Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan - E

advertisement
Zalizar
Jurnal Protein
Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan Terhadap Program Pengendalian
Penyakit Kecacingan pada Ayam Petelur: Studi Kasus Di Kabupaten Bogor
Lily Zalizar * F Satrija**, R Tiuria** dan DA Astuti***
 Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang
** Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
*** Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Email : [email protected]
ABTRACT
The Technical Services Preception to Control the Helminthosis in Layer : A Study Case in Bogor
Background : The technical services have wide access to know the real situation in some farming. On helminthosis
case, they could give information about worms’ kind that attack on layer frequently, the methods of worm’s control, and
the treatments. The study was to find out helminthosis problem and the treatment conducted by technical services to the
layer farms in Bogor District.
Methods : The studies were conducted in two phases. The first phase was the information collecting from the Technical
Service and questioner distribution while the second was reevaluation of questioner based on field condition in seven
layer farming.
Result : The result of the experiment concluded that the frequency of helminthosis cases in Bogor attacking layer
farming was quite high,i.e between 4 to 6 cases within ten times of visiting. The infection caused by Ascaridia galli (A.
galli) and cestode had reached 57,14 and 100 percent respectively in seven layer farms around Bogor District. The
anthelmintic frequently applied in farms consist of albendazole, piperazine and levamisole with the interval of
treatments between 2-6 months.
Key words : Helminthosis, Layer, Tehnical Services
ABSTRAK
Latar Belakang : Petugas layanan kesehatan hewan sebagai personil yang terjun langsung memantau peternakan ayam
petelur memiliki akses yang luas ke berbagai peternakan. Dalam kaitan dengan pengendalian kecacingan mereka
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis cacing yang sering berparasit pada ayam petelur serta metode
pengendalian kecacingan yang diterapkan termasuk jenis obat anti cacing (antelmintika) dan jadwal pengobatannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masalah kecacingan yang dihadapi dan tindakan pengobatan yang dilakukan
petugas layanan kesehatan hewan pada peternakan ayam petelur.
Metode : Studi ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama berupa pengumpulan informasi dari para petugas layanan
kesehatan hewan dengan cara penyebaran kuisioner. Pada tahap kedua, informasi yang dikumpulkan dari hasil analisis
kuisioner dikaji ulang dengan kondisi lapang melalui kegiatan sigi lapang di tujuh peternakan ayam petelur di
Kabupaten Bogor
Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan pendapat sebagian besar petugas layanan kesehatan hewan di
Kabupaten Bogor bahwa bahwa frekwensi kasus kecacingan pada peternakan ayam petelur cukup sering terjadi yaitu
antara 4 sampai 6 kasus dalam 10 kali kunjungan. Kejadian infeksi A. galli dan cacing cestoda masing-masing mencapai
57.14 dan 100 persen persen pada tujuh peternakan ayam petelur di wilayah Kabupaten Bogor. Jenis antelmintika yang
sering digunakan pada peternakan ayam petelur yaitu albendazol, piperazin dan levamisol dengan selang pemberian
antara 2-6 bulan.
Kata kunci : Kecacingan, peternakan ayam petelur, Petugas Layanan Kesehatan Hewan (TS)
140
Vol.13.No.2T.h.2006
PENDAHULUAN
Petugas
layanan
kesehatan
hewan
(veterinary technical service) merupakan wakil
dari perusahaan obat hewan yang memberikan
layanan dalam bidang kesehatan di peternakan.
Mereka merupakan ujung tombak yang terjun
langsung di lapangan. Dalam menangani
masalah–masalah penyakit ternak yang terjadi
termasuk
kecacingan
Umumnya
mereka
melakukan diagnosa penyakit, pengobatan dan
memberikan saran-saran yang berguna untuk
meningkatkan produktivitas peternakan.
Selama ini penelitian tentang kasus
kecacingan pada peternakan ayam petelur di
Indonesia jarang dilakukan akibat akses ke lokasi
tersebut terbatas sehubungan dilakukannya
program biosekuritas di peternakan yang
membatasi kunjungan tamu dari luar.
Petugas layanan kesehatan hewan sebagai
personil yang terjun langsung memantau
peternakan ayam petelur memiliki akses yang luas
ke berbagai peternakan sehingga mereka
merupakan salah satu sumber untuk menggali
informasi kasus yang terjadi di lapangan.
Dalam kaitan dengan pengendalian
kecacingan mereka diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai jenis cacing yang sering
berparasit pada ayam petelur serta metode
pengendalian kecacingan yang diterapkan
termasuk jenis obat anti cacing (antelmintika) dan
jadwal pengobatannya.
Studi ini dilakukan pada peternakan ayam
petelur untuk memperoleh gambaran mengenai
masalah kecacingan yang dihadapi oleh petugas
layanan kesehatan hewan di lapangan, serta upaya
yang dilakukan peternak untuk mencegahnya.
Selain itu informasi tentang jenis antelmintika dan
metode aplikasi yang digunakan pada peternakan
ayam petelur juga dapat digali dari studi ini.
Diharapkan informasi ini akan menjadi dasar
dalam perencanaan program pengendalian
kecacingan yang efektif dan berkelanjutan di
peternakan ayam petelur.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Studi ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap
pertama berupa pengumpulan informasi dari para
petugas layanan kesehatan hewan dengan cara
penyebaran kuisioner. Pada tahap kedua,
informasi yang dikumpulkan dari hasil analisis
Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan
kuisioner dikaji ulang dengan kondisi lapang
melalui kegiatan sigi lapang di tujuh peternakan
ayam petelur di Kabupaten Bogor. Kegiatan
tersebut berlangsung dari bulan Maret sampai Juli
2003.
Studi Persepsi Petugas Layanan Kesehatan
Hewan
Studi ini dilakukan dengan mengirimkan
kuisioner kepada 20 orang para petugas kesehatan
hewan yang biasa bertugas di peternakanpeternakan ayam petelur di daerah Kabupaten
Bogor. Pemilihan responden pada studi ini
dilakukan dengan cara porposif sampling yaitu
sampel diambil berdasarkan kriteria-kriteria
sebagai berikut : petugas kesehatan hewan yang
diberi kuisioner harus mempunyai pendidikan
tinggi yang berhubungan dengan kesehatan ternak
atau peternakan, mempunyai pengalaman bekerja
minimal 1 tahun dan bekerja di peternakan ayam
petelur pada wilayah seperti tersebut di atas.
Kuisioner dikirim melalui pos atau diantar
langsung perusahaan obat hewan tempat petugas
layanan kesehatan hewan bekerja. Ada 3
perusahan obat yang mendapat kuisioner dalam
kegiatan ini (perusahaan A,B dan C masingmasing 10,5 dan 5 orang). Informasi yang digali
dengan kuisioner meliputi frekuensi kejadian
penyakit kecacingan pada ayam petelur, jenis
cacing yang sering ditemukan, jenis antelmintika
yang biasa digunakan, cara dan selang waktu
pemberian antelmintika, cara penentuan dosis
antelmintika serta upaya yang dilakukan peternak
untuk mencegah kasus kecacingan dari sudut
pandang serta hasil pengamatan sehari-hari para
petugas kesehatan hewan di lapangan.
Sigi Lapang di Peternakan Ayam Petelur
Sigi lapang dilakukan di tujuh peternakan
yang merupakan sentra peternakan ayam petelur
Kabupaten Bogor antara lain meliputi Kecamatan
Kemang (3 peternakan), Parung (1 peternakan),
Bojong Gede (1 peternakan) dan Gunung Sindur
(2 peternakan). Peternakan yang dipilih
mempunyai populasi minimal 20.000 ekor ayam.
Informasi mengenai masalah kecacingan dan
metode pengendalian yang diterapkan di
peternakan yang dikunjungi, dikumpulkan dengan
cara mewawancarai peternak atau petugas
(manajer farm/mandor) yang ada di masingmasing lokasi. Hasil wawancara pada peternak
(petugas) di peternakan akan memberikan
141
Zalizar
Jurnal Protein
gambaran mengenai populasi ayam, jenis ayam
yang dipelihara, jenis antelmintika, berapa lama
menggunakan antelmintika serta jangka waktu
pemberian antelmintika.
Selanjutnya dilakukan pengambitan sampel
tinja masing-masing sebanyak 20 sampel dari
setiap peternakan (20 x 7 peternakan = 140
sampel). Sampel yang diambil merupakan
representasi dari flok ayam yang sedang
berproduksi. Dari setiap peternakan juga
dinekropsi 5 ekor ayam (5 x 7= 35 sampel) untuk
untuk melihat jumlah dan jenis cacing yang
menginfeksi.
Tehnik Parasitologi
Jumlah telur tiap gram tinja dihitung dengan
memakai metode McMaster yang dimodifikasi
dengan sensitifitas 100 butir telur cacing dalam
tiap gram tinja. Dua gram feses dilarutkan dalam
58 ml larutan campuran garam dan gula jenuh.
Campuran tersebut diaduk rata dan disaring.
Suspensi tinja dihomogenkan dan dengan cepat
dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster
dengan menggunakan pipet. Setelah itu ditunggu
beberapa menit dan kemudian dihitung di bawah
mikroskop dengan pembesaran 100x.
Koleksi dan identifikasi cacing saluran
pencernaan dilakukan dengan menyembelih ayam
dan mengeluarkan saluran pencernaan dari dalam
tubuh ayam. Saluran pencernaan yang terdiri dari
organ esofagus, tembolok, proventrikulus, usus
halus serta usus besar ditempatkan dalam tempat
terpisah. Setiap organ dibuka dan dilakukan
pengamatan pada lumen dan hasil kerokan pada
selaput lendir saluran pencernaan. Seluruh cacing
yang didapatkan dibersihkan dengan larutan NaCl
fisiologis lalu diidentifikasi di bawah mikroskop.
Analisis Data
Data studi persepsi petugas layanan
kesehatan hewan dan hasil sigi lapang pada
peternakan ayam petelur dianalisis dengan metode
statistik deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
1. Profil Petugas Layanan Kesehatan Hewan
Dari sebanyak 20 kuisoner yang
disebarkan, penulis mendapatkan jawaban
dari 18 orang responden (90 persen). Semua
responden
memiliki
latar
belakang
berpendidikan tinggi yaitu dokter hewan
(77,78 persen) dan sarjana peternakan (22,22
persen). Responden memiliki pengalaman
kerja paling sedikit 1 tahun 10 bulan,
sedangkan pengalaman kerja paling lama 13
tahun. Sebagian besar responden memiliki
pengalaman kerja 6 – 10 tahun.
2. Persepsi Petugas Kesehatan Hewan
Terhadap Kasus Kecacingan di Peternakan
Ayam Petelur.
Sebagian besar responden (55,56
persen) berpendapat bahwa frekuensi
kecacingan pada ayam petelur cukup sering
terjadi (Tabel 1). Infeksi campuran antara
nematoda dan cestoda merupakan kasus yang
paling banyak ditemukan di lapangan (50
persen), disusul infeksi tunggal cestoda dan
nematoda masing-masing 38,89 dan 11,11
persen. Tidak ada responden yang
menyatakan pernah mendapatkan infeksi
trematoda (Tabel 2)
Tabel 1. Frekwensi Kasus Kecacingan Pada Ayam Petelur
Frekwensi Kasus
Jumlah Responden (orang)
sering*)
0
**)
cukup sering
10
jarang***)
8
Total
18
Persentase (%)
0,00
55,55
44,45
100
*)
7-10 kasus dalam 10 kunjungan
4-6 kasus dalam 10 kunjungan
***)
< 4 kasus dalam 10 kunjungan
**)
Berdasarkan pengamatan sebagian
besar responden (83,33 persen), peternak
memberikan antelmintika secara rutin dalam
upaya mencegah kasus kecacingan pada
peternakan ayam petelur. Meskipun demikian
142
16,67 persen reponden menyatakan bahwa
pemberian antelmintika hanya dilakukan
apabila sudah terdeteksi di peternakan
tersebut ada cacing pada pemeriksaan setelah
mati
Vol.13.No.2T.h.2006
Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan
Tabel 2. Jenis Cacing yang Sering Ditemukan pada Peternakan Ayam Petelur
Jenis Cacing
Jumlah Responden (orang)
Persentase (%)
Hanya cestoda
9
38,89
Cestoda dan nematoda
7
50,00
Hanya nematoda
2
11,11
Trematoda
0
0
Total
18
100
*)
7-10 kasus dala
Dari peternakan yang menggunakan
antelmintika secara rutin (15 responden),
persentase responden yang berpendapat
pemberian antelmintika dilakukan 2 bulan
sekali 33,33 persen dan 3 bulan sekali 66,67
persen (Tabel 3). Jenis antelmintika yang
paling sering digunakan di peternakan ayam
petelur menurut sebagian besar responden
(33,33 persen) adalah obat cacing dari klas
benzimidazol
dan
piperazin,
disusul
kombinasi dari benzimidazol, piperazin dan
levamisol (22,22 persen), benzimidazol dan
levamisol
(16,67
persen),
piperazin,
niklosamid dan levamisol (11,11 persen),
piperazin dan niklosamid (5,56 persen) dan
yang hanya menggunakan salah satu piperazin
atau benzilmidazol saja masing-masing yaitu
5,56 persen.(Tabel 4)
Tabel 3. Jadwal Pemberian Antelmintika
Selang Waktu (bulan)
Jumlah Responden (orang)
2 bulan sekali
3 bulan sekali
6 bulan sekali
Total
Sebagian besar responden (94,44
persen) menyatakan bahwa dalam penentuan
dosis
antelmintika
didasarkan
pada
beratbadan rata-rata ayam. Hanya sedikit dari
para responden (5,56 persen) yang
5
10
0
15
33,33
66,67
0,00
100
memberikan pengobatan antelmintika dengan
dosis yang berdasarkan berat badan ayam
yang terbesar dari kelompok yang akan
diobati.
Tabel 4. Jenis Antelmintika yang Digunakan Peternak
Jenis antelmintika
Jumlah responden (orang)
Kelompok Benzimidazol (BZ)
1
Piperazine
1
BZ + Piperazine
6
BZ + Levamisole
3
Piperazine + Niklosamid
1
BZ + Piperazine + Levamisole
4
Piperazine + Niklosamid + levamisol
2
Total
18
Pengamatan para petugas layanan
kesehatan hewan menunjukkan bahwa
peternak
umumnya
menggunakan
antelmintika yang sama selama lebih dari 3
tahun
berturut-turut
(77,78
persen).
Responden ada juga yang berpendapat (22,22
Persentase (%)
Persentase (%)
5,56
5,56
33,33
16,66
5,56
22,22
11,11
100
persen), bahwa para peternak sudah
menjalankan
rotasi
dalam
pemberian
antelmintika.
Sebagian besar para responden (88,89
persen) berpendapat bahwa kasus kecacingan
susah dihilangkan dari lingkungan peternakan
143
Zalizar
ayam petelur walaupun sudah rutin diberi
antelmintika. Namun ada juga responden
(11,11 persen) yang berpendapat setelah rutin
diberi antelmintika maka kasus kecacingan
tidak ada lagi.
3. Hasil Sigi Lapang di Peternakan Ayam
Petelur di Kabupaten Bogor
Hasil
pengamatan
pada
tujuh
peternakan ayam petelur di Kabupaten Bogor
memperlihatkan jenis ayam yang dipelihara
yaitu tipe sedang (Isa Brown dan Lohman
Brown) yang menghasilkan telur yang
berwarna coklat. Populasi ayam petelur yang
dipelihara berkisar antara 20000 sampai
100000 ekor. Umumnya peternakan (farm)
tersebut memberikan antelmintika secara
teratur dengan selang waktu 2 bulan (1 farm);
3 bulan (3 farm) dan 6 bulan sekali (2 farm),
sedangkan satu farm lainnya hanya
melakukan pengobatan apabila ada kasus.
Sedangkan antelmintika yang biasa digunakan
yaitu albendazol, piperazin dan levamisol atau
kombinasinya. Peternakan A, B, C, F dan G
sudah menggunakan antelmintika yang sama
terus-menerus masing-masing selama 11, 10,
3, 4 dan 4 tahun. Sedangkan pada peternakan
C dan D tidak didapatkan data mengenai hal
tersebut.
Semua peternakan yang merupakan
sampel dalam penelitian ini seluruhnya positif
terinfeksi cacing. Pengamatan yang dilakukan
mulai
dari
esofagus,
tembolok,
proventrikulus, ventrikulus, usus halus, kolon,
sekum dan rektum didapatkan cacing hanya
pada bagian usus halus ayam. Adapun jenis
cacing yang ditemukan pada usus halus ayam
hanya ada 2 yaitu cacing nematoda A. galli
dan cacing cestoda.
Cacing cestoda ditemukan pada semua
peternakan, sedangkan cacing A. galli
ditemukan pada 4 peternakan. Prevalensi
kecacingan pada ketujuh peternakan tersebut
mencapai 66,66 persen. Kejadian infeksi A.
galli di tujuh peternakan tersebut mencapai
57.14 persen dan kejadian infeksi cestoda
mencapai 100 persen.
Kisaran TTGT pada infeksi A. galli
cukup jauh yaitu antara 100-1470 telur tiap
gram tinja. Hal ini menunjukkan bahwa
derajat infeksi A. galli cukup bervariasi. Pada
setiap ayam yang positif kecacingan A. galli
144
Jurnal Protein
ditemukan rata-rata 297 telur cacing tiap gram
tinja (Tabel 4).
Pemeriksaan TTGT menunjukkan tidak
semua peternakan yang diperiksa positif
ditemukan telur cacing cestoda, namun hasil
pemeriksaan pasca mati menunjukkan
ditemukan cacing cestoda pada setiap
peternakan. Pada setiap ayam yang positif
cacing cestoda ditemukan rata-rata 250 telur
cacing tiap gram tinja.
Responden terdiri dari dokter hewan
dan sarjana peternakan yang mempunyai
pengalaman kerja yang cukup lama sehingga
dianggap pengetahuan mereka tentang
penyakit kecacingan dan antelmintika cukup
memadai.
Sebagian
besar
responden
berpendapat bahwa kasus kecacingan cukup
sering terjadi pada peternakan ayam petelur
komersial, walaupun peternakan tersebut
dikelola secara modern. Hasil sigi lapang
pada tujuh peternakan ayam petelur di
kabupaten di Bogor, mendukung pendapat
para responden, terlihat bahwa semua
peternakan semuanya positif terkena infeksi
cacing dengan prevalensi mencapai 66,66
persen. Kejadian infeksi cacing A. galli pada
peternakan tersebut mencapai 57,14 persen.
Sedangkan kejadian infeksi cestoda mencapai
seratus persen pada tujuh peternakan tersebut.
Hal yang perlu diperhatikan adalah karena
pada ke-7 peternakan tersebut positif terkena
infeksi cacing maka kemungkinan besar pada
peternakan lain pun akan ditemukan infeksi
cacing.
Menurut sebagian besar responden
(47,27 persen), cacing dari klas cestoda dan
nematoda merupakan jenis yang sering
ditemukan pada peternakan ayam petelur
Hasil survei di wilayah Bogor, mendukung
pendapat para responden karena cacing yang
ditemukan pada survei tersebut hanya ada 2
yaitu A. galli (nematoda) dan cestoda serta
tidak ditemukan satu ekorpun cacing dari
klas trematoda. Hal tersebut kemungkinan
karena
cacing
trematoda
umumnya
memerlukan siput sebagai inang antara,
misalnya cacing Echinostoma revolutum yang
merupakan trematoda parasit pada unggas
memerlukan inang antara siput Lymnaea
rubiginosa.6
Seluruh responden berpendapat bahwa
dalam upaya untuk mencegah penyakit
kecacingan para peternak memberikan
Vol.13.No.2T.h.2006
antelmintika. Sebagian besar responden
(83,33 persen) berpendapat bahwa peternak
umumnya memberikan antelmintika secara
rutin. Namun sebagian kecil responden (16,67
persen) berpendapat pemberian antelmintika
hanya diberikan apabila ada kasus saja.
Pengamatan penulis pada saat sigi lapang
ternyata pemberian antelmintika diberikan
terus menerus dengan jadwal tertentu tanpa
pernah diadakan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui derajat kecacingan setelah
pemberian antelmintika.
Dikhawatirkan
apabila pemberian antelmintika diberikan
secara terus- menerus akan terjadi resistensi
terhadap obat tersebut. Salah satu cara agar
tidak terjadi resistensi terhadap antelmintika,
maka penggunaan obat tersebut hanya dalam
kondisi benar- benar diperlukan. Apabila
semua peternakan ayam membiasakan diri
untuk
secara
berkala
mengadakan
pemeriksaan jumlah telur cacing tiap gram
tinja (TTGT), maka akan didapatkan data saat
dimana terjadi peningkatan derajat infeksi
yang memerlukan pengobatan dengan segera.
Hal tersebut akan menyebabkan penggunaan
antelmintika dilakukan secermat mungkin.2
Sebagian besar responden berpendapat
(94,44 persen) walaupun antelmintika
diberikan secara rutin namun kasus
kecacingan tetap ada, hanya sebagian kecil
(5,56 persen) yang berpendapat bahwa kasus
kecacingan sudah tidak ada lagi setelah
pemberian antelmintika secara rutin. Hasil
sigi lapang mendukung pendapat para
responden, kasus kecacingan di sejumlah
peternakan di kabupaten Bogor tetap ada
walaupun rutin diberikan antelmintika. Hal
tersebut
menunjukkan
pertama
ada
kemungkinan efikasi antelmintika menurun
karena penggunaannya yang terus-menerus
selama bertahun-tahun. Kemungkinan kedua
bahwa selama sumber penularan infeksi
cacing tidak dihilangkan maka parasit cacing
akan terus menginfeksi ayam.
Pengamatan responden dan sigi lapang
memperlihatkan
peternak
biasanya
menggunakan antelmintika dari jenis yang
sama selama lebih dari 3 tahun berturut- turut,
bahkan peternakan A dan B menggunakan
antelmintika yang sama selama 11 dan 10
tahun berturut turut. Frekwensi pemberian
antelmintika dengan jenis yang sama dalam
jangka lama dapat menyebabkan terjadinya
Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan
resistensi cacing terhadap antelmintika
tersebut.5 Dari hasil pengamatan juga terlihat
walaupun peternak memberikan albendazole
yang sudah dipercaya dapat membunuh
semua jenis cacing baik dari klas nematoda,
cestoda maupun trematoda namun cacing
cestoda masih tetap ditemukan.
Sebagian besar responden memakai
berat badan rata-rata dalam penentuan jumlah
dosis antelmintika yang akan diberikan, hal
ini kemungkinan akan menyebabkan ayamayam dengan berat badan yang lebih besar
dari rata-rata di floknya akan mendapatkan
dosis obat yang kurang dari kebutuhannya,
sehingga kemungkinan akan menyebabkan
timbulnya populasi cacing yang dapat
mengembangkan kekebalannya terhadap
antelmintika karena tidak terpapar oleh
antelmintika dengan optimum. Pemberian
antelmintika harus memperhitungkan berat
badan terbesar dari kelompok ayam tersebut.2
Namun peternak kadang-kadang memberikan
antelmintika dengan dosis yang lebih rendah
dari dosis anjuran untuk menghemat biaya
atau mengira ternaknya tidak sakit.1
Hasil pengamatan survei menunjukkan
bahwa rataan TTGT per ekor ayam yang
terinfeksi A. galli dan cacing cestoda masingmasing sebesar 297 dan 250 telur. Hal
tersebut
menunjukkan
derajat
infeksi
kecacingan pada peternakan ayam petelur
yang rutin memberikan antelmintika di
Kabupaten Bogor termasuk ringan, namun
tetap perlu diwaspadai karena sifat parasit
yang mengambil zat-zat makanan dari inang,
sehingga menyebabkan berat badan dan
produktivitas menjadi rendah. Dalam jangka
waktu 20 minggu setelah diinfeksi 1000 telur
cacing. A.galli, terjadi penurunan berat badan
sebesar 600 g sehingga lebih kurang setiap
ekor cacing A. galli menyebabkan penurunan
berat badan sebesar 4,28 g per hari.3 Infeksi A.
galli dengan dosis 500 telur infektif
menyebabkan penurunan berat telur sebesar
5,35 persen dan kerugian pertahun mencapai
Rp 142.096.000,00 dengan asumsi populasi
20.000 ekor, produksi /ekor/tahun 16,6 Kilo
gram telur dan harga telur Rp 8000,00/kg.
Selain itu parasit tersebut menyebabkan tebal
kerabang lebih tipis 5,55 persen dibandingkan
kelompok yang bebas infeksi (Zalizar L.,
2006).
145
Zalizar
SIMPULAN DAN SARAN
Jurnal Protein
and Goats in Indonesia. International Seminar of
Parasitology and the 9th Congress of IPDCA, 1112 September 2002, Bogor Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan persepsi petugas kesehatan
hewan dan hasil survei di lapangan didapatkan
simpulan bahwa:
1. Menurut pendapat sebagian besar petugas
layanan kesehatan hewan di Kabupaten
Bogor, frekwensi kasus kecacingan pada
peternakan ayam petelur cukup sering terjadi
yaitu antara 4 sampai 6 kasus dalam 10 kali
kunjungan.
2. Pada tujuh peternakan ayam petelur di
Kabupaten Bogor, kejadian infeksi cacing
Ascaridia galli dan cestoda masing-masing
mencapai 57.14 dan 100 persen. Prevalensi
penyakit kecacingan pada peternakan tersebut
mencapai 61.11 persen.
3. Jenis antelmintika yang sering digunakan
pada peternakan ayam petelur yaitu
albendazol, piperazin dan levamisol dengan
selang pemberian antara 2-6 bulan.
4. Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT)
pada ayam yang terinfeksi A. galli dan
cestoda masing-masing yaitu 297 dan 250.
5. Pada peternakan ayam petelur di di
Kabupaten Bogor ditemukan penggunaan
antelmintika dengan jenis yang sama berturutturut selama lebih dari 3 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Beriajaya, 2002. Animal Markets as a Sources of
Dispersal of Anthelmintic Resistance on Sheep
146
Bjorn H., 1992. Anthelmintic Resistance in
Parasitic Nematodes of Domestic Animals. A
Review with Reference to the Situation in the
Situation in the Nordic Counters. Bull Scand Soc
Parasitol 2: 9-29
Matta SC and Ahluwalia SS., 1980. Studies on
Effect of Ascaridia galli Infection on Growth Rate
of Chicks. Indian Journal of Poultry Science 15
(1): 1-4
Ridwan Y, Satrija F, Novianti E, Retnani EB,
Tiuria R., 2000. Resistensi Haemonchus contortus
terhadap Albendazol pada Peternakan Domba di
Bogor. Prosiding International Seminar of Soil
Transmitted Helminth dan Seminar Nasional
Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik
Indonesia, Bali 21-24 Februari 2000.
Salisch H., 1989. Recent Developments in the
Chemotherapy of Parasitic Infection of Poultry.
World´s Poultry Science Journal 45: 115-124
Zalizar L, S He, S Kusumamihardja dan Arie
Budiman, 1992. Berbagai Siput sebagai Inang
Antara Cacing Trematoda Echinostoma revolutum
di Bogor Jawa Barat. I. Lymnaea rubiginosa.
Jurnal Hemera Zoa 75 (3): 38-43
Zalizar L., 2006. Dampak Infeksi Nematoda
Parasitik Ascaridia galli dan Pemberian
Antelmintika terhadap Kinerja Ayam petelur.
Disertasi.
Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.
Download