ARIYA DIPASENA BUAH DARI SUATU PERJUANGAN PANJANG

advertisement
ARIYA DIPASENA
BUAH DARI SUATU PERJUANGAN PANJANG
Mayarakat Desa Rancaiyuh, khususnya warga keturunan Tionghoa rata-rata
beragama Buddha yang tertera di KTP. Akan tetapi, masih banyak dari mereka
yang tidak mengerti agama Buddha itu, karena yang diikuti selama ini adalah tradisi
yang sudah turun temurun. Bila ditanyakan tentang sejarah, atau ajaran agama
Buddha itu apa, mereka tidak tahu, karena selama mereka tinggal disana tidak
pernah belajar agama Buddha.
Sekitar akhir tahun 1990, ada seorang Romo Pandita yang bernama
Dhammasvara (Tan Hok Jin) dari Magabudhi (waktu itu masih MAPANBUDHI)
mengajak beberapa pemuda dan orang tua berbincang tentang agama Buddha.
Pada akhirnya disepakati untuk diadakan kebaktian agama Buddha yang
kegiatannya menumpang di rumah bapak Edy Jaya. Pada saat itu hanya ada 16
orang umat yang kebaktian di tempat itu. Inilah awal dimana berkembangnya agama
Buddha di Desa Rancaiyuh.
Setelah
maka
kebaktian
dibentuklah
berjalan
kepengurusan
untuk pertama kali dengan ketua Lim
Eng Lan (kode Ongo). Waktu itu
belum ada nama, maka pengurus
membuat surat ke PC.MAPANBUDHI,
dan pada tanggal 21 April 1991, Romo
T. Harmanto memberi nama CETIYA
BUDDHI
DHAMMA
BHAKTI.
Kebaktian muda mudi, anak sekolah minggu, donor darah,
perayaan waisak 1995, merayakan 17 agustus
Berbagai
kegiatan
baik
keagamaan
(Magha Puja, Waisak, Asadha, Kathina),
juga
kegiatan
sosial
(donor
dilaksanakan dengan baik.
darah)
Pembinaan
dan pendidikan sekolah minggu juga
berjalan dengan baik.
Pada
tanggal 17 Juli 1991, cetiya Buddhi
Dhamma Bhakti mendapat pembinaan dari
Sangha Theravada Indonesia. Pada tahun
1993 ada satu orang pengurus Cetiya
Buddhi
Acara Tour ke Jogya, Tour anak sekolah minggu ke Lembang
Dhamma
Bhakti
mengikuti
Pabbajja Samanera di Vihara Mendut.
Umat Buddha di sekitar Desa Rancaiyuh juga belajar agama Buddha di
Cetiya Buddhi Dhamma Bhakti. Pada tahun 1992 didirikanlah Yayasan dengan
nama Buddhi Dhamma Bhakti, dengan tujuan untuk mendirikan tempat ibadah bagi
umat Buddha, dan bapak Edy Jaya selaku pemilik tempat menghibahkan sebagian
tanahnya kepada Yayasan untuk dibangun tempat ibadah. Pada awal pendirian
yayasan, semua badan pendiri dan pengurus harus diganti karena dianggap orangorang tersebut bermasalah di masa lalu. Maka dibuatlah badan pendiri dan
pengurus
yang
dengan
ketua
baru
Romo
Tasis Gunamitra (alm).
Pada
tanggal
Desember
Yayasan
11
1996,
ini
resmi
terdaftar di Departemen
Dari anak sekolah minggu Buddhi Dhamma Bhakti lah lahir kader kader Ariya Dpasena
Agama Direktorat Jenderal Urusan Agama Buddha.
Perjuangan panjang untuk meminta ijin kepada masyarakat dan pemerintah
saat itu sangat sulit. Pendekatan kepada para tokoh agama dan masyarakat
dilakukan dengan baik, akan tetapi tetap tidak mendapat ijin secara tertulis, hanya
secara lisan. Akhirnya pengurus menempuh jalan ke Sekda Kabupaten Tangerang.
Hari Senin tanggal 16 Desember 1996, pihak Sekda melakukan peninjauan lokasi
yang akan dibangun.
Setelah peninjauan lokasi, pada tanggal 12 April 1997, diprakarsai oleh
Departemen Agama Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang, bertempat di Balai
Desa Rancaiyuh, dilakukan konsultasi dengan tokoh masyarakat, ulama dan
instansi terkait tentang rencana pembangunan tempat ibadah untuk umat Buddha.
Namun konsultasi itu batal karena jumlah massa yang hadir tidak terbendung (ribuan
orang), untuk menghindari hal-hal yang tidak diingikan, beberapa tokoh agama
Buddha dan pihak dari Depag meninggalkan lokasi dan kembali ke Tangerang.
Situasi semakin tidak kondusif, massa menuntut agar pertemuan dan pembanguan
tempat ibadah dibatalkan, saat itu hanya tinggal satu orang pengurus cetiya, yang
lain sudah meninggalkan balai desa itu. Pengurus itu diminta berbicara di depan
massa bahwa rapat konsultasi dan pembangunan dibatalkan. Setelah pengurus itu
berbicara dan meyakinkan massa, akhirnya massa membubarkan diri. Setelah
kejadian ini semua kegiatan kebaktian yang sudah hampir tujuh tahun berhenti.
Meskipun kegiatan kebaktian dan sekolah minggu sudah dihentikan, tapi
pelayanan kepada umat tetap berjalan. Anak anak sekolah minggu yang mendapat
bimbingan tentang agama Buddha, yang beranjak remaja dan beberapa pemuda
terus
melayani pembacaan paritta untuk kematian, sakit, ulang tahun, pindah
rumah, dan lain lain, tetap berjalan dengan baik. Mereka punya mimpi/harapan suau
saat ingin memiliki tempat ibadah buat mereka. Tekad, keyakinan, semangat terus
membara di hati mereka. Setiap kali mereka berbuat baik, mereka bertekad agar
kebaikan yang mereka lakukan menjadi pendorong agar terwujudnya tempat
ibadah bagi umat Buddha di Desa Rancaiyuh.
Setelah 3 (tiga) tahun berjalan, mereka kembali berkumpul di rumah bapak
Gouw I Yan (alm) untuk kembali melakukan kebaktian dan pendidikan sekolah
minggu, tepatnya pada Hari MInngu tanggal 10 September 2000. Mereka kebaktian
menumpang di emperan rumah, dan semuanya rata rata para pemuda pemudi dan
remaja. Ketua pada saat itu adalah Bapak Gouw Orok dan wakilnya saudara HENDI
WIJAYA. Romo T. Harmanto kembali yang memberikan nama CETIYA ARIYA
DIPASENA. Nama
Ariya Dipasena dipilih oleh Romo T. Harmanto mengingat
beratnya perjuangan umat Buddha di Desa Rancaiyuh untuk memiliki tempat
ibadah. Nama inipun sempat diganti menjadi Ariya Dipa.
Setelah berjalan
satu tahun, kembali umat Cetiya Ariya Dipasena
merencanakan membangun tempat ibadah yang sederhana, karena khawatir
kejadian 1997 terulang. Timbunan kebajikan yang dilakukan selama sepuluh tahun
itupun berbuah tepat pada waktunya. Disaat itulah datang Bhikkhu Vijito (Romo
Pujianto), Bapak Antonius Lie dan keluarga, juga donatur lainnya datang ke CADS
untuk membantu pembangunan itu. Pihak keluarga dari Bapak Gouw I Yan (alm)
dengan
tulus
menghibahkan
seluas
494
tanahnya
M2
untuk
dibangun cetiya.
Akhirnya
umat
mengurus
kembali
surat-
surat, salah satunya surat
ijin
lingkungan
sebagai
PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN CETIYA ARIYA DIPASENA
persyaratan pembangunan tempat ibadah. Setelah surat ijin jadi, maka proses
peletakan batu pertama yang disaksikan oleh tokoh agama dan aparat pemerintah
Desa Rancaiyuh pada awal bulan Nopember 2001. Pada saat pembangunan sedang
berjalan, berkembang issu akan dilakukan pengrusakan tempat yang sedang
dibangun itu. Ternyata issu itupun terjadi, tepatnya pada tanggal 24 Nopember
2001sekitar pukul 22.15 wib, bangunan yang baru selesai pasang genteng itu
diserbu dan dihancurkan. Sebelum bangunan itu rata dengan tanah datang aparat
kepolisian mengamankan dan menangkap beberapa perusuh kemudian dibawa ke
POLRES Tangerang.
Selama beberapa perusuh ditahan di Polres Tangerang, massa terus
melakukan demontrasi agar yang ditangkap itu segera dibebaskan, kalu tidak maka
akan terjadi kerusuhan yang lebih besar. Pada tanggal 25 Nopember 2001,
bertempat di Polsek Cikupa, dibuatlah surat perjanjian antara umat Buddha yang
diwakili oleh Bapak Kim Jon dan pihak alim ulama diwakili oleh Bapak KH.
Aspuri.inti isi perjanjian itu bahwa para perusuh agar dibebaskan dan umat Buddha
tidak akan menuntut dalam bentuk apapun, dan pihak perusuh tidak akan
mengulangi perbuatannya dan tidak akan menggangu umat keturunan dalam
bermasyarakat dikemudian hari.
Pembangunan kembali dihentikan untuk menunggu keadaan kembali tenang.
Pada tanggal 27 Nopember 2001, diadakan pertemuan yang dihadiri oleh para
tokoh agama, Bapak Kepala Desa Rancaiyuh, M. Zen Deden Prades, dan para
donatur untuk mencari jalan damai agar pembangunan bisa dilanjutkan kembali.
Setelah keadaan kondusif, pembangunan itupun kembali dilanjutkan. Surat Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) juga dibuat dan dikeluarkan oleh Kecamatan Panongan
saat itu.
Setelah surat surat dilengkapi dan keadaan kembali tenang, pembangunan
itupun dilanjutkan. Umat Buddha dengan giatnya membantu pembangunan, hampir
setiap hari mereka bergotong
royong agar pembangunan itu
cepat selesai. Putra putra dari
bapak Gouw I Yan (alm) yang
menghibahkan tanah begitu
semangat
para
membantu,
pemuda
dan
juga
pemudi
yang dimotori oleh saudara
Hendi Wijaya, tour ke Vihara Mendut
Hendi Wijaya, Apik juga yang
lainnya, tanpa mengenal lelah terus membantu pembangunan itu. Mereka rela tidur,
makan di cetiya karena menginginkan agar kebaktian segera pindah ke tempat
yang baru.
Setelah ruang Dhammasala selesai, untuk menghilangkan kejenuhan,
beberapa pemuda dan pemudi refresing ke Anyer tepatnya tanggal 14 Juli 2002.
Pada tanggal itu pula umat Cetiya Ariya Dipasena BERDUKA. Pada saat berenag
di pantai, Hendi Wijaya, dan kekasihnya, Dede Metta, mereka terseret arus, Apik
(sepupu
Hendi)
berniat
menolong
mereka,
namun
ombak yang lebih besar datang
dan menarik mereka bertiga dan
tenggelam. Adik Hendi, Wandi
Kusmawan
yang
sedang
menikuti pabbajja samanera di
Vihara Mendut, diminta kembali
oleh orang tuanya dan lepas
Hendi Wijaya n Dede Metta
Apik yang menanam pohon Bodhi
jubah. Hendi Wijaya adalah salah satu kader yang mampu memimpin para pemuda
dan pemudi saat itu. Hendi Wijaya lah yang kembali mengajak para anak muda
untuk kembali mengadakan kebaktian di rumah Bapak Gouw I Yan (alm).
Dia
adalah salah satu yang juga melihat bagaimana pembangunan itu dihancurkan pada
tanggal 24 Nopember 2001, dia juga salah anak muda yang merasakan di demo
oleh ribuan orang di balai desa Rancaiyuh tahun 1997.
Tempat ibadah bagi umat Buddha dan sekitarnya itupun sudah jadi dan
berbagai kegiatan, baik keagamaan juga sosial dilaksanakan dengan baik. Di cetiya
Ariya Dipasena inilah lahir pemuda dan pemudi yang
menjadi kader-kader
PATRIA (Pemuda Theravada Indonesia), sampai sekarang. Umat Buddha yang
berkebaktian dan belajar di cetiya ini semakin banyak. Sekolah minggu juga sudah
dibagi sesuai tingkatan sekolah,
dari SD, SMP, dan SMK/SMA.
Cetiya hanya memiliki satu ruang
Dhammasala, jadi saat belajar
mereka
terkadang
harus
bergiliran,
mereka
belajar
dilorong antara Dhammasala dan
dapur.
Selain anak sekolah minggu, cetiya Ariya Dipasena ini juga kedatangan para
Bhikkhu Sangha yang memberikan pembinaan dan pelatihan bagi umat. Terkadang
bhikkhu yang dating lebih dari satu sedangkan kamar untuk tidur hanya satu itupun
kecil ruangannya. Kehadiran bhikkhu itu berkah bagi umat Buddha di cetiya itu,
karena selain dapat mendengarkan Dhamma juga berkesempatan berdana makanan
dan keperluan bhikkhu.
Berkah kembali datang buat umat di cetiya itu, keluarga besar dari Bapak
Gouw I Yan (alm) menghibahkan tanah seluas 135 M2, untuk dipergunakan ruang
belajar dan kuti untuk bhikkhu menginap. Total yang sudah dihibahkan jadi 629
M2. Akhirnya ruang kamar, dapur, dan toilet yang sudah tidak layak sekalian
dibongkar untuk dibangun yang baru. Maka dengan segala daya upaya panitia dan
bantuan dari para donatur, pada akhir tahun 2013 pembangunan untuk ruang
belajar dan kuti itu dilaksanakan. Rencana awal hanya dua lantai, karena ada
dorongan dari donatur ditambah lagi satu lantai untuk ruang meditasi.
Bangunan itu kini sudah berdiri dengan megah, dan pada bulan Juli 2014
cetiya memohon kepada Bhante Piyasilo untuk Vassa. Bhante juga mengundang
senior beliau dari Thailand untuk ikut vassa di Ariya Dipasena. Di tahun 2014 inilah
awal diadakannya kegiatan Pabbajja Samanera & Atthasilani masa vassa dan libur
lebaran. Di akhir tahun 2014 tepatnya tanggal 25 Desember sampai dengan 3
Januari 2015 kembali diadakan kegiatan Pabbajja Samanera & Atthasilani Umum
yang pertama. Program ini akhirnya dijadikan sebagai program kegiatan tahunan
BANGUNAN BARU UNTUK RUANG KELAS, KUTI, DAN RUANG MEDITASI DI LANTAI 3
oleh Cetiya Ariya Dipasena. Setiap akhir tahun diadakan program Pabbajja
Samanera & Atthasilani. (bisa dilihat di link pabbajja).
Download