PemimPin Otentik - Populis Institute

advertisement
?
Referensi
?
?
?
ANALISis POLITIK DWI BULANAN
Volume III Nomor 2 Oktober 2012
?
?
?
?
?
?
?
?
?
Pemimpin
?
Otentik
?
? ?
?
?
?
?
?
POPULIS INSTITUTE
ISSN : 2087-05950
SE
Referensi
NA
RA
ANALISis POLITIK DWI BULANAN
I
Pemimpin Umum:
Willy Aditya
Redaktur Ahli:
M Alfan Alfian
Hokky Situngkir
Editorial
Pemimpin Otentik
Willy Aditya DISKUSI
Kepemimpinan Politik 1
5
KOLOM
Redaktur Pelaksana:
Bayu Agni
Kepemimpinan Di Era Kompleksitas
Hokky Situngkir 14
Redaksi:
M. Taufiq, David Krisna
Alka, Arief Rahman Hakim,
Rifqi Hasibuan, Fanny Yulia
Chaniago, Husni Rohman,
Patrick Juang Rebong,
Syuhada Gultom, Kori
Kurniawan, Fauzan Mufid
Belajar dari Kegagalan Republik Weimar
Citra Ali Fikri 20
Bertapa di Ujung Pedang
Willy Aditya 42
Marketing:
Eko Julianto, Citra Ali Fikri,
Ridwan
Kembali Ke Kedalaman:Tantangan
Kepemimpinan Politik Kita
M Alfan Alfian 49
IT:
Kurniawan Mas’ud
Wajah-Wajah Kepemimpinan Mereka yang
Memimpin dengan Perjuangan
Taufiq Muhamad 57
Cover:
Ridho Pamungkas
Menggubah Parpol Menjadi Puisi
Arief Rahman Hakim Lay Out:
Kurniawan Mas’ud
RESENSI BUKU
Alamat Redaksi
Jl. Peningkatan I No. 40
Menteng Dalam, Tebet,
Jakarta Selatan 12870
Telepon
021-8302433
Email Redaksi:
[email protected]
[email protected]
RISET
Mencari Pemimpin Otentik 24
KOLOM
RISALAH RESTORARIAN
Agus Hernawan 66
73
Vol II Tahun 4 Desember 2011
ito
Referensi
ed
1
rial
Sumber: http://guidelife.files.wordpress.com
Pemimpin Otentik
MENJELANG Pemilu 2009 yang lalu, ada pertemuan antara
sebuah tim sukses seorang calon presiden dengan seorang
sesepuh pergerakan, Jenderal (Purn) Suhardiman. Pertemuan
yang mengerucut pada diskusi tentang kepemimpinan ini
berlangsung di Pendopo Suhardiman, di daerah Radio Dalam,
Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu Suhardiman menyebut
bahwa seorang pemimpin itu tak ubahnya sebagai seorang
imam dalam sholat, bapak dalam keluarga, komandan dalam
perang, guru dalam belajar, serta sahabat dalam kehidupan.
Sebuah ilustrasi yang komplit.
Namun siapakah gerangan pemimpin itu sebenarnya? Apakah
mereka yang hadir di posisi-posisi publik seperti presiden,
raja, ratu, senator, legislator, gubernur, walikota, bupati?
Atau para tokoh-tokoh yang sering tampil di hadapan publik
seperti ustad, pastur, pengamat, guru, artis, bintang iklan?
Atau mereka yang berposisi di pucuk sebuah institusi atau
organisasi seperti menteri, manajer perusahaan, pemilik
perusahan, sekretaris daerah? Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sebuah formulasi sederhana mengatakan
bahwa pemimpin sangat berbeda dengan
posisi. Pemimpin adalah idiom mikro
sementara posisi adalah situasi yang
makro. Pemimpin lahir atau ditemukan
dalam kehidupan yang riil sementara posisi
adalah siklus yang cenderung formal dan
prosedural. Dalam situasi kekinian, sudah menjadi
kelaziman bahwa posisi juga dipandang
sebagai suatu bentuk kehadiran pemimpin.
Maka digunakanlah instrumen yang
kuantitatif sifatnya untuk melihat kelayakan
seseorang atas posisi tertentu. Misalnya
berdasa pada indeks citra diri dan persepsi
masyarakat terhadap penilaian posisi.
Penilaian semacam ini sangat kental aroma
subjektifitas karena pemimpin dan posisi
diukur berdasarkan selera publik atau
kemampuan seseorang membangun atau
mendekatkan diri terhadap selera publik.
Pada gilirannya pemimpin bukan lagi
perkara sakral atau mulia, karena semua
norma atau pakem telah luluh lantak.
Padahal narasi pemimpin semestinya lahir
dan merepresentasikan hukum objektifitas
dari kehidupan yang nyata.
Dalam pandangan sederhana pemimpin
tidak selalui yang berposisi di depan.
Ki Hajar Dewantara mendeskripsikan
pemimpin sebagai konsepsi Ing Ngarso
Suntolodo, Ing Madyo Mangun Karso,
serta Tut Wuri Handayani. Konsepsi ini
menunjukan bahwa posisi dan pemimpin
harus saling berinteraksi dan berdialektika
terhadap situasi dan eksistensinya. Bila
sedang berposisi di depan seseorang harus
memberi keteladanan, bila berposisi di
tengah harus memberi semangat, serta
bila berposisi di belakang harus memberi
dorongan terhadap publik, umat, atau
pengikutnya. Inilah yang disebut sebagai
Referensi
2
pemimpin yang berjodoh dengan posisi
dan situasinya. Pemimpin bukanlah manusia super
yang bebas berbuat dan memaksakan
kehendaknya terhadap publik; namun
pemimpin adalah orang yang bisa
memosisikan dirinya terhadap situasi yang
ada sebagai kesatuan menuju cita-cita
kolektif. Atau dalam makna yang sebaliknya,
pemimpin juga bukan persepsi bebas
publik terhadap posisi tertentu sehingga
melampui ekspektasi dan kapasitas
pribadi seseorang untuk memenuhi hasrat
(subjektifitas) publik. Secara mikro dalam narasi yang paling
elementer dalam kehidupan kaum muslim
sering disampaikan bahwa secara takdir
setiap manusia terlahir atau dilahirkan
sebagai pemimpin bagi dirinya masingmasing. "Kalian semua adalah pemimpin
dan akan dituntut (dimintai pertanggung
jawaban)
tentang
hal-hal
yang
dipimpinnya,” begitu Nabi Muhammad
bersabda.
Deskripsi ini bukanlah suatu hal yang baru
bagi diskursus publik di Indonesia atau
di manapun. Ini adalah suatu yang terus
menerus terjadi secara keseharian ataupun
monumental dalam selebrasi-selebrasi
pemilihan posisi-posisi publik. Setidaknya
deskripsi ini ingin menunjukkan sesuatu
hal yang asli, original, atau otentik dalam
elemen pemimpin yang dimaksudkan
secara jelas dan tegas untuk bisa in
position terhadap posisi publik itu sendiri.
Proses Pilkada DKI Jakarta yang baru saja
berlalu menunjukkan kegalauan publik
terhadap posisi mereka sendiri. Setidaknya
ada tiga catatan atas hajatan lima tahunan
tersebut. Pertama, mobilisasi sentimen
etnis dan agama yang mencabik-cabik
3
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
kebhinekaan dan identitas kolektif publik
yang sudah berada dalam fase urban.
Kedua, publik yang galau akan eksistensinya
secara nasional, secara khusus terhadap
posisi presiden SBY. Persepsi publik secara
vulgar menghadirkan figur Jokowi sebagai
antitesa dari SBY yang tidak memberikan
keteladanan, berjarak, dan lamban dalam
menyelesaikan persoalan. Ketiga, peran
sentral media dalam membentuk persepsi
publik serta citra seorang pemimpin, secara
khusus kehadiran Jokowi. Kemenangan
Jokowi adalah sequel atau reinkarnasi
sebagai media darling, seperti halnya
kelahiran SBY sebagai presiden pada masa
lalu. Pertanyaan selanjutnya,
apakah yang dikatakan sebagai
pemimpin adalah orang yang
sekadar berjodoh dengan zaman
dan momentumnya. Mungkin
benar dikatakan bahwa kualitas
pemimpin adalah cerminan
kualitas masyarakatnya. Jika
memang demikian maka PR kita
tidak hanya memikirkan siapa
yang pantas memimpin posisi
publik tertentu, namun juga
bagaimana pemimpin dilahirkan
dan atau ditemukan oleh
zamannya.
Bila seorang Soekarno harus keluar masuk
penjara; bila seorang Hatta harus diasingkan
ke pulau-pulau terpencil; bila Syahrir harus
hidup dibawah tanah; bila Tan Malaka
harus kesepian dalam pelariannya; apakah
pengorbanan seorang pemimpin hari ini
adalah seberapa banyak dia beriklan di
televisi; seberapa banyak dia memberikan
bantuan lewat proposal yang masuk ke
meja kerjanya; dan seberapa banyak uang
yang dimiliki untuk membeli suara rakyat?
Inilah zaman baru, kalau tidak disebut
zaman edan seperti disebut Ronggo
Warsito. Karena pemimpin hari ini hanya
persoalan bagi mereka yang memiliki
kuasa yang biasanya identik dengan uang!
Hepeng mangatur Negara on! Begitu orang
Medan mengatakan.
Politik seolah tidak lagi menjadi ruang publik
atau rumah bersama bagi kemuliaan hidup.
Politik bukan lagi ruang dimana manusia
menemukan diri dengan pengabdian dan
perjuangan. Ruang publik sudah berganti
menjadi ruang privat, dimana politik seolah
menjadi tanah kapling bagi mereka yang
beruang dengan menyekat-nyekatnya
menjadi kamar anak, kamar keluarga, dan
kamar-kamar lainnya. Zaman ini adalah
zaman dimana pemimpin ditentukan atau
hanya menjadi hak bagi mereka-mereka
yang berkantong tebal saja.
Ketersediaan pemimpin layaknya memilih
junk food di restoran siap saji. Asal enak
dipandang, tersaji cepat, dan harga cocok
maka langsung disantap. Inilah situasi
yang paradoks dalam liberalisme, yang
menyediakan kompetisi dan pilihan yang
terbuka dan bebas namun sejatinya ilusif,
ekslusif, bahkan cenderung represif.
Siapapun bisa mencalonkan diri dan
berkontestasi meraih posisi publik akan
tetapi ruang kompetisinya mensyaratkan
biaya yang tinggi (high cost politic). Alhasil,
belum lagi kompetisi dimulai, mereka
yang “tak berpunya” secara otomatis
tereliminasi. Paradoks terjadi: kebebasan
telah melikuidir kehendak bebas itu
sendiri.
Akibatnya, pilihan kandidat
yang muncul sangat terbatas,
hanya berasal dari mereka
yang mampu menembus
high cost politic. Maka hari
ini tak penting seorang
pemimpin bisa berbuat apa
kepada rakyat (integritas);
tak penting juga apakah
dia memiliki gagasan (visi)
atau pernah menuliskan
manuskrip dalam hidupnya
(ideologi); tak perlu dia
pernah
berpidato
yang
membuat ribuan massa bergelora untuk
menyabung nyawa di jalanan atau medan
perperangan (kapasitas). Tak perlu sedu
sedan itu lagi, bung! Cukup dengan
uangmu, kau bisa membeli lembaga survei,
mengangkangi partai politik, membuat
iklan dengan citra seindah rasa sehingga
kau bisa menjadi apa yang kau kehendaki.
Sebagai zoon politicon, keadaan yang
irasional ini sangat mengusik akal budi kita.
Akankah zaman Kalabendu ini benar-benar
hanya akan melahirkan pemimpin salon?!
Dalam tradisi Jawa ada konsep
kepemimpinan yang cukup terkenal, yakni
manunggaling kawulo Gusti. Istilah yang
banyak salah dipahami sebagai ajaran
menyeleweng dari Syeikh Siti Jenar ini
sesungguhnya adalah pegangan bagi
seorang pemimpin. Manunggaling kawulo
lan Gusti bermakna rakyat (kawulo) dan
Tuhan (Gusti) itu menyatu (manunggal)
dalam diri seorang pemimpin. Saat
seorang pemimpin menghadap Tuhan
maka rakyatnya-lah yang banyak disebut,
yang banyak diingat dan dipikirkannya.
Sebaliknya,
saat
bersama
dengan
rakyatnya, ajaran Tuhanlah, yakni nilainilai kebaikan dan kebenaran, yang disebar
Referensi
4
Sumber: http://stat.ks.kidsklik.com
Volume III Nomor 1 Juni 2012
dan disampaikan oleh seorang pemimpin
kepada rakyat.
Jurnal Referensi edisi kali ini mencoba
menarik garis mikro dari perkawinan POSISI
dan PEMIMPIN dengan mengangkat tema
PEMIMPIN OTENTIK! Tema ini diangkat
sebagai benang merah dari kegalauan publik
dan kesesatan berpikir serta kelatahan
berprilaku banyak orang untuk mengklaim
dirinya sebagai PEMIMPIN ketika meraih
atau berada dalam POSISI tertentu.
Untuk menjawab situasi publik galau
dan orang latah di atas, jurnal REFERENSI
melakukan riset kualitatif sebagai itjihad
menemukan pemimpin otentik guna
menjawab soal makro dan mikro seputar
kepemimpinan. Riset ini dikembangkan
dengan skema prasyarat pemimpin
yang otentik lahir atau ditemukan
dalam situasi yang memiliki nilai (value)
orientasi terhadap cita-cita kolektif, basis
kepribadian (virtue) yang membangun
karakter kepemimpinannya, gerakan
(movement) yang menempa dan mengikat
seorang pemimpin secara kuat, serta
organisasi (organizer) apa yang dibangun
sebagai instrumentasi kepemimpinannya.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
SK
Referensi
DI
5
US
I
Resume Diskusi
pemimpin OTENTIK
Sumber: dokumentasi Populis
Populis Institute
“BANGSA ini sedang mengalami krisis
kepemimpinan”. Begitulah pendapat yang
diungkapkan oleh banyak orang. Hal ini
menemukan relevansinya ketika beberapa
hasil lembaga survei yang merelase daftar
capres 2014 yang masih dipenuhi oleh
para “tokoh tua”. Tokoh-tokoh ini pun
masih menjadi pilihan favorit masyarakat.
Pertanyaanya kemanakah para pemimpin
muda di negeri ini? Apakah abstainnya
mereka dalam list bursa capres disebabkan
tidak adanya kesempatan dan ruang untuk
mereka atau karena tidak ada kesiapan
mereka. Abstainya para pemimpin muda
dalam regenerasi kepemimpinan ini
meninggalkan satu pertanyaan besar yakni
apa yang salah dengan sistem regenerasi
kepemimpinan kita. Partai politik, ormas
dan kantong-kantong yang melahirkan para
pemimpin-pemimpin ini perlu ditelisik pola
rekrutmen dan kaderisasinya. Keberadaan
kantong-kantong
kepemimpinan
ini
memiliki posisi strategis dalam regenerasi
kepemimpinan. Rusaknya kantong-kantong
ini mengakibatkan mogoknya gerbong
regenerasi kepemimpinan di negeri ini.
Pemimpin dan kepemimpinan adalah tema
yang selalu menarik untuk didiskusikan
mengingat peran pemimpin yang begitu
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Referensi
6
Political Virtue dan Political
Leadership
Dalam diskusi yang mengupas tentang
kepemimpinan dan politik ini, Alfan
Alfian mengawali diskusi ini dengan
mengungkapkan
kegelisahan
dirinya
terhadap kondisi perpolitikan bangsa.
.Sebagai penulis dan pengamat politik,
dirinya merasa prihatin melihat kondisi
perpolitikan hari ini. Meskipun telah
ada era reformasi namun kondisi bangsa
ini tidak lantas menjadi lebih baik. Dia
cukup gelisah melihat banyak orang yang
tidak memiliki kompetensi namun duduk
terpilih sebagai anggota legislatif. Ada satu
fenomena menarik yang diceritakannya
ketika ada seorang tukang bengkel yang
merintis usahanya dari nol kemudian
meraih sukses sebagai pemilik bengkel
besar dan mencalonkan diri sebagai
anggota DPRD yang kemudian berhasil
menjadi anggota DPRD. Saat menjabat
sebagai anggota DPRD sang Bos bengkel
tersebut terjerat kasus korupsi dan dibawa
ke pengadilan untuk diadili. Ada sebuah
pernyataan yang mencengangkan saat
dirinya ditahan karena kasus korupsi ini
yakni “kalau seseorang mau kaya raya
jadilah politisi”.
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa
Sumber: dokumentasi Populis
menonjol dan kentara. Sikap, tingkah
laku dan segala tindakannya selalu dilihat
dan diperhatikan oleh jutaan mata para
pengikutnya. Terbitan Referensi dalam
kesempatan kali ini menggelar diskusi
dengan mengangkat tema Kepemimpinan
Politik. Dalam Diskusi ini hadir sebagai
narasumber Alfan Alfian (Direktur Akbar
Tandjung Institute) dan Hoki Situngkir (
Peneliti dari Bandung Fe Institute). Diskusi
ini dipandu oleh Bung Citra Ali Fikri dari
Populis Institute.
jabatan sebagai seorang wakil rakyat/politisi
adalah jabatan yang dapat menghasilkan
banyak uang dan syarat dengan praktik
korupsi kolusi dan nepotisme. Banyak
pejabat dan politisi yang mendadak kaya
raya. Hal ini bukan menjadi rahasia umum
karena sudah banyak pejabat dan politisi
kita yang terjerat kasus korupsi dan diadili.
Meskipun sebenarnya politik menurut
Aristoteles adalah perjuangan untuk
menegakan kebaikan atau political virtue
di dalam politik.
Kemudian
kegelisahaan
selanjutnya
yang dirasakan olehnya adalah langka
atau tidak adanya bacaan sama sekali
mengenai kepemimpianan politik (political
leadership).
Kebanyakan buku yang
beredar dipasaran adalah buku tentang
kepemimpinan bisnis. Sedikit sekali – untuk
mengatakan tidak ada – penulis buku yang
mengarang tentang kepemimpinan politik.
Banyak faktor yang menghambat terbitnya
buku-buku tentang kepemimpin politik hari
ini. Salah satunya ia menyebutkan, sulitnya
penerbit yang mau menerbitkan buku
bacaan mengenai “political leadership”.
Hal ini mungkin disebabkan karena pangsa
pasarnya yang “abstrak”.
7
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Selain itu ia menyayangkan partai-partai
politik yang tidak memiliki buku atau
materi mengenai kepemimpinan politik.
Berangkat dari kenyataan tersebut dirinya
saat ini sedang menyusun sebuah buku
tentang kepemimpinan politik yang juga
diperkuat dengan pengalamannya selama
ini mendampingi politisi sebagai bahan
refleksi.
Menurut pengajar politik di Universitas
Nasional Jakarta ini, politik selalu
dipersepsi oleh banyak orang sebagai
sesuatu yang hitam putih. Itulah mengapa
kedekatanya selama ini dengan para politisi
ini mengundang anggapan miring bahwa
apa yang didapatkannya, termasuk uang,
adalah sesuatu yang “tidak bersih”.
Menanggapi hal ini ia menganalogikan
dengan ikan lele. Dia harus menjelaskan,
bahwa ikan lele itu bisa makan bangkai
ayam dan sebagainyya akan tetapi lelenya
tidak haram untuk dimakan. Ini adalah
cerminan bahwa banyak orang yang
memiliki kegelisahan moral dalam dunia
politik. Hal ini disebabkan oleh perilaku
para politisi yang menggunakan segala
cara untuk mendapatkan kepentingannya
meskipun harus mengabaikan aspek
moralitas. Padahal politik sebagaimana
menurut Aristoteles adalah perjuangan
untuk menegakan kebaikan karena ada
political virtue disana. Politik adalah sebuah
keterpanggilan.
Alfan memamparkan bahwa politisi harus
memiliki visi-misi ideologi. Penting juga
harus dimiliki politisi adalah kesadaran.
Seorang politisi juga harus memiliki
rasa tanggung jawab. Selain itu seorang
politisi dalam setiap langkah-langkah
perjuangannya selalu menegaskan bahwa
tugasnya sebagai politisi yang jelas
memperjuangkan kepentingan publik.
Logika dan mindset seorang politisi dan
pengusaha adalah sesuatu yang berbeda.
Seorang politisi sejatinya memperjuangkan
hal-hal yang imateri, yang non profit
sifatnya. Dengan segenap kekuasaan
yang dimilikinya seorang politisi bisa
memanfaatkannya untuk kebaikan umum
ataupun sebaliknya.
Demikian halnya kekuasaan. Begitu
berharganya sebuah kekuasaan sampai
Mao Zedong pernah mengatakan bahwa
sex itu nikmat tetapi kekuasan jauh lebih
nikmat. Dengan kekuasaan yang dimiliki
banyak politisi yang terjebak dalam
jebakan-jebakan materi.
Politik adalah hal yang berkaitan dengan
kekuasaan. Sementara soal kepemimpinan
terkait dengan banyak hal. Dalam buku yang
ditulis olehnya ada beberapa persyaratan
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
yang ideal, yakni tanggung jawab,
integritas, karisma, komunikasi. Dalam
agama Islam ada beberapa hal yang harus
dimiliki oleh pemimpin atau yang mudah
dikenal dan disingkat dengan istilah STAP
(sidiq, tabligh, amanah, fatonah).
Alfan Alfian juga mengingatakan bahwa
dalam alam demokrasi yang liberal
seperti ini anak-anak muda harus cerdas
dalam mengembangkan pengaruhnya di
masyarakat. Demokrasi hari ini adalah
demokrasi elektoral. One man one vote,
sehingga banyak tokoh muda yang pintar,
cerdas dan memiliki integritas, kalah
dengan para tokoh-tokoh lawas yang
memiliki modal. Yang perlu ditingkatkan
oleh para pemimpin muda adalah bacaanbacaan mengenai political leadership
dan cara-cara bagaimana politisi dunia
menghadapi berbagai problem. Hal inilah
yang menempatkan bacaan politik menjadi
sesuatu yang sangat penting.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Referensi
8
Sumber: dokumentasi Populis
yang begitu rumit pada jaman itu, siapakah
yang memimpin membangunnya. Ternyata
cara pembuatannya relatif mudah. Mereka
membuatnya dengan cara atau aturan
yang sederhana (simple). Membuat stupastupa ini cukup dengan mengikuti aturan.
Menyusun batu-batu dari pola-pola
sederhana setingkat demi setingkat dengan
terus mengikuti dari pola awal. Dari hal ini
ternyata pemimpinannya adalah sebuah
aturan bukan seorang mandor layaknya
sebuah proyek bangunan.
Kepemimpinan Sistem
Pembicara kedua,
Hokiy
Situngkir
memperlihatkan kepada para peserta
diskusi tentang fakta-fakta kepemimpinan.
Pertama ia memutar video tentang
sekelompok semut yang memindahkan
gula. Dari sekian banyak sekelompok semut
yang ada, ada satu tanya: yang manakah
pemimpinnya? Tidak jelas. Kemudian
dalam kelas burung. Dari sekelompok
burung terbang yang membentuk formasi
V, siapakah pemimpin dari para burung
itu? Yang di depankah, belakang, atau di
tengah?
Dari dua paparan yang dibantu lewat alat
audio visual tersebut Hoky menyimpulkan
bahwa ada sesuatu yang menjadi pegangan
bagi semut dan burung sehingga mereka
bisa padu dalam berkelompok, yakni sebuah
aturan (rule). Aturanlah bagi mereka yang
menjadi pemimpin.
Dalam kasus yang lain, Hoki mencontohkan
bahwa pembuatan bangunan sebuah candi
yang sangat kompleks seperti Borobudur,
Dari cerita tersebut yang menarik
adalah tidak adanya sebuah sosok yang
berperan sebagai komando disitu. Untuk
lebih mempertegas tesisnya ini Hoki
Situngkir memaparkan hasil penelitiannya
tentang tata birokrasi kerajaan-kerajaan
di Indonesia. Dari hasil penelitian yang
ia temukan dan periksa, ada sebuah
penemuan yang menarik yakni di semua
kerajaan ketika seorang raja dicopot,
kerajaan akan tetap berjalan. Justru yang
penting dalam sebuah kerajaan adalah
jabatan mahapatih, adipati atau jabatanjabatan kelas dua. Hal yang menjadi ironis di
era demokrasi seperti saat ini adalah ketika
kita malah berharap bahwa perubahan
akan dapat terjadi jika jabatan eksekutif
dapat direbut. Padahal di jaman kerajaan
posisi raja bukanlah sebuah jabatan yang
paling sentral.
Dengan penjelasan tersebut Hoky ingin
mengajak semua peserta diskusi untuk
merubah cara pandangnya tentang
apa yang disebut pemimpin. Pemimpin
bukanlah hal yang paling tinggi atau
sakral. Sistemlah justru yang menjadi
pemimpin dalam hal ini. Pemimpin tidak
melahirkan sistem tapi dinamika sistem
yang melahirkan pemimpin. Pemimpin
dilahirkan oleh sistem. Pemimpin itu adalah
sekadar motor yang dapat menggerakan
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
pengikutnya atau pemimpin adalakanya
seperti ratu semut yang sedang tidur
tapi sistem yang berjalan. Pertanyaannya
sekarang bagaimana kita membuat sebuah
sistem yang dapat melahirkan pemimpin
(yang seperti kita harapkan – red).
Hoky berpandangan bahwa pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang dapat membuat
chaos seperti mazhab neo ekonomi
klasik untuk mendinamisasi kondisi.
Karena, menurutnya, sebuah kondisi yang
stagnan membuat organisasi tidak akan
berkembang dan hambar. Indonesia adalah
sebuah daerah yang sangat tidak stabil dan
memiliki potensi konflik yang sangat tinggi.
Karakteristik daerah-daerah di Indonesia
memiliki ketegangan dan tekanan sosialnya
masing-masing. Oleh karena itu yang musti
dikenali dari Indonesia adalah sistem dan
teritorinya, sehingga kita tahu karakter
seperti apa yang dibutuhkan bagi suatu
daerah.
Oleh karena itu jebolan ITB tanpa ijasah ini
mengajak untuk tidak perlu sedikit-sedikit
mengeluh dan merindukan figur seperti
Bung Karno, Pak Harto, Bang Ali, dan
sebagainya. Karena kondisi hari ini sudah
berubah dan mereka pun belum tentu
dapat menyelesaikan permasalahan yang
ada pada hari ini.
Budiman Sudjatmiko yang juga hadir dalam
diskusi turut memberikan tanggapan. Dari
dua perspektif soal quality of leadership
yang disampaikan oleh Alfan
Alfian,
dan the probability of leadership yang
ditekankan oleh Hoki Situngkir, Budiman
mencoba untuk menerapkannya di dalam
laku politiknya. Dia merasa secara instingtif
mencari titik keseimbangan antara dua
hal tersebut. Dari apa yang disampaikan
oleh Alfan dan Hoky, dari segi subjektif
manusianya sampai objektif setting
sosialnya, dia menyatakan bahwa ada satu
aspek yang belum disinggung yang itu ada
dalam keseharian kita, yaitu sistem yang
diatur dalam undang-undang yakni sistem
DPR “the exsisting condition” dari partai
politik yang sekarang.
Menurutnya, Hoky Situngkir tadi hanya
berbicara masalah birokrasi kerajaan
nusantara, juga bagaimana birokrasi
Indonesia hari ini. Alfan Alfian hanya
bicara kepemimpinan seperti dalam
buku-bukunya namun belum baik dalam
berbicara institusi-institusi yang nyata hari
ini hadir. Budiman ingin melihat soal ini
Sumber: dokumentasi Populis
9
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Referensi
10
dalam perspektif institusi resmi yang dirinya
hadir disana sebagai salah seorang anggota
parlemen. Budiman juga sekaligus ingin
memadukan apa yang oleh dua pembicara
tadi disampaikan.
dengan berdiskusi, membaca buku. Dia
juga menciptakan institusi-institusi seperti
rumah Aspirasi Budiman. Disini, secara
individual dirinya mencoba menerapkan
virtue of leadership.
Bagi mantan Ketua PRD ini, bangunanbangunan sistem politik, institusi-institusi
yang hari ini ada tidak mengakomodasi
paparan
kedua
pembicara,
tidak
mengakomodasi temuan-temuan mereka.
Kondisi sistem politik dan institusi saat
ini bersifat bebal terhadap faktor-faktor
subjektif kedua pembicara paparkan. Oleh
karena itu, kalau (paparan) keduanya
dipadukan dan kemudian ada sebuah
rekayasa institusi dalam undang-undang
dan segala macamnya, pun juga dalam
internal parpol ada pengakomodasian
terhadap dinamika semacam itu, kiranya
standar model pemimpin yang ideal bisa
terwujud.
Sesi Tanya Jawab
Dalam sesi tanya jawab muncul pertanyaan
dari Arif Rahman Hakim yang melihat
bahwa institusi nasional, dalam hal ini
negara (state), merupakan cerminan
dari hal-hal yang kecil sebagaimana yang
dijelaskan Hoky. Arif juga merespon apa
yang disampaikan Budiman Sujatmiko
bahwa partai hari ini gagal. Partai hari
ini kebanyakan terjebak dalam konsep
ownership, dinasti dan akibatnya banyak
pemimpin yang hadir tidak melalui proses
yang dinamis. Sebagai pertanyaannya apa
solusi dari situasi didalam partai politik
yang seperti ini.
Namun dalam kenyataannya, Budiman
melihat apa yang terjadi hari ini tidak
seperti yang digambarkan. Pemimpinpemimpin formal yang hadir hari ini
tidak lahir dari interaksi-interaksi chaos
seperti yang disampaikan Hoky. Akibatnya
situasinya tidak mencapai titik optimum
dalam konteks kepemimpinan. Pemimpin
formal yang ada tidak memenuhi virtue of
ladaership seperti yang disampaikan Alfan.
Fenomena kemenangan Jokowi adalah
mungkin satu contoh bahwa ketika dua
faktor yang disebutkan oleh Alfan dan
Hoky, bertemu dengan institusi politik
yang responsif akomodatif. Ini adalah kasus
pada level daerah. Pada level nasional,
bagaimana bertemunya tiga faktor
tadi yakni subjektif, objektif, individual
bertemu, Budiman berpikir keadaan ini
adalah keadaan ideal. Dalam konteks
individu, dia mencoba mempraktekannya
Menyambung Arif, Ada Suci Makbullah
sebagai penanya berikutnya melihat
bahwa seorang pemimpin lahir dari sebuah
proses dan dinamika. Yang jadi masalah
adalah bagaimana mendewasakan institusi
partai politik sebagai lembaga satu-satunya
lahirnya kepemimpinan nasional hari ini.
Sementara Eko Julianto melihat pemimpinpemimpin yang ada saat ini tidak memiliki
basis ideologi yang kuat. Mereka bukan
orang yang
memiliki latar belakang
organisasi dan bukan orang gerakan.
Berangkat dari kenyataan tersebut dia
berpikir kira-kira kriteria pemimpin yang
seperti apakah yang ideal untuk saat ini.
Menanggapi
pertanyaan-pertanyaan
tersebut Alfan menjelaskan bahwa dalam
rangka untuk mencari suatu aksi ideal,
seorang pemimpin politik harus inovatif
dan kreatif. Di Indonesia pasca reformasi
masih banyak yang belum berubah dari
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sumber: dokumentasi Populis
11
undang-undang kita meskipun ada yang
berubah. Partai politik masih di hadapkan
pada realitas sistemik seperti sekarang ini.
Menurutnya, eksperimen yang dilakukan
oleh anak-anak muda yang membuat
partai ideologis seperti PRD dulu adalah
sesuatu yang menarik susungguhnya.
Namun sayangnya ia tidak “istiqomah”
dalam eksperimentasi politiknya. Banyak
para aktivis yang mendirikan partai ini
yang kemudian kabur keberagam partai
politik bahkan yang sangat berbeda
ideologinya semula. Dia kini malah melihat
hal sebaliknya. Kini para pemilik modal-lah
yang menarik-narik anak muda untuk ikut
masuk partai mereka. Inilah kiranya salah
satu kenyataan politik yang disayangkan
terjadi di Indonesia.
namun tidak dapat berbuat apa-apa ketika
berada di DPR.
Alfan memandang bahwa pemimpin
harus dapat melakukan improvisasi.
Menurutnya politisi adalah ibarat seniman
yang gelisah melihat masyarakatnya yang
statis. Pemimpin harus membuat dinamika
sehingga ada gerak di dalam organisasi.
Aneh kalau politisi tidak memiliki kesadaran
kesenian, kesadaran aktor, sutradara dan
kesadaran membuat dinamika panggung
terjadi. Dia juga sangat menyayangkan jika
anak muda yang ikut pemilu dan berhasil
Namun di Indonesia sendiri dalam
penilaian Alfan, simbol masih tetap perlu
karena masyarakat Indonesia yang sangat
simbolik. Meskipun seharusnya politik kita
adalah politik makna, “beyond the symbol”,
namun dalam kondisi masayarakat
yang demikian simbol tetap memegang
peranan penting. Intinya adalah inovasi
dan kreatifitas. Dengan keduanya akan
muncul instrumen-instrumen baru dalam
menyiasati keterbatasan sistem yang ada.
Satu hal yang ditekankan oleh Alfan adalah
dimanapun, politisi akan berhadapan
dengan kondisi keterbatasan sistem.
Di Turki ada keterbatasan sistem tetapi
tetap muncul tokoh seperti Endorgan.
Tidak mungkin muncul orang seperti itu
sebenarnya. Di titik ini perlu direnungkan
tentang otentisitas tokoh. Masyarakat hari
ini merindukan pemimpin yang otentik,
artinya pemimpin memiliki kewajaran.
Pemimpin yang wajar artinya pemimpin
yang tidak lahir secara tiba-tiba. Ada suatu
proses yang dilalui dan juga ada momentum
didapati. Pemimpin bukanlah sesuatu yang
sakral.
Referensi
12
Sumber: dokumentasi Populis
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sementara Hoky dalam merespon
pertanyaan-pertanyaan yang muncul,
merujuk kepada analogi semut, seperti
digambarkan di atas. Semut ratu tidak
bisa berpura-pura menjadi semut pekerja.
Hal ini sama ketika figur pemimpin seperti
Budiman Sudjatmiko tidak cocok dengan
sistem yang ada saat ini. Pemimpin yang
ada sekarang adalah cerminan dari sistem
yang ada. Oleh karena itu yang harus
dilakukan adalah bagaimana membuat
instrumen agar harapan kita akan sosok
pemimpin bisa terwujud.
Untuk membuat terobosan dalam situasi
yang ada sekarang, seorang pemimpin
harus bisa membuat strategi dengan
membuat perangkat-perangkat baru yang
dapat menggolkan ide-ide baru. Banyak
cara yang dapat dilakukan, misalnya dengan
terlibat dalam sistem yang ada untuk
mencapai sistem yang ideal. Pemimpin,
masih kata Hoky, harus mengubah sistem
yang seperti dia inginkan atau masyarakat
seperti apa yang ia dambakan. Yang celaka
adalah ketika pemimpin tidak mempunyai
konsep ideal tentang masyarakat.
Menanggapi apa yang dipaparkan oleh
Situngkir, salah seorang peserta, Willy Aditya,
melihat bahwa dalam konteks kekinian,
satu hal yang sering dilupakan adalah
seringkali kita berkata sistem yang salah.
Di waktu lain kita menyalahkan individu.
Padahal menurutnya dua hal tersebut
adalah dua hal yang saling berkelindan.
Fenomena hari ini misalnya, banyak sekali
pemimpin yang lantaran mempunyai modal
besar lalu mendeklarasikan diri sebagai
calon pemimpin. Bagi Willy ini adalah
sebuah proses dekonstruksi. Pemimpin
menurutnya harus memenuhi klasifikasi
atau empat indikasi yakni memiliki ideologi,
organisasi, solidarity maker dan karakter
movement. Dan seringkali dalam berbicara
kepemimpinan, kita hanya berbicara visi,
misi dan integritas namun kita sering
melupakan kerelaan sebagai sebuah virtue.
Sementara alumnus Filsafat UGM ini
melihat bahwa hanya ada dua tipikal parpol
di Indonesia, yakni partai perusahaan dan
partai dinasti.
Menyambut pandangan Willy, Hoky
menimpali, adalah sebuah ilusi bahwa
pemimpin harus seperti si A, si B dan
13
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
seterusnya. Ia mencontohkan seorang
Hitler sebenarnya adalah orang yang
biasa-biasa saja namun rakyat Jerman
memilihnya. Sama halnya dengan Jokowi
hari ini yang tidak memiliki tampang sebagai
seorang pemimpin, seperti harus gagah,
berwibawa, dan sebagainya. Jangan-jangan
sebenarnya kitalah yang mau membikin
pemimpin.
Hal serupa juga yang terjadi pada Obama
yang secara kualitas jauh dibandingkan
calon lainnya. Namun toh rakyat Amerika
menginginkan figur yang seperti itu.
Kepemimpinan tidak harus dimiliki
pemimpin karena ada juga yang bukan
pemimpin tapi memiliki kepemimpinan.
Jadi sebenarnya pemimpin adalah konsep
yang makro, sebaliknya kepemimpinan
adalah konsep di tataran mikro. Yang
terpenting sekarang adalah mencapai
kesejahteraan sebagimana yang dicitacitakan Proklamasi Kemerdekaan dan
berbuat apa yang terbaik untuk masyarakat
siapa pun pemimpinnya.
Budiman
Sudjatmiko
menanggapi
penjelasan Hoky dengan menceritakan
kemenangan Obama melawan Hilary
Clinton. Tim Hilary Clinton telah membuat
sebuah konsep Micro Organizing yaitu
bagaimana memetakan kepentingan dari
tiap-tiap kelompok, komuniti, sektor, dan
lain-lain, dengan harapan ketika Hilary
Clinton menang, terpenuhi kepentingan
setiap kelompok. Namun Obama datang
dengan sebuah konsep gagasan perubahan
yang tidak ribet. Ternyata Obama menang.
Dia merasa tertarik dengan penjelasan Hoky
yang mengatakan ada pemimpin yang tidak
memiliki kempemimpinan dan sebaliknya.
Namun menurut Budiman ini tergantung
dari masyarakat ketika evolusinya sudah
mencapai titik mutasi.
Ada Suci Makbullah juga menanggapi apa
yang dikatakan oleh Hoky soal pemimpin
yang ada hari ini adalah cerminan dari
masyarakat yang ada. Dia berpandangan
bahwa statemen tersebut kurang bisa
diverifikasi mengingat bahwa banyak
masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam
suksesi kepemimpinan hari ini. Dia melihat
keadaan yang ada dibentuk oleh elit.
“Para elitlah yang mendesign pemimpin,”
katanya.
Menanggapi kembali dua pandangan
tersebut, Hoky menjelaskan apa yang
dimaksud dengan kepemimpinan ada
dilevel mikro dan pemimpin di level
makro. Sebagai ilustrasi, saat melihat PDIP
kita selalu mengasosiasikannya dengan
Megawati dan Taufik Kiemas, padahal PDIP
adalah sesuatu yang makro. Tidak serta
merta ketika Megawati bilang A yang lain
seperti itu.
Soal adanya desain, Hoky menjawab
bahwa semua pemimpin melalui desain.
Pusaran ini datang dari level mikro melalui
pembentukan instrumen-instrumen untuk
menggolkan ide-ide.
Menutup diskusi, Alfan menanggapi semua
pandangan yang mengemuka dengan
mendorong agar anak muda memiliki
kesadaran. Anak muda perlu membuat
sistem yang baru, dan untuk itulah mengapa
anak muda harus kreatif dan inovatif, tidak
sekadar eksis dan survive dalam politik.
Hal ini karena dalam logika demokrasi
elektoral, anak muda dituntut harus kreatif
dan inovatif untuk dapat lebih populer.
Dalam demokrasi seperti ini dituntut
popularitas dan elektabilitas meskipun
banyak juga para politisi yang melakukan
rekayasa pencitraan bukan kepemimpinan
yang otentik. (Kori Kurniawan)
M
Referensi
14
KO
LO
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Kepemimpinan Di Era
Kompleksitas*
Hokky Situngkir
Peneliti di Dept. Computational
Sociology, Bandung Fe Institute
Hampir tak ada persoalan sosial yang tak dikaitkan
dengan kepemimpinan. Mitologi “ratu adil” ibarat
semacam ekivalensi “kedaulatan mutlak”yang
melahirkan “kontrak sosial” dalam keadaan bellum
omnium contra omnes (perang semua melawan
semua) yang chaos, seperti diterawangkan Thomas
Hobbes
dalam
Leviathan
(1961).Persoalanpersoalan republik hari ini selalu menggoda kita
untuk “mengganggu” tokoh-tokoh proklamator
dan pemimpin yang kuat seperti Presiden Sukarno,
Mohamad Hata, Sutan Sjahrir, dan sebagainya,
dari alam peristirahatan. Kita cenderung berpikir
akan adanya pemimpin di luar sana, padahal
pemimpin itu jelas ada di antara kitasendiri – dan
di saat yang sama, tokoh-tokoh yang memiliki
karakteristik kepemimpinan sibuk “meniru-niru”
demi mencitrakan diri sebagai pemimpin-pemimpin
masyarakat di masa lampau tersebut. Keinsyafan kita
akan kompleksitas sistem sosial mengajak kita untuk
melakukan emanisipasi generasi, dengan kesadaran
bahwa kepemimpinan itu lahir oleh sistem, ia tidak
lahir begitu saja.
* Disampaikan pada Diskusi dengan tema “Politik dan Kepemimpinan” Populis Institute, Jakarta, 11 Juli 2012.
akan adanya pemimpin di luar sana, padahal pemimpin itu jelas ada di antara kitasendiri – dan di
saat yang sama, tokoh-tokoh yang memiliki karakteristik kepemimpinan sibuk “meniru-niru” demi
mencitrakan diri sebagai pemimpin-pemimpin masyarakat di masa lampau tersebut. Keinsyafan kita
III Nomor
1 Juni 2012
Referenssistem
i Volume
15kompleksitas
akan
sosial
mengajak
kita untuk melakukan emanisipasi generasi, dengan
kesadaran bahwa kepemimpinan itu lahir oleh sistem, ia tidak lanir begitu saja.
Gambar
Gambar 11
Formasi V migrasi bangau kanada (kiri) dan upaya sekelompok semut memindahkan sumber makanan
Formasi V migrasi bangau kanada (kiri) dan upaya sekelompok semut memindahkan sumber
(kanan): siapakah pemimpinnya?
makanan (kanan): siapakah pemimpinnya?
Kerjasama intraspesies selalu menarik dan
dalam pengertian konvensional. Burung-
Kerjasama intraspesies selalu menarik dan mengagumkan. Semut-semut yang bekerja sama dalam
tersebut
terbang
dengan kendali
mengagumkan.
Semut-semut
yang bekerja
memindahkan
butiran
gula yang bobot
dan volumeburung
yang jauh
lebih besar
dari tubuhnya,
bekerja
yang
terdesentralisasi,
akuisisi
sama
dalam
memindahkan
butiran
gula
bersama tanpa perlu ada satu semut yang menjadi pemimpinnya. Burung-burung yanginformasi
bermigrasi
yang lokal pola-pola
(bukan global),
anonimitas,
yang
bobot
dankevolume
jauh lebih
dari
satu
tempat
tempat yang
lain bergerak
dan membentuk
tertentudan
tanpa
ada yang
tiap
individu
tak memiliki
prejudice
besar dari tubuhnya,
bekerja
bersama
menkomandoi.
Secara sepintas,
mungkin
pikiran artinya
kita akan
tergoda
untuk
menganggap
bahwa
terhadap
di dekatnya.
tanpa yang
perlu terbang
ada satupaling
semut
yangdalam
menjadi
burung
depan
kawanan
burung siapa
tersebutburung
adalah “pemimpin”
dari
rombongan
burung tersebut.
Tapi justru tidak.
individu-individu
yangberkelompok
terbang dalam
Tiga
karakteristikburung
terbang
pemimpinnya.
Burung-burung
yangPosisi
berbagai
formasi
terbentuk
selalu ditentukan
atau
peran
kemudiansenioritas
menjadi(usia),
tempat
mereka
bermigrasi
dariyang
satu
tempatpada
ke dasarnya
tempat taktersebut
sosial
apapun.
Berbagai
formasi
dan
bentuk
itu
merupakan
pola
yang
terbentuk
dalam
kecerdasan
lain bergerak dan membentuk pola-pola mengikuti tiga aturan utama dalam navigasi
tertentu tanpa ada yang menkomandoi. terbang, yaitu:
*) Secara sepintas, mungkin pikiran kita akan
- Keterpisahan:
terbang
dengan
Disampaikan pada Diskusi dengan tema “Politik dan Kepemimpinan”
Populis Institute,
Jakarta, 11 Juli
2012.
tergoda untuk menganggap bahwa burung
arah
menghindari
tabrakan
dengan
**)yang terbang paling depan dalam kawanan
Penulis adalah peneliti di Dept. Computational Sociology, Bandung
Fe Institute.
Personal
Web:
kerumunan
burung
lain.
http://www.bandungfe.net/hs
burung tersebut adalah “pemimpin” dari
- Kesesuaian: terbang ke arah sejajar
rombongan burung tersebut. Tapi justru
arah sebagian besar
burung
di
halaman1
dari 5lain
halaman
tidak. Posisi individu-individu burung
dalam kelompok.
yang terbang dalam berbagai formasi
- Kohesi: terbang ke arah rata-rata
yang terbentuk pada dasarnya tak selalu
posisi burung yang ada di dekatnya.
ditentukan senioritas (usia), atau peran
sosial apapun. Berbagai formasi dan bentuk Tiga aturan terbang inilah yang lalu
itu merupakan pola yang terbentuk dalam membuat mereka terus saja terbang
kecerdasan kolektif mereka (collective dengan membentuk pola-pola yang
intelligence), sebuah kecerdasan ketika membikin makhluk dengan volume otak
mengerumun (swarm intelligence).
berlipat-lipat kali volumenya terkagumkagum. Tiga aturan dasar yang pada
Percobaan komputasi yang dilakukan Craig
dasarnya merupakan aturan primer
Reynolds [4] menunjukkan bagaimana
dalam kebertahanan sebuah sistem
berbagai formasi unik dari berbagai
sosial manusia. Jika tiap anggota-anggota
kawanan burung yang terbang tercipta
masyarakat hidup dengan berupaya
tanpa perlu adanya komando dan pimpinan
meredam konflik secara lokal, berusaha
kolektif mereka (collective intelligence), sebuah kecerdasan ketika mengerumun (swarm
intelligence).
III Nomor 1 Juni 2012 Referensi
16 formasi
Percobaan komputasi yang dilakukan Craig ReynoldsVolume
[4] menunjukkan
bagaimana berbagai
unik dari berbagai kawanan burung yang terbang tercipta tanpa perlu adanya komando dan
pimpinan dalam pengertian konvensional. Burung-burung tersebut terbang dengan kendali yang
Kebersamaan
melahirkan artinya
kecerdasan
melakukanakuisisi
kesesuaian
dalam
kelompok
terdesentralisasi,
informasi
yang
lokal (bukan
global), dan anonimitas,
tiap individu
dengan arah yang sama, dan masing-masing organik yang bahkan bisa melebihi
tak memiliki prejudice terhadap siapa burung di dekatnya. Tiga karakteristik terbang berkelompok
berupaya menjaga kohesi masing-masing, “kecerdasan”individu genius penyusun
tersebut kemudian menjadi tempat mereka mengikuti tiga aturan utama dalam navigasi terbang,
maka tiap individu merupakan pemimpin kolektivitas sosial yang ada [3].
yaitu: – kecerdasan kolektif kita merupakan
Indonesia itu negeri seribu raja. Ada
pemimpin
bagi terbang
kita. Ini merupakan
konsep
Keterpisahan:
dengan arah
menghindari tabrakan dengan kerumunan burung lain.
ribuan kerajaan yang pernah berdiri di
kepemimpinan
yang ke
organis,
pemimpin
Kesesuaian: terbang
arah sejajar
arah sebagian besar burung lain di dalam kelompok.
kepulauan Nusantara dengan yang mana
muncul
mereka-mereka
yang memiliki
Kohesi: dari
terbang
ke arah rata-rata
posisi burung
yang ada di dekatnya.
masing-masing
memiliki model sistem
visi kepemimpinan.
pemerintahan
yang dengan
unik [2].Konsep
Tiga aturan terbang inilah yang lalu membuat mereka
terus saja terbang
membentuk polakepemimpinan
kompleks
tumbuh
organis
Pemimpin
bukanlah
“ratu
adil”
dalam
pola yang membikin makhluk dengan volume otak berlipat-lipat kali volumenya terkagum-kagum.
jauh
lebih
dulu
matang,
bahkan
daripada
konsep
kepemimpinan
yang
meng-insyafTiga aturan dasar yang pada dasarnya merupakan aturan primer dalam kebertahanan sebuah sistem
pertumbuhan
organisasi
negara Indonesia
ikompleksitas
Kedudukan dan posisi
sosial manusia.
Jika sosial.
tiap anggota-anggota
masyarakat
hidup dengan
berupaya
meredam konflik
pemimpin merupakan satu peran saja sendiri. Sebagai intitusi politik yang muncul
secara lokal, berusaha melakukan kesesuaian dalam kelompok dengan arah yang sama, dan masingdalam kolektivitas sosial yang kompleks, secara organis, keragaman model sistem
masing berupaya menjaga kohesi masing-masing, maka tiap individu merupakan pemimpin –
dan nasib sistem sosial tak semata- pemerintahan kerajaan merefleksikan
kecerdasan
kolektif kita merupakan pemimpin bagi kita. Ini merupakan konsep kepemimpinan yang
mata bergantung pada apa dan siapa keragaman konsepsi kekuasaan yang ada
organis,pemimpinnya,
pemimpin muncul
dari mereka-mereka
memiliki
visi kepemimpinan.
masyarakat
saat itu. Sederhananya,
melainkan
bergantung padayangdalam
masyarakatyang
dengan
nilai politik yang sosial.
sinergi
elemen-elemen
justru
Pemimpin
bukanlah
“ratu adil” sosial
dalamyang
konsep
kepemimpinan
meng-insyaf-ikompleksitas
demokratis
tentu
tidak
memiliki
konsep
kepemimpinan
yang
lebih
Kedudukan dan posisi pemimpin merupakan satu peran saja dalam kolektivitasmengharapkan
sosial yang kompleks,
pengaturan
organisasi
pemerintahan
luas.
Inilahsosial
yang tak
kitasemata-mata
pelajari dari konsep
dan nasib
sistem
bergantung
pada apa dan
siapa pemimpinnya,
melainkan
yang
sentralistik
tanpa
adanya
lembaga
kepemimpinan
semut,
burung-burung,
dan
bergantung pada sinergi elemen-elemen sosial yang justru memiliki konsep kepemimpinan yang
berbagai kolektivitas sosial non-primata. representatif. Sangat menarik ketika ketika
lebih luas. Inilah yang kita pelajari dari konsep kepemimpinan semut, burung-burung, dan berbagai
Suatu konsep yang menunjukkan bahwa konsepsi kekuasaan tersebut direfleksikan
kolektivitas sosial non-primata. Suatu konsep yang menunjukkan bahwa kecerdasan tak hanya
kecerdasan tak hanya muncul secara dalam tata birokrasi pemerintahan
muncul individual,
secara individual,
juga secara
sosial.
Kebersamaan
melahirkan
kecerdasan organik
tradisional
di banyak
konsepsi pemerintahan
namun namun
juga secara
sosial.
-
yang bahkan bisa melebihi “kecerdasan”individu genius penyusun kolektivitas sosial yang ada [3].
Gambar2
Siapakah yang sesungguhnya memiliki kuasa? [2]
Gambar2
Siapakah
yang sesungguhnya
kuasa? [2]berdiri di kepulauan Nusantara
Indonesia itu negeri seribu raja.
Ada ribuan
kerajaanmemiliki
yang pernah
dengan yang mana masing-masing memiliki model sistem pemerintahan yang unik [2].Konsep
kepemimpinan kompleks tumbuh organis jauh lebih dulu matang, bahkan daripada pertumbuhan
organisasi negara Indonesia sendiri. Sebagai intitusi politik yang muncul secara organis, keragaman
model sistem pemerintahan kerajaan merefleksikan keragaman konsepsi kekuasaan yang ada dalam
17
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
tradisional Indonesia. Kita menemukan yang menarik ketika kita melihat bahwa,
bahwa Raja tidak selalu menempati posisi Majapahit, sebagai salah satu birokrasi
yang sentral dalam urusan pemerintahan nasional yang benerapa ratus tahun
sehari-hari, sementara lembaga dewan lebih dulu dari Indonesia justru seolah
adat yang fungsinya setara dengan lembaga menunjukkan
“sentralitas”-nya
atas
perwakilan dalam system politik modern birokrasi-birokrasi tradisional yang lain,
juga selalu ada hadir dalam organisasi yang pernah ada di level geografis yang
pemerintahan.
Pusat
kepemimpinan lebih kecil. Ini menunjukkan pertumbuhan
tak melulu adalah pemangku keluasaan organis dari birokrasi tradisional yang
eksekutif, atau raja. Suatu kontra-indikasi jelas merupakan pelajaran berharga bagi
indonesia
modern
dengan
kehidupan organisasi
pemerintahan
modern konsepsi
engharapkan
pengaturan
pemerintahan
yang kepemimpinan
sentralistik tanpa
adanya
lembaga
kita
hari
ini,
ketika
pusat
kepemimpinan
hari
ini.
epresentatif. Sangat menarik ketika ketika konsepsi kekuasaan tersebut direfleksikan dalam tata
dikira berada di tangan presiden atau
rokrasi pemerintahan
tradisional di banyak konsepsi
tradisional
Indonesia. Kita
Apapemerintahan
moral cerita manajemen
kepemimpinan
kepala daerah di tingkat lokal (?).
enemukan bahwa Raja tidak selalu menempati posisi
yang sentral
dalamini?
urusan
pemerintahan
organisasional
kompleks
Kita menyadari
ehari-hari,Lebih
sementara
lembaga
dewan
adat
yang
fungsinya
setara
dengan
lembaga
perwakilan
jauh, ketika graf relasi otoritas kini bahwa manajemen sistem kompleks
alam system
selalu
ada hadir
organisasi lahir
pemerintahan.
sosialdalam
pada hakikatnya
dari stabilitasPusat
antar politik
berbagaimodern
elemen juga
birokrasi
kerajaan
sosial
yang ada.
Kepemimpinan
yang baik
tersebut
dijajarkan,
kita pemangku
kemudian dapat
epemimpinan
tak melulu
adalah
keluasaan
eksekutif,
atau
raja. Suatu kontra-indikasi
dipandang
sebagai upayadikira
memutar
mengkonstruksi
pohon kekerabatan
engan kehidupan
pemerintahan
modern kitaantar
hari ini,lebih
ketika
pusat kepemimpinan
berada di
kerajaan-kerajaan
Nusantara
tersebut
angan presiden
atau kepala daerah
di tingkat
lokal (?).roda dinamika kehidupan sosial secara
(gambar 3). Adalah sebuah fakta empiris umum. Kepemimpinan di era kompleksitas
Gambar 3
Pola kemiripan struktural jejaring birokrasi di beberapa pemerintahan tradisional dan kuna di
Indonesia
Gambar
3
Pola kemiripan struktural jejaring birokrasi di beberapa pemerintahan tradisional dan kuna di
Indonesia
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Referensi
18
Gambar 4
Gambar4
Konsepsi kepemimpinan
kompleks:
(A) A sistem
adanya
pemimpin
(B) Sistem
tanpa
sinergiglobal yang
Konsepsi kepemimpinan
kompleks:
(A) A sistem
tanpa tanpa
adanya
pemimpin
(B) Sistem
tanpa
sinergi
global yang berjalan organis melalui sinergi inisiatif elemen-elemennya, (C) kepemimpinan
berjalan organis
melalui sinergi inisiatif elemen-elemennya, (C) kepemimpinan yang muncul dari sistem dalam
yang muncul dari sistem dalam konsepsi aktualisasi dan sinkronisasi, (D) kepemimpinan yang
konsepsi aktualisasi
dan
sinkronisasi,
(D) kepemimpinan
yang muncul Yang
melalui
umpan
balik aktif
dari proses bottommuncul
melalui
umpan balik
aktif dari proses bottom-up[5].
terakhir
merupakan
konsepsi
up[5]. Yang terakhir merupakan
konsepsi
kepemimpinan
yangdalam
kita harapkan
hadir dalam
sistem kompleks sosial kita.
kepemimpinan
yang
kita harapkan hadir
sistem kompleks
sosial kita.
Adalah bukanlah
keliru menanggap
bahwa
fungsi
merupakan
fungsi stabilisator
sistem.
kepemimpinan
yang
penuhkepemimpinan
kendali stabilisator
dari sistem.
Adalah jugadari
keliru
Adalah sistem
juga keliru
menganggap
bahwa kepemimpinan
yang baik merupakan
pengendali sistem
dan dan
tumpuan stabilisator
sistem menganggap
bahwa
kepemimpinan
secara yang
keseluruhan.
Terdapat
risiko
matinya
kreativitas
dan
inisiatif
lokal
jika
kepemimpinan
di level
meredam berbagai potensi dinamika yang baik merupakan pengendali sistem
global menjadi
penentu
kontrol
sosial
secara
umum.
Pemimpin
dengan
keinsyafan
sistem
kompleks
elemen-elemen sistem. Kepemimpinan di secara keseluruhan. Terdapat risiko
sosial era
tidakkompleks
mengendalikan
sistem,
tapi lebih berupa
“mengemudikan”
sistem lokal
[1]. Perannya
matinya
kreativitas dan inisiatif
jika
merupakan
kepemimpinan
bukanlah
menjadi
stabilisator
melainkan
menjadikan
sistem
tetap
berada
di
tapal
batas
antara
di “tepi chaos”, sebagaimana digambarkan kepemimpinan di level global menjadi
keadaan
yanggambar
stabil dan
ketakstabilan,
tepi chaos.
dalam
5. tak stabil secara dinamis: di tepi
penentu
kontrol disosial
secaraKepemimpinan
umum.
di era kompleksitas sosial merupakan fungsi optimisasi
dari elemen-elemen
sistem.
Pemimpin
dengan keinsyafan
sistem
Adalah keliru menanggap bahwa fungsi kompleks sosial tidak mengendalikan
kepemimpinan
merupakan
fungsi sistem, tapi lebih berupa “mengemudikan”
Stabil
“tep chaos”
Tak Stabil
“tep chaos”
Optimum
Tak TINGGI
Stabil
Volume lalu-lintas
informasi
RENDAH
Keberagaman
dalam
RENDAH
komunitas/masyarakat
Keberagaman dalam komunitas/
RENDAH
masyarakat
Koneksivitas antar elemen
RENDAH
sistemantar elemen sistem
Koneksivitas
RENDAH
Optimum
Optimum
Optimum
TINGGI
TINGGI
TINGGI
Optimum
Optimum
TINGGI
TINGGI
Kegalauan
Kegalauan
sosial
sosial
Diversifikasi karakteristik
Diversifikasi
karakteristik
elemen-elemen
sosial
elemen-elemen sosial
RENDAH
RENDAH
Optimum
Optimum
TINGGI
TINGGI
TINGGI
TINGGI
Optimum
Optimum
RENDAH
RENDAH
Volume lalu-lintas informasi
Stabil
RENDAH
Gambar5
Optimisasi adalah fungsi kepemimpinan kompleks
19
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
sistem [1]. Perannya bukanlah
menjadi
stabilisator
melainkan
menjadikan sistem tetap berada di
tapal batas antara keadaan yang
stabil dan tak stabil secara dinamis:
di tepi ketakstabilan, di tepi chaos.
Kepemimpinan di era kompleksitas
sosial merupakan fungsi optimisasi
dari elemen-elemen sistem.
Keberagaman kehidupan sosial di
Indonesia merupakan salah satu yang
paling kompleks di dunia. Lanskap
kepulauan dan kenyataan historis
masih mudanya demokrasi yang ada
di Indonesia merupakan tantangan
kompleks yang mesti dihadapi oleh
masyarakat Indonesia hari ini, baik
di sektor bisnis & ekonomi, politik,
dan sosial budaya [6].Ini merupakan
tantangan kepemimpinan yang
harus kita hadapi hari ini, sebuah
tantangan untuk merumuskan secara
implementatif kepemimpinan di era
dan berlandaskan keinsyafan akan
kompleksitas sosial.
Kerja yang disebut
[1] Axelrod, R. & Cohen, M. D.
(2000). Harnessing Complexity:
Organizational Implications of a
Scientific Frontier. Free Press.
[2] Maulana, A & Situngkir, H
.(2009). “Study to Ancient Royal
Bureaucracies in Indonesian
Archipelago”. BFI Working Paper
SeriesWP-4-2009. Bandung Fe
Institute.
Sumber: http://stat.ks.kidsklik.com
[3] Page, S. E. (2007). The Difference: How the
Power of Diversity Creates Better Groups,
Firms, Schools, and Societies. Princeton UP.
[4]Reynolds, C. W. (1987).“Flocks, Herds, and
Schools: A Distributed Behavioral Model”.
Computer Graphics 21(4). SIGGRAPH '87
Conference Proceedings.
[5] Seel, R. (2000). “New Insights on
Organizational Change.s” Organizations &
People 7(2): 2-9.
[6] Situngkir, H., et. al. (2007). Solusi untuk
Indonesia: Prediksi Ekonofisika dan
Kompleksitas. Kandel.
M
Referensi
20
KO
LO
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Belajar dari Kegagalan
Republik Weimar
“A civilized nation has full gun registration, our street
will be safer, our police more efficient”. Demikian seru
Adolf Hitler ketika mengesahkan German Weapons
Act pada 1935. Undang-Undang tersebut menjadi
salah satu instrumen Hitler dalam memperkokoh
pemerintahan otoritarian fasis.
Citra Ali Fikri
Peneliti di Populis Institute
Sejarah mencatat bahwa Nazi lahir dari rahim demokrasi
ala Republik Weimar sebagai kekuatan fasis anti
demokrasi yang didukung masyarakat Jerman secara
luas. Republik Weimar saat itu menghadapi situasi
krisis yang sulit, seperti pengangguran yang tinggi,
hutang pemerintah yang membengkak, hiper-inflasi,
hukum yang tidak berjalan, dan kesenjangan sosialekonomi yang parah. Semua hal di atas memunculkan
ketidak-percayaan terhadap koalisi Weimar dan
memicu 3 (tiga) pemberontakan, baik yang dilakukan
oleh ekstrim kanan dan kiri. Situasi ini diperparah
dengan korupsi di kalangan pemerintahan.
21
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Kita perlu mengamati gejala-gejala dalam
proses demokratisasi di Indonesia dimana
saat ini gejala-gejala fasisme mulai muncul.
Tentu kita tak ingin transisi demokrasi siasia dan hanya menghasilkan instabilitas,
apalagi berbalik ke arah fasisme seperti
hipotesis
yang
dikemukakan
oleh
Bung Karno bahwa "Kapitalisme yang
terjebak krisis akhirnya membuahkan
fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan
penghabisan para monopolis kapitalis yang
terancam bangkrut".
Saat ini, kita boleh sedikit lega dengan
rotasi kepemimpinan yang berjalan
normal. Pemilu berjalan terbuka, partaipartai politik, media massa dan lembaga
masyarakat sipil juga menemukan arenanya.
Tata-kelola pemerintahan pun dirombak
sedemikian rupa guna menghindari
penumpukan kekuasaan. Sekilas, terlihat
demokrasi sudah berjalan di negeri ini.
Demoralisasi Demokrasi
Republik Weimar adalah satu fase
pemerintahan di Jerman yang berlangsung
tahun 1919 hingga 1930. Istilah Weimar
merujuk pada kota di mana konstitusi
tersebut dirumuskan. Konstitusi Weimar
adalah jawaban atas kehendak zaman yang
menginginkan lembaga legislatif memiliki
kewenangan luas untuk membatasi kuasa
kekaisaran. Berlakunya Republik Weimar
otomatis mengakhiri model kekaisaran,
berganti sistem parlementer yang
anggotanya dipilih warga. Persoalannya,
demokrasi Weimar ternyata tidak selaras
dengan keinginan warga. Pertama,
revolusi yang mengawali Republik Weimar
dianggap telah menusuk Jerman dari
belakang. Kala itu, mayoritas warga Jerman
tengah mempertaruhkan kebanggaannya
dalam Perang Dunia I. Ketika dua juta
rakyat Jerman masih berjajar di garis
pertempuran, pemerintah baru hasil
revolusi menginstruksikan mereka menarik
diri. Mereka pulang dengan amarah,
lantaran dipaksa menyerah sebelum
perang usai.
Kedua, penarikan mundur tentara
Jerman yang diikuti perjanjian Versailes
menyisakan beban berat. Mereka dipaksa
melepas banyak wilayah dan koloninya,
menanggung utang perang, disertai
larangan penggabungan Austria ke
wilayah Jerman. Singkat kata, demokrasi
yang tercapai melalui Revolusi November
1918 ini harus dibayar dengan ongkos
ekonomi dan politik yang sangat tinggi.
Hal itu berimbas pada ranah sosial berupa
kemiskinan dan pengangguran yang sangat
masif.
Saat itulah, warga merasa bahwa demokrasi
tidak memberi apa-apa. Mereka juga
menganggap konstitusi tak lebih dari secarik
kertas tak berharga. Jaminan kebebasan,
kesejahteraan, persatuan dan semua hal
baik yang tertera dianggap sekedar tulisan
yang tak pernah menjelma.
Bangsa Jerman akhirnya terbelah menjadi
dua kubu, pendukung demokrasi dan antidemokrasi. Saat itulah, seorang veteran
perang bernama Adolf Hitler melancarkan
kampanye politik secara massif. Dia
menganggap kelompok Liberal dan Marxis
yang mayoritas berbangsa Yahudi adalah
sumber segala persoalan Jerman.
Seiring krisis politik dan ekonomi yang
akut, Nazi memperoleh lonjakan suara
sangat drastis dalam Pemilu 1930. Mereka
meraup 25,8% suara, naik 11 kali lipat
dibanding Pemilu sebelumnya yang hanya
mencatat 2,3% suara. Kondisi itu menandai
dimulainya fase baru di Jerman, yaitu
Reich ketiga di bawah kepimpinan sang
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Fuhrer, Adolf Hittler dan Partai Nazinya.
Tumbangnya Republik Weimar turut dipicu
gelombang Malaise 1929 yang memaksa
Kanselor Bruning memotong dana sosial,
termasuk asuransi pengangguran sehingga
turut menambah beban klas pekerja.
Akibatnya klas pekerja dan klas menengah
mengalihkan
dukungannya
kepada
golongan ekstrim kanan. Kanselor Bruning
resmi mengundurkan diri pada 30 Mei
1932.
Rezim yang Abai Konstitusi
Saat ini, Indonesia telah mencapai tata
negara yang sarat dengan corak demokrasi.
Meskipun begitu, sayup terdengar suarasuara tidak puas. Suara itu terdengar di
kolong-kolong jembatan, pasar tradisional,
trotoar yang sesak hingga lahan-lahan
pertanian yang sempit dan tergusur.
Empat kali amandemen konstitusi
tampaknya belum menjawab soal pasar
tradisional yang tergusur pusat-pusat
perbelanjaan. Kehidupan jalanan juga
tak terpengaruh oleh pemilihan presiden
secara langsung. Otonomi daerah pun
belum menghasilkan kesejahteraan petani
di desa-desa. Tenaga kasar hingga hari
ini masih terus diekspor dan tak jarang
berujung tragedi.
Para elit republik terlihat abai dengan
kenyataan itu. Mereka sibuk dengan
kepentingannya
masing-masing.
Mereka punya seribu satu dalih untuk
membenarkan
perilakunya,
bahkan
dengan mengatasnamakan demokrasi.
Padahal mereka juga yang merongrong
republik dengan perilaku korup. Semua itu
disempurnakan oleh penegakan hukum
tebang pilih.
Reformasi dan demokratisasi telah
menelan biaya besar. Kita sudah cukup
Referensi
22
berduka dengan tumbangnya para pejuang
reformasi. Sayang, di rezim demokratis ini
korban tetap saja bertambah. Bebeberapa
waktu yang lalu kita dibuat miris oleh
benturan warga dengan aparat di Mesuji
dan Bima. Kita juga menghela nafas
menyaksikan kecelakaan yang menelan
puluhan korban dalam tempo relatif
pendek. Semua itu hanya membuktikan
bahwa rezim demokratis ini belum mampu
mewujudkan esensinya. Warga belum
aman tinggal di republik ini.
Kita pun dipaksa memaklumi tragedi
heroik yang menyesakkan, ketika Sondang,
seorang mahasiswa membakar diri di
depan Istana Negara. Mahasiswa, yang
dulu menjadi penggerak reformasi, dipaksa
menelan kekecewaan ketika rezim saat ini
hanya sibuk memoles diri.
Semua itu belum termasuk ongkos ekonomi
yang harus dibayar. Undang-undang
Investasi, Pertambangan, Perkebunan,
dan masih banyak paket kebijakan lain
mengisyaratkan bahwa biaya stabilisasi
fiskal dan demokratisasi negeri ini sangatlah
mahal.
Di saat yang sama, ekonomi kecil dan
sektor informal yang pernah menjadi sekoci
penyelamat krisis masih tetap dicadangkan.
Mereka, bersama jutaan petani, buruh,
kaum
muda
dan
elemen-elemen
kebangsaan negeri ini sampai sekarang
harus bersabar menelan kekecewaan.
Kepemimpinan
di
Tengah
Demokrasi
Sejarah membuktikan bahwa demokrasi
melahirkan seorang Hitler, Obama,
ataupun SBY. Tentu kita berharap rakyat
yang penyabar ini tidak kecewa dengan
demokrasi yang telah menjadi konsensus
kebangsaan saat ini. Namun, mekanisme
23
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
demokrasi prosedural saja tidaklah cukup.
Lebih dari itu, demokrasi harus menjawab
kebutuhan mendasar warga. Mereka butuh
kehidupan yang tenteram, sejahtera,
berdaulat, bermartabat dan berkeadilan.
Tak pelak lagi, demokrasi tetap membutuhkan kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan,
demokrasi menjadi tanpa kejelasan arah
seperti saat ini. Namun bukan sembarang
kepemimpinan yang dibutuhkan. Kita
membutuhkan pemimpin yang “otentik”.
Pemimpin yang lahir dari sebuah dialektika
pergerakan yang dimulai dari bawah
hingga ke tahap ultima. Pemimpin yang
benar-benar ditempa oleh pengalaman
dan prestasi perjuangan politik. Pemimpin
yang benar-benar teruji oleh benturan
kanan-kiri romantika organisasi. Dan
pemimpin yang benar-benar memiliki
kapasitas sebagai organisatoris: orang yang
mampu membangun dan memberikan
arahan kemana organisasi akan menuju,
bukan orang yang tiba-tiba hadir sebagai
pemimpin karena dipoles.
Demokrasi prosedural hari ini terbukti
banyak gagal melahirkan pemimpin yang
dimaksud. Kejadian terakhir terkait kisruh
KPK dengan Polri adalah gambaran dari
kegagalan demokrasi Indonesia hari ini
melahirkan pemimpin yang otentik.
Hanya pemimpin yang otentik yang mampu
mengatasi masalah kebangsaan saat ini
dengan sebuah kepantasan sikap. Dia akan
memberi resolusi-resolusi tanpa banyak
bergantung dan berkompromi dengan
para kompetitornya. Dia akan memberikan
keteladanan sikap layaknya seorang
pemimpin. Dia tidak akan berkilah disaat
seharusnya dia bersikap; tidak akan lari
dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin;
tidak akan banyak berapologi atas suatu
permasalahan.
Tidak banyak orang yang memiliki kualifikasi
kepemimpinan otentik saat ini. Mereka
yang memiliki elektabilitas tinggi dalam
survey bukanlah mereka yang memenuhi
kriteria-kriteria di atas. Kebanyakan mereka
adalah para tokoh yang terangkat karena
popularitasnya di media.
Keotentikan seorang pemimpin adalah
semacam antitesa dari kegelisahan bangsa
Indonesia terhadap pemimpinnya. Sebab
seorang pemimpin yang otentik haruslah
bersih dari cacat politik masa silam agar
tidak tersandera oleh para kompetitornya.
Dia juga harus berpendirian inklusif dan
berkarakter kebangsaan, bukan diktatorial
dan pengabai konstitusi sebagaimana
Hitler. Sebaliknya, kekuatannya akan
digunakan untuk mengemban konstitusi
sesuai kepentingan rakyat. Inilah harapan
dari demokrasi yang sesungguhnya.
Godaan bagi demokrasi yang limbung
adalah fasisme. Fasisme hanya bisa
dikalahkan oleh kekuatan rakyat yang
terdidik, terpimpin, dan terorganisir karena
mangsa empuk bagi fasisme adalah kaum
tak terpelajar yang mudah dimobilisir.
Ekspresi fasisme paling nyata adalah ia
selalu meninggikan kekerasan, perang, dan
militerisme. Dengan demikian, krisis sosial
adalah lahan subur baginya.
Hanya kepemimpinan yang otentik
dan amanah terhadap konstitusi yang
mampu
menyelamatkan
demokrasi.
Pemimpin lemah dan peragu hanya akan
memperburuk wajah demokrasi. Dia
akan terus tersandera kepentingan politik
kompetitornya, sehingga gagal melayani
rakyatnya. Jika kondisi ini terus berjalan,
bukan tak mungkin kegagalan Republik
Weimar akan terulang di negeri ini.
kolom
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Referensi
24
Bertapa
Di Ujung Pedang
Laku seorang pemimpin acapkali bukanlah laku yang
populer. Dipandang sebelah mata bahkan dicemooh.
Sastrodarsono dalam cerita roman Para Priyayi karya Umar
Kayam juga bukan tipikal pemimpin yang mendapatkan
tepukan tangan bergemuruh ketika memilih jalan sepi untuk
tidak mau tunduk begitu saja pada Jepang. Sastrodarsono
yang pada pesta pernikahannya menggelar wayang kulit
semalam suntuk dengan lakon Sumantri Ngenger, hanyalah
anak petani yang mampu meniti tangga kepriyayian. Tangga
ksatria yang diperhalus.
Willy Aditya
Direktur Eksekutif
Populis Institute
Pilihan Sepi
Sumantri, satu dari tiga tokoh wayang dalam Serat Tripama
yang menurut Mangkunegara IV adalah ksatria yang patut
ditiru. Sumantri adalah anak pendeta yang mengabdi pada
raja besar bernama Arjunasasrabahu. Dua tokoh wayang lagi
adalah Kumbakarna dan Prabu Karna. Kumbakarna hidup
pada masa Ramayana, adik dari Prabu Dasamuka, lawan
dari Prabu Rama. Kumbakarna rela mati berhadapan dengan
Rama untuk membela negaranya. Tokoh ketiga, Prabu Karna
hidup pada masa Mahabarata. Sebagai saudara tiri Pandawa,
Karna lebih memilih berada di sisi Kurawa yang selama ini
memberikan penghidupan dan derajat padanya.
25
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Ketiganya, walaupun oleh Mangkunegara
IV dijadikan prototype ksatria yang ideal,
tapi mereka bukan tokoh yang populer.
Jalan mereka jalan sepi, yang (kadang)
dihindari banyak orang. Sumantri misalnya
walaupun mempunyai kehebatan yang
luar biasa, karena bahkan konon bisa
memindahkan Sriwedari taman milik dewa
untuk istri rajanya, tapi dia bukan apaapa bila dibandingkan Arjunasasrabahu.
Kumbakarna yang kesaktiannya luar biasa,
tetapi dia tidak lebih populer dibandingkan
Gunawan Wibisono –adiknya—yang lebih
memilih ikut Prabu Rama. Pun Prabu
Karna yang kemahiran panahnya setanding
dengan Arjuna, tapi daya pikatnya bagi
banyak orang kurang besar dibandingkan
dengan Arjuna.
Tiga cerita ksatria ini adalah cerita yang
sepi. Tidak ada yang bertepuk tangan
atau bersorak sorai ketika tokoh-tokoh
ini keluar dalam sebuah lakon. Sumantri
mengalami kesepian yang luar biasa ketika
pilihannya mengabdi sebagai patih pada
Arjunasasrabahu musti memisahkannya
dengan adiknya yang sangat dicintainya.
Bahkan untuk pengabdiannya, tanpa
sengaja
dia
membunuh
adiknya.
Kumbakarna juga secara persis tahu bahwa
Dasamuka, kakaknya, adalah yang bersalah
dalam hal penculikan Dewi Shinta, istri
Rama. Tapi baginya ketika pasukan Rama
memasuki negara Alengka maka, dia harus
membela negaranya. Dalam cara pandang
hitam putih: benar dan salah, jalan yang
sama juga ditempuh Karna. Secara persis
Karna tahu bahwa Pandawa-lah yang
berhak atas kerajaan Astina.
Indonesia masa kini semakin dibanjiri
oleh mereka yang rindu tepuk-tangan dan
sorak-sorai. Jalan sepi sebagai pilihan atas
prinsip yang kuat dan teguh jarang didapat.
Pemimpin yang ditemui lebih memilih
mengayunkan pedang dalam gempita
perang, lengkap dengan keinginannya
untuk
menghabisi
lawan-lawannya.
Dengan demikian, maka kemenanganlah
tujuan akhirnya. Secara mendasar tentu
ini berseberangan dengan jalan yang
menempatkan
kemenangan
sebagai
godaan, sehingga pilihan sepi dengan
menyimpan pedang sebagai pilhan terakhir
adalah kebijakan dari nilai seorang ksatria.
Pilihan untuk tidak tergoda pada jalan
pedang atau terancam oleh pedang
inilah yang selama ini jarang ditemui
di ranah ke-Indonesiaan. Tidak bisa
dibandingkan dengan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono misalnya, karena di
tangannya sebenarnya telah ada pedang
itu. Baginya pilihan yang terbaik adalah
menggunakannya untuk memastikan
kehadiran seorang pengayom dan
pemelihara di tengah-tengah masyarakat.
Pedang ini mustinya tidak tumpul ke atas
tapi tajam ke bawah. Pemimpin di luar SBY
inilah sebenarnya yang dicari oleh rakyat.,
yaitu mereka yang memilih jalan bertapa di
ujung pedang.
Beberapa nama yang muncul ke luar
dengan keterkenalan dan daya pikat luar
biasa bagi rakyat terkadang bukanlah
pemimpin yang tepat untuk menghadirkan
keteladanan. Karena keberadaannya
sebagai ‘pemimpin’ juga bukan berada di
jalan yang berbeda dengan yang sudah ada.
Seperti Sumantri dalam Arjunasasrabahu,
maka keberadaan Sumantri bukanlah
untuk meniadakan rajanya. Semestinya
adalah menambal segala kekurangan dari
pilihan-pilihan kebijaksanaan raja. Bahasa
populer menyebutnya sebagai kebijakan
alternatif.
Pemimpin dengan kebijakan alternatif
tentunya akan melakukan banyak aktivitas
Volume III Nomor 1 Juni 2012
alternatif yang mampu mendorong
banyak orang mempunyai perubahan pola
perilaku. Pola perilaku yang dilahirkan
sebagai keteladanan inilah yang kemudian
tidak hanya berhenti dalam ucapan.
Tindakan nyata pemimpin merupakan
pilihan bagi mereka untuk memberi
keteladanan pada rakyat. Heywood (2002)
menjelaskan pemimpin sebagai pola
perilaku, kepemimpinan adalah pengaruh
yang diberikan oleh seorang individu atau
kelompok pada organisasi yang lebih besar
untuk mengatur atau mengarahkan upaya
ke arah pencapaian tujuan.
Menginventarisir daftar tokoh Indonesia
saat ini misalnya Prabowo Subianto yang
tingkat popularitas dan keterpilihannya
paling tinggi saat ini (17%). Tentu saja
akan demikian, karena nama tokoh ini
bukan muncul tiba-tiba. Sebagai seorang
yang berasal dari lapis atas negeri ini,
nama Prabowo sudah berkibar sejak Orde
Baru. Bahkan sebagai menantu Soeharto
pada waktu itu, kans Prabowo untuk
menggantikan Soeharto sangat besar.
Rakyat melihat itu secara nyata dan jelas.
Namun sejarah berkata lain, Prabowo
sampai saat ini belum mampu meraih kursi
kepresidenan.
Jika diibaratkan tiga tokoh dalam Serat
Tripama di atas maka Prabowo hampir
Referensi
26
pasti tidak masuk dalam salah satu kategori
pun. Pertama, terlepas dari kesalahan yang
diidap dalam rezim Soeharto kesetiaan tentu
menjadi modal utama seorang pemimpin.
Prabowo tidak mempunyai kesetiaan sama
seperti yang ditunjukkan Sumantri dan
Prabu Karna. Kedua, semangat berjuang
Prabowo bukanlah di saat kejatuhan
negeri ini. Ini terlihat setelah Soeharto
turun hingga masa reformasi kiprah
Prabowo sangat senyap. Prabowo muncul
kembali pada Konvensi Golkar tahun
2004. Kekalahan dalam konvensi itulah
yang kemudian membuatnya mendirikan
Partai Gerindra pada 12 Juli 2008. Merujuk
kembali Tripama, kemunculan Kumbakarna
membela negaranya adalah pada saat
Alengka dalam kondisi paling buruk. Namun
Kumbakarna tetap maju ke medan perang
dengan kesadaran bahwa dia akan kalah.
Keberadaan Prabowo dapat dibandingkan
dengan tokoh yang sama sekali tidak
populer: Surya Paloh. Mulai dari tahun
1969 Surya Paloh telah berkarir di Golkar.
Karir politik Surya Paloh juga tidak tibatiba sudah di atas, tetapi merangkak
dari bawah. Sebagai seorang yang tidak
mempunyai darah biru dalam trah politik
Indonesia, peran Surya Paloh tidak dapat
dipandang sebelah mata. Setelah kalah
dalam pemilihan Ketua Umum Partai
Golkar, Surya Paloh tidak undur diri. Alih-
27
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
alih mendirikan partai politik baru, Surya
Paloh lebih memilih mendirikan ormas
Nasional Demokrat.
Ormas ini lebih banyak membangun
alternatif perilaku politik untuk mengubah
kondisi sosial masyarakat. Kegiatan sosialekonomi lebih banyak dilakukan, tanpa
mengecilkan kegiatan politiknya. Hingga
ketika kader ormas Nasdem mendirikan
Partai Nasdem, Surya Paloh masih bertahan
di Partai Golkar. Kepergiannya dari Partai
Golkar lebih disebabkan karena ketiadaan
ruang demokrasi yang diberikan padanya.
Dapat dikatakan kepergian Surya Paloh
bukan karena tidak mendapat posisi atau
jabatan tetapi lebih karena pilihan artikulasi
politik lebih luas tersedia di tempat lain.
Prabu Rama pada Gunawan Wibisono –adik
Rahwana—ketika diangkat menjadi raja
setelah Rahwana kalah perang. Delapan
ajaran Sri Rama pada Wibisana ini terdapat
dalam Serat Rama Jarwa Macapat dan
Ramayana Kakawin Jawa Kuna.
Tokoh ini bukan tipikal orang yang rindu
sorak-sorai dan tepuk tangan. Pilihanpilihan sikapnya sama sekali tidak
mengundang popularitas. Pilihan-pilihan
program politiknya pun bukan yang
bombastis, tetapi lebih realistis, layak,
dan sesuai dengan kebutuhan mendesak
rakyat. Tawaran janjinya memang biasa
saja, tapi tindakan di lapangan lebih dari
yang terlihat. Kesigapan ormas, sayap
pemuda, organisasi mahasiswa, dan
sebagainya menunjukkan kualitas Surya
Paloh memang lebih pada mengubah pola
perilaku mereka yang dipimpinnya untuk
tujuan organisasinya. Surya Paloh, secara
sikap mempunyai kesamaan dengan sikap
Kumbakarna dan Prabu Karna: sudah tahu
akan ‘kalah’ tapi tetap berdarma bhakti.
Seorang pemimpin harus
mempunyai watak seperti Dewa
Indra. Pemimpin dengan watak
ini diharuskan tidak mempunyai
kecenderungan melakukan
diskriminasi. Memimpin dengan
memperlakukan secara sama
terhadap semua orang, tidak
memandang pangkat dan
jabatan. Watak kedua yang
harus dimiliki oleh pemimpin
adalah watak Dewa Yama. Dewa
ini menjadi simbol memberantas
segala angkara murka di dunia.
Pemimpin walaupun acapkali
musti menggunakan pedangnya,
tetapi harus mempunyai
watak Dewa Surya. Dewa
ini merupakan perlambang
kesabaran pemimpin dalam
mencapai cita-cita dan tidak
harus dengan marah-marah
untuk memberikan perintah.
Asthabrata: Delapan yang Menjadi
Satu
Dalam konsep yang lain tentang pemimpin,
epos Ramayana melahirkan gagasan
tentang pemimpin yang dikenal dengan
Asthabrata. Asthabrata adalah ajaran
Watak keempat yang harus dimiliki seorang
pemimpin adalah watak Dewa Candra.
Dewa ini merupakan dewa yang tulus,
ramah, pemaaf, dan rendah hati dalam
memelihara dunia. Selain itu pemimpin
juga harus memiliki kepedulian terutama
kesejahteraan rakyatnya sehingga mudah
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Referensi
28
bagi pasang-surutnya program organisasi.
Komitmen walaupun harus dijaga oleh
suara pemimpin (tone at the top) tetapi
jika terlembaga maka akan menjadi budaya
bagi individu.
memberdayakan kemampuan rakyatnya.
Inilah watak kelima seorang pemimpin,
yaitu Dewa Bayu. Pemimpin juga harus
mempuyai keteguhan untuk bersikap jujur,
suka menolong, mempunyai komitmen
terhadap peraturan. Watak keenam ini
adalah watak Dewa Kuwera. Pemimpin juga
harus mempunyai watak mau dan berani
mengubah hal yang buruk menjadi baik
sebagai watak ketujuh yaitu watak Dewa
Baruna. Tentunya semua watak ini akan
semakin lengkap jika seorang pemimpin
mempunyai semangat juang tinggi seperti
watak Dewa Brama. Watak kedelapan ini
menjadi pengikat semuanya.
Delapan watak dewa inilah yang harus
melekat dalam diri seorang pemimpin.
Walaupun pemimpin tetap bukan seorang
dewa, kelemahannya bagaimanapun
tetap ada. Sehingga setiap program yang
dilahirkan seorang pemimpin bukanlah
karena
murah
hatinya
pemimpin
(benevolence), tetapi sebagai bagian dari
komitmen politik yang terlembagakan
dalam pola perilaku organisasi (negara).
Dengan demikian timbul-tenggelamnya
seorang pemimpin tidak menjadikan alasan
Untuk melihat apakah tokoh-tokoh yang
saat ini muncul di panggung politik Indonesia
sudah memiliki laku utama Asthabrata
atau tidak tentu tidak mudah. Semua
memang belum terbukti, tetapi setidaknya
secara sepintas kilas dapat dibaca. Mulai
dari tokoh terpopuler saat ini, Prabowo
Subianto. Sebagai tokoh besar, komitmen
untuk kesejahteraan rakyat dan semangat
juang Prabowo tidak dapat diragukan lagi.
Namun tokoh ini mempunyai kelemahaan
karena tidak mampu membangun sikap
rendah hati yang dimiliki Dewa Candra,
serta kurang sabar dalam mencapai citacita dan tidak marah dalam memberi
perintah selayaknya Dewa Surya.
Program-program kesejahteraan rakyat
yang menjadi program Prabowo Subianto
misalnya lebih cenderung terlihat sebagai
program kebaikan hati daripada komitmen
politik. Sikap politik yang cenderung berapiapi juga menjadi bagian yang tampak dari
sikap tidak sabarnya tokoh satu ini. Apalagi
dengan upayanya melakukan ‘kooptasi’
pada lembaga/organisasi lain seperti
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI),
Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia
(APPSI), dan sebagainya menunjukkan
tokoh ini mempunyai kecenderungan untuk
mengambil semua yang bisa diambil.
Tokoh kedua yang muncul di arena
politik dan mempunyai pengaruh besar
di Indonesia saat ini, bahkan secara resmi
telah mendeklarasikan diri sebagai calon
presiden adalah Aburizal Bakrie. Sebagai
pribadi tokoh ini mempunyai keberanian
dalam mengambil risiko. Namun yang
29
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
terlihat dari permukaan, tokoh ini masih
belum mempunyai watak Dewa Indra yang
tidak diskriminatif. Pengelolaan konflik
di tingkat organisasi yang dipimpinnya
saat ini, Partai Golkar, lebih cenderung
untuk menyingkirkan yang tidak sejalan
dengannya dibandingkan mengakomodir.
Keterburuannya dalam mencalonkan
diri sebagai calon presiden, bahkan
kemudian membuat berbagai rambu yang
memastikan pencalonannya tidak akan
goyah, memberi sinyal bahwa tokoh ini
sedemikian terburu-buru dalam mengejar
cita-citanya. Kelemahan lain tokoh ini
adalah kurang peduli pada kesejahteraan
rakyat seperti Dewa Bayu.
Tokoh ketiga, Surya Paloh muncul di arena
politik dengan kesabaran yang sangat tinggi.
Bahkan dengan kehadiran Partai Nasdem
pun, Surya Paloh tidak mempunyai kemauan
untuk terlalu sering muncul, apalagi dalam
sebuah iklan. Kepercayaannya pada tenagatenaga muda adalah komitmen untuk
membangun kemampuan orang-orang
yang dipimpinnya. Surya Paloh juga terlihat
mempunyai watak yang rendah hati dan
mampu masuk ke tengah-tengah rakyat.
Ini terlihat dengan longgarnya protokoler
dan penjagaan pada tokoh ini jika turun ke
bawah.
Komitmennya atas kesejahteraan rakyat
juga tidak saja muncul sebagai bagian dari
ambisinya dalam mengejar cita-cita. Secara
kasat mata terlihat pada lebih populernya
nama Nasdem dibandingkan dengan
nama Surya Paloh. Ini menjadi indikasi
bahwa segala program dan aktivitas yang
dilakukan Surya Paloh bukan semata
untuk kekuasaan. Apalagi jika dilihat dari
kesabaran Surya Paloh yang mulai dari
membangun karirnya di tingkat bawah
hingga akhirnya membangun ormas
Nasdem.
Dari tokoh-tokoh yang muncul di tengah
khalayak ramai terlihat bahwa kemampuan
menyatukan delapan hal dalam diri
seseorang tidaklah mudah. Tentu saja
karena kedelapan laku utama seorang
pemimpin bukanlah hal yang dapat
dipelajari lalu direplikasi.
Laku utama pemimpin adalah
kemampuan pemimpin
mendengarkan hatinya untuk
lebih mampu menyerap setiap
suara di luar dirinya. Sehebat
apapun pemimpin untuk
bersolek dengan citra gebyar
di media tetap tidak mampu
menutup lubang besar yang
menjadi watak ciri wanci ginawa
mati (watak ciri khas waktu
yang dibawa mati). Karena ini
hanya bisa didapat dari interaksi
langsung dengan rakyat.
Tiga Hal Terakhir
Sebagai konsep dan cara, kepemimpinan
bukanlah hal yang baku. Mengharapkan
konsep kepemimpinan berlaku sebagai
buku manual alat-alat elektronik atau
resep memasak adalah percuma. Karena
tidak akan pernah ada pemimpin yang
mampu sama persis dengan pemimpin
yang lain. Bahkan mereka yang menjaga
sirkulasi kepemimpinan dengan ikatan
darah secara turun-temurun pun tidak
akan mendapat pola kepemimpinan yang
sama dari waktu ke waktu. Tentu saja juga
seorang pemimpin tidak akan mampu
memberikan semangat yang sama pada
rakyatnya. Dan juga kepuasan. Namun ada
tiga hal penting yang ini pantas dipegang
seorang pemimpin.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Referensi
30
Sumber: http://3.bp.blogspot.com
Pertama, kawruh tan wonten malih (tidak
ada ilmu yang tidak berubah). Seorang
pemimpin tentu tidak hanya mengandalkan
kepintaran atau kecerdasan tetapi juga
kemampuannya menerima ilmu (hal) baru
yang mungkin saja berbeda dengan apa
yang selama diyakini. Tentu ini sangat
sulit bagi pemimpin sekarang, karena toh
sebagian besar dari pemimpin kita lebih
setia membela kebenaran kelompoknya
daripada menerima ilmu-ilmu baru dari
luar kelompoknya.
Kedua, pangruwating barang sakalir
(membebaskan diri dari hal-hal yang sepele).
Persoalan ini tidak semudah membacanya.
Dalam konsep Jawa, hal-hal sepele itulah
yang kadang menimbulkan petaka. Sepele
ini hal kecil, kadang sungguh-sungguh tidak
bermakna dan berarti tetapi itu petaka
bagi orang tertentu. Hal sepele ini bagi
tiap orang berbeda, begitu pula bagi tiap
pemimpin.
Terakhir dari tiga hal yang penting bagi
pemimpin adalah ngelmu wewadining bumi
kang sinengker Hyang Jagad pretingkah.
Pemimpin harus mampu membaca rahasia
bumi alam semesta ciptaan dari Tuhan.
Kemampuan seorang pemimpin dalam
hal ini juga berarti kemampuan membaca
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya bangsa
negaranya. Tanpa ini, seorang pemimpin
hanya menjalankan apa yang dipikirkannya
saja.
Menjadi pemimpin tidak hanya
persoalan menjadi dikenal
dan mampu tampil di banyak
panggung. Pemimpin adalah
konsep keberanian untuk sepi di
tengah keramaian.
Bahkan pemimpin harus mampu bertapa
di ujung pedang: sanggup menyarungkan
pedangnya sekaligus berani bersikap teguh
atas sikapnya walaupun di bawah ancaman
ujung pedang. Silahkan! []
Referensi
KO
31
Volume III Nomor 1 Juni 2012
LO
M
Tantangan
Kepemimpinan Politik
Kita
It is better to lead from behind and to put others in
front, especially when you celebrate victory when nice
things occur. You take the front line when there is
danger. Then people will appreciate your leadership.
NELSON MANDELA
M Alfan Alfian
Direktur Riset The Akbar
Tandjung Institute dan Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta
KEPEMIMPINAN merupakan sesuatu yang abstrak,
walaupun dapat diturunkan ke soal-soal teknisnya.
Sebagaimana saya kutip dari mantan presiden
Amerika Serikat, yang karena tersandung skandal
Watergate kemudian terjungkal dari kekuasaannya:
Nixon mengundurkan diri, dalam buku saya
–mungkin satu-satunya buku yang berkonsentrasi
tema kepemimpinan politik sebagai bacaan umum
di Indonesia sejak era Reformasi, karena yang lazim
adalah tema-tema kepemimpinan bisnis– “Menjadi
Pemimpin Politik”, pemimpin adalah puisi. Otoritas
penerbit, melalui seseorang yang membaca naskah
saya, tetapi bukan editornya, mengatakan kepada
saya, tepatnya menanyakan pendapat saya, apakah
saya setuju dengan yang dikutip Nixon itu.
Sumber: http://1.bp.blogspot.com
Kembali Ke Kedalaman:
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Kalau saya setuju, katanya, dia khawatir
kelak pembaca akan menilai bahwa saya
sebagai pengarang tidak punya pendapat
sendiri. Mula-mula saya setuju sepenuhnya
dengan Nixon, justru karena nuansa
“pemimpin adalah puisi”, pemimpin yang
abstrak yang visioner saya bayangkan, ialah
mendekati pemahaman soal kepemimpinan
politik. Tetapi, kemudian, dan ini yang lantas
berubah dalam pendapat saya, pemimpin
adalah puisi, tetapi juga tidak berarti puisi
sama sekali, pemimpin juga punya gradasi
teknikal sampai ke prosa.
Kemudian, saya bayangkan bahwa puisi
itu ekstrem yang satu, prosa ekstrem
yang lain. Pemimpin politik bukan sekedar
manajer perusahaan, karena gradasinya
yang mendekati puisi. Pemimpin politik
yang terlalu teknis, sering terjebak pada
jalan yang sebetulnya itu bukan jalan yang
tepat dalam mengelola sebuah organisasi
politik. Meskipun banyak prinsip-prinsip
yang sama, Peter F. Drucker mengajak
kita untuk mencermati betul bahwa
betapapun demikian, karakter organisasi
politik itu non-profit, yang logika dan aksi
pengelolaannya berbeda dengan organisasi
bisnis atau profit.
Benang merah yang membedakannya,
antara lain derajat kesukarelaan: orangorang sukarela dalam organisasi nonprofit tentu karena ada faktor di seberang
motivasi material, dan manakala organisasi
itu organisasi politik, struktur insentifnya
adalah kekuasaan. Adapun kekuasaan,
apakah ia sesungguhnya, telah banyak
dibahas oleh para sosiolog, dan tentu ia
tidak semata-mata berurusan dengan
materi, tetapi pengaruh. Materi hanyalah
alat untuk memainkan pengaruh. Ini baru
pengertian yang paling sederhana: ketika
kekuasaan, pengaruh itu membentang dari
pola dominasi ke hegemoni.
Referensi
32
Politik hampir nyaris selalu berurusan
dengan kekuasaan, gradasinya dari yang
filosofis ke yang teknis. Yang filosofis diisi
dengan berbagai pandangan tentang
yang baik-baik, yang netral dan yang
tidak baik-baik tentang politik. Seorang
budayawan berpendapat, ibarat, katakan
mal, politik itu berpintu satu: masuk dan
keluarnya cuma dari satu. Ada juga yang
bilang, politik itu bagaikan kacamata
kuda, melihatnya harus ke depan, tidak
boleh ke mana-mana. Satu perspektif: one
dimensional man. Kebudayaan itu berpintu
banyak: masuknya bisa dari mana-mana.
Bahkan dalam kebudayaan terdapat pintu
politik. Tetapi, politik seringkali kaku
sekali untuk tidak mempertimbangkan
aspek kebudayaan yang lebih luas, kecuali
kepentingan. Tetapi, saya membayangkan
bahwa sesungguhnya politik pun bisa
berpintu banyak. Memang tidak seluwes
kebudayaan ketika politik suka menggiring
ke pilihan-pilihan dilematis: kepentingan
mana yang lebih optimal, dan pada akhirnya
politik semata-mata realistis, dimana
Logika-logika
Demokrasi
Elektoral
Demokrasi elektoral memberi legitimasi
bagi hadirnya para politisi terpilih yang
memiliki kewenangan dan fungsi-fungsi
penting dalam kebijakan publik. Kalau kita
membahas soal perkataan bahwa demokrasi
membutuhkan partai, atau mustahil
demokrasi tanpa partai, maka konteksnya
adalah prosedural. Yakni, bagaimana
demokrasi ditekniskan sedemikian rupa
ke hal-hal seperti bagaimana proses
pencalonan dan pemilihan. Demokrasi
politik, akhirnya bisa sangat identik dengan
persoalan-persoalan elektoral.
Karenanya bisa segera dipahami, manakala
demokrasi tidak dapat memuaskan semua
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sumber: http://www.newcivilisation.com
33
orang. Ketika partai kita tidak lolos seleksi
KPU misalnya, tentu kita akan sangat
kecewa. Kita akan segera mempersoalkan
aturan proseduralnya yang kita sebut
membatasi kedaulatan rakyat, mengebiri
demokrasi substansial dan sebagainya.
Keluhan kita juga berkembang ke soal
pragmatisme, bahwa yang banyak dananya,
akan cepat berkonsolidasi, yang bermodal
tipis akan banyak kesulitan. Kita akan banyak
mengeluhkan sistem yang tidak berpihak
ke partai kecil dan menguntungkan partai
besar, walaupun partai besar pun terkesan
kelabakan juga dengan pengabulan judicial
review Mahkamah Konstitusi, bahwa
semua partai harus diverifikasi ulang.
Betapapun demikian, pelajaran dari tidak
lolosnya sejumlah partai dalam seleksi
administrasi awal KPU ialah bahwa
prosedur memang tidak dapat disepelekan.
Demokrasi memerlukan tertib prosedural.
Demokrasi membutuhkan kesiapan dan
dukungan. Kedaulatan rakyat yang abstrak
perlu ditekniskan. Tidak ada yang sempurna
dalam sistem kepartaian di manapun,
karena pasti tetap meninggalkan keluhankeluhannya dari mereka yang merasa
dirugikan.
Misalnya di Turki. Tahukah Anda bahwa di
sana parliamentary threshold-nya paling
tinggi sedunia? Tiga setengah persen?
Tidak. Lima persen? Juga tidak. Tetapi,
tidak tanggung-tanggung, yakni sepuluh
persen. Belakangan ini Uni Eropa mendesak
agar ketentuan itu diturunkan, karena
dianggap terlalu tinggi. Tetapi, Recep
Tayyip Erdogan pemimpin Partai Keadilan
dan Pembangunan (AKP), sebuah partai
Muslim-demokrat yang berkuasa dengan
perolehan suara pada Pemilu 2011, 49%
menolak. Bagaimanapun partai ini sangat
diuntungkan dengan ketentuan itu. Tetapi,
ini ada kaitan politis dengan pengalaman
sebelumnya bahwa kekuatan politik
sekuler-Kemalislah yang menghendaki
angka ambang batas itu.
Soner Cagaptay, pengamat politik Turki,
Volume III Nomor 1 Juni 2012
mencatat bahwa dulu ketentuan itu dipakai
untuk membendung arus politik Kurdi, agar
setiap partai politik yang mereka dirikan
tidak akan punya representasi di parlemen.
Kita tahu bahwa Turki masih punya soal
dengan Kurdi, etnis minoritas yang oleh
kalangan sekuler-kemalis menjadi ancaman
nyata sejak perlawanan Syeh Said 1925.
Tetapi, di sisi lain sistem pemilu legislatif
Turki, membuka kesempatan bagi caloncalon independen. Karenanya, banyak
politisi Kurdi atau yang tak tertampung
di partai, mencalonkan diri. Memang
jumlahnya tidak terlampau besar, calon
independen yang berhasil duduk di
parlemen. Tetapi, setidaknya ada ruang atau
celah bagi yang nonpartai. Sementara itu,
berbeda dengan kita, pemilihan presiden
justru tidak dilakukan secara langsung,
tetapi melalui parlemen. Partai mayoritas
di parlemen selalu memiliki peluang
paling besar dalam menelorkan presiden.
Abdullah Gul, misalnya, walaupun ditolak
oleh demonstran sekuler-Kemalis dan
militer di luar parlemen pada Pilpres 2007,
terpilih juga akhirnya. Ini karena, pascapemilu legislatif 2007, jumlah kursinya
di parlemen sudah lebih dari mencukupi
untuk memilih Gul sebagai presiden baru
setelah berkali-kali buntu.
Kita juga mencatat, bahwa tidak semua
partai di Turki langgeng. Coba bayangkan,
AKP yang berkuasa sekarang adalah partai
baru ketika ia memenangkan Pemilu 2002.
Partai-partai lama terpental, dan hanya
menyisakan satu partai oposisi ketika
itu, Partai Rakyat Republik (CHP) partai
warisan Kemal Ataturk. Di Indonesia,
kita juga mencatat fenomena Partai
Demokrat. Ia partai baru ketika kemudian
calon presidennya terpilih pada 2004, dan
bertahan hingga kini atau dua periode. Partai
ini sekarang merupakan partai terbesar.
Referensi
34
Belajar dari AKP dan Partai Demokrat, maka
sesungguhnya, demokrasi prosedural tidak
dapat sepenuhnya disalahkan. Semua tokoh
bisa mempersiapkan diri, menghimpun diri,
dan membuat partai baru. Asal siap dan
sungguh-sungguh, maka boleh jadi jalannya
akan mulus, dan berpeluang mengagetkan
untuk menang pemilu, manakala rakyat
menghendaki.
Selain para politisi harus paham paham akan
proses dan konseuensi prosedural dalam
demokrasi politik, saya mencatat beberapa
logika demokrasi elektoral, sebagai
berikut: (1) kompetisi satu orang satu
suara (one man one vote); (2) demokrasi
kuantitatif
menyingkirkan
deliberasi
alias berisiko meminggirkan kualitas
pendapat dan memenangkan mayoritas;
(3) institusionalisasi yang justru ditopang
oleh mobilisasi pragmatis; (4) perlunya
kharisma asli dan buatan: pentingnya
vote getter (penarik suara). Anda bisa
langsung menguraikan sendiri empat hal
itu, dan bisa menambahkan yang lain.
Intinya, barangsiapa yang mampu memikat
dukungan sebanyak-banyaknya, maka dia
akan lolos sebagai politisi terpilih.
Bagaimana
Kalau
Kita
Beli
Politik?
Kita sering resah dalam menghadapi
realitas, dan pemimpin politik sering lebih
memilih pendekatan-pendekatan yang
menonjolkan aspek-aspek permukaan
yang mendegradasi demokrasi ketimbang
kedalaman yang mengokohkan demokrasi.
Aspek-aspek itu, antara lain: pencitraan
dan idolisasi politik yang menekankan
pentingnya bedak dan gincu dalam
membangun persepsi; penyembulan
pendekatan pragmatisme-transaksional;
deideologisasi;
deintelektualisasi;
kekerasan dan kepurbakalaan; alienasi dan
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sumber: http://www.archive-ilr.com
35
kapalsuan kekuasaan; dan faksionalisme,
bahkan bosisme dalam dinamika konflik
dan konsensus pragmatis.
Dalam hal ini, perlu kita baca lagi tulisan
saya di Harian Seputar Indonesia (13/9/12)
yang berjudul “Demokrasi Komikal Kita”.
Dalam tulisan itu saya hendak menyentil
soal, betapa aspek-aspek permukaan inilah
yang dominan dalam praktik demokrasi
politik kita. Saya mengutip Novelis Umberto
Eco bahwa, “sebuah peradaban demokrasi
akan menyelamatkan dirinya sendiri hanya
jika ia membuat bahasa gambar menjadi
stimulus bagi refleksi kritis, bukan undangan
untuk hipnosis”. Saya refleksikan ujaran itu
pada komik-komik R.A. Kosasih dan politik
kita.
Kosasih melaui komik-komiknya
telah meninggalkan kita bahasa gambar.
Mungkin Anda akan segera sepakat dengan
saya ketika membaca komik-komik itu,
kita tidak akan terhipnotis oleh gambargambarnya, melainkan segera keluar dari
benak kita refleksi-refleksi kritis. Misalnya,
ketika komik Mahabharata atau Ramayana
Kosasih kita baca ulang, tokoh-tokohnya
segera menyembul keluar dari panel yang
membatasinya, dan hadir dalam kehidupan
politik aktual kita.
Tak berlebihan kiranya, manakala komikkomik Kosasih itu, meminjam ujaran
Novelis Umberto Eco di atas, memicu
penyelamatan peradaban demokrasi.
Dari komik-komiknya, sesungguhnya kita
belajar ketokohan, sifat kepahlawanan
versus kejahatan, kepantasan versus
keserakahan. Dan sadar tidak kita bahwa
ikonografi tokoh-tokoh yang menyembul
dalam komik-komik itu gambaran dari
wajah kepolitikan kita? Refleksi kritis
mengemuka, misalnya ketika kita bertanya
siapa yang cocok jadi Sangkuni masa kini?
Ketika Gus Dur tempo dulu mengingatkan
kita pada tokoh Semar, maka apakah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tepat
apabila diidentikkan dengan Yudhistira?
Komik adalah jenis media untuk
menyampaikan pesan. Memang tidak
semua komik Anda klaim bermanfaat,
tetapi pembaca yang kritis akan berupaya
menangkap
hikmahnya.
Setidaknya
sejak dekade 1950-an, komikus-komikus
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Indonesia
berupaya
menampilkan
karakter-karakter tokoh universal yang
Indonsiawi. Misalnya, Sri Asih merupakan
upaya keras Kosasih menghadirkan tokoh
kita sendiri, walaupun terinspirasi komik
Barat. Penciptaan cita rasa Indonesia
penting tidak saja karena nasionalisme,
tetapi juga agar kita tidak lupa wajah
sendiri. Sebagaimana dicatat peneliti
komik Indonesia Marcel Bonef, alur cerita
komik-komik kita sejak 1950-an itu khas.
Satu sisi ada pihak yang didzalimi tokohtokoh jahat. Ada yang menjadi korban
kejahatan. Kemudian, hadir tokoh yang
tampil membela yang lemah. Tokoh ini
tidak sombong, penampilannya khas tapi
sederhana, dan yang terpenting, sakti
mandraguna. Ada beberapa tokoh rekaan
seperti Si Buta dari Gua Hantu dan Panji
Tengkorak, ada juga tokoh yang diambil
dari legenda yang pernah ada, seperti Si
Pitung atau Jampang dari Betawi.
Dari tokoh-tokoh itu, hadir suatu persepsi
umum bahwa kita butuh pemimpin yang
bisa menyelamatkan dari tekanan atau
kejahatan keadaan. Kita butuh tokoh yang
tulus tanpa pamrih, pahlawan pembela
kebenaran, yang tidak pernah membebani
rakyat, melainkan membebaskan rakyat
dari tekanan hidup. Karakter-karakter tokoh
komik wayang yang digambarkan Kosasih,
lebih kompleks lagi, tetapi prinsipnya sama.
Kita akan segera bisa tersambung dengan
tokoh yang pantas dan otentik sebagai
ksatria sejati, serta mana yang serakah alias
antagonis. Tidak semua tokoh protagonis itu
lurus-lurus saja kehebatannya, melainkan
penuh dengan ujian dan cobaan. Artinya,
tidak ada tokoh yang muncul seketika,
mendadak sakti tanpa sebab yang jelas.
Bahkan Gatutkaca pun perlu digembleng
di kawah Chandradimuka. Pendawa Lima
pun pernah kalah main judi, dan sebagai
Referensi
36
akibatnya mereka terusir dan terluntalunta. Para tokoh protagonis selalu sadar
akan harga diri, dan punya standar etika
yang konsisten ditaati.
Meskipun tertimpa berbagai ujian dan
cobaan, tokoh yang baik secara ikonografis
digambarkan sebagai yang lemah lembut
secara etika. Sebaliknya, yang jahat
berangasan, anarkhis dan dipenuhi dengan
nafsu kekuasaan yang tinggi untuk merebut
dan mempertahankannya dengan segala
cara. Misalnya Arjuna yang kstaria lemah
lembut itu, akan sangat kontras manakala
disandingkan dengan Raksasa Cakil atau
Terong. Yang tak kalah menarik lagi, baik di
sisi baik maupun jahat, terdapat komunitas
punakawan yang tugasnya mengingatkan
agar yang baik tidak terjerumus jahat, yang
jahat bisa menjadi baik. Hanya, komunitas
yang terakhir itu biasanya marjinal.
Dari situ saya hendak
mengatakan bahwa praktik
demokrasi politik kita
sesungguhnya hampir mirip
dengan kisah-kisah tokoh-tokoh
komik. Artinya, komik memberi
peluang reflektif. Dalam tradisi
demokrasi elektoral satu orang
satu suara, citra atau kekuatan
tokoh itu penting, maka dalam
menimbang pemimpin, ukuran
umumnya kewajaran dan
kepantasan. Karena syarat
untuk menjadi tokoh antagonis,
pertama-tama harus wajar dan
pantas. Di komik juga demikian.
Tokoh utama ialah yang
memang pantas dan otentik.
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Wayang
sering
terlampau
ekstrim
menggambarkannya
secara fisikal. Misalnya,
yang
protagonis
berdada bidang, yang
jahat bergigi taring.
Tetapi, bukan berarti
substansi terhilangkan.
Karena
logikanya,
simbol itu muara dari
etika dan isi. Yang
permukaan perwujudan
dari kedalaman. Semua
sudah melalui proses
panjang
kreativitas
para pujangga. Tapi masih bisa terjadi
pembalikan simbolik atau anomali, bahwa
tidak semua raksasa itu jahat. Tidak semua
kstaria berkumpul di kubu politik Pandawa
yang berhak atas kekuasaan. Ada banyak
ksatria pula di kubu Kurawa.
Kadang-kadang banyak absurditas yang
kita temui dalam kisah-kisah kepolitikan
kita, seperti juga dalam komik-komik.
Tetapi, era kejayaan komik-komik Kosasih
dan generasi sesudahnya, tampaknya
sudah sangat berlalu. Bahasa gambar
yang mendominasi kebudayaan populer
kita sekarang ialah sinetron-sinetron alias
opera-opera sabun yang lebih komikal dan
berpanjang-panjang. Absurditas-absurditas
dalam opera sabun, kemudian diringkas
dalam rumus yang oleh sementara
kalangan manjur diterapkan dalam alam
demokrasi elektoral, yakni semakin
terkesan terdzalimi, semakin populer dan
elektabel.
Bahasa gambar akhirnya sekedar mentok
pada sihir-sihir hipnotis, tanpa membuka
peluang yang lapang bagi publik untuk
berpikir kritis. Bahasa gambar itu
mempertontonkan adegan-adegan absurd
Sumber: http://www.archive-ilr.com
37
yang menyingkirkan kualifikasi dan proses.
Rumah yang mentereng, mobil yang
bagus-bagus, konflik kaum elite yang tak
menjangkau urusan nyata masyarakat,
jalan pintas pemecahan masalah, tampilantampilan hedonis dan boros, kata-kata yang
menggampangkan dan penuh dendam,
merupakan catatan-catatan kecil kita
ketika menonton opera-opera sabun yang
berbui-buih itu.
Demokrasi komikal kita penuh cerita,
tetapi sayangnya segera berujung pada
hipnotis, bukan kekritisan, justru karena
ia diasingkan. Bagaimana mungkin kita
bisa menikmati opera sabun dengan kritis,
manakala ia sengaja tidak memberikan
tempat pada kritisisme? Di alam nyata,
demokrasi komikal kita banyak yang
mengejawantah dalam ekspresi-ekspresi
menyanjung para patron masing-masing
alias Asal Bapak Senang (ABS). Atau,
wujud-wujud turunan yang sekedar
menyenangkan mitra kerja calon pejabat,
apakah capres, calon kepala daerah
ataukah caleg, melalui laporan-laporan
riset yang menghipnotis. Kalau semua saling
menghipnotis, dengan menyingkirkan
Volume III Nomor 1 Juni 2012
stimulus-stimulus bagi hadirnya refleksirefleksi kritis, maka barangkali benar kata
Umberto Eco di atas, peradaban demokrasi
kita akan kolaps. Karena, semua orang akan
berpikir bagaimana kalau kita beli politik,
berapa harganya? Kalau memang politik
butuh sihir-sihir alias hipnotis, kalkulasikan
berapa ongkosnya?
Barangkali itu puncak dari pendangkalan,
kalau bukan kekolapsan demokrasi. Karena,
rasionalitas kritis dilampaui oleh rasionalitas
jalan pintas dan manipulatif tersistem. Yang
terakhir itu disebabkan tidak diberikannya
ruangan bagi khalayak untuk kritis, atau
sengaja diciptakan penindasan kekritisan.
Padahal, sebagaimana Umberto Eco, yang
menyelamatkan peradaban demokrasi kita,
kalau begitu rasionalitas sebagai dasar dari
hadirnya sikap-sikap kritis. Dan, selama
bahasa-bahasa gambar atau simbol-simbol
itu tidak menjadi reflektor, melainkan
menghipnotis, demokrasi hanya akan
menjadi embel-embel bagi hadirnya tokoh
yang tidak otentik, tokoh seolah-olah, yang
kita pertanyakan kepemimpinannya.
Kembali ke Kedalaman
Tidak semua pemimpin politik mampu
menggaet legitimasi kuantitatif dalam
demokrasi elektoral melalui cara-cara yang
wajar. Upaya-upaya mereka, barangkali
banyak yang dilakukan secara tidak wajar.
Kalaupun pragmatisme-transaksional di
zaman kita sudah dipandang lazim, maka
yang tidak lazim ialah besarannya. Ongkos
yang kelewat mahal dalam demokrasi
elektoral tentu akan sangat membebani.
Tetapi, bagaimanapun, yang sudah telanjur
memanfaatkan ilmu-ilmu permukaan
untuk tampil sebagai politisi formal, maka
tugas dan tanggung jawab sejarahnya
tetap dituntut, yakni bagaimana ia mampu
mengembalikan semuanya ke kedalaman.
Referensi
38
Kedalaman demokrasi, berarti membaca
ulang substansi demokrasi itu sendiri
dan
memperjuangkannya.
Ialah
mengembalikan ke wilayah filosofis, ke
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dibatasi
oleh prosedural demokrasi. Karenanya,
kelas kepemimpinannya harus naik dari
sekedar kepemimpinan prosedural ke
kepemimpinan substansial, dari teknis ke
filosofis, dari semata-mata prosa ke puisi,
ialah kepemimpinan yang inklusif dan
deliberatif. Kepemimpinan yang mendekati
puisi, yang sadar bahwa ia harus memiliki
visi jangka panjang. Bukan politisi yang
mengejar jabatan demi kepentingan jangka
pendek dan sempit. Maka pastilah ia
negarawan. Kalau dalam tentara kelasnya
jenderal. Jenderal itu kelasnya filosof,
kebijakannya yang diperlukan dalam
memimpin pasukan. Jenderal itu pengatur
strategi, karena strategos itu sendiri
bermakna jenderal. Strategike episteme itu
bermakna kearifan jenderal.
Maka kelas kepemimpinan jenderal atau
pucuk pimpinan politik berkelas itu hanya
satu kata kearifan. Kearifan itulah ekspresi
dari kedalaman. Karenanya pemimpin itu
pada akhirnya motivator dan simbol yang
membangkitkan semuanya untuk bergerak
menggapai harapan. Pemimpin yang
arif juga otomatis berpikir menelorkan
pemimpin-pemimpin baru yang lebih arif
ketimbang dirinya. Ia hanya pelontar bagi
yang lain untuk juga bisa menjadi pemimpin
yang jauh lebih arif ketimbang dirinya.
Tetapi ia juga pelindung, manakala bahaya
mengancam, ia akan beridri di barisan
paling depan. Dan manakala kondisinya
membaik, ia akan surut ke belakang. Ujaran
Nelson Mandela di atas, mirip dengan Ki
Hajar Dewantoro, Tut Wuri Handayani.
Wallahua’lam.**
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
KO
39
LO
Mereka yang Memimpin
dengan Perjuangan
Taufiq Muhamad
Peneliti Populis Institute
The Follower Leadership
Sejarah selalu mencatat mereka yang menjadi pemimpin
besar. Alexander Agung, Musa, Isa, Muhammad,
Salahudin Al Ayubi, Gajah Mada, Lenin, Hitler, Abraham
Lincoln, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Soekarno,
Syahrir, hingga Megawati Soekarno Putri, Amin Rais,
Abdurrahman Wahid, dan nama-nama lainnya. Mereka
semua adalah para pemimpin yang telah diukir oleh
sejarah dengan pengaruh-pengaruhnya yang luar biasa
di kalangan komunitas masyarakat. Merekalah pemimpin
yang hingga kini masih disebut namanya dengan berbagai
pengaruhnya. Tidak semua mereka adalah pimpinan
tertinggi; tidak semua mereka adalah pemimpin formal.
Namun satu hal yang menyamakan mereka: mereka
begitu berpengaruh di kalangan pengikutnya.
Sumber: http://articles.economictimes.indiatimes.com
M
Wajah-Wajah Kepemimpinan
Referensi
40
Sumber: http://warriorshepherd.com
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sebagian dari mereka pengaruhnya
masih kuat hingga hari ini. Sebagian yang
lain hanya saat mereka hidup atau eksis
dalam aktifitasnya. Namun mereka semua
adalah para pemimpin yang benar-benar
berhasil memengaruhi sejumlah manusia
untuk menjadi pengikutnya. Merekalah
sebenar-benar pemimpin. Merekalah
para pemimpin yang memiliki kualifikasi
“follower leadership”.
Istilah follower leadership memang bukan
istilah yang populer. Ia tidak ada dalam
khasanah teori atau literatur-literatur
tentang kepemimpinan – setidaknya sejauh
yang penulis ketahui. Jika anda googling
pun, tidak akan keluar istilah ini. Paling
banter anda hanya akan menemui istilah
“followership” atau leader vs follower, dan
sejenisnya.
Secara sederhana istilah ini dibangun atas
dua hal: pertama, adanya pengaruh; dan
kedua, pengikut. Istilah follower leadership
muncul dalam sebuah diskusi kecil Referensi
tentang kepemimpinan. Dialektika ini
muncul dari pembacaan terhadap situasi
Indonesia mutakhir. Pemerintahan hasil
Reformasi ini ternyata menyisakan banyak
kegelisahan. Kegelisahan yang terutama
adalah soal kepemimpinan (leadership).
Tidak hanya dari pemerintahan yang ada
saat ini, melainkan dari perjalanan Reformasi
yang sudah 14 tahun berlangsung.
Soal ini dipandang penting karena
bagaimanapun pemimpin adalah nahkoda.
Presiden SBY adalah nahkoda dari perahu
besar bernama Indonesia yang tengah
mengarungi samudera yang tidak hanya
luas akan tetapi juga tengah dilanda badai
dan penuh dengan karang dan gelombang.
Bangsa ini mendambakan seorang nahkoda
yang memahami betul segala isi dan materi
pembangun sang perahu. Ini penting karena
bagaimana mungkin perahu akan bisa
mengarungi samudera jika nahkodanya
tidak paham betul soal kapal yang akan
dibawanya. Bisa-bisa ia karam di tengah
jalan atau mudah saja ia dibegal oleh
para perompak. Oleh karena itu, penting
untuk diperhatikan tentang kapasitas dan
kapabilitas seorang pemimpin, terutama
pemimpin negeri yang besar ini. Di sisi
lain, interaksi dengan dunia internasional
yang sudah sedemikian rupa, memaksa
pemimpin negeri ini untuk mau tidak mau
turut serta dan mampu memantaskan
diri untuk, tidak sekadar berkompetisi,
melainkan juga memulai kembali bermimpi
menjadi salah satu negara yang disegani
dunia.
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sumber: www.kabarindonesia.com
41
Mereka yang Memiliki Follower
Leadership
Mereka yang termasuk memiliki follower
leadership bukanlah mereka yang membayar
sejumlah massa untuk ikut bergabung
dalam organisasi atau demonstrasi. Bukan
juga mereka yang terkenal dan memiliki
tingkat elektabilitas yang tinggi. Orangorang yang dikategorikan memiliki follower
leadership adalah mereka yang mereka
yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
Setidaknya ada empat
parameter bagi mereka yang
masuk dalam kategori follower
leadership. Yang pertama adalah
adanya ideologi yang mandasari
sebuah perjuangan. Kedua,
adanya gerakan atau movement
yang dilakukan olehnya dalam
kerangka mencapai tujuan
yang ditetapkan. Ketiga,
adanya organisasi yang menjadi
instrumen gerakannya; dan
keempat, dia adalah seorang
organisatoris.
Masa Orba
Kita tidak menghitung para pemimpin masa
revolusi kemerdekaan atau masa Orde
Lama karena kita menilai masa tersebut
adalah masa dimana keempat kriteria di
atas adalah hal yang jamak. Masa tersebut
adalah masa yang justru menjadi rujukan
untuk menilai apakah seseorang di masa
sesudahnya layak untuk disebut pemimpin
atau tidak. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan
Malaka, HOS Cokro Aminoto, Agus Salim,
Karto Soewirjo, Sjarfrudin Prawiranegara,
dan sederet nama lainnya, adalah mereka
yang memenuhi semua kriteria dimaksud.
Ada beberapa nama yang termasuk dalam
kategori follower leadership di masa
Orde Baru. Mereka adalah Megawati
Soekarno Putri, Amien Rais, Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), Sri Bintang Pamungkas,
Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, dan
Mukhtar Pakpahan. Nama-nama tersebut
masuk dalam kategori dimaksud karena
mereka memiliki empat kriteria yang ada.
Lengkapnya seperti tertera dalam tabel di
bawah ini.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
No
Tokoh
1. Megawati
Soekarno
Putri
Ideologi
Organisasi
Marhaenisme Partai Demokrasi
Indonesia
Movement
Referensi
42
Organisatoris
Simbol perlawanan terhadap rezim
Orde Baru saat itu
Dia menghimpun kekuatan
Marhaen lewat PDI untuk
melawan hegemoni Orba.
Menghimpun kekuatan
intelektual dan nasional
dalam Muhammadiyah,
ICMI, dan Perhimpunan
Amanat Nasional yang
kemudian berubah
menjadi Partai Amanat
Nasional (PAN)
Menghimpun kekuatan
demokrasi lewat Fordem,
mendirikan Partai
Kebangkitan Bangsa
Membangun PUDI di masa
Orba dan masa Reformasi
2. Amien Rais Demokrasi
Muhammadiyah,
ICMI, PAN
Aktif mengampanyekan suksesi
nasional pertengahan tahun 90-an
3. Gus Dur
NU, Fordem
Aktif mengkampanyekan kehidupan
demokrasi di Indonesia
4. Sri Bintang Demokrasi
Pamungkas
PPP, Partai
Uni Demokrasi
Indonesia (PUDI)
5. Budiman Sosialisme
Sudjatmiko
Partai Rakyat
Demokratik (PRD)
6. Dita Indah Sosialisme
Sari
PRD, Pusat
Perjuangan Buruh
Indonesia (PPBI),
Front Nasional
Perjuangan Buruh
Indonesia (FNPBI)
Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia
(SBSI), Partai Buruh
Sosdem
Melawan tirani Orba dengan
mendirikan partai politik dan
mencalonkan diri sebagai presiden di
saat Orba melarangnya.
Melawan Orde Baru dengan aksi
Membangun dan
demonstrasi, kampanye, advokasi, dan menghimpun kekuatan
pendirian PRD
perlawanan progresif lewat
SMID dan PRD
PPBI adalah satu-satunya organisasi Tergabung dalam PRD,
buruh yang pada masa itu melakukan membangun PPBI, dan
demonstrasi menuntut kenaikan upah, mendirikan FNPBI.
penghidupan yang layak buat kaum
buruh dan penggulingan Soeharto
Tradisionalisme,
Demokrasi
7. Mukhtar
Sosialisme
Pakpahan
Mendirikan serikat buruh independen Mendirikan SBSI dan
pertama di Indonesia tahun ’92.
Partai Buruh Sosdem
Pernah ditahan Orba karena memimpin
demonstrasi buruh tahun ‘94.
Pasca Orba
Pasca Orde Baru nama-nama yang tertera
di atas tidak lagi menunjukkan aspekaspek yang masuk dalam kategori follower
leadership. Ketujuh nama tersebut tidak
lagi menunjukkan kapasitasnya sebagai
pemimpin yang memiliki empat kriteria
tersebut. Bahwa mereka tetap sebagai
pemimpin dan berorganisasi, itu ya!
Namun tidak terlihat lagi kriteria ideologi
dan terutama movement mereka setelah
terlibat secara langsung dalam arena politik
kenegaraan. Jikapun ada, itu adalah Gus Dur
saat menjadi presiden dengan beberapa
gebrakan dan manuvernya. Sayangnya,
itu tidak dibarengi dengan kejelasan
ideologi sebagai panduan movement-nya.
Selain Gus Dur, hampir tidak ada yang
melakukan gebrakan-gebrakan baru dalam
kapasitasnya sebagai pemimpin.
43
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Setelah masa Orba selesai, setidaknya ada tiga nama yang termasuk memiliki kapasitas
follower leadership. Mereka adalah Surya Paloh, Habib Rizieq, dan Akbar Tandjung. Di
bawah ini adalah tabel keterangannya.
No. Tokoh
Ideologi
Organisasi
Movement
Restorasi
Indonesia
Ormas Nasional
Demokrat, Partai
NasDem
Gerakan Perubahan
1
Surya Paloh
2
Habib Rizieq Syariah Islam Front Pembela
Islam (FPI), Forum
Umat Islam (FUI)
3
Akbar
Tandjung
Demokrasi
Golkar
Mengapa meraka?
Mengapa mereka? Mengapa nama-nama
seperti Jusuf Kalla, SBY, Prabowo, Aburizal
Bakrie, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Sultan
HB X, dan nama-nama besar lainnya tidak
termasuk? Tentu ini adalah pertanyaan
yang paling segera muncul setelah
mendapati paparan di atas.
Penjelasan sederhananya karena mereka
tidak lengkap memiliki empat kriteria di
atas. Jusuf Kalla memang punya kapasitas
seorang pemimpin. Siapa yang tak kenal
JK – panggilan akbrabnya – saat ini? Dia
pernah menjadi Ketua Umum Partai Golkar;
pernah menjabat sebagai wakil presiden;
dan sekarang menjadi Ketua Palang Merah
Indonesia (PMI). Aksi dan movement-nya
luar biasa. Perdamaian di Ambon dan Poso,
perdamaian di Aceh; semua orang tahu JK
ada dibelakangnya. Aksi terakhirnya yang
cukup banyak diketahui adalah bantuan
Organisatoris
Ya. Dia membangun
organisasi Nasional Demokrat
dan Partai NaDem sebagai
manifestasi dari visi gerakan
perubahan yang diusungnya
Habib membangun FPI dan
Aksi dan kampanye
penerapan syariat
FUI untuk sebagai wahana
Islam dengan slogan
berkumpulnya para habib
amar ma’ruf nahi
dan ulama yang sepakat
untuk perjuangan penerapan
munkar
praktek syariah Islam
Bertahan dan melawan Akbar Tandjung menjaga
Golkar tetap solid yang
gerakan anti Golkar
saat partai ini dituduh berubah menjadi Partai
Golkar dan berhasil menjadi
sebagai tulang
punggung Orde Baru
pemenang pada pemilu 2004
ke Rohingya, Burma. Namun sayangnya
JK tidak memiliki ideologi yang jelas.
Movement-nya pun tidak termasuk gerakan
yang didasari oleh hal yang ideologis
sifatnya. Aksinya tidak lain karena tugasnya
sebagai wapres atau ketua organisasi yang
dipimpinnya. Tidak mengherankan jika
tidak terlihat adanya pengikut disana.
Bahwa elektabilitasnya cukup tinggi
dan banyak yang mendukungnya untuk
menjadi capres 2014 mendatang, itu tidak
termasuk dalam kategori berpengikut. Itu
hanyalah ekspresi publik dalam memilih
siapa yang kiranya pantas untuk menjadi
seorang presiden atau pemimpin. Mereka
bukanlah pengikut JK.
Berbeda secara kontras dengan Megawati
masa Orde Baru, misalnya. Sosok ini benarbenar memiliki pengikut. Misalnya ada
istilah “pejah, gesang, nderek Bu Mega!”
Ini adalah ekspresi keikursertaan orang
Volume III Nomor 1 Juni 2012
terhadap Mega yang didasari oleh tidak
hanya kesadaran popularitas pemimpinnya
melainkan juga kesamaan ideologinya.
Referensi
44
Surya Paloh
SBY banyak dipilih oleh masyarakat
Indonesia, namun bukan karena apa
yang dilakukannya melainkan karena
pencitraannya. Ical karena kemampuan
finansialnya. Tidak terlihat track record-nya
dalam membangung Golkar sebagai sebuah
partai politik. Ini berbeda dengan Akbar
Tandjung. Sementara Prabowo, meski
membawa semangat nasionalisme dengan
Gerindranya namun kepopulerannya tidak
dibangun atas sebuah aksi atau gerakan.
Popularitasnya lebih karena iklan-iklan
yang memunculkan wajahnya. Adapun
sosok seperti Mahfud MD dan Dahlan
Iskan, keduanya lebih tepat disebut sebagai
tokoh ketimbang pemimpin. Bahwa mereka
adalah seorang pimpinan lembaga, itu
benar. Namun hal tersebut tidak termasuk
kriteria yang dimaksud.
Sementara Sultan HB X, beliau adalah
pemimpin yang muncul bukan karena
gerakan atau pencitraan, akan tetapi
karena statusnya sebagai raja Jawa.
Faktornya genetik, bukan perjuangan. Ini
pun tidak termasuk dalam kriteria sebagai
yang memiliki follower leadership.
Sumber: http://kolomkita.detik.com
Demikian juga nama-nama lainnya. SBY,
Ical, Prabowo, Sultan HB X, Mahfud MD,
Dahlan Iskan, nama-nama yang memiliki
figur kepemimpinan. Namun mereka tidak
komplit memiliki kriteria-kriteria follower
leadership. Yang paling utama dari kategori
kepemimpinan ini adalah ideologi dan
perjuangan yang dilakukannya. Adapun
organisasi adalah instrumen untuk
mencapai apa yang menjadi cita-cita
ideologinya.
Surya Paloh tergolong pemimpin yang
memliki kategori follower leadership karena
dia memang memiliki empat kriteria yang
dimaksud. Dia memiliki ideologi berupa
gerakan perubahan dengan mengusung
ide Restorasi Indonesia. Restorasi
Indonesia adalah gagasan perubahan yang
bermakna mengembalikan, memulihkan,
mencerahkan, dan memperbaiki, keadaan
bangsa dan negara. Gagasan ini memiliki
dasar filosofi sekaligus instrumen untuk
mewujudkannya, berupa Partai NasDem
dan organisasi-organisasi kemasyarakatan
(ormas). Partai adalah instrumen untuk
berjuang di level atas atau level kebijakan.
Sementara ormas adalah instrumen untuk
menggalang kekuatan di level bawah atau
level dukungan publik. Ini adalah movement
pertama Surya dalam kerangka manifestasi
ideologi politiknya.
Hal ini dilakukannya dengan sebuah
kesadaran bahwa tidak mungkin sebuah
gerakan bisa terwujud jika melepaskan
salah satunya. Dua level tersebut harus
berjalan bersama karena keduanya
saling melengkapi. Ormas-ormas yang
dibangunnya hampir meliputi seluruh
45
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
sektor dalam kehidupan sosial masyarakat.
Mulai dari mahasiswa, pemuda, wanita,
buruh, praktisi hukum, budaya, dan yang
lainnya.
sampai 1 Februari 2011 yang
diikuti ribuan peserta dan digelar
di berbagai kota.
Aksi-aksi berikutnya yang dilakukan Surya
Paloh terkait dengan ideologi politiknya
adalah keluarnya dia dari Golkar. Setelah
lebih dari 40 tahun bergabung, pada 7
Sepetember 2011 dirinya menyatakan
keluar dari partai berlambang beringin itu.
Satu alasan mendasar atas keputusannya
tersebut adalah gagasan perubahannya
tidak mendapatkan ruang di partai
tersebut.
Hal ini digagasnya merujuk pada apa yang
dilakukan oleh Orde baru dengan Seminar
Angkatan Darat-nya sebagai fondasi politik
pembangunganisme Orba. Dia berpikiran
bahwa gagasan Restorasi Indonesia juga
harus menjadi cetak biru (blue print)
Indonesia ke depan dan disemaikan ke
seluruh masyarakat Indonesia. Sebab
restorasi tidak akan terjadi tanpa didukung
oleh rakyat.
Gagasan tentang gerakan perubahan yang
diusung Surya dimulainya saat mendirikan
Ormas Nasional Demokrat. Kurang dari
setahun organisasi bentukannya langsung
mendapat respon dari berbagai pihak
dengan turut bergabung di dalamnya.
Tiga puluh tiga DPW selesai dibentuk
dalam waktu satu tahun. Berbagai lapisan
masyarakat, mulai dari politisi, intelektual,
akademisi, aktivis muda, pengacara,
seniman, musisi, budayawan, aktivis sosial
dan lingkungan, sampai warga masyarakat
biasa, memberikan apresiasi yang tinggi
atas inisiatifnya. Seperti ada harapan
tersendiri atas apa yang digagas oleh pria
kelahiran Aceh 61 tahun yang lalu ini.
Surya juga kerap mengadakan acaraacara dengan nafas nasionalisme seperti
apel besar di Monas dalam rangka
memperingati hari lahir Pancasila, pada 3
Juni yang lalu. Tidak hanya itu, berbagai
aksi nyata dilakukan oleh organ-organ
yang dibentuknya seperti Badan Rescue
Nasional Demokrat yang tidak pernah alpa
saat terjadi bencana alam atau musibah
lainnya.
Dengan membawa gagasan
Restorasi Indonesia sebagai
sebuah gerakan perubahan ini
Surya sering membuat gebrakangebrakan dengan berbagai
kegiatan yang sudah lama
tidak terlihat. Misalnya dengan
Simposium Restorasi Indonesia
yang dimulai sejak 1 Juni 2010
Popularitas Surya Paloh juga tidak
terbangun dari iklan. Dia cukup dikenal
lewat berbagai aktifitas dan organisasi,
baik politik, sosial, bisnis, dan terutama
lewat pidato-pidatonya. Rekam-jejaknya
dalam organisasi dimulai saat dia masih
belajar di sekolah menengah pertama.
Keterlibatannya di Golkar dimulai saat
Koordinator Pemuda dan Pelajar pada
Sekretariat Bersama Golkar. Dia juga
bergelut dalam dunia bisnis, yang sudah
dimulainya sejak usia yang sangat muda, 13
tahun. Salah satu organisasi yang pernah
didirikannya adalah Forum Komunikasi
Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri
TNI Polri (FKPPI), yang masih berdiri hingga
sekarang.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Referensi
46
Siapa yang tak kenal habib yang satu ini?
“Pemimpin besar” Front Pembela Islam
(FPI) ini cukup sering menghiasi berbagai
media terutama televisi. Gerakan-gerakan
yang kerap dilakukan oleh anak buahnya
terhadap tempat-tempat hiburan di
berbagai kota, membuat nama dan FPI
sangat dikenal oleh publik. Meski lebih
sering dipersepsi secara negatif, namun
hampir setiap orang, terutama warga Ibu
Kota Jakarta, mengenal sosok habib yang
satu ini dengan FPI-nya.
Akbar Tandjung
Muhammad Rizieq Husein Syihab atau
Habib Rizieq mendirikan FPI pada 17
Agustus tahun 1998. Organisasi ini adalah
instrumen dari haluan gerakannya yang
cenderung keras. FPI memliki kelompok
Laskar Pembela Islam, sebuah organisasi
paramiliter yang sering melakukan aksiaksi sweeping terhadap kegiatan-kegiatan
yang dianggap maksiat dan bertentangan
dengan syariah Islam. Yang terakhir ini
sering kita saksikan pada bulan Ramadan.
Sumber: www.cahayareformasi.com
Lepas dari warna gerakannya,
dari analisis lainnya, Habib
Rizieq adalah seorang pemimpin
yang memliki karakter follower
leadership. Dia memiliki ideologi
atau pegangan nilai dalam
gerakannya, dan organisasi
sebagai manifestasinya. Dia juga
membangun organisasi tersebut,
bukan orang yang tiba-tiba
terlibat begitu saja. Kesetiaan
pengikutnya tidak perlu
diragukan lagi. Jika sang habib
mengatakan A maka A pulalah
menurut para pengikutnya.
Sumber: http://klimg.com/kapanlagi.com
Habib Rizieq
Sosok Akbar Tandjung adalah salah satu
contoh organisatoris sejati. Rekam jejaknya
dalam bidang keorganisasian tak ada yang
menyangsikannya. Dimulai dari Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Laskar
Ampera Arif Rahman Hakim, Ketua Senat
Mahasiswa UI, Dewan Mahasiswa UI, HMI,
47
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
KNPI, AMPI, hingga menjabat sebagai Ketua
Umum Partai Golkar pada tahun 1998. Di
tangannya-lah Golkar bertransformasi dari
organisasi kekaryaan menjadi partai politik.
Di bawah kepemimpinannya pula Golkar
mengalami masa-masa paling sulit dalam
sejarah organisasi ini setelah sekian puluh
tahun lamanya.
Kemampuannya membawa
Golkar “selamat” dari “amukan
badai” Reformasi terhadap
partainya, menjadikannya
disegani oleh kawan maupun
lawan. Tak satupun yang
meragukan kapasitasnya
sebagai seorang politisi maupun
organisatoris.
Bahkan setelah kalah dari Jusuf Kalla
pada Munas Partai Golkar tahun 2004,
kiprahnya dalam dunia politik tidaklah
berakhir. Kapasitasnya sebagai seorang
pemimpin sekaligus politisi dibuktikannya
dengan menjabat sebagai Ketua Dewan
Pembina Golkar pada 2009 lalu hingga
saat ini. Pengaruhnya masih cukup kuat
dalam lingkaran partai yang membesarkan
namanya itu.
Saat Reformasi bergulir dan banyak kalangan
yang menuntut Golkar untuk dibubarkan.
Akbar Tandjung bersikap bahwa kalaupun
Golkar harus dibubarkan karena dituduh
sebagai tulang punggung Orde Baru maka
biarlah rakyat yang menentukannya. Hal
itu, menurutnya, akan terlihat dalam
pemilu, apakah benar Golkar ditinggalkan
atau sebaliknya. Inilah demokrasi. Dan
sejarah pun membuktikan partai yang
dpimpinnya masih didukung oleh rakyat.
Bahkan pada Pemilu 2004 Partai Golkar
menjadi pemenangnya. Inilah keyakinan
yang menjadi movement sekaligus ideologi
politiknya selama memimpin Partai Golkar
saat itu.
Epilog
Jika disebutkan bahwa hal paling mendasar
terkait kepemimpinan adalah pengaruh
(influence) dan tujuan (vision) maka inilah
persoalan paling krusial di Indonesia
sekarang ini. Sebagai sebagai warga negara
kita tidak melihat dua hal tersebut dalam
diri pemimpin nasional kita. Seberapa
berpengaruhnya pemerintah saat ini
terhadap rakyatnya hampir tidak terlihat.
Bahkan ada sebuah pandangan satir: ada
atau tidak ada pemerintah saat ini, sama
saja bagi rakyat Indonesia. Terlampau
banyak contoh untuk menjelaskan hal
ini, sebanyak himbauan yang sering
disampaikan
pemerintah
ketimbang
perintah yang harusnya dititahkan.
Pun demikian dengan tujuan hidup negara
ini. Pemimpin bangsa ini seolah tak mampu
menunjukannya.
Konstitusi
sebagai
penunjuk arah sudah jauh ditinggalkan.
Buya Syafii menyebut, “seakan-akan”
negara ini masih berjalan di atas rel yang
benar secara konstitusional. Akibatnya
bangsa ini tak punya arah dan tujuan
kemana hendak melangkah. Kepemimpinan
nasional serasa hampa. Kita hampir bisa
mengatakan wujudihi ka adamihi (adanya
hampir sama dengan tiadanya).
Kita lebih sering melihat pemerintah
saat ini memberi himbauan ketimbang
perintah. Pemimpin lebih sering meminta
ketimbang memberi arahan. Padahal
seorang presiden seyogyanya adalah chief
of command, panglima tertinggi yang tidak
boleh tidak perintahnya harus dipatuhi dan
segera dilaksanakan.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Namun kita tentu memahami bahwa
situasinya tidak sesederahana yang
dipikirkan. Banyak faktor yang memengaruhi
corak kepemimpinan yang berlangsung
sekarang ini. Namun demikian, kita juga
mesti memikirkan tentang upaya perbaikan
kondisi yang ada.
Setidaknya ada dua hal yang
mesti diperhatikan terkait soal
kepemimpinan di Indonesia.
Pertama adalah soal kantongkantong kepemimpinan.
Kedua, soal sistem rekrutmen
pemimpin politik.
Beragam organisasi, baik itu ormas sosialkeagamaan, organisasi karir, perkumpulan
sektoral,
birokrasi
pemerintahan,
dan
terutama
organisasi-organisasi
kepemudaan, mulai dari karang taruna,
lembaga kemahasiswaan, perkumpulan
profesional, dan sebagainya, adalah
kantong-kantong utama lahirnya para
pemimpin. Inilah ruang primer bagi
pelatihan calon-calon pemimpin bangsa
yang berkualitas.
Namun situasinya tidak seperti yang
kita harapkan. Organisasi-organisasi ini
tidak luput dari limbah yang menyelimuti
kehidupan sosial-politik kita yang kumuh.
Hampir tidak ada ruang bersih bagi
sehatnya
kantong-kantong
tersebut
dari polutan bernama UANG! Inilah PR
kita untuk bersama-sama memperbaiki
keadaan yang terus mengkhawatirkan dari
waktu ke waktu.
Kedua,
soal
sistem
rekrutmen
pemimpin politik. Memperbaiki soal ini
sesungguhnya sama dengan memperbaiki
sistem demokrasi di Indonesia. Sebab
Referensi
48
kepemimpinan nasional tidak bisa lepas dari
praktek demokrasi yang kita jalankan. Pada
titik ini, mau tidak mau harus ada kekuatan
perubahan yang punya komitmen kuat
untuk benar-benar membawa Indonesia
menjadi lebih baik dari saat ini. Sebab
tanpa adanya perubahan di level ini maka
kemunculan bibit-bibit pemimpin yang
lahir dari kantong-kantong penyemaian
akan sia-sia belaka.
Saat ini bukan tidak ada anak bangsa yang
memiliki potensi kepemimpinan yang
memadai. Namun sistem rekrutmen yang
ada tidak memungkinkan terseleksinya
mereka. Partai politik sebagai satu-satunya
jalur untuk lahirnya pemimpin nasional,
diselimuti kabut tebal “dinastiisme” dan
“ownerisme”. Partai, jika tidak dia dikelilingi
oleh dinasti tertentu, ia seperti menjadi
milik dari seorang pemodal besar. Berada
adalam kungkungan dua penyamun itulah
“sang pangeran” bernama partai politik
itu kini. Akibatnya sang pangeran belum
menjadi milik warga negara. Ia masih
berjarak dan hanya setiap lima tahun sekali
saja diarak di tengah kerumunan warga.
Itupun tidak benar-benar pangeran. Sebab
di masa itu, sang pangeran terbungkus oleh
tirai bercorak iming-iming.
Oleh karena itu, berharap lahirnya seorang
pemimpin yang mampu membawa bangsa
dan negara ini berada dalam track-nya
sebagaimana dicita-citakan oleh Proklamasi
1945, harus ada pembenahan sistem politik
dalam kehidupan demokrasi di negara ini.
Untuk menuju ke arah tersebut mau tidak
mau harus ada sebuah gerakan perubahan
yang berkomitmen kuat mewujudkannya.
Dan tidak ada sebuah gerakan perubahan
tanpa seorang yang memiliki kapasitas
follower leadership. Itulah pemimpin yang
otentik. Wallahu a’lam
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
KO
49
LO
Sumber: www.menerga.com
M
Menggubah Parpol
layaknya Puisi
Arief Rahman Hakim
Peneliti Populis Institute
Kepemimpinan dalam alam demokrasi sejatinya
memberikan kesempatan yang sama bagi setiap
orang baik untuk dipilih maupun memilih pemimpin.
Pemimpin dan kepemimpinan selalu embedded
dengan kekuasaan. Pemimpin dimaknai sebagai orang
yang menguasai suatu hal, bidang, keterampilan,
asset, ataupun teori. Misal, seseorang bisa ditunjuk
sebagai pemimpin dalam suatu kesatuan tempur maka
ia dituntut untuk menguasai kemampuan tempur dan
atau strategi perang. Napoleon Bonaparte, Pangeran
Diponegoro, adalah ekspresi dari ketokohan dan
kepemimpinan itu. Dalam skala yang lebih besar, misal
dalam struktur masyarakat yang kompleks, ketokohan
dan kepemimpinan tidak hanya hadir karena suatu
“gawe sesaat”, namun ia harus hadir setiap saat di
seluruh lini masyarakat untuk memberikan arahan.
Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang
berbeda namun selalu bersama. Negeri ini sedang
menghadapi persoalan serius pada wilayah yang satu
Volume III Nomor 1 Juni 2012
ini. Tulisan ini mencoba mengurai beberapa
persoalan menyangkut pemimpin dan
kepemimpinan, khususnya dalam ranah
politik, berikut di dalamnya model-model
rekrutmen pemimpin di berbagai negara.
Partai Politik dan Rekrutmen
Pemimpin
Dalam sistem politik kekinian, proses
rekrutmen kepemimpinan berpilin lekat
dengan partai politik. Neuman (956:395)
mendefinisikan keterkaitan antara parpol
dan kepemimpinan dengan “a political
party is an organization of society active
political agents who compete for popular
support with another group or persons
holding diverse views”. Pengertian ini
menempatkan politisi dan kandidat sebagai
bagian dari rekrutmen kepemimpinan, baik
itu lewat pemiliu maupun pengangkatan
(appointive position) serta sebagai aktor
utama menuju kekuasaan pemerintahan.
Mildred Schwaz dan Kay Lawson (2005)
lebih gamblang lagi berpendapat bahwa
“a political party is an
organization that nominate
(presents) candidates to stand
for election in its name and
seeks to place representatives
(leader) in the government”.
Dalam negara modern, pemilu dipandang
sebagai tolok ukur demokrasi. Keyakinan
kuat pada pemilu sebagai ukuran
utama demokrasi didasarkan pada tiga
pertimbangan. Pertama, pemilu merupakan
proses terbaik dibanding, misalnya, sistem
karir dan penunjukkan/pengangkatan,
untuk menentukan pemimpin politik.
Kedua, pemilu memungkinkan pergantian
kekuasaan secara berkala dan membuka
akses bagi aktor-aktor baru masuk
Referensi
50
dalam arena kekuasaan. Ketiga, pemilu
memungkinkan partisipasi rakyat untuk
menentukan pemimpin sesuai dengan
kehendak mereka.
Tetapi keyakinan yang berlebihan terhadap
pemilu justru bisa menjadi jebakan
yang menyesatkan. Tanpa penghayatan
demokrasi, pemilu hanya merupakan
sebuah proses “demokrasi berkala” untuk
membentuk demokrasi elektoral-formal.
Dalam proses itu, rakyat hanya bisa
memberikan pilihan (voting) dalam ritual
lima tahunan. Tanpa terobosan dalam
penerapan sistem rekrutmen dengan
segala elemen teknisnya, pemilu hanyalah
proyek politik demokrasi elektoralformal semata yang tidak berimplikasi
dan memiliki manfaat bagi rakyat dalam
kehidupan sehari-hari. Manfaat yang
dimaksud adalah kinerja wakil rakyat
di lembaga perwakilan dan eksekutif
yang berpihak pada kepentingan rakyat
sehingga menjembatani kesenjangan
antara politik formal (formal politics) hasil
proses elektoral dengan politik sehari-hari
(everyday life politics).
Dalam tradisi politik Amerika Serikat,
konvensi politik adalah metode yang
digunakan dalam rangka melakukan
rekrutmen pemimpin-pemimpin dengan
melibatkan partisipasi rakyat. Rakyat pada
kondisi ini seolah menjadi juri karena
acara-acara konvensi ini bisa melibatkan
semua unsur golongan masyarakat. Dengan
konvensi, kepemimpinan nasional tidak
ditentukan oleh hasil konspirasi elit partai,
melainkan disuguhkan melalui mekanisme
penjaringan kepemimpinan nasional di
seluruh pelosok negara-negara bagian
melalui media. Tradisi konvensi politik ini
sudah dimasukkan dalam konstitusi UU
Pemilu AS, dan telah sudah berjalan hampir
175 tahun.
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sumber: www.ambafrance-uk.org
51
Sebelum istilah konvensi politik berkembang
di AS mulai tahun 1830, para kandidat
dari partai politik dipilih dengan kebijakan
informal dari pihak delegasi wilayah.
Ternyata banyak terjadi manipulasi dan
kecurangan dengan mekanisme seperti
ini. Kemudian konvensi diperkenalkan
demi menghapuskan penyalahgunaan
aspirasi yang dibawa oleh para delegasi
wilayah. Desakan ini juga datang dari
para pemilih. Mereka mengharapkan
adanya sistem terbuka agar mereka bisa
ikut berpartisipasi, serta terhindarkannya
praktek money politics. Proses politik
yang korup dari oligarki partai di beberapa
negara bagian juga segera runtuh dengan
sistem konvensi ini. Secara nasional, sistem
ini pun berguna untuk mengefektifkan
struktur partai yang ada.
Dalam perjalanan politik di Amerika Serikat,
konvensi adalah media demokratisasi
internal partai yang secara khusus
diadakan menjelang pemilu presiden.
Konvensi ditempuh sebagai sarana untuk
mencalonkan seseorang sebagai calon
presiden dari keputusan konstituen.
Konstituen
bisa
secara
langsung
menyalurkan aspirasi mereka, sehingga
calon presiden yang mereka inginkan bisa
berkontestasi di internal partai secara
terbuka. Konvensi menjadi media untuk
menjawab kerisauan tentang siapa yang
akan menjadi calon melalui partai mereka.
Praktek konvensi politik tidak hanya
sebatas mencari nominasi calon saja, tetapi
lebih dari itu anggota dan pengurus partai
memiliki kesempatan untuk berkumpul dan
mendiskusikan platform partai. Platform
Referensi
52
Sumber: www.mittromney.com/splashgate
Volume III Nomor 1 Juni 2012
merupakan sikap dari partai politik pada
isu-isu yang berbeda dalam setiap harinya.
Untuk waktu yang lama, konvensi menjadi
tempat perdebatan politik dan pengambilan
keputusan penting.
Praktik konvensi ini pernah dihelat
oleh partai paling dinamis di Indonesia,
Golkar. Golkar menggelar konvensi untuk
memilih calon presiden tahun 2004. Inilah
lompatan besar partai warisan ”sah” Orde
Baru yang dipimpin oleh Akbar Tanjung
kala itu. Ini adalah prosedur yang 180
derajat berbeda dengan mekanisme yang
ada sebelumnya dalam tubuh partai.
Meski masih belum sempurna dan agak
berbeda dengan konvensi ala Amerika,
namun mekanisme konvensi yang pernah
dilakukan Golkar patut diapresiasi dalam
upaya demokratisasi dan regenerasi
politik Indonesia. Saat itu Wiranto yang
bukan Ketua Umum Golkar keluar sebagai
pemenang. Hal ini mencerminkan adanya
demistifikasi terhadap ”penguasa” partai –
yang biasanya adalah Ketua Umum partai
– yang secara otomatis akan menjadi calon
presiden. Suara dari bawah pun diakomodir,
meski hanya di level anggota partai saja.
Namun satu hal yang menjadi catatan
menarik dari proses rekrutmen pemimpin
di AS adalah tidak ada satupun calon
presiden yang berlatar belakang ketua
umum partai, baik Demokrat maupun
Republik. Hampir selalu, presiden terpilih
atau yang dicalonkan berlatar belakang
senator, kongres, dan gubernur Negara
bagian. Bahkan seorang Reince Priebus
yang notabene adalah Chairman (Ketua
Umum) Partai Republik di Amerika Serikat
jauh kalah populer dibanding Matt Romney
selaku Capres dari Partai Republik. Atau
Debbie Wasserman sebagai Chairman
dari Partai Demokrat masih kalah populer
dibanding seorang Barrack Obama.
Gambaran ini tentunya sangat berbeda
dengan yang terjadi di Indonesia dimana
popularitas ketua umum partai, tinggi
menjulang dibanding tokoh-tokoh lain di
partai atau di pemerintahan.
Namun ada catatan yang lebih penting
dari sekadar rendahnya popularitas ketua
umum partai-partai di AS, yakni bagaimana
pembibitan pemimpin memang benarbenar dilakukan oleh parpol sejak dini.
Seorang Paul Ryan yang juga cawapres
dari Partai Republik meniti karir sejak dari
SMU dimana ia menjadi anggota College
Republican. Berlanjut di masa kuliah, Ryan
mengidentifikasikan gagasan ekonomipolitiknya melalui buku-bukunya Friedrich
Hayek, Ludwig von Mises, and Milton
Friedman.
53
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Tabel 1. Sistem Rekrutmen Capres dan Kepartaian
Metode
Negara
Amerika Serikat
Konvensi
Pewarisan
Pengangkatan
Sistem
Kepartaian
Partai
Keterangan
Melalui National Convention memilih
kandidat presiden dan wapres dari masingmasing partai.
Multi partai
Partai Republik
Partai Demokrat
Multi partai
Partai Konservatif Kanada Melalui Leadership Convention memilih
Partai Liberal
kandidat presiden dan wapres dari masingThe Bloc Québécois
masing partai.
The New Democratic Party
Korea Selatan
Multi partai
Partai Saenuri (NFP)
Korea Utara
Partai Tunggal Partai Buruh Korea
Kanada
Lee Myung Bak, capres dari NFP terpilih
pada pemilu 2007.
Sejak tahun 1964, Presiden Korea Utara
selalu berasal dari keluarga Kim.
Indonesia
Multi partai
Partai Demokrat
Partai Golkar
PDIP
Dll.
Partai Golkar pernah melakukan konvensi
capres menghadapi Pemilu 2009 dan
memilih Wiranto sebagai Capres yang
diusung.
Thailand
Multi partai
Pheu Thai Party (PTP)
Yingluck Shinawatra diangkat sebagai
kandidat Perdana Menteri dari PTP dan
terpilih pada Pemilu 2011.
Brazil
Multi partai
PT beberapa kali berhasil memenangkan
Partido dos Trabahaldores capresnya pada pemilu (Lula da Silva,
Dilma R.)
Diolah dari berbagai sumber
Ownership: Tantangan Dalam
Rekrutmen Kepemimpinan
Dalam tradisi politik nasional, fenomena
“ownership” (kepemilikan) partai politik
menjadi salah satu penghalang mulusnya
proses rekrutmen pemimpin. Persoalan
ownership ini cukup pelik karena dia
berkelindan dan tumbuh subur dalam
alam demokrasi yang menjamin siapapun
dapat memilih maupun dipilih. Ownership
adalah suatu kondisi dimana parpol atau
suatu institusi “seolah-olah” dimiliki oleh
segelintir kelompok, bisa berdasarkan
trah keturunan (dinasti) atau karena kuasa
modal (korporasi). Dalam lingkup parpol,
fenomena ownership dieskpresikan ke
dalam dua perwujudan, yakni Politik Dinasti
dan Politik Korporasi.
Istilah dinasti politik umumnya mengacu
pada kepemimpinan yang turun temurun
dari suatu keluarga atau keturunan darah
(trah). Dinasti politik menjadi persoalan
ketika ia memperlakukan partai sebagai
private property dan mengamputasi
mekanisme demokratis serta aspek
egalitarian dalam berpolitik.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Anak seorang menteri, anak presiden,
atau anak ketua partai tetaplah manusia
dan warga Negara Indonesia yang hak-hak
politiknya tidak boleh dikurangi sedikitpun
hanya karena faktor keturunan dan keluarga
sedarah dari pemangku jabatan. Terlebih,
jalan yang digunakan untuk memperoleh
jabatan “si anak dinasti” adalah melalui
mekanisme demokratis. Politik dinasti
banyak digunjingkan karena ia berasosiasi
dengan penguasaan sumber daya ekonomi
baik dalam lingkup nasional maupun
lokal. Kekhawatiran atas efek negatif dari
politik dinasti tersebut bisa diatasi jika
partai memang memiliki sistem regenerasi
dan rekrutmen kepemimpinan yang
berkelanjutan, terpola dan berkualitas.
Untuk itu para pemangku jabatan di parpol
harus memiliki pandangan bahwa partai
politik dan politik itu sendiri adalah rumah
bagi manusia-manusia berkualitas, bukan
rumah bagi manusia-manusia kardus yang
rapuh baik secara integritas, kapabilitas,
moralitas, dan sebagainya.
Dalam konteks daerah, politik dinasti ini
banyak dijumpai. Membangun politik
dinasti sebenarnya bukanlah hal baru di
Pilkada Indonesia. Selain di Banten yang
begitu menyolok, beberapa contoh lainnya
seperti di Pilkada Bali dimana Eka Wiryastuti
(anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama)
ikut Pilkada untuk menggantikan ayahnya.
Di Lampung Rycko Menoza (anak Gubernur
Lampung Sjachroedin) menjadi calon
Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten
Way Kanan (putra Bupati Way Kanan
Agung Ilmu Mangkunegara) mencalonkan
diri menggantikan ayahnya. Kemudian
Arisandi Dharmawan (anak Bupati Tulang
Bawang) mencalonkan diri menjadi bupati
Pesawaran.
Model Ownership yang kedua adalah
politik korporasi, yang dimaknai sebagai
Referensi
54
penguasaan parpol atas dasar kekuatan
modal yang dimiliki oleh individu dalam
partai. Uang menjadi syarat pertama dan
utama untuk menduduki jabatan penting,
baik di partai maupun jabatan publik. Jauh
sebelumnya, Robert Michels (1873-1936)
telah mengeksplorasi kecenderungan
ini dalam pengalamannya di Jerman
dan Itali, dimana secara implisit, oligarki
merupakan bentuk pemerintahan yang
dipegang oleh segelintir orang atau
kelompok yang dibedakan menurut
kekayaan, keluarga, dan militer. Tipe
oligarki dalam partai politik dengan model
kepemimpinan yang terbentuk sangat
berkaitan dengan posisi yang dikuasai
sebagai alat untuk menguntungkan
pribadi atau kelompoknya. Dan model
ini membuat cara-cara pemburuan
rente (rent-seeking) semakin menjamur,
dimana kader-kader partai yang berada
pada posisi strategis akan memanfaatkan
posisinya untuk memperkaya pribadi atau
kelompoknya (Ambardi, 2008). Dia akan
memanfaatkan sumber-sumber keuangan
dari jabatannya.
Partai Politik Layaknya Puisi
Dalam lapangan politik pusat maupun
lokal, kita banyak menjumpai fenomena
banyaknya para pemimpin pemerintahan
menghadapi berbagai kasus korupsi.
Sebagai gambaran, di tingkat daerah selama
tahun 2004-2011 ada 158 kepala daerah
(gubernur, bupati, walikota) tersangkut
kasus korupsi. Selama 2008-2011 ada
42 anggota DPR terseret kasus korupsi.
Di tingkat pusat, ada 30 anggota DPR
periode 2004-2009 diduga terlibat kasus
suap pemilihan Deputi Senior Gubernur
Bank Indonesia. Mereka adalah pemimpin
yang dipilih oleh rakyat secara demokratis
melalui pemilu maupun pemilukada. Apa
yang salah dari situasi ini? Apa yang harus
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sumber: http://3.bp.blogspot.com
55
dilakukan oleh partai politik sebagai bentuk
pertanggungjawaban telah melahirkan
atau meloloskan pemimpin yang tidak
amanah tersebut?
Merujuk pada bacaan klasik karya Herbert
Feith “The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia” (1961), Feith
mengungkapkan bahwa ada dua jenis
kepemimpinan pasca revolusi, yakni
tipe Administrator dan Solidarity Maker.
Kalangan Administrator berpendapat
bahwa merekalah dari kalangan yang
memiliki
kemampuan
teknis
atau
kepakaran yang laik menjadi pemimpin,
yakni mereka yang memiliki kualifikasi
akademis, keahlian professional dan juga
pengetahuan atau pengalaman seseorang
dengan budaya dan dunia intelektual.
Sementara, di sisi yang lain, para solidarity
makers meyakini bahwa kompetisi
seharusnya didasarkan pada tuntutan dan
dukungan massa, demikian juga dengan
pencapaian status. Para solidarity makers
menilai bahwa posisi kepemimpinan, baik
di dalam birokrasi maupun partai politik,
haruslah didasarkan pada kedekatannya
dengan rakyat dan memahami apa
yang diinginkan rakyat. Mereka juga
menekankan bahwa martabat atau prestise
sosial tidaklah ditentukan oleh kualifikasi
formal, melainkan pada kepemimpinan
(politik) sebagai bentuk kepemimpinan
yang sesungguhnya, yang bertujuan
untuk melayani kepentingan bangsa
dan negara. Para solidarity makers lebih
banyak mengungkapkan ide-ide normatif
dan cita-cita masa depan seperti: revolusi
merupakan jembatan penghubung kepada
masa depan Indonesia yang penuh dengan
kesejahteraan, keadilan, keharmonisan
dan kuat1.
Partai politik, sebagai entitas yang
diakui oleh konstitusi untuk mengikuti
konstestasi pemilu, menjadi faktor penting
dalam menentukan jenis pemimpin dan
kepemimpinan yang dihasilkan. Namun
kita saksikan hari ini betapa parpol begitu
dihujat karena hanya menawarkan citra,
1
Konstelasi - Edisi ke-32 Juli 2011. P2D. Jakarta http://
www.p2d.org/index.php/kon/53-32-juli-2011/279pemimpin-dan-kepemimpinan.html diakses pada 25
Agustus 2012.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
politik salon yang hanya tampak indah di
permukaan namun boyak di dalamnya.
Politik dan partai politik seolah-olah hanya
sebagai trash bin atau keranjang sampah
yang isinya hanyalah keburukan-keburukan
semacam maling, pencuri, koruptor, dan
pesolek. Politik dan partai politik seperti
terpisah dari cita-cita mulia dari konstitusi
kita, UUD 1945.
Sebagai “produsen pemimpin”,
parpol perlu memiliki sistem
kaderisasi yang mampu
menghasilkan pemimpin yang
“terdidik”. Kata terdidik di
sini jauh lebih dari sekadar
“berpendidikan” apalagi
citra. Karena kepemimpinan
tidak hanya soal indeks
keterkenalan, persentase
elektibilitas, dan deretan
digit terbesar dalam pemilu.
Lebih dari itu, kepemimpinan
adalah melindungi, menjaga,
serta mempertahankan jati
diri bangsa. Dalam sistem
demokrasi, kita membutuhkan
adanya pemimpin yang baik
yang berdiri tegak di atas
suatu fondasi sistem politik
dan hukum yang baik pula.
Dari partai politik lah kita bisa
memulainya.
Dalam salah satu pidatonya di depan civitas
akademika Universitas Hardvard tahun
1956, John F. Kennedy menyampaikan
bahwa “ketika kekuasaan membuat orang
Referensi
56
menjadi arogan, puisi yang mengingatkan
akan keterbatasannya. Ketika kekuasaan
malah
mempersempit
kepedulian
penguasa, maka puisi mengingatkan ia
akan kekayaan dan kebhinekaan. Ketika
kekuasaan cenderung korup, maka puisi
yang membersihkan”. Memodifikasi dari
kutipan JFK, maka partai politiklah yang
seharusnya berperan layaknya puisi dalam
kutipan JFK. Parpollah yang menyadarkan
arogansi politisi, parpollah yang mendidik
kepedulian politisi, dan akhirnya parpollah
yang harus membersihkan kader-kadernya
yang korup.
Bahan Bacaan:
Ambardi, Kuskridho. “Mengungkap Politik
Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian
di Indonesia Era Reformasi”. KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia) dan
LSI (Lembaga Survei Jakarta), Jakarta.
2009.
Faith, Herbert. “Indonesian Politics 19491957: The decline of the representative
government”. Ithaca (N.Y.). Cornell
University. 1961.
Konstelasi - Edisi ke-32 Juli 2011. P2D.
Jakarta http://www.p2d.org/index.
php/kon/53-32-juli-2011/279pemimpin-dan-kepemimpinan.html
diakses pada 25 Agustus 2012.
Mildred A. Schwartz & Kay Lawson, ‘Political
Parties: Social Bases, Organization,
and Environment’ (dalam T. Janoski
et al. eds., The Handbook of Political
Sociology, Cambridge Univ. Press,
2005).
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Sumber: www.willy-aditya.blogspot.com
Referensi
resensi
57
RISALAH RESTORARIAN
Agus Hernawan
Didasari pengalaman pahit revolusi
Perancis, Alexis de Tocqueville, dalam
The Ancient Regime and Revolution,
memformulasikan apa yang disebutnya the
theory of continuity. Bagi banyak kalangan,
teori Tocqueville terlalu samir. Namun,
terlepas dari soal itu, termasuk ambivalensi
penulis Democracy in America ini dalam
gerakan revolusi Perancis, kita dapat
menangkap betapa sejarah kekuasaan
adalah himne dalam nada getir.
Contoh klasik ialah Kisah Republik Kedua di
Perancis. Bagaimana misalnya, hanya dalam
hitungan dua hari, kemonarkian Wangsa
Bourbon yang terakhir, Louis Phillips I,
runtuh. Republik Kedua diproklamirkan.
Tetapi, hanya tiga tahun kemudian, pada
Desember 1851, kudeta Louis Napoleon
mengubur Republik Kedua di bawah kaki
Kekaisaran Jilid II. Hal yang sama juga
berlangsung di Tanah Air.
Reformasi dibangun oleh biaya-biaya
manusia (human costs) tidak sedikit
untuk hasil: rontoknya Orba selaku
the ancient regime disusul perubahan
bentuk pemerintahan. Kemudian semua
seperti selesai. Gerakan Reformasi seolah
sekadar perubahan struktur politik dari
Volume III Nomor 1 Juni 2012
otoriter ke diversifikasi kekuasaan. Upaya
demokratisasi lewat pintu keadilan sosial
macet di dalam proses transisi yang
dimonopoli oleh konsesus kepentingan
elite.
Cerita kesuksesan gerakan Reformasi
‘98 pun akhirnya terkapar di bawah kaki
sindikat kejahatan krah putih (mafia
hukum, mafia pajak, dan mafia anggaran)
dan pengebirian keadilan hukum. Arogansi
uang telah melahirkan politik biaya tinggi,
pseudo-participation, dan kekuasaan yang
korup. Negara beserta instrumennya
telah menjadi kaki-tangan kuasa oligarki,
sifon oligopoli, dan rent-monopoly. Sektor
perekonomian
rakyat
dimarginkan,
sementara sistem ekonomi pasar liberal
yang diagungkan mengalami pembusukan
menjadi corporatist market economy dan
‘free market radicalism’ yang berasosiasi ke
sesuatu yang antisosial dan “keserakahan
yang terlalu”.
Risalah Restorarian
Di tengah rasa sakit rakyat dan absentnya negara, membaca buku Mari Bung,
Rebut Kembali, berisi kumpulan Pidato
Surya Paloh (SP) seperti menawarkan
jalan liberasi dari the theory of continuity
Tocqueville di atas. Mari Bung, Rebut
Kembali yang dieditori Willy Aditya,
seorang aktivis gerakan dan intelektual
muda yang visioner, memuat banyak
pidato yang mendedahkan kontradiksi
internal di dalam tubuh kebangsaan kita.
Kontradiksi antara kepentingan minoritas
elite yang cenderung mengabaikan hakhak fundamental rakyat dengan kehendak
mayoritas rakyat menuntut keadilan,
kemakmuran, dan kesejahteraan sosial
yang menjadi janji kemerdekaan. Keduanya
menempati kawah gunung api yang sama.
Referensi
58
Nasional
Demokrat,
sebagaimana
disampaikan SP dalam pidato Nasional
Demokrat Melawan Pemikiran Sesat,
saat Deklarasi Nasional Demokrat di
Istora Senayan Jakarta, 1 Februari 2010,
menegaskan arah gerakan restorasi
Indonesia
yang
diusung
Nasional
Demokrat ialah untuk ”mengisi ruang
kosong pengabdian dan pemberdayaan
masyarakat”. Mengabdi dan melayani
warga bangsa yang diabaikan oleh negara
dan seluruh instrumennya.
Nasional Demokrat telah
mengambil pijakan dalam
kontradiksi itu. Dalam Tak Ada
Penyelewengan, SP menegaskan
bahwa, ”Perjuangan kita adalah
perjuangan pembebasan
jutaan orang melarat di
negeri ini, jutaan orang yang
terbodohkan di negeri ini,
dan jutaan orang yang tidak
mendapat perlindungan
hukum.” Pilihan keberpihakan
ini merepresentasikan cita-cita
emansipasi yang diformulasikan
lewat linked-solidarity dan
koneksitas gerakan restorarian
secara permanen dengan
kepedihan warga bangsa di
“lantai dasar” kehidupan
kebangsaan.
Menjadi jelas kiranya arah gerakan
restorarian yang diusung Nasional
Demokrat. Ini mengingatkan kita pada
semangat nasional liberation awal dalam
bentuk popular movement dan di bawah
59
Referensi
Volume III Nomor 1 Juni 2012
kepemimpinan kaum populis yang terikat
pada kondisi material rakyat kala itu.
Karena itu, seperti dinyatakan Bung Karno,
”Kemauan yang datang dari visi harus
ditumbuhkan dengan segera di kalangan
rakyat.” Jika tidak, maka kaum nasionalis
akan kehilangan senjata mereka, yakni
kekuasaan semangat rakyat.
Menanamkan kesadaran restorasi agar
menjadi kehendak rakyat banyak, mewujud
baik sebagai social mobilization maupun
social production, hemat saya, inilah yang
akan menyelamatkan gerakan restorarian
yang diusung Nasional Demokrat dari
menjadi "putsch", mengutip istilah Tan
Malaka dalam Aksi-Massa (1926), sebagai
satu aksi segerombolan kecil yang bergerak
diam-diam dan tak berhubungan dengan
rakyat banyak. Tetapi, menjadi aksi massa
yang tersusun rapi, berderap, dan mampu
memecah pelabuhan yang tenang dan
damai.
Progresivitas Orientasi Gerakan
Ada tiga pidato dalam Mari Bung, Rebut
Kembali yang layak dicerna: partama, Tak
Ada Penyelewengan, kedua, Ada 1.000
Jalan ke Roma, Baru Punya 1: NASDEM dan
ketiga, Demokrasi Antah Berantah. Menarik,
dalam hemat saya, karena ketiganya
menegaskan tengah berlangsungnya
progresivitas orientasi gerakan.
Tak Ada Penyelewengan mungkin dapat
dilihat semacam pledoi politik. Pidato itu
menangkis tudingan bahwa dukungan
pada kehadiran Partai NasDem adalah
sebentuk penyelewengan atas cita-cita
emansipasi ”pembebasan jutaan orang
melarat di negeri ini” yang diusung Nasional
Demokrat. Di Pidato tersebut, argumentasi
soal dukungan itu cenderung retoris dan
mungkin ambigu bagi sebagian publik.
Di pidato berjudul Ada 1.000 Jalan ke
Roma, Baru Punya 1: NASDEM, Surya Paloh
menyampaikan bahwa, Nasional Demokrat
menerima kehadiran Partai NasDem tidak
dalam relasi urderbow. Boleh jadi, penjelasan
itu justru memunculkan ambivalensi yang
problematis. Namun, penjelasan tersebut,
termasuk dukungan pada kehadiran Partai
NasDem, menurut saya, sebaiknya dibaca
dalam frame Nasional Demokrat sebagai
ormas
gerakan—bahkan
”pemimpin
pergerakan,” meminjam frase SP.
Organ gerakan tidak hidup di atas menara
idealisasi moralitas, tetapi menakikkan
pijakannya dalam realitas dialektis, sebagai
antithesa yang, mengutip Bung Karno di
dalam Marhaen dan Proletarian, ”berisi
semangat dan keyakinan perlawanan,
berisi semangat dan keyakinan bahwa
tiada perdamaian antara sana dan sini.”
Karena itu, adalah kesemestian bagi
Nasional Demokrat sebagai ormas gerakan
mengafiliasikan dan menginfiltrasikan
cita-cita emansipasinya lewat perjuangan
politik. Jika tidak, maka cita-cita emansipasi
itu terhenti sebatas kerja complimentary
dengan organisasi jatuh sebatas fasilitator
dan mediator dalam agenda-agenda
kolaboratif dan frame ”gerakan” tidak lebih
slogan reaktif dan reaksioner.
Selain itu, ada dua realitas makro menurut
saya yang menjadi sebab mengapa
Nasional Demokrat, termasuk organ-organ
gerakan lainnya, harus mengafiliasikan dan
menginfiltrasikan cita-cita progresifnya
dalam perjuangan politik. Pertama,
kontradiksi sebagai realitas historis di
dalam tubuh kebangsaan kita. Kontradiksi
didasari kondisi material ini mendifrensiasi
bangunan kesadaran kultural,
antara
kutub elitisme dan sikap antielitisme, yang
keduanya menghuni kawah gunung api
yang sama.
Referensi
60
Sumber: www.stratint.org
Volume III Nomor 1 Juni 2012
Kedua, neoliberalisme sebagai realitas cara-cara progresif, damai, dan permanen
faktual. “We live in the age of neoliberalism,” serta perubahan kultur kekuasaan politik
tulis Saad-Filho and Johnston dalam tidak lagi didominasi perspektif elite, tetapi
Neoliberalism – A Critical Reader, (2005). diwarnai oleh cita-cita emansipasi kolektif.
Source: http://www.stratint.org/wp-content/uploads/2012/09/neo_liberalism.jpg
Situasi neoliberalisme hari ini ditandai
korespondensi policy-making di wilayah Demokrasi Antah Berantah, pidato politik
mikroekonomi dengan operasional dari pada HUT ke-2 Nasional Demokrat, adalah
keseluruhan praktik ekonomi politik telah upaya SP untuk melakukan pemahaman
menderet perubahan pada otoritas politik, kembali ikhwal hubungan antara demokrasi
pun bangunan sosio-budaya. Karena dan orientasi kebangsaan. Dari Bandung
itu, gerakan perubahan dengan cita- yang disebutnya kota ”Pergerakan bagi
cita emansipasi akan menjadi “cosmetic kaum Republiken”, SP menolak demokrasi
proposal” jika dibangun cuma lewat yang dinilainya telah kehilangan orientasi
keguyuban dan program-program idealis kebangsaan dan meneriakkan gerakan
restorarian hak-hak fundamental rakyat
dan moralis.
yang memungkinkan upaya demokratisasi
Kedua realitas makro di atas menuntut hadir lewat pintu keadilan sosial. Kerja yang
setiap organ gerakan seperti Nasional tentunya tidak mudah di Republik yang
Demokrat haruslah memanifestasikan sudah menjelma jadi “bantal guling empuk”
lewat aksi-aksi politik yang kapitalisme global dan keserakahan oligarki
Source: dirinya
http://pranandapaloh.com/Photo/blog/155_1_2-Photo.jpg
terkoneksi secara permanen dengan kondisi nasional.
material ”jutaan orang melarat di negeri
ini”. Dari korespondensi ini bidikannya AGUS HERNAWAN, alumnus SIT-Vermont,
ialah reorientasi organisasi politik dalam AS
mendekati dan meraih kekuasaan lewat
TE
AN
NT
G
KA
M
I
Terbitan Referensi adalah analisis dwi bulanan tentang ABC Politik dalam format
terbitan. Referensi hadir dalam skema keengganan mayoritas untuk mengunyah jurnaljurnal berat dan terkesan sebagai projek pemenuhan harsat kaum intelektual belaka. Di
sisi lain budaya massa yang berkembang lebih gandrung pada karya-karya dengan nuansa
dan format dangkal, instan dan sesaat.
Politik tidak hanya sebagai nalar kebinatangan untuk berkuasa, mistifikasi terhadap
realitas serta justifikasi terhadap sebuah kemenangan. Politik merupakan suatu bangunan
nilai (value), keutamaan (virtue) serta etika (ethic) sebagai peralatan memajukan
peradaban manusia. Disinilah dibutuhkan media sebagai ranah pembelajaran bersama,
pendokumentasikan peristiwa dan pemaknaan terhadap situasi.
Referensi memberikan ruang ekspresi kepada kalangan politisi, aktifis dan penulis muda
yang kadang tak tertampung oleh media mainstream. Referensi tidak hadir dalam ruang
kosong yang terpisah dari realitas yang berkembang. Namun mencoba membuka ruangruang komunikasi diantara Pols dan Vols dalam ranah politik. Karena ia berperan sebagai
komunikator, maka ia akan adaptif, responsif, dan eksploratif terhadap kebutuhan Pols
dan Vols.
Referensi juga menyediakan kanal feedback dalam ragam bentuknya seperti ketertarikan,
kesadaran pembaca, pencerahan, ataupun pemikiran tandingan dalam ruang diskusi
setiap tema yang akan dipilih pada setiap edisi. Referensi hadir dari proses kerjasama
Populis Institute, Institute for Walfare Democracy, serta Friedrich Ebert Stiftung (FES)
Indonesia.
ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani
(di depan memberi teladan, di tengah menciptakan
prakarsa dan ide, dari belakang memberikan
dorongan dan arahan)
KI hajar dewantara
Download