah yang menghalangi konduksi suara atau karena
rusaknya telinga dalam. (Billy, 2003). Sedangkan menurut Jenny Basharudin,
dkk (2007) gangguan pendengaran dapat diakibatkan dari gangguan atau
kerusakan pada salah satu telinga, gangguan pendengaran telinga saat bayi dan
anak-anak, gangguan pendengaran akibat bising dan gangguan pendengaran
akibat obat ototoksik.
Suara dapat mencapai telinga bagian dalam melalui hantaran udara ( Air
Conduction) dan hantaran tulang (Bone Conduction). Suara yang masuk dari
telinga luar kemudian melalui tulang pendengaran yang berada ditelinga bagian
tengah hingga mencapai cairan ditelinga bagian dalam, disebut sebagai hantaran
udara. Sedangkan hantaran tulang adalah suara yang mencapai telinga bagian
dalam melalui tulang tengkorak. Ada tiga kategori gangguan pendengaran, yaitu
gangguan pendengaran konduktif, gangguan pendengaran sensori-neural dan
gangguan pendengaran campuran (Widana, I Dewa Ketut Kerta, 2006).
11
12
2.1.1 Gangguan Pendengaran Konduktif (Widana, I Dewa Ketut Kerta, 2006).
Gangguan pendengaran hantaran udara (conductive hearing loss), dimana
hasil test menunjukkan gangguan pada hantaran udara tetapi pada hantaran
tulang normal. Hal ini memberi ganbaran bahwa tidak terdapat kerusakan pada
struktur telinga bagian dalam. Gangguan pendengaran konduktif disebabkan oleh
adanya kelainan yang terdapat pada telinga bagian luar atau bagian tengah.
Kelainan ditelinga luar yang menyebabkan gangguan pendengaran konduktif
adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta
dan osteoma liang telinga. Kelainan ditelinga tengah yang menyebabkan
gangguan pendengaran konduktif adalah sumbatan tuba eustakhius, otitis media,
timpanosklerosis dan dislokasi tulang pendengaran
2.1.2 Gangguan Pendengaran Sensori-neural
Gangguan pendengaran saraf (sensori-neural hearing loss), dimana hasil
test menunjukkan gangguan pada hantaran udara maupun hantaran tulang. Hal
ini memberikan gambaran bahwa adanya kerusakan pada struktur telinga bagian
dalam. Beberapa penyebab yang dapat mengakibatkan tejadinya gangguan
pendengaran saraf yaitu karena terpajan oleh tingkat kebisingan yang tinggi,
trauma pada kepala dan telinga, terpajan suara ledakan, penyakit yang
disebabkan oleh virus sepert mumps, rubella, diabetes, hipertensi dan obatobatan tertentu yang berefek pada pendengaran seperti streptomisin, aspirin dan
juga karena proses penuaan.
13
2.1.3
Gangguan Pendengaran Campuran
Gangguan pendengaran campuran yaitu suatu kondisi dimana antara
gangguan pendengaran konduktif dan gangguan pendengaran sensorineural yang
terjadi secara bersamaan. Gangguan pendengaran campuran disebabkan karena
kombinasi gangguan pendengaran konduktif dan gangguan pendengaran saraf,
berupa penyakit radang telinga tengah dengan kompilasi ketelinga dalam atau
merupakan gangguan pendengaran saraf dengan radang telinga tengah.
Menurut International Standard Organization (ISO), dalam Istantyo
(2011) derajat gangguan pendengaran karena kebisingan adalah sebagai berikut :
a. Pendengaran Normal
Jika peningkatan ambang dengar antara 0 - < 25 dB
b. Tuli Ringan
Jika peningkatan ambang dengar antara 26 - 40 dB.
c. Tuli Sedang
Jika peningkatan ambang dengar antara 41-60 dB.
d. Tuli Berat
Jika peningkatan ambang dengar antara 61 - 90 dB.
e. Tuli Sangat Berat
Jika peningkatan ambang dengar antara ≥ 90 dB.
14
2.2
Anatomi & Fisiologi Telinga
2.2.1
Anatomi Telinga
Gambar 2.1
Anatomi Telinga Manusia
2.2.2
Fisiologi Telinga
Telinga terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah
dan telinga dalam. Bagian luar dan tengah telinga menyalurkan
gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan untuk
memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam berisi dua
sistem sensorik yang berbeda yaitu: Koklea, yang mengandung reseptorreseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi implus-implus saraf,
sehingga kita dapat mendengar, dan aparatus vestibularis, yang penting
untuk sensasi keseimbangan (Lauralee sherwood, 2001).
15
2.2.2.1 Telinga Bagian Luar (Lauralee sherwood, 2001).
Telinga luar terdiri dari daun telinga (ear flap), liang
telinga (ear canal) yang panjangnya kurang lebih dua sentimeter
sampai dengan membran timpani (membrane tympanic).
2.2.2.2 Telinga Bagian Tengah
Teliga tengah (middle ear) terdapat tiga buah tulang yang
saling berhubungan (ossicular system) yaitu malleus, incus dan
stapes. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani,
maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes
terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.
2.2.2.3 Telinga Bagian Dalam
Telinga bagian dalam terdiri dari koklea (rumah siput)
yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri
dari tiga buah kanalis menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli. Skala vestibuli dan skala timpani berisi
cairan perilymph sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar
skala vestibuli (membran Reissner) dan dasar skala media
(membran basalis) terdapat organ korti yang merupakan organ
reseptor yang membangkitkan implus saraf sebagai respons
terhadap getaran membran basilar.
16
Daun telinga berfungsi menangkap gelombang tekanan
suara dan meneruskan gelombang tersebut ke gendang telinga.
Ketika gelombang tekanan suara mencapai gendang telinga, maka
gendang telinga akan bergetar. Getaran suara itu akan diteruskan
sampai ke telinga tengah. Getaran suara yang sampai pada tulangtulang tersebut akan diteruskan sampai ke telinga bagian dalam.
Suara yang sampai ke telinga bagian dalam akan diterima oleh
membran oval window. Membran ini meneruskan gelombang
suara ke dalam koklea, dimana di dalamnya terdapat cairan dan
25.000 sel-sel saraf. Selanjutnya gerakan fluida ini akan
menggetarkan ribuan sel berbentuk rambut halus (hair cells) yang
akan mengonversi getaran yang diterimanya menjadi implus bagi
saraf pendengaran. Oleh saraf pendengaran (audiory nerve),
implus tersebut akan dikirim ke otak untuk diterjemahkan menjadi
suara yang kita dengar (Bridger R.S, 1995).
2.3 Mekanisme Pendengaran (Pearce, 2002).
Suara ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang
suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak
melalui rongga telinga luar yang menyebabkan membrana tympani bergetar.
Getaran tersebut selanjutnya diteruskan menuju inkus dan stapes, melalui malleus
yang terikat pada membrana itu. Karena gerakan-gerakan yang timbul pada setiap
tulang ini sendiri, maka tulang-tulang itu memperbesar getaran. Yang kemudian
17
disalurkan melalui fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe
dialihkan melalui membran menuju endolimfe dalam saluran kokhlea dan
rangsangan mencapai ujung-ujung akhir saraf dalam organ corti, untuk kemudian
diantarkan menuju otak oleh nervus auditorius.
Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak
enak, hingar bingar atau musikal. Istilah-istilah ini digunakan dalam artinya yang
seluas-luasnya. Gelombang suara yang tidak teratur menghasilkan keributan atau
kehingarbingaran, sementara gelombang suara berirama teratur menghasilkan
bunyi musikal enak. Suara merambat dengan kecepatan 343 m/detik dalam udara
tenang pada suhu 15, 50 C.
Menurut Budiono (2003) apabila telinga memperoleh rangsang suara, maka
sesuai dengan besarnya rangsangan akan terjadi proses:
a. Adaptasi, yang berlangsung 0-3 menit, yakni berupa kenaikan ambang dengar
sesaat. Jika rangsangan berhenti, ambang dengar akan kembali seperti semula.
b. Pergeseran ambang dengar sementara (temporary threshold shift), sebagai
kelanjutan proses adaptasi akibat rangsang suara yang lebih kuat dan dapat
dibedakan dalam dua tahap yakni kelelahan (fatigue) dan tuli sementara
terhadap rangsangan (temporary stimulation deafness). Kelelahan tersebut
akan pulih kembali secara lambat dan akan semakin bertambah lambat lagi
jika tingkat kelelahan semakin tinggi. Sedang tuli sementara akibat rangsang
suara terjadi akibat pengaruh mekanisme vibrasi pada koklea yang mengalami
rangsang suara dengan intensitas tinggi dan berlangsung lama.
18
c. Pergeseran ambang dengar yang persisten (persistent treshold shift), yang
masih ada setelah 40 jam rangsang suara berhenti.
d. Pergeseran ambang suara yang menetap (permanent threshold shift),
meskipun rangsang suara sudah tidak ada. Pada keadaan ini sudah terjadi
kelainan patologis yang permanen pada koklea, umumnya pada kasus trauma
akustik dan akibat kebisingan di tempat kerja.
Proses pendengaran sangatlah menakjubkan. Getaran sumber bunyi
dihantarkan melalui media udara menggetarkan gendang dan tulang-tulang kecil
yang
terletak
dalam
rongga
telinga
bagian
tengah,
yang
kemudian
menghantarkan getaran ke dalam suatu sistem cairan yang terletak dalam putaran
rongga bangunan menyerupai rumah siput atau lebih dikenal sebagai koklea,
yang terletak bersebelahan dengan alat keseimbangan di dalam tulang temporalis.
Di dalam telinga bagian tengah juga terdapat sebuah otot terkecil dalam
tubuh manusia, yaitu tensor timpani, yang bertugas membuat tegang rangkaian
tulang pendengaran pada saat bunyi yang mencapai sistem pendengaran kita
berkekuatan lebih dari 70 dB, untuk meredam getaran yang mencapai sel-sel
rambut reseptor pendengaran manusia. Namun, otot ini yang bekerja terus
menerus juga tak mampu bertahan pada keadaan bising yang terlalu kuat dan
kontinu, dan terjadilah stimulasi berlebih yang merusak fungsi sel-sel rambut.
Kerusakan sel rambut dapat bersifat sementara saja pada awalnya sehingga
dapat terjadi ketulian sementara. Akan tetapi, kemudian bila terjadi rangsangan
terus menerus, terjadi kerusakan permanen, sel rambut berkurang sampai
menghilang dan terjadi ketulian menetap.
19
Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris dengan mengenai
nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam frekuensi 3000 sampai 6000 Hz.
Sering kali juga terjadi penurunan tajam (dip) hanya pada frekuensi 4000 Hz,
yang sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena yang
terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada percakapan manusia, sering kali
pada awalnya sama sekali tidak dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu
jelas gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama (Djelantik, 2004).
2.4
Dampak Gangguan Pendengaran
Dampak gangguan pendengaran pada manusia secara umum dapat
dibedakan menjadi dua golongan yaitu dampak auditorial atau Auditory Effects
dan dampak non-auditorial atau Non Auditory Effects (National Safety Council,
1975).
2.4.1 Dampak Auditorial Akibat Bising
Dampak auditori akibat bising adalah terjadinya gangguan
pendengaran. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced
Hearing Lose) adalah gangguan pendengaran yang berkembang secara
perlahan dalam jangka waktu yang cukup lama yang diakibatkan karena
terpajan kebisingan yang keras secara terus menerus atau terputus-putus
(ACOEM, 2002).
Ciri khas NIHL, menurut The American College of Occupational
and Environmental Medicine (ACOEM) antara lain sebagai berikut :
20
a. Kerusakan bersifat sensori-neural, mempengaruhi sel-sel rambut
telinga bagian dalam.
b. Gangguan pendengaran terjadi secara bilateral.
c. Pajanan
kebisingan
tunggal
tidak
menyebabkan
gangguan
pendengaran yang lebih besar dari pada 75 dB pada frekuensi tinggi
dan 40 dB pada frekuensi rendah.
d. Pada umumnya, pajanan kebisingan yang terus menerus selama
beberapa tahun lebih merusak dari pada pajanan kebisingan terputusputus. Akan tetapi, pajanan kebisingan pada tingkat tinggi walau
sesaat dapat mengakibatkan gangguan pendengaran yang bermakna.
Dampak Auditorial akibat bising, kemungkinan dapat berupa :
a. Trauma Akustik
Trauma akustik merupakan luka pada elemen sensori-neural
ditelinga bagian dalam. Akibat terpajan bising tinggi atau kuat yang
tiba-tiba seperti ledakan bom atau terjadi trauma langsung pada
kepala atau telinga menyebabkan robeknya membran timpani atau
terjadi dislokasi serta kerusakan tulang-tulang pendengaran disebut
denga trauma akustik (National Safety Council, 1975).
b. Perubahan Ambang Pendengaran Sementara atau Temporary
Threshold Shift (TTS)
Akibat terpajan bising ditempat kerja, mula-mula pekerja
merasa terganggu, tetapi lama kelamaan akan menjadi terbiasa dan
21
suara bising yang tinggi tidak lagi dirasakan, artinya bahwa pekerja
tersebut telah mengalami gangguan pendengaran. Setelah pekerja
tersebut keluar dari tempat kerja yang bising, maka pendengarannya
sedikit demi sedikit akan pulih seperti semula. Hal tersebut berarti
gangguan pendengaran yang dialami bersifat sementara. Waktu yang
dibutuhkan untuk pemulihan sangat tergantung pada tingkat
kebisingan, lama pajanan, jenis bising, serta kerentanan atau
kepekaan seseorang. Biasanya dibutuhkan waktu beberapa menit
sampa paling lama 10 (sepuluh ) hari. Bila penurunan ambang
pendengaran kurang dari 30 dB, maka pemulihan biasanya terjadi
setelah 16 (enam belas) jam bebas dari bising (Bashiruddin, 2001).
c. Perubahan Ambang Pendengaran Menetap atau Permanent Threshold
Shift (PTS).
Pekerja
yang
mengalami
perubahan
ambang
dengar
sementara, terus berlanjut terpajan oleh bising sebelum pemulihan
secara bertahap terjadi, maka akan terjadi sisa gangguan pendengaran.
Jika hal tersebut berlangsung secara berulang-ulang dan menahun
maka mengakibatkan gangguan pendengaran yang bersifat menetap.
Gangguan pendengaran menetap mula-mula terjadi pada frekuensi
4000 Hz, kemudian berkembang pada frekuensi 2000, 1000 dan 500
Hz yang merupakan frekuensi pembicaraan manusia. Jika ini terjadi
akibatnya pekerja akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi
(National Safety Council, 1975).
22
2.4.2 Dampak Non-Auditorial Akibat Bising
Akibat pajanan kebsingan, pada seluruh menit pertama tubuh
manusia akan melakukan penyesuaian fungsi biologi dengan cara
meningkatkan denyut jantung, yang akan mengakibatkan terjadinya nyeri
atau sakit kepala, peningkatan tekanan darah dan frekuensi pernapasan.
Selain itu hormon adrenalin dan cortisol juga meningkat sehingga
meningkatkan kadar gula dalam dan lemak dalam darah. Dapat terjadinya
berbagai macam stres seperti mudah marah, penurunan tingkat
konsentrasi, kelelahan, depresi dan gangguan tidur. Juga terjadi
peningkatan peristaltik sistem gastrointestinal. Beberapa hasil penelitian
telah membuktikan bahwa kebisingan diatas 55 dB selain terasa
mengganggu juga mengakibatkan penurunan kinerja (Berglund, 1996).
Dampak
lain
akibat
pajanan
bising
adalah
meningkatnya
abseinteisme, penurunan tingkat produktifitas karena kelelahan dan
penurunan konsentrasi, peningkatan biaya produksi, penurunan kualitas
kerja,
produksi dan
gangguan
komunikasi
(Jeyaratman,
1996).
Kebisingan juga dapat berdampak terjadinya gangguan kenyamanan
(annoyance) bagi orang yang terpajan. Berbagai reaksi psikologis akan
timbul pada orang yang mengalami gangguan bising, biasanya reaksi
yang timbul bergantung pada status fisik, perilaku dan motifasi pribadi
seseorang (National Safety Council, 1975).
Sulit untuk memprediksi ganguan kenyamanan karena persepsi
dalam penerimaan bising seseorang dengan yang lainnya berbeda,
23
seorang mungkin dapat menikmati bising sedangkan orang lainnya tidak
menghendaki. Umumnya, suara terputus-putus (intermuttent), intensitas
dan frekuensi bising yang tinggi sangat mengganggu.
2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran atau Pemeriksaan Audiometri
Berkurangnya pendengaran akibat bising terjadi secara perlahan-lahan,
bertahap dan tanpa terasa sehingga upaya pemeriksaan ketajaman pendengaran
perlu dilakukan secara berkala. Pemeriksaan Audiometri merupakan suatu
pemeriksaan untuk menilai kemampuan pendengaran seseorang (PT.Pertamina
Persero RU VI Balongan, 2009). Audiometri berfungsi untuk mengukur nilai
ambang pendengaran yaitu suara yang paling lemah yang masih dapat didengar
telinga. Alat untuk melakukan pemeriksaan audiometri digunakan Audiometer.
Tujuan dari pemeriksaan pendengaran ditempat kerja adalah untuk
mendapatkan status fungsi pendengaran karyawan, mengidentifikasi adanya
gangguan fungsi pendengaran, alat bantu untuk mendiagnosa, sebagai panduan
penatalaksanaan terhadap pasien dengan gangguan pendengaran, untuk
memonitor progresivitas penurunan fungsi pendengaran karyawan selama
bekerja di perusahaan dan untuk menerapkan program konservasi pendengaran
(National Safety Council, 1975).
Pemeriksaan audiometri sebaiknya dilakukan pada : (National Safety
Council, 1975).
a. Pemeriksaan sebelum bekerja (Pre-Employment Examination)
24
Hasil audiometri ini berguna untuk mengevaluasi tingkat pendengaran
karyawan sebelum bekerja, sebagai data dasar (Baseline Audiometry), untuk
menilai adanya penurunan fungsi pendengaran atau menentukan ketulian
akibat kerja
b. Pemeriksaan Berkala (Periodic Examination)
Dilakukan setiap tahun atau dua tahun untuk memonitor penurunan
fungsi pendengaran pada karyawan yang bekerja di area bising.
c.
Pemeriksaaan khusus pada waktu tertentu
Pemeriksaan ini dilakukan bila ditemukan indikasi ganguan
pendengaran pada pemeriksaan kesehatan berkala
d. Pemeriksaan Pada Akhir Masa Kerja
Pemeriksaan yang dilakukan pada akhir masa kerja karyawan, untuk
menilai tingkat penurunan atau hilang fungsi pendengaran yang mungkin
timbul selama bekerja. Hal ini berhubungan dengan masalah kompensasi.
2.6 Pengendalian Kebisingaan
2.6.1
Eliminasi
Eliminasi
merupakan
upaya
pengendalian
dengan
cara
menghilangkan bahaya yang ada di lingkungan kerja.
2.6.2
Substitusi
Substitusi merupakan upaya pengendalian dengan cara mengganti
proses berbahaya dengan proses yang tidak berbahaya. Substitusi untuk
pengendalian kebisingan dapat juga berupa :
25
a. Substitusi Mesin
Yaitu dengan cara mengganti mesin lain yang lebih tidak
menimbulkan bising. Dalam menerapkan metode substitusi mesin ini
harus dipertimbangkan pengeluaran dana yang harus dikeluarkan
perusahaan dan apakah mesin yang baru tidak menimbulkan bahaya
lain yang berbahaya.
b. Substitusi Proses
Yaitu dengan cara mengganti proses lain yang lebih baik tidak
menimbulkan bising. Substitusi proses ini harus mempertimbangkan
apakah proses yang baru dapat teruji dengan bunyi bising yang lebih
rendah dibandingkan dengan proses yang lama dan apakah dengan
proses yang baru ini tidak merubah kualitas dari hasil akhir produksi.
(Chandra, 2006)
2.6.3
Pengendalian Teknik (Engineering Control)
Pengendalian teknik merupakan suatu pengendalian bahaya
dengan melakukan modifikasi pada faktor lingkungan pekerja selain
pekerja. Pengendalian ini bertujuan untuk mereduksi tingkat tekanan
suara pada sumber bising (Noise Source), transmisi suara (Sound Path)
dan pada si pendengarnya (Receiver), dengan cara-cara sebagai berikut :
26
2.6.3.1 Pengendalian pada sumber bunyi (Noise Source)
Menurut Heru Subaris dan Haryono (2007), pengendalian
kebisingan pada sumber bunyi dapat dilakukan dengan cara
berikut ini :
a. Meredam bising atau getaran yang ada.
b. Mengurangi luas permukaan yang bergetar.
c. Mengatur kembali tempat sumber
d. Mengatur waktu operasi mesin.
e. Pengecilan atau pengurangan volume.
f. Pembatasan lalu lintas dan lainnya.
Sedangkan menurut Chandra (2006), pengendalian pada
sumber kebisingan dapat juga dilakukan dengan cara :
a.
Melakukan modifikasi mesin atau bangunan.
b.
Mengganti mesin dan menyusun perencanaan bangunan baru.
c.
Bagian-bagian bergerak dari seluruh mesin, perlengkapan
dan peralatan senantiasa diberikan minyak pelumas.
2.6.3.2 Pengendalian pada jalanya transmisi (Sound Path)
Pengendalian kebisingan pada jalannya transmisi (Sound
Path) menurut Heru Subaris dan Haryono (2007) dapat dilakukan
dengan cara :
27
a. Memperbesar jarak sumber bising dengan pekerjaan atau
pemukiman.
b. Memasang peredam suara pada dinding dan langit-langit.
c. Membuat ruang kontrol agar dapat dipergunakan mengontrol
pekerjaan dari ruang terpisah.
d. Bila sumber bising adalah lalu lintas, bisa dialkukan
pembatasan jalan dengan rumah atau gedung atau rumah sakit
dan
lain-lain.
Dengan
penanaman
pohon,
pembuatan
gundukan tanah, pembuatan tembok atau pagar, pembuatan
jalur hijau, daerah penyangga dan lainnya.
2.6.3.3 Pengendalian Pada Penerima Suara (Receiver)
Pengendalian kebisingan pada penerima suara (Receiver)
menurut Heru Subaris dan Haryono (2007) dapat dilakukan
dengan cara :
a. Memberi alat pelindung diri seperti ear plug, ear muff dan
helmet.
b. Memberikan
latihan
keselamatan kerja,
dan
pendidikan
kesehatan
dan
khususnya tentang kebisingan dan
pengaruhnya.
c. Tindakan pengamanan juga dapat dilakukan dengan cara
memindahkan tenaga kerja yang terkena bising.
28
2.6.4
Pengendalian Administratif (Administratif Control)
Pengendalian administratif merupakan suatu pengendalian bahaya
dengan cara melakukan modifikasi pada interaksi pekerja dengan
lingkungan kerja. Penerapan pengendalian administrstif merupakan upaya
yang berdasarkan prilaku manusia, yakni upaya mengurangi pemaparan
bahaya yang didukung perilaku untuk bekerja selamat dan sehat.
Pengendalian dengan cara ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain :
a. Pengaturan waktu kerja yaitu dengan di buat sistem shift.
b. Pengurangan waktu bekerja di tempat bising.
c. Pemeriksaan kesehatan pekerja.
d. Monitoring area pekerja atau pekerja.
e. Memberikan latihan dan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja,
khususnya tentang kebisingan dan pengaruhnya.
f. Memasang tanda-tanda atau peringatan keselamatan (Safety Sign).
g. Tindakan pengamanan juga dapat dilakukan dengan cara
memindahkan tenaga kerja yang terkena bising.
2.6.5
Alat Pelindung Telinga (APT)
Bekerja sebagai penghalang bising pada telinga. Alat pelindung
telinga ini umumnya dibagi menjadi dua jenis yaitu sumbat teling (ear
plug) dan tutup telinga (ear muff).
29
Setiap alat pelindung telinga memiliki kemampuan tingkat
meredam kebisingan yang berbeda, tergantung dari jenis dan kebutuhan.
Dengan adanya perbedaan kemampuan meredam kebisingan tersebut ada
perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan tingkat
meredam kebisingan suatu alat pelindung telinga dapat digunakan
perhitungan sebagai berikut :
dB (A)’ = dB (A) - (NRR-7)
Keterangan :
dB (A)’
: standar kebisingan
dB (A)
: tingkat kebisingan di area kerja
NRR
: kemampuan mereduksi kebisingan dari suatu ear
protector
2.6.5.1 Sumbat Telinga (ear plug) Menurut Beranek, LL, 1992
Ukuran, bentuk dan posisi saluran telinga untuk tiap-tiap
individu berbeda, bahkan antara kedua telinga dari individu yang
sama berlainan pula. Oleh karena itu, sumbat telinga harus dipilih
sesuai bentuk, ukuran dan posisi saluran teling pemakainya.
Diameter saluran telinga berkisar antara 3 – 14 mm, tetapi
paling besar antara 5 – 11 mm. Umumnya bentuk saluran telinga
adalah lonjong, tetapi beberapa diantaranya berbentuk bulat.
30
Saluran manusia umumnya tidak lurus, walaupun sebagian kecil
dapat diketemukan berbentuk lurus. Penyebaran ukuran saluran
telinga laki-laki dalam hubungannya dengan ukuran-ukuran alat
sumbat telinga (ear plug) kurang lebih sebagai berikut : 5 %
sangat kecil, 15 % kecil, 30 % sedang, 30 % besar, 15 % sangat
besar dari sumbat telinga yang disuplai oleh pabrik-pabrik
pembuatnya.
Sumbat telinga dapat dibuat dari kapas, malam (wax),
plastik karet alami dan sintetik. Menurut cara pemakaiannya,
dibedakan jenis sumbat telinga yang hanya menyumbat lubang
masuk telinga luar (semi insert type) dan yang menutupi seluruh
telinga luar (insert type).
Menurut
cara
penggunaanya,
dibedakan
menjadi
“disposible ear plug” yaitu sumbat telinga yang digunakan sekali
pakai saja kemudian dibuang, misalnya sumbat telinga dari kapas
dan malam. Dan “non-disposible ear plug” yaitu sumbat telinga
yang di gunakan untuk waktu yang lama yang dibuat dari karet
atau plastik yang dicetak.
Keuntungan dan kerugian sumbat telinga (ear plug) adalah
sebagai berikut :
1. Keuntungan
a. Mudah dibawa karena ukuranya yang kecil.
31
b. Relatif lebih nyaman dipakai ditempat kerja yang panas.
c. Tidak mebatasi gerakan kepala
d. Harga relatif murah dari pada tutup telinga (ear muff).
e. Dapat dipakai dengan efektif tanpa dipengaruhi oleh
pemakaian kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut.
2. Kerugian
a. Memerlukan waktu yang lebih lama dari tutup telinga untuk
pemasangan yang tepat.
b. Tingkat proteksinya lebih kecil dari tutup telinga.
c. Sulit untuk memonitor tenaga kerja apakah ia memakai atau
tidak. Oleh karena pemakaiannya sulit dilihat oleh pengawas.
d. Hanya dapat dipakai oleh saluran telinga yang sehat.
e. Bila tangan yang digunakan untuk memasang sumbat telinga
kotor, maka saluran telinga akan mudah terkena infeksi karena
iritasi.
2.6.5.2 Tutup Telinga (ear muff) Menurut Beranek, LL, 1992
Tutup telinga (ear muff) terdiri dari dua buah tudung untuk
tutup telinga, dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk
menyerap suar berfrekuensi tinggi. Pada pemakaian yang lama,
sering ditemukan efektifitas telinga menurun yang disebabkan
karena bantalannya mengeras dan mengerut akibat reaksi bahan
32
bantalan dengan minyak kulit dan keringat. Reaksi ini juga dapat
terjadi pada sumbat telinga, sehingga pada pemilihan sumbat
telinga disarankan agar memilih jenis yang berukuran agak besar.
Keuntungan dan kerugian tutup telinga (ear muff) adalah
sebagai berikut:
1. Keuntungan
a. Atenuasi suara oleh ear muff umumnya lebih besar dari ear
plug.
b. Satu ukuran ear muff dapat digunakan oleh beberapa orang
dengan ukuran telinga yang berbeda.
c. Mudah dimonitor pemakainnya oleh pengawas.
d. Dapat dipakai pada telinga yang terkena infeksi ringan.
e. Tidak mudah hilang (terselip).
2. Kerugian
a. Tidak nyaman dipakai di tempat kerja yang panas
b. Efektifitas dan kenyaman pemakanya dipengaruhi pemakaian
kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut yang
menutupi telinga.
c. Relatif tidak mudah dibawa atau disimpan.
d. Dapat membatasi gerakan kepala pada ruang kerja yang agak
sempit.
e. Harganya relatif lebih mahal dari ear plug.
33
f. Pada penggunaanya yang terlalu sering atau bila pita
penghubungnya yang berpegas sering ditekuk pemakainya,
daya atenuasinya akan berkurang.
Seorang yang pendengarannya normal bila berada
ditempat kerja yang bising (intensitas kebisingan 85 dB – 105
dB, kebisingan kontinu) dikatakan baginya untuk mengerti
pembicaraan orang lain bila ia memakai Alat Pelindung
Telinga.
Tetapi bila orang tersebut
telah kehilangan
pendengarannya pada suara frekuensi tinggi, atau bila tingkat
kebisingan tempat kerja kurang dari 80 dB, maka pemakaian
Alat Pelindung Telinga ditempat kerja dengan kebisingan
yang terputus-putus yang intensitasnya 85 dB – 105 dB
komunikasi dikatakan lebih mudah pada saat suara mengeras
dan komunikasi menjadi terganggu pada saat suara melemah
(A. Siswanto, 1983).
2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran
Menurut Rangga Adi Leksono (2009) dalam poernomo (1996), banyak hal
yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain :
Intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, jenis kebisingan, lamanya pajanan
perhari,
masa kerja, usia pekerja dan kerentanan individu (individual
susceptibility). Kemudian Buchari (2007) mengemukakan bahwa faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap ketulian akibat kerja (occupational hearing loss) antara
34
lain intensitas kebisingan, penyakit telinga sebelum bekerja, frekuensi kebisingan,
usia pekerja, masa kerja, jarak dari sumber suara dan gaya hidup diluar pekerjaan.
Kemudian Basharudin dan Soetirto (2007) menambahkan bahwa banyak
hal yang mempengaruhi gangguan pendengaran akibat bising antara lain intenitas
kebisingan, frekuensi kebisingan, lama paparan dan penggunaan obat ototoksik.
2.7.1
Dosis Kebisingan
Semakin besar dosis bising yang diterima oleh seorang pekerja,
maka semakin besar pula potensi terjadinya gangguan pendengaran. Nilai
ambang batas adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima
tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan
dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau
40 jam seminggu (KEPMENAKER No.Kep-51 MEN/1999).
NAB kebisingan di tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi
yang merupakan nilai rata-rata, yang masih dapat diterima tenaga kerja
tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu
kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu
(A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003).
Berikut adalah pedoman pemaparan terhadap Nilai Ambang Batas
atau NAB Kebisingan berdasarkan lampiran II Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. Kep-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika Di Tempat Kerja :
35
Tabel 2.1
Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Pemajanan Per Hari
Intensitas Kebisingan dalam dB
8,00 jam
85
4,00 jam
88
2,00 jam
91
1,00 jam
94
30,00 menit
97
15,00 menit
100
7,50 menit
103
3,75 menit
106
1,88 menit
109
0,94 menit
112
28,12 detik
115
14,06 detik
118
7,03 detik
121
3,52 detik
124
1,76 detik
130
0,88 detik
133
0,44 detik
136
0,22 detik
139
0,11 detik
Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB walaupun hanya sesaat
Sumber : Kepmenaker No. 51/MEN/1999
Berikut Keptusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48/1996 tentang Nilai
Baku Tingkat Kebisingan di indonesia.
Tabel 2.2
Nilai Ambang Batas Kebisingan
No
A
Peruntukan
Kawasan
/
Lingkungan Tingkat Kebisingan dB
Kesehatan
Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan pemukiman
55
2. Perdagangan dan jasa
70
3. Perkantoran dan perdagangan
65
4. Ruang terbuka hijau
50
5. Industri
70
6. Pemerintahan dan fasilitas umum
60
7. Rekreasi
70
8. Khusus :
36




B
Bandar udara
Stasiun Kereta api
Pelabuhan
Cagar budaya
Lingkungan Kegiatan
1. Rumah sakit atau sejenisnya
2. Sekolah atau sejenisnya
3. Rumah ibadah atau sejenisnya
70
60
70
60
55
55
55
Sumber : Kepmen LH No. 48/1996
Adapun waktu paparan yang diizinkan akibat intensitas kebisingan dapat
dihitung dengan rumus berikut :
23
L-85
T=
2
3
Keterangan 2:
T
= Lama paparan kebisingan (Jam)
L
= Tingkat kebisingan
85 dBA
= Konstanta (NAB kebisingan per 8 jam)
2
= exchange rate
Dosis kebisingan dapat dilihat dari hasil pengukuran tingkat kebisingan
dengan waktu paparan kebisingan. Perhitungan dosis kebisingan dapat
dihitung dengan rumus dibawah ini:
C1 + C2 + C n
D=
T1 + T2 + Tn
37
Keterangan :
D
= Jumlah dosis kebisingan (%)
T
= Lama paparan kebisingan (Jam)
C
= Konsentrasi kebisingan (Jam)
Dari hasil penelitian yang dilakukan Srisantyorini (2002) diketahui
bahwa terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan terjadinya
penurunan pendengaran setelah bekerja dan lingkungan kerja yang sangat
bising berpeluang memberikan risiko terhadap terjadinya penurunan
pendengaran 5 kali dibandingkan dengan lingkungan kerja yang tidak bising.
Kemudian pada studi tentang hubungan antara kebisingan dengan ganggguan
pendengaran pekerja di Petrochina pada hasil analisis hubungan antara
intensitas kebisingan dengan status pendengaran diperoleh ada 2 orang dari 5
orang (28,6%) pekerja dengan intensitas kebisingan lebih dari 85 dBA
mempunyai status pendengaran tidak normal. Pekerja dengan intensitas
kebisingan ≤ 85 dBA ada sebanyak 18 orang dari 30 orang (37,5%) yang
mempunyai status pendengaran tidak normal (Herman, 2000).
2.7.2
Masa Kerja
Semakin lama masa kerja sesorang pekerja, maka semakin besar
pula risiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran. Menurut
(National Safety Council, 1975), Gangguan pendengaran terjadi 5 – 10
38
tahun setelah pekerja bekerja di tempat bising. Menick, 1998,
menambahkan semakin lama pajanan kebisingan setiap tahunnya maka
semakin besar kerusakan yang terjadi pada pendengaran. Sedangkan
menurut Encyclopedia of Occupational Health and Safety, adanya
gangguan pendengaran karena kebisingan akan terlihat pada seseorang
sesudah ia bekerja dilingkungan kerja yang bising selama kurang lebih 3
– 4 tahun (Stellman, 1998).
Kemudian dari hasil penelitian diketahui bahwa masa kerja
mempunyai pengaruh yang bermakna dengan gangguan pendengaran.
Gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang
mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun. Pekerja dengan masa kerja
lebih dari 10 tahun mempunyai risiko 5 kali lebih besar dibandingkan
pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 10 tahun (Abdul
Baktiansyah, 2004).
2.7.3
Usia Pekerja
Menurut (Nasri, 1997) sensitivitas pendengaran seseorang akan
berkurang dengan bertambahnya usia, semakin tua usia maka semakin
besar terjadinya gangguan pendengaran. Pada usia tua relatif akan
mengalami penurunan kepekaan rangsangan suara karena adanya faktor
proses penuaan (Presbycusis) yaitu proses degeneratif organ pendengaran
yang umumnya dimulai sejak usia 40 tahun ke atas. Biasanya, sensitivitas
39
pendengaran seseorang akan berkurang dengan bertambahnya umur
(Gloria dan Nixon, 1962 dalam WHO, 1980).
Kemudian Achmadi (1994) berpendapat bahwa orang yang
berusia 40 tahun akan lebih mudah mengalami gangguan pendengaran
akibat bising.
Sedangkan menurut Iskandar (1996) pengaruh
usia terhadap terjadinya gangguan pendengaran terlihat pada usia 30
tahun.
2.7.4
Kebiasaan Merokok
Merokok dapat menyebabkan menurunnya fungsi pendengaran
melalui efek dari nikotin dan CO atau karbonmonoksida yang
mengganggu peredaran darah manusia. Nikotin merupakan zat yang yang
bersifat ototoksik secara langsung merusak sel saraf manusia pada organ
dalam telinga yang bernama koklea, sedangkan karbonmonoksida
menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan
antara CO dan haemoglobin), dimana akibat terbentuknya ikatan tersebut,
hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen. Akibatnya ialah
terjadinya gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea, dan
menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek lainnya adalah spasme
pembuluh darah, kekentalan darah, atau juga melalui terjadinya
arteriosklerosis (Ditalia, 2011)
Beberapa penelitian klinis membuktikan bahwa merokok menjadi
salah satu faktor pencetus terjadinya gangguan pendengaran, suatu
40
penelitian pada tahun 2006 yang melibatkan lebih dari 1.500 remaja
Amerika Serikat yang berusia 12 – 19 tahun menunjukkan bahwa
merokok pasif berdampak langsung merusak telinga anak-anak muda.
Semakin besar paparan, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Pada
beberapa kasus, keruakan tersebut cukup mengganggu kemampuan
seorang remaja untuk memahami pembicaraan (Mc Geaw-Hill, 2008).
2.7.5
Penggunaan Obat Ototoksik
Penggunaan obat-obatan lebih dari 14 hari baik diminum maupun
melalui suntikan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Obatobatan yang mempengaruhi organ pendengaran pada umumnya adalah
jenis antibiotik aminoglikosid yang mempunyai efek ototoksik. Obatobatan
tersebut
adalah
neomisin,
kanamisin,
amikasin
dan
dihidrostreptomisin yang berpengaruh pada komponen akustik (Gan,
1999).
Gangguan akustik ini tidak selalu terjadi pada kedua telinga
sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap gelombang frekuensi tinggi
akan berkurang dan tidak disadari. Gejala dini berupa tinitus bernada
tinggi
dapat
bertahan
sampai
dua
minggu
setelah
pemberian
aminoglikosid dihentikan. Patologi kerusakan akustik terutama berupa
degenerasi berat sel rambut organ corti mulai di bagian basilar menjalar
ke apeks (Gan, 1999).
41
Gangguan akustik akibat streptomisin bila terapi lebih dari satu
minggu, gentamisin, tobramisin dan amikasin tergantung dosis dan faktor
lain. Neomisin paling mudah menyebabkan tuli saraf, dan amikasin
menyebabkan gangguan pendengaran terutama bila pengobatan lebih dari
14 hari (Gan, 1999).
2.7.6
Riwayat Penyakit Telinga
1)
Otitis Media
Yaitu suatu peradangan telinga tengah yang terjadi akibat
infeksi
bakteri
Streptococcus
pneumoniae,
Haemopilus
influenzae, atau Staphylococcus aureus. Otitis media juga dapat
timbul akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa) yang biasanya
diobati dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi (otitis media
serosa) yang dapat diobati dengan antihistamin dengan atau tanpa
antibiotik (Corwin, 2000).
Peradangan telinga tengah terjadi apabila tuba eustakhius
yang secara normal mengalirkan sekresi telinga tengah ke
tenggorokan tersumbat. Hal ini menyebabkan penimbunan sekresi
telinga tengah. Sewaktu tuba tersebut membuka kembali, tekanan
di telinga yang mengalami kongesti tersebut dapat menarik
sekresi hidung yang tercemar melalui tuba eustakhius untuk
masuk ke telinga tengah sehingga terjadi infeksi telinga tengah.
Infeksi telinga tengah yang terjadi berulang-ulang dapat
42
menyebabkan pembentukan jaringan parut di gendang telinga dan
hilangnya pendengaran secara permanen (Corwin, 2000).
2)
Tinnitus
Tinnitus adalah suara berdenging di satu atau kedua
telinga. Tinnitus dapat timbul pada penimbunan kotoran telinga
atau presbiakusis, kelebihan aspirin dan infeksi telinga (Corwin,
2000).
2.7.7
Pemakaian Alat Pelindung Telinga
Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang
dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama
kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga
bagian dalam), maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat
bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga
bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam
(Sasongko, 2000).
Alat pelindung telinga berupa tutup telinga (Ear Muff) lebih efektif
daripada tipe sumbat telinga (Ear Plug), karena dapat mengurangi
intensitas suara hingga 20 s/d 30 dB. Namun pelindung telinga tipe Ear
Muff kurang efektif dipakai untuk orang yang berkacamata dan bertopi
keras, agak berat dan panas dibanding pelindung telinga tipe Ear Plug
(Budiono, 2003).
43
2.8
Kerangka Teori
Dosis Kebisingan
Masa Kerja
Usia Pekerja
Kebiasaan Merokok
Gangguan Pendengaran
Penggunaan Obat Ototoksik
Riwayat Penyakit Telinga
Pemakaian Alat
Pelindung Telinga
Sumber : Modifikasi Buchari (2007) ; Rangga Adi Leksono (2009) ; Basharudin dan
Soetirto (2007).
Bagan 2.1 Kerangka Teori
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian ini untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan
gangguan pendengaran pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero)
Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. Variabel independen yang di
teliti adalah dosis kebisingan, masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan
pemakaian APT. Untuk variabel penggunaan obat ototoksik dan riwayat penyakit
telinga tidak diteliti dikarenakan harus melewati serangkaian fase uji klinis yang
kompleks, seperti pemeriksaan penunjang (pemeriksaan darah, radiologi atau ct
scan), dan dikhawatirkan terjadi bias data jika dilakukan recall atau wawancara
tanpa didukung data medical check up yang valid.
Dosis Kebisingan
Masa Kerja
Usia Pekerja
Gangguan Pendengaran
Kebiasaan Merokok
Pemakaian Alat Pelindung
Telinga
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
44
45
3.2
Variabel
Definisi Operasional
Definisi Operasional
Gangguan
adalah
berkurangnya
atau
Pendengaran
hilangnya pendengaran seseorang

Cara Ukur
Alat Ukur
Tes Audiometri
Audiometer
(Jibelmed
Hasil Ukur
1. Menderita gangguan pendengaran
(> 25 dB)
Pemeriksaan
yang terdapat pada kedua telinga
ambang dengar pada
AS5-AOM)
2. Tidak Menderita gangguan
pendengaran (≤ 25 dB)
atau dapat juga ditemukan pada
frekuensi 250 Hz,
salah satu sisi telinga saja.
(ISO, dalam Istantyo 2011).
500 Hz, 1000 Hz,
2000 Hz, 4000 Hz
dan 8000 Hz.
Skala Ukur
Ordinal
46
Dosis
Total jumlah pajanan bising yang Pengukuran kebisingan
Kebisingan
dihasilkan oleh sumber bunyi dari dengan cara
kegiatan pengoperasian.
memasangkan alat
Personal Noise
PND
( Larson
Davis Spark
706)
Dosimeter / PND pada
1. > 100 %
Ordinal
(Nilai TWA yang melebihi NAB)
2. ≤ 100 %
(Nilai TWA yang tidak melebihi
NAB)
para pekerja dengan
(KEPMENAKER,
posisi PND berada di
No.Kep-51 MEN/1999).
pundak pekerja selama
8 jam kerja.
Masa Kerja
Lamanya pekerja bekerja diarea Wawancara
bising,
dihitung
dari
waktu
pertama
diterima
diperusahaan
sampai dengan saat pengambilaan
data penelitian dilakukan.
Kuesioner
1. > 10 Tahun
2. ≤ 10 Tahun
(Baktiansyah, 2004).
Ordinal
47
Usia Pekerja
Jumlah tahun lahir para pekerja, Wawancara
Kuesioner
1. > 40 Tahun
Ordinal
2. ≤ 40 Tahun
yang dihitung sejak tanggal lahir
sampai dengan saat pengambilaan
(Achmadi, 1994).
data penelitian dilakukan.
Kebiasaan
Kegiatan menghisap atau
Merokok
mengkonsumsi bahan tembakau
Wawancara
Kuesioner
1. Merokok
Ordinal
2. Tidak Merokok
dan hasil olahannya (rokok)
dalam sehari.
Pemakaian
Dipakainya
Alat
Pelindung Wawancara dan
Kuesioner
1. Tidak Pernah
APT
Telinga (APT) pada saat bekerja Observasi
2. Kadang-kadang
dengan baik dan benar.
3. Selalu
Ordinal
48
3.3 Hipotesis
1. Adanya hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pekerja Unit
Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014.
2. Adanya hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pekerja Unit Utilities
PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014.
3. Adanya hubungan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran pekerja Unit
Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014.
4. Adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran pekeeja Unit
Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014.
5. Adanya hubungan antara pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) dengan gangguan
pendengaran pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI
Balongan, Indramayu Tahun 2014.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan
desain study cross sectional dimana penelitian terhadap variabel independen dan
variabel dependen dilakukan pada waktu yang bersamaan.
4.2
Lokasi dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret sampai bulan Juli tahun 2014
di unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan,
Indramayu.
4.3
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi
penelitian
ini
adalah
seluruh
pekerja
unit
Utilities
PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan sebanyak 83 pekerja dan
masih aktif bekerja sampai tahun 2013.
49
50
Dalam pengambilan sampel digunakan rumus uji hipotesis beda dua
proporsi, yaitu :
n
= Besar sampel
Z1-α = derajat kepercayaan yaitu 95 %, jadi Z = 1,96
Z1-β = 0,84 pada kekuatan uji 80 %
P1
= 0,369 (proporsi pekerja yang mengalami gangguan pendengaran
dengan masa kerja >10 tahun di PT. SMART Tbk Padang oleh Siti
Ftimah Dalimunthe tahun 2010)
P2
= 0,053 (proporsi pekerja yang mengalami gangguan pendengaran
dengan masa kerja ≤10 tahun di PT. SMART Tbk Padang oleh
Siti Ftimah Dalimunthe tahun 2010)
P
= Proporsi rata-rata (0,369+0,053) = 0,211
2
n
= {1,96√2x0,211 (1-0,211)+0,84√0,369 (1-0,369)+0,053 (1-0,053)}2
(0,369-0,053)2
n
= 25x2= 50 pekerja
51
Untuk menghindari missing jawaban dari responden dan untuk kebutuhan
analisis data maka jumlah sampel tersebut perlu di tambahkan menjadi 55
pekerja.
4.4
Pengumpulan Data
Metodologi pengumpulan data yang dilakukan adalah :
1. Gangguan pendengaran
Cara mengetahui derajat gangguan pendengaran yang terjadi pada para
pekerja adalah dengan melihat data skunder (data audiometri) para pekerja
yang wajib mengikuti pemeriksaan kesehatan setahun sekali, yang terdapat
di Rumah Sakit PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan,
Indramayu. sebelum melakukan pemeriksaan audiometri ini pekerja
diliburkan satu hari dengan maksud agar para pekerja terbebas dari
kebisingan.
2. Dosisi kebisingan
Pengukuran dosis kebisingan dengan menggunakan Personal Noise
Dosimeter (PND) merk Larson Davis tipe atau model Spark 706 serial
02786, yang sebelumnya sudah dikalibrasi dengan alat kalibrator dengan
merk yang sama. Pengukuran kebisingan dilakukan dengan cara menjepitkan
PND disaku baju para pekerja dengan harapan agar memudahkan para
52
pekerja untuk bergerak dan memberikan kenyamanan selama 8 jam kerja
mulai pukul 08.00 pagi sampai pukul 16.00 sore.
Setelah pekerja selesai dengan pekerjaanya barulah di lihat hasil record
yang terdapat di display Personal Noise Dosimeter (PND), dari data tersebut
kita dapat melihat Time Wight Average (TWA) atau nilai rata-rata tingkat
keterpaparan itensitas kebisingan selama 8 jam. dan dari nilai TWA tersebut
itulah yang dijadikan patokan apakah dosis kebisingan yang diterima pekerja
melebihi 100% atau tidak.
3. Faktor Risiko lainnya
Pengukuran faktor resiko lainnya seperti masa kerja, usia pekerja,
kebiasaan merokok dan pemakaian APT dilakukan dengan metode kuesioner
yang diisi oleh subjek yang telah ditetapkan sebagai sampel penelitian.
Disamping pengisian kuesioner untuk menghindari bias karena informasi,
dilakukan juga wawancara dan observasi langsung terhadap subyek
penelitian.
4.5
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam hal
pengumpulan data. Jenis instrumen dalam penelitian ini antara lain audiometer
untuk mengetahui pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, sound level
meter untuk mengetahui kebisingan dari setiap mesin yang beroperasi dan
Personal Noise Dosimeter untuk mengetahui dosis bising. Sedangkan metode
53
pengumpulan data tentang faktor resiko lainnya menggunakan instrumen berupa
kuesioner, yaitu daftar pertanyaan yang diberikan kepada subyek penelitian
dengan maksud agar mendapatkan data primer langsung dari subyek yang diteliti
dengan cara mewawancarai pekerja.
4.6
Pengolahan Data
Dalam pengolahan data yang dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu
sebagai berikut :
1. Editing Data
Editing data merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan pada
setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner. Sebelum data diolah, data
terlebih dahulu perlu diedit dengan tujuan untuk mengoreksi data yang
meliputi kelengkapan pengisian jawaban kuesioner, konsistensi atas jawaban
dan kesalahan jawaban pada kuesioner. Sehingga dapat diperbaiki jika
dirasakan ada kesalahan data.
2. Coding Data
Coding data merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi
data berbentuk angka atau bilangan yang terdapat pada jawaban kuesioner
guna mempermudah proses pengolahan dalam proses komputerisasi. Pada
proses coding, variabel independent dan dependent akan diberi kode untuk
memudahkan dalam menganalisa yaitu :
54
Tabel 4.1
Coding data
No
Variabel
Hasil
Coding
Gangguan pendengaran
Ada
[1]
Tidak ada
[2]
> 100 %
[1]
≤ 100 %
[2]
> 10 Tahun
[1]
≤ 10 Tahun
[2]
> 40 Tahun
[1]
≤ 40 Tahun
[2]
Merokok
[1]
Tidak Merokok
[2]
Tidak Pernah
[1]
Kadang-Kadang
[2]
Selalu
[3]
1
Dosis bising
2
Masa kerja
3
Usia pekerja
4
Kebiasaan merokok
5
Pemakaian APT
6
3. Entry Data
Setelah semua kuesioner terisi dengan benar, serta sudah melewati
pengkodingan, maka selanjutnya adalah memproses data agar dapat
dianalisis dengan cara mengentry dari data kuesioner kedalam program
komputer untuk selanjutnya akan diolah.
55
4. Cleaning Data
Pembersihan data (Cleaning data) merupakan kegiatan pengecekan
kembali data yang sudah dimasukkan, apakah ada atau tidak kesalahan data.
Kesalahan tersebut kemungkinan terjadi pada saat memasukkan data ke
komputer. Tahapan cleaning data terdiri dari mengetahui missing data,
mengetahui variasi data dan mengetahui konsistensi data.
4.7
Analisis Data
Setelah melakukan pengolahan data mentah, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan analisis data. Analisis data tidak secara langsung dapat
memberikan jawaban penelitian, sehingga perlu diinterpretasikan terlebih dahulu,
yang bertujuan untuk menjelaskan hasil analisis data guna memperoleh makna
atau arti yang bermanfaat bagi pemecahan masalah penelitian. Proses analisis
data yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
4.7.1 Univariat
Analisis ini dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi
dan presentase dari setiap varibel yang diamati kemudian disajikan dalam bentuk
tulisan, tabel maupun grafik.Variabel yang di analisis ialah variabel dependent
dan independent. Variabel tersbut antara lain gangguan pendengaran, dosis
kebisingan, masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian APT.
56
4.7.2 Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk menguji hipotesis, pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer dengan derajat kemaknaan
yang digunakan p value ≤ 0,05 maka dapat berarti data sampel mendukung
adanya hubungan antara variabel independent dan dependent, sebaliknya apabila
p value > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara vriabel independent dan
variabel dependent.
Uji yang digunakan untuk data kategorik yaitu uji Chi-square dengan
derajat kemaknaan 5 %. Pada uji Chi-square dilakukan pada variabel dosis
kebisingan, masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian APT
untuk mengetahui hubungan dengan gangguan pendengaran.
Metode ini digunakan untuk mendapatkan probabilitas kejadianya. Jika P
value > 0,05 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel
tersebut. Sebaliknya jika P value ≤ 0,05 berarti terdapat hubungan yang
signifikan antara kedua variabel tersebut.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1
Gambaran Umum PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan.
PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan merupakan salah satu
unit pengolahan dari tujuh unit pengolahan yang dimiliki Pertamina. PT. PERTAMINA
(persero) Refinery Unit VI dibangun tahun 1990 dibalongan diatas lahan seluas 250 Ha
dengan nama EXOR I (Export Oriented Refinery I), namun seiring dengan
perkembangannya setelah operasi, nama tersebut diganti dengan Pertamina Refinery
Unit VI Balongan. PT.Pertamina RU VI ini mulai beroperasi pada tahun 1995 dengan
tujuan mengolah minyak mentah (Crude Oil) dari Duri dan Minas dengan kapasitas
125.000 BPSD (Barrel Per Stream Day) menjadi produk siap pakai seperti (Pertamax,
Premium, Kerosene, Diesel Oil, LPG, Propylene, Sulfur).
Guna memberi paduan dalam menjalankan usahanya maka manajemen PT.
PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan menetapkan visi, misi dan tujuan
perusahaan, yaitu :
1) Visi
Menjadi kilang Unggulan
57
58
2) Misi
a) Mengolah minyak bumi untuk memproduksi BBM, non BBM secara tepat,
jumlah mutu, waktu dan berorientasi laba serta berdaya saing tinggi untuk
memenuhi kebutuhan pasar.
b) Mengoperasikan kilang yang berteknologi maju dan terpadu secara : aman,
andal, efisien serta berwawasan lingkungan.
c) Mengelola aset RU VI secara professional yang didukung sistem manajemen
yang
tangguh
berdasarkan
;
semangat
kebersamaan,
keterbukaan,
kepercayaan dan prinsip bisnis saling menguntungkan.
3) Tujuan :
a) Menyelesaikan permasalahan pemasaran minyak mentah (Crude Oil) Duri.
b) Mengantisipasi kebutuhan produk BBM nasional (terutama daerah DKI
Jakarta, Jawa Barat dan sekitarnya), regional dan international.
c) Menghasilkan produk dengan nilai taambah tinggi
d) Pengembangan daerah.
5.2
Analisis Univariat
Analisis univariat dalam penelitian ini meliputi analisa deskriptif data
gangguan pendengaran, masa kerja, dosis kebisingan, pemakaian APT, status
merokok dan usia.
59
5.2.1 Gambaran Gangguan Pendengaran pekerja
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui gangguan pendengaran
pada penelitian ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tes Audiometri. Pada
pemeriksaan tes audiometri pekerja akan dilakukan pemeriksaan kedua telinga
mulai dari frekuensi 250 Hz sampai dengan 8000 Hz. Sehingga dari hasil
pemeriksaan responden dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu menderita dan
tidak menderita. Gambaran gangguan pendengaran dapat dilihat pada table 5.1
Tabel 5.1
Gambaran Distribusi Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities
PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun
2014
Gangguan Pendengaran
Menderita gangguan
pendengaran
Tidak menderita gangguan
pendengaran
Total
Jumlah
%
16
29,1
39
70,9
55
100
Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja terdapat 16
(29,1%) pekerja yang mengalami gangguan pendengaran.
60
5.2.2 Gambaran Dosis Kebisingan
Untuk mengetahui gambaran dosis kebisingan yang diterima pekerja di
unit utilities
PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI dilakukan
pengukuran dosis kebisingan yang diterima pekerja menggunakan Personal
Noise Dosimeter (PND). Dosis kebisingan pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua)
yaitu >100% dan ≤100%. Gambaran dosis kebisingan dapat dilihat pada table 5.2
Tabel 5.2
Gambaran Distribusi Dosisi Kebisingan Pekerja Unit Utilities
PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun
2014
Dosis Kebisingan
Jumlah
%
> 100%
30
54,5
< 100%
25
45,5
Total
55
100
Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 30
(54,5%) pekerja yang terpapar dosis kebisingan > 100%.
5.2.3 Gambaran Masa Kerja
Masa kerja pada pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu >10 tahun
dan <10 tahun. Gambaran masa kerja dapat dilihat pada table 5.3
61
Tabel 5.3
Gambaran Distribusi Masa Kerja Pekerja Unit Utilities PT.
PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun
2014
Masa Kerja
Jumlah
%
> 10 Tahun
30
54,5
< 10 Tahun
25
45,5
Total
55
100
Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 30
(54,5%) pekerja dengan masa kerja >10 tahun.
5.2.4 Gambaran Usia Pekerja
Usia pada pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu >40 Tahun dan <
40 Tahun. Gambaran masa kerja dapat dilihat pada table 5.4
Tabel 5.4
Gambaran Distribusi Usia Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA
(Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014
Usia Pekerja
Jumlah
%
> 40 Tahun
16
29,1
< 40 Tahun
39
70,9
Total
55
100
62
Berdasarkan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 16
(29,1%) pekerja dengan usia >40 tahun.
5.2.5 Gambaran Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok pada pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu
merokok dan tidak merokok. Gambaran status merokok dapat dilihat pada table
5.5
Tabel 5.5
Gambaran Distribusi Kebiasaan Merokok Pekerja Unit Utilities
PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun
2014
Kebiasaan Merokok
Jumlah
%
Merokok
34
61,8
Tidak Merokok
21
38,2
Total
55
100
Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 34
(61,8%) pekerja yang merokok.
5.2.6 Gambaran Pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT)
Pemakaian APT pada pekerja dikategorikan menjadi 3 (tiga) yaitu tidak
pernah, kadang-kadang, dan selalu. Gambaran pemakaian APT dapat dilihat pada
table 5.6
63
Tabel 5.6
Gambaran Distribusi Pemakaian APT Pekerja Unit Utilities PT.
PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014
Pemakaian APT
Jumlah
%
Tidak Pernah
19
34,5
Kadang-Kadang
21
38,2
Selalu
15
27,3
Total
55
100
Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 19
(34,5%) pekerja yang tidak pernah memakai alat pelindung telinga.
5.3
Analisis Bivariat
5.3.1 Gambaran Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun
2014
Gambaran dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pekerja di
unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dapat
dilihat pada tabel 5.7
64
Tabel 5.7
Gambaran Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014
Gangguan Pendengaran
Dosis Kebisingan
Menderita
Total
Tidak
P value
Menderita
n
%
n
%
n
%
> 100%
16
53,3
14
46,7
30
100
< 100%
0
0
25
25
25
100
0,000
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar dosis kebisingan >
100% dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 16 (53,3%) pekerja. Sedangkan
pekerja yang terpapar dosisi kebisingan < 100% dan menderita gangguan pendengaran
sebanyak 0 (0%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue
sebesar 0,000 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan
antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran.
5.3.2 Gambaran Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun
2014
Gambaran masa kerja dengan gangguan pendengaran pekerja di unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dapat dilihat
pada table 5.8
65
Tabel 5.8
Gambaran Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014
Gangguan Pendengaran
Masa Kerja
Menderita
Total
Tidak
P value
Menderita
n
%
n
> 10 Tahun
10
33,3
< 10 Tahun
6
24,0
%
n
%
20
60,7 30
100
19
76,0 25
100
0,645
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja >
10 tahun dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 10 (33,3%) pekerja,
Sedangkan pekerja memiliki masa kerja < 10 tahun dan menderita gangguan
pendengaran sebanyak 6 (24,0%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi
Square didapatkan Pvalue sebesar 0,645 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan
tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan
pendengaran.
5.3.3 Gambaran Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun
2014
Gambaran usia pekerja dengan gangguan pendengaran pekerja di unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dapat dilihat
pada tabel 5.9
66
Tabel 5.9
Gambaran Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014
Usia
Gangguan Pendengaran
Tidak
Menderita
Menderita
n
%
n
%
Total
n
%
>40 Tahun
6
37,5
10
62,5
16
100
<40Tahun
10
25,6
29
74,4
39
100
P value
0,515
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang berusia > 40 tahun dan
menderita gangguan pendengaran sebanyak 6 (37,5%) pekerja, Sedangkan
pekerja yang berusia ≤40 tahun dan menderita gangguan pendengaran sebanyak
10 (25,6%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue
sebesar 0,515 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran.
5.3.4 Gambaran Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran Pekerja
Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan
Tahun 2014
Gambaran kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran pekerja di
unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan dapat
dilihat pada tabel 5.10
67
Tabel 5.10
Gambaran Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran Pekerja
Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun
2014
Status Merokok
H
HMerokok
Tidak Merokok
Gangguan Pendengaran
Tidak
Menderita
Menderita
n
%
n
%
10
6
29,4
28,6
24
15
Total
n
%
70,6 34
71,4 21
100
100
P value
1,000
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang merokok dan
menderita gangguan pendengaran sebanyak 10 (29,4%) pekerja, Sedangkan
pekerja yang tidak merokok dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 6
(28,6%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue
sebesar 1,000 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pendengaran.
5.3.5 Gambaran Pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) dengan Gangguan
Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery
Unit VI Balongan Tahun 2014
Gambaran
pemakaian
alat
pelindung
telinga
dengan
gangguan
pendengaran pekerja di unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit
VI Balongan dapat dilihat pada tabel 5.11
68
Tabel 5.11
Gambaran Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit
Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014
Pemakaian APT
H
Tidak Pernah
Kadang-Kadang
Selalu
Gangguan Pendengaran
Tidak
Menderita
Menderita
n
%
n
%
8
6
2
42,1
28,6
13,3
11
15
13
57,9
71,4
86,7
Total
n
%
19
21
15
100
100
100
P value
0,186
A
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang tidak pernah memakai
APT dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 8 (42,1%) pekerja,
Sedangkan pekerja yang kadang-kadang memakai APT dan menderita gangguan
pendengaran sebanyak 6 (28,6%) pekerja, dan pekerja yang selalu memakai APT
dan menderita gangguan pendengaran sebanyak 2 (13,3%) pekerja. Berdasarkan
hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,186 artinya pada α =
5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pemakaian
APT dengan gangguan pendengaran.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian
1. Peneliti tidak dapat mengeliminasi faktor bising yang memapar pekerja
sebelum dilakukannya pemeriksaan audiometri yang terjadi sebelum
memasuki rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan pendengaran
pekerja. Kemungkinan disebabkan oleh bising yang tidak diperlukan
seperti bising kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalan raya saat
menuju rumah sakit.
2. Hasil penelitian sangat dipengaruhi oleh kejujuran pekerja dalam
menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner karena khawatir
memberikan jawaban yang fiktif.
69
70
6.2
Gangguan Pendengaran pada Pekerja
Gangguan pendengaran adalah menurunnya atau memburuknya fungsi
pendengaran. Tuli adalah memburuknya fungsi pendengaran yang lebih parah.
Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh masalah mekanis didalam telinga
tengah yang menghalangi konduksi suara atau karena rusaknya telinga bagian
dalam (Billy, 2003). Sedangkan menurut Jenny Basharudin, dkk, 2007, gangguan
pendengaran dapat diakibatkan dari gangguan atau kerusakan pada salah satu
telinga, gangguan pendengaran telinga saat bayi dan anak-anak, gangguan
pendengaran akibat bising dan gangguan pendengaran akibat obat ototoksik.
Berdasarkan hasil tabel 5.1 analisis univariat tentang gambaran distribusi
gangguan pendengaran pada pekerja unit utilities PT.Pertamina (Persero)
Refinery Unit VI, Balongan indramayu tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat
16 (29,1%) dari 55 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran. Menurut
International Standard Organization (ISO), dalam Istantyo (2011) jika dilihat
berdasarkan derajat gangguan pendengaran yang dialami pekerja kebanyakan
pekerja mengalami gangguan pendengaran ringan yaitu terjadi peningkatan
ambang dengar antara 26-40 dB.
Gangguan pendengaran bisa saja terjadi akibat paparan bising yang
sementara ataupun kronis. Paparan bising yang sementara akan menimbulkan
kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan-lahan dan akan
kembali seperti semula. Paparan bising yang sementara ini bisa disebut ketulian
71
sementara atau Temporary Threshold Shift. Sedangkan paparan bising kronis
dapat menyebabkan ketulian tetap atau Permanent Threshold Shift (Rambe,
2003). Ketulian menetap ini atau tuli akibat bising merupakan gangguan
pendengaran yang sifatnya permanent kumulatif, akibat pajanan bising terusmenerus selama jangka waktu yang panjang, biasanya untuk beberapa tahun dan
hampir mengenai kedua telinga (Harrianto, 2009).
Sehingga disarankan pemeriksaan audiometri bagi pekerja lebih
diintensifkan lagi, guna mengetahui pekerja-pekerja yang mengalami gangguan
pendengaran. Dengan begitu para pimpinan perusahaan dapat mengambil
keputusan ataupun kebijakan yang mengedepankan aspek kesehatan pekerja,
seperti rotasi kerja dari tempat yang mempunyai intensitas kebisingan tinggi ke
tempat yang mempunyai intensitas kebisingan lebih rendah.
Menurut
Suma’mur
(1996),
mula-mula
efek
kebisingan
pada
pendengaran adalah sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah
dihentikannya kerja ditempat bising. Tetapi kerja terus menerus ditempat bising
berakibat daya dengar yang menetap dan tidak bisa pulih kembali.Biasanya
dimulai pada frekuensi-frekuensi sekitar 4000 Hz dan kemudian menghebat dan
meluas kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi-frrekuensi yang
digunakan untuk percakapan.
72
6.3
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja
Utilities PT Pertamina Persero Refinery Unit VI Balongan, Indramayu
Tahun 2014
Hubungan antara Dosis Kebisingan, Masa Kerja, Usia Pekerja, Kebiasaan
Merokok, dan Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran Pekerja akan
dijelaskan pada pembahasan berikut ini.
6.3.1 Hubungan Antara Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran
Pekerja Utilities PT Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan,
Indramayu Tahun 2014
Gambaran dosis kebisingan yang diterima pekerja di unit utilities PT.
PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI dilakukan dengan cara pengukuran
dosis kebisingan yang diterima pekerja menggunakan Alat Personal Noise
Dosimeter (PND). Dosis kebisingan pekerja dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu
>100% dan ≤100%, gambaran dosis kebisingan dapat dilihat pada table 5.2.
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja terdapat 30
(54,5%) pekerja yang terpapar dosis kebisingan > 100%. Sedangkan pekerja
yang terpapar dosis kebisingan < 100% sebanyak 25 (45,5%) pekerja.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,000,
artinya pada alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara
dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran.
Sistem waktu kerja yang dilaksanakan di Unit Utilites 8 jam sehari dalam
7 hari seminggu dengan sistem pembagian shift sebanyak 4 shift kerja. Nilai
Ambang Batas standar faktor tempat kerja yang dapat diterima pekerja tanpa
73
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari
untuk waktu kerja tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
(Kepmenaker
No.Kep-51
MEN/1999.Untuk
system
waktu
kerja,
jika
dibandingkan dengan kepmenaker hal ini masih sesuai dengan standar yang di
tetapkan oleh kepmenaker.
Pada Tabel 5.2 diketahui lebih banyak pekerja yang terpapar dosis
kebisingan > 100% dibandingkan dengan yang terpapar dosis kebisingan <
100%. Hal ini dikarenakan di unit utilities memang terdapat 64 buah mesin yang
dimana menjadi sumber kebisingan. Adapun mesin-mesin yang menjadi sumber
kebisingan di area utilities adalah mesin pompa, compressor, boiler, generator
plant dan nitrogen plant. Berdasarkan hasil pengukuran kebisingan yang
dilakukan di tempat tersebut didapatkan juga rata-rata intensitas kebisingan yang
cukup besar (90,4 dB). Hal ini lah yang menyebabkan banyaknya pekerja yang
terpapar dosis kebisingan > 100%.
Semakin besar dosis bising yang diterima oleh seorang pekerja, maka
semakin besar pula potensi terjadinya gangguan pendengaran. Di dalam telinga
bagian tengah terdapat sebuah otot terkecil dalam tubuh manusia, yaitu tensor
timpani, yang bertugas membuat tegang rangkaian tulang pendengaran pada saat
bunyi yang mencapai sistem pendengaran kita berkekuatan lebih dari 70 dB,
untuk meredam getaran yang mencapai sel-sel rambut reseptor pendengaran
manusia. Namun, otot ini yang bekerja terus menerus juga tak mampu bertahan
pada keadaan bising yang terlalu kuat dan kontinu, dan terjadilah stimulasi
berlebih yang merusak fungsi sel-sel rambut. Kerusakan sel rambut dapat bersifat
74
sementara saja pada awalnya sehingga dapat terjadi ketulian sementara. Akan
tetapi, kemudian bila terjadi rangsangan terus menerus, terjadi kerusakan
permanen, sel rambut berkurang sampai menghilang dan terjadi ketulian
menetap.
Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris dengan mengenai
nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam frekuensi 3000 sampai 6000 Hz.
Sering kali juga terjadi penurunan tajam (dip) hanya pada frekuensi 4000 Hz,
yang sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena yang
terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada percakapan manusia, sering kali
pada awalnya sama sekali tidak dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu
jelas gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama (Djelantik, 2004).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Srisantyorini (2002) diketahui
bahwa terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan terjadinya penurunan
pendengaran setelah bekerja dan lingkungan kerja yang sangat bising berpeluang
memberikan risiko terhadap terjadinya penurunan pendengaran 5 kali
dibandingkan dengan lingkungan kerja yang tidak bising. Kemudian pada studi
tentang hubungan antara kebisingan dengan ganggguan pendengaran pekerja di
Petrochina pada hasil analisis hubungan antara intensitas kebisingan dengan
status pendengaran diperoleh ada 2 dari 5 orang (28,6%) pekerja dengan
intensitas kebisingan lebih dari 85 dBA mempunyai status pendengaran tidak
normal. Pekerja dengan intensitas kebisingan ≤ 85 dBA ada sebanyak 18 orang
dari 30 orang (37,5%) yang mempunyai status pendengaran tidak normal
(Herman, 2000).
75
Pada Penelitian ini, berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan dosis
diketahui dapat mempengaruhi gangguan pendengaran. Dengan demikian
hipotesis awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara dosis kebisingan
dengan gangguan pendengaran dapat terbukti. Meskipun begitu, walaupun dari
55 pekerja yang ada, dan 16 orang terpapar kebisingan dengan dosis lebih dari
100 persen dan mengalami gangguan pendengaran, hal tersebut harus
diperhatikan agar tidak bertambah lagi pekerja yang mengalami hal tersebut.
Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan sumber
kebisingan yang ada, jika memungkinkan pada alat yang menimbulkan kebisingan
dapat diberikan barier atau penghalang. Pengawasan dan penggunaan APT pada
pegawai juga harus dilakukan untuk mengurangi dosis yang diterima pekerja.
6.3.2 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja
Utilities PT Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu
Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 30
Pekerja (54,5%) dengan masa kerja yang sudah lebih dari 10 tahun. Sedangkan
pekerja dengan masa kerja yang kurang dari 10 tahun sebanyak 25 (45,5%)
pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar
0,645 artinya pada alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran.
Semakin lama masa kerja sesorang pekerja, maka semakin besar pula
risiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran. Menurut (National Safety
76
Council, 1975), Gangguan pendengaran terjadi 5 – 10 tahun setelah pekerja
bekerja di tempat bising. Menick, 1998, menambahkan semakin lama pajanan
kebisingan setiap tahunnya maka semakin besar kerusakan yang terjadi pada
pendengaran. Sedangkan menurut Encyclopedia of Occupational Health and
Safety, adanya gangguan pendengaran karena kebisingan akan terlihat pada
seseorang sesudah ia bekerja dilingkungan kerja yang bising selama kurang lebih
3 – 4 tahun (Stellman, 1998).
Pada Penelitian ini, sebagian besar pekerja sudah bekerja lebih dari 10
tahun. Adapun dari hasil perhitungan statistik analisis bivariat, diperoleh tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan
pendengaran pada pekerja. Dengan demikian maka hipotesis awal yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan
pendengaran tidak terbukti. Hal ini dimungkinan pekerja yang sudah bekerja
lebih dari 10 tahun sudah terpapar kebisingan lebih lama ditempat pekerjaan
mereka sebelum di Pertamina dibanding pekerja yang bekerja kurang dari 10
tahun.
Meski begitu, walaupun masa kerja dalam penelitian ini tidak
berhubungan, akan tetapi para pekerja yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun
patut diperhatikan kesehatan pendengarannya, jika dilihat pada table 5.8 pada
pekerja yang telah bekerja lebih dari 10 tahun, terdapat 10 pekerja yang
menderita gangguan pendengaran dari 16 orang yang mengalami gangguan
pendengaran.
77
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masa kerja mempunyai
pengaruh
yang
bermakna
dengan
gangguan
pendengaran.
Gangguan
pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang mempunyai masa kerja lebih
dari 10 tahun. Pekerja dengan masa kerja lebih dari 10 tahun mempunyai risiko 5
kali lebih besar dibandingkan pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari
10 tahun (Abdul Baktiansyah, 2004).
Tentunya hal ini harus diwaspadai agar tidak bertambah lagi pekerja
dengan masa kerja lebih dari 10 tahun yang mengalami gangguan pendengaran.
Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan pekerja yang
sudah bekerja lebih dari 10 tahun agar dilakukan pemeriksaan rutin terhadap
adanya
gangguan
pendengaran,
pemberian
dan
pengawasan
terhadap
penggunaan APT juga perlu diperhatikan, dan jika memungkinkan adanya rotasi
pegawai atau pemberian barrier atau penghalang bagi alat yang menjadi sumber
kebisingan dilingkungan kerja.
6.3.3 Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Utilities PT
Pertamina Persero Refinery Unit Balongan Indramayu Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja terdapat 16
(29,1%) pekerja dengan usia lebih dari 40 tahun. Sedangkan pekerja dengan usia
kurang dari 40
tahun sebanyak 39 (70,9%) pekerja. Berdasarkan hasil uji
statistik Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,515 artinya pada α = 5% dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia pekerja dengan
gangguan pendengaran.
78
Menurut (Nasri, 1997) sensitifitas pendengaran seseorang akan berkurang
dengan bertambahnya usia, semakin tua usia maka semakin besar terjadinya
gangguan pendengaran. Pada usia tua relatif akan mengalami penurunan
kepekaan rangsangan suara karena adanya faktor proses penuaan (Presbycusis)
yaitu proses degeneratif organ pendengaran yang umumnya dimulai sejak usia 40
tahun ke atas. Biasanya, sensitivitas pendengaran seseorang akan berkurang
dengan bertambahnya umur (Gloria dan Nixon, 1962 dalam WHO, 1980).
Kemudian Achmadi (1994) berpendapat bahwa orang yang berusia 40
tahun akan lebih mudah mengalami gangguan pendengaran akibat bising.
Sedangkan menurutIskandar (1996) pengaruh usia terhadap terjadinya gangguan
pendengaran terlihat pada usia 30 tahun.
Pada Penelitian ini, pekerja dengan usia lebih dari 40 tahun hanya
terdapat 6 orang yang menderita gangguan pendengaran. Jumlah ini lebih sedikit
dibandingkan dengan pekerja dengan usia kurang dari 40 tahun yang menderita
gangguan pendengaran (10 orang).
Adapun dari hasil perhitungan statistik analisis bivariat, diperoleh bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara usia pekerja dengan gangguan
pendengaran pada pekerja. Dengan demikian maka hipotesis penelitian yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara usia pekerja dengan gangguan
pendengaran tidak terbukti, hal ini dimungkinkan karena pekerja yang usianya
kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan dengan usia pekerja yang lebih
dari 10 tahun.
79
Meski begitu, walaupun usia pekerja dalam penelitian ini tidak
berhubungan, pada pekerja dengan usia dibawah 40 tahun lebih banyak
menderita gangguan pendengaran dibandingkan dengan yang diatas 40 tahun
walaupun secara teori pekerja yang berusia lebih dari 40 tahun dan terpapar
kebisingan akan lebih rentan mengalami gangguan pendengaran dibandingkan
pekerja yang berusia di bawah 40 tahun.
Menurut asumsi peneliti, pekerja yang berusia dibawah 40 tahun biasanya
merupakan pekerja yang dalam masa produktif, sehingga biasanya bekerjanya
lebih mobile dibandingkan dengan pekerja yang usianya lebih dari 40 tahun.
Kemungkinan hal ini lah yang menyebabkan pekerja yang berusia kurang dari 40
tahun lebih banyak mengalami gangguan pendengaran. Hal ini tentunya harus
tetap diperhatikan agar pekerja yang usianya dibawah 40 tahun tidak bertambah
lagi yang mengalami gangguan pendengaran.
Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan pekerja
yang berusia kurang dari 40 tahun agar dilakukan pemeriksaan rutin terhadap
adanya
gangguan
pendengaran,
pemberian
dan
pengawasan
terhadap
penggunaan APT juga perlu diperhatikan, dan jika memungkinkan adanya rotasi
pegawai atau pemberian barrier atau penghalang bagi alat yang menjadi sumber
kebisingan dilingkungan kerja.
80
6.3.4 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran
Pekerja Utilities PT Pertamina Persero Refinery Unit Balongan Indramayu
Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja terdapat 34
(61,8%) pekerja yang merokok. Sedangkan pekerja yang tidak merokok
sebanyak 21 (38,2%) pekerja.. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square
didapatkan Pvalue sebesar 1,000 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan
pendengaran.
Merokok dapat menyebabkan menurunnya fungsi pendengaran melalui
efek dari nikotin dan CO atau karbonmonoksida yang mengganggu peredaran
darah manusia. Nikotin merupakan zat yang yang bersifat ototoksik secara
langsung merusak sel saraf manusia pada organ dalam telinga yang bernama
koklea, sedangkan karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui produksi
karboksi-hemoglobin (ikatan antara CO dan haemoglobin), dimana akibat
terbentuknya ikatan tersebut, hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat
oksigen. Akibatnya ialah terjadinya gangguan suplai oksigen ke organ korti di
koklea, dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek lainnya adalah spasme
pembuluh darah, kekentalan darah, atau juga melalui terjadinya arteriosklerosis
(Ditalia, 2011)
Pada Penelitian ini, berdasarkan hasil perhitungan statistik analisis
bivariat, diperoleh tidak terdapat hubungan yang signifikan antara merokok
dengan gangguan pendengaran pada pekerja. Dengan demikian maka hipotesis
81
awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara merokok dengan gangguan
pendengaran tidak terbukti. Hal ini di karenakan pekerja yang merokok setiap
harinya hanya menghisap rokok 3-4 batang dan juga rata-rata pekerja yang
merokok hanya baru satu tahun aktif merokok.
Meski begitu, walaupun merokok dalam penelitian ini tidak berhubungan,
akan tetapi para pekerja yang merokok dan menderita gangguan pendengaran lebih
banyak dibandingkan dengan yang tidak merokok. Beberapa penelitian klinis
membuktikan bahwa merokok menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya
gangguan pendengaran, suatu penelitian pada tahun 2006 yang melibatkan lebih
dari 1.500 remaja Amerika Serikat yang berusia 12 – 19 tahun menunjukkan bahwa
merokok pasif berdampak langsung merusak telinga anak-anak muda. Semakin besar paparan,
semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Pada beberapa kasus, kerusakan tersebut cukup
mengganggu kemampuan seorang remaja untuk memahami pembicaraan.(McGraw-Hill; 2008).
Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan pekerja
yang merokok agar mengurangi atau bahkan untuk tidak merokok. Sehingga
gangguan pendengaran yang ada dapat berkurang dan tidak bertambah.
5.3.5
Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) dengan Gangguan
Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery
Unit VI Balongan Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja, terdapat 19
(34,5%) pekerja yang tidak pernah memakai alat pelindung telinga. Sedangkan
pekerja yang kadang-kadang memakai alat pelindung telinga sebanyak 21
82
(38,2%) pekerja dan pekerja yang selalu memakai alat pelindung telinga
sebanyak 15 (27,3%) pekerja. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square
didapatkan Pvalue sebesar 0,186 artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara pemakaian APT dengan gangguan
pendengaran.
Pemakaian alat pelindung telinga merupakan alternatif terakhir bila
pengendalian yang lain telah dilakukan. Tenaga kerja dilengkapi dengan sumbat
telinga yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan, kondisi dan penurunan
intensitas kebisingan yang diharapkan. Potensi bahaya yang terdapat disetiap
perusahaan berbeda-beda. Hal ini tergantung pada jenis produksi, jenis teknologi
yang digunakan, bahan produksi dan proses produksi (Palsapah, 2010).
Di Refinery Unit ini sendiri memberikan ear plug sebagai alat pelindung
telinga terhadap pekerja dari kebisingan tempat kerja. Pada Penelitian ini,
sebagian besar pekerja yang tidak menggunakan APT lebih banyak yang
mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang selalu
menggunakan APT, begitu juga dengan pekerja yang kadang-kadang
menggunakan APT lebih banyak yang mengalami gangguan pendengaran
dibandingkan yang selalu menggunakan.
Adapun dari hasil perhitungan statistik analisis bivariat, diperoleh tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan APT dengan gangguan
pendengaran pada pekerja. Dengan demikian maka hipotesis awal yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara penggunaan APT dengan gangguan
83
pendengaran tidak terbukti. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya infeksi ringan
pada telinga pekerja yang mana sebelum pekerja menggunakan APT jarang
sekali yang menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan dengan sabun.
Meski begitu, jika dilihat dari dari table 5.11 proporsi yang tidak pernah
megunakan APT lebih banyak yang mengalami gangguan pendengaran. Karena
Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam
kesehariannya menerima kebisingan, karena daerah utama kerusakan akibat
kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka
metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa mereduksi
tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah sebelum
masuk ke telinga bagian dalam (Sasongko, 2000).
Sehingga jika para pekerja tidak menggunakan APT maka kemungkinan
akan mengalami gangguan pendengaran, tentunya hal ini harus diwaspadai.
Sehingga disarankan bagi pihak pengelola, agar memperhatikan pemberian dan
pengawasan terhadap penggunaan APT pada pekerja,
selain itu dapat pula
dilakukan pelatihan pemakaian APT yang baik dan benar serta penjelasan
pentingnya penggunaan APT di tempat yang terpapar kebisingan. Saran
selanjutnya yang dapat diberikan adalah jika memungkinkan diperusahaan dapat
pula memberlakukan system reward dan Punishment terhadap pekerja atas
penggunaan APT sehingga para pekerja selalu menggunakan APT ketika
bekerja.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka didapatkan
kesimpulan antara lain :
Dengan menggunakan uji statistik univariat diketahui bahwa sebanyak 55
pekerja unit utilities PT.Pertamina (Persero) RU VI tahun 2014 yang diteliti
terdapat :
a. Pekerja yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak (29,1%).
b. Pekerja yang terpapar dosis kebisingan > 100% sebanyak (54,5 %).
c. Pekerja dengan masa kerja > 10 tahun sebanyak (54,5 %).
d. Pekerja yang berusia > 40 tahun sebanyak (29,1 %).
e. Pekerja yang merokok sebanyak (61,8 %).
f. Pekerja yang tidak pernah memakai alat pelindung telinga sebanyak (34,5%).
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji statistik bivariat dengan uji
Chi Square antar variabel dependent dan independent maka diketahui bahwa;
a. Terdapat hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan dengan gangguan
pendengaran pada pekerja dengan melihat nilai P value < 0,05.
84
85
b. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja, usia pekerja,
kebiasaan merokok dan pemakaian alat pelindung telinga dengan gangguan
pendengaran pada pekerja dengan melihat nilai P value > 0,05.
7.2
Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka terdapat
beberapa saran terkait dengan permasalahan kebisingan antara lain :
1. Bagi perusahaan
a. Jika memungkinkan diperlukan adanya rotasi kerja dari tempat yang
dosis kebisingan tinggi ke tempat dosis kebisingan rendah, sehingga dosis
yang diterima pekerja tidak melebihi dosis kebisingan.
b. Perlu dilakukan pelatihan pemakaian APT yang baik dan benar dan
penjelasan pentingnya penggunaan APT
c. Pemberian reward dan punishment terhadap pekerja atas penggunaan
APT sehingga para pekerja selalu menggunakan APT ketika bekerja.
d. dan jika memungkinkan pemberian barrier atau penghalang bagi alat
yang menjadi sumber kebisingan dilingkungan kerja.
2. Bagi Peneliti
a. Perlu melakukan pemeriksaan tes lababoratorium terkait variabel
penggunaan obat ototoksik pada setiap pekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, UF. 1994. Kesehatan Lingkungan Kerja : Lingkungan Fisik. Jakarta : Depkes
Republik Indonesia.
Azwar, Azrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara Sumber
Widya.
Baktiansyah, Abdul. 2004. Tesis. Hubungan Merokok dengan Gangguan Pendengaran
di Kalangan Pekerja Pria PT. X. Jakarta. Program Studi Kedokteran Okupasi.
Bashiruddin, Jenny, 2002. Pengaruh Bising dan Getaran pada Fungsi Keseimbangan
dan Pendengaran, Bagian THT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Berglund, Birgitta, 1996. Workshop I : Noise and Pollution, Aircraft Noise And Health.
In the second Airport Regions Conferens VantaaFinland ; City Of Vantaa.
Bridger R.S., 1995. Hearing, Sound and Noise : Introduction to Ergonomic, Mc GrawHill, Inc. Singapore.
Budiono, A.M. Sugeng. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja.
Semarang; Universitas Diponegoro.
Chandra, Budiman.2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : EGC.
Corwin, Elzabeth J.2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Departemen Tenaga Kerja,1993. Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bidang
Kesehatan Kerja, Proyek peningkatan Pengawasan Norma Kesehatan dan
Keselamatan Kerja. Jakarta: Depnaker.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 1999. Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI, Nomor : Kep-51/Men/1999 tentang Nilai Ambang batas
Faktor Fisika di Tempat Kerja, Jakarta.
Ditalia, 2011. Pengaruh Rokok Terhadap Pendengaran. Artikel
Djelantik-Soejoto, Ayu Bulantrisna. 2004. Memelihara Pendengaran, Menjaga
Kesehatan : http://www.kompas.com. Diakses pada tanggal 22 Mei 2010.
Gan, Sulistia. 1999. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Harrianto, Ridwan. Buku Ajar Kesehatan Kerja. EGC: Jakarta, 2009
Herman, Mulyadi. 2002. Studi Tentang Hubungan Gangguan Pendengaran Pekerja Di
PT. Petrochina Tahun 2002. Depok. Program Studi Magister Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
Iskandar
N., 1996. Kebisingan dan Kesehatan Telinga, Majalah Hiperkes dan
Keselamatan Kerja Vol. XXIX No.3 Juli-September 1996.
Istantyo, Dan. 2011. Skripsi. Pengaruh Dosis Kebisingan dan Faktor Determinan
Lainnya Terhadap Gangguan Fungsi Pendengaran Pada Pekerja Operator PLTU
Unit 1-4 PT. Indonesia Power UBP. Suralaya.
Jenny, Basharudin dan Indro, soetirto. Gangguan Pendengaran akibat Bising dalam
THT kepala leher. Edisi ke 6. 2007: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jeyaratman J., Koh david, 1996. Auditory Effects : Texbook of Occupational Medicine.
Komnas PGPKT., 2011, Sayangi Pendengaran Anda, BKKKS, Batam.
Leksono, Rangga Adi. 2009. Tesis. Gambaran Kebisingan di Area Kerja Shop C-D Unit
Jembatan Usaha PT.Bukaka Teknik Utama.
Mesie, Billy, 2003. Tuli Bisa Datang Bertahap atau Tiba-tiba, Media Indonesia, Jakarta.
Nasri S.M, 1997. Teknik Pengukuran dan Pemantauan Kebisingan di Tempat Kerja,
Pusat Kajian dan Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
National Safety Council, 1975. Industrial Noise and Hearing Conservation, Chicago.
Pearce Evelyn C. 202. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia.
P.K Suma’mur, 1992. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. CV. Haji
Masagung, Jakarta.
Practice,
World
Scince,
Publishing
Co.Pte.Ltd.Singapore-NewJersey-London-
Hongkong.
PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI, Balongan, 2009. Pedoman Program
Conservasi Pendengaran, Indramayu, Jawa Barat.
Rambe, Andriana Yuniati Murni. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Usu Digital
Library: FK Bagian Ilmu Penyakit THT Universitas Sumatra Utara, 2003.
Sasongko, Dwi P. 2000. Kebisingan Lingkungan. Semarang: Universitas Diponegoro.
Sherwood L, 2001. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem (Human Physiology : From
Cell to Systems). Trans. Jakarta.
Siswanto .A. 1983. Alat Pelindung Diri. Majalah Hygene perusahaan kesehatan dan
keselamatan kerja. XIV.
Srisantyorini, Triana. Tingkat kebisingan dengan gangguan pendengaran pada
karyawan PT. friesche vlag Indonesia tahun 2002. Tesis. Pasca Sarjana Prodi
Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKM, Universitas Indonesia. 2002.
Stellman, Jeanne Mager, 1998. Encyclopedia of Occupational health and Safety,
Internatinal Labour Office, Geneva.
Subaris Heru, Haryono. 2007. Hygiene Lingkungan Kerja. Jogjakarta : Mitra Cendikia
press.
World Health Organization, 1980, Environmental Health Criteria, Noise, Geneva.
Widana, I Dewa Ketut Kerta. Pengaruh Kebisingan terhadap Terjadinya Gangguan
Pendengaran Pada Pekerja Teknisi (Ground Crew) Pesawat Tempur TNI AU di
Lanud Iswahyudi Tahun 2006. Tesis. Pasca Sarjana Prodi Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, FKM, Universitas Indonesia. 2006.
Penelitian
Kesehatan Masyarakat
Peminatan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3)
Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja unit utilities
PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu tahun 2014.”
Assalamualaikum Wr, Wb.
Bersama ini, saya mahasiswa Peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, ingin menyampaikan bahwa ingin melaksanakan penelitian dengan judul “Faktorfaktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja unit utilities PT.Pertamina (Persero)
Refinery Unit VI Balongan, Indramayu tahun 2014.” Yang merupakan penelitian untuk skripsi syarat S1
Kesehatan Masyarakat. Untuk itu, Saya mohon kesediaan anda untuk menjawab pertanyaan dibawah ini
dengan jujur tanpa pengaruh dari pihak manapun, karena jawaban anda dapat mencerminkan keadaan
yang sebenarnya sehingga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan program Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) diperusahaan tempat anda bekerja. Saya menjamin kerahasiaan atas jawaban
yang saudara berikan.
Atas perhatian dan kerjasama saudara, saya ucapkan terimakasih.
Peneliti,
Riki Akbar
Kuesioner Penelitian
No. Responden
: ………………….(Di isi Peneliti)
Nama
: …………………………………..
Jenis Kelamin
: Laki-laki/Perempuan
NIP/No Pekerja
: …………………………………..
Unit/Bagian Kerja
: …………………………………..
A. Gangguan Pendengaran
1. Status gangguan pendengaran anda? (Dilakukan tes Audiometri)
……………………………………
A1[
]
2. Apakah akhir-akhir ini anda merasa ada gangguan pendengaran dalam berkomunikasi?
1. Ya
2. Tidak
A2[
]
A3[
]
A4[
]
3. Apakah telinga anda sering berdenging?
1. Ya
2. Tidak
4. Apakah anda terganggu bekerja dalam suasana bising ?
1. Ya
2. Tidak
B. Dosis Kebisingan
1. Dosis kebisingan anda ? (Dilakukan pengukuran)
………………………………
B1[
]
C1[
]
C2[
]
C3[
]
D1[
]
C. Masa Kerja
1. Mulai tahun berapa anda bekerja di bagian tersebut?
……………………………………………
2. Sebelum anda bekerja dibagian sekarang, di bagian manakah anda bekerja?
…………………………………………....
3. Apakah di bagian anda bekerja mengalami kebisingan saat anda bekerja?
1. Ya
2. Tidak
D. Usia Pekerja
1. Tanggal, bulan dan tahun berapa anda lahir?
………………………………………
E. Kebiasaan Merokok
1. Apakah anda merokok? (Jika ya, ke pertanyaan ke-3)
1.Merokok
2. Tidak Merokok
E1[
]
E2[
]
E3[
]
2. Jika tidak, apakah anda pernah merokok sebelumnya?
1. Ya
2. Tidak
3. Mulai tahun berapa anda merokok?
…………………………………..
4. Sejak tahun berapa anda berhenti merokok? (jika masih merokok, kepertanyaan ke-5)
…………………………………..
E4[
]
E5[
]
5. Berapa banyak batang rokok yang anda habiskan setiap hari?
……………………………….batang/hari
F. Pemakaian APT
1. Apakah anda menggunakan earplug saat bekerja? (jika tidak pernah, berhenti d isini)
1. Tidak Pernah
2. Kadang-kadang
3.Selalu
F1[
]
F2[
]
F3[
]
F4[
]
2. Disaat situasi seperti apa anda menggunakan earplug?
……………………………………………………
3. Apakah anda menggunakan earplug dengan baik dan benar?
1. Tidak
2. Ya
4. Apakah sebelum mengunakan earplug anda mencuci tangan anda?
1. Tidak
2. Ya
-Terima kasih-
DOKUENTASI PENGUKURAN DOSIS KEBISINGAN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT
PND (PERSONAL NOISE DOSIMETER)
FREQUENCIES VARIABLES=masa_kerja pemakaian_APT status_merokok usia Gangguan_Kebisingan Dosis_Kebisia
ngan
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Statistics
Pemakaian Alat
N
Gangguan
Masa Kerja
Pelindung
Status Merokok
Pekerja
Telinga
Pekerja
Valid
Missing
Pendengaran
Usia Pekerja
Pada Pekerja
55
55
55
55
55
55
0
0
0
0
0
0
Frequency Table
Masa Kerja Pekerja
Cumulative
Frequency
Valid
lebih dari 10 tahun
kurang dari sama dengan 10
tahun
Total
Percent
Valid Percent
Percent
30
54.5
54.5
54.5
25
45.5
45.5
100.0
55
100.0
100.0
Pemakaian Alat Pelindung Telinga
Cumulative
Frequency
Valid
Dosis Kebisingan
Percent
Valid Percent
Percent
tidak pernah
19
34.5
34.5
34.5
kadang-kadang
21
38.2
38.2
72.7
selalu
15
27.3
27.3
100.0
Total
55
100.0
100.0
Status Merokok Pekerja
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
merokok
34
61.8
61.8
61.8
tidak merokok
21
38.2
38.2
100.0
Total
55
100.0
100.0
Usia Pekerja
Cumulative
Frequency
Valid
lebih dari 40 tahun
kurang dari sama dengan 40
tahun
Total
Percent
Valid Percent
Percent
16
29.1
29.1
29.1
39
70.9
70.9
100.0
55
100.0
100.0
Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
menderita gangguan
16
29.1
29.1
29.1
tidak menderita gangguan
39
70.9
70.9
100.0
Total
55
100.0
100.0
Dosis Kebisingan
Cumulative
Frequency
Valid
lebih dari 100 persen
kurang dari sama dengan
100 persen
Total
Percent
Valid Percent
Percent
30
54.5
54.5
54.5
25
45.5
45.5
100.0
55
100.0
100.0
CROSSTABS
/TABLES=masa_kerja pemakaian_APT status_merokok usia Dosis_Kebisiangan BY Gangguan_Kebisingan
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
55
100.0%
0
.0%
55
100.0%
55
100.0%
0
.0%
55
100.0%
55
100.0%
0
.0%
55
100.0%
Usia Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
55
100.0%
0
.0%
55
100.0%
Dosis Kebisingan * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
55
100.0%
0
.0%
55
100.0%
Masa Kerja Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada
Pekerja
Pemakaian Alat Pelindung Telinga * Gangguan
Pendengaran Pada Pekerja
Status Merokok Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada
Pekerja
Masa Kerja Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
Crosstab
Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
tidak menderita
Masa Kerja Pekerja
lebih dari 10 tahun
Count
% within Masa Kerja
Pekerja
kurang dari sama dengan 10
tahun
Count
% within Masa Kerja
Pekerja
Total
Count
% within Masa Kerja
Pekerja
menderita gangguan
gangguan
Total
10
20
30
33.3%
66.7%
6
19
24.0%
76.0%
16
39
29.1%
70.9%
100.0
%
25
100.0
%
55
100.0
%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
.556
.324
Value
df
sided)
.576a
1
.448
.212
1
.645
.581
1
.446
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
.565
b
1
.452
55
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.27.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
1.583
.481
5.210
1.389
.587
3.288
.877
.627
1.227
Odds Ratio for Masa Kerja
Pekerja (lebih dari 10 tahun /
kurang dari sama dengan 10
tahun)
For cohort Gangguan
Pendengaran Pada Pekerja =
menderita gangguan
For cohort Gangguan
Pendengaran Pada Pekerja =
tidak menderita gangguan
N of Valid Cases
55
Dosis Kebisingan * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
Crosstab
Gangguan Pendengaran Pada
Pekerja
Dosis Kebisingan
lebih dari 100 persen
menderita
tidak menderita
gangguan
gangguan
Total
16
14
30
53.3%
46.7%
100.0%
0
25
25
% within Dosis Kebisingan
.0%
100.0%
100.0%
Count
16
39
55
29.1%
70.9%
100.0%
Count
% within Dosis Kebisingan
kurang dari sama dengan 100 Count
persen
Total
% within Dosis Kebisingan
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
.000
.000
Value
df
sided)
18.803a
1
.000
16.307
1
.000
24.871
1
.000
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
18.462
b
1
.000
55
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.27.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
.467
.318
.684
For cohort Gangguan
Pendengaran Pada Pekerja =
tidak menderita gangguan
N of Valid Cases
55
Usia Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
Crosstab
Gangguan Pendengaran Pada
Pekerja
Usia Pekerja
lebih dari 40 tahun
menderita
tidak menderita
gangguan
gangguan
Total
6
10
16
37.5%
62.5%
100.0%
10
29
39
25.6%
74.4%
100.0%
16
39
55
29.1%
70.9%
100.0%
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
.515
.286
Count
% within Usia Pekerja
kurang dari sama dengan 40 Count
tahun
% within Usia Pekerja
Total
Count
% within Usia Pekerja
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Value
df
sided)
.773a
1
.379
.305
1
.581
.753
1
.386
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
.759
b
1
.384
55
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.65.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
1.740
.503
6.021
1.462
.639
3.348
Odds Ratio for Usia Pekerja
(lebih dari 40 tahun / kurang
dari sama dengan 40 tahun)
For cohort Gangguan
Pendengaran Pada Pekerja =
menderita gangguan
For cohort Gangguan
Pendengaran Pada Pekerja =
.841
.551
1.282
tidak menderita gangguan
N of Valid Cases
55
Status Merokok Pekerja * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
Crosstab
Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
tidak menderita
Status Merokok Pekerja
merokok
menderita gangguan
gangguan
Total
10
24
34
29.4%
70.6%
100.0%
6
15
21
28.6%
71.4%
100.0%
16
39
55
29.1%
70.9%
100.0%
Count
% within Status Merokok
Pekerja
tidak merokok
Count
% within Status Merokok
Pekerja
Total
Count
% within Status Merokok
Pekerja
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
1.000
.598
Value
df
sided)
.004
a
1
.947
.000
1
1.000
.004
1
.947
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
b
.004
1
.947
55
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.11.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
1.042
.314
3.459
1.029
.438
2.417
.988
.699
1.398
Odds Ratio for Status
Merokok Pekerja (merokok /
tidak merokok)
For cohort Gangguan
Pendengaran Pada Pekerja =
menderita gangguan
For cohort Gangguan
Pendengaran Pada Pekerja =
tidak menderita gangguan
N of Valid Cases
55
Pemakaian Alat Pelindung Telinga * Gangguan Pendengaran Pada Pekerja
Crosstab
Gangguan Pendengaran Pada
Pekerja
Pemakaian Alat Pelindung
tidak pernah
Telinga
Count
% within Pemakaian Alat
Pelindung Telinga
kadang-kadang
Count
% within Pemakaian Alat
Pelindung Telinga
selalu
Count
% within Pemakaian Alat
Pelindung Telinga
Total
Count
% within Pemakaian Alat
Pelindung Telinga
menderita
tidak menderita
gangguan
gangguan
Total
8
11
19
42.1%
57.9%
100.0%
6
15
21
28.6%
71.4%
100.0%
2
13
15
13.3%
86.7%
100.0%
16
39
55
29.1%
70.9%
100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
3.368a
2
.186
Likelihood Ratio
3.555
2
.169
Linear-by-Linear Association
3.303
1
.069
N of Valid Cases
55
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 4.36.
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Pemakaian
Alat Pelindung Telinga (tidak
a
pernah / kadang-kadang)
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.
Download