BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi informasi dan globalisasi yang sangat pesat
merupakan sesuatu hal yang tidak bisa dihindari dan telah memberikan perubahan
signifikan terhadap seluruh aspek kehidupan manusia. Kemajuan teknologi
informasi dan globalisasi telah memberikan dampak positif yaitu memberikan
manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia, namun di sisi
lain juga memberikan dampak negatif yaitu timbulnya kejahatan dimensi baru
yang dilakukan tidak dengan cara yang konvensional seperti halnya kejahatan
biasa melainkan dengan modus operandi yang lebih canggih dan modern dalam
pelaksanaannya. Salah satu kejahatan yang bersifat canggih dan modern yang
mendapat perhatian khusus dari dunia internasional termasuk Indonesia adalah
tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau 
TPPU telah berkembang secara kompleks dengan menggunakan modus yang
semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah
merambah ke berbagai sektor dan sangat mengancam stabilitas ekonomi.
Mengantisipasi hal itu,     (FATF)  
, badan dunia yang mengurus pencucian uang, telah mengeluarkan
standar internasional sebagai ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan
pemberantasan TPPU dan tindak pidana pendanaan terorisme. Di Indonesia
penanganan TPPU dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan terakhir
dengan mengakomodasi Standar Internasional FATF   
dilahirkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU )1.
Berkaitan dengan pencucian uang, belum terdapat definisi atau pengertian
yang universal dan komprehensif2. Demikian juga dalam UU PPTPPU, tidak
terdapat definisi atau pengertian pencucian uang karena Pasal 1 angka 1 hanya
menyebutkan : “Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”3.
Dengan demikian yang dimaksud TPPU oleh Pasal 1 angka 1 adalah segala
perbuatan
yang memenuhi
unsur-unsur
tindak pidana
pencucian
uang
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU PPTPPU4. TPPU
yang dirumuskan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU PPTPPU merupakan TPPU aktif
yang lebih menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi pelaku pencucian
uang sekaligus pelaku tindak pidana asal dan bagi pelaku pencucian uang yang
mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil tindak
pidana, sedangkan TPPU yang dirumuskan dalam Pasal 5 UU PPTPPU adalah
1
Abdul Fickar Hadjar, “Cuci Mencuci Uang Dan Menangkap Gate Keeper”,

, diunduh tanggal 02 Maret 2015.
2
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, 
, Pustaka Utama Grafitri, Jakarta, hlm.1.
3
R.Wiyono, 2014,      
Pidana Pencucian Uang”, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.21.
4
, hlm.23.
TPPU pasif yang lebih menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi pelaku
yang menikmati manfaat dari hasil kejahatan dan bagi pelaku yang berpartisipasi
menyembunyikan dan menyamarkan asal usul harta kekayaan 5.
Dalam penanggulangan TPPU terdapat lembaga khusus yang berfungsi
sebagai aparat penyelidik yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK). Berdasarkan Pasal 37 UU PPTPPU, lembaga ini merupakan lembaga
independen yang bertanggung jawab kepada Presiden dan bebas dari campur
tangan dan pengaruh kekuasaan manapun yang akan melakukan fungsi
penyelidikan yaitu mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi
informasi transaksi yang dicurigai dan diduga sebagai perbuatan pencucian uang,
sebelum informasi itu diteruskan kepada penyidik untuk diproses berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketentuan yang berlaku secara universal mengenai prinsip dasar TPPU adalah
TPPU itu sebagai suatu kejahatan yang mempunyai ciri khas bahwa kejahatan ini
bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. TPPU merupakan
kejahatan yang bersifat    atau kejahatan lanjutan, sedangkan
kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai  yaitu
kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses
pencucian uang6. Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di sidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak
pidana asalnya (), hal ini sebagaimana tersebut dalam Pasal 69
Abdul Fickar Hadjar, 
Wawan Tunggul Alam, “UU Pencucian Uang (1) : Anomali Kepastian Hukum”,
 , diunduh tanggal 4 Maret
2015.
5
6
UU PPTPPU. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU, yang dapat
dikategorikan sebagai   bagi terjadinya pencucian uang, adalah
harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika,
psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang
perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai,
perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang
perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan
dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan penjara 4 tahun atau
lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Lebih lanjut Pasal 2 ayat (2)
UU PPTPPU menyatakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan
digunakan dan / digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan
terorisme, organisasi teroris atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil
tindak pidana terorisme.
Ketatnya lembaga perbankan di Indonesia mengakibatkan pelaku pencucian
uang mencari cara lain dengan cara mendirikan bisnis legal, pembelian properti
seperti rumah, tanah, dan harta-harta benda lainnya yang tidak dapat dengan
mudah terendus oleh para penegak hukum. Secara langsung maupun tidak
langsung modus-modus ini menggunakan sarana notaris dan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) untuk mencapai tujuannya yaitu “mencuci” uang haram
menjadi uang halal. Notaris dan PPAT yang memiliki kewenangan untuk
membuat akta otentik sebagai bukti telah terjadi suatu perbuatan hukum yang
dilakukan masyarakat secara langsung dapat dimanfaatkan oleh pelaku pencucian
uang. Bahkan pada praktiknya terdapat notaris dan PPAT yang ikut serta berperan
dalam membantu bisnis atau investasi dalam dan luar negeri sehingga seolah-olah
hal tersebut memiliki legitimasi hukum. Pelaku pencucian uang memberikan
kuasa kepada notaris atas nama mereka menyimpan, melakukan jual beli,
menginvestasikan dana, dan aktifitas lain untuk menutupi tujuan utamanya yaitu
menyamarkan dan menyembunyikan asal-usul harta yang diperoleh dari hasil
kejahatan7.
Selain dengan menggunakan modus jual beli  di atas Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga menghimbau kepada notaris agar
berhati-hati dalam menerbitkan akta pendirian dan jual beli saham Perseroan
Terbatas (PT). Hal ini dikarenakan ada kemungkinan uang hasil kejahatan dicuci
di PT dengan cara membeli saham. Modus pembelian saham memudahkan pelaku
pencucian uang untuk memindahkan uangnya. Jika berbentuk saham, maka
otomatis uang hasil kejahatan menjadi sah, sehingga mudah dipindahkan sesuai
keinginan pelaku tindak pidana. Notaris selaku pencatat besaran modal dan saham
dalam akta PT menjadi ujung tombak dalam menyaring pendirian perseroan yang
mencurigakan8.
7
Yunus Husein, ”Urgensi Gatekeeper Sebagai Pelapor Dalam Rezim Anti Pencucian Uang
Indonesia”,          
         
, 2013,hlm.30.
8
Anonim ”Notaris Diminta Waspadai Pencucian Uang Lewat Pembelian Saham”,

, diunduh tanggal 05 Maret 2015.
Beberapa kasus pencucian uang yang melibatkan notaris dan PPAT adalah :
1. Kasus korupsi dan pencucian uang proyek Simulator Surat Ijin Mengemudi
(SIM) yang menimpa DS di Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Korlantas POLRI) menyisakan cerita adanya peranan Notaris EM
yang membantu DS dalam melakukan pencucian uang berupa pembelian
tanah dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di berbagai daerah.
Nama Notaris EM berulang kali disebut dalam dakwaan pencucian uang DS.
Penuntut umum menganggap DS bersama-sama Notaris EM dan beberapa
orang lainnya melakukan TPPU dengan membelanjakan dan membayarkan
harta kekayaan yang patut diketahui merupakan hasil tindak pidana. Peran
Notaris EM dalam kasus pencucian uang yang melibatkan DS antara lain9:
a. Notaris EM memverifikasi sertifikat
untuk pembelian tanah di
Leuwinanggung, Cimanggis, Depok pada 2002-2005 dan menunjuk PPAT
di wilayah Depok karena wilayah kerja Notaris EM berada di Jakarta
Pusat. Sertifikat tanah kurang lebih ada sepuluh dan untuk kepemilikan
tanah diatasnamakan EH (anak DS), AM, dan A.
b. Notaris EM bersama EBS mengurus transaksi, mengecek sertifikat, dan
menunjuk notaris di wilayah Semarang untuk pembelian tanah di
Kaliwungu, Kendal, Semarang pada 2005 guna keperluan pembangunan
SPBU. Berdasarkan pengakuan Notaris EM, setiap bulan DS meminta
Notaris EM untuk mengambil uang dari hasil keuntungan SPBU dengan
9
Anonim,
“Peran
Notaris
Dalam
Kasus
Djoko
Susilo”,

, diunduh tanggal 05 Maret 2015.
jumlah yang bervariasi antara Rp 70 juta – Rp 90 juta dari 2007 sampai
2010 untuk diserahkan kepada DS.
c. DS meminta Notaris EM untuk memverifikasi sertifikat dalam pengurusan
pembelian SPBU di Ciawi, Bogor seluas 3988 meter persegi pada 2007.
Notaris EM lalu menunjuk notaris di wilayah Bogor, yaitu Notaris NS
untuk membuat Akta Jual Beli (AJB). Menurut pengakuan Notaris EM,
harga yang tertuang dalam AJB berbeda dengan harga yang dibayarkan ke
penjual. Pembelian SPBU di Ciawi sebesar Rp 10 miliar, tetapi harga yang
tertuang di AJB sebesar Rp 1,89 miliar. Setelah notaris NS selesai
mengurus AJB, Notaris EM mengantar penjual (LS) untuk bertemu DS.
Notaris EM melihat DS memberikan beberapa kardus berisi uang sejumlah
Rp 10 miliar kepada LS untuk pelunasan pembelian SPBU
d. Notaris EM diminta DS untuk mengecek sertifikat, lokasi, dan bertemu
dengan pemilik tanah untuk pembelian tanah seluas 9000 meter persegi di
Cihideung, Bogor pada 2007. Notaris EM tidak mengetahui berapa jumlah
transaksi yang dibayarkan DS kepada penjual. Namun, setelah proses
pembuatan AJB, tanah diatasnamakan istri pertama DS.
e. Notaris EM membantu pengurusan pembelian tanah di Jl Perintis
Kemerdekaan, Surakarta pada 2007. DS meminta tanah diatasnamakan
anaknya, PF.
f. Notaris EM diminta DS untuk membantu pengurusan pembelian rumah di
Prapanca seharga Rp 14,5 miliar pada 2008. Saat pengurusan AJB, Notaris
EM membantu proses pembayaran di Bank Mandiri. Uang sebesar
Rp 14,5 miliar dibayarkan DS secara tunai dalam beberapa kardus.
g. Notaris EM bersama EBS melakukan negosiasi harga dengan penjual
bernama S untuk pembelian SPBU di Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta
Utara seluas 2640 meter persegi pada 2010. Sesuai kesepakatan, S menjual
SPBU seharga Rp 11,5 miliar. Untuk pembelian SPBU tersebut, Notaris
EM menerima Rp 500 juta dari DS untuk pembayaran uang muka,
sedangkan untuk pelunasannya sebesar Rp 11 miliar diambil sendiri secara
tunai oleh Notaris EM di rumah DS pada akhir 2010 dan disetorkan ke
rekening S di Bank Mandiri Pantai Indah Kapuk. Menurut pengakuan
Notaris EM, atas permintaan DS harga yang tertuang dalam AJB berbeda
dengan harga yang dibayarkan ke penjual. Pembelian SPBU di Muara
Kapuk sebesar Rp 11,5 miliar, tetapi di AJB harga yang tertuang sebesar
Rp 5,34 miliar.
h. Notaris EM membantu pengurusan pembelian rumah di Cikajang, Jakarta
Selatan seharga Rp 6,35 miliar pada 2011. Notaris EM menerima uang
muka Rp 100 juta dari DS untuk diserahkan kepada B selaku penjual.
Selanjutnya pelunasan sebesar Rp 6,25 miliar dilakukan oleh Notaris EM
dengan mengambil secara tunai dari DS yang dimasukkan ke dalam
kardus untuk diserahkan kepada B di BII Mangga Dua. Rumah tersebut
kemudian
diatasnamakan
DA
(istri
ketiga
DS).
Untuk
proses
penandatanganan AJB, Notaris EM mendapat kuasa dari DA untuk
menandatangani AJB.
i. Notaris EM diminta bantuan oleh DS untuk mengecek sertifikat untuk
pembelian rumah di Bukit Golf Residence, Semarang pada 2012. Dalam
pembelian rumah di Bukit Golf Residence ini, Notaris EM tidak mengikuti
pembuatan AJB karena pihak  memiliki notaris sendiri. Notaris
EM menyerahkan pengurusan kepada rekan DS yang bernama RAR dan
kepemilikan tanah dibuat atas nama DA.
j. Notaris EM diminta DS untuk mengurus pembelian tanah di Patehan,
Yogyakarta pada 2012. DS meminta pembelian tanah diatasnamakan istri
kedua DS yaitu MD.
k. Notaris EM diminta membantu proses penjualan rumah di Pesona
Kayangan, Depok atas nama DA kepada HI. Saat itu, Notaris EM
mengetahui DS telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Meski AJB
telah ditandatangani, tidak ada transaksi yang dibayarkan kepada DS
selaku penjual. Menurut pengakuan Notaris EM, pembayaran rumah di
Pesona Kayangan dihitung dari biaya kompensasi pengelolaan SPBU.
l. Masih dalam status tersangka, DS meminta Notaris EM membantu
menjualkan tanah milik istri kedua DS yang bernama MD yang terletak di
Jalan Durian dan Jati Padang. Notaris EM lalu menunjuk notaris di Jakarta
Selatan untuk mengurus AJB dan sertifikat.
Notaris EM mengaku tidak mendapatkan  selain biaya transportasi dan
akomodasi dari semua bantuan yang diberikan Notaris EM kepada DS.
Notaris EM mendapat uang transport Rp 5 juta setiap kali diminta DS
memverifikasi sertifikat di luar kota dan juga mendapatkan  sebagai PPAT
apabila mengurus AJB di wilayah kerjanya 10.
2. Kasus kredit fiktif Bank Syariah Mandiri Bogor yang melibatkan Notaris SD.
Dalam kasus ini, Notaris SD ditunjuk langsung oleh pihak bank untuk
membuat akta pengikat perjanjian pembiayaan dengan akad murabahah.
Notaris SD diketahui membuat akta pembiayaan yang hanya dihadiri oleh
tersangka IP tanpa debitur lainnya padahal dalam akta tertuang terdapat
debitur lain selain IP. Dalam pembuatan akta pembiayaan tersebut, Notaris
SD juga hanya menggunakan sertifikat tanah berupa salinan ()
sebagai agunan. Atas jasanya tersebut, Notaris SD menerima dana hasil kredit
fiktif melalui transfer rekening sejumlah Rp 2,6 miliar dan sejumlah uang
tunai. Notaris SD juga menerima pemberian satu unit sedan Mercedes Benz
C200. Atas perbuatannya tersebut, Notaris SD didakwa Pasal 64 UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 264 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atas pemalsuan dokumen oleh notaris,
serta Pasal 3 dan atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang11.
Kasus pencucian uang yang melibatkan notaris dan PPAT tersebut di atas
menunjukkan bahwa jasa notaris dan PPAT bisa dimanfaatkan pelaku pencucian
uang untuk menyembunyikan dan menyamarkan uang hasil kejahatan. Salah satu
faktor yang menyebabkan modus pencucian uang dengan melibatkan notaris

Ade
Irma
Junida,
”Polisi
Tangkap
Notaris
Kredit
Fiktif
,
tanggal 10 Maret 2015.
10
11
BSM”,
diunduh
dan PPAT sebagai adalah karena tidak dikategorikannya notaris dan
PPAT dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPTPPU sebagai pihak pelapor. Hal ini
menyebabkan tidak ada kewajiban bagi notaris dan PPAT untuk memberikan
laporan kepada PPATK mengenai transaksi keuangan mencurigakan yang
dilakukan oleh para pihak, sehingga pelaku pencucian uang memanfaatkan jasa
notaris dan PPAT untuk menyembunyikan dan menyamarkan uang hasil
kejahatan. Hal inilah yang menjadi latar belakang dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada tanggal 23 Juni 2015 yang
menjadikan notaris dan PPAT sebagai pihak pelapor TPPU.
Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan TPPU,
berdasarkan Pasal 41 ayat (1) huruf a dan ayat (2) UU PPTPPU, PPATK
berwenang meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah
dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan
informasi termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang
menerima laporan dari profesi tertentu. Lingkup “lembaga swasta” antara lain
asosiasi advokat, asosiasi notaris, dan asosiasi akuntansi, sedangkan yang
dimaksud dengan “profesi tertentu” antara lain advokat, konsultan bidang
keuangan, notaris, PPAT dan akuntan independen. Dalam menyampaikan data
dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK
dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam
12
 adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan seorang profesional
di bidang keuangan atau hukum dengan keahlian, pengetahuan, dan akses khusus kepada sistem
finansial global yang jasanya digunakan untuk menyembunyikan aset milik kliennya. Kemampuan
profesional ini seringkali dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menyembunyikan
kepemilikan sesungguhnya atas harta kekayaan ilegal.
Pasal 28 UU PPTPPU yang menyatakan “Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh
pihak pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi pihak
pelapor yang bersangkutan”.
Salah satu tugas jabatan notaris dan PPAT yaitu memformulasikan keinginan
/ tindakan penghadap / para penghadap ke dalam bentuk akta otentik dengan
memperhatikan aturan hukum yang berlaku. Hal ini sebagaimana tersebut dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 702 K / sip / 1973
tanggal 5 September 1973 yaitu “Notaris fungsinya hanya mencatatkan /
menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang
menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki
secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan
notaris tersebut”. Dalam kenyataannya, notaris dan PPAT dipanggil sebagai saksi
bahkan dijadikan tersangka sebagai turut serta dalam melakukan TPPU. Salah
satu cara agar notaris dan PPAT terhindar dari gugatan perdata maupun tuntutan
pidana dalam menjalankan tugas jabatannya, terutama tuntutan TPPU, sebaiknya
notaris dan PPAT memiliki pengetahuan yang cukup luas untuk dapat
menganalisis dengan baik transaksi yang dituangkan dalam akta otentik.
Dalam upaya mengungkap praktik pencucian uang, profesi notaris dan PPAT
memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan berbagai penyedia jasa
lainnya terutama mengenai risiko yang dihadapi apabila tidak menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam menjalani profesinya. Bagi profesi notaris dan PPAT, reputasi
merupakan hal yang sangat penting karena jabatan notaris dan PPAT
membutuhkan tingkat kehormatan dan martabat yang tinggi. Dalam suatu keadaan
dimana tingkat reputasi profesi Notaris dan PPAT rendah, maka hal ini dapat
mempengaruhi tingkat pembuktian atas akta yang dihasilkan. Oleh karena itu,
dalam upaya meminimalkan risiko serta dalam upaya memberikan pelayanan
terbaik bagi masyarakat, peran notaris dan PPAT sangat dinantikan dalam
mencegah TPPU di Indonesia. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik
untuk meneliti permasalahan tersebut dengan mengangkatnya dalam tesis yang
berjudul “PERAN NOTARIS DAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG“
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh notaris dan PPAT dalam
partisipasinya mencegah tindak pidana pencucian uang ?
2. Hambatan apa yang dihadapi oleh notaris dan PPAT dalam partisipasinya
mencegah tindak pidana pencucian uang ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diuraikan di atas, yang
menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menganalisis upaya yang dilakukan oleh notaris dan PPAT dalam
partisipasinya mencegah tindak pidana pencucian uang.
2. Untuk menganalisis hambatan yang dihadapi oleh notaris dan PPAT dalam
partisipasinya mencegah tindak pidana pencucian uang.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah khazanah keilmuan tentang peran notaris dan PPAT dalam
pencegahan TPPU.
b. Memberikan sumbangan pemikiran pengetahuan dan ilmu hukum,
terutama dalam bidang hukum kenotariatan yang pada umumnya
bermanfaat bagi masyarakat dan para akademisi serta para praktisi hukum
pada khususnya.
c. Memberikan informasi yang bersifat ilmiah dan obyektif bagi para notaris
dan PPAT.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia pada umumnya,
notaris dan PPAT pada khususnya tentang peran notaris dan PPAT dalam
pencegahan TPPU.
b. Sebagai    bagi notaris dan PPAT dalam menyusun
akta-akta yang patut diduga sebagai kasus yang berindikasi TPPU.
c. Mendorong pemerintah membuat regulasi khususnya tentang tata cara
pelaporan bagi notaris dan PPAT terhadap akta-akta yang patut diduga
sebagai kasus yang berindikasi TPPU.
E. Keaslian Penelitian
Penulis telah melakukan penelusuran terhadap berbagai referensi melalui
media cetak maupun media elektronik. Sepengetahuan penulis, terdapat beberapa
penelitian yang materinya memiliki kemiripan dengan materi yang penulis ambil,
yaitu :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Hendry Julian Noor dari Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2010 dengan
judul ”Jasa Notaris sebagai salah satu upaya dalam memperkuat rezim anti
pencucian uang” dengan rumusan masalah sebagai berikut : 13
a. Mengapa notaris wajib (terkait dengan transaksi-transaksi yang diminta
Undang-Undang untuk dilaporkan) melaporkan setiap transaksinya terkait
dengan pemberantasan dan pencegahan TPPU ?
b. Bagaimana upaya-upaya (dalam pemberantasan dan pencegahan tindak
pidana di Indonesia) bila dibandingkan dengan hak istimewa yang
dimiliki oleh notaris seperti yang telah diatur oleh Undang-Undang
Jabatan Notaris ?
Hasil penelitian tersebut adalah :
a. Notaris wajib (terkait dengan transaksi-transaksi yang diminta UndangUndang untuk dilaporkan) melaporkan setiap transaksinya terkait dengan
pemberantasan dan pencegahan TPPU karena dengan melakukan
pelaporan, diharapkan notaris dapat menjadi seperti “penjaga gawang”
Hendry Julian Noor, 2010, “Jasa Notaris Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Memperkuat
Rezim Anti Pencucian Uang”,  Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
agar tidak gampang ditembus oleh modus-modus operandi para pelaku
pencucian uang.
b. Upaya-upaya (dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana di
Indonesia) bila dibandingkan dengan hak istimewa yang dimiliki oleh
notaris seperti yang telah diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris
adalah kewajiban pelaporan oleh notaris hanya sebatas pada transaksi yang
terindikasi TPPU, yaitu transaksi untuk dan atas nama klien dan juga
beberapa transaksi lainnya tanpa menjamah daerah rahasia klien seperti
biaya () notaris, sehingga kerahasiaan antar notaris dan klien tetap
terjaga dan profesionalisme pun tetap terjunjung.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian yang
dilakukan oleh Hendry Julian Noor membahas alasan notaris wajib
melaporkan setiap transaksinya terkait dengan pemberantasan dan pencegahan
TPPU serta upaya-upaya dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana
di Indonesia bila dibandingkan dengan hak istimewa yang dimiliki oleh
notaris seperti yang diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris, sedangkan
penulis meneliti peran dan hambatan yang dihadapi oleh notaris dan PPAT
dalam mencegah TPPU.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Suhardi Alius dari Program Magister Hukum
Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2005 dengan judul
“Tinjauan yuridis pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang ( ) bagi penyedia jasa keuangan” dengan rumusan
masalah sebagai berikut14:
a. Apakah langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang bagi penyedia jasa keuangan secara yuridis telah dapat
dipertanggungjawabkan ?
b. Apa
saja
kendala-kendala
dalam
melaksanakan
langkah-langkah
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang bagi
penyedia jasa keuangan ?
Hasil penelitian tersebut adalah :
a. Langkah-langkahnya antara lain adalah dengan berdirinya PPATK (Pusat
Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan), adanya komite koordinasi
pencegahan dan pemberantasan TPPU melalui Keputusan Presiden
Nomor 1 Tahun 2004.
b. Kendalanya antara lain lemahnya mekanisme kontrol, kurangnya
partisipasi publik dan kurang pahamnya aparat penegak hukum.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian yang
dilakukan oleh Suhardi Alius membahas langkah-langkah dan kendala
pencegahan dan pemberantasan TPPU bagi penyedia jasa keuangan,
sedangkan penulis meneliti peran dan hambatan yang dihadapi oleh notaris
dan PPAT dalam mencegah TPPU.
14
Suhardi Alius, 2005, ”Tinjauan Yuridis Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Money Laundering) Bagi Penyedia Jasa Keuangan”, , Program Magister
Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Kencana Wiguna dari Program
Magister Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
tahun 2010 dengan judul “Hak ingkar notaris dalam hukum pembuktian
pidana di Indonesia” dengan rumusan masalah sebagai berikut15:
a. Apakah yang dimaksud dengan hakekat hak ingkar notaris ?
b. Bagaimana pelaksanaan hak ingkar notaris dalam pembuktian pidana di
sidang pengadilan ?
c. Bagaimana pengaturan hak ingkar notaris di masa yang akan datang ?
Hasil penelitian tersebut adalah :
a. Hak ingkar notaris pada hakekatnya adalah untuk menjaga kerahasiaan
kliennya sesuai dengan sumpah jabatan notaris dan untuk menjamin
objektivitas peradilan.
b. Pelaksanaan hak ingkar notaris dalam pembuktian pidana di sidang
pengadilan adalah aparat penegak hukum tidak dapat melakukan
pemanggilan dan pemeriksaaan terhadap notaris tanpa izin dari Majelis
Pengawasan Daerah apabila tidak berkaitan dengan perkara pidana. Izin
pemanggilan dan pemeriksaan notaris dari Majelis Pengawasan Daerah
hanya berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang
berada dalam penyimpanan notaris.
c. Pengaturan hak ingkar notaris di masa yang akan datang perlu ditinjau
kembali dan dinegasikan demi keadilan yang lebih besar apabila berkaitan
15
Wahyu Kencana Wiguna, 2010, ”Hak Ingkar Notaris dalam Hukum Pembuktian Pidana di
Indonesia”, , Program Magister Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
dengan kejahatan dimensi baru seperti korupsi dan pencucian uang yang
tergolong kejahatan luar biasa.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian yang
dilakukan oleh Wahyu Kencana Wiguna membahas pelaksanaan hak ingkar
notaris dalam hukum pembuktian pidana di Indonesia, sedangkan penulis
meneliti peran dan hambatan yang dihadapi oleh notaris dan PPAT dalam
mencegah TPPU.
Berdasarkan perbedaan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian
ini berbeda dengan penelitian terdahulu, sehingga penulis menjamin keaslian
penelitian ini. Apabila di luar sepengetahuan penulis terdapat penelitian serupa
sebelum penelitian ini, diharapkan penelitian ini dijadikan pelengkap dari
penelitian-penelitian sebelumnya.
Download