Zalizar Jurnal Protein Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan Terhadap Program Pengendalian Penyakit Kecacingan pada Ayam Petelur: Studi Kasus Di Kabupaten Bogor Lily Zalizar * F Satrija**, R Tiuria** dan DA Astuti*** Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang ** Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor *** Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Email : [email protected] ABTRACT The Technical Services Preception to Control the Helminthosis in Layer : A Study Case in Bogor Background : The technical services have wide access to know the real situation in some farming. On helminthosis case, they could give information about worms’ kind that attack on layer frequently, the methods of worm’s control, and the treatments. The study was to find out helminthosis problem and the treatment conducted by technical services to the layer farms in Bogor District. Methods : The studies were conducted in two phases. The first phase was the information collecting from the Technical Service and questioner distribution while the second was reevaluation of questioner based on field condition in seven layer farming. Result : The result of the experiment concluded that the frequency of helminthosis cases in Bogor attacking layer farming was quite high,i.e between 4 to 6 cases within ten times of visiting. The infection caused by Ascaridia galli (A. galli) and cestode had reached 57,14 and 100 percent respectively in seven layer farms around Bogor District. The anthelmintic frequently applied in farms consist of albendazole, piperazine and levamisole with the interval of treatments between 2-6 months. Key words : Helminthosis, Layer, Tehnical Services ABSTRAK Latar Belakang : Petugas layanan kesehatan hewan sebagai personil yang terjun langsung memantau peternakan ayam petelur memiliki akses yang luas ke berbagai peternakan. Dalam kaitan dengan pengendalian kecacingan mereka diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis cacing yang sering berparasit pada ayam petelur serta metode pengendalian kecacingan yang diterapkan termasuk jenis obat anti cacing (antelmintika) dan jadwal pengobatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masalah kecacingan yang dihadapi dan tindakan pengobatan yang dilakukan petugas layanan kesehatan hewan pada peternakan ayam petelur. Metode : Studi ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama berupa pengumpulan informasi dari para petugas layanan kesehatan hewan dengan cara penyebaran kuisioner. Pada tahap kedua, informasi yang dikumpulkan dari hasil analisis kuisioner dikaji ulang dengan kondisi lapang melalui kegiatan sigi lapang di tujuh peternakan ayam petelur di Kabupaten Bogor Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan pendapat sebagian besar petugas layanan kesehatan hewan di Kabupaten Bogor bahwa bahwa frekwensi kasus kecacingan pada peternakan ayam petelur cukup sering terjadi yaitu antara 4 sampai 6 kasus dalam 10 kali kunjungan. Kejadian infeksi A. galli dan cacing cestoda masing-masing mencapai 57.14 dan 100 persen persen pada tujuh peternakan ayam petelur di wilayah Kabupaten Bogor. Jenis antelmintika yang sering digunakan pada peternakan ayam petelur yaitu albendazol, piperazin dan levamisol dengan selang pemberian antara 2-6 bulan. Kata kunci : Kecacingan, peternakan ayam petelur, Petugas Layanan Kesehatan Hewan (TS) 140 Vol.13.No.2T.h.2006 PENDAHULUAN Petugas layanan kesehatan hewan (veterinary technical service) merupakan wakil dari perusahaan obat hewan yang memberikan layanan dalam bidang kesehatan di peternakan. Mereka merupakan ujung tombak yang terjun langsung di lapangan. Dalam menangani masalah–masalah penyakit ternak yang terjadi termasuk kecacingan Umumnya mereka melakukan diagnosa penyakit, pengobatan dan memberikan saran-saran yang berguna untuk meningkatkan produktivitas peternakan. Selama ini penelitian tentang kasus kecacingan pada peternakan ayam petelur di Indonesia jarang dilakukan akibat akses ke lokasi tersebut terbatas sehubungan dilakukannya program biosekuritas di peternakan yang membatasi kunjungan tamu dari luar. Petugas layanan kesehatan hewan sebagai personil yang terjun langsung memantau peternakan ayam petelur memiliki akses yang luas ke berbagai peternakan sehingga mereka merupakan salah satu sumber untuk menggali informasi kasus yang terjadi di lapangan. Dalam kaitan dengan pengendalian kecacingan mereka diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis cacing yang sering berparasit pada ayam petelur serta metode pengendalian kecacingan yang diterapkan termasuk jenis obat anti cacing (antelmintika) dan jadwal pengobatannya. Studi ini dilakukan pada peternakan ayam petelur untuk memperoleh gambaran mengenai masalah kecacingan yang dihadapi oleh petugas layanan kesehatan hewan di lapangan, serta upaya yang dilakukan peternak untuk mencegahnya. Selain itu informasi tentang jenis antelmintika dan metode aplikasi yang digunakan pada peternakan ayam petelur juga dapat digali dari studi ini. Diharapkan informasi ini akan menjadi dasar dalam perencanaan program pengendalian kecacingan yang efektif dan berkelanjutan di peternakan ayam petelur. MATERI DAN METODE PENELITIAN Studi ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama berupa pengumpulan informasi dari para petugas layanan kesehatan hewan dengan cara penyebaran kuisioner. Pada tahap kedua, informasi yang dikumpulkan dari hasil analisis Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan kuisioner dikaji ulang dengan kondisi lapang melalui kegiatan sigi lapang di tujuh peternakan ayam petelur di Kabupaten Bogor. Kegiatan tersebut berlangsung dari bulan Maret sampai Juli 2003. Studi Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan Studi ini dilakukan dengan mengirimkan kuisioner kepada 20 orang para petugas kesehatan hewan yang biasa bertugas di peternakanpeternakan ayam petelur di daerah Kabupaten Bogor. Pemilihan responden pada studi ini dilakukan dengan cara porposif sampling yaitu sampel diambil berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut : petugas kesehatan hewan yang diberi kuisioner harus mempunyai pendidikan tinggi yang berhubungan dengan kesehatan ternak atau peternakan, mempunyai pengalaman bekerja minimal 1 tahun dan bekerja di peternakan ayam petelur pada wilayah seperti tersebut di atas. Kuisioner dikirim melalui pos atau diantar langsung perusahaan obat hewan tempat petugas layanan kesehatan hewan bekerja. Ada 3 perusahan obat yang mendapat kuisioner dalam kegiatan ini (perusahaan A,B dan C masingmasing 10,5 dan 5 orang). Informasi yang digali dengan kuisioner meliputi frekuensi kejadian penyakit kecacingan pada ayam petelur, jenis cacing yang sering ditemukan, jenis antelmintika yang biasa digunakan, cara dan selang waktu pemberian antelmintika, cara penentuan dosis antelmintika serta upaya yang dilakukan peternak untuk mencegah kasus kecacingan dari sudut pandang serta hasil pengamatan sehari-hari para petugas kesehatan hewan di lapangan. Sigi Lapang di Peternakan Ayam Petelur Sigi lapang dilakukan di tujuh peternakan yang merupakan sentra peternakan ayam petelur Kabupaten Bogor antara lain meliputi Kecamatan Kemang (3 peternakan), Parung (1 peternakan), Bojong Gede (1 peternakan) dan Gunung Sindur (2 peternakan). Peternakan yang dipilih mempunyai populasi minimal 20.000 ekor ayam. Informasi mengenai masalah kecacingan dan metode pengendalian yang diterapkan di peternakan yang dikunjungi, dikumpulkan dengan cara mewawancarai peternak atau petugas (manajer farm/mandor) yang ada di masingmasing lokasi. Hasil wawancara pada peternak (petugas) di peternakan akan memberikan 141 Zalizar Jurnal Protein gambaran mengenai populasi ayam, jenis ayam yang dipelihara, jenis antelmintika, berapa lama menggunakan antelmintika serta jangka waktu pemberian antelmintika. Selanjutnya dilakukan pengambitan sampel tinja masing-masing sebanyak 20 sampel dari setiap peternakan (20 x 7 peternakan = 140 sampel). Sampel yang diambil merupakan representasi dari flok ayam yang sedang berproduksi. Dari setiap peternakan juga dinekropsi 5 ekor ayam (5 x 7= 35 sampel) untuk untuk melihat jumlah dan jenis cacing yang menginfeksi. Tehnik Parasitologi Jumlah telur tiap gram tinja dihitung dengan memakai metode McMaster yang dimodifikasi dengan sensitifitas 100 butir telur cacing dalam tiap gram tinja. Dua gram feses dilarutkan dalam 58 ml larutan campuran garam dan gula jenuh. Campuran tersebut diaduk rata dan disaring. Suspensi tinja dihomogenkan dan dengan cepat dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet. Setelah itu ditunggu beberapa menit dan kemudian dihitung di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x. Koleksi dan identifikasi cacing saluran pencernaan dilakukan dengan menyembelih ayam dan mengeluarkan saluran pencernaan dari dalam tubuh ayam. Saluran pencernaan yang terdiri dari organ esofagus, tembolok, proventrikulus, usus halus serta usus besar ditempatkan dalam tempat terpisah. Setiap organ dibuka dan dilakukan pengamatan pada lumen dan hasil kerokan pada selaput lendir saluran pencernaan. Seluruh cacing yang didapatkan dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis lalu diidentifikasi di bawah mikroskop. Analisis Data Data studi persepsi petugas layanan kesehatan hewan dan hasil sigi lapang pada peternakan ayam petelur dianalisis dengan metode statistik deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 1. Profil Petugas Layanan Kesehatan Hewan Dari sebanyak 20 kuisoner yang disebarkan, penulis mendapatkan jawaban dari 18 orang responden (90 persen). Semua responden memiliki latar belakang berpendidikan tinggi yaitu dokter hewan (77,78 persen) dan sarjana peternakan (22,22 persen). Responden memiliki pengalaman kerja paling sedikit 1 tahun 10 bulan, sedangkan pengalaman kerja paling lama 13 tahun. Sebagian besar responden memiliki pengalaman kerja 6 – 10 tahun. 2. Persepsi Petugas Kesehatan Hewan Terhadap Kasus Kecacingan di Peternakan Ayam Petelur. Sebagian besar responden (55,56 persen) berpendapat bahwa frekuensi kecacingan pada ayam petelur cukup sering terjadi (Tabel 1). Infeksi campuran antara nematoda dan cestoda merupakan kasus yang paling banyak ditemukan di lapangan (50 persen), disusul infeksi tunggal cestoda dan nematoda masing-masing 38,89 dan 11,11 persen. Tidak ada responden yang menyatakan pernah mendapatkan infeksi trematoda (Tabel 2) Tabel 1. Frekwensi Kasus Kecacingan Pada Ayam Petelur Frekwensi Kasus Jumlah Responden (orang) sering*) 0 **) cukup sering 10 jarang***) 8 Total 18 Persentase (%) 0,00 55,55 44,45 100 *) 7-10 kasus dalam 10 kunjungan 4-6 kasus dalam 10 kunjungan ***) < 4 kasus dalam 10 kunjungan **) Berdasarkan pengamatan sebagian besar responden (83,33 persen), peternak memberikan antelmintika secara rutin dalam upaya mencegah kasus kecacingan pada peternakan ayam petelur. Meskipun demikian 142 16,67 persen reponden menyatakan bahwa pemberian antelmintika hanya dilakukan apabila sudah terdeteksi di peternakan tersebut ada cacing pada pemeriksaan setelah mati Vol.13.No.2T.h.2006 Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan Tabel 2. Jenis Cacing yang Sering Ditemukan pada Peternakan Ayam Petelur Jenis Cacing Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Hanya cestoda 9 38,89 Cestoda dan nematoda 7 50,00 Hanya nematoda 2 11,11 Trematoda 0 0 Total 18 100 *) 7-10 kasus dala Dari peternakan yang menggunakan antelmintika secara rutin (15 responden), persentase responden yang berpendapat pemberian antelmintika dilakukan 2 bulan sekali 33,33 persen dan 3 bulan sekali 66,67 persen (Tabel 3). Jenis antelmintika yang paling sering digunakan di peternakan ayam petelur menurut sebagian besar responden (33,33 persen) adalah obat cacing dari klas benzimidazol dan piperazin, disusul kombinasi dari benzimidazol, piperazin dan levamisol (22,22 persen), benzimidazol dan levamisol (16,67 persen), piperazin, niklosamid dan levamisol (11,11 persen), piperazin dan niklosamid (5,56 persen) dan yang hanya menggunakan salah satu piperazin atau benzilmidazol saja masing-masing yaitu 5,56 persen.(Tabel 4) Tabel 3. Jadwal Pemberian Antelmintika Selang Waktu (bulan) Jumlah Responden (orang) 2 bulan sekali 3 bulan sekali 6 bulan sekali Total Sebagian besar responden (94,44 persen) menyatakan bahwa dalam penentuan dosis antelmintika didasarkan pada beratbadan rata-rata ayam. Hanya sedikit dari para responden (5,56 persen) yang 5 10 0 15 33,33 66,67 0,00 100 memberikan pengobatan antelmintika dengan dosis yang berdasarkan berat badan ayam yang terbesar dari kelompok yang akan diobati. Tabel 4. Jenis Antelmintika yang Digunakan Peternak Jenis antelmintika Jumlah responden (orang) Kelompok Benzimidazol (BZ) 1 Piperazine 1 BZ + Piperazine 6 BZ + Levamisole 3 Piperazine + Niklosamid 1 BZ + Piperazine + Levamisole 4 Piperazine + Niklosamid + levamisol 2 Total 18 Pengamatan para petugas layanan kesehatan hewan menunjukkan bahwa peternak umumnya menggunakan antelmintika yang sama selama lebih dari 3 tahun berturut-turut (77,78 persen). Responden ada juga yang berpendapat (22,22 Persentase (%) Persentase (%) 5,56 5,56 33,33 16,66 5,56 22,22 11,11 100 persen), bahwa para peternak sudah menjalankan rotasi dalam pemberian antelmintika. Sebagian besar para responden (88,89 persen) berpendapat bahwa kasus kecacingan susah dihilangkan dari lingkungan peternakan 143 Zalizar ayam petelur walaupun sudah rutin diberi antelmintika. Namun ada juga responden (11,11 persen) yang berpendapat setelah rutin diberi antelmintika maka kasus kecacingan tidak ada lagi. 3. Hasil Sigi Lapang di Peternakan Ayam Petelur di Kabupaten Bogor Hasil pengamatan pada tujuh peternakan ayam petelur di Kabupaten Bogor memperlihatkan jenis ayam yang dipelihara yaitu tipe sedang (Isa Brown dan Lohman Brown) yang menghasilkan telur yang berwarna coklat. Populasi ayam petelur yang dipelihara berkisar antara 20000 sampai 100000 ekor. Umumnya peternakan (farm) tersebut memberikan antelmintika secara teratur dengan selang waktu 2 bulan (1 farm); 3 bulan (3 farm) dan 6 bulan sekali (2 farm), sedangkan satu farm lainnya hanya melakukan pengobatan apabila ada kasus. Sedangkan antelmintika yang biasa digunakan yaitu albendazol, piperazin dan levamisol atau kombinasinya. Peternakan A, B, C, F dan G sudah menggunakan antelmintika yang sama terus-menerus masing-masing selama 11, 10, 3, 4 dan 4 tahun. Sedangkan pada peternakan C dan D tidak didapatkan data mengenai hal tersebut. Semua peternakan yang merupakan sampel dalam penelitian ini seluruhnya positif terinfeksi cacing. Pengamatan yang dilakukan mulai dari esofagus, tembolok, proventrikulus, ventrikulus, usus halus, kolon, sekum dan rektum didapatkan cacing hanya pada bagian usus halus ayam. Adapun jenis cacing yang ditemukan pada usus halus ayam hanya ada 2 yaitu cacing nematoda A. galli dan cacing cestoda. Cacing cestoda ditemukan pada semua peternakan, sedangkan cacing A. galli ditemukan pada 4 peternakan. Prevalensi kecacingan pada ketujuh peternakan tersebut mencapai 66,66 persen. Kejadian infeksi A. galli di tujuh peternakan tersebut mencapai 57.14 persen dan kejadian infeksi cestoda mencapai 100 persen. Kisaran TTGT pada infeksi A. galli cukup jauh yaitu antara 100-1470 telur tiap gram tinja. Hal ini menunjukkan bahwa derajat infeksi A. galli cukup bervariasi. Pada setiap ayam yang positif kecacingan A. galli 144 Jurnal Protein ditemukan rata-rata 297 telur cacing tiap gram tinja (Tabel 4). Pemeriksaan TTGT menunjukkan tidak semua peternakan yang diperiksa positif ditemukan telur cacing cestoda, namun hasil pemeriksaan pasca mati menunjukkan ditemukan cacing cestoda pada setiap peternakan. Pada setiap ayam yang positif cacing cestoda ditemukan rata-rata 250 telur cacing tiap gram tinja. Responden terdiri dari dokter hewan dan sarjana peternakan yang mempunyai pengalaman kerja yang cukup lama sehingga dianggap pengetahuan mereka tentang penyakit kecacingan dan antelmintika cukup memadai. Sebagian besar responden berpendapat bahwa kasus kecacingan cukup sering terjadi pada peternakan ayam petelur komersial, walaupun peternakan tersebut dikelola secara modern. Hasil sigi lapang pada tujuh peternakan ayam petelur di kabupaten di Bogor, mendukung pendapat para responden, terlihat bahwa semua peternakan semuanya positif terkena infeksi cacing dengan prevalensi mencapai 66,66 persen. Kejadian infeksi cacing A. galli pada peternakan tersebut mencapai 57,14 persen. Sedangkan kejadian infeksi cestoda mencapai seratus persen pada tujuh peternakan tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah karena pada ke-7 peternakan tersebut positif terkena infeksi cacing maka kemungkinan besar pada peternakan lain pun akan ditemukan infeksi cacing. Menurut sebagian besar responden (47,27 persen), cacing dari klas cestoda dan nematoda merupakan jenis yang sering ditemukan pada peternakan ayam petelur Hasil survei di wilayah Bogor, mendukung pendapat para responden karena cacing yang ditemukan pada survei tersebut hanya ada 2 yaitu A. galli (nematoda) dan cestoda serta tidak ditemukan satu ekorpun cacing dari klas trematoda. Hal tersebut kemungkinan karena cacing trematoda umumnya memerlukan siput sebagai inang antara, misalnya cacing Echinostoma revolutum yang merupakan trematoda parasit pada unggas memerlukan inang antara siput Lymnaea rubiginosa.6 Seluruh responden berpendapat bahwa dalam upaya untuk mencegah penyakit kecacingan para peternak memberikan Vol.13.No.2T.h.2006 antelmintika. Sebagian besar responden (83,33 persen) berpendapat bahwa peternak umumnya memberikan antelmintika secara rutin. Namun sebagian kecil responden (16,67 persen) berpendapat pemberian antelmintika hanya diberikan apabila ada kasus saja. Pengamatan penulis pada saat sigi lapang ternyata pemberian antelmintika diberikan terus menerus dengan jadwal tertentu tanpa pernah diadakan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui derajat kecacingan setelah pemberian antelmintika. Dikhawatirkan apabila pemberian antelmintika diberikan secara terus- menerus akan terjadi resistensi terhadap obat tersebut. Salah satu cara agar tidak terjadi resistensi terhadap antelmintika, maka penggunaan obat tersebut hanya dalam kondisi benar- benar diperlukan. Apabila semua peternakan ayam membiasakan diri untuk secara berkala mengadakan pemeriksaan jumlah telur cacing tiap gram tinja (TTGT), maka akan didapatkan data saat dimana terjadi peningkatan derajat infeksi yang memerlukan pengobatan dengan segera. Hal tersebut akan menyebabkan penggunaan antelmintika dilakukan secermat mungkin.2 Sebagian besar responden berpendapat (94,44 persen) walaupun antelmintika diberikan secara rutin namun kasus kecacingan tetap ada, hanya sebagian kecil (5,56 persen) yang berpendapat bahwa kasus kecacingan sudah tidak ada lagi setelah pemberian antelmintika secara rutin. Hasil sigi lapang mendukung pendapat para responden, kasus kecacingan di sejumlah peternakan di kabupaten Bogor tetap ada walaupun rutin diberikan antelmintika. Hal tersebut menunjukkan pertama ada kemungkinan efikasi antelmintika menurun karena penggunaannya yang terus-menerus selama bertahun-tahun. Kemungkinan kedua bahwa selama sumber penularan infeksi cacing tidak dihilangkan maka parasit cacing akan terus menginfeksi ayam. Pengamatan responden dan sigi lapang memperlihatkan peternak biasanya menggunakan antelmintika dari jenis yang sama selama lebih dari 3 tahun berturut- turut, bahkan peternakan A dan B menggunakan antelmintika yang sama selama 11 dan 10 tahun berturut turut. Frekwensi pemberian antelmintika dengan jenis yang sama dalam jangka lama dapat menyebabkan terjadinya Persepsi Petugas Layanan Kesehatan Hewan resistensi cacing terhadap antelmintika tersebut.5 Dari hasil pengamatan juga terlihat walaupun peternak memberikan albendazole yang sudah dipercaya dapat membunuh semua jenis cacing baik dari klas nematoda, cestoda maupun trematoda namun cacing cestoda masih tetap ditemukan. Sebagian besar responden memakai berat badan rata-rata dalam penentuan jumlah dosis antelmintika yang akan diberikan, hal ini kemungkinan akan menyebabkan ayamayam dengan berat badan yang lebih besar dari rata-rata di floknya akan mendapatkan dosis obat yang kurang dari kebutuhannya, sehingga kemungkinan akan menyebabkan timbulnya populasi cacing yang dapat mengembangkan kekebalannya terhadap antelmintika karena tidak terpapar oleh antelmintika dengan optimum. Pemberian antelmintika harus memperhitungkan berat badan terbesar dari kelompok ayam tersebut.2 Namun peternak kadang-kadang memberikan antelmintika dengan dosis yang lebih rendah dari dosis anjuran untuk menghemat biaya atau mengira ternaknya tidak sakit.1 Hasil pengamatan survei menunjukkan bahwa rataan TTGT per ekor ayam yang terinfeksi A. galli dan cacing cestoda masingmasing sebesar 297 dan 250 telur. Hal tersebut menunjukkan derajat infeksi kecacingan pada peternakan ayam petelur yang rutin memberikan antelmintika di Kabupaten Bogor termasuk ringan, namun tetap perlu diwaspadai karena sifat parasit yang mengambil zat-zat makanan dari inang, sehingga menyebabkan berat badan dan produktivitas menjadi rendah. Dalam jangka waktu 20 minggu setelah diinfeksi 1000 telur cacing. A.galli, terjadi penurunan berat badan sebesar 600 g sehingga lebih kurang setiap ekor cacing A. galli menyebabkan penurunan berat badan sebesar 4,28 g per hari.3 Infeksi A. galli dengan dosis 500 telur infektif menyebabkan penurunan berat telur sebesar 5,35 persen dan kerugian pertahun mencapai Rp 142.096.000,00 dengan asumsi populasi 20.000 ekor, produksi /ekor/tahun 16,6 Kilo gram telur dan harga telur Rp 8000,00/kg. Selain itu parasit tersebut menyebabkan tebal kerabang lebih tipis 5,55 persen dibandingkan kelompok yang bebas infeksi (Zalizar L., 2006). 145 Zalizar SIMPULAN DAN SARAN Jurnal Protein and Goats in Indonesia. International Seminar of Parasitology and the 9th Congress of IPDCA, 1112 September 2002, Bogor Indonesia. Kesimpulan Berdasarkan persepsi petugas kesehatan hewan dan hasil survei di lapangan didapatkan simpulan bahwa: 1. Menurut pendapat sebagian besar petugas layanan kesehatan hewan di Kabupaten Bogor, frekwensi kasus kecacingan pada peternakan ayam petelur cukup sering terjadi yaitu antara 4 sampai 6 kasus dalam 10 kali kunjungan. 2. Pada tujuh peternakan ayam petelur di Kabupaten Bogor, kejadian infeksi cacing Ascaridia galli dan cestoda masing-masing mencapai 57.14 dan 100 persen. Prevalensi penyakit kecacingan pada peternakan tersebut mencapai 61.11 persen. 3. Jenis antelmintika yang sering digunakan pada peternakan ayam petelur yaitu albendazol, piperazin dan levamisol dengan selang pemberian antara 2-6 bulan. 4. Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) pada ayam yang terinfeksi A. galli dan cestoda masing-masing yaitu 297 dan 250. 5. Pada peternakan ayam petelur di di Kabupaten Bogor ditemukan penggunaan antelmintika dengan jenis yang sama berturutturut selama lebih dari 3 tahun. DAFTAR PUSTAKA Beriajaya, 2002. Animal Markets as a Sources of Dispersal of Anthelmintic Resistance on Sheep 146 Bjorn H., 1992. Anthelmintic Resistance in Parasitic Nematodes of Domestic Animals. A Review with Reference to the Situation in the Situation in the Nordic Counters. Bull Scand Soc Parasitol 2: 9-29 Matta SC and Ahluwalia SS., 1980. Studies on Effect of Ascaridia galli Infection on Growth Rate of Chicks. Indian Journal of Poultry Science 15 (1): 1-4 Ridwan Y, Satrija F, Novianti E, Retnani EB, Tiuria R., 2000. Resistensi Haemonchus contortus terhadap Albendazol pada Peternakan Domba di Bogor. Prosiding International Seminar of Soil Transmitted Helminth dan Seminar Nasional Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik Indonesia, Bali 21-24 Februari 2000. Salisch H., 1989. Recent Developments in the Chemotherapy of Parasitic Infection of Poultry. World´s Poultry Science Journal 45: 115-124 Zalizar L, S He, S Kusumamihardja dan Arie Budiman, 1992. Berbagai Siput sebagai Inang Antara Cacing Trematoda Echinostoma revolutum di Bogor Jawa Barat. I. Lymnaea rubiginosa. Jurnal Hemera Zoa 75 (3): 38-43 Zalizar L., 2006. Dampak Infeksi Nematoda Parasitik Ascaridia galli dan Pemberian Antelmintika terhadap Kinerja Ayam petelur. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.