SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM Dian Sasmita Mahasiswa Program Studi Kebijakan Publik Pasca Sarjana FH UNS Email: [email protected] Abstract social environments. The following studies were about to search problems in implementing correctional system based on Law of the Republic Indonesia Number 12 of 1995 specially for juvenile in detention. Offer solutions formulated using a systems approach has the major components are interlinked: substance, structure, and culture. The resulting recommendation is to encourage changes in Law of the Republic a system of rehabilitation and reintegration are integrative and holistic involving cross-institution; and increase the frequency as well as community education strategy for reducing the impact of stigma or Keywords: Abstrak mendapatkan perhatian serius. Deliquncy hadir karena pengaruh lingkungan sekitar seperti lingkungan keluarga, pendidikan, atau sosial anak. Kajian berikut hendak menggali permasalahan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 khususnya bagi AKH di lapas/rutan. Tawaran solusi dirumuskan menggunakan pendekatan sistem yang memilki komponen utama yang saling terkait yakni substansi, struktur, dan kultur. Rekomendasi yang dihasilkan adalah mendorong perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dengan memasukan hak holistik yang mellibatkan lintas institusi; dan meningkatkan frekuensi serta strategi edukasi masyarakat untuk mengurangi dampak stigma atau labelling pada AKH. Kata Kunci: A. Pendahuluan Analisis Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia yang dilakukan UNICEF pada tahun 20051 menemukan cuplikan fakta seperti berikut “kekerasaan di dalam rumah tahanan juga mewarnai kehidupan emapat anak perempuan ini. Meskipun mereka menjelaskan bahwa umumnya teman-teman di rutan baik tetapi ada kewajiban bagi anggota baru untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, misalnya membersihkan kamar dan kamar mandi, menggantikan tugas piket kebersiahan dari penghuni yang lebih lama. Tugas semacam ini sulit untuk ditolak. Menurut anak perempuan ke-2 1 2 jika berani menolak akan ‘digulung’ yaitu dimarahi secara kasar bbahkan ada yang sampai ditendang dan dipukuli. Penghuni lain yang melihat tidak berani melapor ke petugas”. Penggalan kesaksian tersebut banyak dialami penahanan. Bukan satu atau dua, melainkan ada 3.657 anak harus masuk ke lapas/rutan pada tahun 2012 dan terdapat 3.466 anak pada tahun 20132. Data tersebut berasal dari 33 Kantor Wilayah Hukum dan HAM di Indonesia, termasuk di dalamnya 20 Lapas Anak. Lapas Anak tersebut berada di Kutoarjo – Jawa Tengah, Gianyar – Bali, Tangerang Purnianti, dkk, Analisa Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2006, hlm.157 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/2013/month/12. Diakses 19 Januari 2015 pukul 17.48 WIB. 28 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... – Banten, Muara Bulian – Jambi, Bandung – Jawa Barat, Blitar – Jawa Timur, Pontianak – Kalimantan Barat, Martapura - Kalimantan Selatan, Batam – Kepulauan Riau, Kotabumi dan Bandar Lampung – Lampung, Mataram – NTB, Kupang – NTT, Pekanbaru – Riau, Pare-pare – Sulawesi Selatan, Tomohon – Sulawesi Utara, Tanjung Pati – Sumatera Barat, Palembang – Sumatera Selatan, dan Medan – Sumatera Selatan. Ribuan anak tersebut rentan mengalami nasib kurang lebih sama dengan uraian di atas. Prisonisasi menjadi asupan setiap hari mereka selama berada di balik jeruji besi. Belum lagi kekhawatiran dengan stigma atau labelling masyarakat terhadap mereka pasca menjalani hukuman penjara. Kompleksitas beban psikis ditambah dengan minimnya fasilitas edukasi dan kesehatan, menambah deretan lapas/rutan. Permasalahan AKH tidak hanya pelaksanaan sistem peradilan yang berkeadilan bagi anak. Namun sistem pembinaan dan reintegrasi bagi AKH dengan vonis pidana penjara masih kerap luput dari perhatian. Pemenjaraan masih dinilai sebagai penyelesaian terbaik bagi anak yang melakukan kenakalan. Tujuannya agar mereka jera dan tidak melakukan pengulangan kembali. Asumsi demikian tidak seutuhnya benar karena sistem pemasyarakatan kita masih berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995. Asas yang dianut adalah pengayoman; persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan; penghormatan harkat dan martabat manusia; kehilangan kemerdekaan merupakan satusatunya penderitaan; dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga atau orangorang tertentu. Produk peraturan perundangan mengenai anak yang baru telah diberlakukan seperti Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undangundang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di samping produk hukum nasional, terdapat juga norma internasional seperti Konvesi Hak Anak, UN Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenie Justice (Beijing Rules), dan UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty (Havana Rules). Beragam produk hukum tersebut saling mengilhami dan melengkapi untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan anak-anak yang tercerabut kebebasannya. 3 Rehabilitasi AKH tidak hanya berpusat pada Lapas Khusus Anak atau istilah sekarang adalah Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Keberadaan AKH juga teridentifikasi di lapas atau rutan umum. Pertimbangan penempatan anak di lapas/rutan umum biasanya karena masa hukuman anak tidak lebih dari satu tahun. Domisili keluarga anak juga menjadi pertimbangan karena anak tetap membutuhkan komunikasi intensif dengan orang tuanya. Pola pembinaan dan reintegrasi AKH masih menjadi beban Kementerian Hukum dan HAM semata. Partisipasi bidang tugas lainnya masih minim sehingga pemenuhan hak anak masih jauh dari optimal. Cotoh sederhana adalah pemenuhan hak pendidikan bagi AKH di lapas. Belum semua lapas menyediakan layanan pendidikan, minimal kejar paket untuk warga binaannya. Prosedur dan minimnya dana anggaran yang selalu muncul menjadi hambatannya. Karenanya sangat vital porsi pembinaan atau rehabilitasi AKH selama menjalani masa hukuman di dalam lapas/rutan atau LPKA. Keberhasilan rehabilitasi anak akan mempengaruhi keberhasilan proses reintegrasi anak di keluarga dan masyarakat. Sistem pemasyarakatan masih mengacu dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 dianggap tertinggal jauh dalam mengatur perlindungan hak anak. Kajian berikut hendak menggali permasalahan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan khususnya bagi anak berkonflik dengan hukum yang mendapatkan vonis pidana penjara. Tawaran solusi dirumuskan menggunakan pendekatan sistem yangmemilki komponen utama yang saling terkait. dengan AKH Kehidupan bermasyarakat erat kainnya dengan pelaksanaan hukum atau norma untuk mewujudkan ketertiban. Perkembangan kehidupan memiliki andil dalam perubahan aturan perilaku individu di masyarakat. Industrialisasi dan globalisasi berpengaruh besar dalam tata kemasyarakatan dan struktur sosial. Emile Durkheim mengenalkan dua tipe solidaritas hasil analisas terhadap pengaruh kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahannya. Pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan perubahan dalam struktur sosial itu sendiri, dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik 3. Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, Jakarta, 2008, hlm.30 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... 29 Terdapat konsep kesadaran bersama sebagai hasil kepercayaan dan perasaan dari seluruh anggota masyarakat. Kepribadian individu terserap dalam kepribadian kolektif sehingga dikenal dengan mereka mendominasi kami. Kondisi demikian disebut dengan kesadaran mekanik yang memberi ruang keterlibatan komunitas dalam menjatuhi sanksi bagi pelangar norma. Perkembangan kerja ditutut semakin cepat sesuai dengan perkembangan industrialisasi. Individu harus mengikutiya sehingga mendorong perubahan solidaritas mereka mengikut i pembagian kerja yang menetapkan bentuk kontak moral baru. Individualitas masyarakatnya tinggi sehingga kesadaran kolektifnya melemah. Solidaritas tipe ini disebut solidaritas organik. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan yag umum sebagai hasil akhir dari perkembangan ilmu pengetahuan, menurut Aguste Comte, Bapak Sosiologi. Hukum dipandang sebagai alat mengatur perilaku masyarakat agar tercipta kebutuhan konkrit masayarakat. Hukum tidak benar-benar otonom atatu mandiri. Terdapat anasir-anasir yang hidup disekeliling hukum sehingga mempengaruhi daya gerak dari hukum itu sendiri. Soerjono Soekanto mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah4: 1. Faktor hukumnya sendiri 2. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapakan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor tersebut saling berkaitan erat dan memiliki arti yang netral dalam mendukung efektifitas penegakan sistem hukum. Sejalan dengan teori Soerjono Soekanto, di Benua Amerika berkembang sosilogi hukum yang memperkenalkan kosepsi budaya hukum oleh 4 5 6 7 8 Lawrence M. Friedmann dalam bukunya The Legal System. Sistem hukum mengenal tiga unsur yakni5: 1. Substansi adalah norma hukum yang terkandung dalam peraturan perundangundangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma dalam kehidupan sehai-hai yang ditaati oleh masyarakat. Soetandyo Wignjosoebroto menyampaikan hukum dalam konsepnya sebagai asas keadilan dan dikonsepkan sebagai atura perundangundangan yang bersifat positif-yuridis adalah hukum yang hadir dalam kehidupan sebagai norma yang berfungsi mengharuskan dan mengontrol6. 2. Organ adalah badan yang membuat, menjalankan, dan mengawasi norma tersebut. 3. Budaya hukum bangsa sangat menentukan berjalannya sistem hukum, diluar dua unsur sebelumnya. Budaya hukum tergantung pada subcultur masyarakat yang sangat beragam. Misalnya subculture Islam, Katholik, Kristen, kelompok miskin, golongan terdidik, para profesional, dan sebagainya. Unsur-unsur dalam sistem hukum tersebut sangatlah ideal untuk mendukung terciptanya sistem hukum nasional yang lebih baik. Sesungguhnya hukum nasional tidak hanya terdiri dari substansi perundang-undangan saja, tetapi juga berkomplemen dengan organisasi atau suatu struktural, ialah badan pembuatnya dan badan pelaksana alias penegaknya, serta pula badan peradilan pendayagunanya7. Teori Friedman diadopsi oleh UNICEF dalam melakukan analisa kebijakan perlindungan anak. Masalah perlindungan anak kurang tampak pesat perubahannya sehingga ditawarkan pendekatan baru yang berbasis sistem. Permasalahan anak selama ini menggunakan pendekatan isu sehingga tiap kondisi anak diselesaikan secara sektoral. Kurangnya keteribatan semua pihak menyebabkan akar masalah tidak kunjung tersentuh dan tidak tampak tautan antar kebijakan solusi. UNICEF memperkenalkan system building approach dengan elemen kunci sebagai berikut8: Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm.8. Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum, dan HAM, Aditama, Bandung, 2009, hlm.316. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013, hlm.29 Soetandyo Wignjoseobroto, Hukum dalam Masyarakat, ed. 2, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, hlm.21. UNICEF, “Child Protection Programme Strategy Toolkit”, 2007, makalah disampaikan pada pelatihan Penguatan Perlindungan Anak dengan Pendekatan System Building Approach, UNICEF dan Bappeda Propinsi Jawa Tenga h, Salatiga, 14 Mei 2011, hlm.63. 30 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... 1. 2. 3. Norma yakni peraturan perundangan atau kebijakan. Struktur merupakan elemen penggerak yang terdiri dari kelembagaan, sumber daya manusia, anggaran. Di dalamnya termasuk standart operational procedure (SOP). Proses merupakan tahapan pelaksanaan yang ditunjang oleh budaya atau perilaku di masyarakat atau lembaga terkait. Misalnya ego sektoral di dinas-dinas terkait isu anak. Pendekatan pengembangan sistem bertujuan mempromosikan suatu sistem perlindungan anak yang komprehensif, dengan menangani faktor risiko yang diketahui. Tujuannya meminimalisasikan kerentanan anak dan merespons semua bentuk kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran. Suatu sistem akan berjalan efektif apabila memiliki tujuan umum, daya prediksi, dan keseimbangan langkah. Beberapa tahapan untuk membangun sistem perlindungan anak yang komprehensif dilakukan dengan cara9: dalam sistem perlindungan anak 3. 4. 5. 6. 7. elemen lainya Mengidentifikasi hubungan antara sistem kesejahteraan sosial anak dan keluarga dengan sistem perlindungan anak Advokasi berdasarkan bukti (evidence based) Membantu petugas garis depan dalam penyelenggaraan pelayanan Memaksimalkan penggunaan sumber daya yang ada Menjamin bahwa program berfokus pada hak-hak anak dan kebutuhannya. C. Perlindungan Anak Berkonflik dengan Hukum Membahas permasalahan anak melakukan kriminalitas, dalam kepustakaan kriminologi terdapat faktor-faktor yang dihubungkan dengan kejahatan. Faktor tersebut patut diperiksa dengan kehati-hatian karena belum sepenuhnya terbukti mempunyai hubungan kausalitas dengan kejahatan. Perkembangan kajian tentang perilaku kriminal dikenal beberapa teori berikut10: 1. Teori biologi melihat sebab-sebab kejahatan 9 10 11 2. 3. 4. 5. Teori psikologi berpendapat bahwa kejahatan melalui studi proses mental seperti penyakit kejjiwaan, kehancuran dari pusat ketakutan, keti da kmampu an da ri keseluruh an kemampuan mentalnya. Teori sosiologi menyatakan bahwa penjahat adalah sebuah hasil hubungan antar manusia yang melakukan penyimpangan secara terus menerus karena dikehendaki atau dorongan kelompok. Kebanyakan penyimpangan ini bagian dari sebuah budaya. Teori ekonomi menilai sebab kejahatan didasarkan pada gagasan dari konsep diri manusia dan faktor lainnya yang berkaitan dengan gagasan ekonomi. Individu memiliki keperluan untuk memuaskan usaha atau kebutuhan mereka. Teori multifaktor menerangkan perilaku penjahat sebagai perpaduan dari kelompok biologis, psikologis, dan sosiologis. E. Sutherland, seorang krimonolog Amerika mengungkapkan kejahatan merupakan suatu proses kausalitas yang manusiawi dan berangkat dari selembar kertas putih. Selembar kertas putih dimaknai sebagai aturan hukum tertulis. Seseorang mampu melakukan kejahatan diperoleh melalui proses belajar. Peristiwa di lingkungan sekitar dan media adalah salah dua saluran belajar yang mudah ditemui. Peniruan perilaku kriminal sangat rentan dilakukan anak-anak karena kemapuan kognisi mereka yang belum sempurna. Kehidupan di dalam lembaga penahanan atau penjara memberi peluang besar bagi anak untuk belajar banyak hal, tak terkecuali pembelajaran yang negatif. Pola perilaku dan kebiasaan yang sudah melembaga menjadi sub-kultur tersendiri. Kebiasaan tercipta dari secara berlahan-lahan dibangun dari interkasi sesama warga binaan atau warga binaan pemasyarakatan dengan petugas. Wujudnya ada yang negatif seperti berkata kotor, kekerasaan, bulling, atau kebiasaan yang positif seperti solidaritas, menghormati yang lebih tua. Prisonisasi merupakan suatu proses akulturasi dan asimilasi terhadap dunia narapidaa yang di dalamnya menampakan keberlakuan norma yang berlawanan dengan norma pad amasyarakat pada umumnya11. Donald Clemmer, dikutip dalam buku Widodo, mengungkapkan prisonozation are the taking on, in grester or lesser degree, of the UNICEF, op.cit., hlm.47. Marlina, Hukum Penitensier, , Bandung, 2011, Hlm.118. Widodo, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, Tanpa Tahun, hlm.22. Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... 31 folksway, mores, customs and general culture of the penitentiary. Prisonisasi mungkin terjadi di lapas khusus anak, apalagi lapas dewasa dimana ada anaknya disana. Buku yang sama menguraikan pendapat Donald Clemmer mengenai indikator prisonisasi sebagai berikut12: 1. Special vocabulary. Tampak dari adanya kata atau istilah khusus yang hanya digunakan dalam berkomunikasi antar narapidana dan hanya dimengerti oleh mereka. 2. Perbedaan latarbelakang kehidupan narapidana sebelum di lapas dan jenis tindak pidan ayang dilakuakn 3. 4. Primary group. Ada kelompok utama yang anggotanya beberapa narapidana saja. Leadership. Adanya seorang pemimpin dalam kelompok utama yang berfungsi sebagai mediator dalam berhubungan dengan kelompok lain yang lebh besar. Muladi dalam buku Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, menegaskan bahwa bentuk prisonisasi adanya stratifikasi sosial dalam lapas, kelompok utama, serta kepemimpinan dalam lapas. Gejala psisonisasi lainnya adalah budaya pembuatan tato pada kulit tubuh, pemerasaan, perploncoan pada narapidana yang baru, serta kode etik yang menekanan adanya solidaritas anatar narapidana dengan merahasiakan sesuatu hal yang dianggap melanggar aturan petugas13. Kajian dari A Justice Policy Institute di Amerika menunjukan dampak penahanan terhadap remaja memperparah kondisi mental, menempatkan remaja dalam kondisi yang sanagt rentan kekerasaan, putus jenjang pendidikannya, serta peluang pekerjaan dimasa depan menjadi sempit 14. Mereka mengembangkan kerjasama antara pemerintah dan swasta berupa The Juvenile Detention Alternatives Initiative (JDAI) di tiga negara bagian. Tujuannya mencari alternatif penahanan yang terbukti memberi dampak buruk pada anak. Anak yang berada di lapas mayoritas pada fase remaja dan dewasa awal yakni 14 – 18 tahun. Perkembangan emosional anak masih labil dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Pengetahuan baru berupa kebiasaan-kebiasaan di lapas menjadi daya tarik sendiri. Kepribadiannya yang masih mudah dipengaruhi kian mendorong proses perkembangan prisonisasi pada komunitas anak narapidana. Penghuni baru akan mendapatkan pengalaman perploncoan dengan kekerasaan dan caci maki. Penghuni yang lebih lama merasa di kamar mereka. Stres yang tinggi di dalam lapas dan kerinduan kepada keluarga atau dunia luar mengakibatkan perilaku agresif anak muncul. Jadi prisonisasi sebagai dampak dari penderitaan narapaidana anak yang berkepanjagan dan sebagai upaya pencarian identitas sirinya. Fakta di Indonesia, anak yang melakukan dengan hukum, sebagaian besar mendapatkan vo ni s p id an a p en ja ra. Mere ka m em i li ki kompleksitas permasalaahan sebelumnya yang datang dari lingkungan keluarga, sekolah, atau sosial. Ketika anak pertama kali melakukan kenakalan dan mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat, maka anak memiliki potensi melakukan pengulangan. Respon remaja dengan jiwa petualangnya dan proses pencarian jati diri mendorong mereka untuk memberi respon yang tak terduga. Salah satunya, ketika mereka dilabeli anak nakal maka muncul dorongan untuk menunjukan perilaku sesuai dengan labelnya. Label dapat mempengaruhi perilaku anak pada masa yang akan datang karena akan memunculkan kenakalan baru. Teori labeling menegaska kenakalan anak dapat muncul karena adanya stigma nakal dari orang tua, tetangga, teman pergaulan, guru, atau masyarakat sekitar. Terdapat tiga proporsi teori labeling terkait dengan peradilan anak 15: 1. Seorang anak menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan perundang-undangan, melainkan karena ia ditetapkan demikian oleh penguasa. 2. Tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses labelling. 3. Labelling merupakan suatu proses yang devian dan subskultur serta meghasilkan rejection of the rejector. 12 13 14 Ibid, Hlm.123. Ibid. Hlm.23 Barry Holman and Jason Ziedenberg, The Dangers of Detention: The Impact of Incarcerating Youth in Detention and Other Secure Facilities, A Justice Policy Institute Report, Washington DC, Tanpa Tahun, hlm.10. 15 Sri Sutatiek, Rekonstruksi Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Anak di Indonesia, ctk. Kedua, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, Hlm. 46 32 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... Proposisi di atas memberi gambaran terang mengenai fenomena perilaku anak yang telah disematkan label anak pidana, tersangka anak, narapidana anak melalui sistem peradilan pidana. Beberapa anak klien dari Sahabat Kapas yang pernah dijatuhi hukuman penjara, kembali melakukan tindak kriminalitas yang serupa. Dari 150 anak klien tahun 2009 – 2013 terdapat sekitar 8% anak menjadi residivis 16 . Sahabat Kapas adalah lembaga yang bergerak pada pendampingan anak-anak di Lapas Anak Kutoarjo, Lapas Klaten, dan Rutan Surakarta sejak tahun 2009. Penjatuhan pidana penjara pada anak diharapkan lebih bijak untuk menghindarkan perilaku yang lebih buruk pada anak. The Riyadh Guiedelines menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan perlindungan, apakah pidana tersebut membahayakan orang tua serta anak yang bersangkutan17. yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Setiap anak yang berada dalam proses peradilan pidana anak memiliki hak yang wajib dilindungi dan dipenuhi negara sebagai berikut18: 1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. 2. Dipisahkan dari orang dewasa. 3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. 4. Melakukan kegiatan rekreasional. 5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat dan derajatnya. 6. Tidak dijatuhi hukuman mati atau pidana seumur hidup. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang obyektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum. Tidak dipublikasikan identitasnya. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak. Memperoleh advokasi sosial. Memperoleh kehidupan pribadi. Memperole aksesibilitas terutama bagi anak cacat. Memperoleh pendidikan. Memperoleh pelayanan kesehatan. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan19. Hak-hak anak yang telah teruraikan di atas berlaku tidak hanya bagi anak yang melakukan hukum, namun juga bagi anak sebagai saksi atau korban. Hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarkaat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sistem pembinaan narapidana mulai dikenal dengan istilah pemasyarakatan sejak tahun 1964. Bermula dari ide DR Sahardjo SH mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Gagasan tersebut diturunkan dalam sepuluh prinsip bimbingan dan pemasyarakatan sebagai berikut20: 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagi warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat. 2. Pe n j a t u h a n p i d a n a b u ka n t i n da k a n pembalasan dendam dari nergara. 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 16 17 Wawncara dengan Febi Dwi S, Manajer Program Yayasan Sahabat Kapas, 20 Januari 2015. Resolusi PBB No.45/112 Tahun 1990 tentang Pedoman Perserikatan Bangsa-bangsa dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Remaja, Pasal 46. 18 Pasal 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 19 Rincian hak tersebut juga tertuang dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentanng Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentag Perlindungan Anak. 20 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, , Bandung, 2013, Hlm.98. Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... 33 4. 5. 6. 7. 8. 9. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruh atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat megisi waktu saja atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara, Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukan kepada narapidana bahwa ia penjahat. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Jauh sebelum sistem pemasyarakatan muncul di Indonesia, terlebih dahulu diberlakukan sistem kepenjaraan yang berasal dari Eropa. Belanda membawa sistem tersebut melalui pemberlakuan Gestichten Reglement (Reglemen Penjara) Stbl. 1917 Nomor 708. Sistem kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraaan bagi pelaku tindak pidana. Harapan agar tidak terjadi pengulangan tindak pidana ditampilkan melalui peraturan-peraturan yang keras dan sering tidak manusiawi21. Konsep tersebut berbeda dengan sistem pemasyarakatan yang melihat tujuan pemidanaan sebagai bentuk pembinaan dan bimbingan dengan tahapan admisi atau orientasi, tahap pembinaan, dan asimilasi. Dunia internasional mengenal beberapa peraturan minimum standar bagi perlakuan terhadap narapidana. Konggres pertama PBB mengenai pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap para pelanggar di Geneva tahun 1955. Kemudian disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dengan Resolusi 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan 2076 (LXII) tanggal 3 Mei 197722. Konvesi internasional tersebut secara substansi telah diadopsi pemerintah dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 dan peraturan pemerintah turunannya. Pada prinsip hak dasar narapidana dinyatakan secara tegas bahwa tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, pandanan politik, budaya, atau status lainnya. Serta diharuskan ada penghormatan atas keyakinan agama atau ajaran moral yang dianut oleh narapidana. Istilah warga binaan pemasyarakatan dikenal dalam sistem pemasyarakatan yang mencakup status tahanan dan narapidana. Tujuan diselenggarakan sistem pemasyarakatan dalam rangka membent uk warga binaan pemasyarakatan (dewasa dan anak) agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunandan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab23. Peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan baru diterbitkan empat tahun kemudian yakni Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 7 mengatur perihal pembinaan narapidana dilakukan melalui tahap awal, lanjutan, dan tahap akhir. Pembinaan awal dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampa 1/3 masa pidana. Tahap lanjutan merupakan kelanjutan proses dari tahap awal hingga 2/3 masa pidana. Sedangnkan tahap akhir diitung semenjak tahap lanjutan hingga selesai masa pidana dari warga binaan. Narapidana diposisikan bukan sebagai obyek semata, namun berkedudukan sebagai subyek layaknya manusia lainnya yang dapat melakukan kesalahan. Manusia tidak pernah lepas dari kekhilafan dan dapat dikenai sanksi. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak didik pemasyarakatan (ADP) agar menyesali perbuatannya dan dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik dan taat hukum. Pembinaan untuk ADP tentunya memiliki kekhasaan tersendiri sesuai dengan kondisi anak. ADP berhak mendapatkan bimbingan rohani dan jasmani serta dijamin hak-haknya untuk beribadah, berhubungan dengan orang tua, dan sebagainya. Anak Didik Pemasyarakatan adalah anak pidana yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama 21 C.I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, 1995, Hlm.10. 22 Yesmil Anwar, op.cit., hlm. 269. 23 Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 34 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... sampai berumur 18 tahun. Pengertian tersebut berdasarkan Undang-undang 12 Tahun 1995, dimana masih terdapat istilah anak sipil dan anak negara. Sejak tahun 2012 dengan lahirnya Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), istilah anak sipil dan anak negara telah dihapuskan. Data dari Center for Detention Studies terdapat 5.549 anak berada di dalam lembaga pemasyarakatan. Rinciannya 2.059 anak sebagai tahanan, 3.328 anak sebagai narapidana, dan 162 anak negara24. Jumlah anak negara dan anak sipil menurun seiring pemberlakuan UU SPPA yang efektif berlaku 1 Agustus 2014. Data dari Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM khusus wilayah Jawa Tengah, pada awal tahun 2013 terdapat 23 anak negara dan nol untuk anak sipil. Desember 2013, tersisa 17 anak negara. Pada Januari 2014 masih terdapat 11 anak negara dan pada Agustus 2014 sudah tidak terdapat lagi anak negara dan anak sipil25. Anak pidana tidak dikenal lagi dalam UU SPPA melainkan diganti dengan istilah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang di duga melakukan tindak pidana. Pasal 20 UU SPPA memperluas cakupan umur 21 tahun dengan prasyarat tindak pidana tersebut dilakukan anak sebelum genap berumur 18 tahun. dikenal dengan istilah Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) sesuai Pasal 1 angka 21 UU SPPA. Fungsi penempatan sementara selama ini dilaksanakan oleh rutan atau lapas setempat. LPAS menjadi tempat penahanan anak sesuai dengan permintaan penyidik atau penuntut umum. Anak yang berada di dalam LPAS berhak atas pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan, dan pendampingan serta hak lainnya sesuai ketentuan huum yang berlaku. Selain LPAS, UU SPPA menghadirkan lembaga yang tak sepenuhnya baru, yakni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). LPKA juga dikenal sebagai LP Khusus Anak. LPKA dan LPAS dibawah kewenangan dari Kementrian Hukum dan HAM. Keduanya menjalankan fungsi dengan hukum. Anak dapat ditempatkan di LPKA ketika keadaan dan perbuatan anak yang bersangkutan memiliki potensi membahayakan masyarakat (Pasal 81 UU SPPA). Keadaan yang membahayakan diukur lewat dampak perbuatan anak dan berdasarkan rekomendasi dari penelitian pemasyarakatan (litmas) petugas BAPAS. Jumlah LPKA di Indonesia hanya 16 sehingga tidak setiap propinsi memiliki LPKA. Untuk Propinsi Jawa Tengah dan DIY terdapat LPKA di Kutoarjo. Jarak LPKA yang jauh dari domisili anak dan keluarganya menjadi pertimbagan tersendiri sebelum menempatkan anak di sana. Penempatan anak di LPAS atau LPKA merupakan kewenangan dari hakim tentunya dengan mempertimbangkan litmas BAPAS atau rekomendasi pekerja sosial. Bilamana hakim terpaksa memenjarakan terdakwa anak, maka secara normatif pilihan tersebut merupakan pilihan terakhir dan semata-mata untuk kepentingan terbaik anak. Pemenjaraan anak sebagai ultimum remidium karena di dalam penjara dalat memberikan dampak kontaminasi pada perilaku dan psikis anak. Pasal 3 ayat (1) Konvesi Hak Anak menyebutkan : “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, pemerintah, atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah, atau lembaga legislatif maka kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.” Kondisi LPKA atau LPAS yang kurang kondusif untuk tumbuh kembang anak menghambat adalah iklim yang kurang mendukung anak untuk bersosialisasi dengan baik; pembina tidak menguasai materi psikologi anak; pembina kurang paham kebutuhan anak; serta kurikulum pembinaan serta fasilitasnya tidak membantu pengembangan kepribadian anak26. Undang-undang Pemasyarakatan merumuskan mekanisme rehabilitasi dan reintegrasi anak dalam pasal-pasalnya. Meskipun secara khusus tidak dipisahkan antara urusan anak dan dewasa. Tujuan sistem pemasyarakatan ini dalah membentuk anak menjadi manusia seutuhnya; 24 Lollong M. Awi, Darurat Anak dalam Penjara, terdapat dalam http://www.cds.or.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_ artikel&id=21, diakses tanggal 25 Januari 2015, jam 22.10 WIB. 25 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/kanwil/db5f3920-6bd1-1bd1-b847-313134333039/year/2014/ month/8. Diakses tanggal 25 Januari 2015 jam 22.20 WIB 26 Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... 35 menyadari kesalahan; memperbaiki diri; dan tidak mengulangi tindak pidana. Sedangkan dalam proses reintegrasi bertujuan agar anak dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat; dapat aktif berperan dalam pembangunan; dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab27. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan menganut asas-asas yang tertuang dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 yakni pengayoman; persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan; penghormatan harkat dan martabat manusia; kehilangan kemerdekaan merupakan satusatunya penderitaan; dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga atau orangorang tertentu. Peraturan internasional juga menggarisbawahi mengenai prinsip rehabilitasi dan reintegrasi khususnya bagi anak yakni Konvensi Hak Anak dan UN Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenie Justice (Beijing Rules) sebagai berikut:28 1. Segala bentuk perenggutan kemerdekaan dan/atau pemenjaraan harus menjadi upaya paling akhir bagi anak. 2. Apabila anak terpaksa mengalami proses pengadilan, maka perenggutan kemerdekaan dan/atau pemenjaraan harus selalu untuk masa yang paling singkat dan harus terdapat prosedur dana mekanisme perlindungan khusus anak. Pengamatan permasalahan pembinaan anak di lembaga penahanan menjadi perhatian berbagai pihak. Yusti Probowati menyampaikan dalam workshop Model Pengembangan Lembaga Pemasyarakatan Anak mengenai hasil kajiannya tentang permasalahan di LPKA sebagai berikut29: 1. Masih adanya residivis dan jumlah narapidana yang relatif stabil merupakan indikasi sistem pembinaan selama ini belum optimal. 2. Tidak ada kriteria jelas mengenai keberhasilan dan kegagalan. 3. Jumlah petugas keamanan lebih banyak daripada jumlah petugas rehabilitasi. 4. 5. 7. 8. Rasio petugas rehabilitasi tidak sebanding dengan jumlah narapidana. Hal ini menunjukan lebih dominannya security approach daripada rehabilitation approach. Rehabilitasi yang diterapkan masih jauh dari konsep rehabilitasi yag seharusnya karena kekurangan tenaga yang berkualitas. satu cara pemberian hukuman dengan dalih pembinaan. Kurangnya prasarana sehingga menghambat proses pembinaan. Kurang terkoordinasinya sistem pembinaan di dalam lembaga dan pembinaan di luar lembaga. Furdyartanto mengungkapkan situasi lapas saat LPKA masih berpotensi menghambat efektifitas proses rehabilitasi dsan reintegrasi anak, misalnya30: 1. Iklim yang tidak menjamin anak dapat bersosialisasi dengan baik. 2. Petugas pembina tidak meguasai pengetahuan kesehatan mental atau psikologis anak seningga tidak mengetahui kondisi psikis anak. 3. Petugas pembina tidak memahami apa yang sebenarnya diperlukan setiap anak. 4. Kurikulum materi pembinaan serta fasilitas tidak membantu perkembangan kepribadian anak. Keberhasilan program pembinaan menjadi perhatian beberapa lembaga kajian negara maju, salah satunya di University of WisconsinMadison, Amerika Serikat. Dalam Policy Institute for Family Impact Seminars menyebutkan delapan prinsip untuk mengefektifkan proses pembinaan di lembaga (Eights Principles of Effective Correctional Intervention) yakni31: 1. Create a positive environment 2. Design a strong program 3. Build a high-quality staff 4. Understand offenders needs 5. Target what works 27 28 Pasal 2 Undang-undag Nomor 12 Tahun 1995 Santi Kusumaningrum dan Mamik Sri Supatmi, Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi, dan Reintegrasi Sosial Bagi Anak di Indonesia: Studi Terbatas terhadap Anak dalam Sistem Pemasyarakatan, PUSKAPA FISIP UI, Depok, 2012, hlm.xii. 29 Fanny Tanuwijaya, “Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam Rangka Pembinaan Anak Pidana”, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2009, hlm.8 30 Abintoro Prakoso, op.cit. Hlm. 245 31 Edward J. Latessa, Promotig Public Safety Through Effective Correctional Interventions: What Works and What Doesn’t?, Policy Institute for Family Impact Seminar, University of Wisconsin-Madison, Tanpa Tahun, hlm.35 36 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... 6. 7. 8. Demonstrate good practice Communicate with others Evaluate progress 5. D. Kese nj an gan Impl ementasi Siste m Pemasyarakatan Pendekatan psikologi dalam mengkaji kejahatan anak (deliquency) dilakukan sejak awal abad 20. Penyebab dasar deliquency meliputi pola individu dan perkembangannya. Pertama, prilaku anak merupakan manifestasi dari keadaan internalnya. Kedua, gangguan psikologi yang serius akan membentuk sebuah pola tingkah laku anak32. Kedua faktor tersebut berasal dari internal anak yang dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni lingkungan. Penanganan deliquency membutuhkan perhatian khusus karena melibatkan perkembangan psikologis anak. Prinsip kepentingan terbaik dan kelangsungan hak hidup serta tumbuh kembangnya menjadi prioritas. Deliquency terdiri dari dua pengertian yakni juvenile deliquency yang berarti tingkah laku yang menciderai norma hukum dan pelanggaran terhadap norma kesusliaan yang dilakkukan oleh anak. Sedangkan offenders merupakan pelaku penggaran. Beberapa faktor yang dapat mendorong anak melakukan pelanggaran tindak pidana menurut penelitian teori Bonger sebagai berikut33: 1. Terlantarnya anak-anak. Pertumbuhan indistri dan kondisi lingkungan masyarakat dimana anak tinggal dapat mendorong timbulnya kejahatan. Lingkungan sosial yang buruk akan memberi contok anak untuk melakukan kejahatan. 2. Kesengsaraan. Pengangguran mengakibatkan terbatasnya akses ekonomi menyubang daya merusak yang besar, misalnya masalah kesusilaan dan kejahatan. 3. Nafsu ingin memiliki. Kejahatan mengenai kekayaan yanng kompleks modus operandinya disebabkan karena nafsu ingin memiliki. Misalnya anak dengan kasus pencurian memiliki potensi melakukan pencurian kembali karena mereka tidak memiliki ketrampilan kerja lainnya. 4. Demoralisasi seksual. Lingkungan sosial dan pendidikan anak dapat mempengaruhi perilaku seksual anak yang tidak aman. Marak 6. 7. tayangan video porno yang dapat dengan mudah diakses dan disimpan, mendorog kejahata terkait seksual. Alkoholisme. Termasuk pada msalah psychopathologis yang dapat mengakibatkan seseorang melakukan tindak kejahatan dengan berbagai jenisnya. Pada alkoholisme yang akut, me mil iki da mpa k ya ng membahayakan diri sendiri dan orang lain karena munculnya sifat agresif secara tibatiba. Ren dahn ya budi pekert i. Terba ngun karena lingkungan masyarkat yang luntur kepeduliannua dan rendahnya tingkat pendidikan Kontrol sosial di masayrkat juga semakin melemah sehingga pendidikan budi pekerti kurang merata didapatkan anak. P er a n g . M e n i m b u l ka n p e n de r i t a a n , kesegsaraan,demoralisasi, dan sebagainya. Anak-anak yang melakukan kriminalitas perlakuan khusus sesuai dengan perkembangan umur dan kematangan dirinya. Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 3 ayat (1) menyatakan dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama. pada kluster VII dalam KHA yakni perlindungan khusus. Konsekuensinya pemerintah harus memberikan porsi perhatian yang lebih dan mengupayakan cara-cara t ert ent u untuk mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan perlindungan dari kekerasaan, eksploitasi, penelantaran, atau perlakuan salah lainnya. Tidak semata tugas pemerintah dalam hukum. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan pembinaan anak merupakan tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat, dan negara. Karenanya dibutuhkan partisipasi dan kepedulian sosial untuk selamatkan masa depan anak. Mencegah orang berbuat jahat sudah menjadi kewajiban bersama untuk ciptakan ketertiban masyarakat. 32 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembanan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung, 2009, hlm.67. 33 Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... 37 Efektifitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan tidak hanya bertumpu pada peran anak, keluarga, dan masyarakat. Mereka hanya unsur pendukung dari pelaksanaan sebuah sistem. Menurut Lawrence M. Friedmann dan UNICEF, terdapat elemen lain yang berperan sama kuatnya dalam menjalankan sistem pemasyarakatan yakni norma dan struktur. Sistem diibaratkan sebuah mesin yang membutuhkan komponen utama untuk menggerakannya. Norma dan struktur sebagai komponen mesin sedangkan proses merupakan pelumas agar mesin dapat bergerak dengan baik. UU Pemasyarakatan disahkan pada tahun 1995, jauh sebelum lahirnya Undang-undang omor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Konsep perlindungan anak hanya berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Ketidaklengkapan rujukan dalam mengatur hak anak dan mekanisme pembinaan memberi dampak pada minimnya perlindungan anak dalam kerangka pembinaan dan reintegrasi anak. Peraturan teknis pelaksana termasuk peraturan menteri pun belum mampu mengakomodir hak-hak anak seperti yang tertuang dalam undang-undang mengenai anak lainnya. Hak rekreasi, hak atas pendidikan, dan kesehatan salah tiga hak anak yang belum optimal dipenuhi. Pemenuhan hak anak pengaturannya sama dengan narapidana dewasa. Misalnya hak rekreasi atau berkegiatan di luar lapas, terdapat syarat minimum telah menjalani ½ masa hukuman dan tidak memiliki denda. Hal ini tentunya sangat membatasi perkembangan anak. Termasuk dalam kegiatan pendidikan, baru tersedia program kejar paket baik untuk anak di LPKA maupun LPAS. Itupun dengan kualitas pengajaran yang minimal. Pengajar sering tidak datang atau kedatangannya hanya menjelang ujian saja34. Elemen struktur dari Undang-undang Pemasyarakatan mencakup kelembagaan, sumberdaya manusia atau kualitas dan kuantitas petugas pemberi layanan, fasilitas, dan anggaran. Kelembagaan telah tersedia lengkap, mulai dari BAPAS , LPAS, dan LPKA. SDM yang tersedia pada LPAS yang notabene adalah lapas/rutan umum masih sangat minim yang bertugas khusus untuk pembinaan anak. Petugas yanng pernah mendapatkan pembekalan mengenai KHA dan UUPA juga hanya segelintir sehingga kualitas layanan anak pun sangat tergantung dengan perspektif dan komitmen pimpinan. 34 Fasilitas anak di LPKA cukup memenuhi kebutuhan kegiatan anak. Sarana prasarana kegiatan mulai dari belajar, kreatifitas seni, ketrampilan, serta olah raga tersedia. Anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pembinaan anak masih minim dan hanya terpusat pada LPKA saja. Padahal tak menutup mata, jumlah anak di LPAS juga tidak sedikit. Pertimbangan penempatan anak di LPAS lebih karena jarak LPKA yang jauh dari domisili anak/keluarga. Salah satu anak KT di LPKA Kutoarjo, dalam sesi wawancara bulan Desember 2014, menyampaikan bahwa orang tuanya perlu menyediakan uang Rp 500.000,seiap akan mengunjunginya. Transpotasi pergi pulang dari rumahnya di Purwokerto hingga Kutoarjo untuk tiga orang mencapai Rp 300.000,-. Hal ini mengakibatkan anak-anak di LPKA Kutoarjo memilih tidak dikunjungi keluarganya. Padahal keberhasilan proses pembinaan anak sangat dipengaruhi dengan komunikasi anak dengan keluarganya. Kesenjangan antara tataran ideal dan fakta dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan anak tampak dibanyak sisi. Analisis norma atau substansi, struktur, proses atau kultur menunjukan kebutuhan mendesak adalah memperbaharui norma sebagai pijakan pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi anak. Kebijakan untuk anak tidak hanya melulu pada LPKA namun juga harus dapat diterapkan pada LPAS. Meskipun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan pembatasaan besar pada anak yang dapat divonis pidana penjara. Namun prakteknya, tidak sedikit perkara anak dengan ancaman diatas 7 tahun penjara sehingga mereka dapat masuk lembaga penahanan. Misalnya Pasal 81-82 UUPA, Pasal 365 KUHP, Pasal 111 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ketiga pasal tersebut hanya sebagian ragam kriminalitas yang dilakukan anak. E. Simpulan dan Saran Pemenuhan dan perlindungan hak bagi selayaknya mendapatkan perhatian serius. Anak sebagai investasi bangsa perlu mendapatkan bimbingan dan layanan yang utuh tanpa mengabaikan kondisi psikis atau emosional anak. Deliquncy hadir karena pengaruh lingkungan sekitar seperti lingkungan keluarga, pendidikan, atau sosial anak. Mereka adalah tunas bangsa Wawancara dengan anak-anak di LPKA Kutoarjo, Lapas Klaten, dan Rutan Surakarta pada bulan Desember 2014. 38 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... yang harus mendapatkan perhatian tertentu agar terselamatkan masa depannya. Pemerintah berkewajiban turut andil melakukan intervensi tindakan terhadap anak-anak tersebut. Berbagai undang-undang mengamanatkan hal tersebut sejalan dengan substansi Konvensi Hak Anak dan UN Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenie Justice (Beijing Rules). Pemenjaraan anak merupakan upaya terakhir adalah prinsip peradilan pidana untuk anak dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012. Namun tidak menutup kemungkinan anak dapat dititipkan atau ditempatkan di lembaga penahanan seperti LPAS atau LPKA. Sistem pemasyarakatan di Indonesia masih berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 yang sudah ketinggalan jaman. Pembinaan (rehabilitasi) dan reintegrasi anak belum maksimal diatur. Layanan untuk anak masih sama standarnya dengan narapidana dewasa. Perlakuan khusus hanya diberikan pada LPKA yang berjumlah 16 di seluruh Indonesia. SDM pengampu tugas masih minim jumlah dan kualitasnya. Dukungan anggaran pemerintah juga tidak banyak untuk urusan anak sehingga sarana dan fasilitas, terutama di LPAS, masih minim. Tawaran solusi yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan di atas adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Mendorong perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarkatan. Memasukan hak anak secara khusus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka yang khas denganmerujuka Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pemerintah wajib membangun sistem hukum secara integratif dan holistik yang melibat kan berbagai kementrian dan masyarakat. Meningkatkan frekuensi dan strategi edukasi masyarakat tentang perlindungan anak sehingga dapat mengurangi stigma atau labelling Demikian kajian kondisi anak berkonlik dengan hukum yang berada di lembaga penahanan. Tantangan yang anak-anak tersebut alami tidak hanya semasa di dalam LPAS/LPKA, namun pasca selesai masa hukuman juga. Urusan ini bukanlah pekerjaan mudah sehingga dibutuhkan kerjasama keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Kewajiban kita semua untuk segera memulai perubahan pola rehabilitasi dan reintegrasi agar menjadi sebuah sistem pemasyarakatan yang holistik dan integratif. Daftar Pustaka Abintoro Prakoso. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak. -----------. 2013. Kriminologi dan Hukum Pidana. Barry Holman and Jason Ziedenberg. Tanpa Tahun. The Dangers of Detention: The Impact of Incarcerating Youth in Detention and Other Secure Facilities. Washington DC: A Justice Policy Institute Report. C.I. Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: Djambatan. Dwidja Priyatno. 2013. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. . Edward J. Latessa. Tanpa Tahun. Promotig Public Safety Through Effective Correctional Interventions: What Works and What Doesn’t?. University of Wisconsin-Madison : Policy Institute for Family Impact Seminars. Fanny Tanuwijaya. 2009. “Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam Rangka Pembinaan Anak Pidana”, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembanan Konsep Diversi dan Restorative Justice. ----------. 2011. Hukum Penitensier. Purnianti, dkk. 2006. Analisa Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, UNICEF, Indonesia. Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam .... 39 Santi Kusumaningrum dan Mamik Sri Supatmi. 2012. Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi, dan Reintegrasi Sosial Bagi Anak di Indonesia: Studi Terbatas terhadap Anak dalam Sistem Pemasyarakatan. Depok: PUSKAPA FISIP UI. Soerjono Soekanto. 2014. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Soetandyo Wignjoseobroto. 2013. Hukum dalam Masyarakat, ed. 2. Yogyakarta: Graha Ilmu. ----------. 2013. Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang. Sri Sutatiek. 2013. Rekonstruksi Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Anak di Indonesia, ctk. Kedua. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. UNICEF. 2007. “Child Protection Programme Strategy Toolkit”, makalah disampaikan pada pelatihan Penguatan Perlindungan Anak dengan Pendekatan System Building Approach, UNICEF dan Bappeda Propinsi Jawa Tengah, Salatiga, 14 Mei 2011. Widodo. Tanpa Tahun. Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Yesmil Anwar dan Adang. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Grasindo. Yesmil Anwar. 2009. Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum, dan HAM. Resolusi PBB No.45/112 Tahun 1990 tentang Pedoman Perserikatan Bangsa-bangsa dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Remaja. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lollong M. Awi, Darurat Anak dalam Penjara, terdapat dalam http://www.cds.or.id/konten. php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=21, diakses tanggal 25 Januari 2015, pukul 22.10 WIB. http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/kanwil/db5f3920-6bd1-1bd1-b847-313134333039/ year/2014/month/8. Diakses tanggal 25 Januari 2015, pukul 22.20 WIB. http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/2013/month/12. Diakses 19 Januari 2015, pukul 17.48 WIB. 40 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015 Sistem Pemasyarakatan dalam ....