info komoditi pakaian jadi - BPPP – Badan Pengkajian dan

advertisement
Info Komoditi Pakaian Jadi
INFO KOMODiTi
PAkAiAN JADi
i
SANKSI PELANGGARAN
Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002
ii
1. Barang siapa dengan segaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Info Komoditi Pakaian Jadi
Info Komoditi
PAKAIAN JADI
EDITOR:
Zamroni Salim, Ph.D
Ernawati, Ph.D
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Al Mawardi Prima, Jakarta 2015
iii
Judul:
Info Komoditi Pakaian Jadi
Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati, Ph.D
Copyright © 2015
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All rights reserved
Diterbitkan oleh
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia bekerja sama dengan
Al Mawardi Prima Anggota IKAPI DKI Jaya
Diterbitkan pertama: Juli 2015
Desain Cover : Piter Prihutomo
Sumber Cover depan searah jarum jam
1. Dokumentasi Piter Prihutomo; 2. Puspita Dewi
Sumber cover belakang :
1. Piter Prihutomo; 2. Puspita Dewi
xii, 103 hlm, 17,5 x 25 cm
ISBN: 978-979-461-890-5
Pengarah:
Kepala Badan Pengkajian
dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan
Penanggung Jawab :
Sekretaris Badan
Pengkajian dan
Pengembangan
Kebijakan Perdagangan
Redaksi Pelaksana:
1. Puspita Dewi, SH, MBA
2. Maulida Lestari, SE, ME
3. Reni K. Arianti, SP, MM
4. Suler Malau, SH
5. Primakrisna T, SIP, MBA
6. Dwi Yulianto, S.Kom
AMP Press
Imprint Al-Mawardi Prima
Anggota IKAPI JAYA
Jl. H. Naimun No. 1 Pondok Pinang, Kebayoran Lama Jakarta Selatan
Telp/Fax. (021) 29325630
Email: [email protected]
Website: www.almawardiprima.co.id
iv
Info Komoditi Pakaian Jadi
KATA PENGANTAR
Industri pakaian jadi merupakan industri vital yang secara ekonomi memberikan
kontribusi baik dalam penyerapan tenaga kerja maupun sumbangan nilai tambah
yang dihasilkannya terhadap Produk Domestik Buto (PDB) Indonesia. Industri
pakaian jadi merupakan salah satu jenis industri yang masuk dalam rangkaian
industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dari hulu ke hilir. Dari industri hulu, TPT
mencakup industri serat, pemintalan dan benang, perajutan, pencapan (printing)
dan penyempurnaan (finishing), dan di hilir industri TPT mencakup industri pakaian
jadi. Sejauh mana industri pakaian jadi berkontribusi bagi perekonomian Indonesia
terutama dilihat dari sisi perdagangan baik perdagangan dalam negeri maupun luar
negeri dan bagaimana prospek industri ini di masa yang akan datang? Buku Bunga
Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi menyajikan berbagai data dan informasi faktual
terkait dengan perkembangan industri dan perdagangan pakaian jadi Indonesia di
tengah pusaran persaingan industri pakaian jadi global.
Buku bunga rampai ini disusun dalam beberapa bab yang kesemuanya bermuara
pada aspek perdagangan. Bab I merupakan bab pendahuluan menguraikan
posisi industri pakaian jadi di Indonesia sebagai industri yang strategis dan juga
menjelaskan fenomena yang terjadi di pasar global secara singkat.
Bab II merupakan bab yang menguraikan sisi produksi pakaian jadi. Dalam bab ini
dibahas mengenai asal-usul bahan baku dan produksi pakaian jadi, perkembangan
produksi dan kinerja pakaian termasuk aspek produksi yang menyangkut kapasitas
terpasang dan utilisasi produksi dalam industri pakaian jadi. Hal lain yang disajikan
dalam Bab II menyangkut aspek finansial dan biaya produksi yang berperan
dalam menentukan keberlangsungan hidup industri pakaian jadi. Peran dan posisi
Indonesia dalam jaringan Global Value Chain (GVC) juga diulas.
Konsumsi dan perdagangan pakaian jadi di dalam negeri menjadi topik menarik
yang dibahas dalam Bab III. Dalam bab ini diuraikan bagaimana produk pakaian
jadi dikonsumsi/digunakan oleh konsumen di Indonesia. Diuraikan juga mengenai
struktur pasar industri pakaian jadi yang ditandai dengan banyaknya penjual dan
pembeli. Penjual meliputi produsen pakaian jadi, baik yang bermerek maupun yang
tidak bermerek dagang, sekaligus pedagang yang memasarkan produk pakaian jadi
langsung sampai ke konsumen. Meskipun banyak produsen dan penjual, namun
dalam industri pakaian jadi ada kekhasan tersendiri, di mana sebagian produsen
memasarkan produk pakaian jadi dengan mencantumkan brand atau merek tertentu
v
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
yang membedakannya dengan produk sejenis yang berasal dari produsen/penjual
lainnya.
Keberadaan produk impor ilegal di pasar dalam negeri baik secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi daya saing industri pakaian jadi nasional di
bahas dalam bab ini. Selain itu, aspek perdagangan dalam negeri, masalah kualitas
dan pemenuhan Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam upaya untuk melindungi
konsumen dalam negeri juga diuraikan.
Dalam Bab IV diuraikan mengenai pakaian jadi dalam perdagangan dunia
atau peta perdagangan internasional. Setelah adanya penghapusan kuota dalam
perdagangan tekstil dan pakaian jadi serta pasca krisis finansial global, terjadi
pergeseran peta negara produsen/eksportir pakaian jadi dunia. Pada bab ini juga
diuraikan mengenai kinerja ekspor dan impor pakaian jadi Indonesia secara khusus,
termasuk produk utama yang mendominasi ekspor pakaian jadi dari Indonesia.
Bab V menguraikan peluang dan tantangan perdagangan pakaian jadi Indonesia.
Pertumbuhan permintaaan diperkirakan masih tetap didominasi oleh peningkatan
permintaan dari pasar negara-negara utama seperti Amerika Serikat, Uni Eropa,
Jepang, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keikutsertaan dalam GVC menjadi
pilihan yang sulit untuk dielakkan. Namun demikian, tantangan lain yang dihadapi
dalam internal industri pakaian jadi juga harus diperhatikan. Masalah sumber
finansial dan suku bunga, kenaikan biaya produksi yang bersumber dari kenaikan
tarif dasar listrik dan upah minimum adalah hal mendasar yang perlu ditangani
dengan bijak oleh pemerintah dan dunia usaha.
Dalam hal produksi, permasalahan yang muncul adalah usia mesin-mesin yang
relatif sudah tua. Permasalahan ini banyak dihadapi oleh sektor hulu produk tekstil
sehingga menurunkan produktivitas industri TPT yang sekaligus berimbas pada
industri pakaian jadi. Permasalahan lain dalam hubungannya dengan persaingan
khususnya di pasar dalam negeri adalah fenomena maraknya produk pakaian jadi
impor ilegal yang masuk ke pasar domestik. Faktor-faktor tersebut menyebabkan
daya saing industri pakaian jadi nasional semakin melemah dibanding negaranegara produsen lainnya. Di pasar global, munculnya pesaing-pesaing baru dalam
industri pakaian jadi hendaknya menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah
Indonesia dan pelaku usaha pakaian jadi sehingga industri pakaian jadi nasional
tetap bisa bersaing baik di pasar dalam negeri maupun global.
Bab VI merupakan bab terakhir, menjelaskan keterkaitan antar bab/benang
merah keseluruhan bab yang mengkaji masalah industri pakaian jadi mulai dari
produksi, perdagangan dalam negeri dan luar negeri sekaligus prospek industri
pakaian jadi Indonesia.
vi
Info Komoditi
Pakaian
Jadi
Kata
Pengantar
Semoga Buku Bunga Rampai Info Komoditi Prioritas Pakaian Jadi ini bisa
memberikan sumbangan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi
para pengambil keputusan baik dalam lingkup pemerintah maupun dunia usaha.
Diharapkan juga bahwa buku ini bisa bermanfaat bagi konsumen untuk menambah
wawasan mereka dalam mengkonsumsi pakaian jadi dan menjadi pembeli yang
cerdas.
Kehadiran buku ini tentu masih ada kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik
dari berbagai pihak sangat diharapkan bagi perbaikan buku ini di masa yang akan
datang.
Jakarta, Juli 2015
Editor
vii
DAFTAR ISI
Pengantar Editor.................................................................................................... v
Daftar Isi................................................................................................................ viii
Daftar Gambar.........................................................................................................ix
Daftar Tabel............................................................................................................. x
BAB I PAKAIAN JADI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN
GLOBAL
Ernawati Munadi...................................................................................................... 1
BAB II PRODUKSI PAKAIAN JADI INDONESIA
Sefiani Rayadiani.................................................................................................... 6
BAB III KONSUMSI DAN PERDAGANGAN PAKAIAN JADI INDONESIA
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan................................................................... 28
BAB IV PAKAIAN JADI INDONESIA DALAM PERDAGANGAN DUNIA
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti............................................................. 56
BAB V PELUANG DAN TANTANGAN PERDAGANGAN PAKAIAN JADI
INDONESIA
Arie Mardiansyah.................................................................................................. 73
BAB VI MEMBANGKITKAN KEMBALI INDUSTRI PAKAIAN JADI INDONESIA
Zamroni Salim....................................................................................................... 93
Indeks................................................................................................................. 100
Biografi Singkat Penulis................................................................................... 101
viii
Info Komoditi Pakaian Jadi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Nilai Produksi dan Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi Global.............................. 7
Gambar 2.2 Peta Produsen Utama Industri Pakaian Jadi Dunia, 2012..................................... 8
Gambar 2.3 Kategori Segmentasi Produk Pakaian Jadi Global................................................. 9
Gambar 2.4 Pohon Industri Tekstil dan Produk Tekstil..............................................................11
Gambar 2.5 Kapasitas Terpasang, Produksi dan Utilisasi Produksi Industri
Pakaian Jadi Indonesia, 2009-2013..................................................................... 12
Gambar 2.6 Nilai Produksi dan Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2009-2012...... 14
Gambar 2.7 Perkembangan Indeks Partisipasi Industri Pakaian Jadi Indonesia
Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012.................................................................. 15
Gambar 2.8
Komposisi Nilai Tambah Industri Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan
KBLI 3 Digit, 2009-2012....................................................................................... 16
Gambar 2.9 Perkembangan Biaya Input Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2000-2013 ......... 18
Gambar 2.10 Komposisi Biaya Input Industri Pakaian Jadi....................................................... 19
Gambar 2.11 Rantai Nilai Global Pakaian Jadi.......................................................................... 22
Gambar 2.12 Tahapan Kegiatan dalam Rantai Nilai Global Pakaian Jadi................................. 22
Gambar 3.1 Konsumsi Pakaian Jadi Domestik, 2009-2014..................................................... 30
Gambar 3.2
Rata-Rata Konsumsi Pakaian, Alas Kaki, dan Tutup Kepala
per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Golongan Pengeluaran
per Kapita Sebulan, 2009-2012............................................................................ 31
Gambar 3.3 Jaringan Pemasaran Pakaian Jadi di Dalam Negeri............................................ 36
Gambar 3.4 Perkembangan Harga Pakaian Pria..................................................................... 38
Gambar 3.5 Perkembangan Harga Pakaian Wanita................................................................ 39
Gambar 4.1 Struktur Ekspor Pakaian Jadi, 2013-2014............................................................ 64
Gambar 4.2
10 Negara Utama Tujuan Ekspor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014................ 65
Gambar 4.3 Negara Tujuan Ekspor Utama Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan
Jenis Pakaian, 2004............................................................................................. 66
Gambar 4.4 Struktur Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014............................................. 67
Gambar 4.5 10 Negara Utama Asal Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014...................... 68
Gambar 4.6 Negara Asal Impor Utama Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan Jenis Pakaian.69
Gambar 5.1 Nilai dan Pangsa Pasar Pakaian Jadi Dunia Tahun 2012, 2025 dan tingkat
Pertumbuhan Tahunan Gabungan....................................................................... 76
Gambar 5.2 Pengeluaran per Kapita Produk Pakaian Jadi ..................................................... 77
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Produsen Utama Pakaian Jadi Dunia Tahun 2012.............................. 8
Tabel 2.2
Perkembangan Nilai Investasi dan Jumlah Perusahaan Industri
Pakaian Jadi Indonesia..................................................................... 12
Tabel 2.3
Perkembangan Nilai Output dan Nilai Tambah Industri Pakaian Jadi
Indonesia, 2009-2013........................................................................ 14
Tabel 2.4
Perkembangan Nilai Tambah dan Pertumbuhan Industri Pakaian
Jadi Indonesia Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012....................... 17
Tabel 2.5
Perkembangan Indikator Partisipasi Rantai Nilai Global Industri
Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki................................................................ 24
Tabel 3.1
Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut
Kelompok Barang, 2019-2013........................................................... 31
Tabel 3.2
Jumlah Perusahaan Pakaian Jadi dan Kepemilikannya.................... 34
Tabel 3.3
Brand Pakaian Jadi.......................................................................... 35
Tabel 3.4
Kenaikan Harga Tahunan Pakaian Jadi............................................. 39
Tabel 3.5
Koefisien Keragaman Pakaian Jadi 2014.......................................... 40
Tabel 3.6
Daftar SNI Untuk Produk Pakaian Jadi............................................. 46
Tabel 3.7
Nilai Impor Pakaian Bekas................................................................ 50
Tabel 4.1
Eksportir Pakaian Jadi Dunia, 2011-2013.......................................... 59
Tabel 4.2
Importir Pakaian Jadi Dunia, 2011-2013............................................ 62
Tabel 4.3
Kinerja Ekspor Pakaian Jadi Indonesia, 2010-2014.......................... 63
Tabel 4.4
Kinerja Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2010-2014............................ 67
Tabel 5.1
Perkiraan Pertumbuhan GDP............................................................ 74
Tabel 5.2
Perkembangan Jumlah Penduduk, Konsumsi Pakaian Jadi, dan
Penguasaan Pasar Pakaian Jadi Dalam Negeri Indonesia, 2009-2013..... 75
Tabel 5.3
The Global Competitiveness Index, 2014-2015..................................... 81
Tabel 5.4
Persentase Ekspor Negara-Negara Pengekspor Utama Dunia........ 82
Tabel 5.5
Indeks RCA Negara-Negara Pengekspor Utama di Asia.................. 83
Tabel 5.6
Perbandingan Produktivitas Tenaga Kerja dan Upah Minimum di
Negara-Negara Asia.......................................................................... 84
x
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perspektif Perdagangan Global
BAB I
PAKAIAN JADI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
PERDAGANGAN GLOBAL
Ernawati Munadi
Berbicara tentang industri pakaian jadi tidak terlepas dari industri Tekstil
dan Produk Tekstil (TPT). Hal itu karena industri pakaian merupakan bagian
dari struktur industri TPT secara umum. Struktur industri TPT terbentuk dari
beberapa jenis industri yang membentuk sebuah rangkaian dari hulu ke
hilir. Di hulu, industri ini mencakup industri serat, pemintalan dan benang,
perajutan, pencapan (printing) dan penyempurnaan (finishing), dan di hilir
industri TPT meliputi industri pakaian jadi. Keseluruhan produk subsektor
industri tekstil ini sering disebut Tekstil dan Produk Tekstil, disingkat TPT.
Industri hulu sektor ini khususnya Industri pemintalan dan pertenunan
tradisional sudah ada di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda, bahkan
hingga awal era Orde Baru. Pada saat itu industri tekstil Indonesia praktis
hanya berfungsi sebagai penenun dan perajut, karena semua bahan
baku masih harus diimpor. Industri-industri penunjang lain seperti industri
pemintalan dan industri yang memproduksi serat sintetis, yang menyediakan
bahan baku untuk memproduksi tekstil berkembang beberapa saat
khususnya sejak disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing
dan Dalam Negeri (PMA dan PMDN) tahun 1967 dan 1968. Beberapa tahun
sejak itu, industri tekstil dalam negeri berkembang makin modern dan makin
terpadu mulai dari hulu hingga hilir (BKPM, 2011).
Industri pakaian jadi sendiri baru mulai berkembang pada pertengahan
tahun 70-an, yakni sewaktu produsen tekstil dalam negeri telah mampu
menyediakan tekstil jadi untuk diolah menjadi pakaian jadi. Bahkan melalui
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang
Kebijakan Industri Nasional dan Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia Nomor 109/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road
Map) Pengembangan Klaster Industri Tekstil dan Produk Tekstil, pemerintah
telah menetapkan industri pakaian jadi sebagai salah satu klaster industri
prioritas berbasis industri manufaktur yang dikembangkan oleh pemerintah
sepanjang tahun 2010-2014.
1.1 Industri Pakaian jadi sebagai Sektor Strategis di tengah Tantangan
Global
Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia disamping kebutuhan
akan makanan, rumah dan perabotan rumah tangga, konsumsi pakaian jadi
1
Ernawati Munadi
di Indonesia menunjukkan tren perkembangan yang positif. Selama periode
2009-2014 konsumsi pakaian jadi di Indonesia tumbuh sebesar 6,89%
per tahun yaitu meningkat dari 209,3 ribu ton pada tahun 2009 menjadi
308,4 ribu ton pada tahun 2014 (BPS, 2014). Hal itu juga didukung oleh
data terkait persentase pangsa pengeluaran rumah tangga untuk pakaian,
termasuk didalamnya alas kaki dan tutup kepala naik dari 3,3% pada tahun
2009 menjadi 6,5% pada tahun 2013. Angka ini masih jauh lebih kecil
dibandingkan dengan pengeluaran untuk makanan yang mencapai lebih
dari 47% (BPS, 2012).
Sebagai industri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja,
industri pakaian jadi merupakan industri yang patut diperhitungkan dalam
pengembangan investasi ke depan. Industri pakaian jadi mampu menyerap
tenaga kerja sebesar 473.594 jiwa atau 10,81% dari jumlah total tenaga kerja
industri besar dan sedang di Indonesia pada tahun 2013 dan menempati
urutan kedua setelah industri makanan (BPS, 2015a).
Nilai strategis industri pakaian jadi juga ditunjukkan dalam perannya
terhadap investasi. Selama periode 2009-2013, pakaian jadi juga merupakan
salah satu sektor yang menjadi target investasi di Indonesia. Pertambahan
investasi di sektor pakaian jadi tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan
sebesar 17,6% per tahun, dengan nilai investasi yang meningkat sebesar
3,08% per tahun. Sementara jumlah perusahaan yang bergerak di sektor
pakaian jadi juga tumbuh dari 2.639 perusahaan pada tahun 2009 menjadi
2.739 perusahaan pada tahun 2014 dengan pertumbuhan 0,93% per tahun
(Kementerian Perindustrian, 2014). Dalam hal kapasitas terpasang, industri
pakaian jadi juga menunjukkan kecenderungan yang sama, meningkat
dengan pertumbuhan sebesar 3,4%. Namun, sayangnya pertumbuhan
yang positif tersebut belum diimbangi dengan kapasitas terpasang yang
maksimal sehingga masih memungkinkan untuk dikembangkan. Hal ini
ditunjukkan dengan situasi dimana meskipun jumlah industri pakaian jadi
terus bertambah namun ternyata utilisasi yang terjadi pada industri pakaian
jadi termasuk rendah yaitu hanya berkisar antara 70-75% saja.
Pentingnya peran industri pakaian jadi juga terlihat dari kontribusinya
terhadap ekspor Indonesia. Selama periode 2010-2014, kontribusi ekspor
pakaian jadi terhadap total ekspor non migas Indonesia cenderung stabil
rata-rata sebesar 0,5% per tahun. Sempat mengalami penurunan kontribusi
terhadap total ekspor non migas pada periode 2011-2013, namun terjadi
peningkatan kontribusi kembali pada tahun 2014. Selama periode 2010-2014
ekspor pakaian jadi Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 2,1% per tahun
dengan total ekspor pada tahun 2014 sebesar USD 7,4 miliar. Sebaliknya,
2
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perspektif Perdagangan Global
nilai impor pakaian jadi Indonesia juga menunjukkan tren pertumbuhan yang
positif dengan pertumbuhan yang jauh melampaui pertumbuhan ekspor
pakaian jadi yaitu tumbuh sebesar 13% per tahun. Pada tahun 2014 impor
pakaian jadi Indonesia mencapai USD 444,5 juta mengalami penurunan
sebesar 6,7% dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut data Bankmed–Market & Economic Research Division
(2014), di tengah situasi industri pakaian jadi di dunia yang menunjukkan
perkembangan yang relatif stabil, Indonesia hanya mampu menduduki
peringkat ke-13 terhadap total produksi pakaian jadi dunia. Tahun 2009
industri pakaian jadi dunia memproduksi pakaian jadi dengan nilai mencapai
USD 1,1 miliar dan pada tahun 2013 nilai produksinya mencapai USD
1,25 miliar dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 2,8%.
Industri pakaian jadi dunia didominasi oleh kawasan Asia dengan kontribusi
yang mencapai lebih dari 65%. Berdasarkan data UN COMTRADE (2015a),
pada tahun 2012 tiga produsen utama pakaian jadi dunia berasal dari
kawasan Asia yaitu Tiongkok, India, dan Pakistan dengan pangsa pasar
masing-masing sebesar 47,2%; 7,1%; dan 3,1%. Sementara Indonesia pada
periode yang sama hanya berkontribusi sebesar 1,1% terhadap produksi
pakaian jadi dunia. Pakaian wanita mendominasi kategori produk pakaian
jadi dengan share lebih dari 50%, diikuti oleh pakaian pria dan pakaian anakanak dengan share masing-masing sebesar 32,3% dan 17,0%.
Dari sisi ekspor, industri pakaian jadi Indonesia hanya mampu
berkontribusi sebesar 1,93% terhadap total ekspor pakaian jadi dunia
tahun 2013 yang mencapai USD 283 miliar dan berada pada urutan yang
ke-11. Sementara negara tetangga seperti Vietnam pada periode yang
sama mampu berkontribusi sebesar 4,38% dengan tren pertumbuhan yang
fantastis selama periode 2012-2013 sebesar 18,94% disaat Indonesia hanya
mampu tumbuh sebesar 2,87%.
1.2 Fenomena di Pasar Global dan Permasalahan di Dalam Negeri
Industri Pakaian Jadi Indonesia
Meskipun menunjukkan perkembangan ke arah yang positif, namun saat
ini banyak kendala yang dihadapi oleh industri pakaian jadi Indonesia. Dari
sisi produksi, industri pakaian jadi merupakan sebuah komoditi yang menjadi
fenomena global. Industri pakaian jadi saat ini bukan lagi merupakan industri
yang hanya merakit pakaian sederhana di kawasan tertentu yang bahanbahan input-nya bisa berasal dari impor. Industri pakaian jadi saat ini menjadi
sebuah industri yang berorientasi kepada Original Equipment Manufacturing
(OEM). Dengan model OEM ini, industri pakaian jadi menjadi lebih terintegrasi
3
Ernawati Munadi
secara domestik dan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dalam bentuk
ekspor. Proses untuk memproduksi pakaian jadi dengan merek internasional
tidak lagi diproduksi dalam suatu jalur integrasi vertikal di suatu negara yang
sama melainkan dapat diproduksi terpisah di beberapa negara dalam suatu
rantai nilai global atau Global Value Chain (GVC). Dengan demikian maka
negara pemegang merek internasional tidak harus memproduksi pakaian
jadi tersebut di negaranya, namun dapat mensubkontrakkan ke banyak
negara bahkan negara berkembang yang mempunyai tingkat efisiensi tinggi.
Terkait dengan perkembangan pakaian jadi dalam rantai GVC tersebut,
kenyataan menunjukkan bahwa keterlibatan Indonesia dalam rantai GVC
termasuk masih sangat rendah dan bahkan cenderung menurun. Data
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun
2013 menunjukkan bahwa keterlibatan beberapa negara dalam rantai GVC
untuk pakaian jadi menunjukkan bahwa Indonesia hanya menunjukkan
angka 5,3 pada tahun 1995 dan turun menjadi 2,6 pada tahun 2009 (OECD
Stat, 2013). Angka ini tertinggal jauh dibelakang Vietnam dengan indikator
keterlibatan yang mencapai angka 10,1 pada tahun 1995 dan terus meningkat
hingga 14,2 pada tahun 2009. Demikian juga dengan indeks keterlibatan
Kamboja yang hanya sedikit dibawah Vietnam.
Dari sisi konsumsi, Industri pakaian jadi Indonesia juga menghadapi
banyak permasalahan terkait dengan impor produk pakaian jadi, khususnya
impor pakaian jadi dalam keadaan bekas yang mencapai 20% terhadap total
impor pakaian jadi (BPS, 2015b). Impor pakaian jadi bekas ini ditengarai
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan industri pakaian jadi dalam
negeri yang pada akhirnya menurunkan daya saing. Permasalahan yang
juga dihadapi oleh industri pakaian jadi dalam negeri juga terkait dengan
biaya produksi pakaian jadi di Indonesia yang juga cenderung meningkat
dimana dalam tahun 2009-2013 pertumbuhan rata-rata tahunan biaya input
industri pakaian jadi nasional sebesar 11,1% (BPS, 2015b).
Belum lagi dengan permasalahan-permasalahan lainnya yang dihadapi
oleh industri pakaian jadi Indonesia diantaranya permasalahan terkait
dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah
seharusnya merupakan faktor pendorong dalam meningkatkan daya saing
dan ekspor Indonesia, namun mengingat industri pakaian jadi yang masih
menggunakan bahan baku impor, akhirnya melemahnya nilai tukar rupiah
ini justru memperlemah daya saing pakaian jadi Indonesia. Permasalahan
lain yang juga terkait adalah masalah mesin dalam industri tekstil yang
umurnya relatif tua serta meningkatnya upah minimum tenaga kerja yang
pada akhirnya semakin memperlemah daya saing pakaian jadi Indonesia.
4
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perspektif Perdagangan Global
Informasi-informasi tersebut di atas merupakan beberapa fakta penting
tentang Pakaian Jadi yang akan dibahas secara mendalam dalam Info
Komoditi Pakaian Jadi edisi kali ini. Kami berharap semoga tulisan ini
mampu memberikan wawasan tentang Pakaian Jadi khususnya dan secara
luas bermanfaat bagi seluruh pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). (2012). Rata-Rata Pengeluaran per Kapita Sebulan
di Daerah Perkotaan dan Perdesaan Menurut Kelompok Barang dan
Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan 2000-2012. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
Badan Pusat Stastistik (BPS). (2014). Statistik Industri Manufaktur. Badan Pusat
Statistik.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015a). Industri Besar dan Sedang: Jumlah Tenaga
Kerja Industri Besar dan Sedang Menurut Sub Sektor, 2008-2013. Diunduh
20 Februari 2015, dari Badan Pusat Statistik: http:/ http://www.bps.go.id/
linkTabelStatis/view/id/1063.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015b). Data Perdagangan Indonesia.
Bankmed – Market & Economic Research Division. (2014). Special Report: Analysis
of Lebanon’s Apparel Market – March 2014. Lebanon: Bankmed - Market &
Economic Research Division.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (2011). Kajian Pengembangan
Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Badan KoordinasiPenanaman Modal.
Kementerian Perindustrian. (2014). Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
2015-2035. Jakarta: Kementerian Perindustrian.
OECD Stat. (2013). OECD Global Value Chains Indicators – May 2013. Diunduh 10
Februari 2015, dari OECD.StatExtracts.
UN COMTRADE. (2015). World Export of Manufacture of Wearing Apparel, Dressing,
and Dyeing Fur, Diunduh 5 Februari 2015, dari WITS: World Integrated
Trade Solution: https://wits.worldbank.org/WITS/WITS/Restricted/Login.
aspx.
5
Sefiani Rayadiani
BAB II
PRODUKSI PAKAIAN JADI INDONESIA
Sefiani Rayadiani
2.1 Pendahuluan
Industri pakaian jadi sebagai salah satu bagian dari subsektor industri
Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Barang Kulit, dan Alas Kaki merupakan
industri tertua di Indonesia yang memiliki pengaruh signifikan dalam
perekonomian Indonesia. Selama lima tahun terakhir (2010-2014) subsektor
industri TPT, Barang Kulit, dan Alas Kaki1 memberikan rata-rata kontribusi
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 1,90% per
tahunnya dan 9,06% terhadap industri pengolahan tanpa migas (Badan
Pusat Statistik, 2015a). Laju pertumbuhan produksi kumulatif subsektor
industri TPT, Barang Kulit, dan Alas Kaki pada periode yang sama berkisar
1,7% - 7,52% (Badan Pusat Statistik, 2015b).
Selain peranannya terhadap perekonomian dan ekspor, industri pakaian
jadi juga memiliki peran sosial dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Industri pakaian jadi adalah industri yang menyerap banyak tenaga kerja,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Badan Pusat Statistik (2015c)
mencatat jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri pakaian jadi
Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 473.594 jiwa atau 10,81% dari jumlah
total tenaga kerja industri besar dan sedang di Indonesia. Penyerapan
tenaga kerja di industri pakaian jadi tersebut menempati urutan kedua
setelah industri makanan.
Di sisi lain, pengeluaran per kapita untuk pakaian jadi secara global
pada tahun 2012 mencapai USD 153 dan diprediksikan akan naik menjadi
USD 247 pada tahun 2025. Tingkat pertumbuhan pengeluaran pakaian jadi
per kapita di negara-negara berkembang pada tahun 2025 diperkirakan
juga akan lebih tinggi daripada negara-negara maju (Tot, 2014). Tingginya
konsumsi dan pengeluaran per kapita atas pakaian jadi di Indonesia dan
dunia mengindikasikan terdapatnya potensi pasar produk pakaian jadi
nasional di pasar domestik maupu global yang dapat menjadi peluang bagi
industri pakaian jadi Indonesia.
Gambaran di atas menunjukkan tentang betapa pentingnya peranan
industri pakaian jadi baik dalam perekonomian, perdagangan, penyerapan
tenaga kerja maupun peluang pasar. Bab ini mengulas mengenai produksi
1
6
Subsektor TPT, Barang Kulit, dan Alas Kaki merupakan salah satu subsektor yang termasuk dalam sektor Industri
Pengolahan dalam PDB menurut Lapangan Usaha.
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
dunia, perkembangan produksi dan kinerja industri pakaian jadi Indonesia,
biaya produksi, dan pakaian jadi dalam Global Value Chain (GVC).
2.2 Produksi Dunia
Resesi global, yang dipicu oleh krisis finansial di Amerika Serikat pada
tahun 2008, menyebar dengan pesat ke negara-negara industri maju dan
berdampak terhadap produksi pakaian jadi dunia. Dengan adanya kondisi
tersebut, permintaan pakaian jadi dunia, khususnya dari Eropa, Amerika
Serikat, dan Jepang, mengalami penurunan pada tahun 2009. Resesi global
mengakibatkan penutupan pabrik dan pemberhentian tenaga kerja di industri
pakaian jadi. Sementara, negara-negara maju baru (emerging countries)
seperti RRT mempertahankan pertumbuhan yang tinggi pasca krisis finansial
global 2008 sehingga hal ini dapat menyangga industri pakaian jadi global dari
dampak yang lebih buruk akibat resesi global. Gambar 2.1 memperlihatkan
pertumbuhan produksi industri pakaian jadi dunia pada tahun 2009 sebesar
2,2% dengan nilai produksi industri pakaian jadi dunia sebesar USD 1,1
triliun. Pada tahun 2012 nilai produksi industri pakaian jadi global mencapai
USD 1,2 triliun, naik 3,1% dari tahun 2011. Bankmed – Market & Economic
Research Division (2014) mencatat pertumbuhan rata-rata tahunan industri
pakaian jadi dunia dalam kurun waktu 2008-2012 adalah sebesar 2,8%.
Nilai Produksi Industri Pakaian Jadi Global (USD Miliar)
1.117
Pertumbuhan (%)
1.141
1.181
1.212
1.249
2,2%
3,5%
2,6%
3,1%
2008 2009 2010 20112012
Gambar 2.1 Nilai Produksi dan Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi Global.
Sumber: Bankmed-Market & Economic Research Division (2014)
Yen (2012) berpendapat bahwa sebagian besar produsen utama pakaian
jadi dunia pada tahun 2012 terletak di benua Asia sebagaimana diperlihatkan
dalam Gambar 2.2. Hal ini diperkuat oleh data Institute of Studies and
Industrial Marketing of Brazil (Gotexshow, 2015) yang menunjukkan pangsa
produksi pakaian jadi benua Asia pada tahun 2012 lebih dari 65%. Sembilan
dari lima belas produsen utama pakaian jadi dunia ada di benua Asia,
7
Sefiani Rayadiani
dimana RRT, India, dan Pakistan menduduki posisi tiga teratas (Tabel 2.1).
Indonesia sendiri sebagai salah satu produsen utama dunia memiliki pangsa
produksi sebesar 1,1% dari produksi industri pakaian jadi dunia.
Gambar 2.2 Peta Produsen Utama Industri Pakaian Jadi Dunia, 2012.
Sumber: Yen (2012)
Tabel 2.1 Produsen Utama Pakaian Jadi Dunia Tahun 2012
Produsen Utama Pakaian Jadi Dunia
Negara
Pangsa terhadap
Produksi Dunia
RRT47,2%
India7,1%
Pakistan3,1%
Brazil2,6%
Turki2,5%
Korea Selatan
2,1%
Meksiko2,1%
Italia1,9%
Malaysia1,4%
Taiwan1,4%
Polandia1,4%
Romania1,2%
Indonesia1,1%
Bangladesh1,0%
Thailand1,0%
Lainnya22,7%
Total100%
Sumber: Gotexshow (2015), diolah
Berdasarkan kategori produk, pakaian wanita mendominasi segmentasi
produksi industri pakaian jadi global (50,7%) pada tahun 2012. Berikutnya
adalah produk pakaian pria (32,3%) dan pakaian anak-anak (17,0%)
(Gambar 2.3).
8
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
Pakaian
Anak-Anak
17,0%
Pakaian Pria
32,3%
Pakaian Wanita
50,7%
Gambar 2.3 Kategori Segmentasi Produk Pakaian Jadi Global.
Sumber: Bankmed-Market & Economic Research Division (2014)
Di sisi lain, Yen (2012) mencatat bahwa pada tahun 2012 RRT memimpin
pasar dalam memproduksi keseluruhan jenis produk pakaian jadi yang diminta
oleh dunia. Sementara itu, India mengkhususkan diri untuk memproduksi
kemeja katun/blus bukan rajutan, Vietnam memfokuskan produksi kemeja
katun rajutan, kemeja multi fiber rajutan, dan celana multi fiber, sedangkan
Bangladesh menspesialisasikan diri untuk memproduksi produk kemeja
katun bukan rajutan, celana panjang/ celana pendek katun. Indonesia sendiri
terkenal dengan spesialisasi produksi produk kemeja katun.
2.3 Perkembangan Produksi dan Kinerja Industri Pakaian Jadi Indonesia
Industri pakaian jadi di Indonesia mulai berkembang sejak akhir tahun
1970-an. Pada masa itu Pemerintah Orde Baru memberikan perhatian dan
dukungan khusus melalui berbagai kebijakan proteksi, seperti proteksi
tarif bea masuk, prosedur lisensi impor, dan biaya tambahan untuk impor
yang dikombinasikan dengan alokasi kuota ekspor, yang bertujuan untuk
melindungi industri TPT dari persaingan asing (Vickers, 2012).
Pada tahun 1980-an pemerintah mulai memfokuskan pada kebijakan
investasi dan liberalisasi pada sektor industri TPT. Pemerintah memberikan
pembebasan tarif bea masuk atas bahan baku/penolong, skema insentif,
dan tingkat suku bunga rendah guna mendorong produksi industri pakaian
jadi nasional (Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM, 2011). Sebagai
industri baru di Indonesia pada masa itu, industri pakaian jadi mulai
memberikan kontribusi terhadap ekspor pada awal tahun 1980-an. Ekspor
pakaian jadi Indonesia melebihi permintaan domestik selama periode 19801993. Bahkan Nur (2010) berpendapat bahwa pada periode 1986-1997
pakaian jadi sebagai komoditi primadona. Pada tahun 1992 ekspor pakaian
jadi mencapai puncaknya dan kemudian mengalami pertumbuhan negatif
(BKPM, 2011).
9
Sefiani Rayadiani
Saat terjadinya krisis moneter 1997-1998 banyak produsen pakaian
jadi Indonesia yang kehilangan sumber pembiayaannya karena banyak
bank dilikuidasi oleh pemerintah pada masa itu. Krisis moneter 1997-1998
yang menyebabkan ketidakpastian iklim usaha, kenaikan suku bunga,
depresiasi nilai tukar dan biaya produksi yang tinggi mengakibatkan
industri pakaian jadi dalam negeri terpuruk dan produktivitasnya menurun
(BKPM, 2011; Nur, 2010).
Pandangan bahwa industri pakaian jadi merupakan industri yang
meredup (sunset industry) menyebabkan kurangnya antusiasme investasi
di industri pakaian jadi pasca krisis moneter 1997-1998. Kebijakan industri
pakaian jadi yang ada lebih difokuskan pada kebijakan-kebijakan untuk
mengatasi penurunan jumlah tenaga kerja. Berbeda dengan perkembangan
industri pakaian jadi di Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong yang memiliki
integrasi vertikal yang kuat, kondisi tersebut tidak terjadi di industri pakaian
jadi di Indonesia (Vickers, 2012).
Selama periode 1998-2002 industri pakaian jadi dalam negeri
mengalami masa yang sulit, bahkan Nur (2010) berpendapat bahwa periode
ini merupakan periode kekacauan, penyelamatan, dan bertahan industri
pakaian jadi nasional. Kemudian seiring dengan membaiknya kondisi
makroekonomi Indonesia sejak tahun 2002, industri pakaian jadi nasional
memasuki upaya revitalisasi dan normalisasi. Sejak tahun 2007 pemerintah
melakukan proses restrukturisasi mesin TPT di Indonesia, termasuk industri
pakaian jadi dalam negeri.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008
tentang Kebijakan Industri Nasional dan Peraturan Menteri Perindustrian
Republik Indonesia Nomor 109/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta
Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Tekstil dan Produk
Tekstil menetapkan industri pakaian jadi sebagai salah satu klaster
industri prioritas berbasis industri manufaktur yang dikembangkan oleh
pemerintah sepanjang tahun 2010-2014.
Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)
tahun 2007, kelompok industri pakaian jadi sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 109/M-IND/
PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster
Industri Tekstil dan Produk Tekstil mencakup industri pakaian jadi rajutan
(KBLI 17302), industri pakaian jadi dari tekstil dan perlengkapannya
(KBLI 18101) dan industri pakaian jadi (konveksi) dan perlengkapannya
(KBLI 18102). Sementara menurut pengklasifikasian KBLI 2009, industri
pakaian jadi meliputi industri pakaian jadi (konveksi) dari tekstil (KBLI
10
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
14111), industri pakaian jadi rajutan (KBLI 14301), dan industri pakaian
jadi sulaman/bordir (KBLI 14302).
Dalam pohon industri TPT, terdapat 3 sub sektor, yakni sub sektor hulu,
sub sektor antara, dan sub sektor hilir. Sub sektor hulu meliputi industri
serat dan benang, dimana industri serat mencakup serat alam, serat stapel
sintetis, benang filaman, dan industri benang mencakup industri pemintalan
benang dan pencelupan benang. Sub sektor antara merupakan industri kain
dan sub sektor hilir meliputi industri pakaian jadi dan industri artikel tekstil
lainnya (Gambar 2.4).
Textile Fiber Industry
Oth. Textile
Industry
NATURAL FIBER
(Cotton, Silk, Ramie
Jute, Wool, Etc)
KBLI : 13111
SYBTETIC STAPEL
FIBER
(PFY, VSF, NSF, Etc)
KBLI: 20302
NON WOVEN
KBLI 13443
SPINNING
(Yarn)
KBLI: 13112,
13113
YARN DYEING
KBLI: 13131
FILAMENT YARN
(PFY, VSF, VFY, Etc)
KBLI: 20301
Sub Sektor Hulu
WEAVING
(GREIGE)
KBLI 13121
KNITING
(GREIGE)
KBLI 13911
Yarn Industry
EMBROIDERY
(13912)
OTHERS TEXTILE
ARTICLE
KBLI 13921, 13922
13923, 13930
13941, 13942, 13992
13994, 13999
14131, 14303
GARMENT
KBLI 14111
KBLI 14302
DYEING
PRINTING
FINISHING
(FINISHED FABRIC)
KBLI 13132, 13133
13134
Garment
KNITTED
GARMENT
KBLI 14301
Fabric Industry
Sub Sektor Antara
Sub Sektor Hilir
Gambar 2.4 Pohon Industri Tekstil dan Produk Tekstil.
Sumber: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (2014)
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur
Kementerian Perindustrian (2014) dan Badan Pusat Statistik (2014), jumlah
perusahaan industri pakaian jadi mengalami peningkatan setiap tahunnya
selama periode 2009-2013. Hal ini seiring dengan penambahan nilai
investasi pada industri pakaian jadi setiap tahunnya. Pada tahun 2009 jumlah
perusahaan industri pakaian jadi di Indonesia sebanyak 2.639 sedangkan
pada tahun 2013 sebanyak 2.739 perusahaan. Nilai investasi pada tahun
2013 mencapai Rp 42,4 triliun, lebih tinggi daripada nilai investasi pada
tahun 2009 sebesar Rp 37,5 triliun (Tabel 2.2).
11
Sefiani Rayadiani
Tabel 2.2 Perkembangan Nilai Investasi dan Jumlah Perusahaan Industri Pakaian Jadi Indonesia
Sumber : Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur, Kementerian Perindustrian (2014) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2014), diolah
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2009-2013) kapasitas
terpasang industri pakaian jadi nasional cenderung mengalami peningkatan
setiap tahunnya dengan tren pertumbuhan sebesar 3,4%. Pertumbuhan
kapasitas terpasang industri pakaian jadi Indonesia yang tertinggi terjadi
pada tahun 2011 sebesar 6,67% naik dari 820,6 ribu ton menjadi 875,4 ribu
ton. Kapasitas terpasang industri pakaian jadi nasional terus naik hingga
mencapai 903,5 ribu ton dan terus meningkat menjadi 940,9 ribu ton pada
tahun 2013. Badan Koordinasi Penanaman Modal (2011) mencatat bahwa
kenaikan tersebut dipicu oleh peningkatan investasi di industri pakaian jadi
akibat adanya realokasi beberapa perusahaan pakaian jadi dari sejumlah
negara (seperti Korea Selatan, RRT, Taiwan) yang menjadikan Indonesia
sebagai basis industri TPT mereka. Biaya produksi di Indonesia yang
lebih murah dan kompetitif menjadi dasar pertimbangan sejumlah negara
tersebut untuk memindahkan perusahaan pakaian jadinya ke Indonesia
(Better Work Indonesia, 2011).
Gambar 2.5 Kapasitas Terpasang, Produksi dan Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2009-2013.
Sumber: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (2014)
12
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
Berbanding lurus dengan bertambahnya kapasitas terpasang pada
industri pakaian jadi nasional, volume produksi pakaian jadi juga cenderung
mengalami peningkatan sebesar 5,5% per tahunnya selama periode 20092013. Volume produksi pakaian jadi Indonesia yang tadinya hanya sebesar
561,6 ribu ton pada tahun 2009, produksinya naik menjadi 724,1 ribu ton
pada tahun 2013. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,
volume produksi pakaian jadi pada tahun 2013 adalah yang tertinggi selama
lima tahun terakhir (Gambar 2.5).
Meskipun kapasitas terpasang dan volume produksi industri pakaian
jadi dalam negeri terus meningkat tiap tahunnya selama periode 2009-2013,
namun rata-rata utilisasi produksi2 industri pakaian jadi Indonesia sekitar
75,3%. Utilisasi produksi industri pakaian jadi terendah terjadi pada tahun
2009 sebesar 70,2% sedangkan utilisasi produksi tertinggi sebesar 79,3%
terjadi pada tahun 2010. Pada tahun 2013 utilisasi produksi industri pakaian
jadi nasional mencapai 77% (Gambar 2.5). Utilisasi produksi industri pakaian
jadi nasional yang berada di bawah kapasitas terpasangnya mengindikasikan
industri pakaian jadi Indonesia masih belum dapat memaksimalkan kapasitas
terpasang yang ada sepenuhnya. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API) mengatakan beberapa permasalahan yang terkait dengan
komponen biaya produksi dan proses produksi, mulai dari kenaikan tarif
dasar listrik, pelemahan nilai tukar rupiah, ketergantungan terhadap bahan
baku/penolong, umur mesin yang tua, dan produktivitas yang rendah, menjadi
alasan mengapa utilisasi produksi industri pakaian jadi di Indonesia tidak
optimal. Industri pakaian jadi lebih memilih untuk melakukan penghematan
terkait dengan adanya permasalahan tersebut dengan menurunkan volume
produksinya (Bisnis Indonesia, 2014).
Ditinjau dari nilai produksi sepanjang periode 2009-2012, Direktorat
Industri Tekstil dan Aneka Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur
Kementerian Perindustrian (2013) mencatat peningkatan nilai produksi
subsektor industri pakaian jadi setiap tahunnya (Gambar 2.6). Kondisi
ini sejalan dengan pertumbuhan volume produksinya. Pada tahun
2009, produksi subsektor industri pakaian jadi Indonesia sebesar USD
4,6 miliar. Pada tahun 2010, terjadi lonjakan nilai produksi subsektor
industri pakaian jadi dalam negeri sebesar 26,9% atau senilai USD 1,3
miliar, sehingga nilai produksi subsektor industri pakaian jadi pada tahun
tersebut mencapai USD 5,9 miliar. Peningkatan tersebut berlanjut sampai
tahun 2012, dimana nilai produksi subsektor industri pakaian jadi nasional
tercatat mencapai USD 6,2 miliar.
2
Utilitas produktifitas adalah presentase pemanfaatan kapasitas terpasang yang dihitung dari rasio realisasi produksi terhadap kapasitas produksi terpasang yang ada.
13
Sefiani Rayadiani
Nilai Produksi (Miliar USD)
Volume Produksi (Juta Ton)
6,2
6,0
5,9
4,6
0,7
0,6
0,7
0,7
2009 201020112012
Gambar 2.6 Nilai Produksi dan Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi
Indonesia, 2009-2012.
Sumber: Direktorat Industri Tekstil dan Aneka, Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur, Kementerian Perindustrian (2013)
Berdasarkan nilai output yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (2015),
tren pertumbuhan nilai output industri pakaian jadi dalam negeri sepanjang
tahun 2009-2013 sebesar 6,1% setiap tahunnya. Pertumbuhan nilai output
tertinggi pada industri pakaian jadi domestik terjadi pada tahun 2010 sebesar
22,9%. Sebaliknya, pertumbuhan negatif dari nilai output yang dihasilkan oleh
industri pakaian jadi Indonesia terjadi pada tahun 2013. Tabel 2.3 menunjukkan
nilai output industri pakaian jadi pada tahun 2012 sebesar Rp 72 triliun adalah
yang tertinggi sepanjang tahun 2009-2013. Nilai output tersebut kemudian
menurun menjadi sebesar Rp 65,5 triliun tahun 2013.
Tabel 2.3 Perkembangan Nilai Output dan Nilai Tambah Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2009-2013
TahunNilai Output (Miliar Rupiah)
2009
2010
2011
2012
2013*
Tren 09-13 (%)
Pertumbuhan
(%)
Nilai Tambah
(Miliar Rupiah)
51.734 13,5
63.57422,9
63.969 0,6
71.988 12,5
65.493 -9,0
6,1
Pertumbuhan
(%)
29.09020,0
31.124 7,0
32.0713,0
44.00237,2
24.141-45,1
3,0
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015d, 2015e), diolah
Keterangan: *) Angka Sementara
Nilai tambah atas harga pasar industri pakaian jadi Indonesia sendiri
selama lima tahun terakhir cenderung menurun setiap tahunnya sekitar 3%.
Penurunan nilai tambah tersebut terutama terjadi karena anjloknya nilai
14
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
tambah industri pakaian jadi nasional pada tahun 2013, yang turun sekitar
45%. Kondisi ini sangat kontras dengan tahun-tahun sebelumnya dimana
nilai tambah industri pakaian jadi selalu mengalami pertumbuhan positif. Nilai
tambah industri pakaian jadi dalam negeri pada tahun 2013 mencapai Rp
24,1 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan nilai tambah yang dihasilkan
pada tahun 2009 (Rp 29,1 triliun). Penyebab utama turunnya nilai tambah
industri pakaian jadi secara drastis pada tahun 2013 adalah adanya lonjakan
biaya input3 yang berkisar 47,8% dimana biaya input untuk industri pakaian
jadi Indonesia pada tahun tersebut mencapai Rp 41,4 triliun.
Berkaitan dengan konsep rantai nilai global industri pakaian jadi
Indonesia, OECD Stat. (2013) mencatat bahwa partisipasi Indonesia
dalam rantai nilai global industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki menunjukkan
penurunan sejak tahun 1990. Pasca dibatalkannya Multi Fiber Agreement
(MFA) sejak tahun 1995, kondisi usaha industri pakaian jadi Indonesia
tidak semudah sebelumnya.
Inggi (2008) mengemukakan bahwa fenomena pergeseran konsumen,
peningkatan permintaan konsumen hingga kenaikan bahan bakar minyak
menyebabkan gambaran rantai nilai industri pakaian jadi mengalami
perubahan yang signifikan. Pada tahun 2009 total indeks partisipasi rantai
nilai global industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Indonesia hanya berkisar 2,6
padahal pada tahun 1990 indeks partisipasi yang dimiliki Indonesia di atas 5.
Indeks partisipasi ke belakang (backward index participation) industri Tekstil,
Kulit, dan Alas Kaki Indonesia lebih dominan dalam rantai nilai global yang
mengindikasikan bahwa nilai tambah dari luar negeri yang digunakan untuk
ekspor tinggi atau ketergantungan terhadap impor yang tinggi. Meskipun
demikian indeks partisipasi ke belakang terus mengalami penurunan karena
tumbuhnya industri dalam negeri dalam memasok bahan baku (Gambar 2.7).
Backward
Forward
1,01,0
0,8 0,50,5
4,34,1
2,52,62,1
1995 2000200520082009
Gambar 2.7 Perkembangan Indeks Partisipasi Industri Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012.
Sumber: OECD Stat. (2013), diolah
3
Kenaikan biaya input yang dimaksud adalah nilai biaya input yang meningkat akibat kenaikan pada komponen input.
15
Sefiani Rayadiani
Ditinjau berdasarkan pengelompokkan dalam industri pakaian jadi
nasional KBLI 3 digit, peranan subsektor pakaian jadi dan perlengkapannya,
bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) mendominasi industri pakaian
jadi nasional. Kontribusi subsektor pakaian jadi dan perlengkapannya,
bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) setiap tahunnya cenderung
meningkat dari 79,4% pada tahun 2009 menjadi 91,6% pada tahun 2012.
Sebaliknya, peranan subsektor pakaian jadi rajutan dan sulaman/bordir
(KBLI 143) dalam industri pakaian jadi justru terus berkurang, yakni dari
20,6% pada tahun 2009 menjadi 8,4% pada tahun 2012.
Gambar 2.8 Komposisi Nilai Tambah Industri Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Tren pertumbuhan nilai tambah yang dihasilkan oleh subsektor pakaian
jadi dan perlengkapannya, bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI
141) sekitar 18,6% per tahunnya selama periode 2009-2012 (Tabel 2.4).
Pertumbuhan nilai tambah subsektor pakaian jadi dan perlengkapannya,
bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) sempat berada di bawah
rata-rata pertumbuhan pada tahun 2011, namun kemudian kembali berada
di atas tren pertumbuhan 2009-2012. Nilai tambah subsektor pakaian jadi
dan perlengkapannya, bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141)
sendiri pada tahun 2012 mencapai Rp 40,3 triliun, naik sekitar 37,7%
dari tahun sebelumnya. Berkebalikan dengan subsektor pakaian jadi dan
perlengkapannya, bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) yang
memiliki kecenderungan meningkat dalam nilai tambah, subsektor pakaian
jadi rajutan dan sulaman/bordir (KBLI 143) justru memiliki tren negatif
sebesar 13% per tahunnya selama 2009-2012. Nilai tambah pada subsektor
16
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
ini mengalami penurunan secara tajam sebesar 56% pada tahun 2010 dari
sebesar Rp 6 triliun menjadi Rp 2,6 triliun.
Tabel 2.4 Perkembangan Nilai Tambah dan Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Sama halnya dengan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan di
bawah kepemimpinan Presiden Jokowi menjadikan industri Tekstil, Kulit,
Alas Kaki, dan Aneka sebagai industri andalan yang menjadi industri prioritas
dalam Rencana Induk Pembangunan Industri (RIPIN) Tahun 2015-2035.
Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki, dan Aneka4 sebagai industri andalan akan
berperan besar sebagai penggerak utama (prime power) perekonomian di
masa yang akan datang, memiliki keunggulan komparatif berupa potensi
sumber daya alam, dan keunggulan kompetitif berupa sumber daya manusia
yang berpengetahuan dan terampil serta ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK). Pada tahun 2015-2019 jenis industri pakaian jadi menjadi prioritas
untuk dibangun. Beberapa kriteria yang menentukan industri tersebut masuk
dalam kategori prioritas adalah memiliki potensi pasar yang tumbuh pesat
di dalam negeri, meningkatkan kuantitas dan kualitas penyerapan tenaga
kerja, berpotensi untuk dapat bersaing di pasar global, dan memiliki potensi
untuk tumbuh pesat dalam kemandirian (Kementerian Perindustrian, 2014).
2.4 Biaya Produksi
Biaya input merupakan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
yang terdiri dari biaya: bahan baku; bahan bakar, tenaga listrik dan gas;
bahan bakar yang digunakan selama proses produksi yang berupa; sewa
gedung, mesin dan alat-alat; dan jasa non industri. Biaya input yang
dikeluarkan oleh industri pakaian jadi nasional yang berskala besar dan
4
Aneka industri meliputi Industri Furnitur & Barang Lainnya dari Kayu serta Industri Plastik, Pengolahan Karet & Barang dari Karet.
17
Sefiani Rayadiani
menengah semakin meningkat setiap tahunnya selama periode 2000-2013.
Pada tahun 2000 biaya input industri pakaian jadi dalam negeri berkisar Rp
15,1 triliun. Biaya input tersebut kemudian mendekati angka tiga kali lipat
pada tahun 2013, yakni menjadi sebesar Rp 41,4 triliun. Kendatipun biaya
input untuk industri besar dan sedang pakaian jadi dalam negeri cenderung
meningkat sepanjang tahun 2000-2013, namun biaya input industri pakaian
jadi juga sempat mengalami pertumbuhan negatif pada beberapa tahun
(Gambar 2.9).
Biaya Input (Triliun Rupiah)
Pertumbuhan, year-on-year (%)
Gambar 2.9 Perkembangan Biaya Input Industri Pakaian Jadi Indonesia,
2000-2013.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015)
Keterangan: *) Angka Sementara
Dalam kurun waktu 2009-2013 pertumbuhan rata-rata tahunan biaya
input industri pakaian jadi nasional sebesar 11,1%. Setelah mengalami laju
pertumbuhan biaya input yang meningkat pada tahun 2009 dan 2010, biaya
input yang harus dibayarkan oleh industri pakaian jadi nasional sempat
mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012 sebesar 1,7% dan 12,3%.
Penurunan biaya input yang signifikan terjadi pada tahun 2012 yakni dari Rp
31,9 triliun (2011) menjadi Rp 28 triliun (2012), akan tetapi penurunan tersebut
tidak bertahan lama karena biaya input yang dikeluarkan oleh industri pakaian
jadi justru melonjak menjadi Rp 41,4 triliun pada tahun 2013. Jika dilihat
secara historis, biaya input industri pakaian jadi pada tahun 2013 adalah
nilai tertinggi selama periode 2000-2013. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API) mengemukakan bahwa kenaikan harga bahan baku garmen
(seperti serat, benang, dan kain), Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 15%
sejak 1 Januari 2013, dan Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah beberapa
18
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
faktor yang memicu lonjakan biaya produksi industri pakaian jadi Indonesia
pada tahun 2013 (Neraca, 2013).
Ditinjau dari komponennya, biaya untuk pembelian bahan baku
mendominasi dalam pembentukkan biaya input industri pakaian jadi
nasional di mana kontribusinya terhadap biaya input hampir mendekati
75% pada tahun 2012 dan di atas 75% pada tahun 2013 (Gambar 2.10).
Ketergantungan yang tinggi atas impor bahan baku katun yang berasal dari
serat kapas dan polyester dan kenaikan harga bahan baku yang merangkak
naik sejak tahun 2010 berdampak terhadap semakin besarnya biaya yang
harus dikeluarkan oleh industri pakaian jadi nasional. Sekretaris Jenderal
Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) menyebutkan bahwa
kenaikan bahan baku Purified Therepthalat Acid (PTA) sebesar 5%, serat
10%, benang 15%, kain 20%, dan garmen 25% dari harga rata-rata dunia
akibat adanya kenaikan TDL membuat biaya produksi pakaian jadi menjadi
lebih mahal dari sebelumnya (Karina, 2012).
Gambar 2.10 Komposisi Biaya Input Industri Pakaian Jadi.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014, 2015), diolah
Gambar 2.10 juga memperlihatkan biaya bahan bakar, tenaga listrik, dan
gas adalah kontributor terbesar kedua dalam biaya input industri pakaian jadi
dalam negeri. Biaya untuk bahan bakar, tenaga listrik, dan gas memegang
peranan penting dalam industri pakaian jadi Indonesia. Kenaikan TDL tentu
saja menjadi batu ganjalan untuk menjalankan roda bisnis industri pakaian
jadi nasional. Kendala lainnya adalah sewa gedung, mesin, dan alat-alat,
jasa yang diberikan oleh pihak lain, biaya representasi dan royalti serta
pengeluaran lainnya. Upah pekerja termasuk ke dalam jasa non-industri
yang harus dibiayai oleh industri pakaian jadi nasional. Karakteristik industri
19
Sefiani Rayadiani
pakaian jadi yang bersifat padat karya tentu saja akan terimbas dengan dampak
kebijakan kenaikan Upah Minimum (UM) per tahunnya. Semakin tingginya
UM pekerja industri pakaian jadi maka semakin tinggi pula biaya upah (jasa
non-industri) yang harus ditanggung oleh industri pakaian jadi dalam negeri.
Studi Hermawan (2011) menjelaskan bahwa kebijakan peningkatan UM pada
industri pakaian jadi berdampak pada penurunan produksi dan ekspor pada
industri pakaian jadi serta rasionalisasi tenaga kerja.
Menurut Sutanto (2014), struktur biaya produksi industri pakaian jadi di
Indonesia pada tahun 2013 masih didominasi oleh biaya bahan baku (57,7%)
diikuti oleh biaya tenaga kerja (27,1%) dan biaya administrasi dan pemasaran
(10,2%). Adapun biaya-biaya lainnya yang mempengaruhi proses produksi
industri pakaian jadi adalah tingkat suku bunga (2,4%), depresiasi (1,4%),
dan energi (1,3%).
2.5 Pakaian Jadi dalam Global Value Chain
Industri pakaian jadi merupakan perintis bagi pengembangan
perekonomian dan dikenal sebagai cikal bakal dari industrialisasi yang
berorientasi ekspor dengan tipikal industri padat karya dan berbiaya produksi
rendah (Gereffi & Memedovic, 2003). Industri pakaian jadi sendiri memegang
peranan penting dalam perekonomian dalam hal penyerapan tenaga kerja,
investasi, dan perdagangan.
Sejak awal pertumbuhannya pada tahun 1950-an industri pakaian jadi
dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan baik dalam
proses produksi, teknologi produksi, dan struktur industri. Humprey dan
Schmitz (2002) mengidentifikasi empat tipe peningkatan industri, yakni
1) fungsional (berpindah ke fungsi yang bernilai lebih tinggi); 2) produk
(memproduksi produk bernilai lebih tinggi); 3) proses (penggabungan
teknologi yang lebih canggih dalam produksi); dan 4) intersektoral
(memanfaatkan keahlian yang diperoleh dalam satu sektor industri untuk
memasuki sektor baru).
Gereffi & Memedovic (2003) dan Fernandez-Stark, Frederick & Gereffi
(2011) menjabarkan lebih lanjut mengenai empat tahapan peningkatan
industri ke dalam rantai nilai global Global Value Chain (GVC) industri
pakaian jadi. Industri pakaian jadi telah mengalami perubahan paradigma
dari industri perakitan (assembly) pakaian sederhana yang bahan-bahan
inputnya diimpor dan diolah di kawasan berikat/zona pengolahan ekspor
menjadi pelayanan paket lengkap (full-package services) atau yang dikenal
dengan Original Equipment Manufacturing (OEM) hingga akhirnya menjadi
Original Brand Name Manufacturing (OBM). OEM lebih terintegrasi secara
domestik dan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dalam bentuk ekspor.
20
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
Model OEM di tingkat internasional adalah bentuk subkontrak komersial di
mana hubungan pembeli-penjual di antara pembeli luar negeri dan manufaktur
domestik yang memungkinkan adanya pembelajaran lokal ke tingkatan yang
lebih tinggi mengenai rantai pakaian jadi dari hulu sampai hilir. Dalam model
OEM, perusahaan memasok produk sesuai dengan desain yang ditentukan
oleh pembeli, produk ini dijual di bawah nama merek pembeli. Pemasok
dan pembeli dalam OEM merupakan perusahaan yang terpisah dimana
pembeli tidak memiliki kontrol atas distribusi. Gereffi & Memedovic (2003)
mengemukakan adanya Original Brand Name Manufacturing (OBM) yang
merupakan peningkatan penjualan oleh manufaktur dari keahlian produksi
OEM untuk merancang dan menjual produk dengan merek mereka sendiri.
Dengan adanya globalisasi, kini industri pakaian jadi tidak lagi diproduksi
dalam suatu jalur integrasi vertikal di suatu negara yang sama melainkan
dapat diproduksi terpisah di beberapa negara dalam suatu rantai nilai global
(GVC). Gereffi & Memedovic (2003) berpendapat bahwa industri pakaian
jadi adalah contoh ideal dari rantai nilai global yang ditentukan oleh pembeli
(buyer-driven global value chain) ,para pembeli global menentukan apa yang
akan diproduksi, di mana, oleh siapa, berapa harganya, dan berapa besar
keuntungan yang didapat. Perusahaan-perusahaan yang menggunakan
model buyer-driven value chain hanya merancang dan/atau memasarkan,
tidak memproduksi produk bermerek yang mereka pesan. Dengan kata
lain, mereka adalah manufaktur tanpa pabrik dengan proses produksi
barang secara fisik terpisah dari proses desain dan pemasaran. Adapun
karakteristik dari rantai nilai yang ditentukan oleh pembeli ini adalah memiliki
tingkat persaingan yang tinggi dan sistem pabrik terdesentralisasi secara
global dengan hambatan masuk yang rendah (Gereffi & Memedovic, 2003).
Gereffi & Memedovic (2003) menjelaskan rantai nilai global pakaian
jadi dapat diorganisasikan ke dalam lima segmen utama yang terdiri dari:
1) pemasok bahan baku (termasuk serat sintesis dan natural; 2) provisi
komponen (benang dan kain yang diproduksi oleh perusahaan tekstil); 3)
jaringan produksi pembuatan pakaian jadi (subkontrak domestik dan luar
negeri); 4) kanal ekspor melalui perdagangan pihak ketiga; dan 5) jaringan
pemasaran pada tingkat ritel/ eceran (Gambar 2.11).
Frederick (2010) mengemukakan enam tahapan kegiatan dalam rantai
nilai global pakaian jadi, yakni 1) penelitian dan pengembangan produk baru
(R &D); 2) desain (design); 3) produksi (production); 4) logistik yang mencakup
pembelian dan produksi (purchasing and distribution); 5) pemasaran dan
branding (marketing); dan 6) pelayanan (services) (Gambar 2.12). Dalam
rantai nilai global pakaian jadi, keuntungan tercipta dari kombinasi keenam
tahapan kegiatan tersebut.
21
Sefiani Rayadiani
Textile companies
Apparel manufacturers
North America
Retail outlet:
All retail outlets
US garment factories
(designing, cutting,
sewing, buttonholing,
ironing)
Natural
fibres
Cotton wool.
silk. etc
Yarn
(Spinning)
Department stores
Brand-named
apparel
companies
Fabric
(weaving
knitting
finishing)
Specialty stores
Domestic and
Mexican Caribbean
Basin subcontractors
Mass merchandise
chains
Asia
Synthetic
Oil natural gas
fibres
Synthetic
fibres
Petrochemicals
Raw material networks
Component networks
Asian garment
contractors
Overseas
buying offices
Domestic and
overseas
subcontractors
Trading companies
Production networks
Discount chains
All retail
outlets
Export networks
Off-price, factory
outlet , mail order,
others
Marketing networks
Gambar 2.11 Rantai Nilai Global Pakaian Jadi.
Sumber: Gereffi & Memedovic (2003)
Services
Value Added
R&D
Design
Marketing
Purchasing
Distribution
Production
Pre-Production
Intagible
Production :
Tangible Activities
Post-Production :
Intangible
Gambar 2.12 Tahapan Kegiatan dalam Rantai Nilai Global Pakaian Jadi.
Sumber: Frederick (2010)
22
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
Perusahaan-perusahaan unggulan dalam industri pakaian jadi dunia
mengadaptasi model rantai nilai global sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu,
manufaktur pakaian jadi menjadi dominan di beberapa negara berkembang
dan terpengaruh dengan berbagai kebijakan perdagangan. Kebijakan
tersebut dimulai dari penetapan kuota melalui Long-Term Arrangement
Regarding International Trade in Cotton Textiles and Substitutes pada
tahun 1962, Multi Fibre Arrangement (MFA) yang diimplementasikan sejak
tahun 1974 hingga penghapusan kuota melalui Agreement Textiles and
Clothing (ATC) pada tahun 2005. Dengan adanya penghapusan kuota
tekstil dan pakaian jadi, persaingan industri pakaian jadi di negara-negara
berkembang menjadi semakin ketat dan bermunculan negara-negara baru
sebagai eksportir produk pakaian jadi di dunia (Fernandez-Stark, Frederick
& Gereffi, 2011).
Pada sebagian besar kasus rantai nilai global pakaian jadi, perusahaanperusahaan unggulan internasional mengalihkan produksinya dalam jaringan
rantai nilai global untuk melakukan kontrak produksi dengan pemasok
di berbagai negara-negara berkembang seperti RRT, India, Bangladesh,
Vietnam, Indonesia, dan sebagainya yang menawarkan harga yang paling
bersaing. Perusahaan-perusahaan unggulan ini termasuk pedagang eceran/
retailer dan pemegang merek yang berkantor pusat di pasar utama seperti
Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.
Ditinjau dari perkembangan indikator partisipasi rantai nilai global industri
Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki, Vietnam memiliki tingkat partisipasi tertinggi
dalam rantai nilai untuk industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki global. Tabel 2.5
memperlihatkan bahwa sejak tahun 1995 keikutsertaan Vietnam dalam
rantai nilai global pada industri tekstil, kulit dan alas kaki terus meningkat.
Selain Vietnam yang menguasai rantai nilai global industri pakaian jadi
dunia, Kamboja, Turki, dan RRT juga memiliki tingkat partisipasi rantai nilai
global yang tinggi. Berbeda dengan Vietnam, ketiga negara tersebut memiliki
indeks partisipasi terus menurun sejak tahun 1995 yang mengindikasikan
bahwa keikutsertaannya dalam rantai nilai global di industri Tekstil, Kulit, dan
Alas Kaki berkurang. Indonesia sebagai salah satu produsen utama Tekstil,
Kulit, dan Alas Kaki dunia memiliki indeks partisipasi rantai nilai global yang
menurun, bahkan angka indeksnya pada tahun 2009 berada di bawah
Thailand dan Brunei Darussalam.
23
Sefiani Rayadiani
Tabel 2.5 Perkembangan Indikator Partisipasi Rantai Nilai Global Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki
Sumber: OECD Stat. (2013)
2.6 Penutup
Industri pakaian jadi berperan signifikan dalam perekonomian, ekspor,
dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia selama ini. Namun demikian,
semakin tingginya hambatan dan tantangan produksi yang dihadapi oleh
industri pakaian jadi nasional mengakibatkan industri pakaian jadi Indonesia
belum dapat memanfaatkan potensinya secara optimal, padahal peluang
pemasaran produk pakaian jadi baik di pasar dalam negeri maupun dunia
terbuka bagi industri pakaian jadi Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan
pendukung pembangunan dan pengembangan industri pakaian dan industri
terkait lainnya yang dapat memicu peningkatan produksi bagi industri pakaian
jadi Indonesia mulai dari kebijakan investasi, restrukturisasi permesinan,
tarif dan perpajakan, suku bunga, infrastruktur, hingga kebijakan sistem
perburuhan dan pengupahan sangatlah diperlukan.
24
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (2011). Kajian Pengembangan Industri Tekstil
dan Produk Tekstil. Jakarta: Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2014). Indikator Industri Manufaktur Indonesia 2012. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015a, Februari 25). Produk Domestik Bruto Atas Dasar
Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2000-2014. Diunduh 25
Februari 2015, dari Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/webbeta/frontend/
linkTabelStatis/view/id/1199
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015b). Produk Domestik Bruto (Lapangan Usaha): Laju
Pertumbuhan Produk Domestik PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut
Lapangan Usaha (Persen), 2000-2014. Diunduh 20 Februari 2015, dari Badan
Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/webbeta/frontend/ linkTabelStatis/view/id/1202
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015c). Industri Besar dan Sedang: Jumlah Tenaga Kerja
Industri Besar dan Sedang Menurut Sub Sektor, 2008-2013. Diunduh 20 Februari
2015, dari Badan Pusat Statistik: http:/ http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/
id/1063
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015d). Industri Besar dan Sedang: Nilai Output IBS Menurut
Subsektor (Milyar Rupiah), 2000-2013. Diunduh 20 Februari 2015, dari Badan
Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1068
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015e). Industri Besar dan Sedang: Nilai Tambah (Harga Pasar)
Industri Besar dan Sedang Menurut Subsektor , 2000-2013 (Milyar rupiah). Diunduh
20 Februari 2015, dari Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/
view/id/1055
Bankmed – Market & Economic Research Division. (2014). Special Report: Analysis of
Lebanon’s Apparel Market – March 2014. Lebanon: Bankmed.
Better Work Indonesia. (2011). Indonesia Garment Industry Review: Better Work Indonesia.
Bisnis Indonesia. (2014, Juni 30). Manufaktur: Biaya Produksi Bengkak, Utilisasi Pabrik
Tekstil Jeblok. Diunduh 15 Februari 2015, dari Bisnis.com: http://industri.bisnis.com/
read/20140630/257/239770/biaya-produksi-bengkak-utilisasi-pabrik-tekstil-tu
Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. (2013). Facts
and Figures Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Jakarta: Direktorat Jenderal Basis
Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian.
Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. (2014). Profil
Basis Industri Manufaktur. Jakarta: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur
Kementerian Perindustrian.
Fernandez-Stark, K., S. Frederick & G. Gereffi. (2011, November). The Apparel Global Value
Chain: Economic Upgrading and Workforce Development. Duke University Center
on Globalization, Governance & Competitiveness.
Frederick, S. (2010). Development and Application of a Value Chain Research Approach
to Understand and Evaluate Internal and External Factors and Relationships
Affecting Economic Competitiveness in the Textile Value Chain. Unpublished Phd
Dissertation, North Carolina State University, Raleigh, NC.
25
Sefiani Rayadiani
Gereffi, G., & O. Memedovic. (2003). The Global Apparel Value Chain: What Prospects for
Upgrading by Developing Countries. Vienna: United Nations Industrial Development
Organization (UNIDO).
Gotexshow. (2015). Market: Overview of the Textile and Clothing Sector. Diunduh 10 Februari
2015, dari GOTEX SHOW: http://www.gotexshow.com.br/eng/ mercado
Hermawan, I. (2011). Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan
Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan, April 2011: 373-408. Jakarta: Bank Indonesia.
Humprey, J., & H. Schmitz. (2002). How Does Insertion in Global Value Chains Affect
Upgrading in Industrial Clusters. Regional Studies, 36 (9): 1017-1027.
Inggi, B.L. (2008, Juli). Rantai Nilai Telah Berubah.Competitiveness at the Frontier, Juli 2008.
Forum Bulanan untuk Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Indonesia, Jakarta:
USAID, SENADA, Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Karina, S. (2012, Oktober 4). Economy: Industri Tekstil Bakal Tersengat Kenaikan Tarif
Listrik. Diunduh 20 Februari 2015, dari Okezone: http://economy.okezone.com/
read/2012/10/04/ 320/699131/industri-tekstil-bakal-tersengat-kenaikan-tarif-listrik
Kementerian Perdagangan. (2015, Februari 17). Perkembangan Ekspor Nonmigas (Sektor)
Periode 2010-2014. Diunduh 18 Februari 2015, dari Kementerian Perdagangan:
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-ofnon-oil-and-gas-export-sectoral
Kementerian Perindustrian. (2014). Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 20152035. Jakarta: Kementerian Perindustrian.
Kementerian Perindustrian. (2015). Pohon Industri TPT 2. Diunduh 18 Februari 2015, dari
Kementerian Perindustrian: http://www.kemenperin.go.id/pohon-industri
Neraca. (2013, Januari 30). Harga Produk Garmen Akan Naik 16,7%. Diunduh Februari 20,
2015, dari Neraca: http://www.neraca.co.id/industri/ 24390/Harga-Produk-GarmenAkan-Naik-167/3
Nur, Y. H. (2010). Profil Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Info Komoditi Prioritas Tekstil dan
Produk Tekstil, Vol. IV No. 01 Tahun 2010, pp. 3-14. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan.
OECD.Stat. (2013, May). OECD Global Value Chains Indicators – May 2013. Diunduh 10
Februari 2015, dari OECD.StatExtracts: http://www.bps.go.id/webbeta/frontend/
linkTabelStatis/view/id/1202
Tot, B. V. (2014). Textile & Apparel Industry Report: Opportunities for Breakthrough,
Vol.04/2014. Vietnam: Fpt Securities.
United Nations Statistics Division. (2015a). Detailed Structure and Explanatory Notes ISIC
Rev.3 (International Standard Industrial Classification of All Economic Activities,
Rev.3). Diunduh 25 Maret 2015, dari United Nations Statistics Division: http://
unstats.un.org/unsd/cr/registry/regcst.asp?Cl=2&Lg=1
United Nations Statistics Division. (2015b). Detailed Structure and Explanatory Notes ISIC
Rev.3.1 (International Standard Industrial Classification of All Economic Activities,
Rev.3.1). Diunduh 25 Maret 2015, dari United Nations Statistics Division: http://
unstats.un.org/unsd/cr/registry/regcst.asp?Cl=17
26
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
United Nations Statistics Division. (2015c). Detailed Structure and Explanatory Notes ISIC
Rev.4 (International Standard Industrial Classification of All Economic Activities,
Rev.4). Diunduh 25 Maret 2015, dari United Nations Statistics Division: http://
unstats.un.org/unsd/cr/registry/regcst.asp?Cl=27
Vickers, A. (2012). Clothing Production in Indonesia: A Divided Industry. Institutions and
Economies , 4 (3), 41-60.
Yen, G. (2012). The Evolution of Textile and Apparel Industry in Asia. SEHK Code: 420.
Fountain Set (Holdings) Limited
27
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
BAB III
KONSUMSI DAN PERDAGANGAN PAKAIAN JADI DI
DALAM NEGERI
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
3.1 Pendahuluan
Pakaian (sandang) adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di
samping makanan (pangan) dan tempat tinggal (papan). Berbicara tentang
pakaian, adalah berbicara mengenai sesuatu yang sangat dekat dengan
diri kita, dimana Thomas Carlyle (1843) dalam Barnard (2007) mengatakan,
“pakaian merupakan perlambang jiwa”. Selain sebagai salah satu kebutuhan
primer manusia, pakaian juga tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
sejarah kehidupan dan budaya manusia, termasuk peran dan makna pakaian
dalam tindakan sosial. Pakaian membawa pesan tentang keberadaan
seseorang, dan menggambarkan gaya hidup seorang individu atau suatu
komunitas tertentu, yang merupakan suatu bagian dari kehidupan sosial.
Perubahan musim dan wilayah akan berpengaruh pada cara dan model
berpakaian. Setiap kelas sosial masyarakat dapat kita lihat dari pakaian apa
yang mereka pakai, baik dari segi harga, jumlah, model dan kualitasnya.
Selain itu selera cara berpakaian juga dipengaruhi perkembangan fashion
dari suatu komunitas seiring dengan perkembangan zaman.
Mengingat pentingnya peran ini, berbagai permasalahan terkait dengan
pakaian jadi juga seringkali menjadi perhatian bagi pemerintah. Kebutuhan
pakaian jadi ini sangat dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk,
dimana semakin bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan
pakaian jadi juga akan semakin bertambah. Dengan demikian maka penting
bagi pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan juga
pasokan (supply) yang ada. Di samping itu, persaingan dengan produk impor
juga merupakan isu penting terkait dengan produk pakaian jadi, apalagi
kondisi Indonesia dengan pasar yang besar dan jumlah penduduk yang lebih
dari 250 juta akan menjadi target pasar.
Produk pakaian dalam negeri sebenarnya memiliki kualitas yang tidak
kalah dengan produk impor. Selain para produsen pakaian batik yang
memiliki ciri khas yang unik dan bernilai seni tinggi, ada banyak produsen
lokal yang memiliki produk yang berkualitas dan brand yang cukup ternama di
dunia internasional. Produk produk nasional tersebut harus mampu bersaing
ditengah gencarnya serbuan merek asing dalam dunia fashion. Mall-mall
papan atas saat ini menjadi pangkalan dan etalase merek asing (Bakri, 2015).
28
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
Untuk mempertahankan dan mengamankan pasar dalam negeri, dengan
jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, bukanlah hal yang mudah. Beberapa
fenomena lain yang juga perlu perhatian, diantaranya adalah membanjirnya
produk pakaian bekas impor ilegal. Maraknya penyelundupan pakaian bekas
sejak awal tahun 2010, dikhawatirkan akan menghantam pelaku usaha
pakaian jadi lokal skala kecil, dimana penyelundupan impor pakaian bekas
seperti dari Malaysia sering terjaring razia Bea Cukai di perairan Indonesia
(Detik.com, 2010). Walaupun pemerintah sudah menghimbau masyarakat
agar tidak membeli pakaian impor bekas, namun bagi masyarakat segmen
bawah (yang berpenghasilan rendah) bisa membeli pakaian impor murah
adalah suatu keuntungan tersendiri. Selain masalah produk pakaian bekas
impor ilegal, juga ada masalah menjamurnya produk pakaian batik impor.
Walaupun daya saing batik di kancah fashion global tidak perlu terlalu
dikhawatirkan, pemerintah justru mencemaskan kiprah batik di pasar dalam
negeri (domestik). Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menyatakan bahwa
“yang perlu diwaspadai dari industri batik adalah persaingan dengan produk
impor yang harganya lebih murah” (Bisnis.com, 2014).
Tulisan dalam Bab III membahas mengenai konsumsi dan perdagangan
pakaian jadi di dalam negeri, yang mencakup konsumsi komoditas pakaian
jadi di Indonesia (dan dunia), standar dan kebijakan yang ada di dalam
negeri serta perlindungan konsumen di Indonesia. Secara umum, bab ini
membahas dinamika komoditas pakaian jadi di Indonesia dari sudut pandang
konsumsi dan perdagangannya.
3.2 Konsumsi dan Penggunaan
Industri Tekstil, dan Produk Tekstil (TPT) menjadi salah satu penopang
perekonomian nasional. Oleh karena itu sepanjang tahun 2010-2013,
pemerintah telah mengucurkan dana bantuan sebesar Rp 569,05 miliar
kepada 609 perusahaan Industri TPT dan alas kaki, sehingga mampu
meningkatkan kapasitas produksi nasional sebesar 17-25%, dan
peningkatan produktivitas sampai 6-10% (Mediaindustri, 2014). Angka
pertumbuhan produksi tersebut berada jauh di atas rata-rata pertumbuhan
tahunan penduduk Indonesia yang berkisar 1,3% (World Bank, 2015), dan
ini merupakan sebuah prospek yang bagus untuk bisa menguasai pangsa
pasar dalam negeri dan bahkan luar negeri.
Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi dan 250 juta penduduk (BPS,
2014), juga memiliki beragam cara dan selera berpakaian. Hal ini tentu
merupakan suatu potensi yang sangat menjanjikan bagi industri pakaian jadi
baik dari dalam maupun luar negeri untuk bisa masuk di pasar Indonesia.
29
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Mereka berlomba-lomba untuk menguasai pangsa pasar di negara kita,
memuaskan selera dan kebutuhan pasar di Indonesia dalam rangka
memperoleh keuntungan yang besar.
Berdasarkan data BPS (2014) nilai total impor pakaian jadi sebesar USD
341 juta, dan jumlah produksi dalam negeri sebesar USD 7,4 miliar selama
tahun 2014. Data-data tersebut menunjukkan begitu besarnya perputaran
pakaian jadi di dalam negeri, yang melibatkan produsen dalam negeri dan
produsen luar negeri. Selain itu data tersebut juga membuktikan bahwa
pangsa pasar dalam negeri kita masih di kuasai oleh produsen lokal daripada
produsen luar negeri.
Selama periode 2009 sampai 2014, rata-rata konsumsi domestik pakaian
jadi di Indonesia mengalami kenaikan 6,98% per tahun. Pada Gambar 3.1
terlihat kenaikan konsumsi pakaian jadi tertinggi pada tahun 2009-2010
sebesar 40.975 ton.
350,000
300,000
250,000
250,265
259,004
259,004
286,135
308,363
209,290
200,000
150,000
100,000
19,6 %
3,5 %
2,5 %
7,8 %
7,8 %
50,000
0
2009
2010
2011
Konsumsi (Ton)
2012
2013
2014
Trend (6,98)
Gambar 3.1 Konsumsi Pakaian Jadi Domestik, 2009-2014.
Sumber: Pusdatin Kementerian Perdagangan (2014), diolah
Persentase pengeluaran rata-rata masyarakat per kapita di pasar
domestik pada periode 2009-2013 ditunjukkan dalam Tabel 3.1. Dari
total pengeluaran rata-rata per kapita, persentase terbanyak ditempati
oleh kelompok barang makanan dengan total pengeluaran yang hampir
mencapai 50% setiap tahunnya. Berikutnya adalah kelompok barang rumah
dan perabotan rumah tangga yang mencapai hampir 20%, dan selanjutnya
kelompok barang lain-lain, serta yang terakhir adalah kelompok barang
pakaian, alas kaki, dan tutup kepala. Kelompok barang pakaian, alas kaki
dan tutup kepala cenderung mengalami kenaikan persentase pengeluaran
setiap tahunnya dibandingkan dengan kelompok barang lainnya.
30
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
Tabel 3.1 Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang, 2009-2013
Kelompok Barang
2009
Makanan
50,62 51,43 48,46 47,7147,19
Rumah dan perabotan rumah tangga
19,89
20,36
18,92
3,33
3,38
6,96
Pakaian, alas kaki dan tutup kepala
Lain-lain
2010
2011
2012* 2013*
19,86 19,15
5,95
6,53
26,14 24,81 25,67 26,4927,14
Total
100100 100 100 10
Sumber: Badan Pusat Statistik (2013), diolah
Catatan: *) Tahun 2012-2013 menggunakan sensus triwulan ke dua di bulan september dengan sampel 75.000 rumah tangga
Gambar 3.2 menunjukkan konsumsi masyarakat untuk produk pakaian,
alas kaki, dan tutup kepala sesuai golongan pengeluaran per bulan yang
mengalami kenaikan sesuai dengan golongan jumlah pengeluaran per
bulannya. Semakin besar golongan pengeluaran per bulan maka semakin
besar pula konsumsi pakaian jadi yang dilakukannya. Tahun 2009-2012,
nilai konsumsi pakaian, alas kaki, dan tutup kepala cenderung menurun di
tiap tahunnya. Penurunan ini terjadi hampir di setiap golongan pengeluaran,
kecuali pada tahun 2010.
60000
Konsumsi (Rp)
50000
40000
2009
30000
2010
20000
2011
2012
10000
0
>100 100-149,9150-199,9200-299,9300-499,9500-749,9750-999,9 1000<
Golongan Pengeluaran dalam Ribuan (Rp)
Gambar 3.2 Rata-Rata Konsumsi Pakaian, Alas Kaki, dan Tutup Kepala per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan, 2009-2012.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012), diolah
31
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Peningkatan konsumsi pakaian jadi di dalam negeri merupakan
momentum baik yang perlu disikapi dengan tepat. Para produsen pakaian
jadi di Indonesia harus mampu mempertahankan pertumbuhan pasar dan
omzet penjualannya dari tahun ke tahun dengan strategi yang sesuai dengan
kondisi sumberdaya perusahaannya dan kondisi pasar sasaran mereka,
diantaranya dengan peningkatan mutu atau kualitas produk. Deming (1993)
mengatakan dalam Mulyadi (2010), bahwa: “perusahaan yang memenangkan
pasar adalah perusahaan yang mampu memuaskan konsumennya dengan
produknya yang bermutu”.
3.3 Perilaku Konsumen
Dalam pemilihan, pembelian, dan penggunaan produk pakaian jadi,
konsumen cenderung mempunyai cara atau perilaku yang berbeda, yang
dalam literatur pemasaran disebut perilaku konsumen. Perilaku konsumen
menyangkut tentang cara individu, kelompok, dan organisasi dalam
menyeleksi, membeli, menggunakan, dan memposisikan barang, jasa,
gagasan, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan
mereka (Kotler & Amstrong, 2007).
Lebih lanjut Kotler & Amstrong (2007) menjelaskan bahwa perilaku
pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi
dan psikologi. Konsumsi pakaian di Indonesia juga sangat dipengaruhi
oleh perilaku konsumen dan khususnya budaya. Hal ini selaras dengan
penjelasan dari pedagang di Pasar Tanah Abang, bahwa omzet penjualan
cenderung meningkat selama menjelang puasa sampai dengan akhir
lebaran. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa bahwa budaya cukup
berpengaruh terhadap pola pembelian produk pakaian jadi di Indonesia.
Pasar Tanah Abang merupakan salah satu pasar terbesar di Asia Tenggara
dengan omzet mencapai 400 milliar per hari, dilayani oleh 28 ribu pedagang
dan dikunjungi oleh 73 juta orang per tahun. Pengunjung dan pedagang
pasar Tanah Abang bukan hanya berasal dari Indonesia saja, namun juga
dari negara lain seperti Malaysia dan Nigeria (Bloomberg, 2013). Pasar ini
mempunyai daya tarik tersendiri bagi konsumen karena di pasar ini produkproduk pakaian jadi dijual dengan harga yang relatif lebih murah dengan
jenis dan kualitas yang beragam sehingga konsumen bisa mendapatkan
semua jenis produk pakaian jadi.
Harga yang murah merupakan salah satu pertimbangan bagi konsumen
dalam pengambilan keputusan pembelian produk pakaian jadi, terutama
untuk kelas menengah ke bawah. Bahkan dalam pembelian produk pakaian
jadi, konsumen ketika berhadapan pada harga yang lebih murah, terkadang,
32
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
tidak memperdulikan keselamatan dan kesehatannya seperti ketika
memutuskan untuk membeli produk pakaian bekas yang diimpor dari negara
lain. Selain harga yang terjangkau, model pakaian bekas juga menarik minat
konsumen untuk mendapatkannya. Namun walaupun harganya murah dan
menarik, seharusnya konsumen sadar bahwa ada resiko kesehatan dalam
membeli pakaian bekas karena di dalam baju bekas terdapat beberapa
bakteri dan jamur.
3.4 Struktur Pasar Dalam Negeri
Pasar dapat diartikan sebagai sekelompok pelaku ekonomi yang terdiri dari
perusahaan dan individu yang saling berinteraksi dalam hubungan pembeli dan
penjual (Wilkinson, 2005). Dalam menganalisis suatu pasar, termasuk pasar
pakaian jadi, struktur pasar adalah penting untuk diperhatikan. Struktur pasar
adalah jumlah perusahaan dalam suatu pasar, serta distribusi pangsa pasar
diantara perusahaan tersebut (Black, Hashimzade, & Myles, 2013). Struktur
suatu pasar ditentukan antara lain oleh jumlah pembeli dan penjual, jenis produk
yang dijual, besarnya hambatan masuk dan keluar pasar, serta kemampuan
pembeli dan penjual dalam mempengaruhi harga (Wilkinson, 2005).
Dalam pasar pakaian jadi di Indonesia, terdapat banyak penjual dan
pembeli. Penjual merupakan produsen pakaian jadi baik yang bermerek
dagang maupun yang tidak bermerek dagang dan para pedagang yang terlibat
dalam memasarkan produk pakaian jadi sampai ke konsumen. Berdasarkan
statistik industri manufaktur (BPS, 2014), sampai dengan tahun 2012 terdapat
1.705 perusahaan besar dan menengah yang bergerak dalam bidang
industri pakaian jadi (konveksi) dari tekstil (KBLI 14111)5. Jumlah tersebut
terdiri atas 471 perusahaan besar dan 1.234 perusahaan menengah dengan
berbagai status kepemilikan perusahaan dengan perincian sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 3.2. Sebagian besar perusahaan swasta asing yang
ada di Indonesia merupakan perusahaan besar, sementara itu, perusahaan
swasta nasional sebagian besar merupakan perusahaan menengah. Namun
demikian jika dilihat dari jumlahnya dan ukuran perusahaannya, perusahaan
swasta nasional baik yang skala besar maupun menengah masih lebih
banyak dibandingkan jumlah perusahaan yang dimiliki oleh swasta asing.
Sebagian produsen memasarkan produk pakaian jadi dengan
mencantumkan brand atau merek tertentu. Satu produsen bisa mempunyai
lebih dari satu brand di pasaran. Para pemasok garmen branded dalam
negeri telah membentuk sebuah asosiasi dengan nama Asosiasi Pemasok
Pakaian jadi dan Assesoris Indonesia (APGAI). Asosiasi ini didirikan pada
5
KBLI 14111 (tahun 2009) merupakan klasifikasi untuk produk pakaian jadi yang mencakup usaha pembuatan pakaian jadi (konveksi) dari tekstil/kain (tenun maupun rajutan).
33
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Tabel 3.2 Jumlah Perusahaan Pakaian Jadi dan Kepemilikannya
Kelompok Industri dan
Status Kepemilikan Jumlah Perusahaan
Perusahaan
BesarMenengah
Total
Industri Pakaian Jadi (Konveksi)
dari Tekstil (KBLI 14111)
Swasta nasional
Swasta asing
Swasta nasional dan swasta asing
Pemerintah daerah
Pemerintah daerah dan swasta asing
1.705
1540
129
24
11
1
471
321
121
23
5
1
1.234
1219
8
1
6
-
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014), diolah
tanggal 10 September 1991 oleh para produsen pakaian jadi dan distributor
pakaian jadi yang pada awalnya disebut sebagai Asosiasi Pemasok Pakaian
jadi Pertokoan Indonesia (APGPI). Perubahan nama APGPI menjadi
APGAI dilakukan berdasarkan kesepakatan musyawarah nasional pada
tanggal 31 Agustus 1995.
Tujuan dan fungsi didirikannya APGAI adalah sebagai forum
kebersamaaan dan fasilitasi kepada produsen, supplier, dan berbagai
perusahaan yang termasuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terkait untuk
berkomunikasi kepada partner bisnisnya yaitu pengusaha eceran, mall dan
pusat perbelanjaan agar terwujud kerjasama yang saling menguntungkan
bagi semua pihak. Saat ini terdapat 113 perusahaan yang tergabung
sebagai anggota di dalam APGAI. Perusahaan-perusahaan anggota APGAI
merupakan pemegang lebih dari 500 merek nasional dan internasional
dengan jumlah karyawan lebih dari 300.000 orang (APGAI, 2015). Berikut
ini adalah beberapa brand yang cukup populer di pasar pakaian jadi di pasar
dalam negeri.
Struktur pasar pakaian jadi juga ditentukan oleh hambatan masuk
(barrier to entry), hambatan keluar (barrier to exit) serta kemampuan untuk
mempengaruhi harga. Hambatan pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar
pakaian jadi dan untuk keluar dan dari pasar tersebut relatif rendah. Seorang
pengusaha dengan kemampuan desain dan modal yang relatif kecil bisa
masuk ke dalam pasar pakaian jadi meskipun proses pembuatan dan
pemotongan bahan baku dilakukan oleh pihak lain. Selain itu, kemampuan
pengusaha untuk mempengaruhi harga pada pasar pakaian jadi juga relatif
rendah karena banyaknya jumlah pembeli dan penjual di pasar tersebut.
Jika dilihat dari sisi jenis produk, pasar pakaian jadi memiliki produk yang
terdeferensiasi. Berdasarkan beberapa kriteria tersebut yaitu jumlah pembeli
34
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
dan penjual, jenis produk, hambatan masuk serta pengaruh terhadap
harga dapat disimpulkan bahwa struktur pasar pakaian jadi adalah pasar
persaingan monopolistik (monopolistic competition). Pasar persaingan
monopolistik mempunyai karakteristik yang hampir mirip dengan pasar
persaingan sempurna, namun pasar persaingan monopolistik ditandai
dengan perusahan yang memproduksi produk sejenis yang terdeferensiasi
dan tidak homogen sebagaimana yang terdapat pada pasar persaingan
sempurna (Samuelson & Marks, 2012).
Tabel 3.3 Brand Pakaian Jadi
Produk
Pakaian Pria
Brand Asing
Brand Lokal
Dunhill, Hugo Boss, Armani, Valentino, The Executive, Wood, John Far,
Ralph Lauren, Jack Nicklaus, Choya, Ricciman, Alisan,
Van Heusen, Geoffrey Beene
Uni Asia, Jobb, Leone ‘Uomo.
Pakaian Wanita Dior, Channel, Prada, Gucci, Esprit, Versace, Giordani Lady
Et Cetera, Colorbox, Lyne Halim,
Sophie Martin, graphis, simplicity.
Pakaian Anak
Bossini Kids, Esprit Kids,Les Enphants Hipofant, Pingu, Red Cliff, Cool Kids, JSP, Bi One.
Pakaian Kasual Uniqlo, Billabong, Zara, Tommy, H&M, Crocodile, Lee Cooper, Arnold Palmer
Pakaian OlahragaAdidas, Nike, Umbro, Fila, Reebok, Converse, Puma, Kappa
Hammer, Watchout, Poshboy,
Triset, Man Club, Country Fiesta, Cardinal.
Leeviera, Hay United.
Pakaian Dalam Triumph, Wacoal, Sorella
GT Man, Sony, Viena Fair, Bonds, Durban, Jockey.
Denim
Levi’s, Lee, Wrangler, Lee Cooper
Lea, Peter Says Denim, Old Blue,
Mischief, Jimmy Martin, Logo.
Sumber: APGAI (2015) dan sumber lain, diolah
3.5 Jaringan Pemasaran Produk Pakaian Jadi
Dalam pendistribusian produk ke konsumen, peran rantai pemasaran
sangatlah penting. Rantai pemasaran (marketing channel) terdiri dari
seluruh lembaga yang terlibat dalam aktivitas ditribusi dari produsen hingga
ke konsumen (Sukesi dkk., 2010). Pemasaran dan distribusi produk pakaian
jadi ke konsumen melibatkan banyak pedagang baik pedagang besar
maupun pedagang eceran yang mampu menjangkau konsumen secara
langsung yaitu pedagang eceran khusus pakaian (KBLI 47711), pedagang
eceran di toserba (KBLI 47191), pedagang eceran bukan di toserba (KBLI
47192), pedagang eceran pakaian kali lima dan los pasar (KBLI 47832),
pedagang eceran pakaian bekas (KBLI 47742), pedagang eceran pakaian
bekas kaki lima dan los pasar (KBLI 47895), pedagang eceran melalui media
(KBLI 47912) dan pedagang eceran keliling (KBLI 47994).
35
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Secara umum jaringan distribusi pakaian jadi dimulai dari produsen
pakaian jadi sampai konsumen akhir dengan melewati serangkaian
pedagang perantara (intermediaries) baik itu pedagang besar (wholesale)
maupun pedagang eceran (retailer). Produsen pakaian jadi bisa berlokasi di
dalam negeri maupun di luar negeri. Pakaian jadi yang berasal dari produsen
luar negeri masuk ke Indonesia melalui importir terdaftar (IT) pakaian jadi
yang berperan sebagai pedagang besar (wholesale) untuk pakaian jadi
impor. Produsen pakaian jadi dalam negeri bisa mendistribusikan produknya
melalui pedagang besar terlebih dahulu atau langsung ke pengecer (retailer).
Retailer yang langsung mememperoleh barang dari produsen biasanya
berbentuk factory outlet, distribution store, butik dan distro (Gambar 3.3).
Impor
Pakaian Jadi
Toserba (Dept. Store)
Toko Khusus Pakaian
Produsen Pakaian Jadi
Perancangan
Pelabelan
Pemotongan
Penjahitan
Pengepakan
Pedagang Besar/
Importir
Pakaian Jadi
Los pasar & Kaki lima
Pedagang Keliling
e-retailing
Factory Outlet
K
o
n
s
u
m
e
n
Butik
Distro
Gambar 3.3 Jaringan Pemasaran Pakaian Jadi di Dalam Negeri.
Sumber: Sunil & Rai, 2013; Fernandez-Stark, Frederick, & Gereffi, 2011; Widodo & Ferdiansyah, 2010, dengan beberapa perubahan
Para pedagang pakaian jadi (khususnya pedagang kecil dan menengah)
cenderung bergabung dengan pedagang lainnya di suatu tempat tertentu
untuk membentuk pasar atau pusat perdagangan pakaian jadi yang lebih
besar. Sebagai contoh adalah pedagang pakaian jadi di Jakarta. Di Jakarta
terdapat beberapa tempat pusat belanja yang dijadikan sebagai sentra
penjualan dan tujuan bagi para konsumen untuk mendapatkan pakaian
dengan harga yang relatif murah seperti di Pasar Tanah Abang, Plaza Blok M,
Thamrin City, Cipulir, Jatinegara, dan Pasar Senen (Neraca.co.id, 2012).
36
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
1.
Pasar Tanah Abang
Tanah Abang merupakan salah satu sentra terbesar pakaian jadi di
Jakarta, bahkan di Indonesia. Selain itu, Pasar Tanah Abang merupakan pusat
perbelanjaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Di pasar ini pusat penjualan
pakaian baik grosir maupun eceran yang berlokasi di Jakarta Pusat. Selain
menyediakan beraneka macam pakaian jadi, baik pakaian mulai untuk anakanak sampai orang dewasa, juga bisa dijual berbagai macam bahan baku
(kain) untuk membuat pakaian. Pasar ini dikunjungi sekitar 73 juta orang tiap
tahunnya, dengan jumlah pedagang sekitar 28 ribu pedagang, dan omset
per hari sekitar 400 miliar.
2. Kawasan Pertokoan Blok M
Blok M merupakan nama kawasan perbelanjaan dan pusat bisnis di di
daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di pusat perbelanjaan tersebut
dijual berbagai macam produk pakaian jadi seperti busana formal, busana
kasual busana muslim, aneka batik serta asesoris pria dan wanita. Ada
sekitar empat pusat perbelanjaan yang cukup besar di kawasan Blok M yaitu
Blok M Plaza, Blok M Square, Mall Blok M dan Pasaraya Grande. Pusat
perbelanjaan tersebut menyediakan pakaian dengan harga yang relatif
beragam. Harga pakaian yang relatif murah bisa diperoleh di Blok M Square,
namun konsumen harus pandai menawar harga produk karena biasanya
pedagang menawarkan harga pertama yang jauh lebih tinggi daripada harga
yang sebenarnya.
3. Thamrin City
Thamrin City merupakan pusat penjualan batik di Jakarta. Di sini
konsumen bisa membeli baju batik yang beraneka ragam. Produk batik yang
di jual di Thamrin City berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti dari
Cirebon, Pekalongan, Yogyakarta, dan Madura.
4.
Pasar Cipulir
Pasar Cipulir berada di Jalan Ciledug Raya, Cipulir, Jakarta Selatan.
Seperti halnya Pasar Tanah Abang, Pasar Cipulir telah dikenal oleh
masyarakat sebagai pusat grosir produk tekstil dan pakaian jadi di Jakarta.
Di pusat perbelanjaan ini banyak pedagang menjual dagangan secara partai
besar atau grosir, namun pembeli eceran juga tetap bisa membeli pakaian
jadi yang diinginkannya. Di kawasan ini toko busana menjual beraneka
ragam pakaian pria maupun wanita, dan perlengkapan pakaian hingga tas
dengan harga yang cukup murah.
37
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
5.
Jatinegara
Pasar Jatinegara mempunyai nama lain Mester Passer (Pasar Mester)
yang terletak di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Pilihan jenis kaosnya
beragam dengan harga yang ditawarkan cukup murah dan terjangkau. Di
pasar ini cocok untuk konsumen yang akan membeli dengan partai besar
atau grosir. Selain grosir pakaian pasar Jatinegara juga menyediakan grosir
souvenir pernikahan dan grosir peralatan rumah tangga.
6.
Pasar Senen
Pasar Senen berada di wilayah Jakarta Pusat. Pasar ini merupakan pasar
tertua di Jakarta. Pasar senen menjadi tempat bagi pembeli untuk mencari
baju murah, bekas dan sisa ekspor. Dilihat dari jenis bajunya, di Pasar Senen
juga dijual berbagai macam baju, celana, jaket, dan gaun. Di pasar ini juga
dijual bermacam-macam aksesoris pakaian seperti tas, kacamata, sepatu dan
sandal, topi dan kalung dengan harga yang cukup murah.
3.6 Perkembangan Harga Pakaian Jadi di Dalam Negeri
Harga eceran pakaian jadi mengalami perkembangan sesuai dengan
mekanisme permintaan dan penawaran di pasar. Gambar 3.4 dan 3.5
menunjukkan perkembangan harga beberapa jenis pakaian pria dan
pakaian wanita.
188.054
190000
177.847
Harga (Rp)
170000
153.072
150000
130000
110000
90000
141.138
112.099
113.375
85.388
70000 68.665
50000
20102011 201220132014
Baju Kaos / T-Shirt
Celana Panjang Katun
Kemeja Pendek Pria Katun
Kemeja Panjang Pria Batik
Gambar 3.4 Perkembangan Harga Pakaian Pria.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011-2015)
38
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
200000
192.848
180000
160000
Harga (Rp)
140000
120000
100000
134.498
96.837
80000
73.037
60000
49.908
40000
40.287
20000
33.560
91.646
69.776
59.723
0
Gaun
Blus
Kerudung
BH Katun
Daster
Gambar 3.5 Perkembangan Harga Pakaian Wanita.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011-2015)
Selama tahun 2010 sampai dengan 2015 harga produk-produk pakaian
jadi cenderung mengalami kenaikan. Pada gambar diatas kenaikan harga
yang relatif tinggi untuk pakaian pria terjadi pada produk kemeja pendek pria
katun dengan kenaikan harga sebesar 108%, sedangkan kenaikan harga
yang relatif rendah terjadi pada kemeja panjang pria batik dengan kenaikan
harga sebesar 35,01%. Adapun untuk produk pakaian wanita, kenaikan
harga yang relatif tertinggi terjadi pada produk gaun dengan kenaikan harga
sebesar 99,15%, sedangkan kenaikan harga yang relatif rendah pada
produk pakaian wanita terjadi pada produk BH katun dengan kenaikan harga
sebesar 73,2%. Tabel 3.4 menunjukkan persentase dari kenaikan harga dari
tahun ke tahun.
Tabel 3.4 Kenaikan Harga Tahunan Pakaian Jadi
Produk
Kenaikan Harga (%)
2010-20112011-2012 2012-20132013-20142010-2014
Baju Kaos(T-shirt)
Celana Panjang Katun
Kemeja Pendek Pria Katun
Kemeja Panjang Pria Batik
Gaun
Blus
Kerudung
BH Katun
Daster
5,88
4,48
6,91
0,95
0,28
7,90
2,54
3,14
0,96
66,08
39,85
7,74
36,76
87,97
57,75
78,96
62,18
73,20
1,67
14,97
105,55
3,04
11,42
67,76
7,51
68,19
108,28
2,37
-4,46
35,01
4,17 1,4299,15
3,24 4,8084,15
0,30 -3,3277,96
4,13
-0,57
73,20
3,51 1,4683,63
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011-2015), diolah
39
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Jika dilihat dari Koefisien Keragaman (KK) harga bulanan, selama tahun
2014 relatif stabil, hal ini dilihat dari koefisien keragaman harga kelompok
barang tersebut yang bernilai kurang dari 5% sebagai mana ditunjukkan
pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Koefisien Keragaman Pakaian Jadi 2014
Produk Pakaian Jadi
Baju Kaos(T-shirt)
Celana Panjang Katun
Kemeja Pendek Pria Katun
Kemeja Panjang Pria Batik
Gaun
Blus
Kerudung
BH Katun
Daster
Koefisien Keragaman (KK)
0,71 %
0,74 %
0,93 %
0,70 %
0,55 %
1,71 %
0,51 %
1,49 %
4,28 %
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011-2015h), diolah
3.7 Kebijakan Perdagangan Pakaian Jadi di Indonesia
Industri pakaian jadi masuk ke dalam salah satu industri prioritas yang
menjadi perhatian pemerintah untuk dikembangkan sesuai dengan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025. Kebijakan
prioritas ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008
tentang Kebijakan Industri Nasional yang mengatur tentang pengembangan
industri nasional yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri,
yang memiliki struktur yang sehat dan berkeadilan, berkelanjutan, serta
mampu memperkokoh ketahanan nasional. Kebijakan industri nasional ini
memberikan pedoman dalam pengembangan industri nasional untuk industri
pakaian jadi sebagai dasar pemberian fasilitas pemerintah.
Lebih lanjut, kebijakan pengembangan industri pakaian jadi juga
diatur pada Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Republik
Indonesia Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 Tentang Program Revitalisasi
dan Penumbuhan Industri Melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri
Tekstil dan Produk Tekstil Serta Industri Alas Kaki juncto Permenperin No.15/
M-IND/PER/2/2012 juncto Permenperin No.01/M-IND/PER/1/2014 yang
secara jelas memberikan kemudahan dan keringanan biaya bagi Industri
Produk Tekstil termasuk industri pakaian jadi untuk melakukan peremajaan
mesin dan peralatannya dengan teknologi yang lebih maju.
Berdasarkan pemetaan atas pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan
Menteri Perindustrian di atas ke dalam alur input, process, output, dan
40
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
outcome, ternyata aspek-aspek yang ditekankan dalam kebijakan ini
dianggap belum menyentuh pokok permasalahan dalam industri tekstil
secara langsung, terutama industri pakaian jadi nasional. Kebijakan ini
secara nyata juga sangat membatasi perusahaan yang ingin mengajukan
permohonan keringanan dalam pembelian mesin. Hal ini bisa dilihat pada
aspek proses, dimana pemerintah memberikan persyaratan yang cukup
berat untuk bisa dipenuhi oleh industri tekstil skala kecil dan menengah
yang merupakan pelaku mayoritas (dari sisi jumlah) dalam industri tekstil
yang berorientasi ke pasar domestik. Misalkan, perusahaan yang bisa
memperoleh fasilitas keringanan pembelian mesin dan peralatan adalah
perusahaan yang telah berinvestasi dan beroperasi minimal dua tahun.
Selain itu, keringanan pembiayaan hanya diberikan bagi perusahaan yang
menggunakan teknologi yang lebih maju dan mesin dalam kondisi baru serta
persyaratan nilai investasi yang cukup besar (Efendi, 2013).
Seharusnya pasar dalam negeri tidak mudah dipenetrasi barang impor,
bila saja produsen dalam negeri bisa memenuhi aspirasi dan ekspektasi
konsumen Indonesia yang memang tergolong tinggi dengan gaya hidup yang
terus berubah dengan cepat. Dalam hal kebijakan perdagangan, pemerintah
telah mengeluarkan tata laksana kebijakan impor produk tekstil yang diatur
dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Republik Indonesia
Nomor 23/M-DAG/PER/6/2009 Tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk
Tekstil jo Permendag No.02/M-DAG/PER/1/2010 Tentang Perubahan
Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil yang mengatur tentang tata
laksana importasi barang-barang tekstil yang hanya dapat diimpor oleh
perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP-Tekstil atas dasar
rekomendasi Kementerian Perindustrian. Produk tekstil yang diimpor oleh
IP-Tekstil sebagaimana dimaksud hanya untuk dipergunakan sebagai bahan
baku atau bahan penolong untuk proses produksi dari industri yang dimiliki
oleh IP-Tekstil yang bersangkutan dan dilarang untuk diperjualbelikan
atau dipindahtangankan. Selain itu, Kementerian Perdagangan juga telah
mengeluarkan Permendag No.70/M-DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan
Toko Modern jo Permendag No.56/M-DAG/PER/9/2014. Pemerintah telah
mengimbau produsen nasional untuk bergegas memanfaatkan peraturanperaturan ini untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan pangsa pasar
produksi dalam negeri guna meredam laju impor dan membuka peluang
ekspor baru. Hal terpenting yang diatur dalam Permendag No.70 Tahun 2013
adalah kewajiban toko modern dan pusat perbelanjaan untuk memasarkan
produk dalam negeri paling sedikit 80% dari jumlah dan jenis barang yang
41
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
diperdagangkan. Jika peraturan ini dapat diimplementasikan dengan baik,
diharapkan dapat lebih menjamin pemberdayaan dan perlindungan produsen
Indonesia dan penguatan pemasaran produk buatan dalam negeri.
Setelah selama 80 tahun Indonesia menggunakan peraturan
penyelenggaraan perdagangan Bedfrijfsreglementerings Ordonnantie (BO)
tahun 1934 yang merupakan hukum warisan kolonial Belanda, pada bulan
Februari 2014 Indonesia secara resmi telah mempunyai undang-undang
yang mengatur perdagangan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
perdagangan yang dibuat dengan mengedepankan kepentingan nasional
dan ditujukan untuk melindungi pasar domestik dan produk dalam negeri,
dan memberikan perlindungan terhadap konsumen. Kebijakan pemerintah
dalam mengatur perdagangan produk pakaian jadi akan selalu mengacu
kepada undang-undang tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, adalah undang-undang
perlindungan konsumen yang di buat oleh pemerintah untuk menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Pengertian dari konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang
dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 konsumen
yang dimaksud adalah konsumen akhir, yaitu pengguna atau pemanfaat
akhir dari suatu produk.
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini juga terdapat
banyak ketentuan-ketentuan yang juga mengatur para pelaku usaha di
dalam hubungannya dengan konsumen dan pemerintah. Pelaku usaha
yang dimaksud adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam
pengertian ini adalah perusahaan korporasi, BUMN, koperasi, importer,
pedagang, distributor, dan sebagainya.
3.8
Kebijakan Perlindungan Konsumen di Indonesia
3.8.1 Pentingnya Perlindungan Konsumen
Ada beberapa alasan kenapa perlindungan konsumen itu diperlukan,
diantaranya adalah, melindungi konsumen berarti melindungi seluruh
bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional
42
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
dalam Pembukaan UUD 1945. Perkembangan teknologi dan cara hidup
dari waktu ke waktu akan membuat perubahan pada produk pakaian jadi
yang diproduksi oleh para produsen, yang sedikit banyak akan menimbulkan
beberapa efek negatif dan positif. Oleh karena itu sebuah payung hukum
diperlukan untuk bisa melindungi rakyat Indonesia sebagai konsumen
dengan mendapatkan kepastian akan keamanan, mutu, jumlah dan harga
dari produk pakaian yang diperoleh melalui perdagangan. Perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan asas
yang relevan dengan pembangunan nasional. Berdasarkan Bab 2 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999, terdapat lima asas perlindungan konsumen
yaitu:
1.Asas manfaat, dimana segala upaya dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen yang harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
2.Asas keadilan, dimana segala upaya dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen harus bisa memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.Asas keseimbangan, yang memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil maupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, yang bertujuan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum, yang berarti baik pelaku maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran
perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.
Melalui perlindungan konsumen, masyarakat yang mengkonsumsi produk
pakaian jadi diharapkan dapat meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian dalam melindungi diri dari produk yang dikonsumsi. Sementara
itu bagi para pelaku usaha pakaian jadi diharapkan dapat memiliki sikap
yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, karena telah memiliki
kesadaran akan pentingnya perlindungan konsumen.
Untuk bisa melindungi diri dari produk pakaian yang telah dikonsumsi,
konsumen pakaian jadi harus mengetahui hak dan kewajiban yang melekat
pada dirinya sebagai konsumen, seperti yang telah disebutkan dalam Pasal
4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
43
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
8 Tahun 1999. Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui tentang hak dan
kewajiban dari konsumen pakaian jadi:
1. Konsumen berhak untuk memiliki rasa nyaman dari pakaian jadi yang
telah di beli, begitu juga dengan keamanan dan jaminan keselamatan
saat memakai pakaian yang telah dibeli tersebut. Namun konsumen
juga berkewajiban untuk membaca petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan dari produk pakaian yang dibeli, demi
keamanan dan keselamatannya.
2.Konsumen berhak untuk memilih pakaian yang diinginkan serta
mendapatkan spesifikasi sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan sebelumnya saat transaksi berlangsung.
3. Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi produk pakaian yang akan dibeli, dan kondisi jaminan yang
dimiliki produk pakaian itu.
4. Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila produk pakaian yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
5. Konsumen wajib membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
dengan penjual, atas produk pakaian yang dibeli.
Bagi para pelaku usaha (penjual, produsen, distributor, dll) produk
pakaian jadi wajib untuk mentaati peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku. Karena untuk setiap pelanggaran terhadap ketentuan dari
perundang-undangan yang berlaku, pelaku usaha akan diberlakukan
sanksi administratif dan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 60 sampai
63 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999. Sanksi itu dapat berupa denda,
hukuman kurungan, atau hukuman tambahan seperti penarikan barang dari
peredaran atau pencabutan izin usaha. Namun dalam Pasal 27 disebutkan
hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian
yang diderita konsumen, yaitu apabila barang tersebut terbukti seharusnya
tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan, cacat barang
timbul pada kemudian hari setelah pembelian terjadi atau cacat timbul
akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang, terjadi kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen, dan terakhir apabila telah lewatnya jangka
waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka
waktu yang diperjanjikan.
3.8.2 Standar Nasional Pakaian Jadi
Industri pakaian jadi merupakan usaha yang strategis dalam peningkatan
ekonomi masyarakat karena dapat dilakukan dengan skala besar maupun
skala kecil seperti usaha penjahitan sebagai industri rumahan. Semakin
44
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
banyak usaha di bidang fashion baik skala besar, menengah maupun kecil
yang bersifat industri rumah tangga (usaha tailor, modiste) yang menghasilkan
berbagai macam bentuk produk fashion, menunjukkan industri fashion
berkembang dengan pesat. Era Globalisasi membawa dampak terhadap
industri fashion di Indonesia. Hal ini merupakan awal terjadinya persaingan
bebas antar negara, terutama di industri pakaian jadi yang besar. Produk
pakaian jadi impor dari berbagai negara telah banyak masuk ke dalam
pasar domestik. Bahkan akibat dari besarnya permintaan akan produk impor
dengan harga murah, produk impor pakaian ilegal juga telah membanjiri
pasar domestik.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G.
Ismy (Tempo.co, 2015), mengatakan bahwa angka impor pakaian ilegal
baik bekas maupun baru telah mencapai Rp 10,9 triliun. Pada dasarnya
larangan impor pakaian bekas sudah dikeluarkan pemerintah sejak tahun
1982, melalui SK Mendagkop Nomor 28 tahun 1982 tentang Ketentuan
Umum di Bidang Impor. Begitu banyak usaha yang dilakukan oleh
pemerintah untuk menghentikan impor ilegal, namun ini tidak akan berhasil
jika hanya mengandalkan usaha pemerintah saja. Tentunya tanggung
jawab dari para produsen produk pakaian jadi juga diperlukan dengan
memastikan quality control dan quality assurance berjalan sebagaimana
mestinya, serta memastikan penerapan standar yang berlaku mulai dari
hulu hingga hilir. Namun perlu disadari juga bahwa konsumen memiliki
peran yang cukup signifikan. Konsumen dituntut untuk cerdas dan kritis
dalam memilih produk. Konsumen harus mampu memilih produk yang
berkualitas dan aman bagi dirinya. Uji laboratorium oleh instansi resmi
yang berwenang akan memberikan informasi tentang kandungan dan
komposisi dari produk yang bersangkutan, melalui label yang dicantumkan
pada kemasan produk tersebut.
Dalam konteks perlindungan konsumen, pemerintah telah menetapkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk pakaian jadi. Disebutkan
dalam pasal-pasal Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor
8 Tahun 1999, Pasal 7, di antara Kewajiban Pelaku Usaha adalah menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Demikian juga, Pasal 8 menyebutkan: Pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dari pasal-pasal ini jelas bahwa pelaku
usaha harus mengikuti standar yang berlaku.
45
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Dalam upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen
Indonesia, SNI telah ditetapkan untuk produk pakaian jadi atau pakaian jadi
di Indonesia. Beberapa SNI untuk produk pakaian jadi yang masih berlaku
terdapat dalam Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Daftar SNI Untuk Produk Pakaian Jadi
No. Kelompok
Nomer SNI
1.
Pakaian Pelindung
SNI IEC 61331-3:2013, SNI 18-7028-2004,
SNI 18-6479-2000
Standar-standar ini mengatur produk pakaian
pelindung yang dipergunakan dalam pemeriksaan
radiologi dan prosedur intervensional, yang berfungsi
untuk mengurangi dosis paparan pada goradnya dari
hamburan sinar - X dengan tegangan tabung <= 150
kV . Berikutnya juga diatur dua jenis pakaian pelindung,
yaitu pakaian bertekanan dan berventilasi dan pakaian
tidak bertekanan dan tidak berventilasi. Kedua jenis
pakaian pelindung ini digunakan untuk melindungi
pemakai terhadap kontaminasi radioaktif yang
disebabkan kontak langsung dengan zat cair atau zat
padat atau polutan udara, seperti partikel padat, debu,
gas atau uap.
2.
Pakaian Wanita
SNI 08-4991-1999,
SNI 08-4656-1998,
SNI 7719:2011
Standar untuk pakaian wanita ini mengatur standar
jahitan, mutu tekstil dan syarat ukuran celana panjang.
Untuk standar jahitan ada 3 hal yang harus dipenuhi
yaitu ; 1.) kekuatan jahitan sambung minimal = 60%
dari kekuatan jebol kain;2.) jumlah setik minimal 4 per
cm; 3.) kenampakan jahitan dan cacat jahitan. Standar
ini tidak mengatur pakaian dalam wanita, dan hanya
mengatur pakaian wanita yang berbahan kain tenun/
kain rajut. Berikutnya untuk mutuk tekstil yang dimaksud
adalah kadar formaldehid, kadar logam seperti Pb, Cd,
Cu dan Ni dari semua jenis serat dan campuran serat
tekstil yang digunakan pada kain rajut untuk pakaian
dalam wanita berupa celana dalam, kutang (beha)
dan baju dalam (lingerie). Sedangkan syarat ukuran
ditentukan oleh lingkar pinggang, lingkar pinggul,
panjang celana dan selangkang/pisah, yang ditetapkan
melalui SK No 102/BSN-I/HK/05/1998. Standar ini tidak
berlaku untuk celana panjang wanita dewasa dari kain
denim (Kn).
3
Pakaian Pria
SNI 3539:2010,
SNI 08-4910-1998,
SNI 08-0361-1998,
SNI 7886:2013,
SNI 2161:2010
Untuk pakaian pria, standar yang diatur adalah ukuran
kemeja, ukuran kaos olahraga dan kaos santai, mutu
bahan pakaian, cara pengukuran, dan syarat pengukuran.
Untuk ukuran kemeja pria dewasa yang di atur disini
adalah kemeja dari semua bahan serat. Sedangkan
untuk kaos olahraga dan kaos santai pria dengan ukuran
didasarkan pada lingkar badan namun tidak berlaku
46
Keterangan
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
untuk kaos oblong pakaian dalam pria. Sedangkan
untuk standar mengatur syarat mutu pada bahan yang
digunakan untuk pakaian dalam pria, bahan yang
dimaksud adalah kain rajut dari semua jenis serat dan
campuran serat yang digunakan untuk semua pakaian
dalam pria berupa kaos dalam, celana dalam, dan singlet,
baik yang transparan maupun tidak transparan. Standar
pengukuran yang diatur didalam SNI mengatur bagian
tubuh pria dewasa yang diukur meliputi lingkar pinggang,
lingkar pinggul, panjang celana, dan selangkang.
4
Pakaian Bayi dan Anak SNI 7617:2010, SNI 7929:2013,
SNI 7930:2013
Standar pakaian bayi dan anak, mengatur masalah
standar ukuran kemeja melalui nomor secara berurutan
untuk anak usia dari 3 tahun sampai dengan 14 tahun
yang terbuat dari kain tenun. Berikutnya standar ukuran
blus anak, melalui nomor secara berurutan untuk usia dari
3 tahun sampai dengan 14 tahun yang terbuat dari kain
tenun. Dan SNI wajib yang mengatur dan menetapkan
persyaratan zat warna azo dan kadar formaldehida pada
kain untuk pakaian bayi sampai usia 36 bulan, dan anak
diatas usia 36 bulan . Standar ini berlaku pada kain yang
terbuat dari kain tenun dan kain rajut dari berbagai jenis
serat dan campuran serat yang langsung bersentuhan
dengan kulit.
5
Pakaian Wanita dan Pria
Untuk pakaian wanita dan pria standar yang diatur adalah
mengenai, pengertian nama-nama bagian tubuh, kadar
formalhida, dan mengenai peningkatan standar mutu kain
rajut. Untuk standar penyamaan pengertian nama-nama
bagian tubuh untuk pembuatan pakaian jadi baik bagi
pria ataupun wanita, agar tidak mengganggu ketepatan
pengukuran maka pengukuran dilakukan pada tubuh
tanpa menggunakan sepatu dan pakaian. Sedangkan
standar kadar formaldehida diterapkan pada produk
pakaian bayi usia di kurang dari 2 tahun, pakaian anak,
dan dewasa baik pria maupun wanita yang langsung
bersentuhan dengan kulit yang berbahan kain tenun
maupun rajut. Standar ini berlaku untuk persyaratan
yang berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan,
dimana kadar formaldehida pada bayi maksimum 20 ppm
dan 75 ppm pada anak dan dewasa karena merupakan
senyawa kimia yang beracun dan sangat berbahaya bagi
manusia. Syarat lulus uji apabila memenuhi syarat mutu
yang ditetapkan. Pengemasan dalam kantong plastik dan
diberi tanda atau label. Dan untuk standar penetapan
mutu kain rajut untuk pakaian olahraga pria, wanita,
dewasa dan anak anak yang berlaku untuk semua jenis
kain rajut untuk pakaian olahraga yang dibuat . Standar ini
tidak berlaku untuk kain rajut yang mengandung benang
spandex atau sejenisnya.
SNI 08-4985-1999,
SNI 7887:2013,
SNI 6688:2011,
SNI 08-7189-2006
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2015), diolah
47
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Seperti yang tercantum pada Tabel 3.6 diatas, pada dasarnya SNI
yang telah ditetapkan pada produk pakaian jadi saat ini sudah cukup baik
dan mewakili kepentingan dari seluruh stakeholders. Total dari jumlah
keseluruhan SNI yang sudah ditetapkan untuk tekstil dan produk tekstil
adalah 333 SNI, yang dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh
Badan Standarisasi Nasional.
3.9 Permasalahan Perdagangan Pakaian Jadi di Indonesia
Ada berbagai permasalahan yang dihadapi oleh industri pakaian jadi di
Indonesia. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya adalah masalah
pakaian impor bekas, impor ilegal, melemahnya daya saing Industri pakaian
jadi nasional yang terkait dengan produksi dan biaya produksi.
Pakaian impor bekas di Indonesia masih cukup banyak
diperdagangkan, hal ini terjadi karena konsumen mempertimbangkan
bahwa dengan harga yang murah, bahkan lebih murah dari pakaian baru
produksi dalam negeri, mereka bisa mendapatkan pakaian bermerek
terkenal yang kualitasnya relatif masih bagus. Selain itu saat dipakai oleh
seseorang yang kemampuan ekonominya rendah, pakaian impor bekas
itu akan membawa kebanggaan tersendiri bagi pemakainya karena telah
mengenakan produk pakaian bermerek.
Pakaian bekas impor dapat menimbulkan kerugian terhadap para
produsen pakaian jadi dalam negeri, dimana pangsa pasar akan berkurang
dan menurunkan omset penjualan para produsen tersebut. Sedangkan bagi
para konsumen pakaian bekas impor, akan menghadapi resiko terkena
kuman dan bakteri yang dapat membahayakan kesehatannya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, pakaian bekas
impor yang banyak ditemukan di Indonesia mengandung bakteri berbahaya
(Sindo, 2015). Warga pun diimbau tidak membelinya, karena Berdasarkan
uji laboratorium terhadap 24 sampel pakaian bekas yang dilaksanakan
oleh Kementerian Perdagangan pada bulan Desember 2014, dinyatakan
bahwa seluruh pakaian bekas positif mengandung bakteri, bahkan pakaian
bekas ternyata juga mengandung jenis jamur kapang dan khamir. Setelah
melakukan pengujian terhadap 25 contoh pakaian bekas yang beredar di
Pasar Senen atas beberapa jenis pakaian seperti pakaian anak (jaket),
pakaian wanita (vest, baju hangat, dress, rok, atasan, hot pants, celana
pendek), dan pakaian pria (jaket, celana panjang, celana pendek, kemeja,
t-shirt, kaos, sweater, kemeja, boxer, celana dalam), telah ditemukan
sejumlah koloni bakteri dan jamur yang ditunjukkan oleh parameter pengujian
Angka Lempeng Total (ALT) dan kapang pada semua contoh pakaian bekas
48
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
yang nilainya cukup tinggi. Pengujian tersebut dilakukan terhadap beberapa
jenis mikroorganisme yang dapat bertahan hidup pada pakaian yaitu bakteri
Staphylococcus aureus (S. aureus), bakteri Escherichia coli (E. coli), dan
jamur (kapang atau khamir).
Pada dasarnya larangan impor pakaian bekas sudah dikeluarkan
pemerintah sejak tahun 1982 melalui SK Mendagkop Nomor 28 tahun
1982 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor dan aturan yang terbaru
dari pemerintah menegaskan bahwa kegiatan impor pakaian bekas ke
Indonesia dilarang keras. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, dimana pada Pasal 47 ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap
importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru”. Namun pada
kenyataannya pakaian bekas impor ini masih banyak diperdagangkan,
penjualan baju bekas impor di dalam negeri tetap ada, contohnya di
Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen masih memperbolehkan
perdagangan barang bekas dengan syarat penjual wajib menjelaskan
kepada konsumennya bahwa barang yang dijual tersebut adalah barang
bekas, atau bukan baru. Selain itu Kementerian Perdagangan juga belum
mengatur tentang daftar produk yang dapat diimpor dalam keadaan bukan
baru sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang
Perdagangan dan juga Permendag Nomor 54/2009 tentang Ketentuan
Umum di Bidang Impor sebagai upaya meningkatkan kepastian hukum.
Akibat hal tersebut, komoditi pakaian bekas tidak muncul dalam ketentuan
larangan terbatas yang diatur dalam situs National Single Window (NSW).
Penanggulangan pakaian bekas juga dilakukan dengan membentuk
tim pengawasan khusus. Kementerian Perdagangan telah membentuk tim
terpadu untuk pengawasan pakaian bekas impor. Tim Terpadu Pengawasan
Barang Beredar ini dibentuk bersama Polri, Ditjen Bea Cukai, dan sejumlah
instansi terkait. Tim tersebut akan mendeteksi aliran dan keberadaan
pakaian bekas impor. Tim pengawasan juga dibentuk di tingkat provinsi,
sebagai contoh pada Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah serta
Perdagangan (KUKMP) Provinsi DKI Jakarta. Tim tersebut bertugas
mengawasi alur perdagangan pakaian bekas impor di Jakarta, khususnya
yang akan dipasarkan dan menilai apakah pakaian bekas tersebut layak
dijual atau tidak. Dengan dibentuknya timsus untuk mengawasi impor
pakaian bekas diharapkan bisa menjadi pendeteksi dini terhadap peredaran
pakaian bekas dan titik konsentrasinya (Republika, 2015). Maka dari itu
Untuk pengaturan impor pakaian bekas, diperlukan ketegasan dalam
49
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
pengawasan dan law enforcement karena sebenarnya aturan larangan impor
pakaian bekas sudah ada sejak dulu, namun sampai saat ini perdagangan
pakaian bekas masih marak.
Tabel 3.7 Nilai Impor Pakaian Bekas
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
Dari tahun 2009 sampai 2013 pada Tabel 3.7 diatas dapat dilihat bahwa
nilai impor pakaian bekas cukup fluktuatif dengan nilai tren -39,46. Dimana
mulai dari 2010, terjadi penurunan yang secara berkala dari nilai impor pakaian
bekas sebesar USD 909 ribu, hingga menjadi USD 203 ribu di tahun 2013.
Ini merupakan suatu hal yang baik, karena dengan berkurangnya peredaran
produk pakaian bekas impor maka pangsa pasar produk pakaian jadi dalam
negeri menjadi bertambah, dan juga berarti konsumen semakin sadar akan
pentingnya kualitas dan mutu dari pakaian yang mereka konsumsi.
Selain impor pakaian bekas, impor ilegal disinyalir juga terdapat pada
pakaian baru/bukan bekas. Pakaian bekas impor biasanya lebih menyasar
pasar menengah ke bawah dan mengurangi daya saing UKM TPT. Sedangkan
baju baru hasil impor ilegal lebih menyasar pasar menengah ke atas dan
dipasarkan di ritel-ritel modern. Biasanya peritel modern tidak menjual pakaian
bekas karena akan merusak pasar yang sudah ada (Radarpena, 2015). Nilai
impor baju resmi/legal yang melalui izin Kementerian Perdagangan Rp 48,02
triliun atau 142 ribu ton, sedangkan yang dipasok industri dalam negeri Rp
95,35 triliun atau 1,51 juta ton. Dengan demikian, total pasokan ke pasar
domestik seharusnya Rp 143,37 triliun atau 1,65 juta ton. Namun konsumsi
pakaian Indonesia pada 2014 mencapai Rp 154,3 triliun atau 1,73 juta ton.
Jadi, ada selisih Rp 10,9 triliun atau 8400 ton. Diperkirakan, angka tersebut
merupakan baju impor yang masuk secara ilegal sehingga tidak tercatat
dalam daftar impor baik baju baru maupun bekas (Jawa Pos, 2015).
Derasnya impor produk pakaian jadi dari RRT juga turut berperan dalam
penurunan penjualan produk tekstil pakaian jadi di pasar domestik. Pada
tahun 2013 tekstil lokal hanya berkisar 40% dipasaran domestik.Jumlah
tersebut menurun dari tahun 2010 yang sebesar 60%. Hal ini dibuktikan
50
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
dengan penjualan produk tekstil lokal dipasar domestik yang mencapai
USD 13,5 miliar pada tahun 2010 dan menurun pada tahun 2011 hingga
mencapai USD 9,3 miliar, dan menurun kembali menjadi USD 7,6 miliar.
Dengan demikian total penjualan produk tekstil pakaian jadi Indonesia pada
2010- 2012 turun sekitar 5%-7%.
Permasalahan domestik lain adalah melemahnya daya saing Industri
pakaian jadi nasional. Pelaku usaha tekstil menilai bahwa Indonesia kurang
agresif dalam mendorong pertumbuhan industri pakaian jadi. Salah satu
faktor yang menyebabkan melemahnya industri pakaian jadi adalah besarnya
biaya khususnya biaya listrik. Biaya listrik di Indonesia dinilai paling mahal di
Asia. Negara lain sudah menerapkan tarif tetap, yakni sekitar USD 10,5 sen
per kilowatt. Selain itu, Jepang bahkan memberikan diskon 30% tarif listrik
sebesar USD 11 sen setiap malam.
Kondisi politik juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan industri
TPT, terutama menyangkut upah buruh. Ketidakpastian pasar dan upah
buruh yang meningkat dinilai telah membuat daya saing industri pakaian jadi
melemah. Sejak Agustus 2014, sekitar 10 (sepuluh) perusahaan pakaian
jadi telah berpindah ke Vietnam. Selain itu, sekitar 12 industri pemintalan
juga gulung tikar. Vietnam sangat agresif untuk membangun perjanjian
perdagangan bebas (FTA) dengan Amerika Serikat yang disebut Trans
Pasific Partnership (TPP). Dengan demikian bea masuk produk industri
TPT Vietnam lebih rendah dibanding bea masuk produk Indonesia. Kondisi
ini meningkatkan daya saing produk industri Vietnam. Jika kondisi ini tidak
diperbaiki maka besar kemungkinan industri pakaian jadi nasional akan
berpindah ke luar negeri seperti Vietnam (Republika, 2014).
3.10 Penutup
Tingkat persaingan dunia usaha pakaian jadi baik skala besar,
menengah maupun kecil saat ini sangatlah ketat. Pangsa pasar domestik
dan luar negeri yang terus berkembang kini semakin menuntut produk
yang bermutu tetapi dengan harga yang bersaing. Dalam memenangkan
persaingan di industri pakaian jadi, mutu produk sangat penting peranannya.
Perusahaan yang menyediakan produk berupa barang maupun jasa yang
bermutu/berkualitas, maka perusahaan tersebut akan mampu memberikan
kepuasan yang tinggi kepada konsumen, sehingga dapat memenangkan
persaingan di pasar. Untuk dapat memperoleh produk pakaian jadi yang
bermutu pemerintah telah menetapkan SNI, sehingga setiap orang yang
terlibat harus mengenali: proses pengerjaannya, bahan baku serta informasi
( jenis kain, warna kain, jenis benang, kancing dll) yang dibutuhkan, serta
51
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
standar produk pakaian jadi apa yang akan dihasilkan (kemeja, celana, blus
dll) beserta persyaratannya. Untuk mendukung terciptanya produk yang
bermutu yang ber-SNI diperlukan: peralatan dan perlengkapan yang baik,
pengetahuan dan keahlian SDM-nya, kebijakan-kebijakan, prosedur kerja
dan standar kerja yang dapat diukur dan jelas sebagai alat bantu pengukuran
kualitas kerja dalam proses pembuatan produk pakaian jadi.
Perdagangan dan industri pakaian jadi akhir-akhir ini sedang
mengalami pelemahan akibat tekanan dari sisi internal maupun eksternal.
Tekanan internal bersumber dari kurang kondusifnya iklim usaha dan
investasi akibat naiknya harga untuk suplai energi semacam tarif listrik
dan harga BBM, biaya tenaga kerja/upah buruh, ditambah dengan kondisi
mesin-mesin produksi tesktil yang sudah tua dan masih tingginya biaya
logistik beserta infrastrukturnya yang kurang memadai. Adapun tekanan
eksternal bersumber dari masuknya produk-produk RRT dengan harga
yang relatif lebih murah baik secara legal maupun illegal. Ditambah lagi
dengan maraknya impor pakaian bekas yang telah terbukti mengandung
berbagai macam bakteri dan jamur yang akan merugikan konsumen dan
juga produsen pakaian jadi di dalam negeri.
Sebagai industri strategis yang memiliki peran penting dalam pemenuhan
kebutuhan dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan penghasil devisa
negara, industri pakaian jadi selayaknya mendapatkan perhatian dari
pemerintah untuk dikuatkan dan dikembangkan daya saingnya dengan
cara mengkondusifkan iklim usaha dan investasi bagi para pengusaha dan
investor asing maupun domestik. Disamping itu perlindungan terhadap
konsumen dari produk-produk yang merugikan kesejahteraan dan kesehatan
konsumen perlu ditingkatkan seperti produk pakaian bekas impor.
Namun beberapa permasalahan yang timbul seperti impor pakaian jadi
bekas dan ilegal juga harus segera diselesaikan. Hal ini akan menimbulkan
kerugian bagi para produsen pakaian jadi dalam negeri dan bagi para
konsumen yang membelinya, karena tentunya produk pakaian jadi ilegal
ini belum diuji mutu dan keamanannya. Permasalahan ini tidak bisa
diselesaikan oleh usaha dari pemerintah saja. Pengaturan terhadap produk
impor pakaian bekas cukup dilematis mengingat terdapat permintaan dan
kebutuhan atas barang tersebut terutama untuk kelas ekonomi bawah. Maka
dari itu perlu dilakukan edukasi yang terus menerus kepada konsumen
supaya menjadi konsumen yang cerdas dan paham terhadap hak dan
kewajibannya. Pihak produsen dan konsumen dalam hal ini harus ikut serta
dan saling berkerjasama dengan menyadari akan arti penting standar dalam
mengkonsumsi dan menggunakan pakaian jadi.
52
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Pemasok Pakaian jadi dan Assesoris Indonesia (APGAI). (2015). Diakses Maret 6,
2015, dari www.apgai.org: http://www.apgai.org/about.php.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2009). Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. Badan
Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2012). Rata‑Rata Pengeluaran per Kapita Sebulan di Daerah
Perkotaan dan Perdesaan Menurut Kelompok Barang dan Golongan Pengeluaran
per Kapita Sebulan 2000-2012. Jakarta : Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik (BPS). (2012). Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia (KBKI). Badan
Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2013). Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan
Menurut Kelompok Barang 2009-2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2014). Statistik Industri Manufaktur. Badan Pusat Statistik.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). (2015). Standar Nasional Indonesia. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional.
Bakri, F. (2015, April 8). Diskusi dengan APGAI.
Barnard, M. (2007). Fashion Sebagai Komunikasi: Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial,
Seksual, Kelas, dan Gender. Bandung: Jalasutra.
Bisnis.com. (2015, Februari 23). Diakses Maret 17, 2015, dari bisnis.com: http://bandung.
bisnis.com/read/20150223/34231/527770/terus-anjlok-industri-hulu-tekstil-mintaimpor-kain-disetop.
Bisniscom. (2014). Produk Impor Batik Cemaskan Produsen Lokal. Diunduh 17 Februari
2015 dari http://industri.bisnis.com/read/20141002/257/ 262003/produk-imporbatik-cemaskan-produsen-lokal.
Black, J., N. Hashimzade & G. Myles (2013). Oxford Dictionary of Economics. Oxford
University Press.
Bloomberg. (2013, Mei 24). Diakses Maret 8, 2015, dari www.bloombergindonesia.tv: http://
www.bloombergindonesia.tv/videos/watch/2253/pgmst003a-market-story-eps3tanah-abang-seg1-rev2-mp4.
Carlyle, T. (1843). Past and Present. London & Glasgow Collins Clear Type Press Pocket
Edition
Deming, W. E. (1993). The New Economics For Industry, Government & Education. Cambridge:
Massachusetts Institute of Technology Center for Advanced Engineering Study.
Detik.com. (2010). Penyelundupan Pakaian Bekas Rugikan Industri Kecil. Diunduh 16
Februari 2015 dari http://finance.detik.com/read/2010/02/12/ 101059/1298118/4/
penyelundupan-pakaian-bekas-rugikan-industri-kecil.Detik.com. (2015, Februari
5). Detik. Diakses Maret 8, 2015, dari Detik Finance: http://finance.detik.com/rea
d/2015/02/05/184830/2825047/4/ini-hasil-lengkap-uji-laboratorium-pakaian-bekasimpor.
Efendi, N. (2013). Analysis of Indonesia Textile Industry Competitiveness in Regulation
Theory Perspective. Diunduh 26 Maret 2015, dari: http://www.researchgate.
53
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
net/publication/235766698_Analysis_of_Indonesia_Textile_Industry_
Competitiveness_in_Regulation_Theory_Perspective_By__Nur_Efendi.
Fernandez-Stark, K., S. Frederick & G. Gereffi. (2011). The Apparel Global Value Chain,
Economic Upgrading and Workforce Development. Duke CGGC.
Fitinline.com. (2015). 5 Tempat Berbelanja Pakaian Murah di Jakarta. Diakses tanggal 2 Mei
2015 dari sumber: http://fitinline.com/article/read/5-tempat-berbelanja-pakaianmurah-di-jakarta/. 11 Maret 2015.
Jawa Pos. (2015, Februari 17). Diakses Februari 28, 2015, dari jawapos.com: http://www.
jawapos.com/baca/artikel/13055/Baju-Impor-Ilegal-Rp-22-Triliun
Kotler, P., & G. Amstrong. (2007). Principles of Marketing. Prentice Hall.
Mediaindustri. (2014). Capaian Kinerja Kementerian Perindustrian. Diunduh 17 februari 2015
dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
cad=rja&uact=8&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2F
www.kemenperin.
go.id%2Fdownload%2F6518&ei=e9eQVaqeMIq2uATIioGoAQ&usg =AFQjCNFe2A
js1nmQ5_9xU5FO0uvbqpq2YA&sig2=UQYqeg-GBIPZ0pQ7SUHMWw
Mulyadi. (2010). Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Mengembangkan Budaya Mutu. UIN
Maliki Press 2010. Halaman 78.
Neraca. (2015, Januari 13). Industri Garmen Perlu Solusi Bahan Baku Lokal. Rubrik Industri
dan Perdagangan, hal. 11.
Neraca.co.id. (2012, Desember 15). Diakses April 3, 2015, dari Neraca.co.id: http://www.
neraca.co.id/article/22656/5-Tempat-Berbelanja-Pakaian-Murah-di-Jakarta.
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementrian Perdagangan. (2015). Profil Komoditi Tekstil
dan Produk Tekstil Indonesia 2015. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia.
Radarpena. (2015, Februari 18). Diakses Februari 28, 2015, dari radarpena.com: http://
radarpena.com/read/2015/02/18/15880/18/1/Impor-Pakaian-Bekas-Tahun-IniCapai-Rp-60-Triliun.
Republika. (2014, Desember 3). Daya Saing Industri Pakaian Jadi Melemah. Rubrik Industri,
hal. 16.
Republika. (2015, Februari 7). Kemendag Bentuk Tim Pengawas Pakaian Bekas. Headline,
hal. 1.
Samuelson, W. F., & S.G. Marks. (2012). Managerial Economics. John Willey and Sons, Inc.
Sindo. (2015). Pakaian Bekas Impor Berbakteri. Diunduh 19 Februari dari http://www.koransindo.com/read/960420/150/pakaian-bekas-impor-berbakteri-1423114308
Sukesi, H., R. Resnia, A. Wirastuti, B. Wicaksena, D.W. Prabowo & R.A. Carolina. (2010).
Meredam Gejolak Sistem Distribusi Kebutuhan Pokok di Indonesia. Jakarta: LIPI
Press.
Sunil, G., & S.S. Rai. (2013). Dynamics of Garment Supply Chains. International Journal of
Managing Value and Supply Chains, 4(4).
Tempo. (2015). Impor Pakaian Bekas Pengusaha Tekstil Rugi Rp 10 Triliun. Diunduh 16
Februari 2015 dari http://www.tempo.co/read/news/2015/02/16/090642972/ImporPakaian-Bekas-Pengusaha-Tekstil-Rugi-Rp-10-Triliun.
54
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
UN COMTRADE. (2015). List of importing markets for a product group exported by Indonesia.
Diunduh dari www.trademap.org pada tanggal 6 Februari 2015.
Widodo, K. H., & E. Ferdiansyah. (2010, Februari). Optimasi Kinerja Rantai Pasok Industri
Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia Berdasarkan Simulasi Sistem Dinamis.
Agritech, 30(1).
Wilkinson, N. (2005). Managerial Economic A Problem-Solving Approach. Cambridge
University Press.
55
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
BAB IV
PAKAIAN JADI INDONESIA DALAM
PERDAGANGAN DUNIA
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
4.1 Pendahuluan
Pakaian jadi merupakan salah satu komoditas yang boleh dikatakan
tidak akan lekang dimakan jaman karena merupakan kebutuhan dasar
manusia yang utama bersama dengan komoditas pangan. Di bidang industri
dan perdagangan, pakaian jadi merupakan industri berorientasi ekspor
tertua dan terbesar di dunia serta termasuk industri yang mendunia karena
hampir seluruh negara memproduksi dan memasarkan komoditi ini baik
untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pakaian jadi juga dianggap
sebagai cikal bakal pembangunan nasional karena merupakan pionir dalam
pembangunan industri berbasis ekspor. Hal ini didasarkan pada rendahnya
biaya produksi, mendorong penyerapan tenaga kerja (karena sifatnya
padat karya), serta pasar yang cukup besar (Adhikari & Weeratunge,
2006; Gereffi,1999). Dalam dasawarsa terakhir, pakaian jadi juga telah
berkembang menjadi salah satu komoditas dari kelompok komoditas industri
kreatif. Pakaian jadi termasuk dalam kelompok kategori Artisanal Products
dan Visual Arts (ITC, 2015).
Selain merupakan bagian dari industri kreatif, komoditas pakaian jadi
juga tidak lepas dari Rantai Nilai Global atau Global Value Chain (GVC).
Setidaknya terdapat lima bagian utama dalam pembagian rantai nilai dari
pakaian jadi dunia, yaitu; (i) suplai bahan mentah, termasuk serat alam
dan sintetis; (ii) persyaratan dan ketentuan komponen bahan baku pakaian
jadi, seperti benang dan kain dari pabrikan perusahaan tekstil tertentu; (iii)
jaringan produksi pabrikan pembuatan pakaian jadi , termasuk subkontraktor
domestik dan luar negerinya; (iv) aliran ekspor yang telah dimiliki pedagang
perantara; dan (v) jaringan pemasaran di tingkat ritel (Gereffi & Frederick,
2010; Gereffi & Memedovic, 2003). Berdasarkan kategori rantai pasok global
untuk pakaian jadi, Indonesia sudah termasuk dalam tingkatan Original
Equipment Manufacturing (OEM) atau Paket Kontrak. Hanya saja perlu bagi
Indonesia untuk meningkatkan investasi terutama di permesinan dan jasa
logistik (Gereffi dan Memedovic, 2003).
Di masa lalu, ekspansi industri dan perdagangan pakaian jadi dunia
sangat tergantung dan ditentukan oleh kebijakan perdagangan, terutama
56
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
the Agreement on Textiles and Clothing (ATC) yang diprakarsai World
Trade Organization (WTO) (dihapuskan bertahap pada tahun 2005),
dimana banyak kebijakan kuota yang sangat mengatur industri. Akibatnya,
terjadi pergeseran yang cukup signifikan di sisi geografis dari perdagangan
pakaian jadi untuk mengakomodasi realita politik dan ekonomi yang baru
(Gereffi & Frederick, 2010). Perubahan tersebut tentunya mempengaruhi
faktor utama yang terkait perdagangan, utamanya dari sisi suplai, yakni
daya saing dan kemampuan produksi suatu negara. Sebagai contoh,
Bangladesh, RRT dan India telah berkembang menjadi pemain utama
pada segmen produksi dengan nilai tambah rendah, sementara negara
yang lebih kecil dari tiga negara tersebut dituntut untuk meningkatkan
kemampuan ke segmen yang lebih tinggi, seperti desain dan branding,
agar daya saingnya tetap terjaga (Stark et. al, 2011).
Lebih lanjut, dalam kaitannya dengan perdagangan, pakaian jadi
merupakan salah satu komoditas yang memiliki ciri khas sebagai rantai
buyer-driven commodity dimana terjadi asimetri pengaruh antara pemasok
dengan pembeli global yang pada umumnya adalah lead-firm pemilik merek.
Artinya, bahwa pembeli global menentukan apa yang harus diproduksi, di
mana, oleh siapa, dan dengan harga berapa. Oleh karenanya, desain,
pemberian merek, dan pemasaran produk ditentukan pula oleh pemegang
merek tersebut. Sebagian besar pemasok global adalah pemasok yang
berasal dari negara–negara berkembang, terutama di wilayah Asia. Pada
awal 1970an, pemasok di Asia berupaya meningkatkan peluang dari hanya
sebagai perakit (penjahit) menjadi produsen yang lebih bernilai tambah
(Bair, 2005; Gereffi et. al., 2001).
4.2 Peta Perdagangan Internasional
Sebagaimana diungkapkan oleh Gereffi dan Frederick (2010)
serta Gereffi dan Memedovic (2003), seiring waktu akan selalu ada
perubahan signifikan seperti perubahan dan perkembangan pasar
pakaian jadi dunia. Perdagangan pakaian jadi juga lebih terdiversivikasi
dibandingkan dengan perdagangan tekstil, dimana banyak negara yang
mampu mengembangkan industri pakaian jadi berorientasi ekspor dari
bahan baku kain impor tanpa perlu memproduksi tekstil dalam skala
besar di dalam negerinya.
Setelah adanya penghapusan kuota dalam perdagangan tekstil dan
pakaian jadi serta pasca krisis finansial global, setidaknya peta negara
eksportir pakaian jadi dunia dapat dikelompokkan sebagai berikut (Gereffi
dan Frederick, 2010; Gereffi dan Memedovic, 2003):
57
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
•
Negara Eksportir dengan peningkatan relatif stabil, dimana pangsa
pasar di dunia secara umum terus meningkat semenjak era tahun
1990an. Yang termasuk negara dalam kelompok ini adalah RRT,
Bangladesh, India, Vietnam, dan Kamboja, sedangkan Pakistan dan
Mesir mempunyai pangsa yang lebih kecil.
• Eksportir yang mengalami perubahan pasar. Indonesia merupakan
eksportir yang termasuk dalam kategori ini dimana pangsa pasar di
Amerika dan Jepang meningkat, namun pasar di Uni Eropa menurun.
Namun sebaliknya, Sri Lanka mengalami peningkatan pasar di Uni
Eropa namun mengalami penurunan di Amerika Serikat.
• Eksportir Pra Kuota, yaitu negara–negara yang mengalami penurunan
pangsa pasar yang sangat tajam setelah kebijakan MFA dicabut, namun
kembali menguat setelah terjadi krisis finansial global. Negara–negara
tersebut termasuk Kanada, Meksiko, negara–negara di Amerika Tengah,
Uni Eropa, Tunisia, Maroko dan Thailand.
• Eksportir Tradisional, yang bercirikan mengalami penurunan pangsa
pasar semenjak awal 1990an, yakni Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan,
Malaysia serta Filipina, Singapura dan Macau.
Berdasarkan rilis WTO tentang International Trade Statistics 2014,
perdagangan pakaian jadi intra regional di kawasan Asia, Eropa, dan Amerika,
terlihat bahwa pasar kawasan Eropa dan kawasan Amerika menunjukkan
penurunan untuk periode tahun 2000 hingga tahun 2013. Penurunan ini
merupakan dampak dari meningkatnya jumlah FTA di dua kawasan tersebut.
Data tersebut menunjukkan bahwa untuk perdagangan intra regional Asia
tercatat sebesar 88,2% dari total perdagangan pakaian jadi Asia ke luar
Asia pada tahun 2000 dan naik menjadi 88,3% pada 2013. Perdagangan
intra regional Eropa dari 64,7% di tahun 2000 menjadi 55,1% di tahun 2013
dengan eksportir utama (menguasai 80% ekspor Uni Eropa) Italia, Jerman,
Perancis, Spanyol, Inggris dan Belgia, sedangkan intra regional Amerika
tercatat 0,9% (tahun 2000) menjadi 0,7% (tahun 2013).
Ekspor pakaian jadi dunia selama 5 tahun terakhir menunjukkan tren
pertumbuhan positif sebesar 7,7% per tahun dan mencapai USD 382 miliar
tahun 2013. Indonesia merupakan negara eksportir pakaian jadi ke-11 dunia
dengan pangsa ekspor dan nilai ekspor di tahun 2013 sebesar 1,9% dan
USD 7,4 miliar. Posisi pertama adalah RRT dengan nilai ekspor sebesar
USD 165 miliar dan dengan pangsa lebih dari 40%. Dengan kata lain, RRT
merupakan eksportir raksasa untuk produk pakaian jadi dunia. Italia dan
Jerman berada pada urutan ke-2 dan ke-3 dengan nilai dan pangsa ekspor
pada periode yang sama tahun 2013 masing-masing sebesar USD 21,4
miliar dan USD 17,7 miliar (Tabel 4.1).
58
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Tabel 4.1 Eksportir Pakaian Jadi Dunia, 2011-2013
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
Negara ASEAN lainnya yang patut diperhitungkan di sektor pakaian jadi
dunia adalah Vietnam. Vietnam menduduki peringkat ke-4 eksportir pakaian
jadi dunia. tahun 2013, ekspor pakaian jadi Vietnam mencapai USD 16,8
miliar dengan pangsa sebesar 4,4%. Tingginya ekspor pakaian jadi dari
Vietnam disebabkan tingginya partisipasi negara tersebut dalam GVC
terutama untuk sektor tekstil.
Salah satu indikasi tingginya partisipasi Vietnam dalam GVC adalah
terus tumbuhnya industri penopang pakian jadi, yaitu industri tekstil. Menurut
laporan The Trans-Pacific Partnership Apparel Coalition tahun 2013, di
Vietnam sudah terdapat 145 pabrik pemintalan benang, 401 pabrik tenun, 105
pabrik perajutan, 94 pabrik pewarnaan dan pencelupan kain, serta 7 pabrik
nontenun. Pembangunan industri tersebut merupakan perkembangan pesat
dalam beberapa tahun terakhir sebagai buah dari peningkatan investasi
yang berasal dari perusahaan Jepang, Korea Selatan, Taiwan, RRT, dan
beberapa negara lainnya (Lopez-Acevedo dan Robertson, 2012).
The Vietnam National Textile and Garment Group atau Vinatex
merupakan produsen pakaian jadi dan tekstil terbesar di Vietnam dengan
59
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
sebagian kepemilikan adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Vinatex
merupakan salah satu kelompok usaha yang mendorong peningkatan
investasi dan produksi serat dan benang di Vietnam. Dukungan yang
diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Industri
Vietnam adalah dengan menetapkan strategi pengembangan sektor tekstil
dan pakaian jadi dengan target produksi kain hingga 2 juta metrik ton pada
2020. Selain itu, untuk memutus rantai ketergantungan terhadap serat dan
benang impor, Vietnam menargetkan peningkatan produksi mencapai 650
ribu metrik ton pada 2020 dengan memfasilitasi pembuatan pabrik serat
polyester joint venture antara Vinatex dengan PetroVietnam (Petrochemical
& Textile Fiber Joint Stock Company). Proyek yang dijalankan Vinatex juga
termasuk pembangunan komplek industri untuk pemintalan, penenunan,
penjahitan, pencelupan dan pewarnaan serta finishing ditambah dengan
pembangunan Industrial Park untuk tekstil dan pakaian jadi bekerjasama
dengan dua perusahaan dari RRT (Platzer, 2014).
Menurut Vietnam Investment Review (2012), peningkatan gelombang
investasi di sektor tekstil yang mendorong peningkatan sektor pakaian jadi
di Vietnam, merupakan buah dari prediksi keuntungan yang akan tercipta
dari adanya kerjasama Trans Pacific Partnership (TPP). Keuntungan dari
TPP berasal dari potensi atas skema penurunan tarif dalam kerjasama
tersebut. Selain itu, masih rendahnya biaya tenaga kerja merupakan alasan
lain banyak investasi masuk ke Vietnam di sektor ini. Beberapa perusahaan
yang mengivestasikan dan membangun pabrikan tekstil dan pakaian jadi
di Vietnam adalah Texhong and Pacific Textile dari Tionkok, Hyosung
Corporation (produser spandek terbesar dunia dari Korea Selatan) dan
Kyungbang Group, Japan’s Toray International dan Mitsui Corporation dari
Jepang , Lenzing dari Austria, dan Woolmark Company dari Australia.
Seperti halnya ekspor, impor pakaian jadi dunia pada tahun 2013 juga
tumbuh sebesar 5,6% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang nilainya
mencapai USD 373,5 miliar. Tren pertumbuhan impor pakaian jadi dunia
masih menunjukkan pertumbuhan yang positif dengan rata-rata pertumbuhan
sebesar 4,9% per tahun selama 2009-2013. Pertumbuhan impor yang positif
tersebut menunjukkan bahwa permintaan pakaian jadi dunia masih akan terus
tumbuh. Amerika Serikat merupakan negara importir pakaian jadi terbesar
dunia, dengan nilai impor dan pangsa impornya terhadap total impor dunia
di tahun 2013 masing-masing sebesar USD 83,8 miliar dan 22,4%. Berada
di urutan ke-2 dan ke-3 adalah Jerman dan Jepang dengan nilai impor dan
pangsa impor di tahun 2013 masing-masing sebesar USD 34,5 miliar dan
USD 31,7 miliar serta 9,2% dan 8,5% (UN COMTRADE, 2015).
60
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Besarnya pasar Amerika Serikat merupakan salah satu karakteristik
dari pasar industri pakaian jadi dimana meskipun banyak dari perusahaan
ritel dan pemasaran pakaian jadi ternama dunia mempunyai kantor pusat
di Amerika Serikat, akan tetapi pabrikan pakaian jadi berada di luar negeri
karena pertimbangan biaya produksi yang lebih rendah. Menurut catatan
OTEXA (2014), impor pakaian jadi tercatat mampu mempenetrasi hampir
90% dari total permintaan pakaian jadi Amerika Serikat di tahun 2013,
meningkat dari 83% di tahun 2008. Defisit perdagangan pakaian jadi Amerika
Serikat pada tahun 2013 sebesar USD 77 miliar. Impor terbesar pakaian jadi
Amerika tahun 2013 berasal dari RRT dengan pangsa hampir 40% dari total
impor pakaian jadi dengan nilai mencapai USD 32 miliar. Eksportir pakaian
jadi kedua dan ketiga terbesar ke pasar Amerika adalah Vietnam dan
Indonesia dengan pangsa masing-masing 10% dan 6%. Adapun negaranegara di kawasan Amerika Tengah seperti negera-negara Karibia, Mexico
dan Kanada, yang mayoritas menggunakan benang dan tekstil dari Amerika
untuk produksi pakaian jadinya dan pemasok pakian jadi terdekat, secara
akumulatif hanya memiliki pangsa 16%.
Tarif impor pakaian jadi di pasar Amerika bervariasi berdasarkan
hubungan bilateral maupun perjanjian regional dengan rata-rata tarif di
tahun 2012 sebesar 11,4% dan dapat mencapai 32% untuk jenis pakaian
jadi tertentu. Tarif impor Amerika untuk pakaian jadi RRT sebesar 14%-25%,
untuk Vietnam 5%-20%, untuk Indonesia 0%-25%, untuk negara di kawasan
Amerika Tengah adalah 0-15%, untuk Kanada 0-18% dan untuk Mexico 30%
(Platzer, 2014).
61
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
Jerman yang juga merupakan negara anggota Uni Eropa mengalami
peningkatan impor sebanyak 2% per tahun selama periode 2009-2013.
Data yang dirilis Eurostat melalui Statista tahun 2015 menunjukkan bahwa
konsumsi pakaian jadi Jerman selama lima tahun terakhir menjadi salah
satu faktor tingginya impor pakaian jadi Jerman dari dunia. Konsumsi
rumah tangga untuk pakaian jadi Jerman tercatat sebesar 54,4 miliar euro
pada tahun 2009 yang kemudian meningkat menjadi 62,8 miliar euro atau
meningkat 3,9% per tahun selama 2009-2013.
Jepang sebagai pasar pakaian jadi ketiga terbesar di dunia tercatat
mengimpor pakaian jadi sebesar 8% dari total impornya. Selain itu, Jepang
merupakan importir kedua terbesar pakaian jadi dari RRT, dimana impor
pakaian jadi negara- negara Asia Tenggara hanya mencapai 7% dari impor
Jepang dari RRT.
Tabel 4.2 Importir Pakaian Jadi Dunia, 2011-2013
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
Rusia, Korea Selatan dan Australia merupakan negara yang memiliki
tren pertumbuhan impor pakaian jadi tertinggi selama lima tahun terakhir
(2009-2013) yakni secara berturut– turut 22,05% (pertumbuhan 2012/2013
sebesar -0,07%); 21,98% (pertumbuhan 2012/2013 sebesar 20,86%); dan
11,7% (pertumbuhan 2012/2013 sebesar 3,28%). Impor pakaian jadi Rusia
di tahun 2013 sebesar USD 7,1 miliar (pangsa: 2,2%), impor pakaian jadi
Korea Selatan dan Australia di tahun 2013 mencapai USD 7,1 miliar (pangsa:
1,9%) dan USD 5,6 miliar (pangsa: 1,5%) (Tabel 4.2).
62
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Gambaran sebaran importir dunia menunjukkan bahwa pada dasarnya
pasar utama produk pakaian jadi masih berada di Amerika Serikat dan Uni
Eropa. Kondisi ini dinyatakan oleh Gereffi dan Memedovic (2003) sebagai
bukti bahwa pakaian jadi merupakan salah satu komoditas yang memiliki ciri
khas sebagai rantai buyer-driven commodity.
Di beberapa kasus, perusahaan global yang menjadi lead firm, biasanya
perusahaan yang mempunyai jaringan ritel dan pemilik merek dari negara
maju seperti Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Lead firm pada
umumnya meng-outsource manufakturnya ke jaringan kontraktor manufaktur
global di negara berkembang yang dapat menawarkan biaya yang paling
kompetitif, sementara lead firm melakukan kegiatan yang paling bernilai
dalam rantai nilai pakaian jadi, yakni mendesain, branding, dan pemasaran
produk. Selain itu, sudah sangat biasa jika satu lead firm juga disertifikasi
oleh berbagai merek pembeli seperti Walmart, Ralph Lauren, Target dan
GAP (Bartley, 2005; Gereffi et al., 2001).
4.3 Perdagangan Luar Negeri Pakaian Jadi Indonesia
Ditinjau dari sisi ekspor, produk pakaian jadi adalah salah satu produk
utama dalam ekspor nonmigas Indonesia. Sumbangan ekspor produk
pakaian jadi bukan rajutan (HS 62) terhadap ekspor nonmigas Indonesia
pada tahun 2014 mencapai 2,69%, sementara kontribusi ekspor produk
Barang-barang Rajutan (HS 61) pada tahun yang sama sebesar 2,35%
(Kementerian Perdagangan, 2015).
Tabel 4.3 Kinerja Ekspor Pakaian Jadi Indonesia, 2010-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Pangsa eskpor pakaian jadi terhadap ekspor non migas pada tahun
2014 sebesar 5%. Pangsa ekspor pakaian jadi terhadap ekspor non migas
Indonesia selama 5 tahun terakhir terus meningkat sebesar 0,5% per tahun.
Total ekspor pakaian jadi Indonesia pada tahun 2014 mencapai USD 7,4
63
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
miliar, mengalami penurunan sebesar 0,4% (YoY). Namun demikian, tren
pertumbuhan ekspornya selama 2010-2014 masih menunjukkan angka
yang positif yaitu sebesar 2,1% per tahun.
Turunnya kinerja ekspor pakaian jadi di tahun 2014 dibandingkan tahun
sebelumnya disebabkan oleh turunnya ekspor jenis t-shirt dan pakaian
olahraga secara signifikan sebesar 9,3% (YoY), sedangkan pakaian bayi
dan pakaian jadi lainnya sebenarnya menunjukkan performa ekspor yang
cukup baik di tahun 2014 dengan mengalami peningkatan masing-masing
sebesar 25,1% (YoY) dan 14,8% (YoY) (Tabel 4.3).
Gambar 4.1 Struktur Ekspor Pakaian Jadi , 2013-2014.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Ekspor pakaian jadi Indonesia pada tahun 2014 didominasi oleh oleh
ekspor pakaian wanita yang terdiri dari mantel/jaket, setelan, gaun, blus dan
pakaian wanita lainnya sebesar 40,1%, sementara pakaian pria menempati
urutan kedua dengan pangsa sebesar 30,6%. T-shirt dan pakaian olahraga,
pakaian bayi dan pakaian jadi lainnya masing-masing memiliki pangsa 18,6%;
3,3%; dan 7,4%. Pangsa ekspor T-shirt dan pakaian olahraga terhadap total
ekspor pakaian jadi tahun 2014 mengalami penurunan dibandingkan tahun
2013, yakni sebesar 1,8%. Berkebalikan dengan lainnya, pangsa pakaian
bayi dan pakaian jadi lainnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan
dibandingkan kinerja ekspor tahun sebelumnya, yakni secara berturut–turut
2,6% meningkat menjadi 3,3% dan 6,4% menjadi 7,4% (Gambar 4.1).
Lebih dari 50% ekspor pakaian jadi Indonesia di tahun 2014 ditujukan
untuk pasar Amerika Serikat dengan nilai ekspor sebesar USD 3.819 juta,
mengalami penurunan sebesar 2,9% (YoY). Pasar Jepang dan Jerman
menempati peringkat ke-2 dan ke-3 dengan pangsa masing-masing sebesar
8,7% dan 7,4%. Negara tujuan ekspor pakaian jadi yang mengalami
peningkatan yang cukup signifikan adalah Uni Emirat Arab (UEA) dan Belgia
dengan peningkatan sebesar 26,7% (YoY) dan 16,9% (YoY) (Gambar 4.2).
64
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Ekspor pakaian jadi Indonesia ke UEA didominasi oleh ekspor pakaian
wanita, sementara ekspor pakaian jadi ke Belgia didominasi oleh ekspor
pakaian pria.
Gambar 4.2 10 Negara Utama Tujuan Ekspor Pakaian Jadi Indonesia,
2013-2014.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Amerika Serikat, Jepang dan Jerman hampir selalu menjadi 3 pasar
utama bagi ekspor pakaian jadi Indonesia untuk keseluruhan jenis baik untuk
pakaian wanita, pakaian pria, T-shirt dan pakaian olahraga serta pakaian
jadi lainnya. Namun demikian, untuk pakaian bayi, pasar RRT menduduki
peringkat ke-2 terbesar setelah pasar Amerika Serikat dengan pangsa
sebesar 3,4% (Gambar 4.3).
Tahun 2014, impor pakaian jadi Indonesia mencapai USD 444,5 juta,
mengalami penurunan sebesar 6,7% (YoY), walaupun selama 5 tahun
terakhir trennya tetap tumbuh sebesar 13%. Nilai impor pakaian jadi
Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekspornya sehingga
untuk sektor tersebut, Indonesia mengalami surplus perdagangan sebesar
USD 6,9 miliar pada tahun 2014.
Di tahun yang sama hampir untuk semua jenis garment, nilai impornya
mengalami penurunan, kecuali untuk T-shirt dan pakaian olahraga yang
justru mengalami peningkatan sebesar 17,4%, sedangkan untuk penurunan
impor tertinggi terjadi pada pakaian bayi, yang nilainya turun sebesar 33,8%
(YoY). Namun demikian, selama 5 tahun terakhir untuk semua jenis pakaian
jadi impornya mengalami pertumbuhan. Rata-rata pertumbuhan impor
tertinggi terjadi pada impor T-shirt dan pakaian olahraga dengan rata-rata
pertumbuhan 28,2% per tahun dan impor pakaian bayi dengan pertumbuhan
rata-rata 22,6% per tahun (Tabel 4.4).
65
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
Pakaian Wanita, 2014
BELGIA
1,3%
RRT
1,7%
Pakaian Pria, 2014
RRT
2,1 %
LAINNYA
13,6%
LAINNYA
15,6%
BELANDA
2,2%
AUSTRALIA 2,2%
KANADA 2,2%
UNI EMIRAT ARAB
2,5%
KOREA SELATAN 2,6%
UNI EMIRAT
ARAB
3,1%
AMERIKA
SERIKAT
56,8%
INGGRIS
3,5%
AMERIKA
SERIKAT
43,6%
KANADA
2,9%
BELGIA
4,4%
KOREA SELATAN
4,4%
JEPANG
5,7%
INGGRIS
4,5%
JERMAN
7,4%
JERMAN
7,6%
T-Shirt dan Pakaian Olahraga, 2014
BELANDA 1,0%
RRT
1,6%
BELGIA 2,0%
Pakaian Bayi, 2014
PERANCIS 1,2%
HONGKONG 1,2%
ITALIA 1,8%
ITALIA 1,0%
UEA 2,0%
LAINNYA
11,6%
JEPANG
10,2%
LAINNYA
10,0%
JEPANG 2,4%
KANADA 2,2%
INGGRIS 2,4%
INGGRIS 2,7%
KANADA 2,9%
KOREA
SELATAN
4,2%
AMERIKA
SERIKAT
57,2%
JERMAN
4,6%
JERMAN 3,3%
AMERIKA
SERIKAT
69,3%
RRT 3,4%
JEPANG
10,2%
Pakaian Jadi Lainnya, 2014
AMERIKA
SERIKAT
18,2%
LAINNYA
22,6%
SPANYOL 1,8%
SINGAPURA 1,8%
JEPANG
18,0%
INGGRIS 3,3%
MALAYSIA 4,2%
JERMAN
11,2%
PERANCIS 4,6%
UNI EMIRAT
ARAB
7,2%
KOREA
SELATAN
7,2%
Gambar 4.3 Negara Tujuan Ekspor Utama Pakaian Jadi Indonesia
Berdasarkan Jenis Pakaian, 2014.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
66
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Tabel 4.4 Kinerja Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2010-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Struktur impor pakaian jadi tahun 2014, tidak banyak mengalami
perubahan dibandingkan dengan struktur impor tahun 2013. Pakaian wanita
tetap mendominasi impor pakaian jadi Indonesia di tahun 2014 dengan
pangsa sebesar 42,5%, turun dibandingkan dengan pangsanya di tahun
2013 yang mencapai 45,8%. Peringkat ke-2 diduduki oleh impor T-shirt dan
pakaian olahraga dimana pangsanya meningkat cukup signifikan sebesar
4,2% dari hanya 16,1% di tahun 2013 menjadi 20,3% di tahun 2014.
Pangsa impor pakaian pria dan pakaian bayi di tahun 2014 mengalami
penurunan dibandingkan dengan pangsanya di tahun 2013 dari masingmasing sebesar 21,5% dan 2,1% menjadi 20,2% dan 1,5%. Pangsa impor
pakaian jadi lainnya seperti kaos kaki, sarung tangan dan lain-lain meningkat
dari 14,5% di tahun 2013 menjadi 15,5% di tahun 2014 (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Struktur Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
67
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
Impor pakaian jadi Indonesia didominasi oleh impor dari RRT dengan
pangsa sebesar 40,2% dari total impor pakaian jadi Indonesia 2014. Pada
periode yang sama, nilai impornya mencapai USD 178,6 juta, mengalami
penurunan yang cukup signifikan sebesar 21,2% dibanding tahun
sebelumnya. Turki dan Hong Kong menempati peringkat ke-2 dan ke-3
negara asal impor pakaian jadi dengan nilai impor masing-masing mencapai
USD 28,4 juta (naik 20,6% YoY) dan USD 26,4 juta (turun 7,0% YoY). Negara
asal impor pakaian jadi Indonesia yang mengalami peningkatan yang
signifikan antara lain Bangladesh dan Kamboja. Impor dari kedua negara
tersebut pada tahun 2014 masing-masing mencapai USD 23,8 juta dan USD
11,6 juta atau mengalami peningkatan masing-masing sebesar 44,1% (YoY)
dan 36,0% (YoY). (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 10 Negara Utama Asal Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Pangsa impor pakaian wanita dan pakaian pria dari RRT masing-masing
sebesar 44,3% dan 40,4%. Maroko dan Hong Kong menduduki peringkat
ke-2 dan ke-3 negara asal impor pakaian wanita dengan pangsa sebesar
7,4% dan 7,2%, sedangkan posisi ke-2 dan ke-3 pangsa impor pakaian pria
ditempati oleh Bangladesh dan Vietnam dengan pangsa masing-masing
sebesar 8,9% dan 8,1%. Posisi ke-2 dan ke-3 pangsa impor T-shirt dan
pakaian olahraga ditempati oleh Korea Selatan dan Bangladesh dengan
pangsa 12,8% dan 9,7%. India dan Malaysia juga menjadi negara asal impor
ke-2 dan ke-3 untuk pakaian bayi di Indonesia dengan pangsa impor 21,1%
68
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
dan 14,8%. Untuk jenis pakaian jadi lainnya, Korea Selatan dan Hongkong
memiliki pangsa masing-masing sebesar 19,3% dan 17,5% (Gambar 4.6).
Pakaian Wanita, 2014
PORTUGAL 2,2%
Pakaian Pria, 2014
Lainnya
16,0%
Lainnya
14,6%
MAROKO 2,4%
MEKSIKO 2,5%
VIETNAM 2,5%
THAILAND 2,8%
BANGLADESH 3,1%
RRT
44,3%
INDIA 3,2%
RRT
40,4%
PAKISTAN 2,9%
INDIA 4,6%
SINGAPURA 4,0%
KAMBOJA 5,3%
SRI LANGKA 3,4%
TURKI 6,6%
TURKI 7,4%
HONGKONG 7,2%
VIETNAM 8,1%
MAROKO 7,4%
T-Shirt dan Pakaian Olahraga, 2014
Pakaian Bayi, 2014
VIETNAM 1,8%
SRI LANGKA 2,0%
THAILAND 2,5%
TURKI 2,7%
INDIA 1,9%
SRI LANGKA 2,3%
KAMBOJA 2,9%
BANGLADESH 8,9%
Lainnya
10,7%
Lainnya
7,6%
RRT
22,7%
KAMBOJA 3,8%
THAILAND 3,4%
RRT
38,4%
VIETNAM 3,7%
KOREA
SELATAN
9,0%
TURKI 7,0%
INDIA
21,1%
BANGLADESH
12,1%
PORTUGAL 7,2%
KOREA
SELATAN
12,8%
MALAYSIA
14,8%
BANGLADESH 9,7%
Pakaian Jadi Lainnya, 2014
PAKISTAN 1,7%
JEPANG 2,1%
SINGAPURA 2,3%
Lainnya
11,3%
JERMAN 2,9%
RRT
32,7%
TAIWAN 3,3%
MALAYSIA 3,0%
TURKI 3,9
HONGKONG
17,5%
KOREA
SELATAN
19,3%
Gambar 4.6 Negara Asal Impor Utama Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan Jenis Pakaian.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
69
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
5.4 Penutup
Sebelum 2005, sebaran industri dan perdagangan sangat ditentukan
oleh kebijakan perdagangan, utamanya kebijakan ATC melalui kesepakatan
di WTO. Kebijakan dalam ATC sudah dihapuskan sejak 2005. Penghapusan
kebijakan tersebut tentunya merubah kembali peta perdagangan dunia.
Negara berkembang pada umunya menjadi subkontraktor dan pasar
perdagangan pakaian jadi, sementara negara maju menjadi lead firm dan
pasar. Tentunya perlu ada peningkatan kemampuan untuk lebih meningkatkan
perdagangan pakaian jadi sehingga dapat menentukan sendiri pasar dan
ekspansi pasarnya.
Kinerja ekspor pakaian jadi dunia selama lima tahun terakhir menunjukkan
tren pertumbuhan positif sebesar 7,7% per tahun dan mencapai USD 382
miliar tahun 2013. RRT merupakan eksportir terbesar diikuti Italia dan
Jerman. Negara ASEAN yang patut diperhitungkan di sektor pakaian jadi
dunia adalah Vietnam, yang menduduki peringkat ke-4 eksportir pakaian jadi
dunia. Tingginya ekspor pakaian jadi dari Vietnam salah satunya disebabkan
oleh tingginya partisipasi negara tersebut dalam GVC, terutama untuk sektor
tekstil, di mana produksi dan perdagangan pakaian jadi tidak akan lepas dari
GVC. Bagi Indonesia, posisi dalam perdagangan internasional pakaian jadi
masih ketinggalan dan hanya menempati posisi negara eksportir pakaian
jadi ke-11 dunia.
Impor pakaian jadi dunia pada tahun 2013 mencapai USD 373,5 miliar
dan tumbuh 5,6% dari tahun sebelumnya dengan tren positif pertumbuhan
sebesar 4,9% per tahun. Amerika Serikat merupakan negara importir pakaian
jadi terbesar dunia, diikuti Jerman dan Jepang.
Pakaian jadi merupakan salah satu produk ekspor utama bagi Indonesia
dengan pangsa sekitar 5% dari total ekspor non migas. Total ekspor pakaian
jadi Indonesia pada tahun 2014 mencapai USD 7,4 miliar dan turun sebesar
0,4% (YoY) dengan tren positif 2,1% per tahun untuk periode 2010-2014.
Ekspor pakaian jadi Indonesia tahun 2014 terdiri atas ekspor pakaian
wanita (40,1%), pakaian pria (30,6%), T-shirt dan pakaian olahraga (18,6%),
pakaian bayi (3,3%) dan pakaian jadi lainnya (7,4%). Saat ini pasar utama
ekspor pakaian jadi Indonesia adalah Amerika Serikat.
Impor pakaian jadi Indonesia juga menunjukkan kenaikan per tahun
sebesar 6,7% selama lima tahun terakhir. Pangsa impor terdiri atas
pakaian wanita (42,5%), T-shirt dan pakaian olahraga (20,3%), pakaian pria
(20,2%), pakaian bayi (1,5%), dan pakaian jadi lainnya (15,5%) di tahun
2014. Impor pakaian jadi Indonesia mayoritas berasal dari RRT, Turki dan
Hongkong,dengan lonjakan impor terbesar berasal dari Bangladesh dan
Kamboja pada tahun yang sama.
70
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Seluruh data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan
strategi untuk mengembangkan perdagangan pakaian jadi, dan berpartisipasi
dalam GVC merupakan strategi yang terbaik untuk meningkatkan perdagangan
pakaian jadi. Dalam upaya untuk meningkatkan peran Indonesia di pasar
global melalui GVC, pemerintah tentu saja perlu memperhatikan segmensegmen dalam industri pakaian jadi yang memiliki nilai tambah yang besar.
DAFTAR PUSTAKA
Adhikari, R., & Weeratunge, C. (2006). Chapter 4: textiles and clothing sector in South
Asia:coping with post-quota challenges. South Asian Yearbook of Trade and
Development 2006 (pp. 109-145). New Delhi, India: CENTAD.
Bair, J. (2005). Global capitalism and commodity chains: looking back, going forward.
Competition and Change, 9(2), 153-180.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Data Perdagangan Indonesia.
Bartley, T. (2005). Corporate Accountability and the Privatization of Labor Standards: Struggles
over Codes of Conduct in the Apparel Industry. In H. Prechel (Ed.), Politics and the
Corporation (Vol. 14, pp. 211–244). Bingley, U.K.: Emerald.
Gereffi, G. (1999). International trade and industrial upgrading in the apparel commodity
chain. Journal of International Economics, 48(1), 37-70.
Gereffi, G. and O. Memedovic. (2003). The Global Apparel Value Chain: What Prospects
for Upgrading for Developing Countries (Report). Vienna, Austria: United Nations
Industrial Development Organization (UNIDO).
Gereffi, G. and S. Frederick. (2010). The Global Apparel Value Chain, Trade and the
Crisis:Challenges and Opportunities for Developing Countries. In O. Cattaneo, G.
Gereffi & C. Staritz (Eds.), Global Value Chains in a Postcrisis World (pp. 157–208).
Washington, DC: World Bank.
Gereffi, G., R. Garcia-Johnson and E. Sasser. (2001). “The NGO-industrial complex.” Foreign
Policy(125): 56-56-65.
Lopez-Acevedo, G. & R. Robertson. (2012). Sewing Success?. 1 ed. Washington DC: The
World Bank.
International Trade Center (ITC). (2015). Creative Industries. Diunduh tanggal 6 Februari
2015 dari http://www.intracen.org/itc/sectors/creative-industries/.
Kementerian Perdagangan. (2015, Februari 17). Perkembangan Ekspor Nonmigas (Sektor)
Periode 2010-2014. Diunduh 18 Februari 2015, dari Kementerian Perdagangan:
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-ofnon-oil-and-gas-export-sectoral.
OTEXA. (2015). Textile and Apparel Trade Balance Report. Diunduh tanggal 18 Februari 2015
dari http://otexa.ita.doc.gov/tbrbal.htm.
Platzer, M.D. (2014). U.S. Textile Manufacturing and the Trans-Pacific Partnership Negotiations.
Congressional Research Service Report. Diunduh tanggal 18 Februari 2015 dari
https://www.fas.org/sgp/crs/row/R42772.pdf
71
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
Stark, K.F., S. Frederick dan G. Gereffi. (2011). The Apparel Global Value Chain: Economic
Upgrading and Workforce Development. Center on Globalization, Governance &
Competitiveness, Duke University.
Statista. (2015). Consumer spending on clothing in Germany 2005-2013. Diunduh tanggal
31 Maret 2015 dari http://www.statista.com/statistics/419897/clothing-consumptionexpenditure-germany/.
The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2015). OECD-WTO
Trade in Value Added (TiVA). Diunduh tanggal 20 Februari 2015 dari http://stats.
oecd.org/Index.aspx?DataSetCode=TIVA_OECD_WTO.
UN COMTRADE. (2015). Data Perdagangan Pakaian Jadi. Diunduh tanggal 10 Februari
2015 dari http://www.wits.worldbank.org.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). (2015). UNCTAD
Product groupings. Diunduh tanggal 8 Februari 2015 dari http://unctadstat.
unctad.org/UnctadStatMetadata/Classifications/UnctadStat.SitcRev3Products.
UnctadProductGroupingslist.Classification_En.xls.
Vietnam Investment Review. (2012). TPP May Attract more Foreign Investment Projects in
Textiles and Dyeing. June 19,2012. Diunduh tanggal 18 Februari 2015 dari http://
www.vir.com.vn/tpp-may-attract-more-foreign-investment-projects-in-textiles-anddyeing.html.
World Trade Organization. (2015). International Trade Statistics 2014. Diunduh tanggal 5
Maret 2015 dari https://www.wto.org/english/res_e/ statis_e/its2014_e/its2014_e.
pdf.
72
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
BAB V
PELUANG DAN TANTANGAN PERDAGANGAN
PAKAIAN JADI INDONESIA
Arie Mardiansyah
5.1 Pendahuluan
Industri pakaian jadi memainkan peran yang cukup penting di Indonesia.
Selain memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional, industri
pakaian jadi juga merupakan sektor yang mampu menyerap jumlah tenaga
kerja cukup besar. Pada tahun 2013, industri pakaian jadi Indonesia
memberikan kontribusi sebesar 4,23% terhadap total nilai ekspor nasional
dan menyerap lebih dari 800 ribu tenaga kerja pada skala industri besar dan
sedang, belum termasuk tenaga kerja yang bekerja pada industri skala kecil
atau rumahan. Selain itu, devisa yang dihasilkan oleh industri ini juga cukup
besar yaitu USD 7,38 miliar pada tahun 2013.6
Indonesia dengan kekuatan sumber daya yang dimiliki seharusnya
mampu untuk memposisikan dirinya sebagai pemasok utama untuk pasar
pakaian jadi dunia. Namun, kondisi yang terjadi adalah industri pakaian jadi
nasional mengalami stagnasi yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari
luar negeri dan dalam negeri. Kenaikan biaya-biaya dan tekanan pelemahan
nilai tukar rupiah membebani industri ini yang mengakibatkan pakaian jadi
Indonesia kurang berdaya saing. Keputusan pembelian konsumen sendiri
sangat dipengaruhi oleh kualitas, harga, dan model fashion yang cepat
berubah sehingga persaingan menjadi sangat ketat.
Tulisan ini menguraikan peluang dan tantangan perdagangan yang
dihadapi oleh industri pakaian jadi Indonesia. Permasalahan-permasalahan
yang ada antara lain dikarenakan mesin-mesin pertekstilan sudah sangat
tua, maraknya produk impor ilegal, dan resiko ketenagakerjaan yang cukup
tinggi. Selain itu, produktivitas secara keseluruhan juga dirasakan masih
rendah sehingga biaya investasi dan operasional dianggap relatif mahal bagi
investor dan pengusaha. Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan
kondisi kurang baik bagi industri pakaian jadi nasional sehingga daya saing
dan keikutsertaannya dalam rantai nilai global Global Value Chain (GVC)
menurun.
6
Disampaikan oleh Anne P. Sutanto dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia dalam acara “Dialog Tekstil Nasional 2014” yang diselenggarakan di Hotel Gran Melia – Jakarta, tanggal 11 Desember 2014.
73
Arie Mardiansyah
5.2 Peluang Pakaian Jadi Indonesia
Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dan target sasaran
bagi produsen domestik maupun luar negeri. Indonesia memiliki jumlah
penduduk kurang lebih seperempat miliar jiwa pada tahun 2014 dengan
rata-rata peningkatan 1,4% per tahun (Badan Pusat Statistik, 2014). Jumlah
penduduk Indonesia yang semakin bertambah setiap tahunnya, tentu saja
secara alami akan berdampak pada kenaikan kebutuhan dan permintaan
pakaian jadi domestik. Berdasarkan penuturan Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API) dalam Detik.com (2015), konsumsi pakaian Indonesia pada
tahun 2014 mencapai Rp 154,3 triliun atau sebesar USD 51 per kapita.
Industri dalam negeri sendiri memasok kurang lebih senilai Rp 93,35 triliun.
Tingkat konsumsi ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekarang mencapai di atas
5% per tahunnya, di tengah kondisi negara-negara Asia yang diperkirakan
pertumbuhan ekonominya akan melambat sebagai dampak dari pelemahan
ekonomi negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (World Bank, 2015).
Tabel 5.1 Perkiraan Pertumbuhan GDP
Negara
“00-”10-e 20112012 20132014-e 2015-f2016-f2017-f
Kamboja
RRT
Indonesia
Laos
Malaysia
Myanmar
Filipina
Thailand
Vietnam
8.07.17.37.4
10.59.3
7.77.7
5.26.56.35.8
7.18.08.08.5
4.65.25.64.7
10.35.9
7.38.3
4.83.66.87.2
4.30.16.52.9
6.66.25.25.4
7.2
7.4
5.1
7.5
5.7
8.5
6.0
0.5
5.6
7.5
7.1
5.2
6.4
4.7
8.5
6.5
3.5
5.6
7.2
7.0
5.5
7.0
5.1
8.2
6.5
4.0
5.8
7.0
6.9
5.5
6.9
5.2
8.0
6.3
4.5
6.0
* a=average; e=estimated; f=forecast.
Sumber: World Bank (2015)
Pertumbuhan konsumsi juga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan
perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dimana industri fashion semakin
marak bermunculan di tanah air. Selama periode 2009-2013, pertumbuhan ratarata tahunan populasi Indonesia hanya sebesar 1,3% sedangkan konsumsi
pakaian jadi Indonesia per kapita naik sebesar 8% per tahunnya. Dengan
jumlah penduduk Indonesia sebesar 249,9 juta jiwa dan konsumsi pakaian
jadi sebanyak 1,3 Kg/kapita/tahun, total konsumsi pakaian jadi Indonesia pada
tahun 2013 diperkirakan mencapai 318,4 ribu ton. Hal ini menggambarkan
bahwa tren pertumbuhan konsumsi pakaian jadi di Indonesia tahun 20092013 sebesar 9,4% per tahunnya, angka tersebut berada jauh di atas ratarata peningkatan tahunan penduduk Indonesia itu sendiri (Direktorat Jenderal
Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, 2014).
74
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Tabel 5.2 Perkembangan Jumlah Penduduk, Konsumsi Pakaian Jadi, dan Penguasaan Pasar Pakaian Jadi Dalam Negeri Indonesia, 2009-2013
Sumber: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (2014) dan World Bank (2015),
Besarnya pasar pakaian jadi Indonesia dan tingginya pertumbuhan
konsumsi di dalam negeri merupakan peluang bagi pelaku industri guna
meningkatkan realisasi produksinya. Industri pakaian jadi nasional sendiri
masih belum dapat mengoptimalkan kapasitas terpasangnya. Selain itu,
produk pakaian jadi lokal baru menguasai 80,3% dari pasar pakaian jadi
dalam negeri pada tahun 2013. Dengan asumsi tren pertumbuhan penduduk
Indonesia 1,3% per tahun dan kenaikan konsumsi per kapita 8%, konsumsi
pakaian jadi per kapita Indonesia pada tahun 2014 dan 2015 diprediksikan
adalah sebesar 1,4 Kg dan 1,5 Kg, atau total volume konsumsi keseluruhan
sebesar 348,3 ribu ton pada tahun 2014 dan 381 ribu ton pada tahun 2015.
Pada tahun 2019, volume konsumsi pakaian jadi Indonesia diproyeksikan
akan berkisar 545,7 ribu ton (Tabel 5.2).
Di sisi lain, pasar internasional juga merupakan peluang yang harus
dicermati oleh industri nasional. Permintaan dunia diperkirakan masih
akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
pemulihan ekonomi di pasar ekspor utama. Hal ini terlihat dari nilai impor
dunia yang terus mengalami kenaikan beberapa tahun terakhir. Selain itu
jumlah penduduk dunia saat ini telah mencapai lebih dari 7,2 miliar jiwa dan
diperkirakan akan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan sebesar
1,14% per tahun. Pertumbuhan permintaaan diperkirakan masih tetap
didominasi oleh peningkatan permintaan dari pasar negara-negara utama
seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan RRT.
Pada tahun 2012, pasar pakaian jadi dunia hanya sebesar USD 1,1
triliun atau sekitar 1,8% dari PDB global. Menurut BankMed–Market &
Economic Research Division (2014) dalam Tot (2014), pasar utama produk
pakaian jadi dunia adalah Uni Eropa (EU-27) dengan pangsa sekitar 32%
dan nilai sebesar USD 350 miliar per tahun pada tahun 2012. Tiga pasar
utama lainnya adalah Amerika Serikat (pangsa 20%), RRT (pangsa 13%),
dan Jepang (pangsa 10%). Keempat pasar utama tersebut memiliki populasi
1/3 dari jumlah penduduk dunia dan menguasai 75% dari total pasar pakaian
75
Arie Mardiansyah
jadi dunia. Tot (2014) juga memproyeksikan bahwa nilai pasar pakaian jadi
dunia pada tahun 2025 akan mencapai USD 2,1 triliun setara dengan tingkat
pertumbuhan sekitar 5% per tahun dimana RRT akan menjadi pasar terbesar
di dunia pada tahun tersebut dengan nilai sebesar USD 540 miliar.
600
12%
12%
10%
450
9%
8%
8%
300
6%
5%
5%
Australia
Kanada 2%
3%
Russia
4%
India
4%
Rest of World
7%
Eu-27
32%
Brazil
5%
4%
150
3%
2%
0
UE-27
2%
AS
Japan
10%
2%
RRT Japan Brazil India Rusia KanadaAustraliaOthers
2012
2025
CAGR
Nilai Pasar Pakaian Jadi Beberapa Negara
Tahun 2012, 2025 (USD Miliar) dan Tingkat
Pertumbuhan Tahunan Majemuk (%)
0%
RRT
13%
AS
20%
Pangsa Pasar Pakaian Jadi Dunia
Tahun 2012 (%)
Gambar 5.1 Nilai dan Pangsa Pasar Pakaian Jadi Dunia Tahun 2012, 2025 dan Tingkat Pertumbuhan Tahunan Gabungan.
Sumber: BankMed (2014); dan Tot (2014)
Dilihat dari pengeluaran per kapita penduduk, pengeluaran konsumsi
dunia untuk pakaian jadi diproyeksikan terus tumbuh hingga tahun 2025.
Pengeluaran rata-rata per kapita konsumsi pakaian jadi dunia hanya sebesar
USD 153 pada tahun 2012. Australia merupakan negara yang pengeluaran
belanja pakaian per kapitanya tertinggi di dunia dengan nilai USD 1.050
kapita/tahun, sedangkan India merupakan negara dengan pengeluaran
belanja pakaian per kapita terendah. Sementara itu pengeluaran rata-rata
per kapita konsumsi diperkirakan menjadi USD 247 pada tahun 2025, atau
proyeksi peningkatan sebesar 61% dibandingkan tahun 2012. Dapat dilihat
juga pada Gambar 5.2, terdapat perbedaan besar tentang pola belanja
pakaian per kapita antara negara maju dan negara berkembang. Negaranegara maju seperti Jepang, Kanada, Amerika Serikat, dan EU-27 memiliki
tingkat pengeluaran per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan negaranegara berkembang. Namun demikian, tingkat pertumbuhan pengeluaran
per kapita di negara-negara berkembang pada tahun 2025 diperkirakan
akan lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju (Tot, 2014). Hal ini
mungkin terjadi karena tingkat ekonomi di negara-negara berkembang yang
diharapkan menjadi lebih baik di masa mendatang sehingga dapat dijadikan
alternatif sebagai negara tujuan pemasaran. Indonesia dapat mencermati
negara-negara non-tradisional yang perkembangan ekonominya diprediksi
76
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
akan cukup menggembirakan yaitu sebesar 5% – 8%, seperti negaranegara di Asia Timur dan Sub-Sahara Afrika (World Bank, 2015). Tingginya
konsumsi dan pengeluaran per kapita atas pakaian jadi di Indonesia dan
dunia dapat menjadi suatu parameter bahwa masih terdapat potensi pasar
yang menggiurkan bagi industri pakaian jadi di Indonesia.
Apparel Spending per capita (USD/person)
1,643
1,080
740
377
247
138
36
153
World India
averang
spending
781
663
1,221
1,050
831
686
454
273
272
109
RRT
Brazil
Rusia UE-27
AS
Kanada JapanAustralia
20252012
Gambar 5.2 Pengeluaran Per Kapita Produk Pakaian Jadi.
Sumber: Tot (2014)
Untuk menunjang sarana pemasaran kepada masyarakat luas,
pemerintah akan membangun pasar-pasar baru yang tersebar di seluruh
Indonesia. Pasar merupakan aset penting untuk memenuhi hajat hidup
orang banyak, dan keberadaannya sangat dibutuhkan untuk menunjang
perdagangan barang. Ada dua jenis pasar yang ada di Indonesia saat ini,
yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Saat ini, perkembangan pasar
tradisional mengalami tekanan dengan semakin pesatnya perkembangan
pasar modern yang sudah mulai menjangkau sampai ke pelosok daerah.
Meskipun antara pasar tradisional dengan pasar modern mempunyai segmen
yang berbeda, tetapi barang-barang yang diperdagangkan pada kedua jenis
pasar tersebut relatif sama sehingga mempunyai konsumen yang sama
pula. Untuk mengimbangi hal tersebut, pemerintah telah merencanakan
untuk membangun dan merevitalisasi 5.000 pasar tradisional hingga tahun
2019. Dengan semakin banyaknya pasar yang tersebar di seluruh Indonesia
diharapkan dapat membantu kelancaran distribusi dan memberikan alternatif
yang lebih luas kepada konsumen sehingga produk pakaian jadi nasional
mudah dijangkau oleh berbagai kalangan masyarakat (Metrotvnews, 2014).
77
Arie Mardiansyah
Produsen pakaian jadi lokal sepatutnya selangkah lebih maju untuk
bersaing dengan produk impor karena mampu mengenali pasar lokal secara
lebih baik. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan serangkaian kebijakan
Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk melindungi konsumen dalam
negeri. Kebijakan ini mewajibkan kepada produk lokal maupun impor untuk
memenuhi semua ketentuan dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah
agar bisa diperjualbelikan di Indonesia. Untuk menghasilkan produk yang
ber-SNI, produsen dalam negeri dituntut untuk memiliki pengetahuan,
peralatan, dan prosedur kerja yang memadai sehingga dapat menghasilkan
produk yang berkualitas dan diterima secara baik oleh masyarakat. Pada
akhirnya, produsen pakaian jadi nasional dapat memberikan kepuasan tinggi
kepada konsumen untuk memenangkan persaingan di pasar domestik dan
sebagai modal untuk berkompetisi di pasar ekspor.
Terkait perdagangan luar negeri, perkembangan ekspor pakaian jadi
Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun
2007 ekspor pakaian jadi Indonesia ke dunia hanya sebesar USD 5,63
miliar sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi USD 7,38 miliar,
atau peningkatan sebesar 31,1% antara tahun 2007 hingga tahun 2013.
Permintaaan pakaian jadi asal Indonesia masih didominasi oleh permintaan
dari pasar-pasar ekspor tradisional seperti Amerika Serikat, Uni Eropa (EU27), Jepang, dan Korea. Komposisi ekspor Indonesia ke empat negara
tersebut adalah Amerika Serikat (52%); EU-27 (20%); RRT (10,3%); Jepang
(8,4%); dan Korea (3,7%) (UN COMTRADE, 2015).
Dalam hal produksi, Indonesia diuntungkan dengan tenaga kerja yang
melimpah. Seperti banyak negara di Asia, Indonesia mulai membangun
industri pakaian jadi sejak tahun 1970-an dengan mengambil kekuatan
dari tenaga kerja low cost yang tersedia pada saat itu. Industri pakaian
jadi diperkirakan telah menyerap lebih dari 800 ribu tenaga kerja pada
tahun 2013, belum termasuk tenaga kerja yang bekerja pada industri skala
rumahan yang tidak terdata secara resmi. Selain itu, jumlah perusahaan
yang beroperasi di Indonesia trennya juga terus meningkat dari tahun ke
tahun. Dari total kapasitas terpasang 949 ribu ton pada tahun 2013, industri
pakaian jadi baru memanfaatkan 76,3% utilisasi dari seluruh kemampuan
yang ada sehingga masih ada 23,7% kapasitas yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan volume produksi.7
5.3 Tantangan Pakaian Jadi Indonesia
Pada bagian ini akan dibahas mengenai faktor apa saja yang menghambat
industri pakaian jadi Indonesia saat ini yang menjadi tantangan bersama
7
Disampaikan oleh Anne P. Sutanto dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia dalam acara “Dialog Tekstil Nasional 2014” yang diselenggarakan di Hotel Gran Melia – Jakarta, tanggal 11 Desember 2014.
78
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
antara pemerintah, industri, dan pengusaha untuk memperbaiki kondisi yang
dihadapi. Ada beberapa faktor penghambat daya saing pakaian jadi Indonesia
dalam upayanya berkompetisi dengan produk dari negara-negara produsen
lainnya, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pertama, kenaikan suku
bunga pinjaman bank. Pada tahun 2014, Bank Indonesia menaikkan suku
bunga bank menjadi 7,5% yang masih berlaku hingga sekarang. Hal ini
menyebabkan pinjaman modal menjadi mahal. Kedua, kenaikan Tarif Dasar
Listrik (TDL) setiap tahun juga turut membebani dimana pada tahun 2014
saja TDL telah naik sebesar 39%. Ketiga, kenaikan upah minimum telah
menyebabkan ratusan perusahaan melakukan relokasi ke tempat lain. Upah
minimum meningkat hingga 40% pada tahun 2012, mencapai antara USD
80 hingga USD 160 per bulan untuk pekerja pakaian jadi. Angka ini cukup
signifikan jika dibandingkan dengan upah di negara tetangga Asia lainnya
seperti Kamboja yang hanya berkisar USD 75 per bulan. Faktor terakhir,
industri tesktil juga sangat terbebani atas melemahnya kurs rupiah karena
mayoritas bahan baku tekstil adalah barang impor. Dua komoditas yang
masih bergantung impor adalah kapas dan serat fiber yang sangat berperan
utama pada hulu produksi (Preuss, 2013; dan Business News, 2014).
Faktor-faktor ini dianggap sebagai penyebab langsung mengapa industri
tekstil Indonesia mengalami stagnasi pada tahun 2014, disamping kenaikan
harga kebutuhan pokok akibat naiknya harga BBM sehingga daya beli dan
konsumsi masyarakat Indonesia menurun. Akhirnya, produsen dalam negeri
kesulitan untuk memasarkan hasil produksinya karena keputusan konsumsi
sangat dipengaruhi oleh harga, kualitas, dan siklus model yang sangat
pendek sehingga persaingan sangat kompetitif dalam industri ini.
Permasalahan lainnya adalah maraknya tekstil impor ilegal yang masuk
ke pasar domestik. Yang dimaksud produk tekstil impor ilegal adalah produk
tekstil impor dari luar negeri yang tidak tercatat dan masuk ke daerah pabean
Indonesia, termasuk di dalamnya adalah pakaian impor bekas. Berdasarkan
penuturan API, dari angka konsumsi pakaian Indonesia pada tahun 2014
yang mencapai Rp154,3 triliun, impor pakaian resmi melalui izin impor
Kementerian Perdagangan nilainya Rp 48,02 triliun. Terdapat sekitar Rp10,9
triliun, yang diperkirakan berasal dari pakaian baru impor yang masuk ke
pasar secara ilegal, angka ini belum termasuk pakaian bekas impor yang
memang dilarang untuk masuk ke Indonesia (Detik.com, 2015).
Tantangan selanjutnya, pengelolaan merek dan pemasaran dilakukan
dengan sangat buruk di masa lalu sehingga merek nasional kurang
mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya,
pakaian merek asing telah berkembang menjadi pilihan bagi masyarakat
79
Arie Mardiansyah
Indonesia. Kualitas produk dan harga adalah tantangan yang dihadapi oleh
produsen Indonesia untuk tetap bersaing dalam memperoleh pangsa pasar
domestik dengan negara-negara di Asia, terutama dengan RRT (Global
Business Guide Indonesia, 2013).
Dalam hal produksi, permasalahan utama industri pakaian jadi Indonesia
saat ini adalah usia mesin-mesin yang relatif sudah tua. Permasalahan ini
terutama terjadi pada sektor hulu produk tekstil sehingga menurunkanproduktifitas
industri TPT. Kondisi ini juga menyebabkan industri TPT Indonesia secara
keseluruhan kurang bersaing baik secara ekonomis maupun secara teknologi.
Pemerintah telah berupaya untuk melakukan restrukturisasi permesinan
TPT sejak lama dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian
(Permenperin) Republik Indonesia Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 juncto
Permenperin No.15/M-IND/PER/2/2012 juncto Permenperin No.01/M-IND/
PER/1/2014 Tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Melalui
Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Serta
Industri Alas Kaki. Kebijakan ini ditujukan untuk memberikan kemudahan
dan keringanan biaya bagi Industri Produk Tekstil termasuk industri pakaian
jadi untuk melakukan peremajaan mesin dan peralatannya dengan teknologi
yang lebih maju. Namun demikian, Permenperin ini dianggap masih belum
mengakomodir pokok permasalahan dalam industri pakaian jadi nasional
sehingga pemanfaatannya masih kurang maksimal.
Permasalahan lainnya adalah permasalahan tenaga kerja yang dihadapi
oleh industri pakaian jadi di Indonesia. Sistem perburuhan, kebijakan
upah minimum yang terus meningkat, dan maraknya demonstrasi buruh
serta bertambahnya jumlah serikat pekerja di Indonesia dianggap menjadi
penghambat dalam proses produksi industri pakaian jadi di Indonesia
(Hermawan, 2011 dan Preuss, 2013). Kondisi ini dianggap sebagai penyebab
mengapa produktifitas tenaga kerja Indonesia tergolong rendah.
Selain permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di atas,
ketidaktersediaan infrastruktur yang belum memadai juga turut memberikan
hambatan bagi industri pakaian jadi Indonesia. Faktor-faktor inilah yang
menyebabkan daya saing industri nasional semakin melemah dibanding
negara-negara produsen lainnya. Lebih lanjut, permasalahan-permasalahan
yang dihadapi Indonesia ini juga dianggap sebagai faktor penyebab
mengapa lambatnya tingkat investasi baru sektor industri ini di Indonesia dan
keikutsertaan industri pakaian jadi Indonesia dalam GVC fashion terhambat.
5.4 Daya Saing
Secara umum, daya saing Indonesia memperlihatkan tren yang cukup
menggembirakan, setidaknya demikian menurut laporan World Economic
80
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Forum (WEF). Dalam laporannya tahun 2014–2015, WEF menempatkan
Indonesia pada ranking ke-34 dari total 144 negara di dunia berdasarkan
Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index), meningkat 4
peringkat dari tahun sebelumnya yang menempati peringkat ke-38. Namun
demikian, Indonesia masih jauh dibawah beberapa Negara ASEAN lainnya
seperti Singapura (peringkat 2), Malaysia (peringkat 20), dan Thailand
(peringkat 31). Indonesia cukup baik terkait pilar inovasi dan kepuasan
bisnis, menempati peringkat ke-30 (WEF, 2014).
Tabel 5.3 The Global Competitiveness Index, 2014–2015
Overall Index
Basic Requirements
SUB INDEX
Efficency Enhancers
Innovation and
Sophistication Factors
COUNTRY/ECONOMY
RANKSCORERANKSCORERANKSCORERANK SCORE
Singapura
2 5,6516,34 25,6811 5,13
Malaysia
205,16235,53244,9517 4,95
Thailand
314,66405,01394,5354 3,84
Indonesia
344,57464,91464,3830 4,2
Filipina
52 4,4 664,63 584,27 48 3,9
Vietnam
684,23794,44743,9998 3,35
Laos
933,91984,131073,5880 3,51
Kamboja
95 3,891034,09 1003,65 116 3,15
Myanmar
1343,241323,361343,11139 2,62
Brunei Darussalam
N/AN/AN/AN/AN/AN/AN/A N/A
Sumber: World Economic Forum (2014)
Ada beberapa perbaikan kondisi daya saing Indonesia berdasarkan
12 pilar dalam penentuan tingkat daya saing suatu negara menurut WEF.
Infrastruktur dan konektivitas terus mengalami perbaikan dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, naik 5 peringkat dari tahun 2013 dan 20 peringkat
sejak tahun 2011. Indeks daya saing Indonesia menempati urutan ke-56
dalam hal infrastruktur. Kualitas tata kelola publik dan swasta juga dinilai
menguat. Indonesia naik 14 peringkat menjadi peringkat ke-53 sebagai
akibat peningkatan 18 indikator dari total 21 indikator yang menyusun pilar
ini. Secara khusus, Indonesia meraih peningkatan yang luar biasa, peringkat
ke-36, dalam hal efisiensi pemerintah. Korupsi dianggap telah sangat jauh
berkurang selama beberapa tahun terakhir. Hal paling menggembirakan,
Indonesia sangat baik terkait pilar inovasi dan kepuasan bisnis, menempati
peringkat ke-30 dan dianggap sebagai aspek paling kuat di antara pilar-pilar
daya saing Indonesia (WEF, 2014).
Namun demikian, ada beberapa pilar yang perlu dicermati secara serius
karena menurunkan indeks daya saing Indonesia. Aspek terlemah yang
dihadapi saat ini adalah situasi pasar tenaga kerja yang terus memburuk.
Kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia turun tujuh peringkat dari tahun
sebelumnya, menjadi peringkat ke-110 pada tahun 2014. Jauh tertinggal dari
81
Arie Mardiansyah
RRT dan Vietnam yang menempati peringkat ke-37 dan peringkat ke-49,
namun masih lebih baik dibandingkan dengan Bangladesh yang menempati
peringkat ke-124. Menurut WEF, kondisi ini disebabkan oleh penetapan upah
serta sistem perekrutan dan pemberhentian yang masih lemah di Indonesia.
Selain itu, partisipasi perempuan dalam ketenagakerjaan juga rendah,
peringkat ke-112. Bidang lain yang perlu menjadi perhatian khusus adalah
kesehatan masyarakat yang hanya menempati peringkat ke-99 (WEF, 2014).
Keikutsertaan Indonesia dalam GVC cenderung mengalami penurunan.
Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Indonesia mengalami kemunduran dalam
keikutsertaannya dalam GVC sejak tahun 1995 sebesar 5,3 menjadi hanya
sebesar 2,6 pada tahun 2009 (OECD Stat., 2013). Permasalahan peningkatan
daya saing menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan agar
Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara produsen lainnya.
Bagaimanakah posisi daya saing Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara produsen pakaian jadi lainnya? Pada tahun 2013, ekspor
Indonesia ke Dunia adalah USD 7,38 miliar atau menempati urutan ketujuh
sebagai pemasok pakaian jadi dunia. Jika pangsa ekspor dianggap sebagai
cerminan indeks daya saing suatu negara (Mikic, 2007), maka berdasarkan
Tabel 5.5 indeks daya saing Indonesia paling rendah dibandingkan dengan
negara-negara produsen di Asia lainnya dan kecenderungannya turun sejak
tahun 2011. Pangsa ekspor Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar
1,7%. Tidak ada perubahan yang signifikan dibandingkan dengan tahun
2007 yang hanya sebesar 1,6%. Pada sisi lain, ada perkembangan menarik
tentang kondisi yang dialami oleh Bangladesh dan Vietnam. Pada tahun
2007, indeks daya saing Bangladesh dan Vietnam adalah masing-masing
sebesar 2,7% dan 2,1%, kemudian meningkat secara signifikan menjadi
6,2% dan 4,3% pada tahun 2013,atau meningkat lebih dari dua kali lipat
dibandingkan tahun 2007.
Tabel 5.4 Persentase Ekspor Negara-Negara Pengekspor Utama Dunia
Satuan : Persen (%)
No.
Negara Pengekspor
2007 20082009 2010201120122013
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
RRT
EU-27
Bangladesh
Vietnam
India
Turki
Indonesia
Mexico
Amerika Serikat
Maroko
Total Dunia
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
82
31.8 28.7 2.7 2.1 2.7 3.9 1.6 1.5 1.1 1.0 100 31.3 29.7 3.0 2.3 2.8 3.6 1.7 1.3 1.0 0.9 100 31.8 29.5 3.9 2.6 3.6 3.6 1.8 1.3 1.1 1.0 100 34.9 27.2 4.3 2.9 3.1 3.6 1.9 1.2 1.1 0.9 100 35.2 27.2 4.7 3.1 3.4 3.3 1.9 1.1 1.1 0.8 100 36.6 25.7 5.6 3.5 3.2 3.4 1.8 1.1 1.2 0.8 100 38.8
26.4
6.2
4.3
3.7
3.5
1.7
1.0
1.2
0.7
100
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Secara komparatif, indeks Revealed Comparative Advantage (RCA)
Indonesia juga paling rendah dan cenderung turun dibandingkan dengan
negara-negara pengekspor utama di Asia lainnya (Tabel 5.5). Pada tahun
2007 indeks RCA Indonesia sebesar 2,0 kemudian tahun 2013 menjadi hanya
sebesar 1,7. Di lain pihak, Bangladesh paling unggul dibandingkan negaranegara lainnya. Indeks RCA Bangladesh pada tahun 2013 adalah sebesar
35,8 padahal pada tahun 2007 hanya sebesar 28,6. Vietnam, RRT, dan India
menempati peringkat selanjutnya setelah Bangladesh dengan indeks RCA
masing-masing sebesar 5,6; 3,2; dan 2,0 dan kecenderungannya menurun
sejak tahun 2007.
Tabel 5.5 Indeks RCA Negara-Negara Pengekspor Utama di Asia
No.
Indeks RCA
2007 20082009 2010201120122013
1
2
3
4
5
28.6 6.0 3.6 2.6 2.0 Bangladesh
Vietnam
RRT
India
Indonesia
33.2 6.0 3.5 2.5 1.9 30.8 5.7 3.3 2.5 1.9 33.5 6.1 3.3 2.1 1.8 35.0 5.9 3.3 2.0 1.7 37.1 5.5 3.2 2.0 1.7 35.8
5.6
3.2
2.0
1.7
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
Dalam perdagangan internasional, permintaan ekspor dipengaruhi
oleh seberapa besar keikutsertaan produsen di suatu negara dalam
GVC. Permintaan pakaian jadi sendiri erat kaitannya dengan perusahaanperusahaan fashion multinasional yang berperan sebagai buyer besar dengan
skala global. Buyer yang mayoritas melakukan kegiatan bisnisnya di negara
pengimpor, seperti Nike, Zara, GAP, dan sebagainya, sangat menentukan
di negara mana mereka akan menetapkan basis produksinya dan menjadi
bagian dalam rantai nilai mereka. Dalam GVC, buyer hanya berfokus pada
desain, pengelolaan merek, logistik, dan distribusi ritel. Mereka biasanya
menggunakan model outsourcing karena tidak memiliki pabrik sendiri dan
secara signifikan mempengaruhi bagaimana rantai nilai global pakaian jadi
tersebut dilaksanakan dan difungsikan (Fernandez-Stark dkk., 2011).
Suatu negara akan dipilih menjadi basis produksi hanya dan jika produsen
di negara tersebut memiliki daya saing yang lebih baik dibandingkan negara
produsen lainnya. Keunggulan bersaing dapat berupa biaya yang lebih murah
atau fasilitas yang diberikan suatu negara, baik itu dalam hal perdagangan
maupun investasi. Perakitan pakaian jadi akan dilakukan secara “offshored”
di negara-negara berkembang dimana biaya produksi yang rendah serta
didukung perjanjian perdagangan yang menguntungkan di negara tersebut
(Gereffi, 2003; Fernandez-Stark dkk., 2011).
Mengapa daya saing Bangladesh dan Vietnam terus meningkat beberapa
tahun terakhir yang menyebabkan kinerja ekspornya naik secara signifikan?
83
Arie Mardiansyah
Ada perbedaan mendasar antara kondisi Bangladesh dengan kondisi yang
ada di negara-negara pengekspor utama di Asia lainnya. Karakteristik biaya
produksi pakaian jadi sangat ditentukan oleh keterampilan dan keahlian
tenaga kerja manusia. Wang (2013) menyebutkan bahwa rasio produktifitas
terhadap upah tenaga kerja di Bangladesh paling tinggi dibandingkan
dengan negara-negara lainnya di Asia lainnya (Tabel 5.6). Hal ini sejalan
dengan teori klasik dimana suatu negara akan memperoleh keuntungan
dari perdagangan ekspor ketika negara tersebut mampu memproduksi
suatu barang dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan negara
pesaing lainnya (Porter, 1990). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
biaya memproduksi pakaian jadi di Bangladesh memberikan “nilai” paling
maksimal sehingga Bangladesh memperoleh keuntungan atau manfaat
paling tinggi dari perdagangan ekspor pakaian jadi dan keikutsertaannya
dalam GVC dibandingkan negara-negara di Asia lainnya.
Tabel 5.6 Perbandingan Produktivitas Tenaga Kerja dan Upah Minimum di Negara-Negara Asia
No.
Keterangan
BangladeshKamboja RRT
Indonesia MalaysiaThailand Vietnam
1
Produktifitas Tenaga
5.715
5.096 18.325
11.904
Kerja (US DOllar)
2
Upah Minimum per Bulan
38
75
210
210 (Jakarta)
(US Dollar) 121 (Jawa Barat)
3
Rasio
150,4
68
87,3
56,7 (Jakarta)
98,3 (Jawa Barat)
36.854
18.432
6.816
290
200
85
127,1
92,2
80,2
Sumber: Wang (2013)
Fasilitas perdagangan menjadi semakin penting dalam menentukan
keikutsertaan suatu negara dalam GVC. Sebagai contoh, Bangladesh
memiliki kemudahan akses ke pasar konsumen pakaian jadi terbesar Uni
Eropa melalui fasilitas GSP Preference-nya. Namun, perkembangan yang
paling menarik adalah keikutsertaan Vietnam dalam GVC untuk sektor
tekstil dan pakaian jadi meningkat signifikan selama beberapa tahun
terakhir. Vietnam adalah salah satu negara yang paling cepat berkembang
sektor tekstil dan pakaian jadinya dengan tingkat pertumbuhan rata-rata
14,5% per tahun untuk periode 2008-2013. Pada tahun 2013, industri tekstil
dan pakaian jadi menduduki peringkat ke-2 di antara industri terbesar di
Vietnam. Hal ini didorong oleh gencarnya perjanjian perdagangan yang
dilakukan oleh Vietnam dengan mitra strategisnya, terutama kemitraan
yang semakin erat dengan RRT, serta perjanjian-perjanjian dagang lainnya
seperti Trans-Pacific Partnership, Free Trade Agreement Vietnam-EU, dan
lain sebagainya (Tot, 2014).
GVC menjadi semakin berpengaruh dalam menentukan perdagangan
masa depan, peluang investasi, dan peluang pertumbuhan ekonomi yang
84
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
lebih baik. GVC menawarkan kesempatan untuk mengintegrasikan ekonomi
dunia dengan biaya yang lebih rendah, tetapi keuntungan tiap negara dari
partisipasi GVC tersebut tidaklah otomatis. Manfaat GVC juga dapat bervariasi
tergantung pada apakah suatu negara beroperasi di tingkatan yang tinggi
atau pada tingkatan rendah dari rantai nilai, terutama bagi negara-negara
berkembang seperti Indonesia (OECD, WTO, dan World Bank Group, 2014).
5.5 Strategi
Setelah melihat kondisi dan permasalahan yang dihadapi industri pakaian
jadi di Indonesia, langkah selanjutnya adalah menetapkan serangkaian
strategi untuk tetap menjadikan industri ini sebagai tulang punggung dan
dapat berkontribusi maksimal terhadap perekonomian nasional. Ada dua
strategi yang dapat diambil oleh Indonesia dengan sumber daya dan
kekuatan yang dimiliki saat ini, yaitu penguatan pasar domestik dan ekspor
serta peningkatan daya saing produk dalam negeri. Namun demikian,
untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kerjasama yang kokoh antara
pemerintah, industri, dan pelaku usaha itu sendiri.
5.5.1 Penguatan Pasar Domestik
Pakaian jadi produksi nasional sudah seharusnya menjadi “tuan” di
negara sendiri dan mampu bersaing di luar negeri. Dari segi pemasaran, ada
dua langkah yang dapat ditempuh oleh produsen pakaian jadi Indonesia,
yaitu strategi pendekatan produk dan strategi peningkatan pasar. Suatu
produk tidak akan berhasil dalam kompetisi jika tidak didukung oleh kualitas,
harga yang kompetitif, distribusi, komunikasi pemasaran, dan saluran
penjualan yang tepat.
Strategi Pendekatan Produk
Jaminan kualitas (quality assurance) dan pemenuhan spesifikasi
standar merupakan hal kunci untuk mendapatkan tempat di hati pelanggan.
Pemerintah, pengusaha, asosiasi, dan masyarakat perlu terlibat secara
aktif dalam rangka meningkatkan kualitas pakaian jadi hasil produksi
Indonesia. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan aturan SNI wajib guna
melindungi konsumen dari barang-barang berkualitas rendah yang tidak
sesuai standar, termasuk aturan mengenai produk impor ilegal. Selain itu,
Kementerian Perdagangan juga telah mengeluarkan Permendag Nomor
70/M-DAG/PER/12/2013 jo Permendag Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014
tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan, dan Toko Modern. Pemerintah telah mengimbau produsen
85
Arie Mardiansyah
nasional untuk bergegas memanfaatkan peraturan-peraturan ini untuk
meningkatkan kualitas, produktivitas, dan pangsa pasar produksi dalam
negeri guna meredam laju impor. Namun, yang terpenting adalah konsumen
tidak akan ragu lagi untuk menjadikan produk dalam negeri sebagai
pemenuhan kebutuhan sandangnya. Hal terpenting yang diatur dalam
Permendag Nomor 70 Tahun 2013 adalah kewajiban toko modern dan
pusat perbelanjaan untuk memasarkan produk dalam negeri paling sedikit
80% dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan. Jika peraturan ini
dapat diimplementasikan dengan baik, diharapkan dapat lebih menjamin
pemberdayaan dan perlindungan produsen Indonesia dan penguatan
pemasaran produk buatan dalam negeri.
Fakta yang terjadi saat ini, industri pakaian jadi masih dianggap lemah
pada sektor hulu tekstilnya. Indonesia masih bergantung terhadap bahan
baku impor. Kurang lebih 70% impor produk TPT masih didominasi oleh
impor bahan baku. Hal ini karena Indonesia memiliki kelemahan dalam
produksi serat (misalnya, kapas dan fiber) di dalam negeri. Permasalahan
mesin-mesin tekstil yang relatif tua juga menyebabkan sektor hulu tidak
dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan sektor industri pakaian jadi
dalam pemenuhan selera dan kebutuhan konsumennya. Selain itu, harga
tekstil domestik juga dianggap lebih mahal sehingga produsen pakaian jadi
nasional sulit bersaing mengenai harga. Kondisi ini menyebabkan produsen
pakaian jadi Indonesia bergantung pada bahan baku impor untuk mengatasi
keterbatasan pasokan bahan baku dalam negeri.
Untuk mendorong ekspor, pemerintah perlu memberikan fasilitasfasilitas sebagai upaya peningkatan produksi dan kualitas hasil produksi.
Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 580/
KMK.04/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Kemudahan Impor Tujuan
Ekspor (KITE). Dengan adanya KITE, pengusaha diberikan kemudahan
saat mengimpor bahan baku yaitu dengan pembebasan pembayaran bea
masuk dan penangguhan PPN apabila barang jadi (dengan mengandung
komponen bahan impor) yang dihasilkannya tersebut diekspor kembali
secara keseluruhan. Kriteria pengusaha yang dimaksud dalam Keputusan
Menteri Keuangan tersebut adalah kategori pengusaha yang merupakan
importir, eksportir, dan sekaligus produsen. Dengan diberikannya fasilitas
ini, pelaku industri diharapkan dapat memperoleh kemudahan-kemudahan
agar mampu meningkatkan kualitas produk untuk bersaing dengan negara
lain dalam perdagangan internasional sehingga dapat meningkatkan
kontribusinya terhadap surplus ekspor nasional.
86
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Strategi Peningkatan Pasar
Selain melakukan strategi pendekatan produk, produsen pakaian jadi
Indonesia juga perlu melakukan strategi peningkatan pasar. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan cara mempertahankan pasar yang telah dibangun
saat ini, membuka pasar baru, menahan penurunan ekspor ke negara utama,
dan meningkatkan ekspor produk bernilai tambah di pasar yang sudah
ada. Hal ini tentunya dengan melakukan serangkaian langkah-langkah
pemasaran yang tepat. Pengelolaan merek yang buruk di masa lalu perlu
segera dibenahi dan peranan marketing intelligence yang baik untuk terus
berupaya memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan selera permintaan
konsumen, baik domestik maupun luar negeri.
5.5.2 Peningkatan Daya Saing
Dalam rangka meningkatkan daya saing dan mampu berkompetisi
dengan negara-negara produsen lainnya, Indonesia harus melakukan
reformasi kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kemacetan pasokan
dan memperbaiki iklim investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru,
meningkatkan prospek pertumbuhan jangka menengah, mendorong efisiensi
biaya, dan memperkuat posisi eksternal sehingga menarik sebagai lokasi
GVC. Dibutuhkan suatu policy mix agar industri di Indonesia bisa menjadi
bagian penting dalam GVC tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti
infrastruktur dan konektivitas yang lebih baik, lingkungan bisnis yang ramah,
pasar tenaga kerja yang kondusif, akses terhadap kredit, kesiapan teknologi,
inovasi, dan stabilitas makroekonomi. Kebijakan lain yang lebih terarah,
seperti kemudahan tarif dan fasilitas perdagangan lainnya (OECD, WTO,
dan World Bank Group, 2014).
Selain itu, GVC juga perlu dilengkapi dengan kerangka kebijakan yang
tepat dan luas yang memungkinkan negara-negara dan perusahaan untuk
memanfaatkan kapasitas produksi yang ada dan manfaat spillover dari
investasi asing, pengetahuan, dan inovasi. Ini termasuk kebijakan pasar
tenaga kerja, kebijakan sosial dan kebijakan persaingan serta kebijakan
untuk investasi di bidang pendidikan, keterampilan, teknologi dan infrastruktur
strategis (OECD, WTO and World Bank Group, 2014).
Indonesia perlu belajar dari apa yang terjadi dengan industri tekstil
dan pakaian jadi di Bangladesh. Saxena dan Salze-Lozac’h (2010),
dalam penelitiannya terkait industri tekstil dan pakaian jadi di Bangladesh,
menyimpulkan bahwa lemahnya daya saing industri tekstil dan pakaian
jadi di Bangladesh disebabkan oleh buruknya infrastruktur, fluktuasi
nilai tukar mata uang, bunga pinjaman yang tinggi, tenaga kerja yang
87
Arie Mardiansyah
tidak terampil, banyaknya pesaing di dalam negeri, rendahnya teknologi
produksi, dan citra negatif yang digambarkan oleh media. Lebih lanjut,
Saxena dan Salze-Lozac’h memberikan rekomendasi kepada industri
Bangladesh untuk melakukan reformasi lingkungan bisnis yang bisa
memberikan dorongan kepada industri secara keseluruhan dengan
tujuan meningkatkan efisiensi di tingkat pabrik termasuk memberikan
manfaat lebih baik untuk pekerja, dan mengembangkan koalisi antara
sektor swasta dan LSM lokal dan internasional, serta di antara pabrikpabrik, untuk menetapkan standar industri.
Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah telah mengeluarkan
mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Republik
Indonesia Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 jo Permenperin Nomor 15/M-IND/
PER/2/2012 jo Permenperin Nomor 01/M-IND/PER/1/2014 Tentang
Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Melalui Restrukturisasi
Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Serta Industri Alas Kaki.
Namun demikian, aspek-aspek yang ditekankan dalam Permenperin di atas
dianggap belum menyentuh pokok permasalahan dalam industri pakaian
jadi nasional. Kebijakan ini secara nyata juga sangat membatasi perusahaan
yang ingin mengajukan permohonan keringanan dalam pembelian mesin.
Hal ini bisa dilihat pada aspek proses, dimana pemerintah memberikan
persyaratan yang cukup berat untuk bisa dipenuhi oleh industri tekstil skala
kecil dan menengah yang merupakan pelaku utama dalam industri tekstil
yang berorientasi ke pasar domestik. Misalkan, perusahaan yang bisa
memperoleh fasilitas keringanan pembelian mesin dan peralatan adalah
perusahaan yang telah berinvestasi dan beroperasi minimal 2 tahun.
Selain itu, keringanan pembiayaan hanya diberikan bagi perusahaan yang
menggunakan teknologi yang lebih maju dan mesin dalam kondisi baru serta
persyaratan nilai investasi yang cukup besar (Efendi, 2013)
Industri pakaian jadi berskala kecil menengah, yang notabene penopang
industri dan merupakan pelaku usaha paling banyak di Indonesia, seringkali
menemui kendala ketika berhadapan dengan persyaratan manajemen resiko
yang menjadi pertimbangan bank mengeluarkan kredit. Industri pakaian jadi
kelas rumahan seringkali tidak didukung oleh manajemen dan tata kelola
administrasi yang baik seperti yang dipersyaratkan oleh perbankan. Oleh
karena itu, fungsi pembinaan oleh tingkatan pemerintah di daerah sangat
penting diperlukan untuk memberikan jaminan kepastian kepada perbankan.
Dalam hal pemasaran, industri pakaian jadi kecil menengah juga
seringkali menemui kesulitan. Pola makloon8 dalam industri pakaian jadi
merupakan hubungan yang tidak terpisahkan antara industri skala besar
7
Ongkos yang dikeluarkan untuk keseluruhan atau sebagian proses produksi yang diberikan kepada pihak ketiga diluar perusahaan.
88
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
dengan industri skala kecil menengah. Industri pakaian jadi dengan skala
lebih besar perlu merangkul pelaku industri yang lebih kecil. Industri
pakaian jadi dengan skala besar biasanya telah tertata secara baik dalam
hal manajamen dan akses pasar yang lebih luas bagi pasar ekspor. Industri
skala kecil menengah juga perlu menyesuaikan dengan terus meningkatkan
kapabilitas untuk memenuhi spesifikasi dan standar yang ditetapkan
sehingga bisa berorientasi ekspor. Perlunya peran pemerintah daerah untuk
mengayomi dan memberikan fasilitas kemudahan kepada industri skala
kecil menengah di daerahnya sehingga dapat menjembatani kebutuhan
industri skala besar dengan kemampuan industri skala kecil menengah,
misalnya dengan membentuk sentra-sentra produksi. Fungsi pembinaan
oleh pemerintah sangat diperlukan untuk mencermati permasalahan ini
sehingga bisa memberikan efek multiplier secara ekonomi bagi industri
pakaian jadi secara nasional.
Permasalahan tenaga kerja merupakan hal yang perlu dicermati serius.
Kenaikan upah buruh menyebabkan penurunan daya saing jika tidak diikuti
dengan produktivitas yang tinggi. Diperlukan suatu policy mix antar lembaga
pemerintah sehingga kebijakan yang diambil tidak terbatas pada kebijakan
sektoral. Sebagai contoh, agar kesejahteraan buruh dapat meningkat maka
pemerintah perlu menekan inflasi, tidak hanya sekedar meningkatkan upah
minimum yang mungkin kurang berpengaruh terhadap kemampuan daya
beli. Selain itu, tenaga kerja terampil dengan produktivitas tinggi hanya bisa
didapat jika dibekali dengan dasar pendidikan dan pelatihan yang cukup.
Peran pemerintah cukup besar dalam menyediakan fasilitas pendidikan
yang tepat guna sesuai kebutuhan industri sehingga bisa dijangkau oleh
pelaku dan tenaga kerja pada sektor ini.
Seperti halnya Vietnam, Indonesia sejak tahun 2011 menjadi bagian dari
program Better Work ILO dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi kerja di
pabrik-pabrik pakaian jadi sekaligus untuk mempromosikan produktivitas dan
daya saing. Program ini telah berhasil mendorong keikutsertaan perusahaan
dan pembeli internasional untuk berinvestasi di Indonesia. Namun demikian,
program ini perlu terus dilanjutkan sekaligus melakukan serangkaian
perbaikan-perbaikan agar tujuannya dapat terlaksana sesuai dengan yang
diharapkan (Better Work Indonesia, 2014).
Indonesia juga perlu memperbaiki iklim perburuhan sehingga berperan
positif terhadap perkembangan industri. Pada Juni 2011, serikat pekerja,
pabrik pemasok, dan beberapa produsen internasional yang berproduksi
di Indonesia telah menandatangani kesepahaman untuk mendukung hakhak perempuan dan laki-laki dalam memproduksi merek global di Indonesia
89
Arie Mardiansyah
dan memberikan jaminan dalam hal Kebebasan Berserikat sesuai dengan
Freedom of Association Protocol (FOAP) untuk melakukan tawar-menawar
secara kolektif untuk kondisi kerja yang lebih baik dan meredam pemogokan
massal buruh yang justru bisa merugikan semua pihak yang berkepentingan.
Namun demikian, pada praktiknya masih perlu perbaikan-perbaikan
dan konsistensi dari setiap pelaku industri untuk mengimplementasikan
kesepakatan tersebut dengan lebih baik lagi.
Impor tekstil ilegal menjadi permasalahan yang harus segera diperbaiki
oleh pemerintah agar industri pakaian jadi nasional dapat berkembang dan
menjadi tuan di negara sendiri. Pakaian bekas merupakan kategori barang
yang dilarang untuk diimportasi. Pelarangan ini merujuk kepada UndangUndang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dimana impor barang
harus dalam kondisi baru. Selain itu kebijakan pelarangan impor pakaian
bekas juga diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
(Kepmenperindag) RI Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang
Diatur Tata Niaga Impornya dan Kepmenperindag RI Nomor 642/MPP/
Kep/9/2002 tentang Perubahan Lampiran I Kepmenperindag RI Nomor
230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya.
Namun yang menjadi permasalahan adalah penjualan baju bekas impor di
dalam negeri sendiri justru tidak dilarang oleh pemerintah, seperti praktik
yang sedang marak di masyarakat saat ini. Hal tersebut karena adanya
Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang masih memperbolehkan
perdagangan barang bekas, dengan catatan penjual wajib menyebutkan
barang yang dijual tersebut adalah barang bekas, atau bukan baru. Pasal 8
ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi
“Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud”.
Saat ini, Kementerian Perdagangan tengah berupaya untuk
mengintensifkan sosialisasi dan himbauan kepada masyarakat untuk tidak
membeli pakaian bekas. Hal ini dilakukan setelah Kementerian Perdagangan
menemukan ratusan ribu koloni mikroba dan puluhan ribu koloni jamur
berbahaya dalam pakaian bekas impor yang diperjualbelikan di masyarakat.
Namun demikian, masuknya pakaian bekas ke Indonesia sulit dideteksi
karena melalui pelabuhan-pelabuhan “tikus”. Perlu dilakukan tindakan yang
lebih tegas dan represif untuk menindak maraknya peredaran produk ilegal
di masyarakat. Untuk itu, Kemendag bersama Polri, Ditjen Bea Cukai, dan
instansi teknis terkait yang bergabung dalam Tim Terpadu Pengawasan
Barang Beredar (TPBB) terus berusaha mengintensifkan pelaksanaan
pengawasannya (Detik.com, 2015).
90
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Untuk melindungi produsen dalam negeri, pemerintah juga mengeluarkan
kebijakan pengendalian impor dan pengamanan pasar dalam negeri melalui
kebijakan trade remedies (safeguard dan anti-dumping) maupun instrumen
perdagangan lainnya. Namun, pemerintah perlu berhati-hati agar pertimbangan
aspek kepentingan nasional yang lebih luas lebih diutamakan sehingga kinerja
industri tekstil secara keseluruhan bisa berjalan maksimal. Perlu ditekankan
bahwa semangat melindungi produsen dalam negeri tidak dengan menghambat
impor bahan baku dan bahan penolong sektor hulu yang justru akibatnya
berdampak negatif terhadap daya saing sektor hilir industri tekstil itu sendiri.
5.6 Penutup
Indonesia seharusnya memiliki daya saing yang kuat kerena memiliki
sumber daya dan fundamental yang cukup memadai serta pasar yang sangat
besar di dalam negeri. Indonesia cukup baik baik dalam hal inovasi, situasi
makroekonomi, dan peningkatan kualitas infrastruktur yang cenderung naik
dari tahun ke tahun. Namun demikian, ada beberapa hal yang menghambat
daya saing Indonesia seperti lemahnya pengelolaan merek, efisiensi dan
kapasitas produksi, produktivitas tenaga kerja, ketersediaan tenaga kerja
terdidik, adaptasi terhadap penggunaan teknologi, dan biaya energi yang
masih relatif mahal sehingga pakaian jadi Indonesia sulit bersaing dengan
produk-produk pakaian jadi dari negara lain. Oleh karena itu, industri pakaian
jadi membutuhkan perhatian yang lebih serius yang tidak hanya pada
tingkatan kebijakan tetapi juga pada tingkatan teknis di lapangan dimana
pelaku usaha perlu bimbingan serta jaminan terhadap kelangsungan usaha
mereka di masa mendatang.
Tantangan yang lebih besar akan segera menanti dalam waktu dekat bagi
industri pakaian jadi Indonesia. Indonesia perlu menyiapkan upaya terbaik
untuk memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) pada 2015. Berdasarkan
Readiness of Indonesian Companies for ASEAN Economic, terungkap fakta
bahwa pelaku industri pakaian jadi skala besar di Indonesia lebih sadar
akan potensi manfaat dan kerugian dari AEC dan sudah mulai melakukan
langkah-langkah persiapan. Kontribusi kedua adalah pemerintah Indonesia.
Namun demikian, dalam penelitian yang sama, menunjukkan bahwa masih
ada kurangnya kesadaran terkait dengan AEC di banyak perusahaan kecil
di Indonesia. Hal ini memerlukan perhatian besar dari pemerintah untuk
mempercepat pelaksanaan AEC blueprint di Indonesia. Secara khusus,
sebagian besar
perusahaan yang disurvei mengungkapkan perlunya
pemerintah untuk mengevaluasi kemungkinan situasi dan skenario berikut
implementasi AEC dan menyebarkan ini ke perusahaan untuk membantu
mereka mempersiapkan diri untuk era mendatang (Mahendrawati dkk., 2014).
91
Arie Mardiansyah
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia (BI). (2009). Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK) Industri Pakaian
Jadi Muslim. Jakarta: Bank Indonesia. Desember 2009.
Bennie, F; I. Gazibara and V. Murray. (2010). Fashion Futures. Dalam Forum for the Future
February 2010. Diakses tanggal 3 Mei 2014 dari www.forumforthefuture.org/
projects/fashion-futures.
Crinis, V. (2012) “Global Commodity Chains in Crisis: The Garment Industri in Malaysia, the
before, the now and the hereafter”, Journal of Institutions and Economies, 4(3).
Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. (2014). Profil
Basis Industri Manufaktur. Jakarta: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur
Kementerian Perindustrian.
Gereffi, G. and O. Memedovic. (2003). The Global Apparel Value Chain: What Prospects for
Upgrading by Developing Countries? United Nations Industrial Development, p. 36,
2003. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=413820.
Gereffi, G. and S. Frederick. (2010). The Global Apparel Value Chain, Trade and the Crisis:
Challenges and Opportunities for Developing Countries. Policy Research Working
Paper WPS5281, the World Bank Development Research Group Trade and
Integration, April 2010.
Gotexshow. (2015). Market: Overview of the Textile and Clothing Sector. Diunduh 10 Februari
2015, dari GOTEX SHOW: http://www.gotexshow.com.br/eng/mercado
Kementerian Perdagangan. (2015a, Februari 17). Perkembangan Ekspor Nonmigas (Sektor)
Periode 2010-2014. Diunduh 18 Februari 2015, dari Kementerian Perdagangan:
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-ofnon-oil-and-gas-export-sectoral.
Thee, K.W. (2009) “The Development of Labour-Intensive Garment Manufacturing in
Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, 39(4): 562.
Trade Research and Development Agency (TREDA). (2008). Indonesian Kid’s Wear: Fashion
for the Young. Ministry of Trade of the Republic of Indonesia.
UN COMTRADE. (2015). Data Perdagangan Pakaian Jadi. Diunduh tanggal 10 Februari
2015 dari http://www.wits.worldbank.org.
United States Agency for International Development (USAID). (2008). End-Market Study for
Indonesian Apparel Producers. USAID, January 2008.
Vickers, A. (2012). Clothing Production in Indonesia: A Divided Industri. Institutions and
Economies, Vol. 4, No. 3, October 2012, pp. 41-60.
World Trade Organization (WTO). (2015). Textile Monitoring Body: The Agreement on Textiles
and Clothing. Diakses tanggal 1 Mei 2015 dari https://www.wto.org/english/tratop_e/
texti_e/texintro_e.htm.
Wu, C. (2007). Studies on the Indonesian textile and garment industri. Labour and Management
in Development Journal, Volume 7, Number 5.
92
Membangkitkan Kembali Industri Pakaian Jadi Indonesia
BAB VI
MEMBANGKITKAN KEMBALI INDUSTRI
PAKAIAN JADI INDONESIA
Zamroni Salim
Dalam bab-bab sebelumnya telah dibahas mengenai pakaian jadi dari berbagai
aspek; mulai dari aspek produksi, konsumsi, perdagangan dalam negeri dan luar
negeri, juga prospek perdagangan di masa yang akan datang. Di tengah masih
lesunya industri pakaian jadi, dari sisi ekspor, produk ini masih menjadi salah satu
produk utama ekspor nonmigas Indonesia (Kementerian Perdagangan, 2015a).
Daerah produsen utama pakaian jadi adalah Jawa Barat, Jakarta, Banten, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali dan Sumatera (TREDA, 2008; BI, 2009).
Distribusi terbesar (sekitar 57%) pakaian jadi berada di Jawa Barat. Namun
demikian, sentra-sentra tersebut juga merupakan salah satu target utama untuk
pakaian jadi yang berasal dari impor.
Dalam periode lima tahun terakhir 2009 -2013, seperti diuraikan dalam bab III,
konsumsi pakaian jadi Indonesia oleh konsumen dunia juga tumbuh positif sebesar
6,99%. Amerika Serikat masih menjadi pasar utama produk pakaian jadi Indonesia
dengan share lebih dari 50% untuk tahun 2013.
Pada periode 1986-1997 pakaian jadi merupakan komoditi primadona ekspor
Indonesia, namun pada periode setelah itu, pakaian jadi bukan menjadi komoditi
unggulan ekspor. Industri pakaian jadi mulai menunjukkan perannya dalam
lima tahun terakhir (2009-2013) dimana kapasitas terpasangnya terus tumbuh.
Peningkatan tertinggi terjadi tahun 2011 yang tumbuh sebesar 6,67% dengan
produksi mencapai 875,4 ribu ton.
Seperti diuraikan dalam Bab II, kenaikan tersebut karena adanya tambahan
investasi yang berasal dari realokasi beberapa perusahaan dari beberapa negara
dan menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi mereka. Meningkatnya
kapasitas terpasang belum diikuti oleh tingginya utilisasi produksi, dimana pada
tahun 2013 hanya sebesar 77% (Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur
Kementerian Perindustrian, 2014). Belum maksimalnya kapasitas terpasang
industri pakaian jadi dikarenakan masih adanya berbagai kendala yang dihadapi
oleh industri ini seperti masalah kenaikan biaya produksi, umur mesin yang sudah
tua dan rendahnya produktivitas.
Pasca berlakunya Multi-Fibre Arrangement (MFA), Republik Rakyat Tiongkok
(RRT) dan India mendominasi pangsa produksi dunia dengan share masing-masing
sebesar 47,2% dan 7,1% di tahun 2012. Posisi Indonesia dari sisi produksi hanya
berada di urutan ke-13 negara produsen pakaian jadi dengan pangsa sebesar 1,1%
dari total produksi dunia. Dari sisi ekspor, produk pakaian jadi yang berasal dari
93
Zamroni Salim
RRT mendominasi pangsa ekspor dunia sebesar 43,7% dan India sebesar 4% dan
Indonesia menyumbang sebesar 2% (Gotexshow, 2015; UN COMTRADE, 2015).
6.1 Industri Pakaian Jadi di Persimpangan Jalan
Industri pakaian jadi termasuk ke dalam labour-intensive industry, yang
berperan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Industri pakaian jadi yang
pernah berjaya merupakan elemen penting dalam konteks pembangunan ekonomi
nasional, kini seolah industri tersebut terabaikan. Industri pakaian jadi berada di
persimpangan jalan (Vickers, 2012). Pasca MFA 1995 (WTO, 2015), beberapa
krisis tahun 1997 dan juga tahun 2008 memberikan tekanan tersendiri bagi industri
pakaian jadi khususnya dan garment pada umumnya.
Indonesia merupakan salah satu produsen tekstil dan produk tekstil, termasuk
pakaian jadi di ASEAN yang memiliki struktur industri yang lengkap mulai dari
industri pemintalan benang sampai industri yang memproduksi pakaian jadi dan
aksesoris lainnya (Wu, 2007). Namun demikian, industri pakaian jadi di Indonesia
yang awalnya tumbuh dengan pesat terutama periode 1970–1995 sampai
berakhirnya MFA yang menghapuskan sistem kuota yang selama ini memberikan
manfaat positif bagi industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia. Berakhirnya MFA
dan juga resesi ekonomi mempengaruhi penurunan permintaan dunia terhadap
produk pakaian jadi sehingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja yang
besar dalam industri pakaian jadi dan industri terkait lainnya (dalam value chain)
(Gereffi dan Frederick, 2010).
Sebelumnya dengan MFA, produk pakaian jadi Indonesia memperoleh fasilitas
atau perlakuan khusus untuk masuk pasar negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, Uni Eropa dan lainnya. Perubahan kebijakan global ini tentu berdampak pada
keberlangsungan bisnis produsen dan pedagang pakaian jadi di Indonesia, termasuk
di dalamnya masalah relokasi perusahaan/pabrik tekstil, munculnya pengangguran
dari industri tekstil dan pakaian jadi dan dampak sosial lainnya (Wu, 2007).
Setelah tahun 2005 (dengan masa transisi saat berakhirnya MFA dan berlakunya
kesepakatan dalam WTO terkait dengan Agreement on Textiles and Clothing –
(1995-2004)), praktis produsen pakaian jadi Indonesia harus bersaing penuh dengan
produsen dari negara lainnya, termasuk negara produsen utama lainnya seperti India
dan RRT, juga negara yang bisa dikatakan pesaing baru dalam industri pakaian jadi,
seperti Vietnam. RRT adalah pemain dominan dalam tingkat global (Gereffi dan
Frederick, 2010). Dengan berakhirnya era MFA maka perusahaan-perusahaan yang
bisa beroperasi secara efisienlah yang bisa memenangkan persaingan. Beberapa
hal yang terkait dengan inefisiensi perusahaan dalam industri ini adalah masalah
persengketaan dengan buruh, meningkatnya upah dan biaya energi, juga masalah
usia mesin produksi yang semakin tua (Wu, 2007).
94
Membangkitkan Kembali Industri Pakaian Jadi Indonesia
Industri ini berada di persimpangan jalan terkait dengan minimnya investasi
yang dilakukan untuk peremajaan mesin dan peralatan untuk mengatasi penurunan
produktivitas. Keengganan investor untuk melakukan investasi yang besar karena
adanya anggapan bahwa industri pakaian jadi ini lebih didasarkan pada upah
tenaga kerja yang murah. Di samping itu, keengganan untuk investasi juga adanya
kepercayaan di kalangan pengusaha bahwa industri pakaian jadi merupakan
industri yang sudah menurun baik pertumbuhannya maupun produksinya, atau
dikenal dengan istilah ‘sunset industry’ (Thee, 2009). Posisi “sunset industry” ini
juga terefleksikan dalam lingkup ASEAN, di mana Indonesia lebih dilihat sebagai
penyedia tekstil (bahan pakaian), bukan produsen pakaian jadi (Crinis, 2012 seperti
dikutip oleh Vickers, 2012).
6.2 Global Value Chain Industri Pakaian Jadi
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab II, dalam era globalisasi pasca berakhirnya
era MFA, ada perubahan orientasi dalam Global Value Chain (GVC) industri pakaian
jadi. Pakaian jadi tidak hanya diproduksi dalam suatu jalur integrasi vertikal di suatu
negara tertentu, tetapi juga berkembang dalam proses produksi secara terpisah di
beberapa negara. Konsep dalam GVC, pakaian jadi yang lebih didominasi oleh pasar
(pembeli) inilah yang menjadi pola global dan banyak diikuti oleh negara-negara
produsen pakaian di dunia. Pembeli global menentukan apa yang akan diproduksi,
dimana, oleh siapa, berapa harganya (Gereffi & Memedovic, 2003).
Sejak diberhentikannya fasilitas MFA, kompetisi semakin terbuka bagi semua
produsen di dunia. Dengan dihapuskannya fasilitas sistem kuota ini, ekspor RRT
ke Amerika Serikat meningkat sekitar 40%, atau produk pakaian jadi RRT di pasar
Amerika Serikat menyumbang sekitar 28% dari total impor pakaian jadi Amerika
Serikat di tahun 2008 (USAID, 2008).
Dalam kondisi seperti ini rasionalisasi GVC harus dilakukan; dimana retailer
besar, pemilik dan pemasar brand melakukan strategi dengan melakukan usaha
dengan supplier yang besar (dari sisi ukuran/size, namun dalam jumlah yang lebih
sedikit). Di samping itu, ada beberapa perusahaan besar yang menguasai pasar
pakaian jadi global, seperti retailer terbesar (Walmart), pedagang (Li & Fung),
brand marketers (Nike), dan brand manufacturers (VF Corporation) yang berusaha
meningkatkan pangsa pasarnya dengan melakukan merger, akuisisi dan pailit dalam
jaringan industri tekstil dan pakaian jadi.
Jalur distribusi dan pemasaran industri pakaian jadi terdiri dari berbagai tipe
outlet/retailer, termasuk melalui internet. Tipe outlet/retailer yang umum diantaranya
adalah department stores, direct-to-consumer retailers (dengan menggunakan
katalog dan internet), serta retailer independent (USAID, 2008). Industri pakaian jadi
merupakan industri dengan rantai nilai (value chain) yang ditentukan oleh pembeli
95
Zamroni Salim
(Buyer-Driven Apparel Value Chain). Hal ini ditandai dengan adanya kekuatan
yang tidak simetris antara produsen dan pembeli global. Aktivitas terpenting dalam
rantai nilai industri pakaian jadi tidak ditentukan oleh aktifitas produksi semata;
tetapi lebih dari itu lebih ditentukan oleh desain, branding dan juga pemasaran dari
produk pakaian jadi. Aktivitas bisnis ini dikontrol oleh perusahaan terkemuka yang
merupakan perusahaan retailer global dan pemilik brand (global retailers and brand
owners) dalam pakaian jadi (Gereffi dan Frederick, 2010).
Dalam banyak kasus, perusahaan yang menguasai pasar cenderung
melakukan outsourcing untuk proses produksinya (manufacturing process) kepada
jaringan supplier global. Outsourcing proses produksi di negara yang merupakan
supplier pakaian jadi (TREDA, 2008). Dalam kondisi seperti ini tingkat persaingan
akan semakin tinggi, tidak hanya antara produsen dan pelaku bisnis dalam industri
pakaian jadi, tetapi juga negara, khususnya negara berkembang. Berbagai negara
berkembang, termasuk Indonesia, bersaing dalam memperebutkan investasi
asing dan melakukan kontrak kerjasama dengan pemilik brand global; sehingga
menyebabkan banyak pemasok pakaian jadi yang kurang berperan dalam value
chain. Sebagai konsekuensinya adalah pembagian/distribusi nilai tambah yang
cenderung dikuasai oleh perusahaan yang menguasai pasar (leading) (Gereffi dan
Frederick, 2010).
6.3 Tantangan yang Dihadapi
Dalam era perdagangan bebas Indonesia menghadapi berbagai tantangan
baik dari sisi produksi yang menyangkut produktivitas dan kualitas, tetapi juga dari
sisi pemasaran baik itu di dalam negeri maupun luar negeri. Untuk pemasaran
di luar negeri, perusahaan yang melakukan ekspor jumlahnya terbatas dan
terkonsentrasi pada perusahaan besar. Sementara itu, besarnya pasar dalam
negeri yang terus tumbuh merupakan peluang bagi industri pakaian jadi dalam
negeri, namun banyak jumlah produsen pakaian jadi berskala kecil dan menengah
harus bersiap diri menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan produk
sejenis dari luar negeri.
Selama ini, pasar dalam negeri cukup menjanjikan sebagai salah satu penyerap
hasil produksi pakaian jadi di Indonesia, di tengah masih melesunya pasar dunia.
Industri pakaian di Indonesia didukung oleh pasar yang kuat di dalam negeri (Vickers,
2012). Konsumsi domestik pakaian jadi di dalam negeri juga tumbuh sekitar 6,98%
per tahun untuk kurun waktu 2009-2014. Tingginya pertumbuhan konsumsi di dalam
negeri menarik minat produsen domesik juga produsen luar (melalui jalur impor)
untuk masuk ke pasar domestik. Akibat dari tingginya permintaan ini, permintaan
produk impor dengan harga murah juga meningkat termasuk produk impor pakaian
ilegal. Kebijakan pelarangan pakaian bekas sudah diberlakukan sejak lama (1982)
namun, penyelundupan dan impor pakaian bekas terus terjadi. Konsumen dalam
96
Membangkitkan Kembali Industri Pakaian Jadi Indonesia
negeri dituntut untuk lebih berhati-hati dalam membeli produk pakaian jadi, dengan
kualitas yang baik dan harga yang bersaing.
Permasalahan domestik lain dalam industri pakaian jadi seperti diuraikan dalam
Bab III adalah masih lemahnya daya saing Industri pakaian jadi nasional, yang
disebabkan oleh, diantaranya, masalah tingginya biaya produksi dan upah buruh
yang terus meningkat. Tingginya impor produk pakaian jadi dari RRT juga turut
mempengaruhi penjualan produk tekstil pakaian jadi di pasar domestik.
Seperti diuraikan dalam Bab V, dalam konteks persaingan regional dan global,
selain kehadiran RRT dan India yang sangat kompetitif, Vietnam juga menjadi
kompetitor yang patut diperhitungkan oleh produsen pakaian jadi Indonesia. Dari sisi
persaingan global, kehadiran RRT dan India sebagai pemain besar dalam industri
pakaian jadi di dunia akan mempengaruhi arah dan perkembangan industri ini, tidak
hanya di masa sekarang, tetapi juga di masa yang akan datang (Bennie, Gazibara
dan Murray, 2010). Kehadiran negara baru sebagai kompetitor (seperti Vietnam)
tidak terlepas dari partisipasi suatu negara dalam Global Value Chain (GVC) untuk
produksi tekstil dan pakaian jadi terutama untuk sektor tekstil.
Industri pakaian jadi di masa depan, tidak hanya di Indonesia, akan menghadapi
berbagai tantangan global. Usaha/industri yang terkait meliputi pemasok bahan baku,
designers, produsen pakaian jadi, perusahaan dengan berbagai merek dan outlet
retailer-nya. Berbagai tantangan global tersebut diantaranya adalah terbatasnya
dan berkurangnya sumber daya alam, perubahan iklim, perubahan demografi suatu
negara, kehadiran teknologi baru dan perubahan perekonomian dunia yang bisa
mempengaruhi industri dan perdagangan pakaian jadi.
6.4 Upaya Membangkitkan Industri Pakaian Jadi
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, kehadiran industri pakaian jadi
melalui GVC tidak bisa dihindari. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari besarnya
industri pakaian jadi di RRT, India dan tumbuh pesatnya industri ini di Vietnam dan
juga negara lainnya.
Keterlibatan negara-negara tersebut dalam GVC merupakan suatu keharusan
untuk meningkatkan produsi sekaligus meningkatkan daya saing industri pakaian
jadi di pasar global. Keberanian untuk meningkatkan keterlibatan dalam GVC
dengan mengundang investor besar yang selama ini leading dalam industri pakaian
dan upaya menjalin kontrak kerjasa sama dengan pemilik brand global. Namun
demikian, perlu digarisbawahi, bahwa kehadiran mereka dalam industri pakaian jadi
harus tidak mematikan usaha yang berskala kecil dan menengah yang selama ini
telah ada. Kehadiran GVC seharusnya bisa menjalin kerjasama yang kuat dengan
perusahaan pakaian jadi lokal, sebagai mitra mereka mulai dari desain, branding
dan juga pemasaran dari produk pakaian jadi. Dengan demikian, peran perusahaan
lokal bisa lebih aktif dalam GVC.
97
Zamroni Salim
Disamping itu perlu diupayakan bahwa produk GVC lebih diarahkan pada
produksi yang berorientasi ekspor. Sudah saatnya pemerintah dan dunia usaha
tidak menempatkan lagi industri pakaian jadi sebagai sunset industry, tetapi sebagai
industri yang bisa tumbuh dengan dukungan teknologi, inovasi dan sumber daya
manusia Indonesia.
Upaya untuk memberikan dukungan pada industri pakaian jadi nasional
dalam memasarkan produknya di dalam negeri, sekaligus untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen, dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan
standar untuk pakaian jadi. Seperti halnya standar berdasarkan Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor. 07/M-IND/PER/2/2014, yang berlaku efektif sejak 17 Mei
2014. Dalam peraturan tersebut diantaranya menjelaskan bahwa untuk pakaian jadi
(khusus untuk bayi) yang diproduksi atau diimpor, didistribusikan dan dipasarkan di
Indonesia harus memenuhi persyaratan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
(SNI 7617:2013).
Pemerintah juga sudah berupaya membentengi beredarnya produk pakaian
yang tidak layak pakai dan pakaian bekas salah satunya dengan dikeluarkannya
beberapa SNI yang terkait dengan baju (seperti diuraikan dalam Bab III). Selain itu,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 juga sudah melarang impor pakaian bekas,
kecuali atas izin Menteri Perdagangan. Tanpa seijin Menteri Perdagangan, maka
impor bisa dikatakan illegal (seperti diuraikan dalam bab IV). Berbagai peraturan
dan kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai upaya untuk melindungi konsumen
dalam negeri, sekaligus memberikan perlindungan pada industri pakaian jadi di
dalam negeri.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah upaya persuasif baik bagi pelaku
usaha (melalui kebijakan non-sunset industry) maupun konsumen Indonesia untuk
mencintai pakaian jadi produksi dalam negeri. Dalam rangka meningkatkan peran
industri pakaian jadi dan upaya mempromosikan pakain jadi Indonesia di tingkat
nasional dan internasional, pemerintah telah mendorong pemakaian baju batik,
melalui instruksi berbagai lembaga pemerintah, dan menjadikan batik sebagai
simbol nasionalisme Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia (BI). (2009). Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK) Industri Pakaian
Jadi Muslim. Jakarta: Bank Indonesia. Desember 2009.
Bennie, F; I. Gazibara and V. Murray. (2010). Fashion Futures. Dalam Forum for the Future
February 2010. Diakses tanggal 3 Mei 2014 dari www.forumforthefuture.org/
projects/fashion-futures.
Crinis, V. (2012) “Global Commodity Chains in Crisis: The Garment Industri in Malaysia, the
before, the now and the hereafter”, Journal of Institutions and Economies, 4(3).
98
Membangkitkan Kembali Industri Pakaian Jadi Indonesia
Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. (2014). Profil
Basis Industri Manufaktur. Jakarta: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur
Kementerian Perindustrian.
Gereffi, G. and O. Memedovic. (2003). The Global Apparel Value Chain: What Prospects for
Upgrading by Developing Countries? United Nations Industrial Development, p. 36,
2003. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=413820.
Gereffi, G. and S. Frederick. (2010). The Global Apparel Value Chain, Trade and the Crisis:
Challenges and Opportunities for Developing Countries. Policy Research Working
Paper WPS5281, the World Bank Development Research Group Trade and
Integration, April 2010.
Gotexshow. (2015). Market: Overview of the Textile and Clothing Sector. Diunduh 10 Februari
2015, dari GOTEX SHOW: http://www.gotexshow.com.br/eng/mercado
Kementerian Perdagangan. (2015a, Februari 17). Perkembangan Ekspor Nonmigas (Sektor)
Periode 2010-2014. Diunduh 18 Februari 2015, dari Kementerian Perdagangan:
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-ofnon-oil-and-gas-export-sectoral.
Thee, K.W. (2009) “The Development of Labour-Intensive Garment Manufacturing in
Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, 39(4): 562.
Trade Research and Development Agency (TREDA). (2008). Indonesian Kid’s Wear: Fashion
for the Young. Ministry of Trade of the Republic of Indonesia.
UN COMTRADE. (2015). Data Perdagangan Pakaian Jadi. Diunduh tanggal 10 Februari
2015 dari http://www.wits.worldbank.org.
United States Agency for International Development (USAID). (2008). End-Market Study for
Indonesian Apparel Producers. USAID, January 2008.
Vickers, A. (2012). Clothing Production in Indonesia: A Divided Industri. Institutions and
Economies, Vol. 4, No. 3, October 2012, pp. 41-60.
World Trade Organization (WTO). (2015). Textile Monitoring Body: The Agreement on Textiles
and Clothing. Diakses tanggal 1 Mei 2015 dari https://www.wto.org/english/tratop_e/
texti_e/texintro_e.htm.
Wu, C. (2007). Studies on the Indonesian textile and garment industri. Labour and Management
in Development Journal, Volume 7, Number 5.
99
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
INDEKS
A
Agreement Textiles and Clothing (ATC),
23, 57, 70
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API),
13, 18, 45, 74, 79
Asosiasi Produsen Synthetic Fiber
Indonesia (APSyFI), 19
Asosiasi Pemasok Pakaian jadi dan
Assesoris Indonesia (APGAI), 33, 34,
35, 53
Asosiasi Pemasok Pakaian jadi
Pertokoan Indonesia (APGPI), 34
Artisanal Products dan Visual Arts, 56
B
Brand, v, x, 28, 33, 34, 35, 95, 96, 97
D
distribution store, 36
E
Escherichia coli, 49
M
Makloon, 88
Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC), 91
monopolistic competition, 35
multi fiber, 9
Multi Fiber Agreement (MFA), 15, 23,
58, 93, 94, 95
N
National Single Window (NSW), 49
O
Original Equipment Manufacturing
(OEM), 3, 20, 21, 56
Original Brand Name Manufacturing
(OBM), 20, 21
Outsource, 63
P
Purified Therepthalat Acid (PTA), 19
Q
quality assurance, 45, 85
quality control, 45
F
factory outlet, 36
Fashion, 28, 29, 45, 53, 73, 74, 80, 83,
92, 99.
Freedom of Association Protocol
(FOAP), 90
R
Retailer, 23, 36, 95, 96, 97
Revealed Comparative Advantage
(RCA), 83
G
Garment, 11, 25, 53, 59, 65, 92, 94, 99
Global Competitiveness Index, 81
Global Value Chain (GVC), v, vi, 4, 7,
20, 21, 56, 59, 70, 71, 80, 82, 83, 84,
85, 87, 95, 97, 98
S
sunset industry, 10, 95, 98
Standar Nasional Indonesia (SNI), vi, x,
46, 47, 48, 51, 52, 85, 98
Staphylococcus aureus, 49
Stakeholders, 48
J
joint venture, 60
T
Tarif Dasar Listrik (TDL), 18, 19, 79
Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), v, vi, 1,
6, 9, 10, 11, 12, 26, 29, 50, 51, 80, 86
trade remedies, 91
K
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor
(KITE), 86
Koefisien Keragaman (KK), 40
L
law enforcement, 50
lead firm, 57, 63, 70
100
W
World Economic Forum (WEF), 81, 82
World Trade Organization (WTO), 57,
58, 70, 72, 85, 87, 92, 94, 99
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
BIOGRAFI SINGKAT PENULIS
Zamroni Salim
Zamroni Salim adalah peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1998. Zamroni memperoleh gelar S1 Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga,
Surabaya; Gelar S2 diperoleh dari Massey University, New Zealand untuk bidang
Perdagangan Internasional, tahun 2003; dan Gelar PhD diperoleh dari the Graduate
School of International Development (GSID), Nagoya University, Jepang tahun
2009 dalam bidang International Economic and Development. Area penelitian yang
menjadi bidang kajian adalah regionalism, economic integration and development,
ASEAN and East Asian Studies. Aktif sebagai anggota Dewan Editor di beberapa
jurnal ilmiah seperti: Indonesia Economic and Business Studies (RIEBS), dan
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP)-Kementerian Perdagangan. Zamroni
Salim juga merupakan peneliti senior pada The Habibie Center (THC) sejak 2009.
Selain melakukan penelitian, yang bersangkutan juga menjadi tenaga pengajar di
Department of International Relations, President University, Cikarang Indonesia.
Ernawati Munadi
Ernawati Munadi adalah ahli ekonomi internasional dengan pengalaman lebih dari
10 tahun baik di tingkat lokal, maupun nasional sebagai konsultan, dosen dan
peneliti. Ernawati memulai karir profesionalnya sebagai konsultan sejak tahun
2006, ketika bergabung dengan Proyek Bantuan Perdagangan Indonesia (ITAP)
di bawah naungan USAID, sebagai ahli di bidang Ekonomi Perdagangan. Pada
bulan Oktober 2008, dipromosikan sebagai Trade Economist/Senior Team Leader
dalam proyek yang sama. Sejak itu penulis bekerja sebagai konsultan di berbagai
proyek yang dibiayai oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia, AusAid,
USAID, dan Uni Eropa. Hingga kini masih aktif menjadi dosen di Universitas Wijaya
Kusuma. Keahliannya adalah dampak liberalisasi perdagangan pada permintaan
ekspor Indonesia hingga model analisis transmisi siklus bisnis dari Indonesia dan
Amerika Serikat. Dalam 5 tahun terakhir Ernawati mengembangkan keahlian di
bidang perijinan perdagangan (trade license) dan kebijakan bukan tarif (non-tariff
measures). Tulisannya telah banyak diterbitkan diberbagai jurnal penelitian baik
nasional maupun internasional. Ernawati memperoleh gelar S1 di bidang Agronomi
Pertanian dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya; gelar Master di bidang
Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Indonesia pada tahun 1997; dan
gelar Ph.D di bidang Ekonomi Internasional dari Universitas Putra Malaysia pada
tahun 2004.
101
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
Umar Fakhrudin
Umar Fakhrudin adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri,
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2006. Umar memperoleh gelar S1 Jurusan
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
(UI) pada tahun 2005, Postgraduate Diploma in Development Studies dari IDEASJETRO tahun 2011, dan gelar S2 dari Universitas Indonesia untuk bidang Ilmu
Ekonomi tahun 2014. Saat ini Umar menekuni area penelitian bidang kebijakan
perdagangan internasional di bidang non tarif. Bidang lain yang menjadi minat
penelitiannya adalah Daya Saing Perdagangan dan Integrasi Ekonomi.
Sefiani Rayadiani
Sefiani Rayadiani adalah calon peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Luar
Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP),
Kementerian Perdagangan sejak 20 September 2010, di mana sebelumnya sejak
1 Januari 2009 hingga 19 September 2010 ditugaskan pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Iklim Usaha Perdagangan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Perdagangan, Departemen Perdagangan. Sefiani memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi pada Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi,
Universitas Padjadjaran (Unpad) pada tahun 2006 dan gelar Master of Science in
Applied Economics dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura pada
tahun 2013. Saat ini Sefiani menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan
luar negeri, khususnya yang berkaitan dengan tarif, hambatan perdagangan nontarif, impor, dan perjanjian perdagangan bebas.
Septika Tri Ardiyanti
Septika Tri Ardiyanti adalah statistisi pada Pusat Kebijakan Perdagangan Luar
Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2011. Septika memperoleh gelar S1 Jurusan
Statistika dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada tahun 2010 dan
gelar S2 Master of Applied Economics dari Nanyang Technological University,
Singapura tahun 2013. Saat ini Septika menekuni area penelitian bidang kebijakan
perdagangan luar negeri.
Avif Haryana
Avif Haryana adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri,
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Avif memperoleh gelar S1 dari
102
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) Jurusan
Manajemen pada tahun 2008 dan gelar S2 dari Institut Teknologi Bandung untuk
bidang Teknologi Manajemen Industri tahun 2013. Saat ini Avif menekuni area
penelitian bidang logistik, investasi dan fasilitasi usaha. Bidang lain yang menjadi
minat penelitiannya adalah bidang kebijakan perdagangan dalam negeri terutama
terkait dengan komoditas bahan kebutuhan pokok.
Wibowo Kurniawan
Wibowo Kurniawan adalah calon peneliti pada Pusat Kebijakan Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Wibowo
memperoleh gelar S1 dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Brawijaya
pada tahun 2006 dan gelar S2 dari Universitas yang sama untuk Jurusan Manajemen
pada tahun 2011. Saat ini Wibowo menekuni area penelitian bidang kebijakan
perdagangan Internasional dan ekonomi makro pada perdagangan barang. Bidang
lain yang menjadi minat penelitiannya adalah promosi perdagangan internasional
dan hambatan perdagangan internasional.
Arie Mardiansyah
Arie Mardiansyah adalah calon peneliti pada Pusat Kebijakan Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Arie
memperoleh gelar S1 Jurusan Manajemen dengan Program Studi Manajemen
Pemasaran dari Universitas Parahyangan Bandung pada tahun 2006 dan S2
dari School of Business and Management ITB dengan gelar Master of Business
Administration tahun 2008. Saat ini, Arie menekuni area penelitian bidang
perdagangan internasional khususnya mengenai kebijakan perdagangan multilateral.
Bidang lain yang menjadi minat penelitiannya adalah manajemen dan bisnis.
103
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
104
Download