BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Skizofrenia 1. Pengertian

advertisement
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Beberapa ahli menguraikan istilah Skizofrenia berdasarkan gejala, penyebab dan
dampak yang ditimbulkan. Menurut Kraepelin (1919, dalam Benhard, 2007)
menyebut istilah skizofrenia dengan penurunan fungsi kognitif terjadi pada usia
muda ditandai dengan proses kognitif yang makin memburuk dengan gejala
halusinasi dan waham. Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat
kronis,dapat mengalami kekambuhan dengan gejala klinis yang beragam dan
tidak khas (Kusuma, 2007). Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiogical yang
serius dan menetap, ditandai dengan kognitif dan persepsi serta efek yang tidak
wajar (Laraia, 2009). Skizofrenia dikarakteristikan dengan psikosis, halusinasi,
delusi, disorganisasi pembicaraan dan perilaku, efek datar, penurunan
kemampuan kognitif, ketidakmampuan bekerja atau kegiatan dan hubungan
sosial yang memburuk (Bustillo, 2008).
Berdasarkan teori diatas maka dapat disimpulkan pengertian skizofrenia adalah
gangguan jiwa yang menetap, bersifat kronis dan bisa terjadi kekambuhan
dengan gejala psikotik beranekaragam dan tidak khas, seperti: penurunan fungsi
kognitif yang disertai halusinasi dan waham, efek datar, disorganisasi perilaku
dan memburuknya hubungan sosial.
2. Penyebab Skizofrenia
Penyebab skizofrenia tidak diketahui secara pasti, berbagai macam faktor
predisposisi dan presipitasi yang mendukung terjadinya kekambuhan. Namun
pada dasarnya ada hubungan dengan faktor bawaan atau bakat yang diturunkan
8
dari orang tua secara genetik. Benhard (2007) menjelaskan penyebab
skizofreniasebagai berikut: (1) Model diatesis stres, menjelaskan bahwa
skizofrenia timbul karena adanya kesatuan antara faktor biologis, faktor
psikososial dan lingkungan. Individu yang rentan mengalami stresor akan lebih
mudah menjadi skizofrenia.
Faktor pencetus dan kekambuhan dari skizofrenia dipengaruhi oleh emotional
turbulent families, stressful life event, diskriminasi dan kemiskinan. (2) Faktor
neurobiologis, perkembangan saraf pada awal kehamilan ditentukan oleh intake
nutrisi (ibu hamil yang malnutrisi beresiko janinnya kelak berkembang menjadi
skizofrenia) begitu pula trauma psikologis yang dialami ibu selama hamil. Pada
masa kanak disfungsi situasi sosial seperti trauma masa kecil, kekerasan,
hostilitas dan hubungan interpersonal yang kurang hangat sangat mempengaruhi
perkembangan
neurological
sehingga
anak
lebih
beresiko
mengalami
skizofrenia.
Dari berbagai pendapat tentang penyebab skizofrenia tersebut, maka peneliti
berpendapat bahwa terjadinya skizofrenia sangatlah unik artinya tiap individu
akan berbeda tergantung riwayat perkembangan syaraf dari masa intra uteri
sampai pada perkembangan ketika dewasa. Selain itu cara pandang dan cara
koping mekanisme individu dalam mengatasi berbagai stressor baik dari dalam
diri, keluarga dan lingkungan sekitarnya juga menjadi faktor pencetus terjadinya
skizofrenia. Adanya gangguan fisik yang didapat ketika individu sedah dewasa,
seperti trauma fisik merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
skizofrenia.
3. Manifestasi Klinik
Gejala skizofrenia biasanya dimulai di usia remaja atau dewasa muda awal.
Skizofrenia mempengaruhi
pria dan wanita dengan frekuensi yang sama.
Penyakit ini cenderung terjadi pada laki-laki berusia 16-24 tahun dan perempuan
9
di antara 20-34 tahun (Bustillo, 2008). Jadi jenis kelamin tidak menentukan dan
mempengaruhi kejadian skizofrenia.
4. Gejala Skizofrenia
Menurut Benhard (2007), gejala yang tampak dari skizofrenia dibagi dalam 5
dimensi, yaitu:
a. Gejala positif
Menggambarkan fungsi normal yang berlebihan dan khas, meliputi: waham,
halusinasi, disorganisasi pembicaraan dan perilaku seperti katatonia atau
agitasi.
b. Gejala negatif
Yaitu: affective flattening, alogia, avoliyion, anhedonia dan gangguan atensi.
Selain itu ditemukan pula adanya penurunan fungsi normal seperti efek
tumpul, penarikan emosi dalam berkomunikasi, raport yang buruk dengan
lingkungan sekitar, bersifat pasif dan menarik diri dari hubungan sosial.
c. Gejala kognitif
Adanya gangguan proses kognitif dapat juga terjadi inkoheren, asosiasi
longgar, atau neologisme. Selain itu adanya gangguan atensi dan pengolahan
informasi. Gangguan kognitif yang berat seperti: gangguan kemampuan
menghasilkan pembicaraan yang spontan, uratan peristiwa, kewaspadaan dan
masalah atensi, proritas dan prilaku pada hubugan sosial.
d. Gejala agresif dan hostile
Menekankan
pada
masalah
pengendalian
impuls.
Hostilitas
berupa
penyerangan secara fisik atau verbal terhadap orang lain, termasuk perilaku
bunuh diri (suicide), merusak barang orang lain, atau sexual acting out.
10
e. Gejala depresi dan anxious
Gejala ini bersamaan dengan mood yang terdepresi, mood cemas, rasa
bersalah, tension, irritabilitas atau kecemasan. Secara garis besar gejala yang
muncul pada skizofrenia adalah adanya gejala positif seperti gejala halusinasi,
waham, perilaku aneh dan gejala negatif seperti gejala dalam penurunan
interaksi sosial, gangguan tidur, gangguan pemenuhan nutrisi, defisit
perawatan diri. Gejala ini yang menentukan pemberian terapi baik
psikofarmaka maupun asuhan keperawatan yang akan diberikan.
5. Tipe Skizofrenia
DSM-IV (Diagnostic Statistical Manual) membagi tipe skizofrenia kedalam
enam subtipe yaitu: tipe katatonik, disorganisasi (hebrefenik), paranoid, tak
terinci, residual dan skizofrenia simpleks. Sedangkan penggolongan skizofrenia
menurut PPDGJ (F20) antara lain: tipe paranoid (F20.0), tipe hebrefenik
(F20.5), tipe simpleks (F20.6), tipe depresi pasca skizofrenia (F20.4) (Benhard,
2007).
6. Terapi Skizofreni
Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada pasien skizofrenia. Hal
ini diberika dengan kombinasi satu sama lain dengan jangka waktu yang relatif
cukup alam. Hawari (2001) menguraikan terapi skizofrenia terdiri dari
pemberian obat-obatan, psikoterapi dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada
skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi kelompok, terapi keluarga,
rehabilitasi psikiatri, latihan keterampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari,
2001).
Terapi psikofarmaka pada skizofrenia dengan antipsikotik dua kategori, yaitu:
obat antipika (clozapin, risperidon, olanzapine, dan trifluoperazine) ( Maslim,
2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi efek terapeutik obat antipsikotik ini
meliputi: usia, genetik, perilaku penyalahgunaan zat, kondisi medis, obat
11
menginduksi enzim, obat yang menghambat clearance dan perubahan dalam
ikatan protein (Benhard, 2007).
Efek teraputik obat pada pasien skizofrenia memiliki respon yang berbeda pada
setiap individu dan membutuhkan waktu lama untuk merasakan manfaat dari
obat tersebut. Sampai saat ini dari obat yang telah ditemukan belum ada obat
yang sangat ideal untuk skizofrenia, karena masing-masing jenis obat memiliki
kelebihan dan kekurangannya. Menurut Maslim (2001), efek samping yang
sering terjadi adalah gejala ekstra piramidal seperti: kedua tangan gemetar
(tremor), kekakukan alat gerak (bila berjalan seperti robot), otot leher kaku
sehingga kepala pasien seolah-olah “terpelintir” atau “tertarik”. Efek samping ini
menimbulkan rasa tidak nyaman buat pasien dan menimbulkan asumsi negatif
terkait ada dan tidak adanya manfaat dari obat tersebut bagi kesembuhan pasien
skizofrenia. Hal ini akan berdampak pada prilaku pasien dalam menjalankan
regimen terapeutik yang disarankan dari petugas kesehatan.
7. Karateristik Skizofrenia yang Mengalami Ketidakpatuhan
Hasil penelitian Wardani (2009) menunjukkan perilaku tidak patuh minum obat
pada
pasien
skizofrenia
sangat
beragam,
seperti:
menurunkan
dosis,
meningkatkan dosis, minum obat dengan dosis diluar pengawasan medis,
menolak obat dan minum obat tidak tepat waktu. Perilaku tidak patuh juga dapat
dilihat ketika pasien skizofrenia membeli obat sendiri tanpa pengawasan dan
kontrol terlebih dahulu ke medis.
B. Kepatuhan Minum Obat
1. Pengertian kepatuhan
Kepatuhan pasien didefenisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan (Sackett, 1976 dalam
Niven, 2002) Menurut Sarafino (1990 dalam Smet, 1994) kepatuhan merupakan
tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh
12
dokternya atau oleh orang lain. Kepatuhan adalah sejauh mana pasien mengerti
maksud atau harapan dari dokter dalam memberikan pengobatan (McGavock,
1996 dalam Hughes, 1997). Kepatuhan sering digunakan untuk menggambarkan
perilaku bahwa pasien akan mengubah perilakunya atau “patuh” karena mereka
diminta untuk itu (Brunner & Suddart, 2002).
Kepatuhan dalam pengobatan dapat diartikan sebagai perilaku pasien yang
mentaati semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga
medis (Australian Collage of Pharmacy Practice, 2001). Pendapat lain
mengenai kepatuhan adalah kerelaan seseorang untuk melakukan suatu
permintaan yang sebenarnya tidak ingin dilakukan. Kepatuhan ini muncul
karena adanya tekanan sosial dan perundingan, hal ini sangat dipengaruhi oleh
informasi yang diterima oleh seseorang tentang perilaku yang diharapkan dan
diminta (Sears, 1994).
Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan merupakan perilaku yang muncul akibat
permintaan atau saran dari orang lain mengenai tata cara menjalani sebuah
program pengobatan, terjadi karena adanya kebutuhan akan peningkatan status
kesehatan pasien. Kepatuhan ini dapat dilihat, dinilai dan diukur dengan
menggunakan sebuah instrumen (alat ukur), untuk itu perlu kita ketahui lebih
lanjut karateristik dari sebuah perilaku kepatuhan.
2. Karateristik Kepatuhan
Kepatuhan program terapeutik adalah perilaku pasien dalam mencapai
perawatan kesehatan seperti: upaya aktif, upaya kolaboratif sukarela antara
pasien dan provider. Termasuk didalamnya mengharuskan pasien membuat
perubahan gaya hidup untuk menjalani kegiatan spesifik seperti minum obat,
mempertahankan diet, membatasi aktivitas, memantau mandiri terhadap gejala
penyakit, tindakan hygine spesifik, evaluasi kesehatan secara periodik, pelaksana
tindakan teraputik dan pencegahan lain (Brunner & Suddart, 2002). Sedangkan
13
hasil penelitian Wardani (2009) menunjukkan tolak ukur perilaku kepatuhan
minum obat yaitu adanya kerjasama keluarga dan pasien dalam pemberian obat,
kesadaran diri terhadap kebutuhan obat, kemandirian minum obat dan
kedisiplinan minum obat. Selain itu perlikau patuh minum obat diikuti dengan
kontrol rutin setelah dirawat di rumah sakit. Munurut Samalin (2010) karateristik
kepatuhan partial meliputi: pasien mengurangi dosis yang ditentukan oleh pasien
sendiri atau hanya mengambil pengobatan mereka dari waktu ke waktu.
3. Alat ukur kepatuhan
Kepatuhan sulit untuk dianalisa, karena sulit didefenisikan, diukur dan
tergantung pada banyak faktor. Kebanyakan berhubungan dengan ketidaktaatan
minum obat sebagai cara pengobatan, misalnya: tidak minum cukup obat, terlalu
banyak dan minum obat diluar yang diresepkan. Metode untuk mengukur
kepatuhan dilihat dari sejauh mana para pasien mematuhi nasihat dokter dengan
baik, meliputi: laporan pasien, laporan dokter, perhitungan pil dan botol, tes
darah dan urine, alat-alat mekanis, observasi langsung dan hasil pengobatan
(Smet, 1994). Pada penelitian ini menggunakan observasi langsung yang
dilakukan perawat primer yang mengelola pasien tersebut dengan cara mengisi
checklist pada kuesioner kepatuhan minum obat.
4. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan minum obat,
diantaranya adalah: penyakit, individu, petugas kesehatan, obat yang dikonsumsi
dan lingkungan pasien (Niven, 2002). Berikut ini akan diuraikan satu persatu
dan dilengkapin dengan konsep lain dikemukakan oleh Brunner & Suddart
(2002) serta Fleischhacker (2003).
a. Individu
Variabel demografi yang mempengaruhi kepatuhan seperti: usia, jenis
kelamin, suku bangsa, status sosio ekonomi dan pendidikan (brunner &
Suddart, 2002) sedangkan Fleischhecker (2003) menguraikan usia, jenis
14
kelamin, gangguan kognitif, dan sikopatologi sebagai faktor yang
mempengaruhi kepatuhan. Pada pria diusia dewasa awal memiliki
kecenderungan tidak patuh karena kegiatan di usia produktifnya. Usia lanjut
menunjukkan kepatuhan yang rendah karena penurunan kapasitas fungsi
memori dan penyakit regenratif selain skizofrenia yang dialaminya. Tingkat
kepatuhan wanita lebih tinggi dari pada pria, wanita muda lebih patuh
daripada wanita tua. Pasien dengan gejala positif (waham dan maniak) sulit
terhadap pengobatan karena merasa dipaksa dan takut diracuni.
Faktor individu lain yaitu: kurangnya informasi (pengetahuan), gangguan
kognitif dan komordibitas (Samalin, 2010). Persepsi pasien terhadap suatu
obat akan mempengaruhi kepatuhan, pasien yang paham akan instruksi obat
cenderung lebih patuh. Selain itu keyakinan dan nilai individu juga
mempengaruhi kepatuhan, pasien yang tidak patuh biasanya mengalami
depresi, ansietas dengan kesehatannya, memiliki ego lemah dan terpusat
perhatian pada diri sendiri. Sehingga pasien tidak ada motivasi, mengingkari
penyakitnya dan kurang perhatian pada program yang harus dijalankan.
Varibel psikososial yang dikemukakan Brunner & Suddart (2002) dan Smet
(1994) seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau
penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya
finansial juga mempengaruhi dalam mematuhi program pengobatan.
b. Penyakit
Menurut Brunner & Suddart (2002) variabel penyakit seperti keparahan
penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi mempengaruhi kepatuhan pasien
terhadap program pengobatan. Fleischhacker (2003) menjelaskan pasien
dengan gejala negatif dapat memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi ataupun
rendah, bisa karena kurangnya motivasi ataupun sebaliknya pasien tidak
berani menolak anjuran medis dan mengikuti saja apa yang disarankan
mengenai program pengobatannya.
15
Penelitian yang dilakukan oleh Saenz & Mareinelli (1998) dengan sampel 30
pasien skizofrenia dan 30 pasien gangguan bipolar. Hasilnya menunjukkan
pasien skizofrenia yang memiliki daya tilik negatif mempengaruhi keputusan
untuk mematuhi pengobatan, selain itu pasien yang mengalami gangguan
bipolar merasa efek samping obat yang dirasakan sebagai alasan mereka tidak
patuh terhadap pengobatan.
c. Obat yang dikonsumsi
Samalin (2010) menjelaskan hubungan obat yang dikonsumsi mempengaruhi
kepatuhan diantaranya teruatama terkait dengan kemanjuran dan tolerabilitas
antipsikotik.
Menurut
Videbeck
(2008)
faktor
yang mempengaruhi
pengobatan meliputi: efek samping, dosis yang diberikan, cara penggunaan,
lama pengobatan, biaya pengobatan dan jumlah obat yang harus diminum
semakin banyak jumlah obat yang direkomendasikan maka kemungkinan
besar makin rendah tingkat kepatuhan karena kompleksitas pengobatan yang
harus dijalankan.
Uraian lebih lanjut dikemukakan oleh Fleischhacker (2003) sebagian besar
obat memiliki waktu pencapaian efek teraputik yang cukup lama, sehingga
pasien tidak segera merasakan manfaat obat yang diminum selama ini. Tetapi,
pasien akan mengalami efek samping yang kurang menyenangkan terlebih
dahulu dibandingkan manfaat obat. Pasien skizofrenia tidak segera kambuh
setelah putus obat, sehingga pasien beranggapan kekambuhannya tidak ada
hubungannya dengan putus obat. Selain itu jumlah obat dan kerumitan cara
meminumnya mempengaruhi kepatuhan pasien skizofrenia meminum
obatnya. Makin banyak jenis obat yang harus diminum tiap harinya, maka
pasien akan merasakan kesulitan mematuhi program pengobatan.
d. Petugas kesehatan
Kualitas interaksi antara pasien dengan petugas kesehatan menentukan derajat
kepatuhan. Kegagalan pemberian informasi lengkap tentang obat dari tenaga
16
kesehatan bisa menjadi penyebab ketidakpatuhan pasien meminum obatnya.
Menurut Fleischhacker (2003) pemberian perawatan lanjutan ketika dirumah,
keyakinan tenaga kesehatan terhadap suksesnya pengobatan, hubungan yang
baik pasien dan tenaga kesehatan dan efektivitas dari perawatan pada rawat
jalan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan.
e. Lingkungan klien
Keluarga dapat mempengaruhi keyakinan, nilai kesehatan dan menentukan
program pengobatan yang dapat diterima oleh klien. Keluarga berperan dalam
pengambilan keputusan tentang perawatan anggota keluarga yang sakit,
menentukan keputusan mencari dan mematuhi anjuran pengobatan. Menurut
salimin (2010), faktor lingkungan, seperti tingkat dukungan sosial yang
tersedia, juga prediktor yang akurat dari kepatuhan.
5. Proses terjadinya prilaku ketidak patuhan
Hasil penelitian studi kualitatif oleh Wardani (2009) menemukan penyebab
ketidakpatuhan dari faktor individu adalah: sikap negatif terhadap pengobatan,
penyangkalan terhadap penyakit, manfaat obat dan sikap selektif terhadap
caregiver. Selain itu, efek samping obat terhadap fisik, seksualitas, aktivitas, dan
tingkat konsentrasi menjadi alasan klien tidak patuh, bahkan sampai menghentikan
minum obat.
Hasil menelitian Wardani (2009) menunjukkan sikap negatif keluarga menjadi
penyebab tidak patuh. Sikap negatif keluarga inti seperti: respon simpati
terhadap efek samping obat yang dirasakan pasien, secara tidak langsung
menyebabkan pasien tidak patuh. Sikap negatif dari keluarga besar terhadap
pengobatan meliputi sikap mendukung ketidakpatuhan dan ungkapan yang
menurunkan motivasi minum obat. Sedangkan penyebab yang bersumber dari
perilaku tenaga kesehatan adalah informasi yang tidak jelas dan ungkapan yang
17
mematahkan
semangat
dari
tenaga
kesehatan
dapat
menyebabkan
ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
6. Cara meningkatkan kepatuhan
Beberapa metode pendakatan untuk mendukung kepatuhan pasien minum obat
diantaranya: pendidikan, akomodasi, modifikasi, faktor lingkungan dan sosial,
perubahan model terapi dan meningkatkan interaksi profesional kesehatan
dengan pasien (Autralian college of pharmacy practice, 2001). Pemberian terapi
perilaku modeling partisipan yang dimaksud dengan melalui pendekatan
pendidikan dengan cara memberikan contoh kinerja yang sukse terhadap
kepatuhan minum obat, mendapingi saat minum obat, membantu mengatasi efek
yang tidak menyenangkan saat minum obat, pasien diminta minum obat tanpa
tanpa pendampingan selanjutnya pasien aktif minum obat secara mandiri,
sehingga akan menghasilkan minum obat ( Nelson, 2011).
Menurut Dinicola & Matteo (1992 dalam Niven, 2002) ada beberapa cara untuk
menghadapi pasien yang mengalami ketidakpatuhan antara lain:
a. Membutuhkan kepatuhan dengan mengembangkan tujuan kepatuhan pasien
akan memiliki motivasi tinggi untuk patuh jiika memiliki keyakinan, sikap
positif dan memahami tujuan dari perilaku kepatuhan, selain itu adanya
dukungan dari keluarga dan teman terdekat terhadap keyakinan tersebut.
b. Mengembangkan strategi untuk merubah perilaku dan mempertahankannya.
Perilaku kepatuhan membutuhkan sikap kontrol diri atau pemantauan
terhadap dirinya, avluasi diri dan penguatan terhadap perilaku.
1) Mengembangkan kognitif
2) Mengembangkan kognitif terhadap masalah kesehatan yang dialami
pasien, sehingga menumbuhkan kesadaran dan sikap positif terhadap
kepatuhan.
3) Dukungan sosial
18
4) Dukungan psikologis dari keluarga akan mengurangi kecemasan pasien
terhadap penyakit dan ketidakpatuhan dalam program pengobatan.
C. Pendidikan Kesehatan
1. Pengertian
Promosi kesehatan (Health Promotion) adalah proses pemberdayaan masyarakat
untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya (the process of
enabling people to control over and improve their health), lebih luas dari
pendidikan atau penyuluhan kesehatan. Pendidikan atau penyuluhan kesehatan
merupakan bagian penting dari promosi kesehatan (Depkes, 2008).
Pormosi kesehatan merupakan upaya promotif (peningkatan) sebagai perpaduan
dari upaya preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif
(pemulihan) dalam rangkaian pelayanan keshatan yang komprehensif. Promosi
kesehatan juga merupakan upaya untuk menjajakan, memasarkan atau menjual
yang bersifat persuasif, karena sesungguhnya “kesehatan” merupakan “sesuatu”
yang sangat layak dijual, karena sangat diperlukan atau dibuthkan setiap orang
dan masyarakat (Depkes, 2008).
Pendidikan atau penyuluhan kesehatan menekankan pada pendekatan edukatif,
sedangkan pada promosi kesehatan, selain tetap menekankan pentingnya
pendekatan edukatif yang banyak dilakukan pada tingkat masyarakat di strata
primer (istilah gerakan pemberdayaan masyarakat, juga menekankan upaya
advokasi, terutama untuk strata tersier yaitu pembuat keputusan atau kebijakan;
Depkes, 2008)
Pada promosi kesehatan, peran kemitraan lebih ditekankan dan dilandasi oleh
kesamaan (equity), keterbukaan (Tranparancy) dan saling memberi manfaat
(mutual benefit). Kemitraan ini dikembangkan antara pemerintah dengan
masyarakat termasuk swasta dan organisasi masyarakat/lembaga swadaya
masyarakat, juga lintas program dan lintas sektor.
19
Sejak pertengahan tahun 1980-an, banyak ahli telah memperdebatkan
penggunaan istilah “promosi kesehatan” dan pendidikan kesehatan. Promosi
kesahatan erat hubungannya dengan konsep-konsep lainnya yang terkadang
cenderung disama artikan, antara lain pencegahan dan pendidikan kesehatan
(Notoatmodjo, 2013).
Pendidikan kesehatan berorientasi pada pemberian informasi. Akan tetapi, jika
dihubungkan dengan tujuan demi mencapai kesehatan yang lebih baik
pendekatan ini terlalu sempit. Pendidikan kesehatan memusatkan pada gaya
hidup perorangan, dan dapat mengarah pada menyalahkan korban sehingga
banyak pemikiran telah dieksplorasi terhadap masalah-masalah yang lebih luas.
Masalah ini melampaui cakupan pendidikan kesehatan itu sendiri (Notoatmodjo,
2013).
WHO menekankan bahwa promosi kesehatan merupakan suatu proses yang
bertujuan memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan
meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai pemberdayaan
diri sendiri (self empowerment). Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dari,
oleh, untuk, dan bersama masyarakat serta sesuai dengan sosial budaya
setempat. Promosi kesehatan tidak hanya meningkatkan “kesadaran” dan
“kemauan” seperti yang dikonotasikan dalam pendidikan kesehatan.
2. Sasaran Promosi Kesehatan
Sasaran promosi kesehatan diarahkan pada idividu/keluarga, masyarakat,
pemerintah/lintas sektor/ politisi/ swasta, dan petugas atau pelaksana program.
Individu atau keluarga diharapkan:
a. Memperoleh informasi kesehatan melalui berbagi saluran (baik langsung
maupun dari media masa).
b. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk mempelihara, meningkatkan
dan melindungi kesehatannya.
20
c. Mempraktikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
d. Berperan serta dalam kegiatan sosial, khususnya yang berkaitan dengan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) kesehatan.
Masyarakat diharapkan :
1) Menggalang potensi untuk mengembangkan gerakan atau upaya
kesehatan.
2) Bergotong royong mewujudkan lingkungan sehat.Pemerintah / lintas
sektor / politisi / swasta diharapkan:Peduli dan mendukung upaya
kesehatan minimal dalam mengembangkan perilaku dan lingkungan sehat.
3) Membuat kebijakan sosial yang memperhatikan dampak di bidang
kesehatan.
Petugas atau pelaksana program diharapkan:
a) masukkan komponen promosi kesehatan dalam setiap program
kesehatan.
b) Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang memberi kepuasan
kepada masyarakat.
Sasaran promosi kesehatan perlu dikenali secara khusus, rinci, dan jelas agar
promosi kesehatan lebih efektif. Oleh karena itu, sasaran promosi kesehatan
tersebut dihubungkan dengan tatanan rumah tangga, tatanan tempat kerja,
tatanan institusi kesehatan, tatanan institusi pendidikan, dan tatanan tempattempat umum (Notoatmodjo, 2013).
3. Strategi Promosi Kesehatan
Penerapan promosi kesehatan dalam program-program kesehatan pada dasarnya
merupakan bentuk penerapan strategi global, yang dijabarkan dalam berbagai
kegiatan. Strategi gobal promosi kesehatan dari WHO (1984) dikenal dengan
strategi ABG (A, Advokasi Kesehatan; B, Bina Suasana; G, Gerakan
Masyarakat).
21
Advokasi kesehatan merupakan upaya pendekatan kepada para pimpmpinan atau
pengambil keputusan supaya dapat memberikan dukungan, kemudahan, dan
semacamnya pada upaya pembangunan kesehatan.
Bina suasana (social support) merupakan upaya membuat suasana yang kondusif
atau menunjang pembangunan kesehatan sehingga masyarakat terdorong untuk
melakukan perilaku hidup bersih dan sehat.
Gerakan masyarakat (empowerment) merupakan upaya memandirikan individu,
kelompok dan masyarakat agat berkembang kesadaran, kemauan, dan kemapuan
dibidang kesehatan atau agar secara proaktif, masyarakat mempraktikan perilaku
hidup bersih dan sehat.
Program pendidikan kesehatan adalah kesempatan yang direncanakan untuk
belajar tentang kesehatan, dan melakukan perubahan-perubahan secara sukarela
dalam tingkah laku. Program ini dapat juga termasuk penyediaan informasi,
mengeksplorasi nilai dan sikap, membuat keputusan kesehatan dan mempelajari
keterampilan yang memungkinkan terjadi perubahan tingkah laku, hal ini
melibatkan upaya meningkatkan harga diri dan pemberdayaan diri agar memiliki
kemampuan melakukan tindakan untuk kesehatan (Notoatmodjo, 2013).
4. Tujuan Pendidikan dan Kesehatan
Secara umum, tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu
atau masyarakat dibidang kesehatan (WHO, 1954). Akan tetapi, perilaku
mencangkup hal yang luas sehingga perilaku perlu dikatagorikan secara
mendasar sehingga rumusan tujuan pendidikan kesehatan dapat dirinci sebagai
berikut:
a. Menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai dimasyarakat. Oleh sebab
itu, pendidikan kesehatan bertanggung jawab mengarahkan cara-cara hidup
sehat menjadi kebiasaan hidup masyarakat sehari-hari.
22
b. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok
mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.
c. Mondorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan
kesehatan yang ada. Adakalanya, pemanfaatan sarana kesehatan yang ada
dilakukan secara berlebihan atau justru sebaliknya, kondisi sakit, tetapi tidak
menggunakan sarana kesehatan yang ada denga semestinya.
D. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka
dapat di gambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Skema 2.1
Kerangka konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Pendidikan kesehatan
Tipe dan jenis obat
Efek samping obat
Manajemen efek samping obat
Strategi mengatur pengobatan
Kepatuhan minum obat pada
pasien Skizofrenia
Keterangan
: Diteliti
: Berpengaruh
E. Hipotesis
Ha : Ada hubungan signifikan pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kepatuhan
minum obat pada pasien skizofrenia.
Download