praktek pengalihan atau oper kredit kepemilikan rumah objek hak

advertisement
1
PRAKTEK PENGALIHAN ATAU OPER KREDIT
KEPEMILIKAN RUMAH OBJEK HAK TANGGUNGAN
(Studi Di Bank Tabungan Negara Kota Pontianak)
OLEH :
BERTHA, S.E
NPM.A2021151011
ABSTRAK
Tesis ini membahas masalah Praktek Pengalihan Atau Oper Kredit Kepemilikan Rumah Objek Hak
Tanggungan (Studi Di Bank Tabungan Negara Kota Pontianak). Penelitian menggunakan penelitian yang
digunakan ada 2 (dua) yaitu penelitian lapangan yang bersifat yuridis empiris dan dengan studi pustaka
(penelitian kepustakaan) yang bersifat yuridis normatif. Dari hasil analisa dan pembahasan memperoleh
kesimpulan yaitu : Praktek Pengalihan atau oper kredit atas pemilikan rumah yang masih dibebani
hak tanggungan ditinjau dari perundang-undangan yang berlaku di Indonesia Bahwa dalam oper
kredit yang berganti adalah debiturnya dan berdasarkan KUHPerdata, terhadap setiap pengalihan
hutang dari debitur lama kepada debitur barn dapat dilakukan melalui cara delegasi (pemindahan)
atau dengan cara pembaharuan utang (Novasi Subyektif Pasif). Hak Tanggungan tetap mengikuti
obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada. Oleh karenanya dalam oper kredit
pemilikan rumah, Hak Tanggungan tetap melekat pada tanah berikut bangunan di atasnya (rumah)
yang dialihkan tersebut kecuali jika telah dilakukan pencoretan/roya terhadap Hak Tanggungan
tersebut Praktek oper kredit pemilikan tanah dan bangunan di atasnya (rumah) sebenarnya ada
suatu penyimpangan hukum yang dilegalisasikan dalam peristiwa hukum di masyarakat, terutama
dalam kaitannya dengan hukum pertanahan mengenai sifat terang dan tunai serta mengenai
klausul tentang perlunya sepengetahuan bank. Pengalihan atau oper kredit rumah dapat terjadi
dengan sepengetahuan bank dan tanpa sepengetahuan bank yaitu dapat dilakukan dengan cara
oper kredit langsung melalui bank (alih debitur), oper kredit di hadapan Notaris dan oper kredit di
bawah tangan. Kelemahan dan kelebihan dan cara-cara tersebut berbeda-beda masing-masingnya.
Selain itu, ada cara lain yaitu oper kredit dengan pelunasan sisa kredit yang diikuti dengan jual
beli biasa.Perlindungan hukum terhadap penerima pengalihan atau oper kredit kepemilikan rumah
yang beritikad baik mengenai hak dari si pihak penerima pengalihan kredit (pembeli) yang telah
beritikad baik, melakukan pembayaran angsuran kredit hingga lunas sesuai dengan kesepakatan.
Solusi yang dapat dilakukan oleh pembeli adalah berkonsultasi terlebih dahulu kepada pihak bank
tentang adanya peralihan kredit tersebut dengan membawa bukti-bukti pelunasan dan dokumen
oper kredit tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena pada umumnya bank hanya mengacu pada
Perjanjian Kredit yang telah baku mengenai ketika terjadi peralihan kredit kepada pihak ketiga
yaitu umumnya klausul perjanjian kredit tersebut menyatakan bahwa debitur harus
memberitahukan kepada kreditur (bank) untuk persetujuan.
Kata Kunci: Pengalihan, Kepemilikan Rumah Objek Hak Tanggungan
2
ABSTRACT
This thesis discusses the issue of the Practice of Transfer Or Operation of Home Ownership Credit
of Object of Mortgage Rights (Study at State Savings Bank of Pontianak City). The research used
the research used there are 2 (two) that is field research that is juridical empirical and with
literature study (library research) which is juridical normative. From the results of analysis and
discussion to get the conclusion that is: the practice of transfer or opera credit on home ownership
that is still burdened by dependent rights from the legislation applicable in Indonesia That in the
operational credit that changed is the debtor and based on the Civil Code, against any transfer of
debt from the old debtor To new debtors can be done through the way of delegation (transfer) or
by way of renewal of debt (Passive Favorite Novasi). The Deposit right still follows his object in
the hands of whoever the object is. Therefore, in the house mortgage operation, the Deposit Rights
remain attached to the land and the subsequent building (the house) is transferred unless it has
been deleted / roya on the Deposit Rights The operational practice of the ownership credit of the
land and the building thereon is actually a Legal irregularities legalized in legal events in the
community, especially in relation to land law concerning the nature of light and cash and the
clause of the need for the knowledge of the bank. The transfer or operation of the home loan may
occur with the knowledge of the bank and without the knowledge of the bank that can be done by
way of direct credit through bank (over the debtor), credit operates in the presence of Notary and
credit operations under the hand. Weaknesses and advantages and ways are different each. In
addition, there is another way of credit operations with the repayment of the remaining credits
followed by the usual sale and purchase. The legal protection of a transfer recipient or a good
home ownership loan of the right of the recipient of the transfer of credit (buyer) who has good
intentions, Payment of credit installment until paid in accordance with the agreement. The solution
that can be done by the buyer is to consult the bank first about the transfer of credit by bringing
the proof of payment and the credit documents. This is necessary because in general the bank only
refers to the Credit Agreement that has been standardized when there is a transfer of credit to a
third party that is generally the clause of the credit agreement states that the debtor must notify the
creditor (bank) for approval.
Keyword : Transfers, Ownership of Objects
3
Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk di Indonesia berjalan seiringan dengan laju perkembangan
pemukiman dan perumahan. Tidak dipungkiri bahwa rumah merupakan suatu kebutuhan pokok
manusia. Hal tersebut yang mendasari pengusaha untuk menjalankan bisnis properti. Bisnis
properti dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Pengembang (developer) mempunyai
peluang bisnis dengan menawarkan rumah dengan berbagai type, dari type rumah sangat
sederhana sekali sampai type terbesar. Hargapun juga menyesuaikan, dari harga murah sampai
harga termahal. Pengembang selain mempunyai type dan harga sesuai dengan permintaan pasar
juga memberikan kemudahan kepada konsumen untuk dapat membeli rumah tersebut dengan cara
tidak kontan. Sistem kredit dari Bank merupakan fasilitas yang memberi kemudahan kepada
konsumen. Selain memudahkan konsumen, pengambangpun juga terbantukan terhadap fasilitas
yang diberikan oleh Bank.
Pemberian kredit tersebut disediakan oleh bank swasta atau bank pemerintah melalui
fasilitas Kredit Kepemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR). PT Bank Tabungan Negara
(selanjutnya disebut PT BTN) adalah salah satu bank pemerintah yang menyediakan KPR bagi
masyarakat Indonesia. Kredit Pemilikan Rumah adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada
debitur untuk digunakan membeli rumah dan/atau berikut tanah guna dimiliki dan dihuni atau
dipergunakan sendiri. Selain itu, KPR merupakan salah satu fasilitas kredit yang ditujukan
langsung kepada konsumen. Oleh karena ditujukan langsung kepada konsumen, maka jenis kredit
ini dinamakan sebagai kredit konsumen atau konsumer atau konsumtif.
Bagi masyarakat yang tidak memiliki uang tunai, fasilitas KPR yang ditawarkan oleh bank
sebagai alternatif menarik untuk memiliki tanah beserta bangunan di atasnya. Selain itu fasilitas
KPR juga tercipta karena kebutuhan akan perumahan sebagai tempat tinggal yang tinggi, namun
sebaliknya kemampuan atau daya beli masyarakat rendah. Dalam menyalurkan kreditnya, Bank
dengan prinsip kehatian-hatiannya (prudential principle) menganalisis para calon pembeli rumah
dengan cara kredit pemilikan rumah agar di kemudian hari tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.1 Salah satu wujud prinsip tersebut, dalam prosesnya, bank sebagai pihak yang
memberikan fasilitas KPR akan mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum
1
Slamet Ristanto, Mudah Meraih Dana KPR (Kredit Pemilikan Rumah), (Yogyakarta: Pustaka Gratama, 2008), hal.
21.
4
memberikan fasilitas kredit tersebut sesuai dengan praktek perbankan yang lazim. Sehingga tidak
ditutup kemungkinan adanya penolakan dan pihak bank dalam pemberian fasilitas kredit.
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah salah satu fasilitas kredit yang diberikan oleh bank
sebagai kreditur kepada konsumen sebagai debitur khususnya digunakan untuk membeli tanah
beserta bangunan rumah di atas tanah tersebut, dimana dalam pemberian fasilitas tersebut
diperlukan agunan atau jaminan. Agunan atau jaminan tersebut merupakan suatu tanggungan yang
diberikan oleh seseorang debitur atau pihak ketiga pada kreditur untuk menjamin kewajiban dalam
suatu perikatan. Jaminan ini adalah sesuatu yang dapat dinilai dengan uang yang diberikan debitur
pada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang
timbul dari suatu perikatan.
Dalam pemberian fasilitas KPR oleh bank (kreditur) kepada konsumen (debitur), agunan
atau jaminan yang diperlukan untuk KPR tersebut adalah rumah yang akan dibeli itu sendiri
(dalam hal ini tanah dan bangunan). Atas rumah yang dijadikan jaminan tersebut lembaga
jaminannya adalah Hak Tanggungan (HT) dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan
dengan akta otentik yaitu Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), yang dibuat oleh seorang
pejabat yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pembebanan dengan Hak Tanggungan
tersebut adalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah
(UUHT) yang menyatakan bahwa:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada 'creditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.2
Dengan demikian, sebagai jaminan, bank akan membebani sertipikat rumah dimaksud
dengan Hak Tanggungan dan sertipikat asli disimpan oleh bank. Jika sudah lunas, bank akan
mengembalikan sertipikat rumah tersebut berikut surat lunasnya. Dalam upaya menjamin adanya
kepastian hukum dan melindungi kepentingan para pihak dalam proses kepemilikan rumah
melalui KPR maka perlu diadakan suatu perjanjian dimana perjanjian tersebut merupakan suatu
23
Indonesia (2), Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, UU
No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632, Pasal 1 Ayat ( 1 ).
5
faktor yang penting dalam kepemilikan rumah. Perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih3, yang tentunya
memenuhi syarat sahnya dan perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata/BW), yaitu adanya kesepakatan para pihak, kecakapan dari para
pihak untuk membuat perjanjian, hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dengan terpenuhinya
empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara
hukum bagi para pihak yang mengikatkan dirinya tersebut. Dalam pembelian rumah melalui KPR
maka perjanjian jual beli rumah didasarkan pada suatu perjanjian terlebih dahulu yaitu Perjanjian
Kredit berikut pengikatan jaminannya. Perjanjian Kredit dilakukan antara bank dengan nasabah
(kreditur dengan debitur) dengan jangka waktu kredit yang cukup lama sehingga dalam jangka
waktu yang cukup lama tersebut dapat timbul masalah yaitu jika debitur cidera janji terhadap
kreditur sehingga terjadinya wanprestasi. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur
dapat berupa 4 (empat) macam: 4
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana diperj anj ikan;
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Masalah yang biasanya terjadi adalah masalah keuangan dari pihak debitur sehingga dapat
terjadinya wanprestasi dimana debitur tidak membayar sebagaimana mestinya (kredit macet).
Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang (si berutang atau debitur sebagai pihak yang wajib
melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi dan hukuman.5 Mengatasi masalah keuangan
dan agar tidak terjadi wanprestasi sehingga akan mengakibatkan objek dari Perjanjian Kredit
tersebut disita oleh pihak bank maka debitur mencari jalan keluar, salah satunya dengan cara
menjual kembali atau mengalihkan apa yang menjadi obyek dalam Perjanjian Kredit tersebut.
Dalam hal ini debitur mengalihkan atau melakukan oper kredit atas tanah dan bangunan (rumah)
tersebut kepada pihak lain.
Pertanyaan yang akan muncul berikutnya dengan adanya oper kredit tersebut adalah
3 4
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 40,
(Jakarta : Pradnya Paramita, 2009), Pasal 1313.
4
5
Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 21, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), hal 45.
Ibid.
5
6
mengenai bagaimana status Hak Tanggungan yang dibebani terhadap tanah dan rumah yang
dialihkan tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Bapak Boedi Harsono,
menyebutkan bahwa Hak Tanggungan juga tetap membebani obyek Hak Tanggungan di tangan
siapapun benda tersebut berada. 6 Mengenai ini sebagaimana pula yang diatur dalam Pasal 7
UUHT. Hal ini berarti walaupun telah terjadi pengalihan, namun tanah dan bangunan (rumah)
yang dialihkan tersebut masih terikat pembebanan dengan Hak Tanggungan (kecuali terjadi
penghapusan Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT). Oleh
karena itu tanah dan bangunan (rumah) yang dialihkan tersebut masih terikat kredit pemilikan
rumah pada bank dengan pengikatan jaminan berupa Hak Tanggungan. Akibat dari masih
terikatnya objek yang dijual tersebut pada kredit di bank berikut pengikatan jaminan berupa Hak
Tanggungan maka pembelian objek tersebut (rumah) oleh pihak lain akan berbeda dengan
pembelian rumah yang tidak terikat kredit dan tidak dibebani Hak Tanggungan.
Masyarakat yang belum memahami mengenai pengalihan atau oper kredit dan tanah dan
bangunan di atasnya (rumah), membuat muncul permasalahan baru. Padahal untuk mengatasi
terjadinya wanprestasi (kredit macet) atas suatu Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, pihak yang
mengalihkan kredit melakukan pengalihan atau oper kredit atas rumah tersebut, akan tetapi
ternyata menimbulkan masalah barn di lain pihak. Permasalahan yang muncul adalah terkait
dengan cara pengalihan yang dilakukan oleh para pihak. Cara pengalihan mana tentunya
menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula.
Timbulnya suatu permasalahan bank lainnya bagi pihak penerima pengalihan (debitur
bank) yaitu apabila bank tidak menyetujui pengalihan kredit kepada penerima pengalihan kredit.
Apabila dalam praktek dilakukan tanpa sepengetahuan pihak bank maka penerima pengalihan
tersebut tidak mempunyai hubungan apapun dengan pihak bank yang memberikan kredit,
sehingga pihak penerima pengalihan tidak mempunyai kewenangan pula baik sehubungan dengan
sertipikat ataupun Perjanjian Kredit karena bank masih menganggap bahwa kredit masih tetap atas
nama pihak yang mengalihkan kredit (debitur lama). Hal ini menyebabkan tidak terdapatnya
kepastian dan kewenangan bagi pihak penerima pengalihan tersebut. Akibat tidak terdapatnya
kepastian hukum dan kewenangan kepemilikan pihak penerima pengalihan tersebut maka akan
6
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, cet. 9, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 419.
7
timbul permasalahan di kemudian hari dengan pihak bank yang memberikan kredit yaitu pada
saat pengambilan sertipikat yang disimpan oleh bank sebagai agunan. Cicilan kredit pemilikan
rumah yang dibayar oleh penerima pengalihan sampai lunas masih tertera atas nama pihak yang
mengalihkan kredit (debitur lama) sehingga pada saat kredit telah lunas, pihak bank tidak serta
merta begitu saja menyerahkan kepada pihak penerima pengalihan, namun bank akan
mensyaratkan kehadiran dari pihak yang mengalihkan kredit (debitur lama). Hal ini akan
menyulitkan pihak penerima pengalihan, karena pada saat itu pihak yang mengalihkan kredit
tersebut mungkin sudah meninggal dunia atau sudah pindah dan tidak diketahui di mana
keberadaannya.
Dari hal-hal tersebut diatas, maka akan menimbulkan kerugian bagi penerima pengalihan
kredit dimana menjadi pertanyaan tentang kepastian hukum serta perlindungan hukum baginya
terhadap apa yang seharusnya menjadi haknya. Oleh karena itu dalam penulisan ini akan dibahas
lebih dalam mengenai pengalihan atau oper kredit pemilikan rumah termasuk pula mengenai
perlindungan hukum atas hal tersebut serta kaitannya dengan bank sebagai kreditur dan notaris.
Selain itu juga dibahas mengenai Putusan Pengadilan Negeri atas suatu perkara oper kredit.
Permasalahan
Bagaimana perlindungan hukum terhadap penerima pengalihan atau oper kredit kepemilikan
rumah yang beritikad baik ?
Pembahasan
Perlindungan hukum terhadap penerima pengalihan atau oper kredit kepemilikan rumah
yang beritikad baik.
Potensi terjadinya permasalahan hukum dalam proses pengalihan atau oper kredit
pemilikan rumah dan tanah tentu ada. Kasus-kasus yang bermunculan berkaitan dengan
pengalihan atau oper kredit pemilikan rumah yang masih dibebani dengan Hak Tanggungan
diantaranya pada waktu pengambilan sertipikat tanah dan bangunan (rumah) yang disimpan oleh
bank sebagai jaminan. Misalnya: seseorang membeli sebuah rumah melalui fasilitas kredit
berupa KPR, namun dipertengahan masa kredit dia menjual rumah tersebut kepada pihak lain
(pembeli). Perjanjian pun disepakati yaitu pembeli membayar sejumlah uang kepada penjual dan
meneruskan KPR atas rumah tersebut. Pembeli pun meneruskan pembayaran angsuran KPR atas
rumah tersebut selama sepuluh tahun. Pada saat pembayaran terakhir/pelunasan, pembeli pun
8
meminta asli sertipikat rumah tersebut kepada bank. Namun pihak bank menolak memberikan
asli setipikat tersebut. Pihak bank hanya akan memberikan asli sertipikat rumah tersebut kepada
yang namanya tercatat pada bank (si penjual). Sementara pembeli sudah tidak mengetahui
keberadaan si penjual sekarang.
Contoh lain, seseorang membeli rumah dengan cara oper kredit dan bank secara dibawah
tangan dengan tidak melapor atau memberitahukan kepada bank tentang adanya transaksi
pengalihan tersebut. Orang tersebut yaitu si pembeli melanjutkan angsuran dengan masih
menggunakan nama pihak penjual (debitur bank). Selang waktu kemudian si pembeli jatuh sakit
dan meninggal dunia. Angsuran bank diteruskan oleh saudara-saudara pembeli dengan harapan
peninggalan tersebut tidak hilang disita. Setelah angsuran telah Tunas maka timbul masalah
ketika mengambil sertipikat yang disimpan bank sebagai jaminan tersebut karena pihak bank
hanya mengenal pihak penjual (debitur bank) yang namanya tercatat dan diketahui oleh bank.
Dalam contoh kasus tersebut di atas, sebenamya telah terjadi pengalihan hutang debitur
lama kepada debitur barn yaitu dari si penjual kepada si pembeli yang mengakibatkan hapusnya
perikatan lama antara si penjual dengan pihak bank dan timbul perikatan barn antara si pembeli
dengan bank. Namun karena dalam kasus tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan bank dan tidak
terdapat pembaharuan hutang (novasi subyektif pasif) yaitu tidak ada pembebasan hutang dan
bank kepada penjual maka bank masih menganggap bahwa si penjual lah yang terikat terhadap
angsuran kredit dan merupakan pihak dalam Perjanjian Kredit sehingga ketika angsuran kredit
dibayar maka itu adalah dilakukan oleh atau atas nama penjual dan ketika angsuran telah lunas
maka kewajiban bank mengembalikan asli setipikat kepada penjual.
1. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pihak Penerima Pengalihan Kredit Yang Beritikad
Baik
Permasalahan yang timbul adalah mengenai hak dari si pihak penerima pengalihan kredit
(pembeli) yang telah beritikad baik, melakukan pembayaran angsuran kredit hingga lunas
sesuai dengan kesepakatan. Solusi yang dapat dilakukan oleh pembeli adalah berkonsultasi
terlebih dahulu kepada pihak bank tentang adanya peralihan kredit tersebut dengan membawa
bukti-bukti pelunasan dan dokumen oper kredit tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena pada
umumnya bank hanya mengacu pada Perjanjian Kredit yang telah baku mengenai ketika
9
terjadi peralihan kredit kepada pihak ketiga yaitu umumnya klausul perjanjian kredit tersebut
menyatakan bahwa debitur harus memberitahukan kepada kreditur (bank) untuk persetujuan.7
Keberadaan pihak penjual yang tidak diketahui mengakibatkan posisi pembeli semakin
sulit, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan si pembeli memperoleh haknya. Demi
kepastian hukum, upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan permohonan
ketidakhadiran pihak penjual tersebut kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya
mencakup keberadaan objek (rumah KPR tersebut). Ketidakhadiran dapat diajukan oleh pihakpihak yang berkepentingan. Kegunaan dari upaya hukum tersebut adalah untuk menegaskan
tentang ketidakhadiran si pihak penjual.8 Hal ini diatur dalam Pasal 470 KUHPerdata yang
menyatakan :
Jika terjadi orang tatkala is meninggalkan tempat tinggalnya telah mengangkat
seorang kuasa guna mewakili mengurus harta kekayaannya, atau telah mengatur
pengurusan harta kekayaan itu, dan apabila sepuluh tahun telah lewat setelah
berangkatannya, atau setelah kabar terakhir tentang masih hidupnya, sedangkan
dalam waktu sepuluh tahun itu pernah terdapat tanda-tanda tentang masih hidup atau
telah meninggalnya, maka si yang demikian tak hadir itu, atas permintaan para yang
berkepentingan, boleh dipanggil, dan boleh dinyatakan bahwa orang itu telah
meninggal dunia, dengan cara dan menurut ketentuan-ketentuan dalam tiga ayat
yang lalu. Tenggang waktu selama sepuluh tahun itu diharuskan, pun sekiranya
kuasa yang diangkat atau aturan yang diadakan oleh si yang tak hadir lebih dahulu
telah berakhir.
Putusan ketidakhadiran dari pengadilan tersebut dapat digunakan sebagai dokumen
pelengkap untuk diajukan kepada pihak bank. Putusan tersebut diharapkan akan menjadi
bahan pertimbangan yang kuat ketika pengajuan pengambilan sertipikat di bank.
2. Bentuk perlindungan Hukum bagi pihak ketiga sebagai penerima pengoperan kredit
pemilikan Rumah yang masih dalam jaminan PT BANK NEGARA kota Pontianak
Akta perjanjian, kuasa membayar angsuran dan mengambil sertifikat, dan membuat kuasa
menjual yang dibuat dalam kasus ini merupakan akta otentik. Dinamakan akta otentik karena
akta tersebut telah memenuhi unsurunsur otentisitas akta yang telah diatur dalam ketentuan
Pasal 1868 KUH Perdata, yaitu: Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh
7
Badan konsultasi Bantuan Hukum UMM, "Konsultasi Pengambilan Sertifikat"
http://bkbhumm.blogspot.com/2009/01/konsultasi-pengambilan-sertifikat.html,Diunduh
2 Mei 2017
8
Ibid.
10
undang-undang, Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum; Bahwa akta itu
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk membuatnya di tempat di
mana akta itu dibuat. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena di
dalam akta otentik telah termasuk semua unsur alat bukti yaitu: Bukti Tulisan, Bukti saksisaksi, Bukti persangkaan-persangkaan, Pengakuan, Dan Sumpah.
Arti akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula ditentukan
bahwa akta tersebut mengikat para pihak yang membuat akta tersebut selama tidak bisa
dibuktikan sebaliknya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Berdasarkan uraian tersebut maka syarat akta notaris sebagai akta otentik telah ditegaskan
dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap
Undang-undang Nomor 30 tentang Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undangundang Nomor 2 Tahun 2014) yaitu bahwa salah satu kewajiban notaris adalah membuat akta
secara umum dengan batasan sepanjang: Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan
oleh undangundang, Menyangkut akta yang dibuat atau berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau
dikehendaki oleh yang bersangkutan, Mengenai subyek hukum untuk kepentingan siapa akta itu
dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan, Berwenang mengenai tempat, di mana
akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris dan
Mengenai waktu pembutan akta, notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para
penghadap yang tercantum dalam akta.Selain mengenai syarat yang harus dilengkapi akta
otentik bentuknya harus sesuai dengan undang-undang hal ini diatur dalam Pasal 38 Undangundang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap Undangundang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014)
yang terdiri dari Awal akta/Kepala Akta, Badan Akta, dan Akhir Akta. Hal mana setiap
bagian tersebut memiliki sub bagian yang tertaur dan urut.
Akta Perjanjian, Kuasa Membayar Angsuran dan mengambil sertifikat serta Kuasa
Menjual dalam kasus ini dibuat untuk mengikat para pihak. Pihak penjual yang sekaligus
merupakan Debitur di PT BANK TABUNGAN NEGARA Kota Pontianak dan Pihak Ketiga
yang membeli tanah/ rumah yang masih dalam jaminan hak tanggungan. Akta tersebut
mengikat kedua belah pihak dan menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya. Akan
11
tetapi, proses peralihan hak atas tanah tidak dapat dilakukan dengan menggunakan akta apapun
kecuali akta jual beli yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini
telah diatur dalam Pasal 19 UU Hak Tanggungan yang menentukan bahwa jual beli tanah harus
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Artinya, jual beli hak atas tanah harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal
demikian sebagai bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah, dan selanjutnya
Pejabat Pembuat Akta Tanah membuat akta jual beli.
Adapun mengenai benda-benda yang diperjualbelikan adalah harus bendabenda yang
berwujud saja. Dengan kata lain segala sesuatu yang dapat dijadikan objek jual beli itu adalah
harta benda atau harta kekayaan, atau segala sesuatu yang bernilai kekayaan, termasuk pula
misalnya perusahaan dagang, warisan, atau segala benda yang dapat bernilai harta kekayaan.
Ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata menyebutkan hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan. Dengan demikian objek suatu
persetujuan dapat dijadikan objek jual beli, jual beli terjadi setelah hak milik itu berpindah
sesudah barang yang dibeli itu diserahkan. Sebelum dilakukan balik nama hak atas tanah
tersebut belum beralih/pindah kepada pembeli, hal ini berarti pemindahan hak atas tanah masih
diperlukan suatu perbuatan hukum lain yang berupa penyerahan (levering) yang harus
dibuatkan akta oleh pejabat yang berwenang.
Berdasarkan uraian di atas maka terdapat keterkaitan yaitu adanya persetujuan/
kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli dengan membuat Akta
Perjanjian, Kuasa Membayar Angsuran dan Mengambil sertifikat dan Kuasa Menjual. Hal ini
dilakukan karena sertifikat masih berada dalam obyek jaminan hak tanggungan, selain itu untuk
dijadikan bukti bahwa obyek jaminan hak tanggungan telah beralih kepada pihak lain. Akan
tetapi, hal ini tidak bisa dijadikan dasar bahwa pemegang hak atas tanah/rumah dalam sertifikat
bisa berubah menjadi nama pihak ketiga tersebut.
Kenyataannya banyak sekali terjadi seperti ini terjadi di dalam masyarakat. Sedangkan
sertifikat yang merupakan bukti sah pemegang hak atas tanah/ rumah mutlak harus dimiliki
oleh semua pemilik tanah/rumah. Dalam kasus ini dimungkinkan bahwa pihak debitur atau
penjual suatu saat bisa melunasi hutangnya dan mengambil sertifikat tersebut. Apabila hal ini
terjadi maka yang menanggung kerugian adalah pihak ketiga sebagai pembeli tanah karena
akta yang dibuat tersebut tidak dapat menunjukkan bahwa hak atas tanah tersebut telah
12
berpindah tangan. Selain itu, sertifikat hak tanggungan yang seharusnya sebagai perjanjian
jaminan ini tidak memberikan perlindungan terhadap kedudukan pihak ketiga apabila terjadi
sengketa serta tidak memberikan hak khusus yaitu seharusnya pihak ketiga tersebut dapat
menjual obyek jaminan akan tetapi kenyataannya kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh PT
BANK TABUNGAN NEGARA Kota Pontianak sebagai pemegang hak tanggungan yang
dilakukan dengan cara mengalihkan barang jaminan melalui lelang disebabkan debitur/penjual
wanprestasi, selain itu sertifikat hak tanggungan ini memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan putusan pengadilan tanpa terlebih dahulu mendapatkan fiat pengadilan.
Berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, bank memang memiliki hak untuk
mengeksekusi jaminan tersebut apabila debitur tidak membayar lunas hutangnya sesuai dengan
yang diperjanjikan. Dan apabila objek jaminan telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain dalam
hal ini bank akan terlindungi dengan adanya Pasal 7 UU Hak Tanggungan, yakni benda-benda
yang menjadi objek hak tanggungan akan selalu terbebani hak tanggungan walaupun di tangan
siapapun objek tersebut berada. Akan tetapi, apabila pihak pembeli tanah ingin menyelamatkan
tanahnya, pihak pembeli tanah dapat melalukannya dengan cara membayar lunas hutang
debitur sehingga hak tanggungan tersebut hapus karena hapusnya utang piutang tersebut (pasal
18 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan).
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1382 ayat 2 KUH Perdata menyatakan bahwa
suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai
kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya
si berutang, atau, jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si
berpiutang.
Asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya, tanggung jawab mana
berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun tetap jika perlu dijual untuk
melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan Haftung). Asas ini sangat adil, sesuai dengan asas
kepercayaan di dalam hukum perikatan, di mana adanya kepercayaan dari setiap orang yang
memberikan hutang kepada seseorang,yakni percaya debitur akan memenuhi prestasinya
dikemudian hari, setiap orang wajib memenuhi janjinya merupakan asas moral yang oleh
pembentuk undang-undang dikuatkan sebagai norma hukum.
Berkaitan dengan teori hukum, Menurut Fitzgerald, menjelaskan teori perlindungan
hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
13
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan
terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak. Hukum dalam artiannya adalah perjanjian kredit yang dibuat para
pihak menimbulkan adanya hak dan kewajiban, tujuan dari adanya perjanjian untuk
menfasilitasi kepentingan debitur, dengan syarat adanya pengikatan jaminan demi mendapatkan
perlindungan akan pemenuhan prestasi dari pihak debitur. Kepentingan hukum adalah
mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk
menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada
dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku
antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat. perlindungan mengandung pengertian terdapat
suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang
telah dilakukan. Dengan pembebanan hak tanggungan maka perlindungan pihak kreditur akan
terjamin, terbukti apabila debitur cidera janji, maka kreditur dapat langsung mengeksekusi
jaminan tersebut untuk pelunasan utang debitur. bentuk perlindungan hukum yaitu
perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif. Preventif artinya perlindungan yang
diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan hukum ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum represif bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap normanorma hukum dalam peraturan perundang-undangan.
Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia
adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum,
kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai
dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut
bersamaan.
Kaitannya pada aktifitas perbankan dalam memberikan kredit dengan debiturnya
yang bertujuan untuk membangun rumah untuk dijual kembali, perlindungan hukum dapat
diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit dan perjanjian pengikatan jaminan. Dalam
perjanjian kredit tersebut telah tercantum hak dan kewajiban para pihak harus menjalankan dan
14
menaati isi perjanjian yang telah disepakati. Jelas bahwa bentuk perlindungan hukum yang
akan diterima oleh debitur adalah terjamin hak-haknya untuk mendapatkan fasilitas kredit dari
bank demikian pula sebaliknya bagi bank selaku kreditur akan terjamin pula untuk
mendapatkan hak-haknya kembali atas kredit yang telah diberikan kepada debitur sesuai
dengan jangka waktu diperjanjikan.
Kaitannya dengan aktivitas Jual-Beli rumah perlindungan hukum dapat diwujudkan
dalam bentuk perjanjian jual-beli, perjanjian ini dapat dibuat dibawah tangan atau secara
otentik.Telah tercantum pula hak dan kewajiban para pihak yang harus dijalankan dan ditaati
bersama. Pembeli akan terjamin hak-haknya mendapatkan bukti kepemilikan tanah dan rumah
yang telah dibelinya, dan penjual akan terjamin pula untuk mendapatkan pembayaran
pembelian tanah beserta rumah yang telah dijualnya.
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang,
baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseoran. Berdasarkan
ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa undang-undang telah memberikan perlindungan hukum
bagi semua kreditur dalam kedudukan yang sama.
Berdasarkan uraian di atas, telah ada perlindungan hukum bagi pihak ketiga. Hal ini
dikarenakan perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak melibatkan pihak bank.
Sehingga nama pemegang hak tanggungan masih tetap pihak pertama/pihak penjual.
Sedangkan pihak pembeli/ pihak ketiga tidak tercantum namanya dalam sertifikat hak
tanggungan. Parahnya lagi apabila kredit telah lunas dan pihak penjual tidak mau menyerahkan
sertifikatnya maka pihak ketiga/ pihak pembeli tersebut hanya bisa menuntut ke pengadilan
berdasarkan Akta perjanjian, kuasa membayar angsuran dan mengambil sertifikat serta akta
kuasa menjual. Padahal berdasarkan peraturan, pemegang hak atas tanah adalah nama yang
tercantum dalam sertifikat. Akan tetapi, dalam prakteknya akta tersebut telah memberikan
perlindungan hukum kepada pihak ketiga karena bank mau menerima angsuran maupun
memberikan sertifikat tersebut kepada pihak ketiga dikarenakan akta yang dibuat tersebut
adalah akta otentik yang mempunyai pembuktian sempurna. Setelah pembayaran angsuran
lunas dan sertifikat telah diambil oleh pihak ketiga, seyogyanya disegerakan untuk proses balik
nama sertifikat tersebut dengan membuat akta jual beli yang dibuat di hadapan pejabat pembuat
15
akta tanah (PPAT). Hal ini dilakukan agar apabila ada sengketa pihak ketiga tersebut memiliki
bukti yang sangat kuat terkait dengan peralihan hak tersebut.
Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap penerima pengalihan atau oper kredit kepemilikan rumah yang
beritikad baik mengenai hak dari si pihak penerima pengalihan kredit (pembeli) yang telah
beritikad baik, melakukan pembayaran angsuran kredit hingga lunas sesuai dengan kesepakatan.
Solusi yang dapat dilakukan oleh pembeli adalah berkonsultasi terlebih dahulu kepada pihak bank
tentang adanya peralihan kredit tersebut dengan membawa bukti-bukti pelunasan dan dokumen
oper kredit tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena pada umumnya bank hanya mengacu pada
Perjanjian Kredit yang telah baku mengenai ketika terjadi peralihan kredit kepada pihak ketiga
yaitu umumnya klausul perjanjian kredit tersebut menyatakan bahwa debitur harus
memberitahukan kepada kreditur (bank) untuk persetujuan.
16
Daftar Pustaka
Badrulzaman, Mariam Darus., Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, PT. Alumni, Bandung,
1983.
.................Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Budiono, A. Rachmad dan H. Suryadin Ahmad, Fidusia, Penerbit Universitas Negeri Malang
(UM Press), 2000.
Djumhana, Muhamad., Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Fuady, Munir., Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
.................,Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung, 2002.
Hadisoeprapto, Hartono., Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty,
Yogyakarta, 1984.
Hernoko, A. Yudha, Urgensi Unsur “Collateral” Dalam Penyaluran Kredit, Projustitia Tahun
XVI Nomor 4 Tahun 1998.
Ibrahim, Johannes., Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit
Bermasalah, Refika Aditama, Bandung, 2004.
Kamelo, H. Tan., Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT. Alumni,
Bandung, 2004.
Kasmir., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2001.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik (Dalam Sudut
Pandang KUH Perdata), Kencana, Jakarta, 2004.
Salim HS, H., Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2004
Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
..................., Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002.
..................., Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi Penanggungan
(Borgtocht) dan Perikatan Tanggung Menanggung, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Sevilla, Consuelo. G., dkk., Pengantar Metode Penelitian, UI Press, Jakarta, 1993.
Download