keuntungan dan kerugian penggunaan vaksin

advertisement
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PENGGUNAAN VAKSIN
AVIAN INFLUENZA PADA UNGGAS
DELIN NOFIFTA
B04110128
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keuntungan dan
Kerugian Penggunaan Vaksin Avian Influenza pada Unggas adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Delin Nofifta
NIM B04110128
ABSTRAK
DELIN NOFIFTA. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Vaksin Avian
Influenza pada Unggas. Dibimbing oleh I Wayan Teguh Wibawan .
Studi ini bertujuan mengidentifikasi keuntungan dan kerugian penggunaan
vaksin AI pada unggas. Penyusunan karya tulis ini dilaksanakan berdasarkan hasil
kajian pustaka terhadap berbagai hasil penelitian di jurnal dan buku teks.
Penelusuran pustaka difokuskan pada pencarian hasil-hasil penelitian dan tulisan
tentang vaksin AI pada unggas. Hasil kajian pustaka yang didapatkan
menunjukkan hasil terdapat keuntungan dan kerugian penggunaan vaksin AI pada
unggas. Keuntungaannya adalah menurunkan morbiditas, mortalitas, shedding
virus, cemaran virus ke lingkungan, dan transmisi antar unggas. Kerugiannya
adalah timbulnya infeksi subklinis, munculnya unggas yang dapat menjadi
reservoir, dan meningkatnya kasus mutasi virus AI menjadi strain baru. Secara
keseluruhan, penggunaan vaksin AI memiliki keuntungan yang lebih banyak.
Kata kunci: Avian influenza, unggas, vaksin, vaksinasi, virus avian influenza.
ABSTRACT
DELIN NOFIFTA. Advantages and Disadvantages of Using Avian Influenza
Vaccine in Poultry. Supervised by I WAYAN TEGUH WIBAWAN.
This study was aimed to identify the advantages and disadvantages of
avian influenza (AI) vaccination in poultry. This study was done according to
literature result on journals and textbooks. The results of this study showed some
advantages and disadvantages of avian influenza vaccination in poultry. The
advantages of AI vaccination were the decreasing of morbidity, mortality, virus
shedding, virus contamination, and virus transmission. The disadvantages were
the appearance of sub-clinical manifestation, reservoir animal, and virus mutation.
Sub-clinical manifestation appeared as a result of low antibody titer of the poultry
and mismatch of vaccine antigen with AI virus from the environment. That
condition cause the infected poultry become a virus reservoir whom could shed
the virus into the environment. Genetical material of AI virus in reservoir animal
could split up and cause the mutation of the virus. Overall, the advantages of AI
vaccination in poultry are more than the disadvantages.
Keywords: Avian influenza, avian influenza virus, poultry, vaccine, vaccination.
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PENGGUNAAN VAKSIN
AVIAN INFLUENZA PADA UNGGAS
DELIN NOFIFTA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema dari
kajian pustaka ini adalah mengenai vaksin pada unggas yang diberi judul
“Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Vaksin Avian Influenza pada Unggas”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Drh I Wayan
Teguh Wibawan selaku pembimbing skripsi, Drh Setyo Widodo selaku
pembimbing akademik, dan Pangda Sopha Sushadi yang selalu memberikan
semangat, bantuan, dan inspirasi dalam melaksanakan skripsi ini sampai selesai,
juga kepada sahabat-sahabat tercinta Azelia Bonita, Nia Sari, Fatihatun Atiroh,
dan sahabat dari TPB (Uus, Ika, Anggi, Mita). Ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada orang tua tercinta, abang, kakak, sahabat-sahabat, dan
teman-teman angkatan yang telah memberikan doa terbaik untuk penulis. Semoga
karya ilmiah yang ditulis oleh penulis dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan
pembaca.
Bogor, September 2015
Delin Nofifta
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Kajian
Manfaat Kajian
TINJAUAN PUSTAKA
Vaksin
Avian Influenza
Induk Semang (Host)
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Metode Kajian
GAMBARAN UMUM
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
v
v
1
1
1
1
2
2
2
3
5
6
6
6
7
8
19
19
19
19
22
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Salah satu cara pemberian vaksin
Anatomi virus avian influenza
Ayam yang terkena avian influenza
Keberadaan virus AI H5N1 pada sel mukosa usus halus
3
5
6
17
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Program vaksinasi
Hasil uji HI serum
Rataan titer antibodi serum
Rataan titer antibodi anti AI
Rataan titer antibodi ayam
8
8
12
13
14
6
7
8
9
10
Kemampuan netralisasi Ig-Y
Pengamatan klinis tikus
Respons antibodi dan tingkat proteksinya
Hasil pemeriksaan ekskresi virus
Keberadaan material genetik virus H5N1
14
15
16
17
18
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Flu burung atau yang dikenal dengan avian influenza pertama kali
diidentifikasi di Italia lebih dari 100 tahun lalu. Avian influenza dikenal juga
sebagai fowl plague, fowl pest, fowl disease, fowl grippe, bird grippe, bird plague,
atau Brunswick bird plague. Penyakit ini menjadi perhatian dunia kesehatan
karena dapat menyebabkan kematian pada manusia (Suerez dan Schultz 2000).
Penyakit ini bersifat mematikan pada unggas dan juga zoonosis. Kasus avian
influenza (AI) sejak tahun 2003 sampai saat ini masih ditemukan di Indonesia,
dengan tingkat kematian di atas 90%. Seluruh unggas diketahui rentan terhadap
infeksi AI, walaupun beberapa spesies lebih tahan terhadap virus ini dibandingkan
yang lain (Aditama 2004).
Efektivitas vaksin AI akan lebih baik apabila strain virus dalam vaksin
yang digunakan homolog dengan strain virus yang ada di lapangan (Sudarisman
2006). Pengamatan di laboratorium dan lapangan menunjukkan bahwa vaksin AI
yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu dapat melindungi
timbulnya gejala klinis dan kematian, mengurangi shedding virus di lapangan,
memberikan waktu proteksi paling sedikit 20 minggu sesudah vaksinasi tunggal
atau ulangan, melindungi terhadap tantangan dosis rendah sampai tinggi dari virus
lapangan, melindungi perubahan virus lapangan, dan meningkatnya daya tahan
terhadap infeksi virus AI (Swayne 2008).
Vaksinasi AI merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah
sebagai langkah pengendalian AI di Indonesia. Vaksinasi diharapkan mampu
menstimulasi kekebalan (antibodi) dalam tubuh ayam, sehingga aman dari
serangan AI dan dapat mengurangi pencemaran virus AI ke lingkungan.
Peningkatan kasus AI dan pentingnya dampak penyakit ini terhadap peternakan
maupun kehidupan masyarakat, mendorong terlaksananya program vaksinasi yang
lebih intensif (Sudarisman 2006). Program vaksinasi AI perlu dikaji dalam hal
keuntungan dan kerugiannya terhadap unggas maupun manusia.
Perumusan Masalah
Tingginya kasus AI di Indonesia mendorong berjalannya program
vaksinasi AI yang intensif pada unggas di Indonesia. Keuntungan dan kerugian
vaksin AI yang digunakan di lapangan belum banyak dikaji, sehingga dirasa perlu
untuk dilakukan kajian terhadap hal tersebut.
Tujuan Kajian
Mengidentifikasi keuntungan dan kerugian penggunaan vaksin AI pada
unggas.
2
Manfaat Kajian
Kajian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada para pelaku
vaksinasi, termasuk peternak dan masyarakat pada umumnya, melalui gambaran
keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari vaksinasi AI pada unggas, sehingga
dapat menjadi pertimbangan dalam penggunaannya di masa depan.
TINJAUAN PUSTAKA
Vaksin
Vaksinasi adalah pemberian antigen untuk menstimulasi sistem kekebalan
yang menghasilkan antibodi terhadap suatu penyakit. Terdapat berbagai macam
cara pemberian vaksin yang digunakan secara komersial, yaitu in ovo, semprot
(spray), suntikan subkutan, tetes mata dan tetes hidung, juga melalui air minum.
Vaksin untuk unggas ada dua bentuk, yaitu vaksin hidup (aktif) dan vaksin mati
(inaktif). Vaksin aktif terdiri dari organisme-organisme hidup yang telah
dilemahkan sehingga organisme tersebut akan berkembang biak dalam tubuh
tanpa menyebabkan penyakit. Bentuk vaksin ini biasanya berupa sediaan kering
beku. Vaksin aktif disimpan pada suhu 2–8⁰C dan harus segera digunakan dalam
jangka waktu dua jam setelah dilarutkan. Masa kedaluwarsa yang tertera dalam
kemasan hanya berlaku jika vaksin disimpan pada suhu yang dianjurkan tersebut.
Timbulnya sistem kebal (antibodi) lebih cepat menggunakan vaksin hidup
daripada vaksin mati. Kemampuan vaksin hidup untuk menumbuhkan daya tahan
tubuh lebih tinggi dibandingkan vaksin mati karena virus tersebut akan tumbuh
dan berkembang biak dalam tubuh unggas (Suprijatna et al. 2005).
Vaksin inaktif terdiri atas organisme/virus mati yang biasanya
disuspensikan dalam emulsi lemak. Emulsi tersebut membantu meningkatkan
waktu yang lebih lama pengambilan virus dari tempat okulasi. Perkembangan
antibodi sempurna kira-kira satu bulan setelah injeksi vaksin mati (Blakely dan
Bade 1994). Vaksin inaktif harus disimpan pada suhu 8⁰C dan tidak boleh
disimpan dalam freezer karena vaksin akan rusak (Retno et al. 2000). Vaksin ini
dapat bersifat tunggal (satu penyakit), tetapi dapat juga merupakan kombinasi dari
beberapa penyakit yang diberikan melalui suntikan secara intramuskular atau
subkutan. Keuntungan penggunaan vaksin inaktif adalah penyimpanannya yang
lebih mudah dibandingkan vaksin aktif. Vaksin inaktif tidak dipengaruhi oleh
antibodi asal induk sehingga dapat digunakan untuk DOC. Kekuatan vaksin
inaktif untuk merangsang produksi antibodi unggas tergantung pada unit
antigeniknya (sel-sel virus yang terkandung di dalam dosis vaksin) (Suprijatna et
al. 2005).
Menurut Retno et al. (2000), pembuatan vaksin dapat dilakukan dengan
cara melemahkan organisme (atenuasi). Cara yang sederhana dari atenuasi
termasuk pemanasan organisme sampai tepat di bawah titik kematian panasnya
atau memaparkan organisme pada bahan kimia penginaktif ke batas konsentrasi
subletal seperti penggunaan formalin atau formaldehida.
3
Hal yang perlu diperhatikan pada persiapan vaksinasi yaitu kondisi ayam
yang akan divaksin sehat, jika terindikasi ayam sakit maka jadwal vaksinasi harus
ditunda dan segera ditangani gejala yang timbul, setelah thawing vaksin tidak
boleh dimasukkan ke dalam cooler yang suhunya 2–8⁰C karena dapat
menurunkan potensi vaksin. Saat vaksinasi, hal yang perlu diperhatikan
diantaranya pada vaksinasi air minum, ayam dipuasakan air minum selama 1–2
jam (tergantung kondisi cuaca) sebelum vaksinasi, tempat minum tidak boleh
terkena sinar matahari langsung dan dijauhkan dari brooder. Jika perlu vaksin
diberikan dua tahap untuk menghindari ayam yang tidak kebagian vaksin, tidak
tergesa-gesa saat melakukan vaksinasi dan dipastikan semua ayam telah tervaksin
dengan dosis yang sama. Selama melakukan vaksinasi menggunakan vaksin aktif,
tidak boleh melakukan desinfeksi selama 24–48 jam sebelum dan sesudah
vaksinasi (Rangga dan Charles 2000).
Gambar 1 Salah satu cara pemberian vaksin (Sudarisman 2006)
Avian Influenza
Avian Influenza (AI) disebabkan oleh virus AI dari famili
Orthomyxoviridae. Virus AI terdiri atas 3 tipe antigenik berbeda, yaitu A, B, dan
C, juga mempunyai sub-tipe yang dibagi berdasarkan kandungan protein yang
terdapat pada permukaannya yaitu Hemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA).
Masing-masing HA dan NA terbagi lagi menjadi 16 sub-tipe H dan 9 sub-tipe N.
Kandungan protein tersebut yang menentukan virus AI bersifat high patogenik
atau low patogenik. Sifat virus AI adalah dapat menghemaglutinasi sel darah
merah unggas, dapat bertahan hidup pada feses ayam dalam waktu yang lama, di
air sampai 4 hari pada suhu 22⁰C dan lebih dari 30 hari pada suhu 0⁰C. Virus AI
bersifat labil sehingga mudah berubah sifat dari tidak ganas menjadi ganas atau
sebaliknya (Murphy et al. 2006).
Virus avian influenza dibedakan menjadi dua bentuk berdasarkan tingkat
keparahan penyakit, yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan High
Pathogenic Avian Influenza (HPAI) (Swayne 2008). Itik merupakan salah satu
unggas air yang dianggap sebagai pembawa virus HPAI subtipe H5N pada wabah
di Tiongkok tahun 2000–2004. Penyakit yang timbul karena HPAI lebih
mematikan dibanding LPAI. Gejala pada ayam dan kalkun ditandai oleh serangan
mendadak hingga tingkat kematian mendekati 100% dalam jangka waktu dua hari.
Banyak unggas yang mati tanpa timbul gejala awal sehingga sering terjadi salah
4
diagnosis seperti keracunan (Aditama 2004). Penurunan konsumsi air dan pakan
secara nyata dapat menjadi tanda adanya penyakit pada kawanan unggas di
peternakan besar. Unggas yang terkena HPAI sering terlihat memisahkan diri dari
kawanan dan tidak banyak bergerak (Sudarisman 2006). Gejala klinis pada ayam
meliputi pembengkakan daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, diare dengan
kotoran berwarna kehijauan, kesulitan bernapas, kebiruan pada jengger, pial, dan
kaki. Telur yang dihasilkan oleh unggas petelur berkerabang lembek, kemudian
produksi telur berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit
(Swayne 2008). Gejala sistem saraf seperti kejang otot, leher yang berputar, dan
kehilangan koordinasi terlihat pada spesies yang tidak terlalu rentan seperti bebek,
angsa, dan burung unta. Gejala patologi-anatomik yang ditampilkannya adalah
perdarahan hebat di berbagai organ dan jaringan tubuh (otot kerangka, jantung,
ginjal, ovarium, omentum, pankreas dan lemak visceral). Perubahan pada saluran
pernapasan sangat sering menyertai penyakit ini, yakni pharingitis dan laryngitis
(Sudarisman 2004).
Avian influenza tipe LPAI lebih rendah patogenitasnya. Gejala klinis yang
terjadi ketika ayam terinfeksi LPAI tidak terlalu jelas. Gejala yang sering terlihat
adalah bulu kusut, penurunan produksi telur dan berat badan, serta gangguan
pernapasan (Sudarisman 2004). Kerusakan jaringan yang terjadi bervariasi
bergantung pada jenis virus dan spesies hewan. Perubahan yang parah umumnya
terjadi pada organ reproduksi unggas petelur, yaitu ovarium dan saluran telur.
Virus AI dapat menginfeksi berbagai spesies mamalia seperti primata,
babi, musang, kuda, sapi, anjing laut, paus, harimau, dan kucing. Penularan
diketahui dengan mengikuti replikasi dan adaptasi virus serta penyebaran
penyakit. Babi sering terlibat dalam mutasi virus. Subtipe virus yang menyerang
babi adalah H1N1, H1N2, H3N2, H1N7, dan H4N6. Mamalia laut dan kuda dapat
tertular virus flu burung yang berasal dari unggas. Infeksi H5N1 secara alami
pernah dijumpai pada harimau dan kucing besar lainnya di sebuah kebun binatang
di Thailand setelah hewan diberi makan bangkai ayam yang terinfeksi virus flu
burung (Swayne 2003). Infeksi virus AI pada entok dan angsa tidak menyebabkan
gejala klinis yang berarti sebagaimana yang terjadi pada unggas-unggas liar. Hal
ini disebabkan karena entok ataupun angsa mempunyai sedikit enzim atau protein
yang berfungsi untuk memecah prekursor hemaglutinin yang inaktif menjadi
bentuk aktifnya. Bentuk aktif inilah yang kemudian menginisiasi mekanisme
infeksi terhadap tubuh inang (Lierz et al. 2007). Enzim tersebut tergolong ke
dalam enzim proteolisis atau protease. Unggas air seperti angsa dan entok berbeda
dengan unggas lainnya, misalnya ayam, jumLah enzim proteolisis pada unggas air
tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan ayam sehingga paparan virus AI akan
menyebabkan timbulnya gejala klinis yang cukup berarti pada ayam, bahkan dapat
menyebabkan kematian.
5
Gambar 2 Anatomi virus avian influenza (Suerez dan Schultz 2000)
Induk Semang (Host)
Virus H5N1 pada awalnya diperkirakan menyebar melalui burung-burung
liar yang secara periodik melakukan migrasi pada setiap perubahan musim. Virus
kemudian menular ke peternakan unggas. Pada awalnya virus tersebut hanya
mampu menginfeksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat pada
sejumLah besar unggas (Rahardjo 2004). Menurut Akoso (2006), hampir setiap
spesies avian atau bangsa burung adalah rentan terhadap infeksi virus avian
influenza, namun derajat kerentanan antar spesies berbeda-beda. Penyakit ini
dapat menyerang berbagai jenis burung, antara lain ayam, burung puyuh, kalkun,
angsa, itik, entok, burung merak, puyuh, dan unggas liar. Burung peliharaan juga
sering tertular, misalnya burung beo, merpati, parkit, kakatua, elang dan nuri, juga
pernah dilaporkan pada kalkun sejak tahun 1963 di negara bagian California dan
Minnesota, AS. Sejak ratusan tahun yang lalu, para ahli telah melaporkan unggas
air, misalnya entok, itik, dan unggas air lain yang hidup di laut secara normal
membawa virus AI H5N1 meski dalam tubuh unggas tersebut terinfeksi, namun
tidak menunjukkan gejala sakit dan unggas-unggas tersebut dapat hidup secara
sehat dan normal (Murphy et al. 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh tim AI FKH UGM, virus H5N1 dapat menginfeksi pada babi. Virus ini
pertama kali diisolasi dari babi pada tahun 1930 di Amerika yang kemudian
dikenal sebagai Swine Influenza Virus (SIV) dengan sub tipenya H1N1, H2N2
dan H3N3, namun demikian, hingga saat ini belum dibuktikan adanya penularan
virus AI dari babi ke manusia (Lierz et al. 2007). Menurut Tabbu (2007) babi
berpotensi sebagai ’mixing vessel’ yakni tempat bercampur, bertukar, pengaturan
kembali materi genetik, sedangkan burung puyuh berpotensi sebagai sumber
penularan dan ’mixing vessel’ pada virus influenza unggas dan manusia. Jenis
hewan mamalia lain yang juga ditemukan virus AI adalah kucing, virus AI dapat
ditularkan ke kucing melalui kontak langsung (close contact) dari unggas yang
terinfeksi AI. Kucing yang terinfeksi virus H5N1 memperlihatkan gejala sakit:
suhu badan tinggi, gejala pernafasan parah dan berakhir dengan kematian. Perlu
dilakukan penelitian tentang peran kucing dalam epidemiologi AI (Murphy et al.
2006).
6
Gambar 3 Ayam yang terkena avian influenza (Capua et al. 2004)
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelusuran bahan pustaka dilaksanakan pada bulan Agustus 2015.
Kegiatan penelusuran pustaka dilaksanakan di perpustakaan Institut Pertanian
Bogor dan browsing jurnal menggunakan fasilitas search engine internet.
Metode Kajian
Penyusunan karya tulis ini dilaksanakan berdasarkan hasil kajian pustaka
terhadap berbagai hasil penelitian di jurnal dan buku teks. Penelusuran pustaka
difokuskan pada pencarian hasil-hasil penelitian dan tulisan tentang vaksin AI
pada unggas dan browsing jurnal menggunakan fasilitas search engine internet.
7
GAMBARAN UMUM
Menurut data dari Ditjen Bina Produksi Peternakan Indonesia, populasi
ternak unggas merupakan yang terbesar dari sektor peternakan lainnya. Populasi
unggas tahun 2004 adalah 271 juta ekor dengan angka pertumbuhan 1.9% per
tahun. Ayam broiler mencapai populasi 895 juta ekor dengan angka pertumbuhan
5.9% per tahun. Ayam layer dengan populasi 80 juta ekor dengan angka
pertumbuhan 1.8% per tahun (Ditjennak 2005). Laporan perkembangan kasus AI
pada unggas di Indonesia berdasarkan hasil rapid test positif yang dilaporkan Tim
Participatory Disease Surveillance and Responsse (PDSR) adalah kematian
unggas pada akhir tahun 2013 sebanyak 9189 ekor, terdiri dari 248 ekor ayam
kampung, 1025 ekor ayam broiler, dan 7916 ekor itik. Bahkan, kasus kematian
pada itik juga mengalami kenaikan di awal tahun 2014. Saat ini, virus AI subtipe
H7N9 telah dideteksi pada manusia dan bisa menyebabkan kematian. Kasus
pertama di Beijing, selanjutnya di Hongkong. Kementrian Pertanian RI memantau
keberadaan virus ini namun sampai saat ini virus AI H7N9 belum (tidak)
terdeteksi keberadaannya di Indonesia. Pelaksanaan vaksinasi yang dilakukan
Dinas Agribisnis mengikuti beberapa prosedur. Menurut Dirjen Peternakan
(2006), prosedur vaksinasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan Vaksin dan Vaksinasi
1. Vaksin AI yang digunakan adalah vaksin inaktif strain LPAI subtipe H5 yang memiliki homologi sequence nucleotide atau asam
amino dari antigen H di atas 80% terhadap isolat lokal.
2. Vaksin yang digunakan harus telah mendapatkan nomor registrasi
dari Direktorat Jenderal Peternakan Deptan.
b. Pelaksanaan Vaksinasi
1. Vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah dilaksanakan di daerah
tertular dan terancam dengan prioritas di peternakan sektor empat
(back yard).
2. Tindakan vaksinasi dilakukan secara massal terhadap seluruh
unggas yang sehat di peternakan sektor empat.
3. Cakupan vaksinasi meliputi seluruh populasi unggas terancam di
daerah tertular yakni ayam buras, bebek, itik, kalkun, angsa,
burung dara (merpati), burung puyuh, ayam ras petelur, dan ayam
ras pedaging yang termasuk peternakan sektor empat.
4. Perhatikan secara seksama petunjuk teknis penggunaan vaksin
yang dikeluarkan oleh produsen vaksin yang tertulis pada brosur,
etiket, atau wadah vaksin.
5. Program vaksinasi seperti yang tertera pada Tabel 1.
8
Tabel 1 Program vaksinasi
Umur, dosis, aplikasi, dan rute vaksinasi
No
Jenis
Unggas
4-7
Minggu
4-7 Hari
12
Minggu
Ulangan
3-4 Bulan
1
Layer,
0.2 mL
0.5 mL
0.5 mL
0.5 mL
buras, Subkutan, Subkutan, Subkutan, Intramuskular
angsa,
pangkal
pangkal
pangkal
otot dada
itik, dan
leher
leher
leher atau
entok
otot dada
2
Broiler
Setiap 3-4
bulan
0.2 mL
Subkutan,
pangkal
leher
3
Burung
0.2 mL
0.2 mL
puyuh,
Subkutan, Subkutan,
merpati,
pangkal
pangkal
dan
leher
leher
lainnya
Sumber: Departemen Pertanian (2005)
0.2 mL
Subkutan,
pangkal leher
Berdasarkan beberapa aturan dan prosedur vaksinasi di atas, program
vaksinasi dilaksanakan dengan cara membuat jadwal vaksinasi terlebih dahulu.
Hal ini dilakukan agar memudahkan dalam mengetahui wilayah mana saja yang
belum dan akan dilakukan vaksinasi massal. Berikut adalah data yang
dikumpulkan oleh Aditya dalam penelitiannya (2007).
Tabel 2 Hasil uji HI serum terhadap antigen H5N1 berdasarkan jenis unggas
Hasil Uji
Jenis Unggas
JumLah Sampel
Positif terhadap AI
Negatif terhadap AI
Ayam
224
64 (28.57%)
160 (71.43%)
Entok
9
5 (55.56%)
4 (44.44%)
Angsa
3
3 (100%)
0 (0%)
Sumber: Aditya (2007)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan Indonesia dalam pengendalian AI sangat berbeda dengan
Thailand, Vietnam, maupun Malaysia. Ketiga negara tersebut melakukan upaya
pengendalian dengan pemusnahan unggas menyeluruh (stamping out) dengan
9
kondisi bahwa sistem deteksi dan respons dini harus diupayakan berjalan dengan
baik, sedangkan Indonesia melakukan pendekatan alternatif depopulasi dengan
vaksinasi. Kebijakan pemerintah Vietnam berubah setelah stamping out dinilai
sampai dengan akhir tahun 2005 tidak berhasil sepenuhnya mengeliminasi virus
AI pada populasi unggas. Vietnam melakukan pemusnahan terhadap hampir 50%
populasi unggasnya, terutama itik yang dianggap bertindak sebagai reservoir virus
AI. Vaksinasi terhadap AI kemudian diizinkan untuk diterapkan dan program
vaksinasi massal sedang berlangsung saat ini di Vietnam (Wibawan 2012).
Pertimbangan kebijakan pemerintah Indonesia memperhatikan berbagai
aspek mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya, dan teknis. Penekanan kebijakan
pada kombinasi vaksinasi dan depopulasi berdasarkan kepada luasnya cakupan
daerah tertular, keragaman spesies unggas tertular, sumber infeksi yang dimulai
pada ayam petelur, dan konsentrasi infeksi yang terjadi di daerah-daerah sentra
industri perunggasan di Pulau Jawa. Selain itu, tumpang tindihnya sistem produksi
unggas skala besar, menengah dan kecil, sampai kepada banyaknya jumLah ayam
kampung belakang rumah (backyard chicken) yang berkeliaran di pedesaan juga
menjadi faktor yang menjadi pertimbangan penerapan kebijakan (Wibawan 2012).
Sejak awal munculnya wabah AI di Indonesia, pemerintah telah
memberikan izin kepada perusahaan lokal untuk memproduksi vaksin H5N1 yang
bibitnya diambil dari isolat lapangan, dengan memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Vaksin H5N1 dan
H5N2 ataupun H5N9 dapat digunakan dalam program vaksinasi AI. Keuntungan
vaksin H5N2 atau H5N9 adalah dapat digunakan untuk membedakan antara strain
virus dari lapangan (N1) dengan strain virus yang berasal dari vaksin (N2 atau
N9). Prinsip ini disebut Differentiating Infected from Vaccinated Animals
(DIVA). Akan tetapi, pendapat para ahli kesehatan hewan di dunia mengenai
vaksin dan vaksinasi terhadap AI pada unggas masih beragam, sehingga
pengetahuan dan teknologi mengenai vaksin terus berkembang dari waktu ke
waktu (Wibawan 2012).
Program pengendalian AI memerlukan dana besar, tenaga terlatih, dan
infrastruktur yang memadai. Pemerintah menerapkan program vaksinasi masal
secara gratis hanya terhadap sebagian unggas sektor 3 dan sektor 4 (ayam
kampung belakang rumah). Titik lemah dalam pelaksanaan program vaksinasi
massal ini adalah sebaran ayam dan itik kampung yang sangat luas, sistem
pemeliharaan yang ekstensif, biaya operasional vaksinasi per ekor sangat rendah,
rendahnya kualitas rantai dingin, dan kurangnya tenaga vaksinator di pedesaan.
Kewajiban vaksinasi terhadap penyakit hewan menular juga belum diatur dalam
peraturan perundangan yang berlaku. Selain itu, dana kompensasi yang disediakan
pemerintah sebagai insentif bagi peternak untuk melaporkan kasus wabah tidak
memadai. Hampir seluruh industri perunggasan mengandalkan upaya vaksinasi
dengan pembiayaan sendiri, tanpa campur tangan pemerintah (Wibawan 2012).
Kajian aspek politik dan ekonomi menunjukkan bahwa kebijakan
stamping out tidak mungkin dilakukan karena implikasinya sangat luas. Kerugian
ekonomi yang timbul dapat menyebabkan industri perunggasan Indonesia
mengalami kebangkrutan yang diikuti dampak berantai (multiplier effect) terhadap
sektor-sektor lainnya, seperti industri makanan dan industri pariwisata. Faktor
yang turut mempengaruhi hal tersebut antara lain penurunan tingkat konsumsi
masyarakat terhadap produk unggas karena belum mendapatkan pemahaman yang
10
tepat tentang penyakit ini. Akibatnya, masyarakat pedesaan akan kehilangan
sumber protein hewani paling murah dari unggas (Wibawan 2012).
Pro dan kontra terhadap vaksinasi AI pada unggas disebabkan oleh
pandangan yang menyatakan bahwa unggas yang divaksin masih mampu
mengeluarkan virus (shedding). Beberapa studi lapangan yang dilakukan berhasil
membuktikan bahwa vaksinasi mampu menghentikan shedding virus secara total.
Hal ini membuktikan bahwa jika vaksin yang digunakan mempunyai kualitas
yang baik dan pelaksanaan vaksinasi dilakukan secara benar, kekhawatiran
terhadap shedding virus tidak perlu dipertimbangkan lagi (Wibawan 2012).
Tingginya kasus kematian itik akibat AI beberapa tahun ini, selain
disebabkan oleh kemunculan clade 2.3.2 dengan keganasan tinggi, juga
diakibatkan karena itik belum divaksin AI, seperti halnya yang terjadi pada kasus
AI pertama kali menyerang ayam di tahun 2003. Pada tahun tersebut, sangat
tinggi tingkat kematian ayamnya karena ayam belum divaksinasi. Selain itu,
karena rata-rata kepemilikan itik peternak hanya kurang dari 500 ekor, maka
peternak itik menilai vaksinasi AI tidak efisien. Sebagian peternak lebih memilih
menjual itik sakit atau diduga sakit ke pedagang agar kerugian bisa diminimalkan.
Padahal dampak kerugian bagi peternak unggas yang lain sangat besar karena AI
bisa menyebar secara cepat melalui rantai pemasaran unggas (Wibawan 2012).
Telah dilaporkan bahwa kematian itik tertinggi terjadi pada itik muda (< 2
bulan) mencapai 90–100%, utamanya pada usaha itik pedaging (sistem intensif).
Sedangkan kematian itik dewasa relatif lebih rendah, namun produksi telur turun
sampai 50%. Penelitian yang sama juga diketahui prevalensi AI berdasarkan uji
serologi terjadi paling tinggi pada itik umur < 6 bulan (58%), terutama pada
musim penghujan. Atas dasar laporan ini, peternak itik harus melakukan vaksinasi
AI sejak awal pemeliharaan, sama halnya vaksinasi AI pada ayam, agar resiko
kematian itik muda bisa dicegah dari awal. Salah satu pengalaman pernah
dilaporkan oleh salah satu peternak itik yang berada di wilayah Jawa Barat bahwa
dengan penerapan biosekuriti yang ketat dan vaksinasi AI yang teratur, itik yang
dipelihara dapat terhindar dari kasus AI yang mulai menjangkit kembali (Aditama
2004).
Pemberian vaksin bertujuan menginduksi kekebalan terhadap agen
patogen spesifik atau untuk menyiapkan individu dalam menghadapi infeksi dari
agen patogen yang belum pernah menginfeksinya (Lee dan Suarez 2004). Unggas
yang divaksinasi akan membentuk antibodi. Jika ada virus yang masuk, antibodi
yang telah terbentuk menyebabkan unggas kebal terhadap penyakit. Virus-virus
yang masuk bisa saling mengalami pertukaran gen dan unggas yang kebal namun
terinfeksi virus akan bertindak sebagai reservoir. Inilah yang bisa menyebabkan
suatu saat terjadi ledakan virus AI tipe baru atau mutasi dari virus tipe lama
menjadi lebih ganas. Negara yang telah melakukan vaksinasi AI pada unggas
adalah Mesir, China, Indonesia, Vietnam, dan negara-negara di Timur Tengah.
Vaksin homolog inaktif pada umumnya digunakan untuk mengendalikan
wabah AI di Indonesia pada tahun awal ditemukannya wabah penyakit ini. Vaksin
AI yang efektif untuk ayam ternyata juga efektif pada itik. Selain vaksinasi,
pelarangan pengiriman itik umur satu hari (DOD) dari daerah tertular bebas juga
telah menurunkan jumLah virus maupun antibodi yang terdeteksi (Aditama 2004).
Tubuh memiliki dua sistem kekebalan dalam merespons adanya agen
patogen, yaitu sistem kekebalan spesifik dan non-spesifik. Tanggap kebal yang
11
diperoleh dari vaksinasi adalah tanggap kebal yang bersifat spesifik melalui
sistem kekebalan spesifik. Makrofag yang berfungsi sebagai antigen presenting
cell (APC) akan memfragmentasi antigen dan akan mempresentasikan antigen
tersebut ke sel limfosit T melalui molekul major histocompasibility complex
(MHC) yang terletak di permukaan makrofag. Sel T hanya akan bereaksi dengan
antigen asing jika antigen tersebut ditampilkan pada permukaan APC bersamasama dengan MHC. Sel Th mengenali antigen yang berikatan dengan molekul
MHC kelas I (MHC I). MHC II akan membawa antigen yang disajikan oleh APC
kepada sel Th. Interaksi antara sel Th dan APC akan menginduksi pengeluaran
sitokin atau interleukin. Sitokin dan interleukin berfungsi sebagai alat komunikasi
antar sel. Sitokin dan interleukin akan menginduksi pematangan sel limfosit B
menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi.
Antibodi yang dihasilkan dari mekanisme tersebut hanya bereaksi dengan
antigen yang ada di permukaan sel, sehingga disebut kekebalan permukaan atau
kekebalan humoral. Antibodi ini tidak dapat merespons antigen yang terdapat di
dalam sel. Antigen di dalam sel direspons oleh kekebalan seluler yang diperantai
oleh sel limfosit Tc (cytotoxic). Antigen akan dipresentasikan oleh APC ke sel Tc
melalui MHC I. Interaksi antara sel Tc dan MHC I dilakukan melalui molekul
CD8 dan TCR yang dimiliki oleh sel Tc. Sel Tc ini akan mencari sel-sel yang
mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel
tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya. Proses kekebalan ini disebut
proses kekebalan seluler (cellular mediated immunity) (Wibawan et al. 2003).
Netralisasi antigen terjadi apabila antigen tersebut dikenali oleh antibodi.
Antibodi selalu bersifat spesifik terhadap antigen tertentu. Bagian antibodi yang
berikatan dengan antigen adalah paratop, sedangkan bagian antigen yang
berikatan dengan antibodi adalah epitop. Paratop antibodi 1 hanya bisa berikatan
dengan epitop antigen 1, paratop antibodi 2 hanya bisa berikatan dengan epitop
antigen 2. Oleh karena itu, homolog agen penyusun vaksin terhadap agen lapang
sangat mempengaruhi kualitas vaksin. Antigen dapat memiliki lebih dari satu
epitop. Tubuh akan merespons antigen tersebut dengan membentuk antibodi yang
sesuai dengan epitop-epitop yang terdapat pada antigen tersebut. Pada awal
infeksi, protein H akan berikatan dengan reseptor asam sialik sel inang, kemudian
membelah menjadi H1 dan H2. Protein H1 akan berikatan dengan reseptor dan
merupakan target utama untuk timbulnya respons imun, sedangkan protein H2
akan memfasilitasi fusi antara amplop virus dengan dinding sel inang (Wibawan
et al. 2003).
Antibodi maternal akan menurun dengan cepat seiring meningkatnya
umur ayam. Hal ini nampak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Marttiana
(2011) mengenai pengujian titer antibodi pada ayam umur dua minggu, titer
antibodi kedua kelompok sudah mulai menurun (Tabel 3).
12
Tabel 3
Rataan titer antibodi anti AI dari ayam yang divaksinasi dengan vaksin
AI-ND inaktif (Marttiana 2011)
Umur ayam
0 minggu
2 minggu*
4 minggu
6 minggu*
8 minggu
10 minggu
*waktu pemberian vaksin
Kelompok ayam yang
divaksinasi
21.7±1.01
20.2±0.66
22.5±0.72
21.1±1.56
26.7±1.74
23.2±1.41
Kelompok ayam yang
tidak divaksinasi
21.7±1.01
0
0
0
1.2
2 ±1.09
0
Kelompok ayam yang tidak divaksinasi memiliki titer antibodi yang
rendah, sehingga kelompok ayam tersebut rentan terhadap serangan virus AI.
Kelompok ayam yang tidak divaksinasi dapat menjadi amplifier dan dapat
menunjukkan gejala klinis, sehingga shedding virus ke lingkungan meningkat.
Tingginya shedding virus ke lingkungan menyebabkan tingginya peluang ayam
lain untuk terjangkit virus AI, sehingga menimbulkan kerugian. Menurunnya
antibodi maternal saat umur dua minggu, maka dilakukan vaksinasi dengan
vaksin inaktif pada umur dua minggu dalam penelitian yang dilakukan Marttiana
(2011). Dua minggu setelah vaksinasi pertama atau saat ayam berumur empat
minggu, kelompok ayam yang divaksin mulai menunjukkan adanya peningkatan
antibodi dengan rataan titer 22.5 (Tabel 3). Hasil tersebut menunjukkan bahwa
vaksin yang diberikan mampu menggertak terbentuknya antibodi terhadap AI,
namun titer yang terbentuk belum mencapai titer protektif. Menurut Departemen
Pertanian (2005), titer HI protektif terhadap AI H5N1 adalah ≥ 4 log 2 atau 24 (≥
16). Titer antibodi yang masih rendah diakibatkan karena vaksin yang digunakan
merupakan vaksin inaktif, sehingga antigen yang masuk tidak memperbanyak diri
tetapi langsung memacu jaringan limfoid tubuh untuk membentuk kekebalan.
Menurut standar OIE (2000), vaksin inaktif optimal membentuk kekebalan
tiga minggu setelah vaksinasi. Titer antibodi yang terbentuk minimal setinggi 2 4,
sehingga dalam waktu dua minggu titer yang terbentuk sebesar 22.5 dinyatakan
rendah. Saat ayam umur 6 minggu (empat minggu setelah vaksinasi pertama) titer
mulai menurun, pada saat inilah dilakukan vaksinasi ulang. Dua minggu
kemudian titer antibodi mencapai titer optimal. Tingginya titer antibodi tersebut
karena vaksinasi tersebut merupakan vaksinasi ulangan. Dua minggu setelah
vaksinasi kedua titer antibodi mencapai titer optimal (protektif). Menurut Tizard
(2004), vaksin inaktif menghasilkan kekebalan yang lemah karena virus inaktif
tidak mampu bereplikasi di dalam tubuh, sehingga memerlukan vaksinasi yang
berulang kali agar dapat mempertahankan titer antibodi protektif. Titer antibodi
pada minggu ke 10 (empat minggu setelah vaksinasi kedua) mulai menurun.
Menurut Murphy et al. (2006), titer antibodi protektif akan mengalami
penurunan yang disebabkan oleh adanya waktu paruh antibodi. Rendahnya
antibodi dapat disebabkan oleh beberapa hal terkait dengan proses vaksinasi dan
respons tanggap kebal hewan. Titer antibodi minggu ke-8 pada kelompok ayam
kontrol menunjukkan adanya antibodi terhadap AI namun sangat rendah. Menurut
Marttiana (2011), antibodi yang terdeteksi itu diduga merupakan antibodi
13
maternal yang masih berada pada individu tersampling. Hal tersebut terjadi karena
adanya variasi individu dari ayam yang diambil mengingat pengambilan sampel
dilakukan secara acak. Penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto (2008)
menunjukkan hasil pengukuran rataan titer antibodi ayam yang divaksinasi
dengan vaksin H5N9 dan diuji dengan virus standar H5N1 adalah sebagai berikut:
Tabel 4 Rataan titer antibodi serum hasil uji hemaglutinin inhibisi
Kelompok
Sebelum
Vaksinasi I
Titer Antibodi
22.5
Setelah Vaksinasi Setelah Vaksinasi
I
II
26.17
27
Sumber: Sugiarto (2008)
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebelum vaksinasi titer antibodi ayam
terhadap H5N1 rendah. Uji HI terhadap serum sebelum vaksinasi dilakukan untuk
memastikan ada tidaknya antibodi terhadap H5 yang dapat menetralisasi vaksin.
Menurut Sugiarto (2008), adanya antibodi pada serum sebelum vaksinasi
menunujukkan bahwa induk ayam telah terpapar oleh virus AI subtipe H5
sebelumnya melalui vaksinasi ketika ayam berada di peternakan. Rendahnya titer
antibodi terhadap H5 dijadikan dasar untuk dilakukan perlakuan vaksinasi I.
Vaksin tidak akan dinetralisasi oleh antibodi yang telah terdapat pada tubuh induk
dan antibodi yang terbentuk berikutnya merupakan hasil induksi dari vaksinasi
yang dilakukan.
Antibodi asal induk ini biasanya akan berada dalam tubuh anak ayam
sampai umur empat minggu (OIE 2000). Imunoglobulin ini dapat diturunkan dari
serum induk ayam ke dalam kuning telur ketika telur masih berada di dalam
ovarium. Dalam fase kuning telur, IgG ditemukan memiliki titer yang sama
dengan yang ada dalam serum induk. Selama embrio ayam berkembang, IgG dari
kuning telur akan diserap. IgM dan IgA asal induk berada dalam cairan amnion
dan akan ditelan oleh embrio. Dengan demikian, saat anak ayam menetas, anak
ayam tersebut telah memiliki IgG di dalam serum dan IgM dan IgA yang berada
di dalam saluran pencernaan (Horimoto dan Kawaoka 2001). Sistem pembentukan
antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu
antigen sebelumnya (Horimoto dan Kawaoka 2001). Kondisi tersebut disebabkan
oleh jumLah sel B dan sel T memori yang bertambah banyak sehingga
kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen akan lebih besar, peningkatan
titer antibodi akan lebih cepat dan lebih tinggi dari sebelumnya (Wibawan et al.
2003). Vaksinasi yang pertama kali dianjurkan tidak terlalu dini sebab masih
terdapat antibodi maternal di dalam tubuh anak ayam. Antibodi maternal dalam
tubuh anak ayam yang lebih tinggi dapat menetralisasi antigen vaksin (Tabbu
2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Wibawan et al. (2008) menyatakan bahwa
titer antibodi terhadap AI dalam serum setelah vaksinasi inaktif pertama berkisar
antara 22–24. Ini menunjukkan bahwa vaksin AI inaktif mampu menginduksi
pembentukan antibodi, tetapi belum mencapai titer antibodi protektif dua minggu
setelah vaksinasi. Peningkatan titer antibodi yang terjadi setelah dilakukan booster
14
berkisar antara 25–27, penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Hartati (2005) bahwa respons imun akan terbentuk dengan optimal bila dilakukan
vaksinasi minimal dua kali pada hewan yang sama (Tabel 5).
Tabel 5
Rataan titer antibodi ayam yang divaksinasi AI sebanyak tiga kali
ulangan
Umur ayam
GMT
13 minggu
16 minggu
17 minggu
22 minggu
Sumber: Hartati (2005)
25.0±20.5
26.4±21.3
25.4±21.1
27.7±20.5
Hasil penelitian yang dilakukan Hartati (2005) menunjukkan adanya
peningkatan titer antibodi protektif yang sangat cepat pada ayam umur 17 minggu
(dua minggu setelah vaksinasi kedua) yang lebih tinggi dibandingkan dengan titer
antibodi yang dihasilkan pada saat ayam umur 13 minggu (dua minggu setelah
vaksinasi pertama). Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibawan et al. (2003)
bahwa pemaparan oleh antigen yang sama pada saat kedua kalinya menyebabkan
terjadinya pembentukan respons imun sekunder dalam waktu singkat. Titer
antibodi protektif akan mampu bertahan dalam tubuh ayam sampai masa akhir
produksi ayam (60 minggu) setelah tiga kali vaksinasi atau booster (Hartati 2005).
Hasil evaluasi titer antibodi akibat vaksinasi yang menggunakan antigen AI H5N1
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah faktor individu (respons imun
dan umur), penggunaan vaksin (frekuensi, dosis, dan adjuvant), dan antigen
(dosis) (Lierz et al. 2007).
Penelitian lain dilakukan oleh Wibawan et al. (2009) mengenai uji tantang
pada telur berembrio (Tabel 6). Uji netralisasi virus AI H5N1 menggunakan
Imunoglobulin Y (Ig-Y) asal kuning telur yang telah dimurnikan (titer HI 24).
Tabel 6 Kemampuan netralisasi Ig-Y spesifik anti virus AI H5N1 terhadap virus
HPAI H5N1 secara in ovo
Perlakuan
Jumlah
telur
Respons
Hidup
Mati
Virus AI H5N1
3
0
3
100
Ig-Y + Virus AI H5N1
3
3
0
0
Placebo
3
Sumber: Wibawan et al. 2009
3
0
0
% Kematian
Hasilnya adalah pada telur yang diinokulasikan virus AI H5N1 tanpa Ig-Y,
seluruh embrio pada telur mengalami kematian dalam selang waktu 24-48 jam
setelah inokulasi, disertai tanda perdarahan yang hebat. Berbeda dengan telur
15
yang diinokulasi dengan virus AI H5N1 yang sebelumnya telah dinetralkan
dengan Ig-Y, seluruh embrio hidup dan berkembang secara sempurna (Tabel 6).
Penelitian lain dilakukan oleh Soejoedono (2012) yaitu melakukan uji tantang
pada tikus. Uji tantang menunjukkan bahwa tikus yang diberi pakan berisi Ig-Y
anti virus AI H5N1 selama 5 hari pengamatan tetap sehat, tidak menunjukkan
gejala sakit, sedangkan tikus yang ditantang dan mendapat pakan komersial (tanpa
Ig-Y) menunjukkan tanda sakit pada hari ke-3 dan mulai ada kematian pada hari
ke-5. Setelah Soejoedono melakukan uji tantang, dilakukan usapan trakheal dan
usapan rektal dari 5 ekor tikus putih dari masing-masing kelompok diuji
menggunakan RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction).
Hasil yang ditunjukkan adalah tidak ditemukan adanya material genetik virus AI
H5N1 pada tikus yang diberi pakan mengandung Ig-Y anti virus AI H5N1,
sedangkan pada tikus yang tampak sakit dan mati yang berasal dari kelompok
yang diberi pakan komersial (tanpa Ig-Y) dapat dideteksi adanya material genetik
virus AI H5N1 (Tabel 7).
Tabel 7 Pengamatan klinis tikus (5 ekor) yang diberi pakan mengandung Ig-Y
dan pakan komersial (tanpa Ig-Y) setelah ditantang dengan virus AI
H5N1
No
1
2
3
4
Perlakuan
1
Pakan Ig-Y anti virus AI 5 ekor
H5N1, tidak ditantang
sehat
Pakan Ig-Y anti virus AI 5 ekor
H5N1, ditantang
sehat
Pakan komersial
(tanpa Ig-Y), tidak
ditantang
Pakan komersial
(tanpa Ig-Y), ditantang
Pengamatan pada tikus hari ke
2
3
4
5
5 ekor 5 ekor 5 ekor 5 ekor
sehat
sehat sehat
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sehat
5 ekor
sakit
5 ekor
sakit
4 ekor
sakit
dan 1
ekor
mati
Sumber: Soejoedono (2009)
Ig-Y yang merupakan antibodi maternal berasal dari kuning telur berfungsi
sebagai antibodi spesifik untuk agen penyakit spesifik. Ig-Y memiliki khasiat
dapat digunakan sebagai imunoterapi (imunisasi pasif) dan bahan suplemen
pangan nutraceutical food. Ig-Y akan dialirkan ke dalam kuning telur dalam
beberapa hari setelah titernya di dalam darah cukup tinggi (Soejoedono et al.
2009).
Vaksinasi AI pada ayam petelur sebaiknya dilakukan sebanyak 3 kali
sebelum masuk masa produksi, yaitu vaksinasi pertama sekitar umur 2 minggu,
diulang umur 9 minggu (untuk peternakan yang rawan terjadi outbreak AI,
vaksinasi kedua bisa dilakukan 4–5 minggu setelah vaksinasi pertama), dan
16
selanjutnya 3 minggu sebelum masuk masa produksi. Jadi, jika vaksinasi AI
hanya dilakukan 2 kali atau bahkan 1 kali, dan tantangan virus AI di lapangan saat
ini diketahui sangat tinggi (ditambah munculnya serangan virus AI clade baru
2.3.2), maka outbreak AI akan berpeluang besar terjadi ketika ayam petelur belum
masuk masa produksi (Wibawan 2012).
Keseluruhan kajian yang telah dilakukan menunjukkan beberapa
keuntungan penggunaan vaksin AI pada unggas, diantaranya menurunkan
morbiditas, mortalitas, shedding virus, cemaran virus ke lingkungan, dan
transmisi antar unggas. Penurunan morbiditas disebabkan unggas yang divaksin
memiliki titer antibodi terhadap virus AI, sehingga antibodi yang ada dalam tubuh
unggas tersebut mampu menekan infeksi virus. Antibodi tersebut juga mampu
menjadi opsonin, sehingga makrofag mudah memfagositosis virus. Penurunan
morbiditas secara otomatis mengakibatkan penurunan mortalitas seperti yang
ditunjukkan Tabel 8 berikut.
Tabel 8 Respons antibodi dan tingkat proteksi ayam pada kelompok III, IV, dan
V setelah divaksinasi dan kemudian diuji tantang pada minggu ke-4
secara intraokuler dan ke-8 secara intramuskular dengan virus AI
Kelompok
Uji tantang
setelah
vaksinasi
4 minggu
Rataan titer
Ab (log 2)
III (Vaksin
Balitvet)
V (Kontrol) 4 minggu
III (Vaksin
8 minggu
Balitvet)
IV (Vaksin
8 minggu
komersial)
V (Kontrol) 8 minggu
Sumber: Indiani et al. (2005)
Mortalitas
(Σ
mati/total)
1/10
% Proteksi
3.44
Morbiditas
(Σ
sakit/total)
1/10
0
4.04
10/10
1/10
10/10
1/10
0
90
4.14
1/10
1/10
90
0
10/10
10/10
0
90
Shedding virus akan menurun karena virus dalam tubuh unggas telah
dimusnahkan oleh antibodi dan tidak dapat bereplikasi, sehingga cemaran virus ke
lingkungan juga akan menurun. Transmisi virus antar unggas ikut menurun akibat
ketiadaan cemaran virus di lingkungan, sehingga tingkat kejadian kasus AI akan
menurun jika dengan pemberian vaksinasi (Wibawan 2012). Isolasi kembali virus
tantang yang diekskresi dari ayam pada kelompok III dan IV baik yang ditantang
saat 4 minggu maupun 8 minggu setelah vaksinasi dapat dilihat pada Tabel 9. Hari
ke-5 setelah uji tantang, ayam masih mengekskresikan virus dari kloakanya yang
dibuktikan dengan adanya pertumbuhan virus tantang pada telur tertunas SPF
yang diinokulasi dari sampel orofaringeal dan kloaka. Namun setelah itu, pada
hari ke-7, 9, 12, dan 14 setelah uji tantang, tidak ditemukan adanya ekskresi virus
yang dibuktikan tidak adanya pertumbuhan virus tantang pada telur tertunas SPF
yang diinokulasi dari sampel orofaringeal dan kloaka (Indiani et al. 2005). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pemberian vaksinasi, shedding virus
dapat ditekan.
17
Tabel 9 Hasil pemeriksaan ekskresi virus tantang pada ayam kelompok III, IV,
dan V
Σ ayam ekskresi virus AI pada hari
setelah uji tantang
Saat
setelah
vaksinasi
Umur
ayam saat
uji tantang
III (Vaksin
Balitvet)
4 minggu
7 minggu
5
1/10
7
0/10
9
0/10
12
0/10
14
0/10
V
(Kontrol)
4 minggu
7 minggu
TD
TD
TD
TD
TD
III (Vaksin
Balitvet)
8 minggu
11 minggu
1/10
0/10
0/10
0/10
IV
(Vaksin
komersial)
V
(Kontrol)
8 minggu
11 minggu
1/10
0/10
0/10
8 minggu
11 minggu
TD
TD
TD
Kelompok
Σ ayam
ekskresi
/total
Σ
sampel
(+)/
total
1/10
1/50
0/10
1/10
1/50
0/10
0/10
1/10
1/50
TD
TD
Keterangan: TD (tidak dilakukan karena ayam telah mati)
Sumber: Indiani et al. (2005)
Kerugian yang timbul dari penggunaan vaksin AI pada unggas adalah
timbulnya infeksi subklinis, munculnya unggas yang dapat menjadi reservoir, dan
meningkatnya kasus mutasi virus AI menjadi strain baru. Infeksi subklinis timbul
karena titer antibodi yang dihasilkan unggas setelah vaksinasi tidak
protektif/rendah maupun akibat ketidaksesuaian antigen vaksin dengan virus AI
dari lingkungan yang menginfeksi unggas. Akibat infeksi subklinis tersebut,
unggas dapat menjadi reservoir dan dapat menyebarkan virus ke lingkungan.
Ketidaksesuaian antigen vaksin dengan virus AI yang menginfeksi unggas
reservoir dapat mengakibatkan pertukaran materi genetik virus dalam tubuh
unggas, sehingga virus tersebut dapat bermutasi menjadi strain virus AI baru
(Wibawan 2012).
Gambar 4 Keberadaan virus AI H5N1 pada sel mukosa usus halus bebek sehat
(Wibawan 2006b)
18
Predileksi virus AI subklinik pada saluran pencernaan telah diamati sejak
lama. Gambar 4 menunjukkan bahwa pada unggas yang tampak sehat, di dalam
tubuhnya dapat diisolasi virus AI H5N1 (Wibawan 2006b). Pengujian tersebut
menegaskan bahwa bebek yang tampak sehat dapat membawa virus AI H5N1
yang ganas dan menyebarkan virus teresebut ke lingkungan melalui feses dan
leleran lendir hidung dan mulut (Wibawan 2012).
Tabel 10 Keberadaan material genetik virus H5N1 pada ayam kampung yang
divaksin maupun tidak divaksin di wilayah Provinsi Banten
Daerah
Kecamatan
Vaksinasi
HI+
Kab.
Tangerang
Non-Vaksinasi
HI-
Kronjo
HI+
H5 (1)
Mauk
Paku Haji
H5 (1)
H5 (1)
Kresek
Kab.
Serang
Carenang
H5 (2)
Kragilan
Kab. Lebak
Kab.
Cilegon
H5 (1)
H5 (2)
H5 (1)
H5N1 (1)*
H5 (1)
H5 (1)
H5 (1)
H5 (1)
Petir
H5 (2)
Cibadak
H5 (1)
G Kencana
H5 (1)
Muncang
H5 (1)
Bayah
Kab.
Pandeglang
HI-
H5N1 (1)*
H5 (1)
H5 (2)
Cikeusik
H5N1 (1)*
Panimbang
H5N1 (1)*
Jombang
H5 (1)
Cilegon
H5N1 (1)*
Sumber: Wibawan et al. (2006)
Tabel 10 menunjukkan contoh kasus infeksi subklinis yang terjadi pada
ayam kampung. Pelaksanaan vaksinasi AI yang tidak tepat pada ayam kampung
dapat memperparah kondisi ayam, karena titer antibodi yang terbentuk tidak
memadai untuk menolak infeksi secara sempurna. Keberadaan material genetik
virus HPAI subtipe H5N1 dilacak menggunakan RT-PCR. Penelitian yang
19
dilakukan Wibawan et al. (2006) ini menunjukkan hasil bahwa material genetik
virus HPAI H5N1 dapat dideteksi pada ayam sehat, baik pada ayam yang divaksin
maupun yang tidak divaksin, dan dapat pula dideteksi pada ayam yang tidak
memiliki antibodi spesifik maupun yang memiliki antibodi spesifik terhadap H5.
Keadaan ini membuat populasi ayam kampung sebagai kumpulan individuindividu sehat tetapi membawa virus HPAI di dalam tubuhnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penggunaan vaksin AI secara keseluruhan memiliki keuntungan yang
lebih banyak dibandingkan kerugiannya berdasarkan hasil kajian pustaka,
sehingga penggunaan vaksin AI layak untuk dilakukan pada unggas.
Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui keuntungan dan
kerugian penggunaan vaksin AI pada unggas dalam bidang ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama. 2004. Avian Influenza di Manusia. Jakarta (ID): UI Pr.
Aditya IG. 2007. Prevalensi Serologi Avian Influenza pada Unggas Sektor IV di
Desa Persawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi [skripsi].
Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Akoso BT. 2006. Waspada Flu Burung: Penyakit Menular pada Hewan dan
Manusia. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Blakely J, Bade DH. 1994. Ilmu Peternakan Umum. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Pr.
Capua IC, Terregino G, Cattoli, Toffan A. 2004. Increased resistance of
vaccinated turkeys to experimental infection with H7N3 low pathogenicity
avian influenza virus. Avian Pathology. 33:158–163.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Manual Standar Kesehatan Hewan Ed
Pedoman Surveilance dan Monitoring Avian Influenza di Indonesia.
Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2005. Bagaimana Terhindar dari Flu
Burung (Avian Influenza). Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan
Republik Indonesia.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Prosedur Operasi Standar
Pengendalian Avian Influenza di Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat
Jenderal Peternakan Republik Indonesia.
20
Hartati Y. 2005. Respons Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam
Indukan Pedaging Srain Hubbard [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Horimoto T, Y Kawaoka 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A
viruses. Clin Microbiol Rev. 14:129–149.
Indiani R, Dharmayanti NIPI, Syafriati T, Wiyono A, Adjid RMA. 2005.
Pengembangan prototipe vaksin inaktif avian influenza (AI) H5N1 isolat
lokal dan aplikasinya pada hewan coba di tingkat laboratorium. JITV.
10(4):315–321.
Khawaja JZ, Naeem Z, Ahmed, Ahmad. 2005. Surveillance of avian influenza
viruses in wild birds in areas adjacent to epicenter of an out break in
federal capital territory of Pakistan. International J Poult. 4(1):39–43.
Lee CW, Suarez DL. 2004. Application of real-time RT-PCR for the quantitaion
and competitive replication study of H5 and H7 subtype avian influenza
virus. J Virol Methods. 119:151–158.
Lierz M, Hafez M, Klopfleisch R, Luschow D, Prusas C, Teifke J, Rudolf M,
Grund C, Kalthoff D, Mettenleiter T, et al. 2007. Protection and virus
shedding of falcons vaccinated against highly pathogenic avian influenza a
virus (H5N1). Emerg Infect Dis. 13(11):1667–1674.
Marttiana E. 2011. Gambaran Respons Kebal terhadap Virus Avian Influenza (AI)
H5 pada Ayam Petelur yang Divaksin dengan Vaksin AI-ND Inaktif
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian
Bogor.
Murphy FA, Gibbs EPJ, Horzienk MC, Studdert MJ. 2006. Veterinary Virology
3th Ed. California (US): Academic Pr.
OIE. 2000. OIE Manual of Standards for Diagnostic Test and Vacines. 4th ed.
Paris (FR): Ofice International des Epizoties.
Rangga, Charles. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
Retno D, Jahja J, Suryani T. 2000. Ayam Sehat Ayam Produktif 2. Bandung (ID):
Medion.
Soejoedono RD, Murtini S, Wibawan IWT. 2009. Produksi bahan pangan
berkhasiat anti flu burung sebagai solusi pencegahan dan pengobatan
penyakit flu burung pada manusia. Laporan. Hibah Kompetensi.
Soejoedono RD. 2012. Telur Ayam Sebagai Pabrik Biologis: Imunoglobulin Y
Berkhasiat Obat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sudarisman. 2006. Pengaruh penggunaan vaksin H5N1 dan H5N2 virus avian
influenza pada peternakan unggas di Jawa Barat. Puslitbang. 11:766–773.
Suerez DL, Schultz C. 2000. Imunology of avian influenza virus: a review.
Developmental and Comparative Imunology. 24:269–283.
Sugiarto. 2008. Evaluasi Antibodi Asal Induk (Maternal Antibodi) pada Kuning
Telur Asal Ayam Single Comb Brown Leghorn yang Divaksinasi dengan
Vaksin Avian Influenza H5N9 [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran
Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Swayne D, Halvorson. 2003. Influenza, Disease of Poultry. Ed ke-11. Iowa (US):
Iowa State University Pr.
Swayne DE. 2008. Avian Influenza. Iowa (US): Blackwell Pub.
21
Tabbu CR 2000. Penyakit ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Tizard IR. 2004. Veterinary Immunology an Introduct. Ed ke-6. Philadelphia
(US): WB Saunders Company.
Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti CS, Tauffani TB. 2003. Diktat
Imunologi. Bogor (ID): IPB Pr.
Wibawan IWT. 2006a. Pemetaan dan Penyusunan Sistem Informasi Pengendalian
Penyebaran Avian Influenza (AI) di Provinsi Banten. Bogor (ID): Fakultas
Kedoktean Hewan IPB.
Wibawan IWT. 2006b. Kajian terhadap karakter virus avian influenza (AI) pada
unggas air sebagai dasar pengendalian AI. Bogor (ID): Fakultas Kedoktean
Hewan IPB.
Wibawan IWT, Soedjono RD, Murtini S, Mahardika IGK. 2008. Prospek
pemanfaatan telur ayam berkhasiat anti virus avian influenza dalam usaha
pengendalian infeksi virus flu burung dengan pendekatan pengebalan
pasif. JIPI. 13:158–163.
Wibawan IWT, Murtini S, Soedjoedono RD, Mahardika IGNK. 2009. Produksi
Ig-Y antivirus avian influenza H5N1 dan prospek pemanfaatannya dalam
pengebalan pasif. J Vet. 10(3):118–124.
Wibawan IWT. 2012. Manifestasi Subklinik Avian influenza pada Unggas:
Ancaman Kesehatan dan Penanggulannya. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
22
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, pada 11 November 1992
dan merupakan anak terakhir dari lima bersaudara, dengan bapak bernama Kemas
Dafri dan ibu bernama Mahniar. Penulis lulus dari SD Negeri 10 Pangkalpinang
pada tahun 2004, kemudian pada tahun 2007 lulus dari SMP Negeri 2
Pangkalpinang. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pangkalpinang tahun 2010 dan
pada tahun 2011 diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
(FKH IPB) melalui jalur ujian tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN).
Selama berkuliah di IPB, penulis aktif mengikuti berbagai organisasi,
diantaranya sebagai anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan
Bersama (DPM TPB) pada tahun 2011-2012, bendahara Organisasi Mahasiswa
Daerah (OMDA) Bangka pada tahun 2013-2014, dan anggota Himpunan Minat
Profesi Ornithologi dan Unggas periode 2012-2014. Penulis juga pernah menjadi
asisten praktikum mata kuliah Ilmu Bedah Umum Veteriner pada tahun ajaran
2014-2015. Pengalaman magang profesi liburan yang dimiliki penulis yaitu di
DNA Clinic pada tahun 2014. Penulis merupakan bagian dari rombongan
Mahasiswa Abdi Nusantara FKH IPB yang bekerjasama dengan Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau dalam program pemberantasan rabies di
Provinsi Riau pada bulan Agustus 2014.
Download