Analisis Modernitas Sikap Kewirausahaan dan

advertisement
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Wirausaha
Dalam pengertian sehari-hari istilah “entrepreneur” sering diidentikkan
dengan pengusaha, pedagang, saudagar, ataupun dengan istilah wiraswastawan,
atau wirausahawan (Tawardi 1999). Banyak orang melakukan wirausaha karena
tuntutan kebutuhan, kemudian melalui proses yang panjang sehingga perilaku
wirausaha sebenarnya dapat dipelajari dan diimplementasikan oleh setiap orang,
jika orang tersebut ada kemauan dan dorongan, walaupun awalnya disebabkan
oleh adanya tekanan untuk menjaga eksistensi kehidupannya (Dirlanudin 2010).
Wirausaha adalah orang yang berani mengambil risiko untuk membuka
usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil risiko artinya
bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau
cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti. Seorang wirausaha dalam pikirannya
selalu berusaha mencari, memanfaatkan, serta menciptakan peluang yang dapat
memberikan keuntungan. Risiko kerugian merupakan hal yang biasa karena
mereka berprinsip bahwa faktor kerugian pasti ada. Bahkan, semakin besar
risiko keuangan yang bakal dihadapi, semakin besar pula keuntungan yang dapat
diraih. Tidak ada istilah rugi selama seseorang melakukan usaha dengan penuh
keberanian dan penuh perhitungan (Satya 2010).
Menurut Wijandi dan Sarma (2002) bahwa inti kewirausahaan adalah
kemandirian. Kemandirian seseorang banyak ditentukan oleh kepercayaan
dirinya atas apa yang harus dihadapi. Kemandirian untuk mampu bekerja
mandiri akan sulit dilakukan jika tidak terbiasa belajar, berlatih dan kerja
mandiri yang memberikan pengalaman sukses. Kepercayaan diri sangat
menentukan keberanian seseorang untuk bertindak atau mengambil risiko,
karena faktor keyakinan atas kemampuan diri sangat bergantung pada seberapa
tinggi kepercayaan dirinya untuk berhasil.
Menurut Meredith et all. dalam (Dirlanudin 2010), para wirausaha adalah
orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan
yang ada, mengumpulkan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan guna
mengambil keuntungan dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan
12
sukses. Wirausaha akan berorientasi kepada tindakan, dan bermotivasi tinggi
yang mengambil risiko dalam mengejar tujuannya.
Seorang wirausaha adalah seseorang yang mendirikan, mengelola,
mengembangkan dan melembagakan usaha yang dimilikinya, dan dilakukan
dengan
penuh
kreatif,
inovatif,
mempertimbangkan
kemampuan
diri
(swakendali), mampu mengambil risiko, mampu melihat ke depan, mampu
memanfaatkan peluang, mampu bergaul, suka bekerja keras, penuh keyakinan
dan bersikap mandiri (Tawardi 1999).
Wirausaha merupakan tindakan seseorang yang berani mengambil risiko
sebuah bisnis, mempunyai asumsi adanya pertumbuhan bisnis dan hasil-hasilnya
yang dapat meningkatkan kapitalisasi perusahaan. Memiliki kemampuan
berusaha sendiri tanpa bergantung pada orang lain dan tangguh menghadapi
cobaan. Tindakan yang dilakukannya untuk mengelola sebuah bisnis dengan
karakteristik inovasi yang tinggi. Wirausaha bukanlah sekedar pengetahuan
praktis, tetapi lebih cenderung pada suatu gaya hidup dan prinsip-prinsip tertentu
yang akan mempengaruhi kinerja usaha. Apabila hal tersebut dimiliki oleh
pengusaha kecil dengan kualitas yang tinggi, maka kesejahteraan pengusaha dan
tenaga kerja serta keluarga yang menggantungkan hidup pada usaha tersebut
akan dapat ditinggalkan (Dirlanudin, 2010).
2.2. Karakteristik Kewirausahaan
Kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang
baru dan berbeda (Pakpahan 2010). Kemampuan berwirausaha mendorong minat
seseorang untuk mendirikan dan mengelola usaha secara profesional. Dalam
bidang psikologi wirausaha, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan bewirausaha yang berfokus pada karakteristik (ciri-ciri) kepribadian
individu seperti: Locus of control, pengambilan risiko, motivasi akan prestasi,
gaya penyelesaian masalah, keinovatifan, persepsi, dan nilai kerja, Zimmerer
dalam (Kasmir 2006).
Sejarah kewirausahan menunjukkan bahwa kewirausahaan mempunyai
karakteristik yang umum serta berasal dari kelas yang sama Suparman dalam
(Tawardi 1999). Rata-rata wirausahawan adalah
anak dari orang tua yang
13
kondisi keuangan memadai, tidak miskin dan tidak kaya. Wirausahawan tidak
membentuk suatu kelas sosial tetapi berasal dari semua kelas sosial (Tawardi
1999).
Selanjutnya terdapat beberapa karakteristik dari wirausahawan yang
berhasil memiliki sifat-sifat yang dikenal dengan 10 D dari Bygrave (Azzahra,
2009):
1. Dream
Seorang wirausaha mempunyai visi bagaimana keinginannya
terhadap masa depan pribadi dan bisnisnya, dan yang paling penting
adalah dia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan impiannya
tersebut.
2. Decisiveness
Seorang wirausaha adalah orang yang tidak bekerja lambat. Mereka
membuat keputusan secara tepat dengan penuh perhitungan. Kecepatan
dan ketepatan dia mengambil keputusan adalah merupakan faktor kunci
(key factor) dalam kesuksesan bisnisnya.
3. Doers
Begitu seorang wirausaha membuat keputusan maka dia langsung
menindaklanjutinya. Mereka melaksanakan kegiatannya secepat mungkin
yang dia sanggup, artinya seorang wirausaha tidak mau menunda-nunda
kesempatan yang dapat dimanfaatkan.
4. Determination
Seorang wirausaha melaksanakan kegiatannya dengan penuh
perhatian. Rasa tanggung jawabnya tinggi dan tidak mau menyerah,
walaupun dia dihadapkan pada halangan atau rintangan yang tidak
mungkin diatasi.
5. Dedication
Dedikasi seorang wirausaha terhadap bisnisnya sangat tinggi,
kadang-kadang dia mengorbankan hubungan kekeluargaan, melupakan
hubungan dengan keluarganya untuk sementara. Mereka bekerja tidak
mengenal lelah, 12 jam sehari atau tujuh hari seminggu. Semua perhatian
dan kegiatannya dipusatkan semata-mata untuk kegiatan bisnisnya.
14
6. Devotion
Devotion berarti kegemaran atau kegila-gilaan. Demikian seorang
wirausaha mencintai pekerjaan bisnisnya dia mencintai pekerjaan dan
produk yang dihasilkannya. Hal inilah yang mendorong dia mencapai
keberhasilan
yang
sangat
efektif
untuk
menjual
produk
yang
ditawarkannya.
7. Details
Seorang wirausaha sangat memperhatikan faktor-faktor kritis secara
rinci. Dia tidak mau mengabaikan faktor-faktor kecil tertentu yang dapat
menghambat kegiatan usahanya.
8. Destiny
Seorang wirausaha bertanggung jawab terhadap nasib dan tujuan
yang hendak dicapainya. Dia merupakan orang yang bebas dan tidak mau
tergantung dengan orang lain.
9. Dollars
Wirausahawan tidak sangat mengutamakan mencapai kekayaan.
Motivasinya bukan memperoleh uang. Akan tetapi uang dianggap sebagai
ukuran kesuksesan bisnisnya. Mereka berasumsi jika mereka sukses
berbisnis maka mereka pantas mendapat laba, bonus atau hadiah.
10. Distribute
Seorang wirausaha bersedia mendistribusikan kepemilikan bisnisnya
terhadap orang-orang kepercayaannya. Orang-orang kepercayaan ini
adalah orang-orang yang kritis dan mau diajak untuk mencapai sukses
dalam bidang bisnis
Menurut
kewirausahaan
Ibnoe
Soedjono
merupakan
fungsi
dalam
dari
(Pakpahan
perilaku
2010)
kemampuan
kewirausahaan
dalam
mengombinasikan kreativitas, inovasi, kerja keras dan keberanian menghadapi
risiko untuk memperoleh peluang. Kemudian menurut Kasmir (2006)
berwirausaha tidak selalu memberikan hasil yang sesuai dengan harapan dan
keinginan pengusaha. Tidak sedikit pengusaha mengalami kerugian dan
akhirnya bangkrut. Namun, banyak juga wirausahawan yang berhasil untuk
beberapa generasi. Bahkan banyak pengusaha yang semula hidup sederhana
15
menjadi sukses dengan ketekunannya. Berikut beberapa ciri wirausahawan yang
dikatakan berhasil:
1. Memiliki visi dan tujuan yang jelas
2. Inisiatif dan selalu proaktif
3. Berorientasi pada prestasi
4. Berani mengambil risiko
5. Kerja keras
6. Bertanggung jawab terhadap segala aktivitas yang dijalankannya, baik
sekarang maupun yang akan datang
7. Komitmen pada berbagai pihak merupakan ciri yang harus dipegang teguh
dan harus ditepati
8. Mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak,
baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankannya
maupun tidak
Karakteristik wirausaha menurut Longenecker et all dalam (Satya
2010) sebagai berikut:
1. Keinginan untuk mengambil risiko
Risiko yang diambil para wirausahawan di dalam memulai dan waktu
menjalankan bisnisnya berbeda-beda. Misalnya dengan menginvestasikan
uang miliknya, mereka mendapat risiko keuangan. Dan jika mereka
meninggalkan pekerjaannya, mereka mempertaruhkan kariernya. Tekanan
dan waktu yang dibutuhkan untuk memulai dan menjalankan bisnisnya
juga mendatangkan risiko bagi keluarganya.
2. Percaya diri
J.B Rotter mengemukakan bahwa kesuksesan wirausaha tergantung
pada usaha mereka sendiri yang mempunyai pengendalian yang disebut
Internal Locus of Control. Sebaliknya wirausaha yang merasa bahwa
hidupnya
dikendalikan
oleh
besarnya
keberuntungan
atau
nasib
mempunyai pengendalian yang disebut Eksternal Locus of Control. Oleh
karena itu wirausaha yang sukses adalah orang yang percaya pada diri
sendiri, karena orang yang mempunyai keyakinan pada dirinya sendiri
merasa dapat menjawab tantangan yang ada di depan mereka.
16
3.
Kebutuhan akan keberhasilan
Psikologi mengakui bahwa tiap orang berbeda dalam tingkat
kebutuhan akan keberhasilannya. Orang yang mempunyai tingkat
kebutuhan keberhasilan menurun, terlihat puas dengan status yang dimiliki
saat ini, sedangkan orang dengan tingkat kebutuhan keberhasilan
meningkat senang bersaing dengan standar keunggulan dan memilih untuk
bertanggung jawab secara pribadi atas tugas yang dibebankan kepadanya,
dalam David Mc Cleland (1961) dalam Longenecker et al. (2001).
4. Kepemimpinan, memiliki watak mampu memimpin, dapat bergaul dengan
orang lain, menanggapi saran dan kritik.
5. Keorisinilan, memiliki watak inovatif, kreatif, fleksibel, banyak sumber,
serba bisa, dan memiliki banyak pengetahuan.
Pada umumnya para wirausaha yang berhasil banyak memiliki cara
yang sama. Antara lain penuh energi, inovatif, berani mengambil risiko serta
keinginan untuk berprestasi, selain itu juga sifat optimis dan percaya akan
masa depan (Tawardi 1999).
2.3. Modernitas Sikap Kewirausahaan
Sikap adalah keadaan dan kesiapan mental, yang terorganisasi melalui
pengalaman, yang secara langsung dan dinamis mempengaruhi respon seseorang
terhadap semua objek atau semua situasi yang mempunyai hubungan dengan
dirinya Alport dalam (Tawardi 1999). Selanjutnya menurut Rakhmat dalam
(Pakpahan 2009) sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir
dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Menurut Krech, dkk,
sikap adalah sistem atau organisasi yang bersifat menetap dari komponen
koqnisi, efeksi dan konasi. Jadi sikap menekankan keterkaitan antara ketiga
komponen yang saling menunjang. Koqnisi berupa sesuatu yang dipercayai oleh
subyek pemilik sikap (keyakinan), komponen afektif merupakan komponen
perasaan yang menyangkut aspek emosional, dan konatif merupakan aspek
kecenderungan berperilaku sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh subyek
(Tawardi 1999).
17
Menurut Ajzen dan Fishbein dalam (Pakpahan 2009), semakin positif
sikap seseorang terhadap suatu obyek, semakin positif konsekuensi yang
diterima, dan semakin didukung oleh norma subyektif maka semakin besar
intensi untuk berperilaku. Sebaliknya, semakin negatif maka semakin kecil
intensi untuk berperilaku.
Konsep sikap berbeda dengan konsep perilaku, perilaku merupakan cara
bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang. Menurut Walgito dalam
(Pakpahan 2009), perilaku yang dilakukan oleh seseorang disebut sebagai
perilaku yang tampak (overt behaviour). Unsur-unsur perilaku yang tampak
berupa tingkah laku (action). Perilaku juga dapat dikaitkan dengan reaksi yang
terjadi karena adanya stimulus atau interaksi antara individu dengan
lingkungannya dan benar-benar dilakukan seseorang dalam bentuk tindakan.
Jika disimpulkan, maka sikap adalah kesiapan untuk berespon secara
konsisten terhadap sesuatu obyek yang mempunyai aspek koqnisi, afeksi, dan
kecenderungan untuk berkehendak, yang dapat bersifat positif dan negatif
dengan intensitas yang berbeda, (Tawardi 1999). Sedangkan Trandis (1971)
membagi sikap dalam tiga komponen yaitu: (1) komponen pengetahuan; (2)
komponen keterampilan; dan (3) komponen sikap mental. Morris (1976)
menyatakan bahwa perasaan dalam sikap terdiri tiga komponen utama, yaitu: (1)
komponen kepercayaan (belief) terhadap suatu obyek tertentu; (2) komponen
perasaan (feeling); dan (3) komponen kecenderungan untuk bertindak terhadap
suatu obyek.
Dengan demikian, menurut Tawardi (1999), yang dimaksud dengan sikap
kewirausahaan adalah kesiapan seseorang untuk berespon secara konsisten
terhadap sembilan aspek karakteristik atau ciri-ciri perilaku yang dimiliki oleh
wirausaha. Penilaian tingkat sikap kewirausahaan yang dilakukan terhadap
anggota kelompok belajar usaha adalah dengan cara mengetahui jumlah skor
dari sembilan komponen indikatornya yang meliputi pemanfaatan peluang,
berorientasi hasil, keluwesan bergaul, bekerja keras, percaya diri, pengambilan
risiko, pengendalian kemampuan diri, keinovatifan, dan kemandirian, yang dapat
diukur arah dan intensitasnya dengan jalan memperhatikan perilaku
yang
mencerminkan penilaian koqnisi, afeksi, dan kecenderungan bertindak. Hasil
18
penelitian menunjukkan, secara total perilaku sikap kewirausahaan adalah
sebagian (30,90 persen) anggota memiliki sikap kewirausahaan tergolong
kategori rendah, sebanyak 49,10 persen tergolong kategori sedang, dan sisanya
(20 persen) tergolong kategori tinggi. Secara keseluruhan responden bersikap
terhadap kesembilan indikator berada taraf sedang, namun pada sikap aspek
pemanfaatan peluang bertaraf rendah.
Berdasarkan penelitian
(Fauzi 2009), sikap kewirausahaan ditandai
dengan percaya diri, berorientasi pada tugas dan hasil, berani menanggung
risiko, kepemimpinan, keorisinilan, dan berorientasi pada masa depan.
Berdasarkan hasil pengolahan data dari 20 responden dan pembahasannya,
maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Sikap kewirausahaan yang dimiliki para pengusaha Tulang Sepatu yang
bernilai 82,3 persen berada dalam interval 68 persen - <84 persen termasuk
dalam kategori baik, hal ini dilihat dari indikator-indikator pembentuk
sikap kewirausahaan seperti percaya diri, berorientasi pada tugas dan hasil,
pengambilan resiko, kepemimpinan, keorisinilan, dan berorientasi kemasa
depan yang telah dimiliki oleh pengusaha Tulang Sepatu di Kecamatan
Bandung Kulon.
2. Keberhasilan Usaha Tulang Sepatu di Kecamatan Bandung Kulon dengan
indikator yang meliputi aspek kemampuan dan kemauan, tekad yang kuat
dan kerja keras, kesempatan dan peluang, berada pada tingkat yang sangat
baik dimana tanggapan respondennya bernilai 84 persen berada diantara 84
persen - <100 persen. Hal ini mengidentifikasikan bahwa para pengusaha
Tulang Sepatu sudah merasa berhasil dalam berusaha seiring dengan
berkembangnya usaha yang dijalankan yang ditandai oleh meningkatnya
daerah pemasaran.
3. Hasil analisis data tentang hubungan sikap kewirausahaan dengan
keberhasilan
usaha
Tulang
Sepatu,
menunjukkan
bahwa
sikap
kewirausahaan mempunyai hubungan dengan keberhasilan usaha yang
ditandai oleh adanya korelasi yang kuat yakni r = 0,775. Selanjutnya hasil
uji hipotesis menghasilkan t hitung > t tabel = 3,363 > 2,101, yang artinya ada
hubungan antara sikap kewirausahaan dengan keberhasilan usaha.
19
Sedangkan berdasarkan penelitian Anggraeni, menemukan hasil bahwa
ada perbedaan yang signifikan dalam hal sikap kewirausahaan di antara
kelompok pengusaha industri kecil berhasil, statis dan tidak berhasil, dan yang
membedakan secara maksimal antara kelompok pengusaha industri kecil
berhasil, statis dan tidak berhasil adalah aspek swa kendali dan prestatif; ada
perbedaan yang signifikan dalam hal sikap kewirausahaan di antara pengusaha
industri kecil pria dan wanita, ada hubungan yang signifikan antara sikap
kewirausahaan, usia, lama berusaha, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan latar
belakang keluarga secara bersama-sama dengan keberhasilan pengusaha industri
kecil dan yang memberikan sumbangan yang terbesar adalah variabel sikap
kewirausahaan dan variabel tingkat
Terkait dengan sikap yang modern, menurut Inkeles dalam (Myron 1977),
tanda-tanda yang khas dari orang yang modern ada dua macam: yang satu
merupakan ciri dalam dan yang lainnya merupakan ciri luar; yang satu mengenai
lingkungan alam, yang lainnya mengenai sikap, nilai-nilai dan perasaanperasaan. Ia menyebutkan bahwa manusia modern memiliki sifat:
1. Bersedia untuk menerima pengalaman-pengalaman yang baru dan terbuka
bagi pembaharuan dan perubahan (inovatif)
2. Demokratis mengenai dua opini, bahwa ia sadar akan keragaman sikap dan
opini disekitarnya, dan tidak menutup dirinya sendiri
3. Tepat pada waktunya, teratur dalam mengorganisir urusannya
4. Menginginkan dan terlibat dalam perencanaan serta organisasi dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar
5. Yakin bahwa orang dapat belajar
6. Yakin bahwa keadaan dapat diperhitungkan dan dikendalikan
7. Menghargai orang lain, sadar akan harga diri orang lain
8. Berpikir maju terhadap teknologi, percaya terhadap perkembangan ilmu
dan teknologi
9. Adil, orang modern percaya akan keadilan dalam pembagian
Seseorang modern apabila ia mempunyai kesanggupan untuk membentuk
dan mempunyai pendapat mengenai sejumlah persoalan-persoalan yang tidak
saja timbul di sekitarnya, tetapi juga di luarnya. Tingkat kemodernan menurut
20
Inkeles, ditentukan pula oleh faktor-faktor yang efektif yakni pendidikannya;
pemerintahan dan birokrasinya; komunikasi massa; dan pabrik atau usaha-usaha
produktif dan administrstif lainnya.
Berdasarkan jenis kepribadian, Hagen dalam (Pakpahan 2010) ciri-ciri
kepribadian inovatif antara lain: kebutuhan terhadap otonomi dan keteraturan,
kebutuhan untuk memelihara dan memikirkan kesejahteraan dirinya sendiri.
Kualitas kepribadian tersebut tidak hanya sesuai dengan kepribadian inovatif
untuk pembangunan ekonomi, tetapi lebih mencerminkan kenyataan yang
sebenarnya daripada kepribadian otoriter. Kepribadian otoriter membayangkan
lingkungan sosialnya kurang teratur dibandingkan dengan dirinya sendiri. Ia tak
yakin bahwa ia dinilai oleh lingkungan sosialnya. Ia membayangkan kekuasaan
lebih sebagai fungsi dari posisi yang diduduki dibandingkan sebagai fungsi
prestasi yang dicapai. Dalam kepribadian otoriter, pandangan kognitif mengenai
duniawi dan membangkitkan kemarahan harus ditahan. Karena itu terdapat
kebutuhan sangat besar untuk menundukkan, kurangnya kebutuhan untuk
memelihara dan kurangnya kebutuhan untuk berprestasi, tidak dapat
memberikan bobot yang sama antara berbuat untuk kesejahteraan orang lain dan
berbuat untuk kesejahteraan diri sendiri.
Kepribadian inovatif menurut definisi ini termasuk ke dalam perilaku
kreatif. Kepribadian inovatif memiliki kualitas yang dapat membantu perilaku
kreatif. Menurut Hagen salah satu alasan mengapa individu tradisional tidak
memiliki sifat inovatif adalah karena ia membayangkan dunia sebagai tempat
yang kacau daripada sebagai tempat yang teratur dan dapat dianalisis. Karena itu
dapat diperkirakan bahwa setiap masyarakat yang mengalami kemacetan
ekonomi, diliputi kepribadian otoriter.
Menurut
penelitian
Pakpahan
(2010),
definisi
modernitas
sikap
kewirausahaan adalah pandangan individu untuk merespon secara konsisten
terhadap ciri-ciri yang dimiliki seorang wirausahawan dari keenam pernyataan
proyeksi masing-masing atribut sikap dengan empat alternatif jawaban. Adapun
atribut modernitas sikap kewirausahaan tersebut meliputi: (1) sikap mental
mengutamakan prioritas; (2) sikap mental mengambil risiko; (3) sikap mental
inovatif, (4) sikap mental yang mengunggulkan kerja keras; (5) sikap mental
21
menghargai waktu; (6) sikap memiliki motivasi berprestasi; (7) sikap mental
percaya diri; (8) sikap mental tanggung jawab individual.
Dari kedelapan atribut tersebut, diujikan terhadap responden yang
merupakan pengurus koperasi karyawan di Kecamatan Cibinong. Secara umum,
dari semua responden yang diteliti memiliki pandangan yang modern terhadap
kedelapan tema sikap. Melalui Uji Koefisien Rank Spearman diperoleh hasil
bahwa variabel modernitas sikap kewirausahaan tidak memiliki korelasi dengan
keberhasilan koperasi. Hal ini dilihat dari ρ hitung
dibandingkan
yang lebih kecil
ρ tabel, yang berarti bahwa modernitas sikap kewirausahaan
pengurus tidak berhubungan dengan keberhasilan koperasi karyawan.
2.4. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Menurut Partomo dan Soedjono dalam (Widiameiga 2010) definisi
UMKM pada umumnya mencakup dua aspek, yaitu aspek penyerapan tenaga
kerja dan aspek pengelompokkan perusahaan ditinjau dari jumlah tenaga kerja
yang diserap dalam gugusan/kelompok perusahaan tersebut (range of the
member employees).
Berdasarkan UU Nomor 9 dan Inpres Nomor 10, beberapa instansi
menetapkan kriteria Usaha Kecil dan Usaha Menengah
menurut beberapa
pendekatan. Departemen Perindustrian, Lembaga Bank, dan Kamar Dagang
Indonesia (KADIN) menetapkan kriteria Usaha Kecil, dan Usaha Menengah
berdasarkan pendekatan (kriteria) modal. Berdasarkan jumlah modal, Usaha
Mikro adalah usaha dengan modal kurang dari 200 juta rupiah. Usaha Kecil
adalah usaha dengan modal sebesar 200 juta hingga satu milyar rupiah.
Sedangkan Usaha Menengah adalah usaha dengan modal sebesar satu hingga
lima milyar rupiah. Sementara itu, Departemen Tenaga Kerja dan Badan Pusat
Statistik (BPS) menetapkan kriteria Usaha Kecil, dan Usaha Menengah
berdasarkan pendekatan tenaga kerja. Sesuai dengan jumlah penggunaan tenaga
kerja, Usaha Mikro adalah usaha dengan penggunaan tenagakerja 1-4 orang.
Usaha Kecil adalah usaha dengan penggunaan tenagakerja 5-19 orang,
sedangkan Usaha Menengah adalah usaha dengan penggunaan tenaga kerja 2099 orang, (Heatubin 2008).
22
Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah adalah :
1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang, perorangan dan/atau
badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang, perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai
atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha
Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang, perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari
Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan sebagaimana diatur Undang-Undang ini.
Adapun kriteria dari UMKM dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Tahun 2008, Pasal 6 adalah sebagai berikut:
1) Usaha Mikro memiliki kekayaan bersih (asset) kurang dari Rp 50.000.000
(lima puluh juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, omzet tahunan paling
banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
2) Usaha Kecil memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 (lima
ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,
memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 (tiga ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima
ratus juta rupiah).
3) Usaha Menengah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000
(lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000
(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,
23
memiliki hasil penjualan tahunan Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh
milyar rupiah).
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2004) mengategorikan usaha mikro
berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Industri kerajinan rumah
tangga adalah perusahaan atau usaha industri pengolahan yang mempunyai
pekerja 1-4 orang, sedangkan industri kecil mempekerjakan 5 sampai 19 orang,
(Kurniawan 2008). Menurut Hastuti dalam (Kurniawan 2008) usaha mikro
adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai
termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala hanya melibatkan 1
orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja serta kepemilikan asset dan
pendapatannya terbatas.
Kemudian dipaparkan oleh Sinaga dalam (Kurniawan 2008) bahwa
Industri Kecil dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan aspek
pengolahan dan teknologi yang digunakan, yaitu: 1) Kelompok industri kecil
tradisional yang memiliki ciri-ciri penggunaan teknologi yang sederhana
berlandaskan dukungan unit pelayanan teknis dan mempunyai keterkaitan
dengan sektor ekonomi lain secara regional. Pengelolaannya bersifat sektoral
dan masih dalam batas pembinaan administratif pemerintah; 2) Kelompok
industri kerajinan menggunakan teknologi tepat guna tingkat madya dan
sederhana, merupakan perpaduan industri kecil yang menerapkan proses modern
dengan keterampilan nasional. Ciri yang amat spesifik adalah mengembangkan
misi pelestarian budaya bangsa erat kaitannya dengan seni budaya bangsa; 3)
Kelompok industri kecil modern menggunakan teknologi madya hingga modern
dengan skala produksi terbatas, didasarkan atas dukungan penelitian dan
pengembangan di bidang teknik. Penggunaannya lebih bersifat lintas sektoral
dan menggunakan mesin industri produksi khusus.
2.5. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Sektor Pengolahan
Secara luas, agribisnis berarti ”bisnis berbasis sumber daya alam”. Obyek
agribisnis dapat berupa tumbuhan, hewan, ataupun organisme lainnya. Fungsi
agribisnis terdiri dari kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan secara ekonomi,
24
yaitu sektor pengadaan dan penyaluran sarana produksi (input), produksi primer
(on farm), pengolahan (agroindustri), dan pengemasan.
Adapun industri pengolahan berada pada subsistem agribisnis hilir
(agroindustri) yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian
primer menjadi produk olahan baik produk antara maupun produk akhir.
Menurut Kementrian Koperasi dan BPS (2005) dalam (Heatubin 2008), sektor
industri pengolahan terdiri dari industri migas dan industri non-migas. Industri
migas meliputi pengilangan minyak bumi dan gas alam cair. Sedangkan industri
non-migas terdiri dari 9 jenis industri (subsektor) masing-masing: (1) industri
makanan; (2) industri tekstil; (3) industri barang kayu dan hasil hutan lainnya;
(4) industri kertas dan barang cetakan; (5) industri pupuk, kimia, dan barang dari
karet; (6) industri semen dan barang galian bukan logam; (7) industri logam
dasar besi dan baja; (8) industri alat angkutan, mesin dan peralatannya; (9) dan
industri barang lainnya. Kegiatan-kegiatan dalam sektor ini mencakup kegiatan
mengubah bentuk bahan organik dan non organik secara mekanis dan kimawi
menjadi produk yang bermutu dan bernilai tinggi sehingga mendekati pada
pemenuhan kebutuhan konsumen.
Berdasarkan Gordon & Craig dalam (Kurniawan 2008), Usaha Mikro dan
Kecil sektor non-pertanian yang cocok dikembangkan di daerah pedesaan adalah
industri pengolahan. UMK non pertanian di pedesaan biasanya bersifat informal,
yang artinya tidak memiliki badan hukum tetap, dan dikuasai oleh masingmasing individu dan rumah tangga. Bagi masyarakat pedesaan, industri
pengolahan dalam skala mikro dan kecil merupakan suatu peluang bagi
tersedianya lapangan kerja.
2.6. Permasalahan UMKM
Menurut Wijono (2005), kendala yang dihadapi oleh UMK dapat
digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu pasar, bantuan penyuluhan, dan akses
terhadap sumber pembiayaan. Di lain sebab, Suhariyanto (2007) menyebutkan
bahwa UMK di Indonesia masih didominasi oleh sektor pertanian yang memiliki
produktivitas yang sangat rendah. Perubahan arah pembangunan dari sektor
pertanian ke non pertanian masih menghadapi banyak kendala dalam hal
25
infrastruktur dan fasilitas ekonomi yang menjadi penyebab lambatnya
pertumbuhan UMK.
Beberapa permasalahan UMK menurut Arif dan Wibowo (2004) dalam
Satya (2010) antara lain adalah masalah pemasaran produk, teknologi,
pengelolaan keuangan, kualitas sumberdaya manusia dan permodalan.
Selanjutnya berdasarkan Sumardjo (2001) dalam Satya (2010), permasalahan
yang dihadapi oleh UMK disebabkan oleh:
(1) Posisi dalam persaingan rendah karena lemahnya informasi tentang
kondisi lingkungan yang menyangkut pemasok, peraturan atau kebijakan
pemerintah, kecenderungan perubahan pasar atau teknologi baru
sehingga memiliki daya saing rendah.
(2) Usaha kecil sering tidak memiliki catatan mengenai usahanya secara
teratur dan sistematis karena sering tercampur antara modal usaha dengan
uang untuk rumah tangga, sehingga kesulitan untuk memperoleh dana
dari bank.
(3) Kekurangmampuan pengusaha kecil untuk mengakses ke bank karena
tidak adanya agunan untuk memenuhi tuntunan audit akuntansi dari
bank.
(4) Keluar masuknya karyawan usaha kecil dengan intensitas yang tinggi
yang disebabkan oleh rendahnya upah, ketidakjelasan masa depan, tidak
adanya jaminan sosial dan kepastian usaha, sehingga sering ditinggalkan
karyawan yang terampil.
Menurut Iwantono (2006) dalam Satya (2010) permasalahan yang
dihadapi oleh UMK di Indonesia meliputi:
(1) Akses pasar, umumnya UMK tidak memiliki pengetahuan yang memadai
mengenai pasar. Mereka tidak memahami dan tidak memiliki informasi
tentang pasar potensial atas jasa barang dan jasa yang dihasilkan. Selain
itu, pelaku UMK juga tidak memahami sifat dan perilaku konsumen
pembeli hasil produksinya dan juga sering gagal bertransaksi dalam
kegiatan ekspor karena tidak terbiasa dengan praktek-praktek bisnis
internasional.
26
(2) Kelemahan dalam pendanaan dan akses pada sumber pembiayaan. Hal
ini dikarenakan oleh adanya keterbatasan UMK dalam penyediaan
dukungan keuangan yang bersumber dari internal usaha. Ketersediaan
dana melalui berbagai kredit masih terbatas, prosedur perolehan yang
rumit dan persyaratan yang cukup membebani seperti persyaratan
administratif dan penjaminan.
(3)
Kelemahan dalam organisasi dan manajemen. Dalam hal ini, sumberdaya
manusia yang dimiliki UMK sebagian besar memiliki latar belakang
pendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan manajemen dan bisnis
yang memadai. Hal tersebut mengakibatkan para pelaku UMK akan
mengalami kesulitan untuk berinteraksi dan bersaing dengan pelaku
bisnis lainnya yang memiliki keterampilan manajemen modern.
(4)
Kelemahan dalam kapasitas dan penguasaan teknologi. Para pelaku
UMK mengalami kesulitan dalam menghasilkan produk yang selalu
dapat mengikuti perubahan permintaan pasar, sehingga barang-barang
yang dihasilkan umumnya konvensional, kurang mengikuti perubahan
model, desain baru, pengembangan produk dan tidak menyadari
pentingnya mempertahankan hak paten.
(5)
Kelemahan dalam jaringan usaha. Jaringan bisnis merupakan unsur
dalam penetrasi pasar dan keunggulan bersaing. Kualitas SDM yang
masih rendah dalam penguasaan teknologi informasi, mengakibatkan
UMK pada umumnya belum mampu membangun jaringan bisnis. Caracara pemasaran maupun pengadaan bahan baku masih terbatas pada caracara konvensional sehingga tidak mampu memanfaatkan potensi pasar
melalui pengembangan jaringan usaha.
2.7. Keberhasilan Usaha
Menurut Riyanti (2003) menyatakan bahwa unsur terpenting di balik
keberhasilan usaha adalah keterampilan wirausaha untuk mengenali pasar
khusus dan mengembangkan suatu usaha di pasar tersebut. Begitu pula
disebutkan bahwa keberhasilan usaha diukur dari tingkat kemajuan yang dicapai
perusahaan dalam hal akumumulasi modal, jumlah produksi, jumlah pelanggan,
27
perbaikan sarana fisik, perluasan usaha, dan kepuasan karyawan. Keberhasilan
seorang wirausaha tidak semata-semata diukur dalam bentuk uang, tetapi juga
melihat kemajuan dalam proses bisnis internal perusahaan dan kepuasan kerja
karyawan. Ukuran kesuksesan seorang wirausaha antara lain adalah :
1) Kelangsungan usaha.
2) Menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya.
3) Meningkatkan kesejahteraan keluarga.
4) Meningkatkan kualitas hidup bagi para pemakai produk.
Syahrial (1998) dalam Satya (2010) mengemukakan bahwa sukses adalah
kemampuan mengenal potensi diri dan mengoptimalkan potensi tersebut. Pribadi
yang sukses adalah pribadi yang mendayagunakan potensinya sehingga
bermanfaat bagi banyak orang. Dimensi kesuksesan antara lain:
1) Mengenal potensi diri dan mengoptimalkannya.
2) Tidak diukur secara materi, kekuasaan, atau status sosial.
3) Diukur dari nilai manfaatnya bagi orang lain.
4) Tetap dikenang secara luas meski sudah meninggal.
Kesuksesan usaha juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
kondusif tersebut antara lain:
1) Keluarga yang harmonis dan demokratis.
2) Pendidikan formal dan non formal.
3) Pergaulan dengan teman-teman yang sukses.
4) Lingkungan masyarakat yang kondusif.
Selain faktor kondusif, terdapat pula faktor-faktor yang menjadi
penghambat meraih sukses, yaitu:
1) Adanya sikap tidak percaya diri.
2) Mental yang cepat puas, santai, dan feodal.
3) Sistem pendidikan nasional yang kurang memperhatikan sikap kritis,
keberanian, dan kreativitas siswa.
4) Sistem politik yang cenderung represif.
Menurut penelitian Dirlanudin (2010), keberhasilan usaha bukanlah
sesuatu yang dapat diraih dalam waktu yang sesaat namun memerlukan upaya
keras, ketekunan dan kecekatan dalam mengelola usaha tersebut dengan terus
28
membaca lingkungan eksternal sejalan dengan perubahan dan tuntutan para
konsumen. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan para pengusaha kecil industri agro antara lain adalah (1) jumlah
pelanggan; (2) kecenderungan loyalitas; (3) perluasan pangsa pasar; (4)
kemampuan bersaing; (5) peningkatan keuntungan.
Dari hasil pengumpulan data, selanjutnya dianalisis seluruh indikator
peubah keberhasilan. Tingkat keberhasilan pengusaha kecil industri agro
menunjukkan tingkat pencapaian mereka dalam mengelola usahanya. Di
samping itu, keberhasilan juga menunjukkan eksistensi mereka.dalam mengatasi
kendala dan permasalahan yang cenderung kompleks sejalan dengan perubahan
faktor eksternal.
Berdasarkan penelitian Dirlanudin (2010) tersebut, dapat diketahui bahwa
data mengelompok pada kategori sedang (87,3 persen) dan baik (9,2 persen),
artinya para pengusaha kecil industri agro tingkat keberhasilannya cenderung
pada kategori sedang, dengan kata lain keberhasilan relatif tidak besar. Hal ini
dapat menyebabkan upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan
keluarganya terhambat. Masih perlu adanya peningkatan terhadap ke lima
indikator yang disebutkan seperti jumlah pelanggan, loyalitas pelanggan,
perluasan pangsa pasar, kemampuan bersaing, dan peningkatan keuntungan.
Dengan demikian, industri kecil dapat dikategorikan berhasil.
Kewirausahaan pada hakikatnya adalah sifat, ciri, dan watak seseorang
yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia
nyata secara kreatif. Kemampuan kewirausahaan mendorong minat seseorang
untuk mendirikan dan mengelola usaha secara profesional terutama menuju
suatu kunci keberhasilan usaha.
Beragam ciri kewirausahaan mempengaruhi keberhasilan usaha maupun
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Bahkan menurut beberapa ahli sifat
kewirausahaan mempengaruhi pertumbuhan suatu negara. Dapat dikatakan sifat
kewirausahaan yang modern mampu mempercepat pertumbuhan tersebut. Sifatsifat yang telah diuraikan tersebut diantaranya: motivasi berprestasi,
pengambilan risiko, inovatif, kerja keras, bertanggung jawab terhadap segala
aktivitas yang dijalankannya, serta tepat pada waktunya, dan sebagainya.
29
Kepribadian kewirausahaan yang demikian dapat memperngaruhi individu dan
aktivitasnya.
Berdasarkan penelitian terdahulu, pada umumnya sikap kewirausahaan
merupakan hal penting yang dapat mempengaruhi keberhasilan usaha. Oleh
karena itu, penelitian ini pun ingin mengetahui bagaimana modernitas sikap
kewirausahaan serta hubungannya dengan keberhasilan unit usaha. Hal tersebut
dilakukan untuk mengetahui tema sikap kewirausahaan yang dapat berpengaruh
terhadap keberhasilan usaha agar dapat dijadikan sebagai acuan dalam
menjalankan aktivitas bisnis sehingga unit usaha dapat lebih berkembang.
30
Download