HUBUNGAN FREKUENSI PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN

advertisement
HUBUNGAN FREKUENSI PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN IKTERUS
PADA BBL 2-10 HARI DI BPM “N” PADANG PANJANG
TAHUN 2013
1,*
Rulfia Desi Maria, 2 Suci Rahmadeni
1,2
STIKes Prima Nusantara Bukittinggi
*e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Ikterus merupakan masalah yang bisa berdampak serius terhadap bayi.Berdasarkan survei awal di 4 BPM di
Padang Panjang, didapatkan data ikterus dan persalinan yang banyak di BPM N yaitu bayi ikterus 28 orang dari
85 orang yang lahir dalam 2 bulan terakhir. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui Hubungan
Frekuensi Pemberian ASI dengan Kejadian Ikterus pada Bayi Baru Lahir 2-10 hari di BPM “N “Padang
Panjang. Penelitian merupakan penelitian observasional Analitik dengan pendekatan case control. Penelitian
dilakukan pada bulan Juni- Juli 2013 di BPM “N” padang panjang dengan sampel sebanyak 60 orang, 30 untuk
kelompok kasus dan 30 untuk kontrol dengan teknik Purposive Sampling. Data dikumpulkan dengan
menggunakan kuisioner. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi. Analisis data dilakukan secara
univariat dan bivariat dengan uji statistik Chi Square. Hasil penelitian didapatkan dari 30 responden pada
kelompok kasus ada sebanyak 12 responden (40%) sering diberikan ASI eksklusif dan pada keompok kontrol
ada sebanyak 28 responden (93,33%) yang sering diberikan ASI eksklusif. dan hasil uji statistik chi square
didapatkan p value = 0,00 < 0,05. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara frekuensi pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ikterus pada BBL 2-10
hari di BPM “N”Padang Panjng tahun 2013. Diharapkan pada BPM “N” Padang Panjang untuk dapat
meningkatkan pemberian informasi tentang pentingnya pemberian ASI yang adekuat kepada bayi.
Kata Kunci
: Ikterus, ASI eksklusif
ABSTRACT
Jaundice is a problem that can seriously affect bayi. Based initial survey in 4 BPM in Padang Panjang,
jaundice and delivery of data obtained many of BPM N infant jaundice which 28 people from 85 people who
were born in the last 2 months. The purpose of this study was to determine frequency of breastfeeding
relationship with Genesis Jaundice in Newborns 2-10 days in BPM "N" Padang Panjang. Analytical research
was an observational study with case control approach. The study was conducted in June-July 2013 in BPM
"N" long paddock with a sample of 60 people, 30 to 30 for a group of cases and controls with purposive
sampling technique. Data was collected using a questionnaire. Data processing is computerized. Data analysis
was performed using univariate and bivariate statistical test Chi Square. Research results obtained from 30
respondents in the case group there were 12 respondents (40%) are often given exclusive breastfeeding and the
control groups has as many as 28 respondents (93.33%), which is often given exclusive breastfeeding. and the
chi-square test results obtained p value = 0.00 <0.05. Based on the research results it can be concluded that
there is a significant correlation between the frequency of exclusive breastfeeding with the incidence of jaundice
in the BBL 2-10 days in BPM "N" Padang Panjang 2013. It is expected that the BPM "N" Padang Panjang to be
able to improve the provision of information about the importance of Adequate breastfeeding to infants.
Keywords: Jaundice, exclusive
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
93
PENDAHULUAN
Angka Kematian bayi di Indonesia masih
tinggi dibandingkan dengan negara berkembang
lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah
jumlah kematian bayi dalam usia 28 hari pertama
kehidupan per 1000 kelahiran hidup. Angka ini
merupakan salah satu indikator derajat kesehatan
bangsa. Tingginya angka Kematian bayi ini dapat
menjadi petunjuk bahwa pelayanan maternal dan
noenatal kurang baik, untuk itu dibutuhkan upaya
untuk menurunkan angka kematian bayi tersebut
(Saragih, 2011).
Di Indonesia, dari seluruh kematian bayi,
sebanyak 57% meninggal pada masa bayi baru
lahir (usia dibawah 1 bulan). Setiap 6 menit
terdapat satu bayi baru lahir yang meninggal.
Penyebab kematian bayi baru lahir adalah bayi
berat lahir rendah (29%), asfiksia (27%), trauma
lahir, ikterus neonatorum, infeksi lain dan kelainan
kongenital (JNPK-KR 2008).
Ikterus neonatorum merupakan fenonema
biologis yang timbul akibat tingginya produksi
ekskresi bilirubin selama masa transisi pada
neonatus. Neonatus memproduksi bilirubin 2
sampai 3 kali lebih tinggi dibandingkan orang
dewasa. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit
pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih
pendek. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil
(bayi dengan berat lahir < 2500 grm atau usia
gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus pada
minggu pertama kelahirannya. Data epidemiologi
yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru
lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara
klinis dalam minggu pertama kelahirannya.
(Swaramedia, 2010).
Angka kejadian ikterus pada bayi baru lahir
berkisar 50% yang cukup bulan dan 75% pada bayi
baru lahir yang kurang bulan. Angka kejadian
ikterus ternyata berbeda-beda untuk beberapa
negara, klinik, dan waktu yang tertentu. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan perbedaan dalam
pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini
mengalami banyak kemajuan (Sarwono, 2006).
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil
(bayi dengan berat lahir < 2500 gram atau usia
gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus pada
minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi
menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir
menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis
dalam minggu pertama kehidupannya. Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar
bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan
pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki
penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang
akan menghilang pada akhir minggu pertama
kehidupan pada bayi cukup bulan (Boback, 2006).
Menurut WHO (World Health Organization)
Ikterus adalah kondisi munculnya warna kuning di
kulit dan selaput mata pada bayi baru lahir karena
adanya bilirubin (pigmen empedu) pada kulit dan
selaput mata sebagai akibat peningkatan kadar
bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia) (Suradi,
2009).
Ikterus terbagi dua yaitu ikterus fisiologi dan
patologi. Ikterus fisiologi adalah ikterus normal
yang dialami bayi baru lahir, tidak mempunyai
dasar patologis sedangkan ikterus patologi adalah
ikterus yang mempunyai dasar patologis dengan
kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubin (Vivian, 2010).
Dampak yang terjadi apabila bayi tidak diberi
ASI adalah bayi tidak memperoleh kekebalan tubuh
dan tidak mendapatkan makanan yang bergizi
tinggi serta berkualitas, sehingga bayi mudah
mengalami sakit yang mengakibatkan pertumbuhan
dan perkembangan kecerdasan terhambat (Depkes
RI, 2006).
Untuk mengendalikan kadar bilirubin pada
bayi baru lahir dapat dilakukan pemberian minum
sedini mungkin dengan jumlah cairan dan kalori
yang mencukupi. Pemberian minum sedini
mungkin akan meningkatkan motilitas usus dan
juga menyebabkan bakteri introduksi ke usus.
Bakteri dapat mengubah bilirubin direk menjadi
urobilin yang tidak dapat diabsorpsi kembali.
Dengan demikian, kadar bilirubin serum akan
turun. Pemberian minum yang cukup dapat
membantu pemenuhan kebutuhan glukosa pada
neonatus. Makanan yang terbaik bagi neonatus
adalah ASI karena ASI mempunyai manfaat yang
besar bagi neonatus pada periode transisi.
Kandungan yang dibutuhkan neonatus dalam ASI
adalah antibodi, protein, karbohidrat, lemak dan
vitamin. Sebagian bahan yang terkandung dalam
ASI yaitu beta glukoronidase akan memecah
bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak,
sehingga bilirubin indirek akan meningkat dan
kemudian akan diresorbsi oleh usus. Selain itu
meletakkan bayi dibawah sinar matahari selama 1520 menit, dapat dilakukan setiap hari antara pukul
06.30-08.00 selama ikterus masih terlihat
(Surasmi,2006).
Bilirubin merupakan produk yang bersifat
toksin dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Zat ini
sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak,
karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit
diekresikan dan mudah melalui membrane biologis
seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin
bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan
albumin dan dibawa ke hepar. Segera setelah ada
dalam hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin
(protein – Y, protein Z, dan glutation hati lain yang
membawanya ke reticulum endoplasma hati,
tempat terjadinya proses konjugasi (Jejeh, 2010).
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
94
Berdasarkan hasil penelitian Khairunnisak
pada tahun 2013 RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh di kemukahkan bahwa dari 35 responden
yang sering melakukan pemberian ASI ternyata
mayoritas Negatif mengalami ikterus (68,6%) dan
dari 16 responden yang tidak sering melakukan
pemberian ASI mayoritas 87,5% positif mengalami
ikterus.
Berdasarkan survei awal di 4 BPM di Padang
Panjang, didapatkan data ikterus dan persalinan
yang banyak di BPM N yaitu bayi ikterus 28 orang
dari 85 orang yang lahir dalam 2 bulan terakhir.
Jadi berdasarkan survei awal yang dilakukan,
peneliti tertarik meneliti tentang hubungan
Frekuensi pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian Ikterus pada Bayi Baru Lahir. tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan
Frekuensi Pemberian ASI dengan Kejadian Ikterus
Pada BBL 2-10 Hari di BPM “N” Padang Panjang
tahun 2013.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
adalah
penelitian
observasional analitik dengan desain case control.
Penelitian ini akan dilakukan di BPM “N” Padang
Panjang pada bulan Juni – Juli 2013. Sampel dalam
penelitian ini adalah 60 orang dengan 30 kelompok
kasus dan 30 kelompok kontrol dengan
menggunakan teknik dengan teknik purposive
sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan
kuisioner. Data dianalisis secara univariat untuk
melihat distribusi frekuensi masing-masing variabel
dan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara
variabel dengan menggunakan uji chi-square (CI
95% ).
Frekuensi
pemberian
ASI
Seirng
Tidak Sering
Total
Kasus
f
12
18
30
%
40
60
100
Kontrol
f
28
2
30
%
93,33
6,67
100
Jumlah
40
20
108
HASIL DAN PEMBAHASAN
Frekuensi Pemberian ASI Ekskslusif
Tabel 1. Distribusi frekuensi Pemberian ASI
eksklusif pada BBL 2-10 Hari di BPM “N”
Padang Panjang 2013
Tabel di atas menunjukan bahwa pada
kelompok kasus ada sebanyak 12 responden 40%)
yang sering diberikan ASI dan pada kelompok
kontrol ada sebanyak 28 responden (93,33%) yang
sering diberikan ASI eksklusif.
Ibu hanya memberikan ASI pada bayinya
bangun saja, tanpa membangunkan bayinya yang
tertidur, posisi yang salah menyusui membuat susu
ibu sakit dan malas menyusui, karena ibu baru
pengalaman pertama menyusui/anak pertama dan
paritas lebih, dukungan dari keluarga yang kurang.
Sedangkan yang sering memberikan ASI,
melakukan pemberian ASI tanpa dijadwalkan dan
membangunkan bayinya jika waktu menyusui telah
tiba minimal 2 jam sudah diberikan ASI pada
bayinya, tapi produksi ASI yang masih kurang,
banyak terjadi pada ibu yang memiliki anak
pertama.
Rentang frekuensi menyusui yang optimal
adalah antara 8 hingga 12 kali setiap hari.
Meskipun mudah untuk membagi 24 jam menjadi 8
hingga 12 kali menyusui dan menghasilkan
perkiraan jadwal, cara ini bukan merupakan cara
makan sebagian besar bayi.
Menurut Bahiyatun (2009) bayi yang sehat
dapat mengosongkan satu payudara dalam 5-7
menit dan ASI dalam lambung bayi akan kosong
dalam waktu 2 jam. Menyusui yang dijabwalkan
akan berakibat kurang baik. Hal ini disebabkan
oleh isapan bayi sangat berpengaruh pada
rangsangan produksi ASI selanjutnya. Dengan
menyusui ASI tanpa jabwal dan sesuai kebutuhan
bayi, akan mencegah banyak masalah hari akan
sangat berguna bagi ibu yang bekerja. Hal ini akan
memacu
produksi
ASI
dan
mendukung
keberhasilan penundaan kehamilan.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan
oleh Khairunnisak pada tahun 2013 di Rumah Sakit
Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
bahwa lebih dari separoh yang sering pemberian
ASI (68,6%).
Menurut asumsi penulis dari hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa bayi yang
tidak sering diberikan ASI lebih banyak dari pada
sering diberikan ASI. Pemberian ASI yang adekuat
sangat baik untuk bayi karena ASI mempunyai
banyak manfaat untuk bayi dan keluarga. Salah
satu manfaat bayi diberi ASI lebih mampu
menghadapi efek penyakit kuning, asalkan bayi
tersebut disusui sesering mungkin. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa yang tidak sering
memberikan ASI sebanyak 18 orang bayi (60%)
dan sering 12 orang (40%) pada kasus. Yang sering
memberikan ASI pada kasus ditemukan cara
menyusui yang salah sehingga bayi tidak puas
menyusu, air susu ibu yang sedikit. Sedangkan
yang tidak sering pada kasus ditemukan jadwal
menyusui ibu yang tidak teratur atau jarak terlalu
lama, ibu menyusui bayinya ketika bayi bangun
dan jika bayi tertidur ibu hanya membiarkan saja.
Hubungan Frekuensi Pemberian ASI
dengan Kejadian Ikterus pada BBL 210 Hari
Tabel 2. Hubungan Frekuensi Pemberian ASI
dengan Kejadian Ikterus pada BBL 2-10 Hari di
BPM “N” Padang Panjang Tahun 2013
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
95
Pembe
rian
ASI
Kasus
f
%
Kejadian Ikterus
Kontrol
Jumlah
f
%
f
%
Sering
12
40
28
93,3
40
0
Tidak
sering
18
60
2
6,6
20
33,3
30
10
0
30
100
60
13,3
OR
P
0,017
0,04
8
Berdasarkan tabeldi atas dapat diketahui
bahwa dari 30 responden pada kelompok kasus ada
sebanyak 12 responden(40%)
yang sering
diberikan ASI (53,7%) sedangkankan pada 30
responden pada kelompok kontrol ada sebanyak 28
responden (93,3%) yang sering diberikan ASI.
Setelah dilakukan uji statistik Chi-Square
didapatkan p=0,017 yang berarti Ha diterima,
dengan derajat kepercayaan sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara frekuensi pemberian ASI dengan kejadian
Ikterus pada BBL 2-10 hari di BPM “N” Padang
Panjang tahun 2013. Nilai Odd Ratio (OR) 0,048
yang berarti frekuensi pemberian ASI merupakan
faktor protektif terhadap kejadian ikterus.
ASI adalah suatu emulasi lemak dalam
larutan protein, laktosa, dan garam organik yang
disekresi oleh kedua kelenjar payudara ibu dan
merupakan makan terbaik untuk bayi. Selain
memenuhi segala kebutuhan makanan bayi baik
gizi, imunologi, atau lainnya sampai pemberian
ASI memberi kesempatan bagi ibu mencurahkan
cinta kasih serta perlindungan kepada anaknya
(Bahiyatun, 2009).
Berdasarkan teori yang di sampaikan oleh
Sunar (2009) yaitu rentang frekuensi menyusui
yang optimal adalah antara 8 hingga 12 kali
setiap hari, salah satu manfaat pemberian ASI bagi
bayi adalah menjadikan bayi yang diberi ASI lebih
mampu menghadapi efek penyakit kuning (ikterus).
Jumlah bilirubin dalam darah bayi banyak
berkurang seiring diberikannya kolostrum yang
dapat mengatasi kekuningan, asalkan bayi tersebut
disusui sesering mungkin dan tidak diberi
pengganti ASI.
ASI adalah sumber makanan terbaik bagi
bayi selain mengandung komposisi yang cukup
sebagai nutrisi bagi bayi, Pemberian ASI juga dapat
meningkatkan dan mengeratkan jalinan kasih
sayang antara ibu dengan bayi serta meningkatkan
kekebalan tubuh bagi bayi itu sendiri. Ikterus
merupakan penyakit yang sangat rentang terjadi
pada bayi baru lahir, terutama dalam 24 jam setelah
kelahiran, dengan pemberian ASI yang sering,
bilirubin yang dapat menyebabkan terjadinya
ikterus akan dihancurkan dan dikeluarkan melalui
urine. Oleh sebab itu, pemberian ASI sangat baik
dan dianjurkan guna mencegah terjadinya ikterus
pada bayi baru lahir.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Khairunnisak
(2013) yang berjudul Hubungan pemberian ASI
dengan kejadian ikterus pada bayi baru lahir 0-7
hari di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh tahun 2013 yang menunjukkan
bahwa dari 16 responden yang tidak sering
melakukan pemberian ASI ternyata sebanyak
87,5% positif mengalami ikterus. Sedangkan dari
35 responden yang sering melakukan pemberian
ASI ternyata mayoritas 51,4% negatif mengalami
ikterus. Hasil analisa statistik menggunakan uji chisquare menghasilkan nilai p value = 0,020.
Sehingga didapatkan bahwa p ≤ 0,05 yang artinya
Ha diterima atau terdapat hubungan antara
pemberian ASI dengan kejadian ikterus pada bayi
baru lahir 0-7 hari.
Menurut asumsi penulis dari hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa bayi
ikterus banyak dialami oleh ibu yang tidak
sering memberikan ASI pada bayinya yaitu
sebanyak 18 orang (60%) yang sering 12
orang (40%) dari 30 orang bayi ikterus
fisiologis. Hal ini bisa disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu tenaga kesehatan yang
kurang memberikan penkes tentang teknik
menyusui yang benar serta manfaat ASI bagi
bayi ibu, faktor ibu yang malas menyusui
bayinya karena takut terjadi perubahan fisik
yang tidak baik serta dukungan yang kurang
dari kelurga, faktor bayi yang malas menyusui
disebabkan oleh terlambat pemberian ASI
awal sehingga bayi lebih suka tidur, cara ibu
yang tidak benar memberikan ASI dan lainlain.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Lebih dari separoh responden yang mengalami
ikterus tidak sering memberikan ASI.
Sebagian besar responden yang tidak ikterus
sering memberikan ASI.
Ada hubungan frekuensi pemberian ASI
dengan kejadian ikterus pada bayi baru lahir 210 hari di BPM N Padang Panjang Tahun
2013.
SARAN
1.
Bagi Peneliti
Dengan adanya penelitian ini peneliti
dapat menambah pengetahuan tentang
metodelogi penelitian dan asuhan neonatus
yang dapat diterapkan sendiri dan bagi
masyarakat.
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
96
2.
3.
4.
5.
Bagi Tempat Penetian
Dengan adanya penelitian ini di BPM N
Padang Panjang lebih dapat meningkatkan
sumber
informasi
tentang
pentingnya
pemberian ASI yang adekuat kepada bayi.
Bagi Institusi Pendidikan
Dengan adanya penelitian ini menjadi
bahan bacaan bagi mahasiswa diperpustakaan
atau referensi untuk mahasiswa.
Bagi Responden
Dengan adanya penelitian ini dapat
menambah wawasan dan pengetahuan ibu-ibu
post partum tentang frekuensi pemberian ASI
dan Ikterus.
Bagi peneliti selanjutnya.
Dengan adanya penelitian ini dapat
dijadikan sebagai pedoman atau bahan acuan
dalam melaksanakan penelitian berikutnya
untuk lebih dapat menjelaskan faktor-faktor
apa saja yang dapat mempengaruhi kejadian
ikterus pada bayi baru lahir dan dapat
mengobservasi secara berkelanjutan
Notoatmodjo,
Soekidjo.
2010.
Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nur, Muslihatun, Wafi, (2010). Asuhan Neonatus
Bayi dan Balita. Yogyakarta: Fitramaya.
Prawirohardjo, Sarwono, (2009). Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Bina Pustaka.
Proverawati, Atikah, Eni Rahmawati.2010. Kapita
ASI & Meyusui. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Sarwono, 1999, Ilmu Kebidana. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta.
EGC
Sastroasmoro,S dan Sofyan,I. 2010. Dasar-Dasar
Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV
Sagung Seto.
Sunar, Dwi, Prasetyono, (2009). Buku Pintar ASI
Ekslkusif. Jogjakarta: DIVA Press.
DAFTAR PUSTAKA
Bahiyatun. (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan
Nifas Normal. Jakarta: EGC
Guslihan, (2009). Dasa Tjipta, Kuning Pada Bayi
Baru Lahir. Kapan Harus Ke Dokter?.
Medan, Devisi Perinatologi Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FK USU.
Surasmi,Asrining.2006.Perawatan Bayi Risiko
Tinggi.Jakarta: EGC
Yuliarti, Nurheti, (2010). Keajaiban ASI-Makanan
Terbaik Untuk Kesehatan, Kecerdasan,
dan kelincahan Si Kecil. Yogyakarta: Andi
Offset
Hasfirah, (2009), Mengenal Ikterus Neonatorum,
http://www.smallcrab.com/anak-anak/535mengenal-ikterus-neonatorum
(Dikutip
tanggal 1 Januari 2013).
Hidayat,
A.Aziz. 2011. Metode Penelitian
Kebidanan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.
IDAI. (2008). Frekuensi Menyusui pada Bayi.
Jakarta: EGC
Jejeh, Ai, Rukiyah dan Julianti, Lia, (2010).
Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.
Jakarta: TIM.
Khairunnisak. (2013). Hubungan Pemberian ASI
dengan Kejadian Ikterus pada Bayi Baru
Lahir 0-7 Hari di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Maryunani, Anik, (2010). Ilmu Kesehatan Anak
Dalam Kebidanan. Jakarta: TIM
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
97
Download