HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN LABORATORIUM DENGAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA PADA PENERAPAN KOLBS EXPERIENTIAL LEARNING MODEL (KELM) DI KELAS XI (Studi kasus di Kelas XI IPA1 SMA Al-Islam I Surakarta Tahun Pelajaran 2014/2015) 1,2,3 Suciati1, Chrisnia Octovi2, Luthfiana Nurtamara3 Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP,Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRAK Hakikat sains mengacupada 3 aspek yaitu: proses, produk, dan sikap ilmiah. Melalui proses ilmiah siswa berinkuiri melakukan serangkaian keterampilan proses sains untuk membangun konsep serta menumbuhkembangkan sikap ilmiah. Dengan demikian, diprediksi kuat ada keterkaitan antara keterampilan laboratorium dengan kemampuan kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterampilan laboratorium dengan kemampuan kognitif siswa pada penerapan Kolbs experiential learning model (KELM) di kelas XI. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan posttest with non-equivalent groups. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas XI IPA 1 SMA Al-Islam I Surakarta Tahun Pelajaran 2014/2015 berjumlah 150 siswa yang terdiri atas 4 kelas. Sampel penelitian dipilih menggunakan cluster random sampling, yaitu kelas XI IPA1 terdiri 38 siswa. Model yang digunakan adalah KELM yang meliputi 5 sintaks yaitu: concrete experience, reflective observation, abstract conceptualization, active experiment (Konak, Clark, & Nasereddin, 2014). Penelitian menggunakan teknik tes dan non-tes. Teknik tes untuk mengukur kemampuan kognitif siswa mengacu taksonomi Bloom terbarui (Anderson & Kartwohl, 2012), sedangkan teknik non tes menggunakan metode observasi untuk menlihat keterampilan laboratorium siswa yang meliputi 5 aspek: menyiapkan dan menggunakan alat, mengikuti langkah kerja, pengumpulan data, keselamatan kerja, kebersihan laboratorium (Blaine dalam Balany & Roa, 2013). Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji regresi sederhana berbantuan SPSS versi 16 dengan taraf signifikansi 0.05. Hasil penelitian diperoleh angka korelasi antara variabel keterampilan labolatorium dan variabel kemampuan kognitif siswa sebesar 0.477 dan koefisien determinasisebesar 22,8%, serta nilai signifikansi sebesar 0,002. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara keterampilan laboratorium dengan kemampuan kognitif siswa pada penerapan KELM di kelas XI. Kata kunci: keterampilan laboratorium, kemampuan kognitif, KELM A. PENDAHULUAN Hakikat pembelajaran sains mengacu pada 3 hal yaiti proses (hands on), produk (minds on) dan sikap (hearts on) (Arend, 2008). Salah satu cara untuk membelajarkan sains sesuai hakikatnya adalah memfasilitasi kegiatan praktik adalah melalui kegiatan laboratorium sebagai bagian dari keterampilan proses sains (Rustaman, 2003). Menurut Woolnough dan Allsop (1985) salah satu alasan pentingnya kegiatan praktikum adalah untuk mengembangkan keterampilanketerampilan dasar dalam melaksanakan eksperimen. Memfasilitasi pembelajaran biologi dengan keterampilan laboratorium mempunyai nilai strategis diantaranya: 1) menghubungkan antara teori dan praktik; 2) menjadikan pembelajaran lebih menarik; memperbaiki miskonsepsi, serta memberdayakan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Ottander & Grelesson, 2006), meningkatkan keterampilan laboratorium dan hasil belajar Moore (2007); meningkatkan kemampuan saintifik siswa seperti: mengamati, mengukur, menggunakan alat, dan bahan serta dapat mengikuti langkah kerja yang benar (Balanay & Roa, 2013), memberikan pengalaman langsung sehingga mampu mengubah presepsi siswa tentang hal-hal penting (Watson, Prieto, dan Dillon, 1995). Bagi siswa laboratorium berperan untuk menjadikan siswa lebih yakin atas suatu teori, meningkatkan daya retensi, mengembangkan sikap dan berpikir ilmiah, meningkatkan KPS seta memecahkan masalah (Hofstein & Lunetta, 2003). Pentingnya laboratorium sains sekolah sebagai media dan potensi aktivitas laboratorium dalam pendidikan sains abad 21 terutama untuk memperkenalkan Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 27 dan memahami pengetahuan konseptual, procedural, dalam pembelajaran sains juga telah dinyatakan secara eksplisit dalam The National Science Education Standards of America (Bybee, 2000). Hal ini didukung oleh pernyataan Ottander dan Grelsson (2006) bahwa kegiatan lab merupakan bagian yang sangat penting dalam pembelajaran biologi dan sains. Kegiatan laboratorium berfungsi menghubungkan teori/ konsep dan praktek, meningkatkan daya tarik atau minat siswa, dapat memperbaiki miskonsepsi, dan mengembangkan sikap analisis dan kritis pada siswa Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya peralatan praktikum, kurangnya pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengelola dan melaksanakan kegiatan laboratorium serta keterbatasan waktu adalah alasan-alasan yang dikemukakan oleh guru biologi di sekolah (Rustaman, 2003). Sementara hasil penelitian Wiyanto (2005) menunjukkan bahwa kemampuan dalam merancang praktikum masih rendah: guru IPA SMP (51%), guru fisika SMA (43%). Hasil wawancara menunjukkan bahwa kegiatan laboratorium belum optimal baik kuantitas dan kualitasnya. Ditinjau dari kuantitas dapat dilihat dari intensitas kegiatan di laboratorium hanya bersifat tantatif atau belum terjadwal secara baik. Ditinjau dari aspek kualitas kegiatannya, kegiatan laboratorium yang dilakukan umumnya bersifat “cook book” belum memberdayakan kemampuan berpikir, sehingga kurang menantang. Akibatnya pembelajaran kurang menarik dan siswa menjadi bosan dan pasif. KELM adalah model pembelajaran yang memiliki 4 sintaks yaitu: concrete experience, reflective observation, abstract conceptualization, active experiment (Konak, Clark, & Nasereddin, 2014). KELM merupakan pembelajaran aktif yang memfasilitasi siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan, keterampilan, dan hasil belajar siswa melalui pengalaman langsung secara autentik dengan mengkaitkan dengan kehidupan nyata (Kaseem, 2007). Melalui KELM pembelajaran lebih efektif karena siswa belajar berdasarkan pengalaman, dapat mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal. KELM menuntun siswa untuk berproses menemukan pengetahuan berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan (Kolb, 1984). Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian ini untuk menjawab permasalahan: Adakah hubungan antara keterampilan laboratorium dengan kemampuan kognitif siswa? B. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan posttest with nonequivalent groups. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas XI IPA 1 SMA Al-Islam I Surakarta Tahun Pelajaran 2014/2015 berjumlah 150 siswa yang terdiri atas 4 kelas. Sampel penelitian dipilih menggunakan cluster random sampling, yaitu kelas XI IPA1 terdiri 38 siswa. Model yang digunakan adalah KELM yang meliputi 5 sintaks yaitu: concrete experience, reflective observation, abstract conceptualization, active experiment (Konak, Clark, & Nasereddin, 2014). Penelitian menggunakan teknik tes dan non-tes. Teknik tes untuk mengukur kemampuan kognitif siswa mengacu taksonomi Bloom terbarui (Anderson & Kartwohl, 2010), sedangkan teknik non tes menggunakan metode observasi untuk melihat keterampilan laboratorium siswa yang meliputi 5 aspek: menyiapkan dan menggunakan alat, mengikuti langkah kerja, pengumpulan data, keselamatan kerja, kebersihan laboratorium (Blaine dalam Balany & Roa, 2013). Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji regresi sederhana berbantuan SPSS versi 16 dengan taraf signifikansi 0.05. C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil uji tes regresi diperoleh datanilai korelasi dan signifikansi serta kesimpulan uji sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut: Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 28 Tabel 1. Uji Regresi Sederhana Hubungan Keterampilan Laboratorium dan Kemampuan Kognitif Siswa pada Penerapan KELM Angka Koefisien Signifikansi Hasil Kesimpulan korelasi Determina si 0.477 22,8% 0,002 H0 Ada pengaruh ditolak signifikan Tabel 1 menunjukkan hasil uji regresi sederhana dengan angka korelasi sebesar 0.477, persentase koefisien determinasinya sebesar 22.8% dan angka signifikansi sebesar 0.002. < 0.05, sehingga H0 ditolak. Artinya ada hubungan yang signifikan antara keterampilan laborratorium dankemampuan kognitif siswa pada penerapan KELM. Sementara hasil nilai rata-rata kemampuan kognitif siswa disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Rata-rata Hasil Belajar Kognitif Siswa Kemampuan Terendah Tertinggi Rata-rata kelas Kognitif 79,725 94,968 88,459 Deskripsi hasil nilai rata-rata dan nilai tiap aspek keterampilan laboratorium siswa disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Nilai Keterampilan Laboratorium Siswa Deskripsi Rata-rata Standar Deviasi Variansi Minimum Median Maksimun Nilai 73,13 1,19 142,08 42,20 76,30 92,40 Tabel 4. Rata-rata Nilai Tiap Aspek Keterampilan Laboratorium Siswa No. Aspek Rata-rata Nilai 1. Menyiapkan dan menggunakan alat 77,58 2. Mengikuti langkah kerja 67,37 3. Pengumpulan data 62,05 4. Keselamatan kerja 89,81 5. Kebersihan laboratorium 68,84 Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 5 aspek keterampilan laboratorium, capaian nilai rata-rata paling tinggi aadalah aspek keselamatan kerja (89,81), disusul aspek menyiapkan dan menggunakan alat (77,58). Ada 3 aspek yang capaian nilai rata-ratanya kategori cukup yaitu: mengikuti langkah kerja (67,37), pengumpulan data (62,05), dan kebersihan laboratorium. D. Pembahasan Setidaknya ada 2 faktor penyebab adanya pengaruh yang signifikan antara kedua variabel penelitian. Pertama, faktor model yang digunakan dalam pembelajaran dalam hal ini karakteritik KELM yang terdiri 5 fase yaitu: concrete experience, reflective observation, abstract conceptualization, active experiment (Konak, Clark, & Nasereddin, 2014). Pada fase concrete experience siswa dihadapkan pada suatu fenomena yang menantang untuk mendorong siswa Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 29 mengajukan pertanyaan. Hal ini relevan dengan temuan Zull (2002) bahwa melalui pengalaman konkret mendorong siswa aktif bereksperimen dengan konsep melalui tugas-tugas yang diberikan oleh guru terutama ketika siswa mengamati fenomena yang disajikan guru dalam lembar kerja siswa. Kegiatan ini menyebabkan fungsi otak bagian sensory cortex berkembang sehingga mendorong siswa untuk bertanya. Pada fase reflective observation siswa selanjutnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan dituntut untuk mengerucutkan dengan sebuah pertanyaan yang relevan dengan kegiatan penyelidikan. Kegiatan ini menyebabkan fungsi otak bagian integrative cortex beakang dengan cara pengaktifan ingatan terhadap apa yang telah diamati siswa. Pada fase abstract conceptualization siswa menemukan jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan (hipotesis). Di sini siswa dituntut untuk menggunakan nalarnya menemukan jawaban atas masalah yang telah dirumuskan. Kegiatan ini menyebabkan fungsi otak bagian frontal berkembang, sehingga mendorong siswa menemukan solusi permasalahan. Pada fase active experiment siswa melakukan penyelidikan untuk menguji kebenaran hipotesisya (hypothesis testing). Kegiatan ini mendorong fungsi otak yang mengaktifkan motorik jadi berkembang. Dengan demikian penggunaan model pembelajaran yang melatihkan keterampilan laboratorium (termasuk KELM), akan membantu penguasaan konsep siswa. Hal ini didukung oleh beberapa hasil penelitain diantaranya penelitian Sholehah dan Prihandono (2013) bahwa penggunaan KELM berpengaruh positif terhadap kemampuan kerja ilmiah yaitu proses dimana siswa membangun pengetahuannya atau menemukan konsep secara mandiri. Sementara hasil penelitian Trumper, R. (2002) menunjukkan bahwa keterampilan laboratorium memberi pengalaman memanipulasi berbagai peralatan dan bahan laboratorium dan juga membantu siswa untuk pengembangan pemahaman konseptual. Penggunaan keterampilan proses sains, learning by doing dan hand-on activity memfasilitasi siswa memecahkan masalah, berfikir kritis, membuat keputusan, memperoleh jawaban yang memuaskan atas keingintahuan siswa, dan memberikan hasil belajar yang lebih permanen (Ergul, R., et.al., 2011). Keterampilan laboratorium aspek keselamatan kerja merupakan aspek yang capaian nilai rata-ratanya paling tinggi dibandingkan dengan aspek keterampilan laboratorium lainnya. Hal ini dikarenakan aspek tersebut merupakan hal yang baru bagi siswa. Hasil wawancara dengan siswa menunjukkan 95% siswa menjawab bahwa pengenalan keselamatan kerja dalam kegiatan laboratorium merupakan sesuatu yang baru. Menurut Proudman (1995) learning by doing pada sintaks active experiment membuat pengalaman belajar yang berbeda dan pengetahuan yang diperoleh lebih retensif. Sementara keterampilan laboratorium aspek mengikuti langkah kerja (67,37), aspek mengumpulkan data (62,05), dan aspek kebersihan laboratorium (68,84) dimana capaian nilai rata-ratanya berada pada kisaran nilai sedang. Aspek mengikuti langkah kerja dan aspek mengumpulkan data erat kaitannya dengan keterampilan melakukan percobaan. Sementara sesuai hasil observasi dan hasil wawancara dengan siswa dan guru siswa kurang mendapat latihan keterampilan proses sains, sehingga capaian nilai rata-ratanya kurang optimal. Kedua, faktor antusiasme siswa dalam pembelajaran. Antusias siswa dalam pembelajaran tampaknya juga mempengaruhi signifikansi hubungan antara kedua variabel. Meski dalam penelitian ini antusias siswa tidak diukur secara eksplisit, tetapi tampak dari gairah siswa dalam mengikuti pelajaran. Siswa tampak bersemangat dan sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan terutama pada saat dilakukan pembedahan hewan. Tabel 5. Cuplikan Dialog Antusiasme Siswa Dalam Pembelajaran Subjek Dialog Guru : Apakah sebelumnya kalian pernah melakukan kegiatan praktikum seperti ini? Siswa : “ ..belum pernah…” (7) Siswa : “Kalau praktik pembedahan hewan baru sekali ini “ (9) Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 30 Subjek Siswa (11) Siswa (23) Guru Siswa (7) Siswa (9) Siswa (11) Siswa (23) : Dialog “..pernah praktikum tapi tidak detil seperti ini…” : “…belum bu…” : : Apa yang kalian rasakan mengikuti kegiatan pembelajaran hari ini? “Senang bu….besok praktik lagi ya bu…!” : “ asyik bu ….” : “ …menyenangkan bu….jadi tahu bagaimana organ dalamnya hewan…” “menarik sekali…” : Cuplikan dialog pada Gambar 1 menggambarkan tinginya antusiasme siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini relevan dengan hasil observasi pada pra-penelitian bahwa guru cenderung menggunakan metode ceramah, diskusi, tanya jawab, dan mengerjakan latihan soal. Hasil wawancara dengan guru juga terungkap guru mengakui bahwa pembelajaran biologi dengan praktikum di laboratorium sesungguhnya sangat menarik dilakukan, namun tampaknya guru masih terkendala oleh beberapa hal diantaranya: keterbatasan alat praktikum, keterbatasan waktu karena dikejar target kurikulum, keterbatasan waktu karena kegiatan praktikum membutuhkan persiapan dan memakan waktu yang cukup panjang. Tampaknya hal ini kontradiksi dengan hakikat pembelajaran sains (biologi), dimana pembelajaran sains yang ideal haruslah mengacu pada proses, produk, dan sikap ilmiah (Arend, 2008) dan pendekatan saintifik melalui kegiatan: mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan sebagaimna diamanahkan dalam Kurikulum 2013. Dalam konteks penelitian ini, meski guru jarang melatihkan keterampilan laboratorium pada siswa, namun karena antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran sangat tinggi sehingga mendorong rasa ingin tahu siswa dan berusaha untuk terus belajar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Abraham (2008) bahwa pengembangan keterampilan laboratorium melalui kegiatan eksperimen di kelas merupakan salah satu dari metode pengajaran sains yang dipilih siswa dengan alasan bermanfaat, lebih menyenangkan dan efektif. Adanya pengaruh yang signifikan antara keterampilan laboratorium dengan kemampuan kognitif siswa relevan dengan hasil penelitian Nirwana, dkk. (2013) bahwa keterampilan proses sains (termasuk keterampilan laboratorium) berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar fisika siswa kelas X1. Sementara Widyarti (2005) menyatakan bahwa agar pemahaman siswa terhadap materi atau topik menjadi utuh dan komperhensif, serta dalam upaya mendukung keberhasilan belajar sains (biologi), maka keberadaan laboratorium sangat penting. E. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara keterampilan laboratorium dengan kemampuan kognitif siswa kelas XI pada penerapan KELM. F. IMPLIKASI Adanya hubungan secara signifikan antara keterampilan laboratorium dengan kemampuan kognitif siswa mengisyaratkan bahwa hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu data empiris pada penggunaan KELM untuk memberdayakan kemampuan kognitif siswa kelas XI. Namun penelitian ini masih memiliki keterbatasan dimana keterampilan laboratorium siswa yang diukur baru sebatas keterampilan laboratorium berdasarkan kerja kelompok, sementara Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 31 kemandirian belajar kurang ditekankan, sehingga dapat dijadikan acuan pada penelitian selanjutnya. G. DAFTAR PUSTAKA Abraham, Ian., dan Millar, Robert. (2008). Does practical work really work? A study of effectiveness of practical work as a teaching and learning method in school science. International Journal of Science Education, 30(14), 1945-1969. Anderson, L.W & Kartwohl, D.R. (2010). Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arends, R.I. 2008. Learning toTeach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Balany, C.A. & Roa, E.C. (2013). Assessment on Students’ Science Process Skills: A Student Cenntered Approach. International Journal of Biology Education, 3 (1), 24-44. Bybee, R. 2000. Teaching Science as Inquiry. In, J. Minstrel & E.H. Van Zee (Eds.), Inquiring into inquiry learning and teaching in science (pp. 20-46). Washington, D.C: American Association for the Advancement of Science (AAAS). Ergul, Remziye., et al. (2011). The effect of inquiry-based science teaching on elementary school students' science process skill and science attitudes. Bulgarian Journal of Science and Education Policy (BJSEP), 5(1), 48-68. Hofstein, A. & Lunetta, V.N. (2003). The Laboratory in Science Education: Foundations for The Twenty-First Century. Journal Laboratory for Science Education, 28-29. Kaseem, C. (2007). Task Force on Experiential Learning. Report to Faculty Assembly Executive Council. Ramapo College of New Jersey. Kolb, D.A. (1984). Experiential Learning: Experience ex The Source of Learning and Development. New Jersey: Prentice Hall. (21-34). Diperoleh pada 13 Januari 2016, dari: http://www.learningfromexperience.com/images/uploads/process-of-experientiallearning.pdf. Konak, A., Clark, R. & Nasereddin, M. (2014). “ Using Kolb’s Experiential Learning Cycle to improve student learning in virtual computer laboratories. Journal Computers & Education, 72, 1122. Moore,R. (2007). What Do Students’ Behaviors and Performancess in Lab Tell Us About Their Behaviors and Performances in lecture – Portions of Introductory Biology Courses. Bioscene: Journal pof College Biology Teaching, 33 (1), 19-24. Nirwana, F. Bayu., Nyeneng, I Dewa Putu., Maharta, Nengah. (2013). Pengaruh Keterampilan Proses Sains Terhadap Hasil Belajar Pada Model Latihan Inkuiri. Lampung: Universitas Lampung (Skripsi: tidak diterbitkan). Ottander, C, &Grelsson, G. (2006). Laboratory work: The Teachers’ Perspective. Journal of Biological Education. 40(3), 113-118 Proudman. (1995). Experiential education as emotionally engaged learning. The theory of experiential education: 232-239. Rustaman, N. (2003). Perencanaan dan Penilaian Praktikum di Perguruan Tinggi. Handout Program Applied Approach Bagi Dosen Baru UPI. Bandung: UPI. Sholehah, I. dan Prihandono, T.Y. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Experiential Learning Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa di SMP. Jurnal Pendidikan Fisika, 2 (3), 278-284. Trumper, R. (2002). What do we expect from students’ physics laboratory experiments? Journal of Science Education and Technology, 11(3), 221-228. Widyarti, S. (2005). Strategi Pengelolaan Laboratorium Biologi, Bahan Pelatihan Manajemen Laboratorium. Padang: Universitas Negeri Padang (UNP). Wiyanto. (2005). Pengembangan Kemampuan merancang Kegiatan Laboratorium Fisika Berbasis Inkuiri Bagi Mahasiswa Calon Guru. Jurnal UNNES-Jurusan Fisika FMIPA. Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 32 Watson, R., Prieto, T., Dillon, S.J. (1995). The Effect of Practical Work on Students’ Understanding of Combustion. Journal Research in Science Teaching, 32 (5). Woolnough, B., E., &Allsop, T. (1985). Practical Work in Science. Cambridge: Cambridge University Press. Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 33