sistem pemasyarakatan dalam kerangka perlindungan anak yang

advertisement
SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN ANAK
YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Dian Sasmita
Mahasiswa Program Studi Kebijakan Publik Pasca Sarjana FH UNS
Email: [email protected]
Abstract
social environments. The following studies were about to search problems in implementing correctional
system based on Law of the Republic Indonesia Number 12 of 1995 specially for juvenile in detention.
Offer solutions formulated using a systems approach has the major components are interlinked: substance,
structure, and culture. The resulting recommendation is to encourage changes in Law of the Republic
a system of rehabilitation and reintegration are integrative and holistic involving cross-institution; and
increase the frequency as well as community education strategy for reducing the impact of stigma or
Keywords:
Abstrak
mendapatkan perhatian serius. Deliquncy hadir karena pengaruh lingkungan sekitar seperti lingkungan
keluarga, pendidikan, atau sosial anak. Kajian berikut hendak menggali permasalahan dalam pelaksanaan
sistem pemasyarakatan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 khususnya bagi AKH di
lapas/rutan. Tawaran solusi dirumuskan menggunakan pendekatan sistem yang memilki komponen utama
yang saling terkait yakni substansi, struktur, dan kultur. Rekomendasi yang dihasilkan adalah mendorong
perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dengan memasukan hak
holistik yang mellibatkan lintas institusi; dan meningkatkan frekuensi serta strategi edukasi masyarakat
untuk mengurangi dampak stigma atau labelling pada AKH.
Kata Kunci:
A. Pendahuluan
Analisis Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia yang dilakukan UNICEF pada tahun
20051 menemukan cuplikan fakta seperti berikut
“kekerasaan di dalam rumah tahanan juga
mewarnai kehidupan emapat anak perempuan ini.
Meskipun mereka menjelaskan bahwa umumnya
teman-teman di rutan baik tetapi ada kewajiban
bagi anggota baru untuk mengerjakan pekerjaan
tertentu, misalnya membersihkan kamar dan kamar
mandi, menggantikan tugas piket kebersiahan dari
penghuni yang lebih lama. Tugas semacam ini
sulit untuk ditolak. Menurut anak perempuan ke-2
1
2
jika berani menolak akan ‘digulung’ yaitu dimarahi
secara kasar bbahkan ada yang sampai ditendang
dan dipukuli. Penghuni lain yang melihat tidak
berani melapor ke petugas”.
Penggalan kesaksian tersebut banyak dialami
penahanan. Bukan satu atau dua, melainkan ada
3.657 anak harus masuk ke lapas/rutan pada tahun
2012 dan terdapat 3.466 anak pada tahun 20132.
Data tersebut berasal dari 33 Kantor Wilayah Hukum
dan HAM di Indonesia, termasuk di dalamnya
20 Lapas Anak. Lapas Anak tersebut berada di
Kutoarjo – Jawa Tengah, Gianyar – Bali, Tangerang
Purnianti, dkk, Analisa Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2006, hlm.157
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/2013/month/12. Diakses 19 Januari 2015 pukul 17.48 WIB.
28 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam ....
– Banten, Muara Bulian – Jambi, Bandung – Jawa
Barat, Blitar – Jawa Timur, Pontianak – Kalimantan
Barat, Martapura - Kalimantan Selatan, Batam –
Kepulauan Riau, Kotabumi dan Bandar Lampung
– Lampung, Mataram – NTB, Kupang – NTT,
Pekanbaru – Riau, Pare-pare – Sulawesi Selatan,
Tomohon – Sulawesi Utara, Tanjung Pati –
Sumatera Barat, Palembang – Sumatera Selatan,
dan Medan – Sumatera Selatan.
Ribuan anak tersebut rentan mengalami nasib
kurang lebih sama dengan uraian di atas. Prisonisasi
menjadi asupan setiap hari mereka selama berada
di balik jeruji besi. Belum lagi kekhawatiran dengan
stigma atau labelling masyarakat terhadap mereka
pasca menjalani hukuman penjara. Kompleksitas
beban psikis ditambah dengan minimnya fasilitas
edukasi dan kesehatan, menambah deretan
lapas/rutan.
Permasalahan AKH tidak hanya pelaksanaan
sistem peradilan yang berkeadilan bagi anak.
Namun sistem pembinaan dan reintegrasi bagi
AKH dengan vonis pidana penjara masih kerap
luput dari perhatian. Pemenjaraan masih dinilai
sebagai penyelesaian terbaik bagi anak yang
melakukan kenakalan. Tujuannya agar mereka
jera dan tidak melakukan pengulangan kembali.
Asumsi demikian tidak seutuhnya benar karena
sistem pemasyarakatan kita masih berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995. Asas yang
dianut adalah pengayoman; persamaan perlakuan
dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan;
penghormatan harkat dan martabat manusia;
kehilangan kemerdekaan merupakan satusatunya penderitaan; dan terjaminnya hak untuk
tetap berhubungan dengan keluarga atau orangorang tertentu.
Produk peraturan perundangan mengenai
anak yang baru telah diberlakukan seperti
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undangundang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Di samping produk hukum
nasional, terdapat juga norma internasional
seperti Konvesi Hak Anak, UN Standart Minimum
Rules for the Administration of Juvenie Justice
(Beijing Rules), dan UN Rules for the Protection
of Juveniles Deprived of their Liberty (Havana
Rules). Beragam produk hukum tersebut saling
mengilhami dan melengkapi untuk menjamin
pemenuhan dan perlindungan anak-anak yang
tercerabut kebebasannya.
3
Rehabilitasi AKH tidak hanya berpusat pada
Lapas Khusus Anak atau istilah sekarang adalah
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Keberadaan AKH juga teridentifikasi di lapas
atau rutan umum. Pertimbangan penempatan
anak di lapas/rutan umum biasanya karena masa
hukuman anak tidak lebih dari satu tahun. Domisili
keluarga anak juga menjadi pertimbangan karena
anak tetap membutuhkan komunikasi intensif
dengan orang tuanya.
Pola pembinaan dan reintegrasi AKH masih
menjadi beban Kementerian Hukum dan HAM
semata. Partisipasi bidang tugas lainnya masih
minim sehingga pemenuhan hak anak masih jauh
dari optimal. Cotoh sederhana adalah pemenuhan
hak pendidikan bagi AKH di lapas. Belum semua
lapas menyediakan layanan pendidikan, minimal
kejar paket untuk warga binaannya. Prosedur dan
minimnya dana anggaran yang selalu muncul
menjadi hambatannya. Karenanya sangat vital
porsi pembinaan atau rehabilitasi AKH selama
menjalani masa hukuman di dalam lapas/rutan
atau LPKA. Keberhasilan rehabilitasi anak akan
mempengaruhi keberhasilan proses reintegrasi
anak di keluarga dan masyarakat.
Sistem pemasyarakatan masih mengacu
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 dianggap tertinggal jauh dalam mengatur
perlindungan hak anak. Kajian berikut hendak
menggali permasalahan dalam pelaksanaan
sistem pemasyarakatan khususnya bagi anak
berkonflik dengan hukum yang mendapatkan
vonis pidana penjara. Tawaran solusi dirumuskan
menggunakan pendekatan sistem yangmemilki
komponen utama yang saling terkait.
dengan AKH
Kehidupan bermasyarakat erat kainnya
dengan pelaksanaan hukum atau norma
untuk mewujudkan ketertiban. Perkembangan
kehidupan memiliki andil dalam perubahan aturan
perilaku individu di masyarakat. Industrialisasi
dan globalisasi berpengaruh besar dalam tata
kemasyarakatan dan struktur sosial. Emile
Durkheim mengenalkan dua tipe solidaritas hasil
analisas terhadap pengaruh kompleksitas dan
spesialisasi pembagian kerja dalam struktur
sosial dan perubahannya. Pertumbuhan dalam
pembagian kerja meningkatkan perubahan dalam
struktur sosial itu sendiri, dari solidaritas mekanik
ke solidaritas organik 3.
Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, Jakarta, 2008, hlm.30
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam .... 29
Terdapat konsep kesadaran bersama sebagai
hasil kepercayaan dan perasaan dari seluruh
anggota masyarakat. Kepribadian individu
terserap dalam kepribadian kolektif sehingga
dikenal dengan mereka mendominasi kami.
Kondisi demikian disebut dengan kesadaran
mekanik yang memberi ruang keterlibatan
komunitas dalam menjatuhi sanksi bagi pelangar
norma. Perkembangan kerja ditutut semakin cepat
sesuai dengan perkembangan industrialisasi.
Individu harus mengikutiya sehingga mendorong
perubahan solidaritas mereka mengikut i
pembagian kerja yang menetapkan bentuk
kontak moral baru. Individualitas masyarakatnya
tinggi sehingga kesadaran kolektifnya melemah.
Solidaritas tipe ini disebut solidaritas organik.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan
kemasyarakatan yag umum sebagai hasil
akhir dari perkembangan ilmu pengetahuan,
menurut Aguste Comte, Bapak Sosiologi. Hukum
dipandang sebagai alat mengatur perilaku
masyarakat agar tercipta kebutuhan konkrit
masayarakat. Hukum tidak benar-benar otonom
atatu mandiri. Terdapat anasir-anasir yang hidup
disekeliling hukum sehingga mempengaruhi daya
gerak dari hukum itu sendiri. Soerjono Soekanto
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum adalah4:
1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak
yang membentuk maupun menerapakan
hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan sebagai hasil karya
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor tersebut saling berkaitan erat dan
memiliki arti yang netral dalam mendukung
efektifitas penegakan sistem hukum. Sejalan
dengan teori Soerjono Soekanto, di Benua
Amerika berkembang sosilogi hukum yang
memperkenalkan kosepsi budaya hukum oleh
4
5
6
7
8
Lawrence M. Friedmann dalam bukunya The
Legal System. Sistem hukum mengenal tiga unsur
yakni5:
1. Substansi adalah norma hukum yang
terkandung dalam peraturan perundangundangan dan keputusan pengadilan serta
norma-norma dalam kehidupan sehai-hai
yang ditaati oleh masyarakat. Soetandyo
Wignjosoebroto menyampaikan hukum
dalam konsepnya sebagai asas keadilan
dan dikonsepkan sebagai atura perundangundangan yang bersifat positif-yuridis adalah
hukum yang hadir dalam kehidupan sebagai
norma yang berfungsi mengharuskan dan
mengontrol6.
2. Organ adalah badan yang membuat,
menjalankan, dan mengawasi norma tersebut.
3. Budaya hukum bangsa sangat menentukan
berjalannya sistem hukum, diluar dua unsur
sebelumnya. Budaya hukum tergantung pada
subcultur masyarakat yang sangat beragam.
Misalnya subculture Islam, Katholik, Kristen,
kelompok miskin, golongan terdidik, para
profesional, dan sebagainya.
Unsur-unsur dalam sistem hukum tersebut
sangatlah ideal untuk mendukung terciptanya
sistem hukum nasional yang lebih baik.
Sesungguhnya hukum nasional tidak hanya terdiri
dari substansi perundang-undangan saja, tetapi
juga berkomplemen dengan organisasi atau suatu
struktural, ialah badan pembuatnya dan badan
pelaksana alias penegaknya, serta pula badan
peradilan pendayagunanya7.
Teori Friedman diadopsi oleh UNICEF dalam
melakukan analisa kebijakan perlindungan anak.
Masalah perlindungan anak kurang tampak pesat
perubahannya sehingga ditawarkan pendekatan
baru yang berbasis sistem. Permasalahan
anak selama ini menggunakan pendekatan isu
sehingga tiap kondisi anak diselesaikan secara
sektoral. Kurangnya keteribatan semua pihak
menyebabkan akar masalah tidak kunjung
tersentuh dan tidak tampak tautan antar kebijakan
solusi. UNICEF memperkenalkan system building
approach dengan elemen kunci sebagai berikut8:
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm.8.
Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum, dan HAM,
Aditama, Bandung, 2009, hlm.316.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013, hlm.29
Soetandyo Wignjoseobroto, Hukum dalam Masyarakat, ed. 2, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, hlm.21.
UNICEF, “Child Protection Programme Strategy Toolkit”, 2007, makalah disampaikan pada pelatihan Penguatan
Perlindungan Anak dengan Pendekatan System Building Approach, UNICEF dan Bappeda Propinsi Jawa Tenga h,
Salatiga, 14 Mei 2011, hlm.63.
30 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam ....
1.
2.
3.
Norma yakni peraturan perundangan atau
kebijakan.
Struktur merupakan elemen penggerak
yang terdiri dari kelembagaan, sumber daya
manusia, anggaran. Di dalamnya termasuk
standart operational procedure (SOP).
Proses merupakan tahapan pelaksanaan
yang ditunjang oleh budaya atau perilaku di
masyarakat atau lembaga terkait. Misalnya
ego sektoral di dinas-dinas terkait isu anak.
Pendekatan pengembangan sistem bertujuan
mempromosikan suatu sistem perlindungan anak
yang komprehensif, dengan menangani faktor risiko
yang diketahui. Tujuannya meminimalisasikan
kerentanan anak dan merespons semua bentuk
kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan
penelantaran. Suatu sistem akan berjalan efektif
apabila memiliki tujuan umum, daya prediksi, dan
keseimbangan langkah. Beberapa tahapan untuk
membangun sistem perlindungan anak yang
komprehensif dilakukan dengan cara9:
dalam sistem perlindungan anak
3.
4.
5.
6.
7.
elemen lainya
Mengidentifikasi hubungan antara sistem
kesejahteraan sosial anak dan keluarga
dengan sistem perlindungan anak
Advokasi berdasarkan bukti (evidence based)
Membantu petugas garis depan dalam
penyelenggaraan pelayanan
Memaksimalkan penggunaan sumber daya
yang ada
Menjamin bahwa program berfokus pada
hak-hak anak dan kebutuhannya.
C. Perlindungan Anak Berkonflik dengan
Hukum
Membahas permasalahan anak melakukan
kriminalitas, dalam kepustakaan kriminologi
terdapat faktor-faktor yang dihubungkan dengan
kejahatan. Faktor tersebut patut diperiksa
dengan kehati-hatian karena belum sepenuhnya
terbukti mempunyai hubungan kausalitas dengan
kejahatan. Perkembangan kajian tentang perilaku
kriminal dikenal beberapa teori berikut10:
1. Teori biologi melihat sebab-sebab kejahatan
9
10
11
2.
3.
4.
5.
Teori psikologi berpendapat bahwa kejahatan
melalui studi proses mental seperti penyakit
kejjiwaan, kehancuran dari pusat ketakutan,
keti da kmampu an da ri keseluruh an
kemampuan mentalnya.
Teori sosiologi menyatakan bahwa penjahat
adalah sebuah hasil hubungan antar manusia
yang melakukan penyimpangan secara terus
menerus karena dikehendaki atau dorongan
kelompok. Kebanyakan penyimpangan ini
bagian dari sebuah budaya.
Teori ekonomi menilai sebab kejahatan
didasarkan pada gagasan dari konsep diri
manusia dan faktor lainnya yang berkaitan
dengan gagasan ekonomi. Individu memiliki
keperluan untuk memuaskan usaha atau
kebutuhan mereka.
Teori multifaktor menerangkan perilaku
penjahat sebagai perpaduan dari kelompok
biologis, psikologis, dan sosiologis.
E. Sutherland, seorang krimonolog Amerika
mengungkapkan kejahatan merupakan suatu
proses kausalitas yang manusiawi dan berangkat
dari selembar kertas putih. Selembar kertas putih
dimaknai sebagai aturan hukum tertulis. Seseorang
mampu melakukan kejahatan diperoleh melalui
proses belajar. Peristiwa di lingkungan sekitar
dan media adalah salah dua saluran belajar yang
mudah ditemui. Peniruan perilaku kriminal sangat
rentan dilakukan anak-anak karena kemapuan
kognisi mereka yang belum sempurna.
Kehidupan di dalam lembaga penahanan atau
penjara memberi peluang besar bagi anak untuk
belajar banyak hal, tak terkecuali pembelajaran
yang negatif. Pola perilaku dan kebiasaan yang
sudah melembaga menjadi sub-kultur tersendiri.
Kebiasaan tercipta dari secara berlahan-lahan
dibangun dari interkasi sesama warga binaan atau
warga binaan pemasyarakatan dengan petugas.
Wujudnya ada yang negatif seperti berkata kotor,
kekerasaan, bulling, atau kebiasaan yang positif
seperti solidaritas, menghormati yang lebih tua.
Prisonisasi merupakan suatu proses akulturasi
dan asimilasi terhadap dunia narapidaa yang di
dalamnya menampakan keberlakuan norma yang
berlawanan dengan norma pad amasyarakat
pada umumnya11. Donald Clemmer, dikutip dalam
buku Widodo, mengungkapkan prisonozation are
the taking on, in grester or lesser degree, of the
UNICEF, op.cit., hlm.47.
Marlina, Hukum Penitensier,
, Bandung, 2011, Hlm.118.
Widodo, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, Tanpa Tahun,
hlm.22.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam ....
31
folksway, mores, customs and general culture of
the penitentiary. Prisonisasi mungkin terjadi di
lapas khusus anak, apalagi lapas dewasa dimana
ada anaknya disana.
Buku yang sama menguraikan pendapat
Donald Clemmer mengenai indikator prisonisasi
sebagai berikut12:
1. Special vocabulary. Tampak dari adanya kata
atau istilah khusus yang hanya digunakan
dalam berkomunikasi antar narapidana dan
hanya dimengerti oleh mereka.
2.
Perbedaan latarbelakang
kehidupan narapidana sebelum di lapas
dan jenis tindak pidan ayang dilakuakn
3.
4.
Primary group. Ada kelompok utama yang
anggotanya beberapa narapidana saja.
Leadership. Adanya seorang pemimpin
dalam kelompok utama yang berfungsi
sebagai mediator dalam berhubungan
dengan kelompok lain yang lebh besar.
Muladi dalam buku Hak Asasi Manusia dan
Reformasi Hukum di Indonesia, menegaskan
bahwa bentuk prisonisasi adanya stratifikasi
sosial dalam lapas, kelompok utama, serta
kepemimpinan dalam lapas. Gejala psisonisasi
lainnya adalah budaya pembuatan tato pada
kulit tubuh, pemerasaan, perploncoan pada
narapidana yang baru, serta kode etik yang
menekanan adanya solidaritas anatar narapidana
dengan merahasiakan sesuatu hal yang dianggap
melanggar aturan petugas13.
Kajian dari A Justice Policy Institute di
Amerika menunjukan dampak penahanan
terhadap remaja memperparah kondisi mental,
menempatkan remaja dalam kondisi yang sanagt
rentan kekerasaan, putus jenjang pendidikannya,
serta peluang pekerjaan dimasa depan menjadi
sempit 14. Mereka mengembangkan kerjasama
antara pemerintah dan swasta berupa The
Juvenile Detention Alternatives Initiative (JDAI) di
tiga negara bagian. Tujuannya mencari alternatif
penahanan yang terbukti memberi dampak buruk
pada anak.
Anak yang berada di lapas mayoritas pada
fase remaja dan dewasa awal yakni 14 – 18 tahun.
Perkembangan emosional anak masih labil dan
memiliki rasa ingin tahu yang besar. Pengetahuan
baru berupa kebiasaan-kebiasaan di lapas
menjadi daya tarik sendiri. Kepribadiannya yang
masih mudah dipengaruhi kian mendorong proses
perkembangan prisonisasi pada komunitas anak
narapidana. Penghuni baru akan mendapatkan
pengalaman perploncoan dengan kekerasaan
dan caci maki. Penghuni yang lebih lama merasa
di kamar mereka. Stres yang tinggi di dalam lapas
dan kerinduan kepada keluarga atau dunia luar
mengakibatkan perilaku agresif anak muncul.
Jadi prisonisasi sebagai dampak dari penderitaan
narapaidana anak yang berkepanjagan dan
sebagai upaya pencarian identitas sirinya.
Fakta di Indonesia, anak yang melakukan
dengan hukum, sebagaian besar mendapatkan
vo ni s p id an a p en ja ra. Mere ka m em i li ki
kompleksitas permasalaahan sebelumnya yang
datang dari lingkungan keluarga, sekolah, atau
sosial. Ketika anak pertama kali melakukan
kenakalan dan mendapatkan penilaian negatif
dari masyarakat, maka anak memiliki potensi
melakukan pengulangan. Respon remaja dengan
jiwa petualangnya dan proses pencarian jati
diri mendorong mereka untuk memberi respon
yang tak terduga. Salah satunya, ketika mereka
dilabeli anak nakal maka muncul dorongan untuk
menunjukan perilaku sesuai dengan labelnya.
Label dapat mempengaruhi perilaku anak
pada masa yang akan datang karena akan
memunculkan kenakalan baru. Teori labeling
menegaska kenakalan anak dapat muncul karena
adanya stigma nakal dari orang tua, tetangga,
teman pergaulan, guru, atau masyarakat sekitar.
Terdapat tiga proporsi teori labeling terkait dengan
peradilan anak 15:
1. Seorang anak menjadi penjahat bukan karena
melanggar peraturan perundang-undangan,
melainkan karena ia ditetapkan demikian oleh
penguasa.
2. Tindakan penangkapan merupakan langkah
awal dari proses labelling.
3. Labelling merupakan suatu proses yang
devian dan subskultur serta meghasilkan
rejection of the rejector.
12
13
14
Ibid, Hlm.123.
Ibid. Hlm.23
Barry Holman and Jason Ziedenberg, The Dangers of Detention: The Impact of Incarcerating Youth in Detention and
Other Secure Facilities, A Justice Policy Institute Report, Washington DC, Tanpa Tahun, hlm.10.
15 Sri Sutatiek, Rekonstruksi Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Anak di Indonesia, ctk. Kedua, Aswaja Pressindo,
Yogyakarta, 2013, Hlm. 46
32 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam ....
Proposisi di atas memberi gambaran terang
mengenai fenomena perilaku anak yang telah
disematkan label anak pidana, tersangka anak,
narapidana anak melalui sistem peradilan
pidana. Beberapa anak klien dari Sahabat Kapas
yang pernah dijatuhi hukuman penjara, kembali
melakukan tindak kriminalitas yang serupa.
Dari 150 anak klien tahun 2009 – 2013 terdapat
sekitar 8% anak menjadi residivis 16 . Sahabat
Kapas adalah lembaga yang bergerak pada
pendampingan anak-anak di Lapas Anak Kutoarjo,
Lapas Klaten, dan Rutan Surakarta sejak tahun
2009.
Penjatuhan pidana penjara pada anak
diharapkan lebih bijak untuk menghindarkan
perilaku yang lebih buruk pada anak. The
Riyadh Guiedelines menyatakan bahwa pidana
penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan
pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut
tidak dapat memberikan jaminan perlindungan,
apakah pidana tersebut membahayakan orang tua
serta anak yang bersangkutan17.
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka
3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak). Setiap anak
yang berada dalam proses peradilan pidana anak
memiliki hak yang wajib dilindungi dan dipenuhi
negara sebagai berikut18:
1. Diperlakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya.
2. Dipisahkan dari orang dewasa.
3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain
secara efektif.
4. Melakukan kegiatan rekreasional.
5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau
perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi,
serta merendahkan martabat dan derajatnya.
6. Tidak dijatuhi hukuman mati atau pidana
seumur hidup.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara
kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat.
Memperoleh keadilan di muka pengadilan
anak yang obyektif, tidak memihak, dan dalam
sidang yang tertutup untuk umum.
Tidak dipublikasikan identitasnya.
Memperoleh pendampingan orang tua/wali
dan orang yang dipercaya oleh anak.
Memperoleh advokasi sosial.
Memperoleh kehidupan pribadi.
Memperole aksesibilitas terutama bagi anak
cacat.
Memperoleh pendidikan.
Memperoleh pelayanan kesehatan.
Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan19.
Hak-hak anak yang telah teruraikan di atas
berlaku tidak hanya bagi anak yang melakukan
hukum, namun juga bagi anak sebagai saksi atau
korban. Hak anak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarkaat,
negara, pemerintah, dan pemerintah daerah
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 12
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Sistem pembinaan narapidana mulai
dikenal dengan istilah pemasyarakatan sejak
tahun 1964. Bermula dari ide DR Sahardjo
SH mengenai perubahan tujuan pembinaan
narapidana dari sistem kepenjaraan menjadi
sistem pemasyarakatan. Gagasan tersebut
diturunkan dalam sepuluh prinsip bimbingan dan
pemasyarakatan sebagai berikut20:
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan
memberikan bekal hidup sebagi warga negara
yang baik dan berguna dalam masyarakat.
2. Pe n j a t u h a n p i d a n a b u ka n t i n da k a n
pembalasan dendam dari nergara.
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan
menyiksa melainkan dengan bimbingan.
16
17
Wawncara dengan Febi Dwi S, Manajer Program Yayasan Sahabat Kapas, 20 Januari 2015.
Resolusi PBB No.45/112 Tahun 1990 tentang Pedoman Perserikatan Bangsa-bangsa dalam Rangka Pencegahan
Tindak Pidana Remaja, Pasal 46.
18 Pasal 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
19 Rincian hak tersebut juga tertuang dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentanng Perubahan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentag Perlindungan Anak.
20 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,
, Bandung, 2013, Hlm.98.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam .... 33
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Negara tidak berhak membuat seorang
narapidana lebih buruh atau lebih jahat
daripada sebelum ia masuk lembaga.
Selama kehilangan kemerdekaan bergerak,
narapidana harus dikenalkan kepada
masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat.
Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana
tidak boleh bersifat megisi waktu saja
atau hanya diperuntukan bagi kepentingan
lembaga atau negara, Pekerjaan yang
diberikan harus ditujukan untuk pembangunan
negara.
Bimbingan dan didikan harus berdasarkan
Pancasila.
Tiap orang adalah manusia dan harus
diperlakukan sebagai manusia meskipun ia
telah tersesat. Tidak boleh ditunjukan kepada
narapidana bahwa ia penjahat.
Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang
kemerdekaan.
salah satu hambatan pelaksanaan sistem
pemasyarakatan.
Jauh sebelum sistem pemasyarakatan muncul
di Indonesia, terlebih dahulu diberlakukan sistem
kepenjaraan yang berasal dari Eropa. Belanda
membawa sistem tersebut melalui pemberlakuan
Gestichten Reglement (Reglemen Penjara)
Stbl. 1917 Nomor 708. Sistem kepenjaraan,
tujuan pemidanaan adalah penjeraaan bagi
pelaku tindak pidana. Harapan agar tidak terjadi
pengulangan tindak pidana ditampilkan melalui
peraturan-peraturan yang keras dan sering tidak
manusiawi21. Konsep tersebut berbeda dengan
sistem pemasyarakatan yang melihat tujuan
pemidanaan sebagai bentuk pembinaan dan
bimbingan dengan tahapan admisi atau orientasi,
tahap pembinaan, dan asimilasi.
Dunia internasional mengenal beberapa
peraturan minimum standar bagi perlakuan
terhadap narapidana. Konggres pertama PBB
mengenai pencegahan kejahatan dan perlakuan
terhadap para pelanggar di Geneva tahun 1955.
Kemudian disetujui oleh Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB dengan Resolusi 663 C (XXIV) tanggal
31 Juli 1957 dan 2076 (LXII) tanggal 3 Mei 197722.
Konvesi internasional tersebut secara substansi
telah diadopsi pemerintah dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 dan peraturan pemerintah
turunannya. Pada prinsip hak dasar narapidana
dinyatakan secara tegas bahwa tidak boleh ada
diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras,
pandanan politik, budaya, atau status lainnya.
Serta diharuskan ada penghormatan atas
keyakinan agama atau ajaran moral yang dianut
oleh narapidana.
Istilah warga binaan pemasyarakatan
dikenal dalam sistem pemasyarakatan yang
mencakup status tahanan dan narapidana.
Tujuan diselenggarakan sistem pemasyarakatan
dalam rangka membent uk warga binaan
pemasyarakatan (dewasa dan anak) agar menjadi
manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunandan dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab23.
Peraturan pelaksana dari Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
baru diterbitkan empat tahun kemudian yakni
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan. Pasal 7 mengatur
perihal pembinaan narapidana dilakukan melalui
tahap awal, lanjutan, dan tahap akhir. Pembinaan
awal dimulai sejak yang bersangkutan berstatus
sebagai narapidana sampa 1/3 masa pidana.
Tahap lanjutan merupakan kelanjutan proses dari
tahap awal hingga 2/3 masa pidana. Sedangnkan
tahap akhir diitung semenjak tahap lanjutan hingga
selesai masa pidana dari warga binaan.
Narapidana diposisikan bukan sebagai obyek
semata, namun berkedudukan sebagai subyek
layaknya manusia lainnya yang dapat melakukan
kesalahan. Manusia tidak pernah lepas dari
kekhilafan dan dapat dikenai sanksi. Pemidanaan
adalah upaya untuk menyadarkan narapidana
atau anak didik pemasyarakatan (ADP) agar
menyesali perbuatannya dan dapat kembali
menjadi warga masyarakat yang baik dan taat
hukum. Pembinaan untuk ADP tentunya memiliki
kekhasaan tersendiri sesuai dengan kondisi anak.
ADP berhak mendapatkan bimbingan rohani dan
jasmani serta dijamin hak-haknya untuk beribadah,
berhubungan dengan orang tua, dan sebagainya.
Anak Didik Pemasyarakatan adalah anak
pidana yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di Lapas Anak paling lama
21 C.I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, 1995, Hlm.10.
22 Yesmil Anwar, op.cit., hlm. 269.
23 Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
34 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam ....
sampai berumur 18 tahun. Pengertian tersebut
berdasarkan Undang-undang 12 Tahun 1995,
dimana masih terdapat istilah anak sipil dan anak
negara.
Sejak tahun 2012 dengan lahirnya Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), istilah anak
sipil dan anak negara telah dihapuskan. Data
dari Center for Detention Studies terdapat 5.549
anak berada di dalam lembaga pemasyarakatan.
Rinciannya 2.059 anak sebagai tahanan, 3.328
anak sebagai narapidana, dan 162 anak negara24.
Jumlah anak negara dan anak sipil menurun
seiring pemberlakuan UU SPPA yang efektif
berlaku 1 Agustus 2014. Data dari Direktorat
Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum
dan HAM khusus wilayah Jawa Tengah, pada
awal tahun 2013 terdapat 23 anak negara dan
nol untuk anak sipil. Desember 2013, tersisa 17
anak negara. Pada Januari 2014 masih terdapat
11 anak negara dan pada Agustus 2014 sudah
tidak terdapat lagi anak negara dan anak sipil25.
Anak pidana tidak dikenal lagi dalam UU
SPPA melainkan diganti dengan istilah anak yang
yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur
18 tahun yang di duga melakukan tindak pidana.
Pasal 20 UU SPPA memperluas cakupan umur
21 tahun dengan prasyarat tindak pidana tersebut
dilakukan anak sebelum genap berumur 18 tahun.
dikenal dengan istilah Lembaga Penempatan Anak
Sementara (LPAS) sesuai Pasal 1 angka 21 UU
SPPA. Fungsi penempatan sementara selama
ini dilaksanakan oleh rutan atau lapas setempat.
LPAS menjadi tempat penahanan anak sesuai
dengan permintaan penyidik atau penuntut umum.
Anak yang berada di dalam LPAS berhak atas
pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan,
pembimbingan, dan pendampingan serta hak
lainnya sesuai ketentuan huum yang berlaku.
Selain LPAS, UU SPPA menghadirkan
lembaga yang tak sepenuhnya baru, yakni
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). LPKA
juga dikenal sebagai LP Khusus Anak. LPKA dan
LPAS dibawah kewenangan dari Kementrian
Hukum dan HAM. Keduanya menjalankan fungsi
dengan hukum. Anak dapat ditempatkan di
LPKA ketika keadaan dan perbuatan anak yang
bersangkutan memiliki potensi membahayakan
masyarakat (Pasal 81 UU SPPA). Keadaan yang
membahayakan diukur lewat dampak perbuatan
anak dan berdasarkan rekomendasi dari penelitian
pemasyarakatan (litmas) petugas BAPAS. Jumlah
LPKA di Indonesia hanya 16 sehingga tidak
setiap propinsi memiliki LPKA. Untuk Propinsi
Jawa Tengah dan DIY terdapat LPKA di Kutoarjo.
Jarak LPKA yang jauh dari domisili anak dan
keluarganya menjadi pertimbagan tersendiri
sebelum menempatkan anak di sana.
Penempatan anak di LPAS atau LPKA
merupakan kewenangan dari hakim tentunya
dengan mempertimbangkan litmas BAPAS atau
rekomendasi pekerja sosial. Bilamana hakim
terpaksa memenjarakan terdakwa anak, maka
secara normatif pilihan tersebut merupakan pilihan
terakhir dan semata-mata untuk kepentingan
terbaik anak. Pemenjaraan anak sebagai
ultimum remidium karena di dalam penjara dalat
memberikan dampak kontaminasi pada perilaku
dan psikis anak. Pasal 3 ayat (1) Konvesi Hak
Anak menyebutkan :
“Dalam semua tindakan yang menyangkut
anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial, pemerintah, atau
swasta, lembaga peradilan, lembaga
pemerintah, atau lembaga legislatif maka
kepentingan terbaik anak harus merupakan
pertimbangan utama.”
Kondisi LPKA atau LPAS yang kurang kondusif
untuk tumbuh kembang anak menghambat
adalah iklim yang kurang mendukung anak
untuk bersosialisasi dengan baik; pembina tidak
menguasai materi psikologi anak; pembina
kurang paham kebutuhan anak; serta kurikulum
pembinaan serta fasilitasnya tidak membantu
pengembangan kepribadian anak26.
Undang-undang Pemasyarakatan merumuskan mekanisme rehabilitasi dan reintegrasi
anak dalam pasal-pasalnya. Meskipun secara
khusus tidak dipisahkan antara urusan anak dan
dewasa. Tujuan sistem pemasyarakatan ini dalah
membentuk anak menjadi manusia seutuhnya;
24 Lollong M. Awi, Darurat Anak dalam Penjara, terdapat dalam http://www.cds.or.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_
artikel&id=21, diakses tanggal 25 Januari 2015, jam 22.10 WIB.
25 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/kanwil/db5f3920-6bd1-1bd1-b847-313134333039/year/2014/
month/8. Diakses tanggal 25 Januari 2015 jam 22.20 WIB
26 Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak,
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam ....
35
menyadari kesalahan; memperbaiki diri; dan tidak
mengulangi tindak pidana. Sedangkan dalam
proses reintegrasi bertujuan agar anak dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat;
dapat aktif berperan dalam pembangunan; dapat
hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggungjawab27.
Pelaksanaan sistem pemasyarakatan
menganut asas-asas yang tertuang dalam
Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
yakni pengayoman; persamaan perlakuan
dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan;
penghormatan harkat dan martabat manusia;
kehilangan kemerdekaan merupakan satusatunya penderitaan; dan terjaminnya hak untuk
tetap berhubungan dengan keluarga atau orangorang tertentu. Peraturan internasional juga
menggarisbawahi mengenai prinsip rehabilitasi
dan reintegrasi khususnya bagi anak yakni
Konvensi Hak Anak dan UN Standart Minimum
Rules for the Administration of Juvenie Justice
(Beijing Rules) sebagai berikut:28
1. Segala bentuk perenggutan kemerdekaan
dan/atau pemenjaraan harus menjadi upaya
paling akhir bagi anak.
2. Apabila anak terpaksa mengalami proses
pengadilan, maka perenggutan kemerdekaan
dan/atau pemenjaraan harus selalu untuk
masa yang paling singkat dan harus terdapat
prosedur dana mekanisme perlindungan
khusus anak.
Pengamatan permasalahan pembinaan
anak di lembaga penahanan menjadi perhatian
berbagai pihak. Yusti Probowati menyampaikan
dalam workshop Model Pengembangan Lembaga
Pemasyarakatan Anak mengenai hasil kajiannya
tentang permasalahan di LPKA sebagai berikut29:
1. Masih adanya residivis dan jumlah narapidana
yang relatif stabil merupakan indikasi sistem
pembinaan selama ini belum optimal.
2. Tidak ada kriteria jelas mengenai keberhasilan
dan kegagalan.
3. Jumlah petugas keamanan lebih banyak
daripada jumlah petugas rehabilitasi.
4.
5.
7.
8.
Rasio petugas rehabilitasi tidak sebanding
dengan jumlah narapidana. Hal ini menunjukan
lebih dominannya security approach daripada
rehabilitation approach.
Rehabilitasi yang diterapkan masih jauh dari
konsep rehabilitasi yag seharusnya karena
kekurangan tenaga yang berkualitas.
satu cara pemberian hukuman dengan dalih
pembinaan.
Kurangnya prasarana sehingga menghambat
proses pembinaan.
Kurang terkoordinasinya sistem pembinaan
di dalam lembaga dan pembinaan di luar
lembaga.
Furdyartanto mengungkapkan situasi lapas
saat LPKA masih berpotensi menghambat
efektifitas proses rehabilitasi dsan reintegrasi
anak, misalnya30:
1. Iklim yang tidak menjamin anak dapat
bersosialisasi dengan baik.
2. Petugas pembina tidak meguasai pengetahuan
kesehatan mental atau psikologis anak
seningga tidak mengetahui kondisi psikis
anak.
3. Petugas pembina tidak memahami apa yang
sebenarnya diperlukan setiap anak.
4. Kurikulum materi pembinaan serta fasilitas
tidak membantu perkembangan kepribadian
anak.
Keberhasilan program pembinaan menjadi
perhatian beberapa lembaga kajian negara
maju, salah satunya di University of WisconsinMadison, Amerika Serikat. Dalam Policy Institute
for Family Impact Seminars menyebutkan delapan
prinsip untuk mengefektifkan proses pembinaan
di lembaga (Eights Principles of Effective
Correctional Intervention) yakni31:
1. Create a positive environment
2. Design a strong program
3. Build a high-quality staff
4. Understand offenders needs
5. Target what works
27
28
Pasal 2 Undang-undag Nomor 12 Tahun 1995
Santi Kusumaningrum dan Mamik Sri Supatmi, Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi, dan Reintegrasi Sosial Bagi
Anak di Indonesia: Studi Terbatas terhadap Anak dalam Sistem Pemasyarakatan, PUSKAPA FISIP UI, Depok, 2012,
hlm.xii.
29 Fanny Tanuwijaya, “Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam Rangka Pembinaan Anak Pidana”,
Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2009, hlm.8
30 Abintoro Prakoso, op.cit. Hlm. 245
31 Edward J. Latessa, Promotig Public Safety Through Effective Correctional Interventions: What Works and What
Doesn’t?, Policy Institute for Family Impact Seminar, University of Wisconsin-Madison, Tanpa Tahun, hlm.35
36 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam ....
6.
7.
8.
Demonstrate good practice
Communicate with others
Evaluate progress
5.
D. Kese nj an gan Impl ementasi Siste m
Pemasyarakatan
Pendekatan psikologi dalam mengkaji
kejahatan anak (deliquency) dilakukan sejak awal
abad 20. Penyebab dasar deliquency meliputi
pola individu dan perkembangannya. Pertama,
prilaku anak merupakan manifestasi dari keadaan
internalnya. Kedua, gangguan psikologi yang
serius akan membentuk sebuah pola tingkah
laku anak32. Kedua faktor tersebut berasal dari
internal anak yang dapat dipengaruhi oleh
faktor eksternal, yakni lingkungan. Penanganan
deliquency membutuhkan perhatian khusus
karena melibatkan perkembangan psikologis anak.
Prinsip kepentingan terbaik dan kelangsungan hak
hidup serta tumbuh kembangnya menjadi prioritas.
Deliquency terdiri dari dua pengertian yakni
juvenile deliquency yang berarti tingkah laku
yang menciderai norma hukum dan pelanggaran
terhadap norma kesusliaan yang dilakkukan
oleh anak. Sedangkan offenders merupakan
pelaku penggaran. Beberapa faktor yang dapat
mendorong anak melakukan pelanggaran tindak
pidana menurut penelitian teori Bonger sebagai
berikut33:
1. Terlantarnya anak-anak. Pertumbuhan indistri
dan kondisi lingkungan masyarakat dimana
anak tinggal dapat mendorong timbulnya
kejahatan. Lingkungan sosial yang buruk
akan memberi contok anak untuk melakukan
kejahatan.
2. Kesengsaraan. Pengangguran mengakibatkan
terbatasnya akses ekonomi menyubang daya
merusak yang besar, misalnya masalah
kesusilaan dan kejahatan.
3. Nafsu ingin memiliki. Kejahatan mengenai kekayaan yanng kompleks modus operandinya
disebabkan karena nafsu ingin memiliki.
Misalnya anak dengan kasus pencurian
memiliki potensi melakukan pencurian
kembali karena mereka tidak memiliki
ketrampilan kerja lainnya.
4. Demoralisasi seksual. Lingkungan sosial
dan pendidikan anak dapat mempengaruhi
perilaku seksual anak yang tidak aman. Marak
6.
7.
tayangan video porno yang dapat dengan
mudah diakses dan disimpan, mendorog
kejahata terkait seksual.
Alkoholisme. Termasuk pada msalah psychopathologis yang dapat mengakibatkan
seseorang melakukan tindak kejahatan
dengan berbagai jenisnya. Pada alkoholisme
yang akut, me mil iki da mpa k ya ng
membahayakan diri sendiri dan orang lain
karena munculnya sifat agresif secara tibatiba.
Ren dahn ya budi pekert i. Terba ngun
karena lingkungan masyarkat yang luntur
kepeduliannua dan rendahnya tingkat
pendidikan Kontrol sosial di masayrkat juga
semakin melemah sehingga pendidikan budi
pekerti kurang merata didapatkan anak.
P er a n g . M e n i m b u l ka n p e n de r i t a a n ,
kesegsaraan,demoralisasi, dan sebagainya.
Anak-anak yang melakukan kriminalitas
perlakuan khusus sesuai dengan perkembangan
umur dan kematangan dirinya. Konvensi Hak Anak
(KHA) Pasal 3 ayat (1) menyatakan dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial,
pemerintah atau swasta, lembaga peradilan,
lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka
kepentingan terbaik anak harus merupakan
pertimbangan utama.
pada kluster VII dalam KHA yakni perlindungan
khusus. Konsekuensinya pemerintah harus
memberikan porsi perhatian yang lebih dan
mengupayakan cara-cara t ert ent u untuk
mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan
perlindungan dari kekerasaan, eksploitasi,
penelantaran, atau perlakuan salah lainnya.
Tidak semata tugas pemerintah dalam
hukum. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979
dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
1988 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan
pembinaan anak merupakan tanggung jawab
bersama keluarga, masyarakat, dan negara.
Karenanya dibutuhkan partisipasi dan kepedulian
sosial untuk selamatkan masa depan anak.
Mencegah orang berbuat jahat sudah menjadi
kewajiban bersama untuk ciptakan ketertiban
masyarakat.
32
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembanan Konsep Diversi dan Restorative Justice,
Bandung, 2009, hlm.67.
33 Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana,
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam .... 37
Efektifitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan tidak hanya bertumpu pada peran anak,
keluarga, dan masyarakat. Mereka hanya unsur
pendukung dari pelaksanaan sebuah sistem.
Menurut Lawrence M. Friedmann dan UNICEF,
terdapat elemen lain yang berperan sama kuatnya
dalam menjalankan sistem pemasyarakatan yakni
norma dan struktur. Sistem diibaratkan sebuah
mesin yang membutuhkan komponen utama untuk
menggerakannya. Norma dan struktur sebagai
komponen mesin sedangkan proses merupakan
pelumas agar mesin dapat bergerak dengan baik.
UU Pemasyarakatan disahkan pada tahun
1995, jauh sebelum lahirnya Undang-undang
omor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Konsep perlindungan anak hanya berdasarkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak. Ketidaklengkapan rujukan
dalam mengatur hak anak dan mekanisme
pembinaan memberi dampak pada minimnya
perlindungan anak dalam kerangka pembinaan
dan reintegrasi anak. Peraturan teknis pelaksana
termasuk peraturan menteri pun belum mampu
mengakomodir hak-hak anak seperti yang
tertuang dalam undang-undang mengenai anak
lainnya. Hak rekreasi, hak atas pendidikan, dan
kesehatan salah tiga hak anak yang belum optimal
dipenuhi.
Pemenuhan hak anak pengaturannya sama
dengan narapidana dewasa. Misalnya hak
rekreasi atau berkegiatan di luar lapas, terdapat
syarat minimum telah menjalani ½ masa hukuman
dan tidak memiliki denda. Hal ini tentunya sangat
membatasi perkembangan anak. Termasuk dalam
kegiatan pendidikan, baru tersedia program kejar
paket baik untuk anak di LPKA maupun LPAS.
Itupun dengan kualitas pengajaran yang minimal.
Pengajar sering tidak datang atau kedatangannya
hanya menjelang ujian saja34.
Elemen struktur dari Undang-undang
Pemasyarakatan mencakup kelembagaan,
sumberdaya manusia atau kualitas dan kuantitas
petugas pemberi layanan, fasilitas, dan anggaran.
Kelembagaan telah tersedia lengkap, mulai dari
BAPAS , LPAS, dan LPKA. SDM yang tersedia
pada LPAS yang notabene adalah lapas/rutan
umum masih sangat minim yang bertugas khusus
untuk pembinaan anak. Petugas yanng pernah
mendapatkan pembekalan mengenai KHA dan
UUPA juga hanya segelintir sehingga kualitas
layanan anak pun sangat tergantung dengan
perspektif dan komitmen pimpinan.
34
Fasilitas anak di LPKA cukup memenuhi
kebutuhan kegiatan anak. Sarana prasarana
kegiatan mulai dari belajar, kreatifitas seni,
ketrampilan, serta olah raga tersedia. Anggaran
pemerintah yang dialokasikan untuk pembinaan
anak masih minim dan hanya terpusat pada LPKA
saja. Padahal tak menutup mata, jumlah anak di
LPAS juga tidak sedikit. Pertimbangan penempatan
anak di LPAS lebih karena jarak LPKA yang jauh
dari domisili anak/keluarga. Salah satu anak KT
di LPKA Kutoarjo, dalam sesi wawancara bulan
Desember 2014, menyampaikan bahwa orang
tuanya perlu menyediakan uang Rp 500.000,seiap akan mengunjunginya. Transpotasi pergi
pulang dari rumahnya di Purwokerto hingga
Kutoarjo untuk tiga orang mencapai Rp 300.000,-.
Hal ini mengakibatkan anak-anak di LPKA Kutoarjo
memilih tidak dikunjungi keluarganya. Padahal
keberhasilan proses pembinaan anak sangat
dipengaruhi dengan komunikasi anak dengan
keluarganya.
Kesenjangan antara tataran ideal dan fakta
dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan
anak tampak dibanyak sisi. Analisis norma atau
substansi, struktur, proses atau kultur menunjukan
kebutuhan mendesak adalah memperbaharui
norma sebagai pijakan pelaksanaan rehabilitasi
dan reintegrasi anak. Kebijakan untuk anak tidak
hanya melulu pada LPKA namun juga harus dapat
diterapkan pada LPAS. Meskipun Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak memberikan pembatasaan besar
pada anak yang dapat divonis pidana penjara.
Namun prakteknya, tidak sedikit perkara anak
dengan ancaman diatas 7 tahun penjara sehingga
mereka dapat masuk lembaga penahanan.
Misalnya Pasal 81-82 UUPA, Pasal 365 KUHP,
Pasal 111 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Ketiga pasal tersebut hanya
sebagian ragam kriminalitas yang dilakukan anak.
E.
Simpulan dan Saran
Pemenuhan dan perlindungan hak bagi
selayaknya mendapatkan perhatian serius. Anak
sebagai investasi bangsa perlu mendapatkan
bimbingan dan layanan yang utuh tanpa
mengabaikan kondisi psikis atau emosional anak.
Deliquncy hadir karena pengaruh lingkungan
sekitar seperti lingkungan keluarga, pendidikan,
atau sosial anak. Mereka adalah tunas bangsa
Wawancara dengan anak-anak di LPKA Kutoarjo, Lapas Klaten, dan Rutan Surakarta pada bulan Desember 2014.
38 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam ....
yang harus mendapatkan perhatian tertentu agar
terselamatkan masa depannya.
Pemerintah berkewajiban turut andil melakukan
intervensi tindakan terhadap anak-anak tersebut.
Berbagai undang-undang mengamanatkan hal
tersebut sejalan dengan substansi Konvensi Hak
Anak dan UN Standart Minimum Rules for the
Administration of Juvenie Justice (Beijing Rules).
Pemenjaraan anak merupakan upaya terakhir
adalah prinsip peradilan pidana untuk anak dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012. Namun
tidak menutup kemungkinan anak dapat dititipkan
atau ditempatkan di lembaga penahanan seperti
LPAS atau LPKA.
Sistem pemasyarakatan di Indonesia
masih berdasarkan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 yang sudah ketinggalan jaman.
Pembinaan (rehabilitasi) dan reintegrasi anak
belum maksimal diatur. Layanan untuk anak
masih sama standarnya dengan narapidana
dewasa. Perlakuan khusus hanya diberikan pada
LPKA yang berjumlah 16 di seluruh Indonesia.
SDM pengampu tugas masih minim jumlah dan
kualitasnya. Dukungan anggaran pemerintah juga
tidak banyak untuk urusan anak sehingga sarana
dan fasilitas, terutama di LPAS, masih minim.
Tawaran solusi yang dapat ditempuh untuk
mengatasi permasalahan di atas adalah sebagai
berikut:
1.
2.
3.
Mendorong perubahan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarkatan.
Memasukan hak anak secara khusus sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi mereka yang
khas denganmerujuka Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak dan Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pemerintah wajib membangun sistem
hukum secara integratif dan holistik yang
melibat kan berbagai kementrian dan
masyarakat.
Meningkatkan frekuensi dan strategi edukasi
masyarakat tentang perlindungan anak
sehingga dapat mengurangi stigma atau
labelling
Demikian kajian kondisi anak berkonlik dengan
hukum yang berada di lembaga penahanan.
Tantangan yang anak-anak tersebut alami tidak
hanya semasa di dalam LPAS/LPKA, namun
pasca selesai masa hukuman juga. Urusan ini
bukanlah pekerjaan mudah sehingga dibutuhkan
kerjasama keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Kewajiban kita semua untuk segera memulai
perubahan pola rehabilitasi dan reintegrasi agar
menjadi sebuah sistem pemasyarakatan yang
holistik dan integratif.
Daftar Pustaka
Abintoro Prakoso. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak.
-----------. 2013. Kriminologi dan Hukum Pidana.
Barry Holman and Jason Ziedenberg. Tanpa Tahun. The Dangers of Detention: The Impact of Incarcerating
Youth in Detention and Other Secure Facilities. Washington DC: A Justice Policy Institute Report.
C.I. Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: Djambatan.
Dwidja Priyatno. 2013. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia.
.
Edward J. Latessa. Tanpa Tahun. Promotig Public Safety Through Effective Correctional Interventions:
What Works and What Doesn’t?. University of Wisconsin-Madison : Policy Institute for Family
Impact Seminars.
Fanny Tanuwijaya. 2009. “Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam Rangka Pembinaan
Anak Pidana”, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembanan Konsep Diversi dan Restorative
Justice.
----------. 2011. Hukum Penitensier.
Purnianti, dkk. 2006. Analisa Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, UNICEF, Indonesia.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam .... 39
Santi Kusumaningrum dan Mamik Sri Supatmi. 2012. Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi, dan Reintegrasi
Sosial Bagi Anak di Indonesia: Studi Terbatas terhadap Anak dalam Sistem Pemasyarakatan.
Depok: PUSKAPA FISIP UI.
Soerjono Soekanto. 2014. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Soetandyo Wignjoseobroto. 2013. Hukum dalam Masyarakat, ed. 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.
----------. 2013. Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang.
Sri Sutatiek. 2013. Rekonstruksi Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Anak di Indonesia, ctk. Kedua.
Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
UNICEF. 2007. “Child Protection Programme Strategy Toolkit”, makalah disampaikan pada pelatihan
Penguatan Perlindungan Anak dengan Pendekatan System Building Approach, UNICEF dan
Bappeda Propinsi Jawa Tengah, Salatiga, 14 Mei 2011.
Widodo. Tanpa Tahun. Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Yesmil Anwar dan Adang. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Grasindo.
Yesmil Anwar. 2009. Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum,
dan HAM.
Resolusi PBB No.45/112 Tahun 1990 tentang Pedoman Perserikatan Bangsa-bangsa dalam Rangka
Pencegahan Tindak Pidana Remaja.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Lollong M. Awi, Darurat Anak dalam Penjara, terdapat dalam http://www.cds.or.id/konten.
php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=21, diakses tanggal 25 Januari 2015, pukul 22.10 WIB.
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/kanwil/db5f3920-6bd1-1bd1-b847-313134333039/
year/2014/month/8. Diakses tanggal 25 Januari 2015, pukul 22.20 WIB.
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/2013/month/12. Diakses 19 Januari 2015,
pukul 17.48 WIB.
40 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Sistem Pemasyarakatan dalam ....
Download