1 INTERVENSI PEMERINTAH TERHADAP SUKU BAJAU MELALUI POLA PERMUKIMAN Studi Kasus: Desa Sama Bahari Albertus Bobby Widagdo Evawani Ellisa Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] ABSTRAK Suku Bajau yang awalnya dikenal hidup secara nomaden di atas perahu, kini telah menetap di permukiman. Pembentukan permukiman mereka di tengah laut tak lepas dari peran intervensi pemerintah dan masyarakat Bajau sendiri. Mereka tetap mempertahankan tradisi berbasis alam laut dalam menjalankan keseharian, bersamaan masuknya pemerintah dengan kuasa menggagas elemen permukimannya. Skripsi ini membahas bentuk intervensi pemerintah terhadap Suku Bajau melalui pola permukiman. Pola-pola yang terjadi diulas dengan pendekatan vernakular dan taktik masyarakat. Melalui keterkaitan antar pola ditelusuri porsi peran pemerintah dan Suku Bajau dalam permukiman. Kata kunci: pola permukiman, Suku Bajau, vernakular, intervensi, permukiman laut Government Intervention to Bajau Tribe Through Settlement Patterns Case Study: Desa Sama Bahari ABSTRACT Bajau tribe originally known as a nomadic people who lived on the boat, now has settled in the settlement. Formation of their settlement in the middle of the sea could not be separated from the role of government intervention and Bajau communities themselves. They still maintain the sea nature-based tradition in their daily life, along with the government power initiated the inclusion of elements in settlement. This undergraduate thesis discusses the forms of government intervention in the Bajau tribe through settlement patterns. The patterns that occur observed with vernacular approaches and society tactic. Portion of government's role and Bajau tribe in the settlement traced through the linkages between patterns. Key words: settlement pattern, Bajau Tribe, vernacular, intervention, sea settlement Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 2 Pendahuluan Indonesia dihuni oleh ribuan etnis yang tersebar di segala penjuru bumi pertiwi. Cukup mengejutkan jika mendapati di lain sisi keragaman penduduknya yang mendiami pulau-pulau tersebut, terdapat suatu suku yang justru lebih memilih tinggal di lautan. Suku Bajau yang berkehidupan dan penghidupan bergantung pada laut ini tersebar di perairan Nusantara. Pada dasarnya, keberadaan Suku Bajau tersebar di world coral triangle, yang meliputi perairan Indonesia, Sabah (Malaysia), Filipina, dan Kepulauan Pasifik. Suku Bajau sangat bergantung pada keberadaan karang, karena di tempat-tempat tersebut dapat ditemukan banyak ikan yang menjadi sumber komoditas pangan yang mereka butuhkan. Saat ini persebaran Suku Bajau mencakup 21 provinsi di Indonesia (Priantono dikutip Uniawati, 2007). Pola persebaran yang cukup luas di perairan Indonesia tersebut menjadi bukti akan eksistensi Suku Bajau sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban dalam berbangsa dan bernegara. Namun, pada kenyataannya seringkali Suku Bajau mendapat perlakuan yang bertolakbelakang. Sebagai kelompok etnis yang tidak terkonsentrasi pada suatu lokasi, mereka menjalankan pola kehidupan yang sama. Pola hidup mengembara di laut menimbulkan persepsi negatif dari mayoritas orang yang bermukim di darat. Suku Bajau dicap sebagai masyarakat yang hidup tak menentu, tidak berpendirian, jorok, berbau anyir karena jarang mandi, dan hidup bersama anjing dalam satu sampan serta makan segala jenis makanan, seperti daging babi dan daging penyu yang oleh masyarakat darat dinilai haram (Sembiring dalam Koentjaraningrat, dkk., 1993 : 340-341). Masyarakat Bajau di desa ini sudah memilih untuk bermukim dan meninggalkan pola hidup nomaden. Terbentuknya permukiman ini juga atas upaya pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sopher (1977) mengungkapkan bahwa usaha pemerintah dalam “memukimkan” Suku Bajau sudah berlangsung dari pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1820-1920, yang terus digalakkan hingga kini. Hadirnya berbagai program pemerintah, turut mengintervensi ruang-ruang kehidupan masyarakat Bajau baik dari segi fisik permukiman sampai pada nilai-nilai tradisi. Di lain pihak, terbentuknya permukiman Suku Bajau sebagai suatu etnis masyarakat juga dipengaruhi oleh tradisi mereka terhadap laut yang kuat. Budaya membangun Suku Bajau tak terlepas dari kehidupan sehari-hari, daur hidup berbagai kelompok umur, dan peran sosial masyarakat. Dalam masyarakat bertradisi kuat seperti Suku Bajau, budaya membangun berarti pernyataan diri (Tjahjono dalam Amelia, 2013). Walau terdapat perbedaan dengan masyarakat darat, budaya membangun Suku Bajau melekat ke laut yang membuahkan sebentuk budaya bermukim yang tidak terlepas pada unsur-unsur arsitektur vernakular. Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 3 Perpaduan antara pengaruh pemerintah dalam memukimkan masyarakat Bajau dengan nilai-nilai tradisi mereka menghasilkan pola-pola kehidupan yang terkait keruangan sebagai suatu karakter dari setiap permukiman Bajau itu sendiri. Meminjam pernyataan John Rajchman (1987) yang menyatakan bahwa segala hal dapat terhubung satu sama lain dan bersifat heterogen, saya berargumen bahwa ruang kehidupan masyarakat dalam konteks suku Bajau di Desa Sama Bahari berkaitan erat pada keterhubungan antar unsur dalam kampung. Sifat heterogen tersebut memungkinkan berlangsungnya keterhubungan antara kehidupan di laut dan di darat. Respon mereka atas masalah yang dialami berbeda-beda menurut desanya masing-masing, yang situasinya juga berlainan (Zacot, 2002). Melihat kondisi di Desa Sama Bahari, telah terjadi beragam intervensi yang mempengaruhi pola keseharian masyarakat dalam kampung. Desa ini telah beradaptasi dengan keterhubungannya akan lingkungan dan modernisasi yang berlaku oleh hadirnya intervensi dengan nilai-nilai tradisi membangun yang mereka banggakan. Kajian Teori Alexander (1964 : 5) memaparkan bahwa berbagai variabel dalam lingkungan masyarakat saling berhubungan secara kompleks satu sama lain. Perubahan yang terjadi pada satu variabel dapat berimplikasi pada perubahan variabel-variabel lainnya. Dalam hal ini, keterkaitan konteks lingkungan dan masyarakat dilihat sebagai acuan untuk mengungkap unsur pembentuk suatu kawasan permukiman. Beliau juga berpendapat bahwa permukiman dan bangunan tidak dapat “hidup” tanpa campur tangan masyarakat. Individu dalam kelompok masyarakat tersebut menjalankan pattern (pola) yang sama, baik dalam membentuk hunian dan permukimannya (Alexander, 1977 : x). Setiap pola diyakini sebagai deskripsi atas masing-masing bentuk kejadian yang terjadi secara berulang. Pengulangan yang disebut sebagai pola ini terjadi di lingkungan. Pola diperlukan untuk melihat inti masalah agar ditemukan solusi tepat terhadap penanganannya. “Which discourages any unified plan of organization or development…One is always passing from one singular point to another, then connecting it to yet something else.” (Rajchman, 1987 : 4) Pola tidak terisolasi dengan berdiri sendiri, melainkan didukung oleh pola-pola lain. Susunan pola dimulai dari bagian terluas menuju bagian yang lebih sempit. Pola menghasilkan susunan hirarki yang terikat oleh pola yang lebih besar, pola yang sama besar, dan pola yang lebih kecil. Dalam konteks arsitektur dan permukiman, susunan berjenjang mulai dari skala regional/perkotaan, lalu turun ke lingkungan permukiman, klaster hunian, ruangan, sampai pada detil konstruksinya (Alexander, 1977 : xii). Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 4 “What is most important about this sequence, is that it is based on the connections between the patterns. Each pattern is connected to certain “larger pattern” which come above it in the language; and to certain “smaller” patterns which come below it in the language.” (Alexander, 1977 : xii) Vernakular adalah istilah yang pertama kali diperkenalkan Bernard Rudofsky pada tahun 1964, yang berasal dari kata verna (bahasa Latin) artinya: domestic, indigenous, native slave, atau home-born slave (Mentayani dan Ikaputra, 2012). Berdasarkan pemahaman tersebut, vernakular dikenal sebagai arsitektur yang terbentuk tanpa arsitek atau perancang. Vernakular digunakan lebih lanjut sebagai klasifikasi ranah arsitektur yang erat dengan sisi lokalitas. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Oliver (1997), bahwa arsitektur vernakular memiliki keterkaitan dengan konteks lingkungan, ketersediaan sumber daya, komunitas, dan pemanfaatan teknologi tradisional. Permukiman Bajau adalah salah satu contoh bentuk permukiman vernakular di perairan Indonesia. Terbentuknya permukiman Bajau dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal maupun internal. Selain pengaruh dari intervensi oleh program pemerintah terkait pengembangan infrastruktur dan kesejahteraan sosial, terdapat berbagai unsur dari konteks ke-bajau-an itu sendiri yang dipegang teguh dalam membentuk lingkungan hunian. Waterson (1990 : xv) menyatakan bahwa keseluruhan kultur tersaji baik dari ruang yang dihuni, konstruksi, dan penggunaan ruang dalam keseharian masyarakat. Bahwasanya, ruang bermukim yang dihuni tidaklah bersifat netral, melainkan terdiri atas susunan konstruksi kultural. “Buildings, as all human endeavors, obey varied and often contradictory and conflicting impulses which interfere with the simple and orderly diagrams, models, and classifications we love to construct.” (Rapoport, 1969: 11) Rapoport (1969) mengatakan bahwa walaupun teknologi dapat berkembang, arsitektur tidak semestinya demikian. Bangunan (dalam hal ini hunian) terbentuk sebagai hasil pembenturan beragam unsur. Keragaman pengaruh unsur itu seringkali berlawanan karena adanya campur tangan terhadap tatanan tempat bertinggal yang akan terbentuk. Rapoport (1969 : 18) memaparkan salah satu alternatif teori terbentuknya permukiman yang meliputi unsur iklim dan kebutuhan akan tempat bernaung, material dan teknologi, kondisi tapak, dan sosial-budaya (meliputi ekonomi, pertahanan, dan kepercayaan). Permukiman Bajau merupakan permukiman tradisional yang erat pembentukannya dengan aspek vernakularitas. Seiring berjalan waktu, pemerintah mulai masuk ke dalam permukiman Bajau melalui program-program terkait kesejahteraan sosial, pengembangan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dll. Segala bentuk intervensi dari Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 5 pemerintah itu ikut mempengaruhi bentuk permukiman. Dalam hal ini, pemerintah berperan selaku pihak yang memiliki kuasa dan masyarakat selaku pengguna ruang untuk berkehidupan. Dalam praktik keseharian, manusia menggunakan strategi dan taktik. Strategi berbeda dengan taktik. Strategi adalah upaya dari pihak yang memiliki kuasa. Dalam strategi terselip aturan-aturan, sedangkan taktik adalah upaya lain yang muncul akibat ketidaktepatan suatu hal (Certeau, 1984). Dalam bukunya The Practice of Everyday Life, Michel De Certeau (1984) menyebutkan adanya istilah produsen dan konsumen ruang. Saya melihat proses produksi dan konsumsi ruang berkaitan pada praktik keseharian manusia. Proses produksi ini melibatkan pihak berkuasa yang dicontohkan sebagai pemerintah. Pihak tersebut membentuk strategi ruang dengan aturan yang perlu ditepati. Pengguna ruang yang berpraktik keseharian di dalamnya mencoba menyusup untuk melihat potensi-potensi penggunaannya, sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Gambar 1. Ilustrasi Terbentuknya Leftovers (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Borden (2000 : 179) menggarisbawahi tendensi masyarakat sebagai bentuk kritik untuk mencari makna ruang. Dalam prosesnya, simbol yang melekat pada ruang tersebut dilepas untuk menghasilkan ruang sosial dengan makna baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Borden (2000 : 182) “…recognize that architecture has no innate or fixed meaning,…”. Masyarakat Bajau mengelaborasikan kebutuhan ruang untuk beraktivitas sehari-hari dengan ruang yang tersedia, sehingga menghasilkan ruang-ruang baru. Ruang sosial yang terjadi membentuk pola-pola terkait dengan bentuk dan kondisi permukiman. Permukiman Bajau merupakan salah satu bentuk permukiman yang mengalami intervensi oleh pemerintah dan mempengaruhi tradisi mereka terkait laut. Suku Bajau yang saat ini tinggal bermukim, menjalankan pola-pola kehidupan yang sama terkait budaya dan fisik permukimannya. Pola permukiman ditinjau sebagai metode yang bersifat hirarkis dan terbagi atas pola yang sama besar, pola yang lebih besar, dan pola yang lebih kecil. Setiap Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 6 pola dapat diidentifikasi dengan tujuan untuk melihat keterkaitan dengan pola lain. Permukiman Bajau sebagai permukiman tradisional memiliki keunikan terhadap pola yang terjadi di dalamnya. Selain itu, keterkaitan antar pola yang timbul dapat digunakan untuk menjabarkan alur kehadiran permukiman melalui kearifan lokal Bajau dengan intervensi pemerintah. Pola-pola yang terdapat pada studi kasus Desa Sama Bahari ternyata memiliki keterkaitan dengan pendekatan teori terkait konteks Suku Bajau dan bentuk intervensi pemerintah. Gambar 2. Alur Keterkaitan Pemerintah dan Suku Bajau Melalui Pola (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Studi Lokasi dan Analisis Kajian dilakukan dengan mengambil data di salah satu permukiman Suku Bajau yang tinggal di daerah perairan Wakatobi. Permukiman ini secara administratif bernama Desa Sama Bahari. Pengambilan data saya lakukan pada bulan Juli 2013 dan bulan April 2014 (kunjungan pribadi). Letak desa secara geografis (lihat Gambar 3) berada di perairan Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, tepatnya berada pada 5o29’LS dan 123o44’BT (Google Earth, 2014). Wakatobi merupakan kabupaten dengan gugusan 4 pulau utama, yaitu Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Ibukota kabupaten adalah Wanci di Pulau Wangi-wangi. Secara keseluruhan diperkirakan luas perairannya mencapai 18.377,31 km2. Seperti pada hasil zoom-in media Google Earth Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 7 (Gambar 3), Desa Sama Bahari berbatasan dengan Laut Banda (sisi utara), serta diapit oleh Pulau Kaledupa (sisi barat-selatan) dan Pulau Hoga (sisi timur). Gambar 3. Lokasi Desa Sama Bahari dan Batas Desa (sumber: Google Earth yang diolah kembali, April 2014) Sebagai suatu kawasan permukiman, Desa Sama Bahari terdiri dari massa-massa dengan organisasi yang membentuk solid-void yang tertuang pada figure and ground (Gambar 4). Dalam konteks permukiman yang berdiri di atas laut, maka laut bertindak sebagai void, sedangkan massa bangunan hunian, jalan, dan karang sebagai pembentuk solid. Organisasi ruang Desa Sama Bahari linier dan grid. Acuan dari organisasi ruang adalah jalan. Posisi massa-massa bangunan berbaris terhadap sisi jalan dan berorientasi pada jalan dan lorong (jalan kecil). Sedangkan pola grid terlihat pada keterhubungan antar jalan yang sejajar membentang dari ujung utara ke selatan desa, sehingga membentuk semacam klaster blokblok yang dikelilingi oleh jalan. Bentuk permukiman Bajau tidak terlepas dari kondisi alam yang melingkupi tempat berdirinya. Alam pada dasarnya menjadikan alasan utama Suku Bajau menggantungkan hidup. Negosiasi antara Suku Bajau yang berkehidupan dan penghidupan di laut terlihat pada upaya berlindung dari alam itu sendiri. Suku Bajau sangat bergantung pada arah angin yang dikenali berdasarkan pembagian musim, berdasarkan arah datang angin yang dikenal dengan musim timur dan musim barat. Jeda peralihan kedua musim tersebut dikenal sebagai musim Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 8 tenang/teduh. Musim teduh berarti kondisi lautan yang tenang, tidak bergelombang besar, dan jarang berangin. Musim tersebut dimanfaatkan warga untuk pergi mencari ikan ke laut lepas yang jauh dari permukiman. Masyarakat Bajau tidak mengetahui pasti pada bulan apa dimulai musim tersebut. Mereka biasa melakukan penghitungan kalender musim sendiri dengan jarak waktu antar musim 3 bulan lamanya. Gambar 4. Figure and Ground Desa Sama Bahari (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Gambar 5. Pola Orientasi Bangunan (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Perpindahan musim terjadi berdasarkan siklus dari musim timur-teduh-barat-teduh. Desa Sama Bahari yang berdiri di atas permukaan laut terkena angin yang relatif signifikan karena tidak memiliki buffer pepohonan seperti di darat. Oleh karena itu, Suku Bajau mengenal suatu orientasi dalam membangun bangunan. Orientasi bangunan pada permukiman Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 9 terlihat menghadap timur-barat. Bangunan yang memiliki sisi lebar (pendek) harus menghadap timur-barat agar sesedikit mungkin diterpa angin dari arah tersebut. Jika sisi memanjang dari bangunan yang menghadap timur-barat dikhawatirkan bidang yang diterpa angin lebih luas, sehingga dapat menerbangkan atau merobohkan bangunan (lihat Gambar 5). Walaupun hidup secara nomaden, Suku Bajau juga telah mengenal pembangunan shelter temporer. Mereka membangun naungan untuk tinggal sementara dalam suatu siklus musim untuk menunggu dimulainya musim mencari ikan selanjutnya. Naungan sementara itu bernama sapao. Kesederhanaan naungan itu terlihat dari material yang digunakan berupa 4 tiang pancang dari kayu bakau yang ditancap ke dasar laut yang dangkal (biasanya di daerah teluk dekat pesisir). Material atap menggunakan daun kelapa yang mudah ditemukan. Tidak terdapat dinding pada sapao. Tangga ditambahkan untuk memudahkan akses naik dari perahu ke atas sapao. Mereka menambatkan soppe dan tinggal sementara di sapao. Sembari mengurus perawatan soppe dengan ditambal atau dijemur untuk menguapkan air dan menghilangkan jamur dari pori-pori kayu, mereka juga mengunjungi darat untuk membeli/barter kebutuhan hidup. Seiring perkembangan waktu dan selaras dengan upaya pemerintah yang mengharuskan seluruh penduduk tinggal menetap untuk memudahkan masuknya program pemberdayaan masyarakat. Masyarakat Bajau perlahan beralih membangun hunian yang lebih permanen (lihat Gambar 6). Masyarakat Bajau Sama Bahari mencoba meninggalkan cara hidup nenek moyangnya yang nomaden dengan memilih hidup menetap. Terdapat beragam hunian warga di Desa Sama Bahari jika dilihat dari material dan konstruksi yang digunakan. Gambar 6. Perkembangan Rumah Suku Bajau di Desa Sama Bahari (sumber: ilustrasi pribadi dalam luaran Ekskursi Arsitektur FTUI, 2013) Hasil studi memperlihatkan kecenderungan bangunan hunian membentuk suatu pola repetisi terhadap penggunaan material atap, dinding, dan pondasi. Oleh karena itu, saya mencoba menyimpulkan terdapat 3 tipe (mayoritas) rumah pada Desa Sama Bahari. Ketiga Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 10 tipe ini menyiratkan suatu perkembangan hunian Suku Bajau menuju ke arah yang lebih modern dan permanen. Hasil pemetaan tertuang pada diagram pemetaan (Gambar 7). Gambar 7. Pola Material Bangunan (Atap, Dinding, dan Pondasi) (sumber: ilustrasi pribadi dalam luaran Ekskursi Arsitektur FTUI, 2013) Selain ruang-ruang masif yang terbentuk dalam permukiman, juga hadir ruang-ruang cair dampak dari aktivitas masyarakat. Masing-masing individu membentuk ruang sosial dalam praktik keseharian di Desa Sama Bahari. Muncul ruang-ruang komunal, baik yang dipersiapkan oleh pemerintah, maupun yang yang timbul dari negosiasi aktivitas masyarakat terhadap ruang dan waktu. Masyarakat memberi makna secara luas terhadap ruang-ruang dalam permukiman dan membentuk tempat komunal. Perbenturan antara elemen-elemen dalam keseharian masyarakat Bajau, kepercayaan, konteks alam, dan kebutuhan menimbulkan pola-pola terhadap ruang hidupnya. Pada saat air laut surut, di sekitar Desa Sama Bahari akan terbentuk “daratan” di tengah laut. Kondisi tersebut dapat berlangsung saat sore hari atau malam hari tergantung posisi bulan. Masyarakat memanfaatkan gejala alam ini dengan turun mencari biota laut seperti teripang dan bulu babi untuk dikonsumsi sebagai penganan. Kegiatan ini biasa dikenal dengan istilah nubba. Biasanya, hewan tersebut dimakan mentah-mentah oleh warga secara bersama-sama dengan keluarga dan tetangga sembari menanti matahari terbenam. Melihat kondisi tapak Desa Sama Bahari yang mengalami gradasi elevasi kedalaman laut, hanya sisi sebelah bara yang mengalami surut (meti) maksimal. Sedangkan, bagian timur desa tetap Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 11 berair walau tidak terlalu dalam. Hal ini menyebabkan persebaran konsentrasi warga yang melakukan nubba (lihat gambar 8). Gambar 8. Pola Persebaran Konsentrasi Saat Nubba (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Selain memiliki kedekatan dengan laut, kehidupan dan keseharian Suku Bajau juga tak terlepas pada perahu. Perahu dianalogikan sebagai kaki mereka sendiri. ‘Kaki’ yang memijakkan eksistensi mereka pada bumi, laut sebagai tanah air mereka. Perahu yang secara kodratnya adalah media pengangkutan dan kendaraan, juga menjadi tempat mereka bertinggal. Awalnya, Suku Bajau tidak bermukim pada suatu permukiman berupa kampung. Hidupnya yang nomaden, tinggal di atas perahu sekaligus rumah bagi mereka.biasa disebut jojolor. Biasanya, atap jojolor tidak dapat dilepas-pasang. Gambar 9. Perbedaan Perahu Sebagai Alat Transportasi Utama (sumber: dokumentasi Tim Ekskursi Arsitektur FTUI, 2013) Kepemilikan jenis perahu oleh Suku Bajau pada Desa Sama Bahari mempengaruhi bentuk hunian dan permukiman. Hal ini terindikasi pada dimensi perahu yang beragam, sehingga menimbulkan perbedaan penanganan untuk memarkir/menyimpan. Pola cara Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 12 menyimpan/memarkir perahu (lihat Gambar 10) mempengaruhi lintasan jalan laut di antara massa-massa bangunan, jalan, dan karang. Perahu dengan ukuran besar seperti bodi dan jojolor tidak dapat melintasi sebagian besar void laut tengah permukiman. Sedangkan, perahu ukuran kecil seperti leppa dan solo-solo dapat menjangkau hampir seluruh akses laut, sehingga dapat diparkir di masing-masing rumah. Gambar 10. Pola Parkir Perahu (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Bajau kepada roh penguasa laut, terdapat dukun/sandro yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai upacara/ritual. Pada Desa Sama Bahari terdapat beberapa sandro, yaitu Mbo Juta, Mbo Hona, Mbo Tate, dll. Masing-masing sandro memiliki spesialisasi tersendiri. Ada sandro khusus kelahiran dan penyembuhan penyakit. Sandro akan mengucapkan mantra-mantra dalam setiap upacara. Sandro biasanya menjalankan tugasnya didampingi seorang asisten (sandro muda) yang bertugas menyiapkan peralatan dan keperluan upacara. Seluruh rangkaian upacara untuk berbagai tidak lepas dari laut. Masyarakat memuja roh-roh penguasa di laut, seperti kka, kutta, dan tuli sebagai kembaran masing-masing orang. Secara garis besar, ritual (disebut maduai) yang dilakukan pun memilki urutan dalam menyelenggarakannya. Urutan ini tidak dapat dibalik ataupun diacak. Kerunutannya dibagi berdasarkan tingkat keseriusan penyakit yang menimpa pasien. Untuk melakukan ritual tingkat 2, harus melalui ritual tingkat 1, dst. Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 13 Gambar 11. Pola Tempat Ritual (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Selain disesaki oleh massa bangunan hunian, didirikan juga beberapa bangunan publik oleh program pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat. Beberapa bangunan tersebut tampak berbeda dari rumah-rumah penduduk, karena cenderung menggunakan material dari darat. Contohnya, penggunaan beton untuk tiang-tiang pondasi dan atap dari seng. Besaran bangunan publik juga jauh lebih besar dari rumah warga, sesuai dengan fungsinya untuk mengakomodasi kegiatan-kegiatan komunal. Bangunan-bangunan publik tersebut mengakomodasi kepentingan publik seperti yang tertuang dalam butir-butir A Pattern Language oleh Christopher Alexander (1977), yang terdiri atas Kantor Kepala Desa, sekolah, Hoga Health Center, masjid, Baruga, dan Poskamling. Bangunan dengan fungsi publik tersebut mayoritas dikonsentrasikan pada bagian sentral (tengah) dari Desa Sama Bahari (lihat Gambar 12) agar mudah diakses oleh penduduk dari segala penjuru permukiman. Di desa ini sudah masuk akses listrik bantuan pemerintah. Secara sekilas terlihat di jalan-jalan tertancap tiang untuk menggantungkan kabel listrik yang dialirkan ke bangunanbangunan. Beberapa rumah juga sudah memiliki perangkat elektronik seperti televisi lengkap dengan parabola. Sebelum listrik masuk desa, beberapa keluarga sudah memiliki panel listrik tenaga surya. Listrik pada Desa Sama Bahari dibangkitkan oleh tenaga generator berbahan bakar solar yang ditempatkan di tengah permukiman (samping Poskamling dan seberang Rumah Kepala Desa). Generator biasa dinyalakan saat senja sebelum maghrib dan dimatikan pada tengah malam Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 14 Gambar 12. Pemetaan Bangunan Publik (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Gambar 13. Pola Akses Listrik Pada Desa (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Kehidupan masyarakat Bajau di Desa Sama Bahari sudah menapak pada kehidupan bermukim yang tetap. Kondisi desa sudah disesaki hunian dan sarana publik dari program pemerintah. Masyarakat Bajau yang awalnya hidup secara nomaden dan pergerakannya lebih banyak menggunakan sampan, kini telah aktif menggunakan kaki mereka untuk berjalan dalam desa. Jalan yang menghubungkan antar bangunan sudah mengakomodasi hampir seluruh penjuru desa. Upaya intervensi pemerintah terhadap permukiman Bajau di Desa Sama Bahari ternyata tidak diterima mentah. Masyarakat memanfaatkan potensi-potensi lain yang muncul dari strategi pemerintah di beberapa bagian intervensi. Dalam hal ini, masyarakat menerapkan taktik sebagai wujud “tools of the weak” menyikapi intervensi pihak pemerintah yang memiliki kuasa. Mereka menerapkan taktik yang sesuai dengan kearifan lokal Bajau terhadap Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 15 alam (terkait teori bentuk dari Rapoport). Sikap tersebut sebagai upaya memanfaatkan ruangruang sisa dalam keseharian mereka yang tidak terlepas oleh peran alam. Gambar 14. Potongan Jalan dan Taktik Masyarakat (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Penelusuran hubungan intervensi pemerintah dengan Suku Bajau dalam konteks Desa Sama Bahari dapat terlihat melalui pola permukiman. Metode pola dari Alexander (1977) dapat digunakan untuk menjabarkan pola-pola yang terjadi di permukiman. Pendekatan vernakular melalui teori alternatif bentuk dari Rapoport (1969) diperlukan untuk membedah permukiman tradisional Bajau yang lekat dengan alam laut. Oleh karena itu, dapat terlihat sisi kearifan lokal Bajau yang masih dipegang sebagai landasan dalam keseharian yang bersinggungan dengan ragam intervensi dari pemerintah. Sedangkan, pendekatan strategitaktik dari Certeau (1984) terkait dengan pemerintah selaku pihak dengan kuasa dan masyarakat Bajau yang beraktivitas pada permukiman. Ketiga teori yang terkait satu sama lain itu berfungsi untuk mengulik pola-pola permukiman yang muncul oleh pengaruh Suku Bajau, pemerintah, maupun persinggungan keduanya. Melalui keterkaitan antar pola dengan menerapkan teori di atas (lihat Gambar 15), diperoleh jaringan yang menjelaskan pola permukiman Desa Sama Bahari atas pengaruh Suku Bajau/alam (warna kuning) dan pemerintah/faktor eksternal (warna biru). Selain itu juga terjadi perbenturan antara kedua faktor tersebut yang mempersilahkan aktor untuk menerapkan taktik yang selaras dengan kearifan lokal. Bentuk intervensi dari pemerintah hanya terlihat dominan pada pola bangunan publik dan jalan. Sedangkan pola-pola lain lebih banyak berasal dari pengaruh internal Suku Bajau itu sendiri, ataupun dari penerapan taktik adaptasi masyarakat dengan intervensi dan masyarakat dengan alam (warna hijau). Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 16 Gambar 15. Diagram Keterkaitan Pola dan Hubungan Pemerintah-Suku Bajau di Desa Sama Bahari (sumber: ilustrasi pribadi, 2014) Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 17 Kesimpulan Penelusuran pola permukiman telah mengungkapkan kolaborasi antara masyarakat Bajau dan pemerintah sebagai penggagas permukiman yang saya tinjau melalui pendekatan berbeda. Pola-pola tersebut memiliki keterkaitan dengan pola-pola lain. Selain itu, pola permukiman dapat diklasifikasikan menjadi susunan hirarkis dari yang lebih besar sampai lebih kecil. Persinggungan antara pemerintah dengan Suku Bajau menimbulkan pola baru. Pola-pola permukiman dijabarkan berdasarkan pendekatan teori alternatif bentuk (Rapoport, 1969) dan intervensi dari pihak pemerintah. Dalam studi kasus, pola Desa Sama Bahari didapat berdasarkan empat pola besar yang ditinjau dari skala makro dan alam, bangunan, jalan, dan keseharian masyarakat Bajau sendiri. Rincian dari tiap pola ternyata terkait dengan pola yang lebih besar maupun lebih kecil. Melalui cara ini didapat pola-pola apa saja yang terjadi di permukiman tersebut. Pola-pola tersebut memiliki latar belakang masalah dan fenomena yang berbeda-beda. Pemerintah selaku pihak dengan kuasa menjalankan strategi yang menerapkan aturanaturan. Lantas, masyarakat Bajau selaku “the weak” di permukimannya sendiri menjalankan taktik untuk memanfaatkan potensi karena intervensi yang tidak merata dan kurang tepat. Dalam konteks permukiman di Desa Sama Bahari, intervensi pemerintah tertuang dalam bentuk infrastruktur dan program pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya turut mempengaruhi pola permukiman. Ketidak merataan faktor yang diintervensi tersebut mempersilahkan masyarakat untuk mengolah kembali celah-celah akan ketidaktepatan. Taktik yang dijalankan tersebut juga didasari pada kearifan lokal etnis itu sendiri. Masyarakat Bajau membentuk permukiman berdasarkan kondisi alam dan kepercayaan mereka terhadap roh-roh di alam (laut). Mereka memaknai laut secara dalam, tidak hanya sebagai tempat mendirikan permukiman, melainkan sebagai keluarga. Sistem kepercayaan ini menghadirkan pola-pola terkait kondisi lingkungan dengan permukiman. Pendekatan aspek vernakular dilakukan untuk meninjau secara rinci pola-pola permukiman yang ditimbu`lkan oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat menyaring kembali intervensi dari pemerintah dengan berpegang pada kearifan lokal. Secara garis besar, pola-pola turunan dari dua pihak memiliki keterkaitan dalam Desa Sama Bahari. Intervensi dari pemerintah terbukti menyasar pada beberapa bagian pola permukiman (dipetakan pada Gambar 4.47). Faktor dari Suku Bajau, baik dengan dijalankan taktik dan terhadap kearifan lokal yang dipegang, nyatanya lebih mendominasi. Masyarakat Bajau yang merupakan etnis tradisional memiliki andil utama dalam terbentuk pola Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 18 permukiman, namun tetap bernegosiasi dalam memanfaatkan celah-celah pada intervensi pemerintah untuk menjalankan aktivitas sehari-hari di laut, dari laut, dan ke laut. Penulisan ini masih jauh dari sempurna dan memiliki keterbatasan. Sementara skripsi ini mengulas pola permukiman secara luas, penulisan lanjutan diperlukan untuk mengangkat isu-isu pada bagian yang lebih spesifik. Pemetaan jaringan keterkaitan pola permukiman Desa Sama Bahari menjadi rangkuman dalam skripsi ini. Saya berharap temuan dan ulasan tersebut dapat membantu pihak-pihak yang ingin ambil bagian dalam permukiman Bajau, agar memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Intervensi yang diberikan ke depannya diharapkan lebih tepat sasaran tanpa melunturkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal Suku Bajau. Daftar Referensi Ahimsa, Heddy Shri. 1995. Levis-Strauss di Kalangan Suku Bajo: Analisis Struktural dan Makna Cerita Suku Bajo. Yogyakarta: Kalam. Alexander, Christopher. 1977. A Pattern Language. Berkeley: Oxford University Press. _____. 1979. The Timeless Way of Building. New York: Oxford University Press. Alimuddin, Muhammad Ridwan. 2013. Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Amelia, Ade. 2013. Ekskursi Wakatobi 2013: “Tanah Airku, Air Tanahku” Sebuah Rekaman Perjalanan Mahasiswa Arsitektur Universitas Indonesia. Depok: Ikatan Mahasiswa Arsitektur FTUI. Andar. 2014. Wawancara Pribadi. Anwar. 2006. Kajian Pendidikan dan Kebudayaan Bajo, Tinjauan Historis dan Kontemporer. Kendari: Universitas Haluoleo. Borden, Iain. 2000. Unknown City: Contesting Architecture and Social Space. Cambridge: MIT Press. Certeau, Michel de. 1984. The Practice of Everyday Life. Berkeley: University of California Press. Forty, Adrian. 1986. Objects of Desire: Design and Society since 1750. London: Thames and Hudson. Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 19 Hag, Pendais. 2004. Suku Bajo (Studi tentang Interaksi Sosial Masyarakat Suku Bajo dengan Masyarakat Sekitarnya di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara). Makassar: PPS Universitas Negeri Makassar. Hall, D. G. E. 1960. A History of South-East Asia. New York: St. Martin’s Press. Jabira. 2013. Wawancara Pribadi. Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lefebvre, Henri. 1991. The Production of Space, Trans. Donald Nicholson-Smith. Oxford: Blackwell Publishing. Manan, Abdul. 2013. Seminar Pembekalan Ekskursi Wakatobi 2013. Depok Mangunwijaya, Y. B. 1988. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektural Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mentayani, Ira dan Ikaputra. 2012. LANTING Journal of Architecture, Volume 1, Nomer 2, Halaman 68-82: Menggali Makna Arsitektur Vernakular: Ranah, Unsur, dan Aspekaspek Vernakularitas. Mumford, Lewis. 1952. Art and Technics. New York: Columbia University Press. Oliver, Paul (ed.). 1997. Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World. 3 vols. Cambridge: Cambridge University Press. Potter, I. B. 1988. Laporan Penelitian tentang Kehamilan dan Kelahiran pada Suku Laut di Kepulauan Riau-Lingga. Jakarta. Rajchman, John. 1987. The Deleuze Connections. Cambridge: MIT Press. Rapoport, Amos. 1965. House, Form, Culture. Prentice Hall, Englewood Cliffs NJ. Soesangobeng, H. 1997. Perkampungan Bajo di Bajoe. Ujung Pandang: Laporan Penelitian PLPIIS. Sopher, D. E. 1965. The Sea Nomads: A Study Based on the Literature of the Maritime Boat People of Southeast Asia. Singapore: Memoirs of the National Museum. Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014 20 _____. 1977. The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Asia. Singapore: Singapore National Museum. Suhaele. 2014. Wawancara Pribadi. Tate, Mbo. 2014. Wawancara Pribadi. Tempo, No.23, Tahun XVIII 1988 : 62, 64. Tjahjono, Gunawan. 2013. Kuliah Umum Pameran Ekskursi Wakatobi: Arsitektur Vernakular Terkait Etnik. Jakarta. Uniawati. 2007. Tesis: Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Riffaterre. Semarang: Universitas Diponegoro. Waterson, Roxana. 1990. The Living House: An Anthropology of Architecture in South-East Asia. New York: Oxford University Press. Wolters, O. W. 1975. The Fall of Srivijaya in Malay History. East Asia Historical Monographs. Singapore: Oxford University Press. Zacot, Francois-Robert. 2002. Orang Bajo Suku Pengembara Laut: Pengalaman Seorang Antropolog. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Intervensi pemerintah…, Albertus Bobby Widagdo, FT UI, 2014