? Referensi ? ? ? ANALISis POLITIK DWI BULANAN Volume III Nomor 2 Oktober 2012 ? ? ? ? ? ? ? ? ? Pemimpin ? Otentik ? ? ? ? ? ? ? ? POPULIS INSTITUTE ISSN : 2087-05950 SE Referensi NA RA ANALISis POLITIK DWI BULANAN I Pemimpin Umum: Willy Aditya Redaktur Ahli: M Alfan Alfian Hokky Situngkir Editorial Pemimpin Otentik Willy Aditya DISKUSI Kepemimpinan Politik 1 5 KOLOM Redaktur Pelaksana: Bayu Agni Kepemimpinan Di Era Kompleksitas Hokky Situngkir 14 Redaksi: M. Taufiq, David Krisna Alka, Arief Rahman Hakim, Rifqi Hasibuan, Fanny Yulia Chaniago, Husni Rohman, Patrick Juang Rebong, Syuhada Gultom, Kori Kurniawan, Fauzan Mufid Belajar dari Kegagalan Republik Weimar Citra Ali Fikri 20 Bertapa di Ujung Pedang Willy Aditya 42 Marketing: Eko Julianto, Citra Ali Fikri, Ridwan Kembali Ke Kedalaman:Tantangan Kepemimpinan Politik Kita M Alfan Alfian 49 IT: Kurniawan Mas’ud Wajah-Wajah Kepemimpinan Mereka yang Memimpin dengan Perjuangan Taufiq Muhamad 57 Cover: Ridho Pamungkas Menggubah Parpol Menjadi Puisi Arief Rahman Hakim Lay Out: Kurniawan Mas’ud RESENSI BUKU Alamat Redaksi Jl. Peningkatan I No. 40 Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan 12870 Telepon 021-8302433 Email Redaksi: [email protected] [email protected] RISET Mencari Pemimpin Otentik 24 KOLOM RISALAH RESTORARIAN Agus Hernawan 66 73 Vol II Tahun 4 Desember 2011 ito Referensi ed 1 rial Sumber: http://guidelife.files.wordpress.com Pemimpin Otentik MENJELANG Pemilu 2009 yang lalu, ada pertemuan antara sebuah tim sukses seorang calon presiden dengan seorang sesepuh pergerakan, Jenderal (Purn) Suhardiman. Pertemuan yang mengerucut pada diskusi tentang kepemimpinan ini berlangsung di Pendopo Suhardiman, di daerah Radio Dalam, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu Suhardiman menyebut bahwa seorang pemimpin itu tak ubahnya sebagai seorang imam dalam sholat, bapak dalam keluarga, komandan dalam perang, guru dalam belajar, serta sahabat dalam kehidupan. Sebuah ilustrasi yang komplit. Namun siapakah gerangan pemimpin itu sebenarnya? Apakah mereka yang hadir di posisi-posisi publik seperti presiden, raja, ratu, senator, legislator, gubernur, walikota, bupati? Atau para tokoh-tokoh yang sering tampil di hadapan publik seperti ustad, pastur, pengamat, guru, artis, bintang iklan? Atau mereka yang berposisi di pucuk sebuah institusi atau organisasi seperti menteri, manajer perusahaan, pemilik perusahan, sekretaris daerah? Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sebuah formulasi sederhana mengatakan bahwa pemimpin sangat berbeda dengan posisi. Pemimpin adalah idiom mikro sementara posisi adalah situasi yang makro. Pemimpin lahir atau ditemukan dalam kehidupan yang riil sementara posisi adalah siklus yang cenderung formal dan prosedural. Dalam situasi kekinian, sudah menjadi kelaziman bahwa posisi juga dipandang sebagai suatu bentuk kehadiran pemimpin. Maka digunakanlah instrumen yang kuantitatif sifatnya untuk melihat kelayakan seseorang atas posisi tertentu. Misalnya berdasa pada indeks citra diri dan persepsi masyarakat terhadap penilaian posisi. Penilaian semacam ini sangat kental aroma subjektifitas karena pemimpin dan posisi diukur berdasarkan selera publik atau kemampuan seseorang membangun atau mendekatkan diri terhadap selera publik. Pada gilirannya pemimpin bukan lagi perkara sakral atau mulia, karena semua norma atau pakem telah luluh lantak. Padahal narasi pemimpin semestinya lahir dan merepresentasikan hukum objektifitas dari kehidupan yang nyata. Dalam pandangan sederhana pemimpin tidak selalui yang berposisi di depan. Ki Hajar Dewantara mendeskripsikan pemimpin sebagai konsepsi Ing Ngarso Suntolodo, Ing Madyo Mangun Karso, serta Tut Wuri Handayani. Konsepsi ini menunjukan bahwa posisi dan pemimpin harus saling berinteraksi dan berdialektika terhadap situasi dan eksistensinya. Bila sedang berposisi di depan seseorang harus memberi keteladanan, bila berposisi di tengah harus memberi semangat, serta bila berposisi di belakang harus memberi dorongan terhadap publik, umat, atau pengikutnya. Inilah yang disebut sebagai Referensi 2 pemimpin yang berjodoh dengan posisi dan situasinya. Pemimpin bukanlah manusia super yang bebas berbuat dan memaksakan kehendaknya terhadap publik; namun pemimpin adalah orang yang bisa memosisikan dirinya terhadap situasi yang ada sebagai kesatuan menuju cita-cita kolektif. Atau dalam makna yang sebaliknya, pemimpin juga bukan persepsi bebas publik terhadap posisi tertentu sehingga melampui ekspektasi dan kapasitas pribadi seseorang untuk memenuhi hasrat (subjektifitas) publik. Secara mikro dalam narasi yang paling elementer dalam kehidupan kaum muslim sering disampaikan bahwa secara takdir setiap manusia terlahir atau dilahirkan sebagai pemimpin bagi dirinya masingmasing. "Kalian semua adalah pemimpin dan akan dituntut (dimintai pertanggung jawaban) tentang hal-hal yang dipimpinnya,” begitu Nabi Muhammad bersabda. Deskripsi ini bukanlah suatu hal yang baru bagi diskursus publik di Indonesia atau di manapun. Ini adalah suatu yang terus menerus terjadi secara keseharian ataupun monumental dalam selebrasi-selebrasi pemilihan posisi-posisi publik. Setidaknya deskripsi ini ingin menunjukkan sesuatu hal yang asli, original, atau otentik dalam elemen pemimpin yang dimaksudkan secara jelas dan tegas untuk bisa in position terhadap posisi publik itu sendiri. Proses Pilkada DKI Jakarta yang baru saja berlalu menunjukkan kegalauan publik terhadap posisi mereka sendiri. Setidaknya ada tiga catatan atas hajatan lima tahunan tersebut. Pertama, mobilisasi sentimen etnis dan agama yang mencabik-cabik 3 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 kebhinekaan dan identitas kolektif publik yang sudah berada dalam fase urban. Kedua, publik yang galau akan eksistensinya secara nasional, secara khusus terhadap posisi presiden SBY. Persepsi publik secara vulgar menghadirkan figur Jokowi sebagai antitesa dari SBY yang tidak memberikan keteladanan, berjarak, dan lamban dalam menyelesaikan persoalan. Ketiga, peran sentral media dalam membentuk persepsi publik serta citra seorang pemimpin, secara khusus kehadiran Jokowi. Kemenangan Jokowi adalah sequel atau reinkarnasi sebagai media darling, seperti halnya kelahiran SBY sebagai presiden pada masa lalu. Pertanyaan selanjutnya, apakah yang dikatakan sebagai pemimpin adalah orang yang sekadar berjodoh dengan zaman dan momentumnya. Mungkin benar dikatakan bahwa kualitas pemimpin adalah cerminan kualitas masyarakatnya. Jika memang demikian maka PR kita tidak hanya memikirkan siapa yang pantas memimpin posisi publik tertentu, namun juga bagaimana pemimpin dilahirkan dan atau ditemukan oleh zamannya. Bila seorang Soekarno harus keluar masuk penjara; bila seorang Hatta harus diasingkan ke pulau-pulau terpencil; bila Syahrir harus hidup dibawah tanah; bila Tan Malaka harus kesepian dalam pelariannya; apakah pengorbanan seorang pemimpin hari ini adalah seberapa banyak dia beriklan di televisi; seberapa banyak dia memberikan bantuan lewat proposal yang masuk ke meja kerjanya; dan seberapa banyak uang yang dimiliki untuk membeli suara rakyat? Inilah zaman baru, kalau tidak disebut zaman edan seperti disebut Ronggo Warsito. Karena pemimpin hari ini hanya persoalan bagi mereka yang memiliki kuasa yang biasanya identik dengan uang! Hepeng mangatur Negara on! Begitu orang Medan mengatakan. Politik seolah tidak lagi menjadi ruang publik atau rumah bersama bagi kemuliaan hidup. Politik bukan lagi ruang dimana manusia menemukan diri dengan pengabdian dan perjuangan. Ruang publik sudah berganti menjadi ruang privat, dimana politik seolah menjadi tanah kapling bagi mereka yang beruang dengan menyekat-nyekatnya menjadi kamar anak, kamar keluarga, dan kamar-kamar lainnya. Zaman ini adalah zaman dimana pemimpin ditentukan atau hanya menjadi hak bagi mereka-mereka yang berkantong tebal saja. Ketersediaan pemimpin layaknya memilih junk food di restoran siap saji. Asal enak dipandang, tersaji cepat, dan harga cocok maka langsung disantap. Inilah situasi yang paradoks dalam liberalisme, yang menyediakan kompetisi dan pilihan yang terbuka dan bebas namun sejatinya ilusif, ekslusif, bahkan cenderung represif. Siapapun bisa mencalonkan diri dan berkontestasi meraih posisi publik akan tetapi ruang kompetisinya mensyaratkan biaya yang tinggi (high cost politic). Alhasil, belum lagi kompetisi dimulai, mereka yang “tak berpunya” secara otomatis tereliminasi. Paradoks terjadi: kebebasan telah melikuidir kehendak bebas itu sendiri. Akibatnya, pilihan kandidat yang muncul sangat terbatas, hanya berasal dari mereka yang mampu menembus high cost politic. Maka hari ini tak penting seorang pemimpin bisa berbuat apa kepada rakyat (integritas); tak penting juga apakah dia memiliki gagasan (visi) atau pernah menuliskan manuskrip dalam hidupnya (ideologi); tak perlu dia pernah berpidato yang membuat ribuan massa bergelora untuk menyabung nyawa di jalanan atau medan perperangan (kapasitas). Tak perlu sedu sedan itu lagi, bung! Cukup dengan uangmu, kau bisa membeli lembaga survei, mengangkangi partai politik, membuat iklan dengan citra seindah rasa sehingga kau bisa menjadi apa yang kau kehendaki. Sebagai zoon politicon, keadaan yang irasional ini sangat mengusik akal budi kita. Akankah zaman Kalabendu ini benar-benar hanya akan melahirkan pemimpin salon?! Dalam tradisi Jawa ada konsep kepemimpinan yang cukup terkenal, yakni manunggaling kawulo Gusti. Istilah yang banyak salah dipahami sebagai ajaran menyeleweng dari Syeikh Siti Jenar ini sesungguhnya adalah pegangan bagi seorang pemimpin. Manunggaling kawulo lan Gusti bermakna rakyat (kawulo) dan Tuhan (Gusti) itu menyatu (manunggal) dalam diri seorang pemimpin. Saat seorang pemimpin menghadap Tuhan maka rakyatnya-lah yang banyak disebut, yang banyak diingat dan dipikirkannya. Sebaliknya, saat bersama dengan rakyatnya, ajaran Tuhanlah, yakni nilainilai kebaikan dan kebenaran, yang disebar Referensi 4 Sumber: http://stat.ks.kidsklik.com Volume III Nomor 1 Juni 2012 dan disampaikan oleh seorang pemimpin kepada rakyat. Jurnal Referensi edisi kali ini mencoba menarik garis mikro dari perkawinan POSISI dan PEMIMPIN dengan mengangkat tema PEMIMPIN OTENTIK! Tema ini diangkat sebagai benang merah dari kegalauan publik dan kesesatan berpikir serta kelatahan berprilaku banyak orang untuk mengklaim dirinya sebagai PEMIMPIN ketika meraih atau berada dalam POSISI tertentu. Untuk menjawab situasi publik galau dan orang latah di atas, jurnal REFERENSI melakukan riset kualitatif sebagai itjihad menemukan pemimpin otentik guna menjawab soal makro dan mikro seputar kepemimpinan. Riset ini dikembangkan dengan skema prasyarat pemimpin yang otentik lahir atau ditemukan dalam situasi yang memiliki nilai (value) orientasi terhadap cita-cita kolektif, basis kepribadian (virtue) yang membangun karakter kepemimpinannya, gerakan (movement) yang menempa dan mengikat seorang pemimpin secara kuat, serta organisasi (organizer) apa yang dibangun sebagai instrumentasi kepemimpinannya. Volume III Nomor 1 Juni 2012 SK Referensi DI 5 US I Resume Diskusi pemimpin OTENTIK Sumber: dokumentasi Populis Populis Institute “BANGSA ini sedang mengalami krisis kepemimpinan”. Begitulah pendapat yang diungkapkan oleh banyak orang. Hal ini menemukan relevansinya ketika beberapa hasil lembaga survei yang merelase daftar capres 2014 yang masih dipenuhi oleh para “tokoh tua”. Tokoh-tokoh ini pun masih menjadi pilihan favorit masyarakat. Pertanyaanya kemanakah para pemimpin muda di negeri ini? Apakah abstainnya mereka dalam list bursa capres disebabkan tidak adanya kesempatan dan ruang untuk mereka atau karena tidak ada kesiapan mereka. Abstainya para pemimpin muda dalam regenerasi kepemimpinan ini meninggalkan satu pertanyaan besar yakni apa yang salah dengan sistem regenerasi kepemimpinan kita. Partai politik, ormas dan kantong-kantong yang melahirkan para pemimpin-pemimpin ini perlu ditelisik pola rekrutmen dan kaderisasinya. Keberadaan kantong-kantong kepemimpinan ini memiliki posisi strategis dalam regenerasi kepemimpinan. Rusaknya kantong-kantong ini mengakibatkan mogoknya gerbong regenerasi kepemimpinan di negeri ini. Pemimpin dan kepemimpinan adalah tema yang selalu menarik untuk didiskusikan mengingat peran pemimpin yang begitu Volume III Nomor 1 Juni 2012 Referensi 6 Political Virtue dan Political Leadership Dalam diskusi yang mengupas tentang kepemimpinan dan politik ini, Alfan Alfian mengawali diskusi ini dengan mengungkapkan kegelisahan dirinya terhadap kondisi perpolitikan bangsa. .Sebagai penulis dan pengamat politik, dirinya merasa prihatin melihat kondisi perpolitikan hari ini. Meskipun telah ada era reformasi namun kondisi bangsa ini tidak lantas menjadi lebih baik. Dia cukup gelisah melihat banyak orang yang tidak memiliki kompetensi namun duduk terpilih sebagai anggota legislatif. Ada satu fenomena menarik yang diceritakannya ketika ada seorang tukang bengkel yang merintis usahanya dari nol kemudian meraih sukses sebagai pemilik bengkel besar dan mencalonkan diri sebagai anggota DPRD yang kemudian berhasil menjadi anggota DPRD. Saat menjabat sebagai anggota DPRD sang Bos bengkel tersebut terjerat kasus korupsi dan dibawa ke pengadilan untuk diadili. Ada sebuah pernyataan yang mencengangkan saat dirinya ditahan karena kasus korupsi ini yakni “kalau seseorang mau kaya raya jadilah politisi”. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa Sumber: dokumentasi Populis menonjol dan kentara. Sikap, tingkah laku dan segala tindakannya selalu dilihat dan diperhatikan oleh jutaan mata para pengikutnya. Terbitan Referensi dalam kesempatan kali ini menggelar diskusi dengan mengangkat tema Kepemimpinan Politik. Dalam Diskusi ini hadir sebagai narasumber Alfan Alfian (Direktur Akbar Tandjung Institute) dan Hoki Situngkir ( Peneliti dari Bandung Fe Institute). Diskusi ini dipandu oleh Bung Citra Ali Fikri dari Populis Institute. jabatan sebagai seorang wakil rakyat/politisi adalah jabatan yang dapat menghasilkan banyak uang dan syarat dengan praktik korupsi kolusi dan nepotisme. Banyak pejabat dan politisi yang mendadak kaya raya. Hal ini bukan menjadi rahasia umum karena sudah banyak pejabat dan politisi kita yang terjerat kasus korupsi dan diadili. Meskipun sebenarnya politik menurut Aristoteles adalah perjuangan untuk menegakan kebaikan atau political virtue di dalam politik. Kemudian kegelisahaan selanjutnya yang dirasakan olehnya adalah langka atau tidak adanya bacaan sama sekali mengenai kepemimpianan politik (political leadership). Kebanyakan buku yang beredar dipasaran adalah buku tentang kepemimpinan bisnis. Sedikit sekali – untuk mengatakan tidak ada – penulis buku yang mengarang tentang kepemimpinan politik. Banyak faktor yang menghambat terbitnya buku-buku tentang kepemimpin politik hari ini. Salah satunya ia menyebutkan, sulitnya penerbit yang mau menerbitkan buku bacaan mengenai “political leadership”. Hal ini mungkin disebabkan karena pangsa pasarnya yang “abstrak”. 7 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Selain itu ia menyayangkan partai-partai politik yang tidak memiliki buku atau materi mengenai kepemimpinan politik. Berangkat dari kenyataan tersebut dirinya saat ini sedang menyusun sebuah buku tentang kepemimpinan politik yang juga diperkuat dengan pengalamannya selama ini mendampingi politisi sebagai bahan refleksi. Menurut pengajar politik di Universitas Nasional Jakarta ini, politik selalu dipersepsi oleh banyak orang sebagai sesuatu yang hitam putih. Itulah mengapa kedekatanya selama ini dengan para politisi ini mengundang anggapan miring bahwa apa yang didapatkannya, termasuk uang, adalah sesuatu yang “tidak bersih”. Menanggapi hal ini ia menganalogikan dengan ikan lele. Dia harus menjelaskan, bahwa ikan lele itu bisa makan bangkai ayam dan sebagainyya akan tetapi lelenya tidak haram untuk dimakan. Ini adalah cerminan bahwa banyak orang yang memiliki kegelisahan moral dalam dunia politik. Hal ini disebabkan oleh perilaku para politisi yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan kepentingannya meskipun harus mengabaikan aspek moralitas. Padahal politik sebagaimana menurut Aristoteles adalah perjuangan untuk menegakan kebaikan karena ada political virtue disana. Politik adalah sebuah keterpanggilan. Alfan memamparkan bahwa politisi harus memiliki visi-misi ideologi. Penting juga harus dimiliki politisi adalah kesadaran. Seorang politisi juga harus memiliki rasa tanggung jawab. Selain itu seorang politisi dalam setiap langkah-langkah perjuangannya selalu menegaskan bahwa tugasnya sebagai politisi yang jelas memperjuangkan kepentingan publik. Logika dan mindset seorang politisi dan pengusaha adalah sesuatu yang berbeda. Seorang politisi sejatinya memperjuangkan hal-hal yang imateri, yang non profit sifatnya. Dengan segenap kekuasaan yang dimilikinya seorang politisi bisa memanfaatkannya untuk kebaikan umum ataupun sebaliknya. Demikian halnya kekuasaan. Begitu berharganya sebuah kekuasaan sampai Mao Zedong pernah mengatakan bahwa sex itu nikmat tetapi kekuasan jauh lebih nikmat. Dengan kekuasaan yang dimiliki banyak politisi yang terjebak dalam jebakan-jebakan materi. Politik adalah hal yang berkaitan dengan kekuasaan. Sementara soal kepemimpinan terkait dengan banyak hal. Dalam buku yang ditulis olehnya ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang ideal, yakni tanggung jawab, integritas, karisma, komunikasi. Dalam agama Islam ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh pemimpin atau yang mudah dikenal dan disingkat dengan istilah STAP (sidiq, tabligh, amanah, fatonah). Alfan Alfian juga mengingatakan bahwa dalam alam demokrasi yang liberal seperti ini anak-anak muda harus cerdas dalam mengembangkan pengaruhnya di masyarakat. Demokrasi hari ini adalah demokrasi elektoral. One man one vote, sehingga banyak tokoh muda yang pintar, cerdas dan memiliki integritas, kalah dengan para tokoh-tokoh lawas yang memiliki modal. Yang perlu ditingkatkan oleh para pemimpin muda adalah bacaanbacaan mengenai political leadership dan cara-cara bagaimana politisi dunia menghadapi berbagai problem. Hal inilah yang menempatkan bacaan politik menjadi sesuatu yang sangat penting. Volume III Nomor 1 Juni 2012 Referensi 8 Sumber: dokumentasi Populis yang begitu rumit pada jaman itu, siapakah yang memimpin membangunnya. Ternyata cara pembuatannya relatif mudah. Mereka membuatnya dengan cara atau aturan yang sederhana (simple). Membuat stupastupa ini cukup dengan mengikuti aturan. Menyusun batu-batu dari pola-pola sederhana setingkat demi setingkat dengan terus mengikuti dari pola awal. Dari hal ini ternyata pemimpinannya adalah sebuah aturan bukan seorang mandor layaknya sebuah proyek bangunan. Kepemimpinan Sistem Pembicara kedua, Hokiy Situngkir memperlihatkan kepada para peserta diskusi tentang fakta-fakta kepemimpinan. Pertama ia memutar video tentang sekelompok semut yang memindahkan gula. Dari sekian banyak sekelompok semut yang ada, ada satu tanya: yang manakah pemimpinnya? Tidak jelas. Kemudian dalam kelas burung. Dari sekelompok burung terbang yang membentuk formasi V, siapakah pemimpin dari para burung itu? Yang di depankah, belakang, atau di tengah? Dari dua paparan yang dibantu lewat alat audio visual tersebut Hoky menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang menjadi pegangan bagi semut dan burung sehingga mereka bisa padu dalam berkelompok, yakni sebuah aturan (rule). Aturanlah bagi mereka yang menjadi pemimpin. Dalam kasus yang lain, Hoki mencontohkan bahwa pembuatan bangunan sebuah candi yang sangat kompleks seperti Borobudur, Dari cerita tersebut yang menarik adalah tidak adanya sebuah sosok yang berperan sebagai komando disitu. Untuk lebih mempertegas tesisnya ini Hoki Situngkir memaparkan hasil penelitiannya tentang tata birokrasi kerajaan-kerajaan di Indonesia. Dari hasil penelitian yang ia temukan dan periksa, ada sebuah penemuan yang menarik yakni di semua kerajaan ketika seorang raja dicopot, kerajaan akan tetap berjalan. Justru yang penting dalam sebuah kerajaan adalah jabatan mahapatih, adipati atau jabatanjabatan kelas dua. Hal yang menjadi ironis di era demokrasi seperti saat ini adalah ketika kita malah berharap bahwa perubahan akan dapat terjadi jika jabatan eksekutif dapat direbut. Padahal di jaman kerajaan posisi raja bukanlah sebuah jabatan yang paling sentral. Dengan penjelasan tersebut Hoky ingin mengajak semua peserta diskusi untuk merubah cara pandangnya tentang apa yang disebut pemimpin. Pemimpin bukanlah hal yang paling tinggi atau sakral. Sistemlah justru yang menjadi pemimpin dalam hal ini. Pemimpin tidak melahirkan sistem tapi dinamika sistem yang melahirkan pemimpin. Pemimpin dilahirkan oleh sistem. Pemimpin itu adalah sekadar motor yang dapat menggerakan Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 pengikutnya atau pemimpin adalakanya seperti ratu semut yang sedang tidur tapi sistem yang berjalan. Pertanyaannya sekarang bagaimana kita membuat sebuah sistem yang dapat melahirkan pemimpin (yang seperti kita harapkan – red). Hoky berpandangan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat membuat chaos seperti mazhab neo ekonomi klasik untuk mendinamisasi kondisi. Karena, menurutnya, sebuah kondisi yang stagnan membuat organisasi tidak akan berkembang dan hambar. Indonesia adalah sebuah daerah yang sangat tidak stabil dan memiliki potensi konflik yang sangat tinggi. Karakteristik daerah-daerah di Indonesia memiliki ketegangan dan tekanan sosialnya masing-masing. Oleh karena itu yang musti dikenali dari Indonesia adalah sistem dan teritorinya, sehingga kita tahu karakter seperti apa yang dibutuhkan bagi suatu daerah. Oleh karena itu jebolan ITB tanpa ijasah ini mengajak untuk tidak perlu sedikit-sedikit mengeluh dan merindukan figur seperti Bung Karno, Pak Harto, Bang Ali, dan sebagainya. Karena kondisi hari ini sudah berubah dan mereka pun belum tentu dapat menyelesaikan permasalahan yang ada pada hari ini. Budiman Sudjatmiko yang juga hadir dalam diskusi turut memberikan tanggapan. Dari dua perspektif soal quality of leadership yang disampaikan oleh Alfan Alfian, dan the probability of leadership yang ditekankan oleh Hoki Situngkir, Budiman mencoba untuk menerapkannya di dalam laku politiknya. Dia merasa secara instingtif mencari titik keseimbangan antara dua hal tersebut. Dari apa yang disampaikan oleh Alfan dan Hoky, dari segi subjektif manusianya sampai objektif setting sosialnya, dia menyatakan bahwa ada satu aspek yang belum disinggung yang itu ada dalam keseharian kita, yaitu sistem yang diatur dalam undang-undang yakni sistem DPR “the exsisting condition” dari partai politik yang sekarang. Menurutnya, Hoky Situngkir tadi hanya berbicara masalah birokrasi kerajaan nusantara, juga bagaimana birokrasi Indonesia hari ini. Alfan Alfian hanya bicara kepemimpinan seperti dalam buku-bukunya namun belum baik dalam berbicara institusi-institusi yang nyata hari ini hadir. Budiman ingin melihat soal ini Sumber: dokumentasi Populis 9 Volume III Nomor 1 Juni 2012 Referensi 10 dalam perspektif institusi resmi yang dirinya hadir disana sebagai salah seorang anggota parlemen. Budiman juga sekaligus ingin memadukan apa yang oleh dua pembicara tadi disampaikan. dengan berdiskusi, membaca buku. Dia juga menciptakan institusi-institusi seperti rumah Aspirasi Budiman. Disini, secara individual dirinya mencoba menerapkan virtue of leadership. Bagi mantan Ketua PRD ini, bangunanbangunan sistem politik, institusi-institusi yang hari ini ada tidak mengakomodasi paparan kedua pembicara, tidak mengakomodasi temuan-temuan mereka. Kondisi sistem politik dan institusi saat ini bersifat bebal terhadap faktor-faktor subjektif kedua pembicara paparkan. Oleh karena itu, kalau (paparan) keduanya dipadukan dan kemudian ada sebuah rekayasa institusi dalam undang-undang dan segala macamnya, pun juga dalam internal parpol ada pengakomodasian terhadap dinamika semacam itu, kiranya standar model pemimpin yang ideal bisa terwujud. Sesi Tanya Jawab Dalam sesi tanya jawab muncul pertanyaan dari Arif Rahman Hakim yang melihat bahwa institusi nasional, dalam hal ini negara (state), merupakan cerminan dari hal-hal yang kecil sebagaimana yang dijelaskan Hoky. Arif juga merespon apa yang disampaikan Budiman Sujatmiko bahwa partai hari ini gagal. Partai hari ini kebanyakan terjebak dalam konsep ownership, dinasti dan akibatnya banyak pemimpin yang hadir tidak melalui proses yang dinamis. Sebagai pertanyaannya apa solusi dari situasi didalam partai politik yang seperti ini. Namun dalam kenyataannya, Budiman melihat apa yang terjadi hari ini tidak seperti yang digambarkan. Pemimpinpemimpin formal yang hadir hari ini tidak lahir dari interaksi-interaksi chaos seperti yang disampaikan Hoky. Akibatnya situasinya tidak mencapai titik optimum dalam konteks kepemimpinan. Pemimpin formal yang ada tidak memenuhi virtue of ladaership seperti yang disampaikan Alfan. Fenomena kemenangan Jokowi adalah mungkin satu contoh bahwa ketika dua faktor yang disebutkan oleh Alfan dan Hoky, bertemu dengan institusi politik yang responsif akomodatif. Ini adalah kasus pada level daerah. Pada level nasional, bagaimana bertemunya tiga faktor tadi yakni subjektif, objektif, individual bertemu, Budiman berpikir keadaan ini adalah keadaan ideal. Dalam konteks individu, dia mencoba mempraktekannya Menyambung Arif, Ada Suci Makbullah sebagai penanya berikutnya melihat bahwa seorang pemimpin lahir dari sebuah proses dan dinamika. Yang jadi masalah adalah bagaimana mendewasakan institusi partai politik sebagai lembaga satu-satunya lahirnya kepemimpinan nasional hari ini. Sementara Eko Julianto melihat pemimpinpemimpin yang ada saat ini tidak memiliki basis ideologi yang kuat. Mereka bukan orang yang memiliki latar belakang organisasi dan bukan orang gerakan. Berangkat dari kenyataan tersebut dia berpikir kira-kira kriteria pemimpin yang seperti apakah yang ideal untuk saat ini. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut Alfan menjelaskan bahwa dalam rangka untuk mencari suatu aksi ideal, seorang pemimpin politik harus inovatif dan kreatif. Di Indonesia pasca reformasi masih banyak yang belum berubah dari Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sumber: dokumentasi Populis 11 undang-undang kita meskipun ada yang berubah. Partai politik masih di hadapkan pada realitas sistemik seperti sekarang ini. Menurutnya, eksperimen yang dilakukan oleh anak-anak muda yang membuat partai ideologis seperti PRD dulu adalah sesuatu yang menarik susungguhnya. Namun sayangnya ia tidak “istiqomah” dalam eksperimentasi politiknya. Banyak para aktivis yang mendirikan partai ini yang kemudian kabur keberagam partai politik bahkan yang sangat berbeda ideologinya semula. Dia kini malah melihat hal sebaliknya. Kini para pemilik modal-lah yang menarik-narik anak muda untuk ikut masuk partai mereka. Inilah kiranya salah satu kenyataan politik yang disayangkan terjadi di Indonesia. namun tidak dapat berbuat apa-apa ketika berada di DPR. Alfan memandang bahwa pemimpin harus dapat melakukan improvisasi. Menurutnya politisi adalah ibarat seniman yang gelisah melihat masyarakatnya yang statis. Pemimpin harus membuat dinamika sehingga ada gerak di dalam organisasi. Aneh kalau politisi tidak memiliki kesadaran kesenian, kesadaran aktor, sutradara dan kesadaran membuat dinamika panggung terjadi. Dia juga sangat menyayangkan jika anak muda yang ikut pemilu dan berhasil Namun di Indonesia sendiri dalam penilaian Alfan, simbol masih tetap perlu karena masyarakat Indonesia yang sangat simbolik. Meskipun seharusnya politik kita adalah politik makna, “beyond the symbol”, namun dalam kondisi masayarakat yang demikian simbol tetap memegang peranan penting. Intinya adalah inovasi dan kreatifitas. Dengan keduanya akan muncul instrumen-instrumen baru dalam menyiasati keterbatasan sistem yang ada. Satu hal yang ditekankan oleh Alfan adalah dimanapun, politisi akan berhadapan dengan kondisi keterbatasan sistem. Di Turki ada keterbatasan sistem tetapi tetap muncul tokoh seperti Endorgan. Tidak mungkin muncul orang seperti itu sebenarnya. Di titik ini perlu direnungkan tentang otentisitas tokoh. Masyarakat hari ini merindukan pemimpin yang otentik, artinya pemimpin memiliki kewajaran. Pemimpin yang wajar artinya pemimpin yang tidak lahir secara tiba-tiba. Ada suatu proses yang dilalui dan juga ada momentum didapati. Pemimpin bukanlah sesuatu yang sakral. Referensi 12 Sumber: dokumentasi Populis Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sementara Hoky dalam merespon pertanyaan-pertanyaan yang muncul, merujuk kepada analogi semut, seperti digambarkan di atas. Semut ratu tidak bisa berpura-pura menjadi semut pekerja. Hal ini sama ketika figur pemimpin seperti Budiman Sudjatmiko tidak cocok dengan sistem yang ada saat ini. Pemimpin yang ada sekarang adalah cerminan dari sistem yang ada. Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat instrumen agar harapan kita akan sosok pemimpin bisa terwujud. Untuk membuat terobosan dalam situasi yang ada sekarang, seorang pemimpin harus bisa membuat strategi dengan membuat perangkat-perangkat baru yang dapat menggolkan ide-ide baru. Banyak cara yang dapat dilakukan, misalnya dengan terlibat dalam sistem yang ada untuk mencapai sistem yang ideal. Pemimpin, masih kata Hoky, harus mengubah sistem yang seperti dia inginkan atau masyarakat seperti apa yang ia dambakan. Yang celaka adalah ketika pemimpin tidak mempunyai konsep ideal tentang masyarakat. Menanggapi apa yang dipaparkan oleh Situngkir, salah seorang peserta, Willy Aditya, melihat bahwa dalam konteks kekinian, satu hal yang sering dilupakan adalah seringkali kita berkata sistem yang salah. Di waktu lain kita menyalahkan individu. Padahal menurutnya dua hal tersebut adalah dua hal yang saling berkelindan. Fenomena hari ini misalnya, banyak sekali pemimpin yang lantaran mempunyai modal besar lalu mendeklarasikan diri sebagai calon pemimpin. Bagi Willy ini adalah sebuah proses dekonstruksi. Pemimpin menurutnya harus memenuhi klasifikasi atau empat indikasi yakni memiliki ideologi, organisasi, solidarity maker dan karakter movement. Dan seringkali dalam berbicara kepemimpinan, kita hanya berbicara visi, misi dan integritas namun kita sering melupakan kerelaan sebagai sebuah virtue. Sementara alumnus Filsafat UGM ini melihat bahwa hanya ada dua tipikal parpol di Indonesia, yakni partai perusahaan dan partai dinasti. Menyambut pandangan Willy, Hoky menimpali, adalah sebuah ilusi bahwa pemimpin harus seperti si A, si B dan 13 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 seterusnya. Ia mencontohkan seorang Hitler sebenarnya adalah orang yang biasa-biasa saja namun rakyat Jerman memilihnya. Sama halnya dengan Jokowi hari ini yang tidak memiliki tampang sebagai seorang pemimpin, seperti harus gagah, berwibawa, dan sebagainya. Jangan-jangan sebenarnya kitalah yang mau membikin pemimpin. Hal serupa juga yang terjadi pada Obama yang secara kualitas jauh dibandingkan calon lainnya. Namun toh rakyat Amerika menginginkan figur yang seperti itu. Kepemimpinan tidak harus dimiliki pemimpin karena ada juga yang bukan pemimpin tapi memiliki kepemimpinan. Jadi sebenarnya pemimpin adalah konsep yang makro, sebaliknya kepemimpinan adalah konsep di tataran mikro. Yang terpenting sekarang adalah mencapai kesejahteraan sebagimana yang dicitacitakan Proklamasi Kemerdekaan dan berbuat apa yang terbaik untuk masyarakat siapa pun pemimpinnya. Budiman Sudjatmiko menanggapi penjelasan Hoky dengan menceritakan kemenangan Obama melawan Hilary Clinton. Tim Hilary Clinton telah membuat sebuah konsep Micro Organizing yaitu bagaimana memetakan kepentingan dari tiap-tiap kelompok, komuniti, sektor, dan lain-lain, dengan harapan ketika Hilary Clinton menang, terpenuhi kepentingan setiap kelompok. Namun Obama datang dengan sebuah konsep gagasan perubahan yang tidak ribet. Ternyata Obama menang. Dia merasa tertarik dengan penjelasan Hoky yang mengatakan ada pemimpin yang tidak memiliki kempemimpinan dan sebaliknya. Namun menurut Budiman ini tergantung dari masyarakat ketika evolusinya sudah mencapai titik mutasi. Ada Suci Makbullah juga menanggapi apa yang dikatakan oleh Hoky soal pemimpin yang ada hari ini adalah cerminan dari masyarakat yang ada. Dia berpandangan bahwa statemen tersebut kurang bisa diverifikasi mengingat bahwa banyak masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam suksesi kepemimpinan hari ini. Dia melihat keadaan yang ada dibentuk oleh elit. “Para elitlah yang mendesign pemimpin,” katanya. Menanggapi kembali dua pandangan tersebut, Hoky menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepemimpinan ada dilevel mikro dan pemimpin di level makro. Sebagai ilustrasi, saat melihat PDIP kita selalu mengasosiasikannya dengan Megawati dan Taufik Kiemas, padahal PDIP adalah sesuatu yang makro. Tidak serta merta ketika Megawati bilang A yang lain seperti itu. Soal adanya desain, Hoky menjawab bahwa semua pemimpin melalui desain. Pusaran ini datang dari level mikro melalui pembentukan instrumen-instrumen untuk menggolkan ide-ide. Menutup diskusi, Alfan menanggapi semua pandangan yang mengemuka dengan mendorong agar anak muda memiliki kesadaran. Anak muda perlu membuat sistem yang baru, dan untuk itulah mengapa anak muda harus kreatif dan inovatif, tidak sekadar eksis dan survive dalam politik. Hal ini karena dalam logika demokrasi elektoral, anak muda dituntut harus kreatif dan inovatif untuk dapat lebih populer. Dalam demokrasi seperti ini dituntut popularitas dan elektabilitas meskipun banyak juga para politisi yang melakukan rekayasa pencitraan bukan kepemimpinan yang otentik. (Kori Kurniawan) M Referensi 14 KO LO Volume III Nomor 1 Juni 2012 Kepemimpinan Di Era Kompleksitas* Hokky Situngkir Peneliti di Dept. Computational Sociology, Bandung Fe Institute Hampir tak ada persoalan sosial yang tak dikaitkan dengan kepemimpinan. Mitologi “ratu adil” ibarat semacam ekivalensi “kedaulatan mutlak”yang melahirkan “kontrak sosial” dalam keadaan bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua) yang chaos, seperti diterawangkan Thomas Hobbes dalam Leviathan (1961).Persoalanpersoalan republik hari ini selalu menggoda kita untuk “mengganggu” tokoh-tokoh proklamator dan pemimpin yang kuat seperti Presiden Sukarno, Mohamad Hata, Sutan Sjahrir, dan sebagainya, dari alam peristirahatan. Kita cenderung berpikir akan adanya pemimpin di luar sana, padahal pemimpin itu jelas ada di antara kitasendiri – dan di saat yang sama, tokoh-tokoh yang memiliki karakteristik kepemimpinan sibuk “meniru-niru” demi mencitrakan diri sebagai pemimpin-pemimpin masyarakat di masa lampau tersebut. Keinsyafan kita akan kompleksitas sistem sosial mengajak kita untuk melakukan emanisipasi generasi, dengan kesadaran bahwa kepemimpinan itu lahir oleh sistem, ia tidak lahir begitu saja. * Disampaikan pada Diskusi dengan tema “Politik dan Kepemimpinan” Populis Institute, Jakarta, 11 Juli 2012. akan adanya pemimpin di luar sana, padahal pemimpin itu jelas ada di antara kitasendiri – dan di saat yang sama, tokoh-tokoh yang memiliki karakteristik kepemimpinan sibuk “meniru-niru” demi mencitrakan diri sebagai pemimpin-pemimpin masyarakat di masa lampau tersebut. Keinsyafan kita III Nomor 1 Juni 2012 Referenssistem i Volume 15kompleksitas akan sosial mengajak kita untuk melakukan emanisipasi generasi, dengan kesadaran bahwa kepemimpinan itu lahir oleh sistem, ia tidak lanir begitu saja. Gambar Gambar 11 Formasi V migrasi bangau kanada (kiri) dan upaya sekelompok semut memindahkan sumber makanan Formasi V migrasi bangau kanada (kiri) dan upaya sekelompok semut memindahkan sumber (kanan): siapakah pemimpinnya? makanan (kanan): siapakah pemimpinnya? Kerjasama intraspesies selalu menarik dan dalam pengertian konvensional. Burung- Kerjasama intraspesies selalu menarik dan mengagumkan. Semut-semut yang bekerja sama dalam tersebut terbang dengan kendali mengagumkan. Semut-semut yang bekerja memindahkan butiran gula yang bobot dan volumeburung yang jauh lebih besar dari tubuhnya, bekerja yang terdesentralisasi, akuisisi sama dalam memindahkan butiran gula bersama tanpa perlu ada satu semut yang menjadi pemimpinnya. Burung-burung yanginformasi bermigrasi yang lokal pola-pola (bukan global), anonimitas, yang bobot dankevolume jauh lebih dari satu tempat tempat yang lain bergerak dan membentuk tertentudan tanpa ada yang tiap individu tak memiliki prejudice besar dari tubuhnya, bekerja bersama menkomandoi. Secara sepintas, mungkin pikiran artinya kita akan tergoda untuk menganggap bahwa terhadap di dekatnya. tanpa yang perlu terbang ada satupaling semut yangdalam menjadi burung depan kawanan burung siapa tersebutburung adalah “pemimpin” dari rombongan burung tersebut. Tapi justru tidak. individu-individu yangberkelompok terbang dalam Tiga karakteristikburung terbang pemimpinnya. Burung-burung yangPosisi berbagai formasi terbentuk selalu ditentukan atau peran kemudiansenioritas menjadi(usia), tempat mereka bermigrasi dariyang satu tempatpada ke dasarnya tempat taktersebut sosial apapun. Berbagai formasi dan bentuk itu merupakan pola yang terbentuk dalam kecerdasan lain bergerak dan membentuk pola-pola mengikuti tiga aturan utama dalam navigasi tertentu tanpa ada yang menkomandoi. terbang, yaitu: *) Secara sepintas, mungkin pikiran kita akan - Keterpisahan: terbang dengan Disampaikan pada Diskusi dengan tema “Politik dan Kepemimpinan” Populis Institute, Jakarta, 11 Juli 2012. tergoda untuk menganggap bahwa burung arah menghindari tabrakan dengan **)yang terbang paling depan dalam kawanan Penulis adalah peneliti di Dept. Computational Sociology, Bandung Fe Institute. Personal Web: kerumunan burung lain. http://www.bandungfe.net/hs burung tersebut adalah “pemimpin” dari - Kesesuaian: terbang ke arah sejajar rombongan burung tersebut. Tapi justru arah sebagian besar burung di halaman1 dari 5lain halaman tidak. Posisi individu-individu burung dalam kelompok. yang terbang dalam berbagai formasi - Kohesi: terbang ke arah rata-rata yang terbentuk pada dasarnya tak selalu posisi burung yang ada di dekatnya. ditentukan senioritas (usia), atau peran sosial apapun. Berbagai formasi dan bentuk Tiga aturan terbang inilah yang lalu itu merupakan pola yang terbentuk dalam membuat mereka terus saja terbang kecerdasan kolektif mereka (collective dengan membentuk pola-pola yang intelligence), sebuah kecerdasan ketika membikin makhluk dengan volume otak mengerumun (swarm intelligence). berlipat-lipat kali volumenya terkagumkagum. Tiga aturan dasar yang pada Percobaan komputasi yang dilakukan Craig dasarnya merupakan aturan primer Reynolds [4] menunjukkan bagaimana dalam kebertahanan sebuah sistem berbagai formasi unik dari berbagai sosial manusia. Jika tiap anggota-anggota kawanan burung yang terbang tercipta masyarakat hidup dengan berupaya tanpa perlu adanya komando dan pimpinan meredam konflik secara lokal, berusaha kolektif mereka (collective intelligence), sebuah kecerdasan ketika mengerumun (swarm intelligence). III Nomor 1 Juni 2012 Referensi 16 formasi Percobaan komputasi yang dilakukan Craig ReynoldsVolume [4] menunjukkan bagaimana berbagai unik dari berbagai kawanan burung yang terbang tercipta tanpa perlu adanya komando dan pimpinan dalam pengertian konvensional. Burung-burung tersebut terbang dengan kendali yang Kebersamaan melahirkan artinya kecerdasan melakukanakuisisi kesesuaian dalam kelompok terdesentralisasi, informasi yang lokal (bukan global), dan anonimitas, tiap individu dengan arah yang sama, dan masing-masing organik yang bahkan bisa melebihi tak memiliki prejudice terhadap siapa burung di dekatnya. Tiga karakteristik terbang berkelompok berupaya menjaga kohesi masing-masing, “kecerdasan”individu genius penyusun tersebut kemudian menjadi tempat mereka mengikuti tiga aturan utama dalam navigasi terbang, maka tiap individu merupakan pemimpin kolektivitas sosial yang ada [3]. yaitu: – kecerdasan kolektif kita merupakan Indonesia itu negeri seribu raja. Ada pemimpin bagi terbang kita. Ini merupakan konsep Keterpisahan: dengan arah menghindari tabrakan dengan kerumunan burung lain. ribuan kerajaan yang pernah berdiri di kepemimpinan yang ke organis, pemimpin Kesesuaian: terbang arah sejajar arah sebagian besar burung lain di dalam kelompok. kepulauan Nusantara dengan yang mana muncul mereka-mereka yang memiliki Kohesi: dari terbang ke arah rata-rata posisi burung yang ada di dekatnya. masing-masing memiliki model sistem visi kepemimpinan. pemerintahan yang dengan unik [2].Konsep Tiga aturan terbang inilah yang lalu membuat mereka terus saja terbang membentuk polakepemimpinan kompleks tumbuh organis Pemimpin bukanlah “ratu adil” dalam pola yang membikin makhluk dengan volume otak berlipat-lipat kali volumenya terkagum-kagum. jauh lebih dulu matang, bahkan daripada konsep kepemimpinan yang meng-insyafTiga aturan dasar yang pada dasarnya merupakan aturan primer dalam kebertahanan sebuah sistem pertumbuhan organisasi negara Indonesia ikompleksitas Kedudukan dan posisi sosial manusia. Jika sosial. tiap anggota-anggota masyarakat hidup dengan berupaya meredam konflik pemimpin merupakan satu peran saja sendiri. Sebagai intitusi politik yang muncul secara lokal, berusaha melakukan kesesuaian dalam kelompok dengan arah yang sama, dan masingdalam kolektivitas sosial yang kompleks, secara organis, keragaman model sistem masing berupaya menjaga kohesi masing-masing, maka tiap individu merupakan pemimpin – dan nasib sistem sosial tak semata- pemerintahan kerajaan merefleksikan kecerdasan kolektif kita merupakan pemimpin bagi kita. Ini merupakan konsep kepemimpinan yang mata bergantung pada apa dan siapa keragaman konsepsi kekuasaan yang ada organis,pemimpinnya, pemimpin muncul dari mereka-mereka memiliki visi kepemimpinan. masyarakat saat itu. Sederhananya, melainkan bergantung padayangdalam masyarakatyang dengan nilai politik yang sosial. sinergi elemen-elemen justru Pemimpin bukanlah “ratu adil” sosial dalamyang konsep kepemimpinan meng-insyaf-ikompleksitas demokratis tentu tidak memiliki konsep kepemimpinan yang lebih Kedudukan dan posisi pemimpin merupakan satu peran saja dalam kolektivitasmengharapkan sosial yang kompleks, pengaturan organisasi pemerintahan luas. Inilahsosial yang tak kitasemata-mata pelajari dari konsep dan nasib sistem bergantung pada apa dan siapa pemimpinnya, melainkan yang sentralistik tanpa adanya lembaga kepemimpinan semut, burung-burung, dan bergantung pada sinergi elemen-elemen sosial yang justru memiliki konsep kepemimpinan yang berbagai kolektivitas sosial non-primata. representatif. Sangat menarik ketika ketika lebih luas. Inilah yang kita pelajari dari konsep kepemimpinan semut, burung-burung, dan berbagai Suatu konsep yang menunjukkan bahwa konsepsi kekuasaan tersebut direfleksikan kolektivitas sosial non-primata. Suatu konsep yang menunjukkan bahwa kecerdasan tak hanya kecerdasan tak hanya muncul secara dalam tata birokrasi pemerintahan muncul individual, secara individual, juga secara sosial. Kebersamaan melahirkan kecerdasan organik tradisional di banyak konsepsi pemerintahan namun namun juga secara sosial. - yang bahkan bisa melebihi “kecerdasan”individu genius penyusun kolektivitas sosial yang ada [3]. Gambar2 Siapakah yang sesungguhnya memiliki kuasa? [2] Gambar2 Siapakah yang sesungguhnya kuasa? [2]berdiri di kepulauan Nusantara Indonesia itu negeri seribu raja. Ada ribuan kerajaanmemiliki yang pernah dengan yang mana masing-masing memiliki model sistem pemerintahan yang unik [2].Konsep kepemimpinan kompleks tumbuh organis jauh lebih dulu matang, bahkan daripada pertumbuhan organisasi negara Indonesia sendiri. Sebagai intitusi politik yang muncul secara organis, keragaman model sistem pemerintahan kerajaan merefleksikan keragaman konsepsi kekuasaan yang ada dalam 17 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 tradisional Indonesia. Kita menemukan yang menarik ketika kita melihat bahwa, bahwa Raja tidak selalu menempati posisi Majapahit, sebagai salah satu birokrasi yang sentral dalam urusan pemerintahan nasional yang benerapa ratus tahun sehari-hari, sementara lembaga dewan lebih dulu dari Indonesia justru seolah adat yang fungsinya setara dengan lembaga menunjukkan “sentralitas”-nya atas perwakilan dalam system politik modern birokrasi-birokrasi tradisional yang lain, juga selalu ada hadir dalam organisasi yang pernah ada di level geografis yang pemerintahan. Pusat kepemimpinan lebih kecil. Ini menunjukkan pertumbuhan tak melulu adalah pemangku keluasaan organis dari birokrasi tradisional yang eksekutif, atau raja. Suatu kontra-indikasi jelas merupakan pelajaran berharga bagi indonesia modern dengan kehidupan organisasi pemerintahan modern konsepsi engharapkan pengaturan pemerintahan yang kepemimpinan sentralistik tanpa adanya lembaga kita hari ini, ketika pusat kepemimpinan hari ini. epresentatif. Sangat menarik ketika ketika konsepsi kekuasaan tersebut direfleksikan dalam tata dikira berada di tangan presiden atau rokrasi pemerintahan tradisional di banyak konsepsi tradisional Indonesia. Kita Apapemerintahan moral cerita manajemen kepemimpinan kepala daerah di tingkat lokal (?). enemukan bahwa Raja tidak selalu menempati posisi yang sentral dalamini? urusan pemerintahan organisasional kompleks Kita menyadari ehari-hari,Lebih sementara lembaga dewan adat yang fungsinya setara dengan lembaga perwakilan jauh, ketika graf relasi otoritas kini bahwa manajemen sistem kompleks alam system selalu ada hadir organisasi lahir pemerintahan. sosialdalam pada hakikatnya dari stabilitasPusat antar politik berbagaimodern elemen juga birokrasi kerajaan sosial yang ada. Kepemimpinan yang baik tersebut dijajarkan, kita pemangku kemudian dapat epemimpinan tak melulu adalah keluasaan eksekutif, atau raja. Suatu kontra-indikasi dipandang sebagai upayadikira memutar mengkonstruksi pohon kekerabatan engan kehidupan pemerintahan modern kitaantar hari ini,lebih ketika pusat kepemimpinan berada di kerajaan-kerajaan Nusantara tersebut angan presiden atau kepala daerah di tingkat lokal (?).roda dinamika kehidupan sosial secara (gambar 3). Adalah sebuah fakta empiris umum. Kepemimpinan di era kompleksitas Gambar 3 Pola kemiripan struktural jejaring birokrasi di beberapa pemerintahan tradisional dan kuna di Indonesia Gambar 3 Pola kemiripan struktural jejaring birokrasi di beberapa pemerintahan tradisional dan kuna di Indonesia Volume III Nomor 1 Juni 2012 Referensi 18 Gambar 4 Gambar4 Konsepsi kepemimpinan kompleks: (A) A sistem adanya pemimpin (B) Sistem tanpa sinergiglobal yang Konsepsi kepemimpinan kompleks: (A) A sistem tanpa tanpa adanya pemimpin (B) Sistem tanpa sinergi global yang berjalan organis melalui sinergi inisiatif elemen-elemennya, (C) kepemimpinan berjalan organis melalui sinergi inisiatif elemen-elemennya, (C) kepemimpinan yang muncul dari sistem dalam yang muncul dari sistem dalam konsepsi aktualisasi dan sinkronisasi, (D) kepemimpinan yang konsepsi aktualisasi dan sinkronisasi, (D) kepemimpinan yang muncul Yang melalui umpan balik aktif dari proses bottommuncul melalui umpan balik aktif dari proses bottom-up[5]. terakhir merupakan konsepsi up[5]. Yang terakhir merupakan konsepsi kepemimpinan yangdalam kita harapkan hadir dalam sistem kompleks sosial kita. kepemimpinan yang kita harapkan hadir sistem kompleks sosial kita. Adalah bukanlah keliru menanggap bahwa fungsi merupakan fungsi stabilisator sistem. kepemimpinan yang penuhkepemimpinan kendali stabilisator dari sistem. Adalah jugadari keliru Adalah sistem juga keliru menganggap bahwa kepemimpinan yang baik merupakan pengendali sistem dan dan tumpuan stabilisator sistem menganggap bahwa kepemimpinan secara yang keseluruhan. Terdapat risiko matinya kreativitas dan inisiatif lokal jika kepemimpinan di level meredam berbagai potensi dinamika yang baik merupakan pengendali sistem global menjadi penentu kontrol sosial secara umum. Pemimpin dengan keinsyafan sistem kompleks elemen-elemen sistem. Kepemimpinan di secara keseluruhan. Terdapat risiko sosial era tidakkompleks mengendalikan sistem, tapi lebih berupa “mengemudikan” sistem lokal [1]. Perannya matinya kreativitas dan inisiatif jika merupakan kepemimpinan bukanlah menjadi stabilisator melainkan menjadikan sistem tetap berada di tapal batas antara di “tepi chaos”, sebagaimana digambarkan kepemimpinan di level global menjadi keadaan yanggambar stabil dan ketakstabilan, tepi chaos. dalam 5. tak stabil secara dinamis: di tepi penentu kontrol disosial secaraKepemimpinan umum. di era kompleksitas sosial merupakan fungsi optimisasi dari elemen-elemen sistem. Pemimpin dengan keinsyafan sistem Adalah keliru menanggap bahwa fungsi kompleks sosial tidak mengendalikan kepemimpinan merupakan fungsi sistem, tapi lebih berupa “mengemudikan” Stabil “tep chaos” Tak Stabil “tep chaos” Optimum Tak TINGGI Stabil Volume lalu-lintas informasi RENDAH Keberagaman dalam RENDAH komunitas/masyarakat Keberagaman dalam komunitas/ RENDAH masyarakat Koneksivitas antar elemen RENDAH sistemantar elemen sistem Koneksivitas RENDAH Optimum Optimum Optimum TINGGI TINGGI TINGGI Optimum Optimum TINGGI TINGGI Kegalauan Kegalauan sosial sosial Diversifikasi karakteristik Diversifikasi karakteristik elemen-elemen sosial elemen-elemen sosial RENDAH RENDAH Optimum Optimum TINGGI TINGGI TINGGI TINGGI Optimum Optimum RENDAH RENDAH Volume lalu-lintas informasi Stabil RENDAH Gambar5 Optimisasi adalah fungsi kepemimpinan kompleks 19 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 sistem [1]. Perannya bukanlah menjadi stabilisator melainkan menjadikan sistem tetap berada di tapal batas antara keadaan yang stabil dan tak stabil secara dinamis: di tepi ketakstabilan, di tepi chaos. Kepemimpinan di era kompleksitas sosial merupakan fungsi optimisasi dari elemen-elemen sistem. Keberagaman kehidupan sosial di Indonesia merupakan salah satu yang paling kompleks di dunia. Lanskap kepulauan dan kenyataan historis masih mudanya demokrasi yang ada di Indonesia merupakan tantangan kompleks yang mesti dihadapi oleh masyarakat Indonesia hari ini, baik di sektor bisnis & ekonomi, politik, dan sosial budaya [6].Ini merupakan tantangan kepemimpinan yang harus kita hadapi hari ini, sebuah tantangan untuk merumuskan secara implementatif kepemimpinan di era dan berlandaskan keinsyafan akan kompleksitas sosial. Kerja yang disebut [1] Axelrod, R. & Cohen, M. D. (2000). Harnessing Complexity: Organizational Implications of a Scientific Frontier. Free Press. [2] Maulana, A & Situngkir, H .(2009). “Study to Ancient Royal Bureaucracies in Indonesian Archipelago”. BFI Working Paper SeriesWP-4-2009. Bandung Fe Institute. Sumber: http://stat.ks.kidsklik.com [3] Page, S. E. (2007). The Difference: How the Power of Diversity Creates Better Groups, Firms, Schools, and Societies. Princeton UP. [4]Reynolds, C. W. (1987).“Flocks, Herds, and Schools: A Distributed Behavioral Model”. Computer Graphics 21(4). SIGGRAPH '87 Conference Proceedings. [5] Seel, R. (2000). “New Insights on Organizational Change.s” Organizations & People 7(2): 2-9. [6] Situngkir, H., et. al. (2007). Solusi untuk Indonesia: Prediksi Ekonofisika dan Kompleksitas. Kandel. M Referensi 20 KO LO Volume III Nomor 1 Juni 2012 Belajar dari Kegagalan Republik Weimar “A civilized nation has full gun registration, our street will be safer, our police more efficient”. Demikian seru Adolf Hitler ketika mengesahkan German Weapons Act pada 1935. Undang-Undang tersebut menjadi salah satu instrumen Hitler dalam memperkokoh pemerintahan otoritarian fasis. Citra Ali Fikri Peneliti di Populis Institute Sejarah mencatat bahwa Nazi lahir dari rahim demokrasi ala Republik Weimar sebagai kekuatan fasis anti demokrasi yang didukung masyarakat Jerman secara luas. Republik Weimar saat itu menghadapi situasi krisis yang sulit, seperti pengangguran yang tinggi, hutang pemerintah yang membengkak, hiper-inflasi, hukum yang tidak berjalan, dan kesenjangan sosialekonomi yang parah. Semua hal di atas memunculkan ketidak-percayaan terhadap koalisi Weimar dan memicu 3 (tiga) pemberontakan, baik yang dilakukan oleh ekstrim kanan dan kiri. Situasi ini diperparah dengan korupsi di kalangan pemerintahan. 21 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Kita perlu mengamati gejala-gejala dalam proses demokratisasi di Indonesia dimana saat ini gejala-gejala fasisme mulai muncul. Tentu kita tak ingin transisi demokrasi siasia dan hanya menghasilkan instabilitas, apalagi berbalik ke arah fasisme seperti hipotesis yang dikemukakan oleh Bung Karno bahwa "Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut". Saat ini, kita boleh sedikit lega dengan rotasi kepemimpinan yang berjalan normal. Pemilu berjalan terbuka, partaipartai politik, media massa dan lembaga masyarakat sipil juga menemukan arenanya. Tata-kelola pemerintahan pun dirombak sedemikian rupa guna menghindari penumpukan kekuasaan. Sekilas, terlihat demokrasi sudah berjalan di negeri ini. Demoralisasi Demokrasi Republik Weimar adalah satu fase pemerintahan di Jerman yang berlangsung tahun 1919 hingga 1930. Istilah Weimar merujuk pada kota di mana konstitusi tersebut dirumuskan. Konstitusi Weimar adalah jawaban atas kehendak zaman yang menginginkan lembaga legislatif memiliki kewenangan luas untuk membatasi kuasa kekaisaran. Berlakunya Republik Weimar otomatis mengakhiri model kekaisaran, berganti sistem parlementer yang anggotanya dipilih warga. Persoalannya, demokrasi Weimar ternyata tidak selaras dengan keinginan warga. Pertama, revolusi yang mengawali Republik Weimar dianggap telah menusuk Jerman dari belakang. Kala itu, mayoritas warga Jerman tengah mempertaruhkan kebanggaannya dalam Perang Dunia I. Ketika dua juta rakyat Jerman masih berjajar di garis pertempuran, pemerintah baru hasil revolusi menginstruksikan mereka menarik diri. Mereka pulang dengan amarah, lantaran dipaksa menyerah sebelum perang usai. Kedua, penarikan mundur tentara Jerman yang diikuti perjanjian Versailes menyisakan beban berat. Mereka dipaksa melepas banyak wilayah dan koloninya, menanggung utang perang, disertai larangan penggabungan Austria ke wilayah Jerman. Singkat kata, demokrasi yang tercapai melalui Revolusi November 1918 ini harus dibayar dengan ongkos ekonomi dan politik yang sangat tinggi. Hal itu berimbas pada ranah sosial berupa kemiskinan dan pengangguran yang sangat masif. Saat itulah, warga merasa bahwa demokrasi tidak memberi apa-apa. Mereka juga menganggap konstitusi tak lebih dari secarik kertas tak berharga. Jaminan kebebasan, kesejahteraan, persatuan dan semua hal baik yang tertera dianggap sekedar tulisan yang tak pernah menjelma. Bangsa Jerman akhirnya terbelah menjadi dua kubu, pendukung demokrasi dan antidemokrasi. Saat itulah, seorang veteran perang bernama Adolf Hitler melancarkan kampanye politik secara massif. Dia menganggap kelompok Liberal dan Marxis yang mayoritas berbangsa Yahudi adalah sumber segala persoalan Jerman. Seiring krisis politik dan ekonomi yang akut, Nazi memperoleh lonjakan suara sangat drastis dalam Pemilu 1930. Mereka meraup 25,8% suara, naik 11 kali lipat dibanding Pemilu sebelumnya yang hanya mencatat 2,3% suara. Kondisi itu menandai dimulainya fase baru di Jerman, yaitu Reich ketiga di bawah kepimpinan sang Volume III Nomor 1 Juni 2012 Fuhrer, Adolf Hittler dan Partai Nazinya. Tumbangnya Republik Weimar turut dipicu gelombang Malaise 1929 yang memaksa Kanselor Bruning memotong dana sosial, termasuk asuransi pengangguran sehingga turut menambah beban klas pekerja. Akibatnya klas pekerja dan klas menengah mengalihkan dukungannya kepada golongan ekstrim kanan. Kanselor Bruning resmi mengundurkan diri pada 30 Mei 1932. Rezim yang Abai Konstitusi Saat ini, Indonesia telah mencapai tata negara yang sarat dengan corak demokrasi. Meskipun begitu, sayup terdengar suarasuara tidak puas. Suara itu terdengar di kolong-kolong jembatan, pasar tradisional, trotoar yang sesak hingga lahan-lahan pertanian yang sempit dan tergusur. Empat kali amandemen konstitusi tampaknya belum menjawab soal pasar tradisional yang tergusur pusat-pusat perbelanjaan. Kehidupan jalanan juga tak terpengaruh oleh pemilihan presiden secara langsung. Otonomi daerah pun belum menghasilkan kesejahteraan petani di desa-desa. Tenaga kasar hingga hari ini masih terus diekspor dan tak jarang berujung tragedi. Para elit republik terlihat abai dengan kenyataan itu. Mereka sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Mereka punya seribu satu dalih untuk membenarkan perilakunya, bahkan dengan mengatasnamakan demokrasi. Padahal mereka juga yang merongrong republik dengan perilaku korup. Semua itu disempurnakan oleh penegakan hukum tebang pilih. Reformasi dan demokratisasi telah menelan biaya besar. Kita sudah cukup Referensi 22 berduka dengan tumbangnya para pejuang reformasi. Sayang, di rezim demokratis ini korban tetap saja bertambah. Bebeberapa waktu yang lalu kita dibuat miris oleh benturan warga dengan aparat di Mesuji dan Bima. Kita juga menghela nafas menyaksikan kecelakaan yang menelan puluhan korban dalam tempo relatif pendek. Semua itu hanya membuktikan bahwa rezim demokratis ini belum mampu mewujudkan esensinya. Warga belum aman tinggal di republik ini. Kita pun dipaksa memaklumi tragedi heroik yang menyesakkan, ketika Sondang, seorang mahasiswa membakar diri di depan Istana Negara. Mahasiswa, yang dulu menjadi penggerak reformasi, dipaksa menelan kekecewaan ketika rezim saat ini hanya sibuk memoles diri. Semua itu belum termasuk ongkos ekonomi yang harus dibayar. Undang-undang Investasi, Pertambangan, Perkebunan, dan masih banyak paket kebijakan lain mengisyaratkan bahwa biaya stabilisasi fiskal dan demokratisasi negeri ini sangatlah mahal. Di saat yang sama, ekonomi kecil dan sektor informal yang pernah menjadi sekoci penyelamat krisis masih tetap dicadangkan. Mereka, bersama jutaan petani, buruh, kaum muda dan elemen-elemen kebangsaan negeri ini sampai sekarang harus bersabar menelan kekecewaan. Kepemimpinan di Tengah Demokrasi Sejarah membuktikan bahwa demokrasi melahirkan seorang Hitler, Obama, ataupun SBY. Tentu kita berharap rakyat yang penyabar ini tidak kecewa dengan demokrasi yang telah menjadi konsensus kebangsaan saat ini. Namun, mekanisme 23 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 demokrasi prosedural saja tidaklah cukup. Lebih dari itu, demokrasi harus menjawab kebutuhan mendasar warga. Mereka butuh kehidupan yang tenteram, sejahtera, berdaulat, bermartabat dan berkeadilan. Tak pelak lagi, demokrasi tetap membutuhkan kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan, demokrasi menjadi tanpa kejelasan arah seperti saat ini. Namun bukan sembarang kepemimpinan yang dibutuhkan. Kita membutuhkan pemimpin yang “otentik”. Pemimpin yang lahir dari sebuah dialektika pergerakan yang dimulai dari bawah hingga ke tahap ultima. Pemimpin yang benar-benar ditempa oleh pengalaman dan prestasi perjuangan politik. Pemimpin yang benar-benar teruji oleh benturan kanan-kiri romantika organisasi. Dan pemimpin yang benar-benar memiliki kapasitas sebagai organisatoris: orang yang mampu membangun dan memberikan arahan kemana organisasi akan menuju, bukan orang yang tiba-tiba hadir sebagai pemimpin karena dipoles. Demokrasi prosedural hari ini terbukti banyak gagal melahirkan pemimpin yang dimaksud. Kejadian terakhir terkait kisruh KPK dengan Polri adalah gambaran dari kegagalan demokrasi Indonesia hari ini melahirkan pemimpin yang otentik. Hanya pemimpin yang otentik yang mampu mengatasi masalah kebangsaan saat ini dengan sebuah kepantasan sikap. Dia akan memberi resolusi-resolusi tanpa banyak bergantung dan berkompromi dengan para kompetitornya. Dia akan memberikan keteladanan sikap layaknya seorang pemimpin. Dia tidak akan berkilah disaat seharusnya dia bersikap; tidak akan lari dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin; tidak akan banyak berapologi atas suatu permasalahan. Tidak banyak orang yang memiliki kualifikasi kepemimpinan otentik saat ini. Mereka yang memiliki elektabilitas tinggi dalam survey bukanlah mereka yang memenuhi kriteria-kriteria di atas. Kebanyakan mereka adalah para tokoh yang terangkat karena popularitasnya di media. Keotentikan seorang pemimpin adalah semacam antitesa dari kegelisahan bangsa Indonesia terhadap pemimpinnya. Sebab seorang pemimpin yang otentik haruslah bersih dari cacat politik masa silam agar tidak tersandera oleh para kompetitornya. Dia juga harus berpendirian inklusif dan berkarakter kebangsaan, bukan diktatorial dan pengabai konstitusi sebagaimana Hitler. Sebaliknya, kekuatannya akan digunakan untuk mengemban konstitusi sesuai kepentingan rakyat. Inilah harapan dari demokrasi yang sesungguhnya. Godaan bagi demokrasi yang limbung adalah fasisme. Fasisme hanya bisa dikalahkan oleh kekuatan rakyat yang terdidik, terpimpin, dan terorganisir karena mangsa empuk bagi fasisme adalah kaum tak terpelajar yang mudah dimobilisir. Ekspresi fasisme paling nyata adalah ia selalu meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme. Dengan demikian, krisis sosial adalah lahan subur baginya. Hanya kepemimpinan yang otentik dan amanah terhadap konstitusi yang mampu menyelamatkan demokrasi. Pemimpin lemah dan peragu hanya akan memperburuk wajah demokrasi. Dia akan terus tersandera kepentingan politik kompetitornya, sehingga gagal melayani rakyatnya. Jika kondisi ini terus berjalan, bukan tak mungkin kegagalan Republik Weimar akan terulang di negeri ini. kolom Volume III Nomor 1 Juni 2012 Referensi 24 Bertapa Di Ujung Pedang Laku seorang pemimpin acapkali bukanlah laku yang populer. Dipandang sebelah mata bahkan dicemooh. Sastrodarsono dalam cerita roman Para Priyayi karya Umar Kayam juga bukan tipikal pemimpin yang mendapatkan tepukan tangan bergemuruh ketika memilih jalan sepi untuk tidak mau tunduk begitu saja pada Jepang. Sastrodarsono yang pada pesta pernikahannya menggelar wayang kulit semalam suntuk dengan lakon Sumantri Ngenger, hanyalah anak petani yang mampu meniti tangga kepriyayian. Tangga ksatria yang diperhalus. Willy Aditya Direktur Eksekutif Populis Institute Pilihan Sepi Sumantri, satu dari tiga tokoh wayang dalam Serat Tripama yang menurut Mangkunegara IV adalah ksatria yang patut ditiru. Sumantri adalah anak pendeta yang mengabdi pada raja besar bernama Arjunasasrabahu. Dua tokoh wayang lagi adalah Kumbakarna dan Prabu Karna. Kumbakarna hidup pada masa Ramayana, adik dari Prabu Dasamuka, lawan dari Prabu Rama. Kumbakarna rela mati berhadapan dengan Rama untuk membela negaranya. Tokoh ketiga, Prabu Karna hidup pada masa Mahabarata. Sebagai saudara tiri Pandawa, Karna lebih memilih berada di sisi Kurawa yang selama ini memberikan penghidupan dan derajat padanya. 25 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Ketiganya, walaupun oleh Mangkunegara IV dijadikan prototype ksatria yang ideal, tapi mereka bukan tokoh yang populer. Jalan mereka jalan sepi, yang (kadang) dihindari banyak orang. Sumantri misalnya walaupun mempunyai kehebatan yang luar biasa, karena bahkan konon bisa memindahkan Sriwedari taman milik dewa untuk istri rajanya, tapi dia bukan apaapa bila dibandingkan Arjunasasrabahu. Kumbakarna yang kesaktiannya luar biasa, tetapi dia tidak lebih populer dibandingkan Gunawan Wibisono –adiknya—yang lebih memilih ikut Prabu Rama. Pun Prabu Karna yang kemahiran panahnya setanding dengan Arjuna, tapi daya pikatnya bagi banyak orang kurang besar dibandingkan dengan Arjuna. Tiga cerita ksatria ini adalah cerita yang sepi. Tidak ada yang bertepuk tangan atau bersorak sorai ketika tokoh-tokoh ini keluar dalam sebuah lakon. Sumantri mengalami kesepian yang luar biasa ketika pilihannya mengabdi sebagai patih pada Arjunasasrabahu musti memisahkannya dengan adiknya yang sangat dicintainya. Bahkan untuk pengabdiannya, tanpa sengaja dia membunuh adiknya. Kumbakarna juga secara persis tahu bahwa Dasamuka, kakaknya, adalah yang bersalah dalam hal penculikan Dewi Shinta, istri Rama. Tapi baginya ketika pasukan Rama memasuki negara Alengka maka, dia harus membela negaranya. Dalam cara pandang hitam putih: benar dan salah, jalan yang sama juga ditempuh Karna. Secara persis Karna tahu bahwa Pandawa-lah yang berhak atas kerajaan Astina. Indonesia masa kini semakin dibanjiri oleh mereka yang rindu tepuk-tangan dan sorak-sorai. Jalan sepi sebagai pilihan atas prinsip yang kuat dan teguh jarang didapat. Pemimpin yang ditemui lebih memilih mengayunkan pedang dalam gempita perang, lengkap dengan keinginannya untuk menghabisi lawan-lawannya. Dengan demikian, maka kemenanganlah tujuan akhirnya. Secara mendasar tentu ini berseberangan dengan jalan yang menempatkan kemenangan sebagai godaan, sehingga pilihan sepi dengan menyimpan pedang sebagai pilhan terakhir adalah kebijakan dari nilai seorang ksatria. Pilihan untuk tidak tergoda pada jalan pedang atau terancam oleh pedang inilah yang selama ini jarang ditemui di ranah ke-Indonesiaan. Tidak bisa dibandingkan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono misalnya, karena di tangannya sebenarnya telah ada pedang itu. Baginya pilihan yang terbaik adalah menggunakannya untuk memastikan kehadiran seorang pengayom dan pemelihara di tengah-tengah masyarakat. Pedang ini mustinya tidak tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Pemimpin di luar SBY inilah sebenarnya yang dicari oleh rakyat., yaitu mereka yang memilih jalan bertapa di ujung pedang. Beberapa nama yang muncul ke luar dengan keterkenalan dan daya pikat luar biasa bagi rakyat terkadang bukanlah pemimpin yang tepat untuk menghadirkan keteladanan. Karena keberadaannya sebagai ‘pemimpin’ juga bukan berada di jalan yang berbeda dengan yang sudah ada. Seperti Sumantri dalam Arjunasasrabahu, maka keberadaan Sumantri bukanlah untuk meniadakan rajanya. Semestinya adalah menambal segala kekurangan dari pilihan-pilihan kebijaksanaan raja. Bahasa populer menyebutnya sebagai kebijakan alternatif. Pemimpin dengan kebijakan alternatif tentunya akan melakukan banyak aktivitas Volume III Nomor 1 Juni 2012 alternatif yang mampu mendorong banyak orang mempunyai perubahan pola perilaku. Pola perilaku yang dilahirkan sebagai keteladanan inilah yang kemudian tidak hanya berhenti dalam ucapan. Tindakan nyata pemimpin merupakan pilihan bagi mereka untuk memberi keteladanan pada rakyat. Heywood (2002) menjelaskan pemimpin sebagai pola perilaku, kepemimpinan adalah pengaruh yang diberikan oleh seorang individu atau kelompok pada organisasi yang lebih besar untuk mengatur atau mengarahkan upaya ke arah pencapaian tujuan. Menginventarisir daftar tokoh Indonesia saat ini misalnya Prabowo Subianto yang tingkat popularitas dan keterpilihannya paling tinggi saat ini (17%). Tentu saja akan demikian, karena nama tokoh ini bukan muncul tiba-tiba. Sebagai seorang yang berasal dari lapis atas negeri ini, nama Prabowo sudah berkibar sejak Orde Baru. Bahkan sebagai menantu Soeharto pada waktu itu, kans Prabowo untuk menggantikan Soeharto sangat besar. Rakyat melihat itu secara nyata dan jelas. Namun sejarah berkata lain, Prabowo sampai saat ini belum mampu meraih kursi kepresidenan. Jika diibaratkan tiga tokoh dalam Serat Tripama di atas maka Prabowo hampir Referensi 26 pasti tidak masuk dalam salah satu kategori pun. Pertama, terlepas dari kesalahan yang diidap dalam rezim Soeharto kesetiaan tentu menjadi modal utama seorang pemimpin. Prabowo tidak mempunyai kesetiaan sama seperti yang ditunjukkan Sumantri dan Prabu Karna. Kedua, semangat berjuang Prabowo bukanlah di saat kejatuhan negeri ini. Ini terlihat setelah Soeharto turun hingga masa reformasi kiprah Prabowo sangat senyap. Prabowo muncul kembali pada Konvensi Golkar tahun 2004. Kekalahan dalam konvensi itulah yang kemudian membuatnya mendirikan Partai Gerindra pada 12 Juli 2008. Merujuk kembali Tripama, kemunculan Kumbakarna membela negaranya adalah pada saat Alengka dalam kondisi paling buruk. Namun Kumbakarna tetap maju ke medan perang dengan kesadaran bahwa dia akan kalah. Keberadaan Prabowo dapat dibandingkan dengan tokoh yang sama sekali tidak populer: Surya Paloh. Mulai dari tahun 1969 Surya Paloh telah berkarir di Golkar. Karir politik Surya Paloh juga tidak tibatiba sudah di atas, tetapi merangkak dari bawah. Sebagai seorang yang tidak mempunyai darah biru dalam trah politik Indonesia, peran Surya Paloh tidak dapat dipandang sebelah mata. Setelah kalah dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, Surya Paloh tidak undur diri. Alih- 27 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 alih mendirikan partai politik baru, Surya Paloh lebih memilih mendirikan ormas Nasional Demokrat. Ormas ini lebih banyak membangun alternatif perilaku politik untuk mengubah kondisi sosial masyarakat. Kegiatan sosialekonomi lebih banyak dilakukan, tanpa mengecilkan kegiatan politiknya. Hingga ketika kader ormas Nasdem mendirikan Partai Nasdem, Surya Paloh masih bertahan di Partai Golkar. Kepergiannya dari Partai Golkar lebih disebabkan karena ketiadaan ruang demokrasi yang diberikan padanya. Dapat dikatakan kepergian Surya Paloh bukan karena tidak mendapat posisi atau jabatan tetapi lebih karena pilihan artikulasi politik lebih luas tersedia di tempat lain. Prabu Rama pada Gunawan Wibisono –adik Rahwana—ketika diangkat menjadi raja setelah Rahwana kalah perang. Delapan ajaran Sri Rama pada Wibisana ini terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat dan Ramayana Kakawin Jawa Kuna. Tokoh ini bukan tipikal orang yang rindu sorak-sorai dan tepuk tangan. Pilihanpilihan sikapnya sama sekali tidak mengundang popularitas. Pilihan-pilihan program politiknya pun bukan yang bombastis, tetapi lebih realistis, layak, dan sesuai dengan kebutuhan mendesak rakyat. Tawaran janjinya memang biasa saja, tapi tindakan di lapangan lebih dari yang terlihat. Kesigapan ormas, sayap pemuda, organisasi mahasiswa, dan sebagainya menunjukkan kualitas Surya Paloh memang lebih pada mengubah pola perilaku mereka yang dipimpinnya untuk tujuan organisasinya. Surya Paloh, secara sikap mempunyai kesamaan dengan sikap Kumbakarna dan Prabu Karna: sudah tahu akan ‘kalah’ tapi tetap berdarma bhakti. Seorang pemimpin harus mempunyai watak seperti Dewa Indra. Pemimpin dengan watak ini diharuskan tidak mempunyai kecenderungan melakukan diskriminasi. Memimpin dengan memperlakukan secara sama terhadap semua orang, tidak memandang pangkat dan jabatan. Watak kedua yang harus dimiliki oleh pemimpin adalah watak Dewa Yama. Dewa ini menjadi simbol memberantas segala angkara murka di dunia. Pemimpin walaupun acapkali musti menggunakan pedangnya, tetapi harus mempunyai watak Dewa Surya. Dewa ini merupakan perlambang kesabaran pemimpin dalam mencapai cita-cita dan tidak harus dengan marah-marah untuk memberikan perintah. Asthabrata: Delapan yang Menjadi Satu Dalam konsep yang lain tentang pemimpin, epos Ramayana melahirkan gagasan tentang pemimpin yang dikenal dengan Asthabrata. Asthabrata adalah ajaran Watak keempat yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah watak Dewa Candra. Dewa ini merupakan dewa yang tulus, ramah, pemaaf, dan rendah hati dalam memelihara dunia. Selain itu pemimpin juga harus memiliki kepedulian terutama kesejahteraan rakyatnya sehingga mudah Volume III Nomor 1 Juni 2012 Referensi 28 bagi pasang-surutnya program organisasi. Komitmen walaupun harus dijaga oleh suara pemimpin (tone at the top) tetapi jika terlembaga maka akan menjadi budaya bagi individu. memberdayakan kemampuan rakyatnya. Inilah watak kelima seorang pemimpin, yaitu Dewa Bayu. Pemimpin juga harus mempuyai keteguhan untuk bersikap jujur, suka menolong, mempunyai komitmen terhadap peraturan. Watak keenam ini adalah watak Dewa Kuwera. Pemimpin juga harus mempunyai watak mau dan berani mengubah hal yang buruk menjadi baik sebagai watak ketujuh yaitu watak Dewa Baruna. Tentunya semua watak ini akan semakin lengkap jika seorang pemimpin mempunyai semangat juang tinggi seperti watak Dewa Brama. Watak kedelapan ini menjadi pengikat semuanya. Delapan watak dewa inilah yang harus melekat dalam diri seorang pemimpin. Walaupun pemimpin tetap bukan seorang dewa, kelemahannya bagaimanapun tetap ada. Sehingga setiap program yang dilahirkan seorang pemimpin bukanlah karena murah hatinya pemimpin (benevolence), tetapi sebagai bagian dari komitmen politik yang terlembagakan dalam pola perilaku organisasi (negara). Dengan demikian timbul-tenggelamnya seorang pemimpin tidak menjadikan alasan Untuk melihat apakah tokoh-tokoh yang saat ini muncul di panggung politik Indonesia sudah memiliki laku utama Asthabrata atau tidak tentu tidak mudah. Semua memang belum terbukti, tetapi setidaknya secara sepintas kilas dapat dibaca. Mulai dari tokoh terpopuler saat ini, Prabowo Subianto. Sebagai tokoh besar, komitmen untuk kesejahteraan rakyat dan semangat juang Prabowo tidak dapat diragukan lagi. Namun tokoh ini mempunyai kelemahaan karena tidak mampu membangun sikap rendah hati yang dimiliki Dewa Candra, serta kurang sabar dalam mencapai citacita dan tidak marah dalam memberi perintah selayaknya Dewa Surya. Program-program kesejahteraan rakyat yang menjadi program Prabowo Subianto misalnya lebih cenderung terlihat sebagai program kebaikan hati daripada komitmen politik. Sikap politik yang cenderung berapiapi juga menjadi bagian yang tampak dari sikap tidak sabarnya tokoh satu ini. Apalagi dengan upayanya melakukan ‘kooptasi’ pada lembaga/organisasi lain seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), dan sebagainya menunjukkan tokoh ini mempunyai kecenderungan untuk mengambil semua yang bisa diambil. Tokoh kedua yang muncul di arena politik dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia saat ini, bahkan secara resmi telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden adalah Aburizal Bakrie. Sebagai pribadi tokoh ini mempunyai keberanian dalam mengambil risiko. Namun yang 29 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 terlihat dari permukaan, tokoh ini masih belum mempunyai watak Dewa Indra yang tidak diskriminatif. Pengelolaan konflik di tingkat organisasi yang dipimpinnya saat ini, Partai Golkar, lebih cenderung untuk menyingkirkan yang tidak sejalan dengannya dibandingkan mengakomodir. Keterburuannya dalam mencalonkan diri sebagai calon presiden, bahkan kemudian membuat berbagai rambu yang memastikan pencalonannya tidak akan goyah, memberi sinyal bahwa tokoh ini sedemikian terburu-buru dalam mengejar cita-citanya. Kelemahan lain tokoh ini adalah kurang peduli pada kesejahteraan rakyat seperti Dewa Bayu. Tokoh ketiga, Surya Paloh muncul di arena politik dengan kesabaran yang sangat tinggi. Bahkan dengan kehadiran Partai Nasdem pun, Surya Paloh tidak mempunyai kemauan untuk terlalu sering muncul, apalagi dalam sebuah iklan. Kepercayaannya pada tenagatenaga muda adalah komitmen untuk membangun kemampuan orang-orang yang dipimpinnya. Surya Paloh juga terlihat mempunyai watak yang rendah hati dan mampu masuk ke tengah-tengah rakyat. Ini terlihat dengan longgarnya protokoler dan penjagaan pada tokoh ini jika turun ke bawah. Komitmennya atas kesejahteraan rakyat juga tidak saja muncul sebagai bagian dari ambisinya dalam mengejar cita-cita. Secara kasat mata terlihat pada lebih populernya nama Nasdem dibandingkan dengan nama Surya Paloh. Ini menjadi indikasi bahwa segala program dan aktivitas yang dilakukan Surya Paloh bukan semata untuk kekuasaan. Apalagi jika dilihat dari kesabaran Surya Paloh yang mulai dari membangun karirnya di tingkat bawah hingga akhirnya membangun ormas Nasdem. Dari tokoh-tokoh yang muncul di tengah khalayak ramai terlihat bahwa kemampuan menyatukan delapan hal dalam diri seseorang tidaklah mudah. Tentu saja karena kedelapan laku utama seorang pemimpin bukanlah hal yang dapat dipelajari lalu direplikasi. Laku utama pemimpin adalah kemampuan pemimpin mendengarkan hatinya untuk lebih mampu menyerap setiap suara di luar dirinya. Sehebat apapun pemimpin untuk bersolek dengan citra gebyar di media tetap tidak mampu menutup lubang besar yang menjadi watak ciri wanci ginawa mati (watak ciri khas waktu yang dibawa mati). Karena ini hanya bisa didapat dari interaksi langsung dengan rakyat. Tiga Hal Terakhir Sebagai konsep dan cara, kepemimpinan bukanlah hal yang baku. Mengharapkan konsep kepemimpinan berlaku sebagai buku manual alat-alat elektronik atau resep memasak adalah percuma. Karena tidak akan pernah ada pemimpin yang mampu sama persis dengan pemimpin yang lain. Bahkan mereka yang menjaga sirkulasi kepemimpinan dengan ikatan darah secara turun-temurun pun tidak akan mendapat pola kepemimpinan yang sama dari waktu ke waktu. Tentu saja juga seorang pemimpin tidak akan mampu memberikan semangat yang sama pada rakyatnya. Dan juga kepuasan. Namun ada tiga hal penting yang ini pantas dipegang seorang pemimpin. Volume III Nomor 1 Juni 2012 Referensi 30 Sumber: http://3.bp.blogspot.com Pertama, kawruh tan wonten malih (tidak ada ilmu yang tidak berubah). Seorang pemimpin tentu tidak hanya mengandalkan kepintaran atau kecerdasan tetapi juga kemampuannya menerima ilmu (hal) baru yang mungkin saja berbeda dengan apa yang selama diyakini. Tentu ini sangat sulit bagi pemimpin sekarang, karena toh sebagian besar dari pemimpin kita lebih setia membela kebenaran kelompoknya daripada menerima ilmu-ilmu baru dari luar kelompoknya. Kedua, pangruwating barang sakalir (membebaskan diri dari hal-hal yang sepele). Persoalan ini tidak semudah membacanya. Dalam konsep Jawa, hal-hal sepele itulah yang kadang menimbulkan petaka. Sepele ini hal kecil, kadang sungguh-sungguh tidak bermakna dan berarti tetapi itu petaka bagi orang tertentu. Hal sepele ini bagi tiap orang berbeda, begitu pula bagi tiap pemimpin. Terakhir dari tiga hal yang penting bagi pemimpin adalah ngelmu wewadining bumi kang sinengker Hyang Jagad pretingkah. Pemimpin harus mampu membaca rahasia bumi alam semesta ciptaan dari Tuhan. Kemampuan seorang pemimpin dalam hal ini juga berarti kemampuan membaca kondisi sosial, ekonomi, dan budaya bangsa negaranya. Tanpa ini, seorang pemimpin hanya menjalankan apa yang dipikirkannya saja. Menjadi pemimpin tidak hanya persoalan menjadi dikenal dan mampu tampil di banyak panggung. Pemimpin adalah konsep keberanian untuk sepi di tengah keramaian. Bahkan pemimpin harus mampu bertapa di ujung pedang: sanggup menyarungkan pedangnya sekaligus berani bersikap teguh atas sikapnya walaupun di bawah ancaman ujung pedang. Silahkan! [] Referensi KO 31 Volume III Nomor 1 Juni 2012 LO M Tantangan Kepemimpinan Politik Kita It is better to lead from behind and to put others in front, especially when you celebrate victory when nice things occur. You take the front line when there is danger. Then people will appreciate your leadership. NELSON MANDELA M Alfan Alfian Direktur Riset The Akbar Tandjung Institute dan Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta KEPEMIMPINAN merupakan sesuatu yang abstrak, walaupun dapat diturunkan ke soal-soal teknisnya. Sebagaimana saya kutip dari mantan presiden Amerika Serikat, yang karena tersandung skandal Watergate kemudian terjungkal dari kekuasaannya: Nixon mengundurkan diri, dalam buku saya –mungkin satu-satunya buku yang berkonsentrasi tema kepemimpinan politik sebagai bacaan umum di Indonesia sejak era Reformasi, karena yang lazim adalah tema-tema kepemimpinan bisnis– “Menjadi Pemimpin Politik”, pemimpin adalah puisi. Otoritas penerbit, melalui seseorang yang membaca naskah saya, tetapi bukan editornya, mengatakan kepada saya, tepatnya menanyakan pendapat saya, apakah saya setuju dengan yang dikutip Nixon itu. Sumber: http://1.bp.blogspot.com Kembali Ke Kedalaman: Volume III Nomor 1 Juni 2012 Kalau saya setuju, katanya, dia khawatir kelak pembaca akan menilai bahwa saya sebagai pengarang tidak punya pendapat sendiri. Mula-mula saya setuju sepenuhnya dengan Nixon, justru karena nuansa “pemimpin adalah puisi”, pemimpin yang abstrak yang visioner saya bayangkan, ialah mendekati pemahaman soal kepemimpinan politik. Tetapi, kemudian, dan ini yang lantas berubah dalam pendapat saya, pemimpin adalah puisi, tetapi juga tidak berarti puisi sama sekali, pemimpin juga punya gradasi teknikal sampai ke prosa. Kemudian, saya bayangkan bahwa puisi itu ekstrem yang satu, prosa ekstrem yang lain. Pemimpin politik bukan sekedar manajer perusahaan, karena gradasinya yang mendekati puisi. Pemimpin politik yang terlalu teknis, sering terjebak pada jalan yang sebetulnya itu bukan jalan yang tepat dalam mengelola sebuah organisasi politik. Meskipun banyak prinsip-prinsip yang sama, Peter F. Drucker mengajak kita untuk mencermati betul bahwa betapapun demikian, karakter organisasi politik itu non-profit, yang logika dan aksi pengelolaannya berbeda dengan organisasi bisnis atau profit. Benang merah yang membedakannya, antara lain derajat kesukarelaan: orangorang sukarela dalam organisasi nonprofit tentu karena ada faktor di seberang motivasi material, dan manakala organisasi itu organisasi politik, struktur insentifnya adalah kekuasaan. Adapun kekuasaan, apakah ia sesungguhnya, telah banyak dibahas oleh para sosiolog, dan tentu ia tidak semata-mata berurusan dengan materi, tetapi pengaruh. Materi hanyalah alat untuk memainkan pengaruh. Ini baru pengertian yang paling sederhana: ketika kekuasaan, pengaruh itu membentang dari pola dominasi ke hegemoni. Referensi 32 Politik hampir nyaris selalu berurusan dengan kekuasaan, gradasinya dari yang filosofis ke yang teknis. Yang filosofis diisi dengan berbagai pandangan tentang yang baik-baik, yang netral dan yang tidak baik-baik tentang politik. Seorang budayawan berpendapat, ibarat, katakan mal, politik itu berpintu satu: masuk dan keluarnya cuma dari satu. Ada juga yang bilang, politik itu bagaikan kacamata kuda, melihatnya harus ke depan, tidak boleh ke mana-mana. Satu perspektif: one dimensional man. Kebudayaan itu berpintu banyak: masuknya bisa dari mana-mana. Bahkan dalam kebudayaan terdapat pintu politik. Tetapi, politik seringkali kaku sekali untuk tidak mempertimbangkan aspek kebudayaan yang lebih luas, kecuali kepentingan. Tetapi, saya membayangkan bahwa sesungguhnya politik pun bisa berpintu banyak. Memang tidak seluwes kebudayaan ketika politik suka menggiring ke pilihan-pilihan dilematis: kepentingan mana yang lebih optimal, dan pada akhirnya politik semata-mata realistis, dimana Logika-logika Demokrasi Elektoral Demokrasi elektoral memberi legitimasi bagi hadirnya para politisi terpilih yang memiliki kewenangan dan fungsi-fungsi penting dalam kebijakan publik. Kalau kita membahas soal perkataan bahwa demokrasi membutuhkan partai, atau mustahil demokrasi tanpa partai, maka konteksnya adalah prosedural. Yakni, bagaimana demokrasi ditekniskan sedemikian rupa ke hal-hal seperti bagaimana proses pencalonan dan pemilihan. Demokrasi politik, akhirnya bisa sangat identik dengan persoalan-persoalan elektoral. Karenanya bisa segera dipahami, manakala demokrasi tidak dapat memuaskan semua Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sumber: http://www.newcivilisation.com 33 orang. Ketika partai kita tidak lolos seleksi KPU misalnya, tentu kita akan sangat kecewa. Kita akan segera mempersoalkan aturan proseduralnya yang kita sebut membatasi kedaulatan rakyat, mengebiri demokrasi substansial dan sebagainya. Keluhan kita juga berkembang ke soal pragmatisme, bahwa yang banyak dananya, akan cepat berkonsolidasi, yang bermodal tipis akan banyak kesulitan. Kita akan banyak mengeluhkan sistem yang tidak berpihak ke partai kecil dan menguntungkan partai besar, walaupun partai besar pun terkesan kelabakan juga dengan pengabulan judicial review Mahkamah Konstitusi, bahwa semua partai harus diverifikasi ulang. Betapapun demikian, pelajaran dari tidak lolosnya sejumlah partai dalam seleksi administrasi awal KPU ialah bahwa prosedur memang tidak dapat disepelekan. Demokrasi memerlukan tertib prosedural. Demokrasi membutuhkan kesiapan dan dukungan. Kedaulatan rakyat yang abstrak perlu ditekniskan. Tidak ada yang sempurna dalam sistem kepartaian di manapun, karena pasti tetap meninggalkan keluhankeluhannya dari mereka yang merasa dirugikan. Misalnya di Turki. Tahukah Anda bahwa di sana parliamentary threshold-nya paling tinggi sedunia? Tiga setengah persen? Tidak. Lima persen? Juga tidak. Tetapi, tidak tanggung-tanggung, yakni sepuluh persen. Belakangan ini Uni Eropa mendesak agar ketentuan itu diturunkan, karena dianggap terlalu tinggi. Tetapi, Recep Tayyip Erdogan pemimpin Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), sebuah partai Muslim-demokrat yang berkuasa dengan perolehan suara pada Pemilu 2011, 49% menolak. Bagaimanapun partai ini sangat diuntungkan dengan ketentuan itu. Tetapi, ini ada kaitan politis dengan pengalaman sebelumnya bahwa kekuatan politik sekuler-Kemalislah yang menghendaki angka ambang batas itu. Soner Cagaptay, pengamat politik Turki, Volume III Nomor 1 Juni 2012 mencatat bahwa dulu ketentuan itu dipakai untuk membendung arus politik Kurdi, agar setiap partai politik yang mereka dirikan tidak akan punya representasi di parlemen. Kita tahu bahwa Turki masih punya soal dengan Kurdi, etnis minoritas yang oleh kalangan sekuler-kemalis menjadi ancaman nyata sejak perlawanan Syeh Said 1925. Tetapi, di sisi lain sistem pemilu legislatif Turki, membuka kesempatan bagi caloncalon independen. Karenanya, banyak politisi Kurdi atau yang tak tertampung di partai, mencalonkan diri. Memang jumlahnya tidak terlampau besar, calon independen yang berhasil duduk di parlemen. Tetapi, setidaknya ada ruang atau celah bagi yang nonpartai. Sementara itu, berbeda dengan kita, pemilihan presiden justru tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui parlemen. Partai mayoritas di parlemen selalu memiliki peluang paling besar dalam menelorkan presiden. Abdullah Gul, misalnya, walaupun ditolak oleh demonstran sekuler-Kemalis dan militer di luar parlemen pada Pilpres 2007, terpilih juga akhirnya. Ini karena, pascapemilu legislatif 2007, jumlah kursinya di parlemen sudah lebih dari mencukupi untuk memilih Gul sebagai presiden baru setelah berkali-kali buntu. Kita juga mencatat, bahwa tidak semua partai di Turki langgeng. Coba bayangkan, AKP yang berkuasa sekarang adalah partai baru ketika ia memenangkan Pemilu 2002. Partai-partai lama terpental, dan hanya menyisakan satu partai oposisi ketika itu, Partai Rakyat Republik (CHP) partai warisan Kemal Ataturk. Di Indonesia, kita juga mencatat fenomena Partai Demokrat. Ia partai baru ketika kemudian calon presidennya terpilih pada 2004, dan bertahan hingga kini atau dua periode. Partai ini sekarang merupakan partai terbesar. Referensi 34 Belajar dari AKP dan Partai Demokrat, maka sesungguhnya, demokrasi prosedural tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Semua tokoh bisa mempersiapkan diri, menghimpun diri, dan membuat partai baru. Asal siap dan sungguh-sungguh, maka boleh jadi jalannya akan mulus, dan berpeluang mengagetkan untuk menang pemilu, manakala rakyat menghendaki. Selain para politisi harus paham paham akan proses dan konseuensi prosedural dalam demokrasi politik, saya mencatat beberapa logika demokrasi elektoral, sebagai berikut: (1) kompetisi satu orang satu suara (one man one vote); (2) demokrasi kuantitatif menyingkirkan deliberasi alias berisiko meminggirkan kualitas pendapat dan memenangkan mayoritas; (3) institusionalisasi yang justru ditopang oleh mobilisasi pragmatis; (4) perlunya kharisma asli dan buatan: pentingnya vote getter (penarik suara). Anda bisa langsung menguraikan sendiri empat hal itu, dan bisa menambahkan yang lain. Intinya, barangsiapa yang mampu memikat dukungan sebanyak-banyaknya, maka dia akan lolos sebagai politisi terpilih. Bagaimana Kalau Kita Beli Politik? Kita sering resah dalam menghadapi realitas, dan pemimpin politik sering lebih memilih pendekatan-pendekatan yang menonjolkan aspek-aspek permukaan yang mendegradasi demokrasi ketimbang kedalaman yang mengokohkan demokrasi. Aspek-aspek itu, antara lain: pencitraan dan idolisasi politik yang menekankan pentingnya bedak dan gincu dalam membangun persepsi; penyembulan pendekatan pragmatisme-transaksional; deideologisasi; deintelektualisasi; kekerasan dan kepurbakalaan; alienasi dan Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sumber: http://www.archive-ilr.com 35 kapalsuan kekuasaan; dan faksionalisme, bahkan bosisme dalam dinamika konflik dan konsensus pragmatis. Dalam hal ini, perlu kita baca lagi tulisan saya di Harian Seputar Indonesia (13/9/12) yang berjudul “Demokrasi Komikal Kita”. Dalam tulisan itu saya hendak menyentil soal, betapa aspek-aspek permukaan inilah yang dominan dalam praktik demokrasi politik kita. Saya mengutip Novelis Umberto Eco bahwa, “sebuah peradaban demokrasi akan menyelamatkan dirinya sendiri hanya jika ia membuat bahasa gambar menjadi stimulus bagi refleksi kritis, bukan undangan untuk hipnosis”. Saya refleksikan ujaran itu pada komik-komik R.A. Kosasih dan politik kita. Kosasih melaui komik-komiknya telah meninggalkan kita bahasa gambar. Mungkin Anda akan segera sepakat dengan saya ketika membaca komik-komik itu, kita tidak akan terhipnotis oleh gambargambarnya, melainkan segera keluar dari benak kita refleksi-refleksi kritis. Misalnya, ketika komik Mahabharata atau Ramayana Kosasih kita baca ulang, tokoh-tokohnya segera menyembul keluar dari panel yang membatasinya, dan hadir dalam kehidupan politik aktual kita. Tak berlebihan kiranya, manakala komikkomik Kosasih itu, meminjam ujaran Novelis Umberto Eco di atas, memicu penyelamatan peradaban demokrasi. Dari komik-komiknya, sesungguhnya kita belajar ketokohan, sifat kepahlawanan versus kejahatan, kepantasan versus keserakahan. Dan sadar tidak kita bahwa ikonografi tokoh-tokoh yang menyembul dalam komik-komik itu gambaran dari wajah kepolitikan kita? Refleksi kritis mengemuka, misalnya ketika kita bertanya siapa yang cocok jadi Sangkuni masa kini? Ketika Gus Dur tempo dulu mengingatkan kita pada tokoh Semar, maka apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tepat apabila diidentikkan dengan Yudhistira? Komik adalah jenis media untuk menyampaikan pesan. Memang tidak semua komik Anda klaim bermanfaat, tetapi pembaca yang kritis akan berupaya menangkap hikmahnya. Setidaknya sejak dekade 1950-an, komikus-komikus Volume III Nomor 1 Juni 2012 Indonesia berupaya menampilkan karakter-karakter tokoh universal yang Indonsiawi. Misalnya, Sri Asih merupakan upaya keras Kosasih menghadirkan tokoh kita sendiri, walaupun terinspirasi komik Barat. Penciptaan cita rasa Indonesia penting tidak saja karena nasionalisme, tetapi juga agar kita tidak lupa wajah sendiri. Sebagaimana dicatat peneliti komik Indonesia Marcel Bonef, alur cerita komik-komik kita sejak 1950-an itu khas. Satu sisi ada pihak yang didzalimi tokohtokoh jahat. Ada yang menjadi korban kejahatan. Kemudian, hadir tokoh yang tampil membela yang lemah. Tokoh ini tidak sombong, penampilannya khas tapi sederhana, dan yang terpenting, sakti mandraguna. Ada beberapa tokoh rekaan seperti Si Buta dari Gua Hantu dan Panji Tengkorak, ada juga tokoh yang diambil dari legenda yang pernah ada, seperti Si Pitung atau Jampang dari Betawi. Dari tokoh-tokoh itu, hadir suatu persepsi umum bahwa kita butuh pemimpin yang bisa menyelamatkan dari tekanan atau kejahatan keadaan. Kita butuh tokoh yang tulus tanpa pamrih, pahlawan pembela kebenaran, yang tidak pernah membebani rakyat, melainkan membebaskan rakyat dari tekanan hidup. Karakter-karakter tokoh komik wayang yang digambarkan Kosasih, lebih kompleks lagi, tetapi prinsipnya sama. Kita akan segera bisa tersambung dengan tokoh yang pantas dan otentik sebagai ksatria sejati, serta mana yang serakah alias antagonis. Tidak semua tokoh protagonis itu lurus-lurus saja kehebatannya, melainkan penuh dengan ujian dan cobaan. Artinya, tidak ada tokoh yang muncul seketika, mendadak sakti tanpa sebab yang jelas. Bahkan Gatutkaca pun perlu digembleng di kawah Chandradimuka. Pendawa Lima pun pernah kalah main judi, dan sebagai Referensi 36 akibatnya mereka terusir dan terluntalunta. Para tokoh protagonis selalu sadar akan harga diri, dan punya standar etika yang konsisten ditaati. Meskipun tertimpa berbagai ujian dan cobaan, tokoh yang baik secara ikonografis digambarkan sebagai yang lemah lembut secara etika. Sebaliknya, yang jahat berangasan, anarkhis dan dipenuhi dengan nafsu kekuasaan yang tinggi untuk merebut dan mempertahankannya dengan segala cara. Misalnya Arjuna yang kstaria lemah lembut itu, akan sangat kontras manakala disandingkan dengan Raksasa Cakil atau Terong. Yang tak kalah menarik lagi, baik di sisi baik maupun jahat, terdapat komunitas punakawan yang tugasnya mengingatkan agar yang baik tidak terjerumus jahat, yang jahat bisa menjadi baik. Hanya, komunitas yang terakhir itu biasanya marjinal. Dari situ saya hendak mengatakan bahwa praktik demokrasi politik kita sesungguhnya hampir mirip dengan kisah-kisah tokoh-tokoh komik. Artinya, komik memberi peluang reflektif. Dalam tradisi demokrasi elektoral satu orang satu suara, citra atau kekuatan tokoh itu penting, maka dalam menimbang pemimpin, ukuran umumnya kewajaran dan kepantasan. Karena syarat untuk menjadi tokoh antagonis, pertama-tama harus wajar dan pantas. Di komik juga demikian. Tokoh utama ialah yang memang pantas dan otentik. Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Wayang sering terlampau ekstrim menggambarkannya secara fisikal. Misalnya, yang protagonis berdada bidang, yang jahat bergigi taring. Tetapi, bukan berarti substansi terhilangkan. Karena logikanya, simbol itu muara dari etika dan isi. Yang permukaan perwujudan dari kedalaman. Semua sudah melalui proses panjang kreativitas para pujangga. Tapi masih bisa terjadi pembalikan simbolik atau anomali, bahwa tidak semua raksasa itu jahat. Tidak semua kstaria berkumpul di kubu politik Pandawa yang berhak atas kekuasaan. Ada banyak ksatria pula di kubu Kurawa. Kadang-kadang banyak absurditas yang kita temui dalam kisah-kisah kepolitikan kita, seperti juga dalam komik-komik. Tetapi, era kejayaan komik-komik Kosasih dan generasi sesudahnya, tampaknya sudah sangat berlalu. Bahasa gambar yang mendominasi kebudayaan populer kita sekarang ialah sinetron-sinetron alias opera-opera sabun yang lebih komikal dan berpanjang-panjang. Absurditas-absurditas dalam opera sabun, kemudian diringkas dalam rumus yang oleh sementara kalangan manjur diterapkan dalam alam demokrasi elektoral, yakni semakin terkesan terdzalimi, semakin populer dan elektabel. Bahasa gambar akhirnya sekedar mentok pada sihir-sihir hipnotis, tanpa membuka peluang yang lapang bagi publik untuk berpikir kritis. Bahasa gambar itu mempertontonkan adegan-adegan absurd Sumber: http://www.archive-ilr.com 37 yang menyingkirkan kualifikasi dan proses. Rumah yang mentereng, mobil yang bagus-bagus, konflik kaum elite yang tak menjangkau urusan nyata masyarakat, jalan pintas pemecahan masalah, tampilantampilan hedonis dan boros, kata-kata yang menggampangkan dan penuh dendam, merupakan catatan-catatan kecil kita ketika menonton opera-opera sabun yang berbui-buih itu. Demokrasi komikal kita penuh cerita, tetapi sayangnya segera berujung pada hipnotis, bukan kekritisan, justru karena ia diasingkan. Bagaimana mungkin kita bisa menikmati opera sabun dengan kritis, manakala ia sengaja tidak memberikan tempat pada kritisisme? Di alam nyata, demokrasi komikal kita banyak yang mengejawantah dalam ekspresi-ekspresi menyanjung para patron masing-masing alias Asal Bapak Senang (ABS). Atau, wujud-wujud turunan yang sekedar menyenangkan mitra kerja calon pejabat, apakah capres, calon kepala daerah ataukah caleg, melalui laporan-laporan riset yang menghipnotis. Kalau semua saling menghipnotis, dengan menyingkirkan Volume III Nomor 1 Juni 2012 stimulus-stimulus bagi hadirnya refleksirefleksi kritis, maka barangkali benar kata Umberto Eco di atas, peradaban demokrasi kita akan kolaps. Karena, semua orang akan berpikir bagaimana kalau kita beli politik, berapa harganya? Kalau memang politik butuh sihir-sihir alias hipnotis, kalkulasikan berapa ongkosnya? Barangkali itu puncak dari pendangkalan, kalau bukan kekolapsan demokrasi. Karena, rasionalitas kritis dilampaui oleh rasionalitas jalan pintas dan manipulatif tersistem. Yang terakhir itu disebabkan tidak diberikannya ruangan bagi khalayak untuk kritis, atau sengaja diciptakan penindasan kekritisan. Padahal, sebagaimana Umberto Eco, yang menyelamatkan peradaban demokrasi kita, kalau begitu rasionalitas sebagai dasar dari hadirnya sikap-sikap kritis. Dan, selama bahasa-bahasa gambar atau simbol-simbol itu tidak menjadi reflektor, melainkan menghipnotis, demokrasi hanya akan menjadi embel-embel bagi hadirnya tokoh yang tidak otentik, tokoh seolah-olah, yang kita pertanyakan kepemimpinannya. Kembali ke Kedalaman Tidak semua pemimpin politik mampu menggaet legitimasi kuantitatif dalam demokrasi elektoral melalui cara-cara yang wajar. Upaya-upaya mereka, barangkali banyak yang dilakukan secara tidak wajar. Kalaupun pragmatisme-transaksional di zaman kita sudah dipandang lazim, maka yang tidak lazim ialah besarannya. Ongkos yang kelewat mahal dalam demokrasi elektoral tentu akan sangat membebani. Tetapi, bagaimanapun, yang sudah telanjur memanfaatkan ilmu-ilmu permukaan untuk tampil sebagai politisi formal, maka tugas dan tanggung jawab sejarahnya tetap dituntut, yakni bagaimana ia mampu mengembalikan semuanya ke kedalaman. Referensi 38 Kedalaman demokrasi, berarti membaca ulang substansi demokrasi itu sendiri dan memperjuangkannya. Ialah mengembalikan ke wilayah filosofis, ke pertanyaan-pertanyaan yang tidak dibatasi oleh prosedural demokrasi. Karenanya, kelas kepemimpinannya harus naik dari sekedar kepemimpinan prosedural ke kepemimpinan substansial, dari teknis ke filosofis, dari semata-mata prosa ke puisi, ialah kepemimpinan yang inklusif dan deliberatif. Kepemimpinan yang mendekati puisi, yang sadar bahwa ia harus memiliki visi jangka panjang. Bukan politisi yang mengejar jabatan demi kepentingan jangka pendek dan sempit. Maka pastilah ia negarawan. Kalau dalam tentara kelasnya jenderal. Jenderal itu kelasnya filosof, kebijakannya yang diperlukan dalam memimpin pasukan. Jenderal itu pengatur strategi, karena strategos itu sendiri bermakna jenderal. Strategike episteme itu bermakna kearifan jenderal. Maka kelas kepemimpinan jenderal atau pucuk pimpinan politik berkelas itu hanya satu kata kearifan. Kearifan itulah ekspresi dari kedalaman. Karenanya pemimpin itu pada akhirnya motivator dan simbol yang membangkitkan semuanya untuk bergerak menggapai harapan. Pemimpin yang arif juga otomatis berpikir menelorkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih arif ketimbang dirinya. Ia hanya pelontar bagi yang lain untuk juga bisa menjadi pemimpin yang jauh lebih arif ketimbang dirinya. Tetapi ia juga pelindung, manakala bahaya mengancam, ia akan beridri di barisan paling depan. Dan manakala kondisinya membaik, ia akan surut ke belakang. Ujaran Nelson Mandela di atas, mirip dengan Ki Hajar Dewantoro, Tut Wuri Handayani. Wallahua’lam.** Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 KO 39 LO Mereka yang Memimpin dengan Perjuangan Taufiq Muhamad Peneliti Populis Institute The Follower Leadership Sejarah selalu mencatat mereka yang menjadi pemimpin besar. Alexander Agung, Musa, Isa, Muhammad, Salahudin Al Ayubi, Gajah Mada, Lenin, Hitler, Abraham Lincoln, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Soekarno, Syahrir, hingga Megawati Soekarno Putri, Amin Rais, Abdurrahman Wahid, dan nama-nama lainnya. Mereka semua adalah para pemimpin yang telah diukir oleh sejarah dengan pengaruh-pengaruhnya yang luar biasa di kalangan komunitas masyarakat. Merekalah pemimpin yang hingga kini masih disebut namanya dengan berbagai pengaruhnya. Tidak semua mereka adalah pimpinan tertinggi; tidak semua mereka adalah pemimpin formal. Namun satu hal yang menyamakan mereka: mereka begitu berpengaruh di kalangan pengikutnya. Sumber: http://articles.economictimes.indiatimes.com M Wajah-Wajah Kepemimpinan Referensi 40 Sumber: http://warriorshepherd.com Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sebagian dari mereka pengaruhnya masih kuat hingga hari ini. Sebagian yang lain hanya saat mereka hidup atau eksis dalam aktifitasnya. Namun mereka semua adalah para pemimpin yang benar-benar berhasil memengaruhi sejumlah manusia untuk menjadi pengikutnya. Merekalah sebenar-benar pemimpin. Merekalah para pemimpin yang memiliki kualifikasi “follower leadership”. Istilah follower leadership memang bukan istilah yang populer. Ia tidak ada dalam khasanah teori atau literatur-literatur tentang kepemimpinan – setidaknya sejauh yang penulis ketahui. Jika anda googling pun, tidak akan keluar istilah ini. Paling banter anda hanya akan menemui istilah “followership” atau leader vs follower, dan sejenisnya. Secara sederhana istilah ini dibangun atas dua hal: pertama, adanya pengaruh; dan kedua, pengikut. Istilah follower leadership muncul dalam sebuah diskusi kecil Referensi tentang kepemimpinan. Dialektika ini muncul dari pembacaan terhadap situasi Indonesia mutakhir. Pemerintahan hasil Reformasi ini ternyata menyisakan banyak kegelisahan. Kegelisahan yang terutama adalah soal kepemimpinan (leadership). Tidak hanya dari pemerintahan yang ada saat ini, melainkan dari perjalanan Reformasi yang sudah 14 tahun berlangsung. Soal ini dipandang penting karena bagaimanapun pemimpin adalah nahkoda. Presiden SBY adalah nahkoda dari perahu besar bernama Indonesia yang tengah mengarungi samudera yang tidak hanya luas akan tetapi juga tengah dilanda badai dan penuh dengan karang dan gelombang. Bangsa ini mendambakan seorang nahkoda yang memahami betul segala isi dan materi pembangun sang perahu. Ini penting karena bagaimana mungkin perahu akan bisa mengarungi samudera jika nahkodanya tidak paham betul soal kapal yang akan dibawanya. Bisa-bisa ia karam di tengah jalan atau mudah saja ia dibegal oleh para perompak. Oleh karena itu, penting untuk diperhatikan tentang kapasitas dan kapabilitas seorang pemimpin, terutama pemimpin negeri yang besar ini. Di sisi lain, interaksi dengan dunia internasional yang sudah sedemikian rupa, memaksa pemimpin negeri ini untuk mau tidak mau turut serta dan mampu memantaskan diri untuk, tidak sekadar berkompetisi, melainkan juga memulai kembali bermimpi menjadi salah satu negara yang disegani dunia. Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sumber: www.kabarindonesia.com 41 Mereka yang Memiliki Follower Leadership Mereka yang termasuk memiliki follower leadership bukanlah mereka yang membayar sejumlah massa untuk ikut bergabung dalam organisasi atau demonstrasi. Bukan juga mereka yang terkenal dan memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi. Orangorang yang dikategorikan memiliki follower leadership adalah mereka yang mereka yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Setidaknya ada empat parameter bagi mereka yang masuk dalam kategori follower leadership. Yang pertama adalah adanya ideologi yang mandasari sebuah perjuangan. Kedua, adanya gerakan atau movement yang dilakukan olehnya dalam kerangka mencapai tujuan yang ditetapkan. Ketiga, adanya organisasi yang menjadi instrumen gerakannya; dan keempat, dia adalah seorang organisatoris. Masa Orba Kita tidak menghitung para pemimpin masa revolusi kemerdekaan atau masa Orde Lama karena kita menilai masa tersebut adalah masa dimana keempat kriteria di atas adalah hal yang jamak. Masa tersebut adalah masa yang justru menjadi rujukan untuk menilai apakah seseorang di masa sesudahnya layak untuk disebut pemimpin atau tidak. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, HOS Cokro Aminoto, Agus Salim, Karto Soewirjo, Sjarfrudin Prawiranegara, dan sederet nama lainnya, adalah mereka yang memenuhi semua kriteria dimaksud. Ada beberapa nama yang termasuk dalam kategori follower leadership di masa Orde Baru. Mereka adalah Megawati Soekarno Putri, Amien Rais, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sri Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, dan Mukhtar Pakpahan. Nama-nama tersebut masuk dalam kategori dimaksud karena mereka memiliki empat kriteria yang ada. Lengkapnya seperti tertera dalam tabel di bawah ini. Volume III Nomor 1 Juni 2012 No Tokoh 1. Megawati Soekarno Putri Ideologi Organisasi Marhaenisme Partai Demokrasi Indonesia Movement Referensi 42 Organisatoris Simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru saat itu Dia menghimpun kekuatan Marhaen lewat PDI untuk melawan hegemoni Orba. Menghimpun kekuatan intelektual dan nasional dalam Muhammadiyah, ICMI, dan Perhimpunan Amanat Nasional yang kemudian berubah menjadi Partai Amanat Nasional (PAN) Menghimpun kekuatan demokrasi lewat Fordem, mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa Membangun PUDI di masa Orba dan masa Reformasi 2. Amien Rais Demokrasi Muhammadiyah, ICMI, PAN Aktif mengampanyekan suksesi nasional pertengahan tahun 90-an 3. Gus Dur NU, Fordem Aktif mengkampanyekan kehidupan demokrasi di Indonesia 4. Sri Bintang Demokrasi Pamungkas PPP, Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) 5. Budiman Sosialisme Sudjatmiko Partai Rakyat Demokratik (PRD) 6. Dita Indah Sosialisme Sari PRD, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Partai Buruh Sosdem Melawan tirani Orba dengan mendirikan partai politik dan mencalonkan diri sebagai presiden di saat Orba melarangnya. Melawan Orde Baru dengan aksi Membangun dan demonstrasi, kampanye, advokasi, dan menghimpun kekuatan pendirian PRD perlawanan progresif lewat SMID dan PRD PPBI adalah satu-satunya organisasi Tergabung dalam PRD, buruh yang pada masa itu melakukan membangun PPBI, dan demonstrasi menuntut kenaikan upah, mendirikan FNPBI. penghidupan yang layak buat kaum buruh dan penggulingan Soeharto Tradisionalisme, Demokrasi 7. Mukhtar Sosialisme Pakpahan Mendirikan serikat buruh independen Mendirikan SBSI dan pertama di Indonesia tahun ’92. Partai Buruh Sosdem Pernah ditahan Orba karena memimpin demonstrasi buruh tahun ‘94. Pasca Orba Pasca Orde Baru nama-nama yang tertera di atas tidak lagi menunjukkan aspekaspek yang masuk dalam kategori follower leadership. Ketujuh nama tersebut tidak lagi menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin yang memiliki empat kriteria tersebut. Bahwa mereka tetap sebagai pemimpin dan berorganisasi, itu ya! Namun tidak terlihat lagi kriteria ideologi dan terutama movement mereka setelah terlibat secara langsung dalam arena politik kenegaraan. Jikapun ada, itu adalah Gus Dur saat menjadi presiden dengan beberapa gebrakan dan manuvernya. Sayangnya, itu tidak dibarengi dengan kejelasan ideologi sebagai panduan movement-nya. Selain Gus Dur, hampir tidak ada yang melakukan gebrakan-gebrakan baru dalam kapasitasnya sebagai pemimpin. 43 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Setelah masa Orba selesai, setidaknya ada tiga nama yang termasuk memiliki kapasitas follower leadership. Mereka adalah Surya Paloh, Habib Rizieq, dan Akbar Tandjung. Di bawah ini adalah tabel keterangannya. No. Tokoh Ideologi Organisasi Movement Restorasi Indonesia Ormas Nasional Demokrat, Partai NasDem Gerakan Perubahan 1 Surya Paloh 2 Habib Rizieq Syariah Islam Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI) 3 Akbar Tandjung Demokrasi Golkar Mengapa meraka? Mengapa mereka? Mengapa nama-nama seperti Jusuf Kalla, SBY, Prabowo, Aburizal Bakrie, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Sultan HB X, dan nama-nama besar lainnya tidak termasuk? Tentu ini adalah pertanyaan yang paling segera muncul setelah mendapati paparan di atas. Penjelasan sederhananya karena mereka tidak lengkap memiliki empat kriteria di atas. Jusuf Kalla memang punya kapasitas seorang pemimpin. Siapa yang tak kenal JK – panggilan akbrabnya – saat ini? Dia pernah menjadi Ketua Umum Partai Golkar; pernah menjabat sebagai wakil presiden; dan sekarang menjadi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI). Aksi dan movement-nya luar biasa. Perdamaian di Ambon dan Poso, perdamaian di Aceh; semua orang tahu JK ada dibelakangnya. Aksi terakhirnya yang cukup banyak diketahui adalah bantuan Organisatoris Ya. Dia membangun organisasi Nasional Demokrat dan Partai NaDem sebagai manifestasi dari visi gerakan perubahan yang diusungnya Habib membangun FPI dan Aksi dan kampanye penerapan syariat FUI untuk sebagai wahana Islam dengan slogan berkumpulnya para habib amar ma’ruf nahi dan ulama yang sepakat untuk perjuangan penerapan munkar praktek syariah Islam Bertahan dan melawan Akbar Tandjung menjaga Golkar tetap solid yang gerakan anti Golkar saat partai ini dituduh berubah menjadi Partai Golkar dan berhasil menjadi sebagai tulang punggung Orde Baru pemenang pada pemilu 2004 ke Rohingya, Burma. Namun sayangnya JK tidak memiliki ideologi yang jelas. Movement-nya pun tidak termasuk gerakan yang didasari oleh hal yang ideologis sifatnya. Aksinya tidak lain karena tugasnya sebagai wapres atau ketua organisasi yang dipimpinnya. Tidak mengherankan jika tidak terlihat adanya pengikut disana. Bahwa elektabilitasnya cukup tinggi dan banyak yang mendukungnya untuk menjadi capres 2014 mendatang, itu tidak termasuk dalam kategori berpengikut. Itu hanyalah ekspresi publik dalam memilih siapa yang kiranya pantas untuk menjadi seorang presiden atau pemimpin. Mereka bukanlah pengikut JK. Berbeda secara kontras dengan Megawati masa Orde Baru, misalnya. Sosok ini benarbenar memiliki pengikut. Misalnya ada istilah “pejah, gesang, nderek Bu Mega!” Ini adalah ekspresi keikursertaan orang Volume III Nomor 1 Juni 2012 terhadap Mega yang didasari oleh tidak hanya kesadaran popularitas pemimpinnya melainkan juga kesamaan ideologinya. Referensi 44 Surya Paloh SBY banyak dipilih oleh masyarakat Indonesia, namun bukan karena apa yang dilakukannya melainkan karena pencitraannya. Ical karena kemampuan finansialnya. Tidak terlihat track record-nya dalam membangung Golkar sebagai sebuah partai politik. Ini berbeda dengan Akbar Tandjung. Sementara Prabowo, meski membawa semangat nasionalisme dengan Gerindranya namun kepopulerannya tidak dibangun atas sebuah aksi atau gerakan. Popularitasnya lebih karena iklan-iklan yang memunculkan wajahnya. Adapun sosok seperti Mahfud MD dan Dahlan Iskan, keduanya lebih tepat disebut sebagai tokoh ketimbang pemimpin. Bahwa mereka adalah seorang pimpinan lembaga, itu benar. Namun hal tersebut tidak termasuk kriteria yang dimaksud. Sementara Sultan HB X, beliau adalah pemimpin yang muncul bukan karena gerakan atau pencitraan, akan tetapi karena statusnya sebagai raja Jawa. Faktornya genetik, bukan perjuangan. Ini pun tidak termasuk dalam kriteria sebagai yang memiliki follower leadership. Sumber: http://kolomkita.detik.com Demikian juga nama-nama lainnya. SBY, Ical, Prabowo, Sultan HB X, Mahfud MD, Dahlan Iskan, nama-nama yang memiliki figur kepemimpinan. Namun mereka tidak komplit memiliki kriteria-kriteria follower leadership. Yang paling utama dari kategori kepemimpinan ini adalah ideologi dan perjuangan yang dilakukannya. Adapun organisasi adalah instrumen untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita ideologinya. Surya Paloh tergolong pemimpin yang memliki kategori follower leadership karena dia memang memiliki empat kriteria yang dimaksud. Dia memiliki ideologi berupa gerakan perubahan dengan mengusung ide Restorasi Indonesia. Restorasi Indonesia adalah gagasan perubahan yang bermakna mengembalikan, memulihkan, mencerahkan, dan memperbaiki, keadaan bangsa dan negara. Gagasan ini memiliki dasar filosofi sekaligus instrumen untuk mewujudkannya, berupa Partai NasDem dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas). Partai adalah instrumen untuk berjuang di level atas atau level kebijakan. Sementara ormas adalah instrumen untuk menggalang kekuatan di level bawah atau level dukungan publik. Ini adalah movement pertama Surya dalam kerangka manifestasi ideologi politiknya. Hal ini dilakukannya dengan sebuah kesadaran bahwa tidak mungkin sebuah gerakan bisa terwujud jika melepaskan salah satunya. Dua level tersebut harus berjalan bersama karena keduanya saling melengkapi. Ormas-ormas yang dibangunnya hampir meliputi seluruh 45 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 sektor dalam kehidupan sosial masyarakat. Mulai dari mahasiswa, pemuda, wanita, buruh, praktisi hukum, budaya, dan yang lainnya. sampai 1 Februari 2011 yang diikuti ribuan peserta dan digelar di berbagai kota. Aksi-aksi berikutnya yang dilakukan Surya Paloh terkait dengan ideologi politiknya adalah keluarnya dia dari Golkar. Setelah lebih dari 40 tahun bergabung, pada 7 Sepetember 2011 dirinya menyatakan keluar dari partai berlambang beringin itu. Satu alasan mendasar atas keputusannya tersebut adalah gagasan perubahannya tidak mendapatkan ruang di partai tersebut. Hal ini digagasnya merujuk pada apa yang dilakukan oleh Orde baru dengan Seminar Angkatan Darat-nya sebagai fondasi politik pembangunganisme Orba. Dia berpikiran bahwa gagasan Restorasi Indonesia juga harus menjadi cetak biru (blue print) Indonesia ke depan dan disemaikan ke seluruh masyarakat Indonesia. Sebab restorasi tidak akan terjadi tanpa didukung oleh rakyat. Gagasan tentang gerakan perubahan yang diusung Surya dimulainya saat mendirikan Ormas Nasional Demokrat. Kurang dari setahun organisasi bentukannya langsung mendapat respon dari berbagai pihak dengan turut bergabung di dalamnya. Tiga puluh tiga DPW selesai dibentuk dalam waktu satu tahun. Berbagai lapisan masyarakat, mulai dari politisi, intelektual, akademisi, aktivis muda, pengacara, seniman, musisi, budayawan, aktivis sosial dan lingkungan, sampai warga masyarakat biasa, memberikan apresiasi yang tinggi atas inisiatifnya. Seperti ada harapan tersendiri atas apa yang digagas oleh pria kelahiran Aceh 61 tahun yang lalu ini. Surya juga kerap mengadakan acaraacara dengan nafas nasionalisme seperti apel besar di Monas dalam rangka memperingati hari lahir Pancasila, pada 3 Juni yang lalu. Tidak hanya itu, berbagai aksi nyata dilakukan oleh organ-organ yang dibentuknya seperti Badan Rescue Nasional Demokrat yang tidak pernah alpa saat terjadi bencana alam atau musibah lainnya. Dengan membawa gagasan Restorasi Indonesia sebagai sebuah gerakan perubahan ini Surya sering membuat gebrakangebrakan dengan berbagai kegiatan yang sudah lama tidak terlihat. Misalnya dengan Simposium Restorasi Indonesia yang dimulai sejak 1 Juni 2010 Popularitas Surya Paloh juga tidak terbangun dari iklan. Dia cukup dikenal lewat berbagai aktifitas dan organisasi, baik politik, sosial, bisnis, dan terutama lewat pidato-pidatonya. Rekam-jejaknya dalam organisasi dimulai saat dia masih belajar di sekolah menengah pertama. Keterlibatannya di Golkar dimulai saat Koordinator Pemuda dan Pelajar pada Sekretariat Bersama Golkar. Dia juga bergelut dalam dunia bisnis, yang sudah dimulainya sejak usia yang sangat muda, 13 tahun. Salah satu organisasi yang pernah didirikannya adalah Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI Polri (FKPPI), yang masih berdiri hingga sekarang. Volume III Nomor 1 Juni 2012 Referensi 46 Siapa yang tak kenal habib yang satu ini? “Pemimpin besar” Front Pembela Islam (FPI) ini cukup sering menghiasi berbagai media terutama televisi. Gerakan-gerakan yang kerap dilakukan oleh anak buahnya terhadap tempat-tempat hiburan di berbagai kota, membuat nama dan FPI sangat dikenal oleh publik. Meski lebih sering dipersepsi secara negatif, namun hampir setiap orang, terutama warga Ibu Kota Jakarta, mengenal sosok habib yang satu ini dengan FPI-nya. Akbar Tandjung Muhammad Rizieq Husein Syihab atau Habib Rizieq mendirikan FPI pada 17 Agustus tahun 1998. Organisasi ini adalah instrumen dari haluan gerakannya yang cenderung keras. FPI memliki kelompok Laskar Pembela Islam, sebuah organisasi paramiliter yang sering melakukan aksiaksi sweeping terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat dan bertentangan dengan syariah Islam. Yang terakhir ini sering kita saksikan pada bulan Ramadan. Sumber: www.cahayareformasi.com Lepas dari warna gerakannya, dari analisis lainnya, Habib Rizieq adalah seorang pemimpin yang memliki karakter follower leadership. Dia memiliki ideologi atau pegangan nilai dalam gerakannya, dan organisasi sebagai manifestasinya. Dia juga membangun organisasi tersebut, bukan orang yang tiba-tiba terlibat begitu saja. Kesetiaan pengikutnya tidak perlu diragukan lagi. Jika sang habib mengatakan A maka A pulalah menurut para pengikutnya. Sumber: http://klimg.com/kapanlagi.com Habib Rizieq Sosok Akbar Tandjung adalah salah satu contoh organisatoris sejati. Rekam jejaknya dalam bidang keorganisasian tak ada yang menyangsikannya. Dimulai dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Laskar Ampera Arif Rahman Hakim, Ketua Senat Mahasiswa UI, Dewan Mahasiswa UI, HMI, 47 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 KNPI, AMPI, hingga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada tahun 1998. Di tangannya-lah Golkar bertransformasi dari organisasi kekaryaan menjadi partai politik. Di bawah kepemimpinannya pula Golkar mengalami masa-masa paling sulit dalam sejarah organisasi ini setelah sekian puluh tahun lamanya. Kemampuannya membawa Golkar “selamat” dari “amukan badai” Reformasi terhadap partainya, menjadikannya disegani oleh kawan maupun lawan. Tak satupun yang meragukan kapasitasnya sebagai seorang politisi maupun organisatoris. Bahkan setelah kalah dari Jusuf Kalla pada Munas Partai Golkar tahun 2004, kiprahnya dalam dunia politik tidaklah berakhir. Kapasitasnya sebagai seorang pemimpin sekaligus politisi dibuktikannya dengan menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar pada 2009 lalu hingga saat ini. Pengaruhnya masih cukup kuat dalam lingkaran partai yang membesarkan namanya itu. Saat Reformasi bergulir dan banyak kalangan yang menuntut Golkar untuk dibubarkan. Akbar Tandjung bersikap bahwa kalaupun Golkar harus dibubarkan karena dituduh sebagai tulang punggung Orde Baru maka biarlah rakyat yang menentukannya. Hal itu, menurutnya, akan terlihat dalam pemilu, apakah benar Golkar ditinggalkan atau sebaliknya. Inilah demokrasi. Dan sejarah pun membuktikan partai yang dpimpinnya masih didukung oleh rakyat. Bahkan pada Pemilu 2004 Partai Golkar menjadi pemenangnya. Inilah keyakinan yang menjadi movement sekaligus ideologi politiknya selama memimpin Partai Golkar saat itu. Epilog Jika disebutkan bahwa hal paling mendasar terkait kepemimpinan adalah pengaruh (influence) dan tujuan (vision) maka inilah persoalan paling krusial di Indonesia sekarang ini. Sebagai sebagai warga negara kita tidak melihat dua hal tersebut dalam diri pemimpin nasional kita. Seberapa berpengaruhnya pemerintah saat ini terhadap rakyatnya hampir tidak terlihat. Bahkan ada sebuah pandangan satir: ada atau tidak ada pemerintah saat ini, sama saja bagi rakyat Indonesia. Terlampau banyak contoh untuk menjelaskan hal ini, sebanyak himbauan yang sering disampaikan pemerintah ketimbang perintah yang harusnya dititahkan. Pun demikian dengan tujuan hidup negara ini. Pemimpin bangsa ini seolah tak mampu menunjukannya. Konstitusi sebagai penunjuk arah sudah jauh ditinggalkan. Buya Syafii menyebut, “seakan-akan” negara ini masih berjalan di atas rel yang benar secara konstitusional. Akibatnya bangsa ini tak punya arah dan tujuan kemana hendak melangkah. Kepemimpinan nasional serasa hampa. Kita hampir bisa mengatakan wujudihi ka adamihi (adanya hampir sama dengan tiadanya). Kita lebih sering melihat pemerintah saat ini memberi himbauan ketimbang perintah. Pemimpin lebih sering meminta ketimbang memberi arahan. Padahal seorang presiden seyogyanya adalah chief of command, panglima tertinggi yang tidak boleh tidak perintahnya harus dipatuhi dan segera dilaksanakan. Volume III Nomor 1 Juni 2012 Namun kita tentu memahami bahwa situasinya tidak sesederahana yang dipikirkan. Banyak faktor yang memengaruhi corak kepemimpinan yang berlangsung sekarang ini. Namun demikian, kita juga mesti memikirkan tentang upaya perbaikan kondisi yang ada. Setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan terkait soal kepemimpinan di Indonesia. Pertama adalah soal kantongkantong kepemimpinan. Kedua, soal sistem rekrutmen pemimpin politik. Beragam organisasi, baik itu ormas sosialkeagamaan, organisasi karir, perkumpulan sektoral, birokrasi pemerintahan, dan terutama organisasi-organisasi kepemudaan, mulai dari karang taruna, lembaga kemahasiswaan, perkumpulan profesional, dan sebagainya, adalah kantong-kantong utama lahirnya para pemimpin. Inilah ruang primer bagi pelatihan calon-calon pemimpin bangsa yang berkualitas. Namun situasinya tidak seperti yang kita harapkan. Organisasi-organisasi ini tidak luput dari limbah yang menyelimuti kehidupan sosial-politik kita yang kumuh. Hampir tidak ada ruang bersih bagi sehatnya kantong-kantong tersebut dari polutan bernama UANG! Inilah PR kita untuk bersama-sama memperbaiki keadaan yang terus mengkhawatirkan dari waktu ke waktu. Kedua, soal sistem rekrutmen pemimpin politik. Memperbaiki soal ini sesungguhnya sama dengan memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia. Sebab Referensi 48 kepemimpinan nasional tidak bisa lepas dari praktek demokrasi yang kita jalankan. Pada titik ini, mau tidak mau harus ada kekuatan perubahan yang punya komitmen kuat untuk benar-benar membawa Indonesia menjadi lebih baik dari saat ini. Sebab tanpa adanya perubahan di level ini maka kemunculan bibit-bibit pemimpin yang lahir dari kantong-kantong penyemaian akan sia-sia belaka. Saat ini bukan tidak ada anak bangsa yang memiliki potensi kepemimpinan yang memadai. Namun sistem rekrutmen yang ada tidak memungkinkan terseleksinya mereka. Partai politik sebagai satu-satunya jalur untuk lahirnya pemimpin nasional, diselimuti kabut tebal “dinastiisme” dan “ownerisme”. Partai, jika tidak dia dikelilingi oleh dinasti tertentu, ia seperti menjadi milik dari seorang pemodal besar. Berada adalam kungkungan dua penyamun itulah “sang pangeran” bernama partai politik itu kini. Akibatnya sang pangeran belum menjadi milik warga negara. Ia masih berjarak dan hanya setiap lima tahun sekali saja diarak di tengah kerumunan warga. Itupun tidak benar-benar pangeran. Sebab di masa itu, sang pangeran terbungkus oleh tirai bercorak iming-iming. Oleh karena itu, berharap lahirnya seorang pemimpin yang mampu membawa bangsa dan negara ini berada dalam track-nya sebagaimana dicita-citakan oleh Proklamasi 1945, harus ada pembenahan sistem politik dalam kehidupan demokrasi di negara ini. Untuk menuju ke arah tersebut mau tidak mau harus ada sebuah gerakan perubahan yang berkomitmen kuat mewujudkannya. Dan tidak ada sebuah gerakan perubahan tanpa seorang yang memiliki kapasitas follower leadership. Itulah pemimpin yang otentik. Wallahu a’lam Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 KO 49 LO Sumber: www.menerga.com M Menggubah Parpol layaknya Puisi Arief Rahman Hakim Peneliti Populis Institute Kepemimpinan dalam alam demokrasi sejatinya memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang baik untuk dipilih maupun memilih pemimpin. Pemimpin dan kepemimpinan selalu embedded dengan kekuasaan. Pemimpin dimaknai sebagai orang yang menguasai suatu hal, bidang, keterampilan, asset, ataupun teori. Misal, seseorang bisa ditunjuk sebagai pemimpin dalam suatu kesatuan tempur maka ia dituntut untuk menguasai kemampuan tempur dan atau strategi perang. Napoleon Bonaparte, Pangeran Diponegoro, adalah ekspresi dari ketokohan dan kepemimpinan itu. Dalam skala yang lebih besar, misal dalam struktur masyarakat yang kompleks, ketokohan dan kepemimpinan tidak hanya hadir karena suatu “gawe sesaat”, namun ia harus hadir setiap saat di seluruh lini masyarakat untuk memberikan arahan. Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang berbeda namun selalu bersama. Negeri ini sedang menghadapi persoalan serius pada wilayah yang satu Volume III Nomor 1 Juni 2012 ini. Tulisan ini mencoba mengurai beberapa persoalan menyangkut pemimpin dan kepemimpinan, khususnya dalam ranah politik, berikut di dalamnya model-model rekrutmen pemimpin di berbagai negara. Partai Politik dan Rekrutmen Pemimpin Dalam sistem politik kekinian, proses rekrutmen kepemimpinan berpilin lekat dengan partai politik. Neuman (956:395) mendefinisikan keterkaitan antara parpol dan kepemimpinan dengan “a political party is an organization of society active political agents who compete for popular support with another group or persons holding diverse views”. Pengertian ini menempatkan politisi dan kandidat sebagai bagian dari rekrutmen kepemimpinan, baik itu lewat pemiliu maupun pengangkatan (appointive position) serta sebagai aktor utama menuju kekuasaan pemerintahan. Mildred Schwaz dan Kay Lawson (2005) lebih gamblang lagi berpendapat bahwa “a political party is an organization that nominate (presents) candidates to stand for election in its name and seeks to place representatives (leader) in the government”. Dalam negara modern, pemilu dipandang sebagai tolok ukur demokrasi. Keyakinan kuat pada pemilu sebagai ukuran utama demokrasi didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, pemilu merupakan proses terbaik dibanding, misalnya, sistem karir dan penunjukkan/pengangkatan, untuk menentukan pemimpin politik. Kedua, pemilu memungkinkan pergantian kekuasaan secara berkala dan membuka akses bagi aktor-aktor baru masuk Referensi 50 dalam arena kekuasaan. Ketiga, pemilu memungkinkan partisipasi rakyat untuk menentukan pemimpin sesuai dengan kehendak mereka. Tetapi keyakinan yang berlebihan terhadap pemilu justru bisa menjadi jebakan yang menyesatkan. Tanpa penghayatan demokrasi, pemilu hanya merupakan sebuah proses “demokrasi berkala” untuk membentuk demokrasi elektoral-formal. Dalam proses itu, rakyat hanya bisa memberikan pilihan (voting) dalam ritual lima tahunan. Tanpa terobosan dalam penerapan sistem rekrutmen dengan segala elemen teknisnya, pemilu hanyalah proyek politik demokrasi elektoralformal semata yang tidak berimplikasi dan memiliki manfaat bagi rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat yang dimaksud adalah kinerja wakil rakyat di lembaga perwakilan dan eksekutif yang berpihak pada kepentingan rakyat sehingga menjembatani kesenjangan antara politik formal (formal politics) hasil proses elektoral dengan politik sehari-hari (everyday life politics). Dalam tradisi politik Amerika Serikat, konvensi politik adalah metode yang digunakan dalam rangka melakukan rekrutmen pemimpin-pemimpin dengan melibatkan partisipasi rakyat. Rakyat pada kondisi ini seolah menjadi juri karena acara-acara konvensi ini bisa melibatkan semua unsur golongan masyarakat. Dengan konvensi, kepemimpinan nasional tidak ditentukan oleh hasil konspirasi elit partai, melainkan disuguhkan melalui mekanisme penjaringan kepemimpinan nasional di seluruh pelosok negara-negara bagian melalui media. Tradisi konvensi politik ini sudah dimasukkan dalam konstitusi UU Pemilu AS, dan telah sudah berjalan hampir 175 tahun. Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sumber: www.ambafrance-uk.org 51 Sebelum istilah konvensi politik berkembang di AS mulai tahun 1830, para kandidat dari partai politik dipilih dengan kebijakan informal dari pihak delegasi wilayah. Ternyata banyak terjadi manipulasi dan kecurangan dengan mekanisme seperti ini. Kemudian konvensi diperkenalkan demi menghapuskan penyalahgunaan aspirasi yang dibawa oleh para delegasi wilayah. Desakan ini juga datang dari para pemilih. Mereka mengharapkan adanya sistem terbuka agar mereka bisa ikut berpartisipasi, serta terhindarkannya praktek money politics. Proses politik yang korup dari oligarki partai di beberapa negara bagian juga segera runtuh dengan sistem konvensi ini. Secara nasional, sistem ini pun berguna untuk mengefektifkan struktur partai yang ada. Dalam perjalanan politik di Amerika Serikat, konvensi adalah media demokratisasi internal partai yang secara khusus diadakan menjelang pemilu presiden. Konvensi ditempuh sebagai sarana untuk mencalonkan seseorang sebagai calon presiden dari keputusan konstituen. Konstituen bisa secara langsung menyalurkan aspirasi mereka, sehingga calon presiden yang mereka inginkan bisa berkontestasi di internal partai secara terbuka. Konvensi menjadi media untuk menjawab kerisauan tentang siapa yang akan menjadi calon melalui partai mereka. Praktek konvensi politik tidak hanya sebatas mencari nominasi calon saja, tetapi lebih dari itu anggota dan pengurus partai memiliki kesempatan untuk berkumpul dan mendiskusikan platform partai. Platform Referensi 52 Sumber: www.mittromney.com/splashgate Volume III Nomor 1 Juni 2012 merupakan sikap dari partai politik pada isu-isu yang berbeda dalam setiap harinya. Untuk waktu yang lama, konvensi menjadi tempat perdebatan politik dan pengambilan keputusan penting. Praktik konvensi ini pernah dihelat oleh partai paling dinamis di Indonesia, Golkar. Golkar menggelar konvensi untuk memilih calon presiden tahun 2004. Inilah lompatan besar partai warisan ”sah” Orde Baru yang dipimpin oleh Akbar Tanjung kala itu. Ini adalah prosedur yang 180 derajat berbeda dengan mekanisme yang ada sebelumnya dalam tubuh partai. Meski masih belum sempurna dan agak berbeda dengan konvensi ala Amerika, namun mekanisme konvensi yang pernah dilakukan Golkar patut diapresiasi dalam upaya demokratisasi dan regenerasi politik Indonesia. Saat itu Wiranto yang bukan Ketua Umum Golkar keluar sebagai pemenang. Hal ini mencerminkan adanya demistifikasi terhadap ”penguasa” partai – yang biasanya adalah Ketua Umum partai – yang secara otomatis akan menjadi calon presiden. Suara dari bawah pun diakomodir, meski hanya di level anggota partai saja. Namun satu hal yang menjadi catatan menarik dari proses rekrutmen pemimpin di AS adalah tidak ada satupun calon presiden yang berlatar belakang ketua umum partai, baik Demokrat maupun Republik. Hampir selalu, presiden terpilih atau yang dicalonkan berlatar belakang senator, kongres, dan gubernur Negara bagian. Bahkan seorang Reince Priebus yang notabene adalah Chairman (Ketua Umum) Partai Republik di Amerika Serikat jauh kalah populer dibanding Matt Romney selaku Capres dari Partai Republik. Atau Debbie Wasserman sebagai Chairman dari Partai Demokrat masih kalah populer dibanding seorang Barrack Obama. Gambaran ini tentunya sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia dimana popularitas ketua umum partai, tinggi menjulang dibanding tokoh-tokoh lain di partai atau di pemerintahan. Namun ada catatan yang lebih penting dari sekadar rendahnya popularitas ketua umum partai-partai di AS, yakni bagaimana pembibitan pemimpin memang benarbenar dilakukan oleh parpol sejak dini. Seorang Paul Ryan yang juga cawapres dari Partai Republik meniti karir sejak dari SMU dimana ia menjadi anggota College Republican. Berlanjut di masa kuliah, Ryan mengidentifikasikan gagasan ekonomipolitiknya melalui buku-bukunya Friedrich Hayek, Ludwig von Mises, and Milton Friedman. 53 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Tabel 1. Sistem Rekrutmen Capres dan Kepartaian Metode Negara Amerika Serikat Konvensi Pewarisan Pengangkatan Sistem Kepartaian Partai Keterangan Melalui National Convention memilih kandidat presiden dan wapres dari masingmasing partai. Multi partai Partai Republik Partai Demokrat Multi partai Partai Konservatif Kanada Melalui Leadership Convention memilih Partai Liberal kandidat presiden dan wapres dari masingThe Bloc Québécois masing partai. The New Democratic Party Korea Selatan Multi partai Partai Saenuri (NFP) Korea Utara Partai Tunggal Partai Buruh Korea Kanada Lee Myung Bak, capres dari NFP terpilih pada pemilu 2007. Sejak tahun 1964, Presiden Korea Utara selalu berasal dari keluarga Kim. Indonesia Multi partai Partai Demokrat Partai Golkar PDIP Dll. Partai Golkar pernah melakukan konvensi capres menghadapi Pemilu 2009 dan memilih Wiranto sebagai Capres yang diusung. Thailand Multi partai Pheu Thai Party (PTP) Yingluck Shinawatra diangkat sebagai kandidat Perdana Menteri dari PTP dan terpilih pada Pemilu 2011. Brazil Multi partai PT beberapa kali berhasil memenangkan Partido dos Trabahaldores capresnya pada pemilu (Lula da Silva, Dilma R.) Diolah dari berbagai sumber Ownership: Tantangan Dalam Rekrutmen Kepemimpinan Dalam tradisi politik nasional, fenomena “ownership” (kepemilikan) partai politik menjadi salah satu penghalang mulusnya proses rekrutmen pemimpin. Persoalan ownership ini cukup pelik karena dia berkelindan dan tumbuh subur dalam alam demokrasi yang menjamin siapapun dapat memilih maupun dipilih. Ownership adalah suatu kondisi dimana parpol atau suatu institusi “seolah-olah” dimiliki oleh segelintir kelompok, bisa berdasarkan trah keturunan (dinasti) atau karena kuasa modal (korporasi). Dalam lingkup parpol, fenomena ownership dieskpresikan ke dalam dua perwujudan, yakni Politik Dinasti dan Politik Korporasi. Istilah dinasti politik umumnya mengacu pada kepemimpinan yang turun temurun dari suatu keluarga atau keturunan darah (trah). Dinasti politik menjadi persoalan ketika ia memperlakukan partai sebagai private property dan mengamputasi mekanisme demokratis serta aspek egalitarian dalam berpolitik. Volume III Nomor 1 Juni 2012 Anak seorang menteri, anak presiden, atau anak ketua partai tetaplah manusia dan warga Negara Indonesia yang hak-hak politiknya tidak boleh dikurangi sedikitpun hanya karena faktor keturunan dan keluarga sedarah dari pemangku jabatan. Terlebih, jalan yang digunakan untuk memperoleh jabatan “si anak dinasti” adalah melalui mekanisme demokratis. Politik dinasti banyak digunjingkan karena ia berasosiasi dengan penguasaan sumber daya ekonomi baik dalam lingkup nasional maupun lokal. Kekhawatiran atas efek negatif dari politik dinasti tersebut bisa diatasi jika partai memang memiliki sistem regenerasi dan rekrutmen kepemimpinan yang berkelanjutan, terpola dan berkualitas. Untuk itu para pemangku jabatan di parpol harus memiliki pandangan bahwa partai politik dan politik itu sendiri adalah rumah bagi manusia-manusia berkualitas, bukan rumah bagi manusia-manusia kardus yang rapuh baik secara integritas, kapabilitas, moralitas, dan sebagainya. Dalam konteks daerah, politik dinasti ini banyak dijumpai. Membangun politik dinasti sebenarnya bukanlah hal baru di Pilkada Indonesia. Selain di Banten yang begitu menyolok, beberapa contoh lainnya seperti di Pilkada Bali dimana Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) ikut Pilkada untuk menggantikan ayahnya. Di Lampung Rycko Menoza (anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan (putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangkunegara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan (anak Bupati Tulang Bawang) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Model Ownership yang kedua adalah politik korporasi, yang dimaknai sebagai Referensi 54 penguasaan parpol atas dasar kekuatan modal yang dimiliki oleh individu dalam partai. Uang menjadi syarat pertama dan utama untuk menduduki jabatan penting, baik di partai maupun jabatan publik. Jauh sebelumnya, Robert Michels (1873-1936) telah mengeksplorasi kecenderungan ini dalam pengalamannya di Jerman dan Itali, dimana secara implisit, oligarki merupakan bentuk pemerintahan yang dipegang oleh segelintir orang atau kelompok yang dibedakan menurut kekayaan, keluarga, dan militer. Tipe oligarki dalam partai politik dengan model kepemimpinan yang terbentuk sangat berkaitan dengan posisi yang dikuasai sebagai alat untuk menguntungkan pribadi atau kelompoknya. Dan model ini membuat cara-cara pemburuan rente (rent-seeking) semakin menjamur, dimana kader-kader partai yang berada pada posisi strategis akan memanfaatkan posisinya untuk memperkaya pribadi atau kelompoknya (Ambardi, 2008). Dia akan memanfaatkan sumber-sumber keuangan dari jabatannya. Partai Politik Layaknya Puisi Dalam lapangan politik pusat maupun lokal, kita banyak menjumpai fenomena banyaknya para pemimpin pemerintahan menghadapi berbagai kasus korupsi. Sebagai gambaran, di tingkat daerah selama tahun 2004-2011 ada 158 kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) tersangkut kasus korupsi. Selama 2008-2011 ada 42 anggota DPR terseret kasus korupsi. Di tingkat pusat, ada 30 anggota DPR periode 2004-2009 diduga terlibat kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Mereka adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat secara demokratis melalui pemilu maupun pemilukada. Apa yang salah dari situasi ini? Apa yang harus Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sumber: http://3.bp.blogspot.com 55 dilakukan oleh partai politik sebagai bentuk pertanggungjawaban telah melahirkan atau meloloskan pemimpin yang tidak amanah tersebut? Merujuk pada bacaan klasik karya Herbert Feith “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia” (1961), Feith mengungkapkan bahwa ada dua jenis kepemimpinan pasca revolusi, yakni tipe Administrator dan Solidarity Maker. Kalangan Administrator berpendapat bahwa merekalah dari kalangan yang memiliki kemampuan teknis atau kepakaran yang laik menjadi pemimpin, yakni mereka yang memiliki kualifikasi akademis, keahlian professional dan juga pengetahuan atau pengalaman seseorang dengan budaya dan dunia intelektual. Sementara, di sisi yang lain, para solidarity makers meyakini bahwa kompetisi seharusnya didasarkan pada tuntutan dan dukungan massa, demikian juga dengan pencapaian status. Para solidarity makers menilai bahwa posisi kepemimpinan, baik di dalam birokrasi maupun partai politik, haruslah didasarkan pada kedekatannya dengan rakyat dan memahami apa yang diinginkan rakyat. Mereka juga menekankan bahwa martabat atau prestise sosial tidaklah ditentukan oleh kualifikasi formal, melainkan pada kepemimpinan (politik) sebagai bentuk kepemimpinan yang sesungguhnya, yang bertujuan untuk melayani kepentingan bangsa dan negara. Para solidarity makers lebih banyak mengungkapkan ide-ide normatif dan cita-cita masa depan seperti: revolusi merupakan jembatan penghubung kepada masa depan Indonesia yang penuh dengan kesejahteraan, keadilan, keharmonisan dan kuat1. Partai politik, sebagai entitas yang diakui oleh konstitusi untuk mengikuti konstestasi pemilu, menjadi faktor penting dalam menentukan jenis pemimpin dan kepemimpinan yang dihasilkan. Namun kita saksikan hari ini betapa parpol begitu dihujat karena hanya menawarkan citra, 1 Konstelasi - Edisi ke-32 Juli 2011. P2D. Jakarta http:// www.p2d.org/index.php/kon/53-32-juli-2011/279pemimpin-dan-kepemimpinan.html diakses pada 25 Agustus 2012. Volume III Nomor 1 Juni 2012 politik salon yang hanya tampak indah di permukaan namun boyak di dalamnya. Politik dan partai politik seolah-olah hanya sebagai trash bin atau keranjang sampah yang isinya hanyalah keburukan-keburukan semacam maling, pencuri, koruptor, dan pesolek. Politik dan partai politik seperti terpisah dari cita-cita mulia dari konstitusi kita, UUD 1945. Sebagai “produsen pemimpin”, parpol perlu memiliki sistem kaderisasi yang mampu menghasilkan pemimpin yang “terdidik”. Kata terdidik di sini jauh lebih dari sekadar “berpendidikan” apalagi citra. Karena kepemimpinan tidak hanya soal indeks keterkenalan, persentase elektibilitas, dan deretan digit terbesar dalam pemilu. Lebih dari itu, kepemimpinan adalah melindungi, menjaga, serta mempertahankan jati diri bangsa. Dalam sistem demokrasi, kita membutuhkan adanya pemimpin yang baik yang berdiri tegak di atas suatu fondasi sistem politik dan hukum yang baik pula. Dari partai politik lah kita bisa memulainya. Dalam salah satu pidatonya di depan civitas akademika Universitas Hardvard tahun 1956, John F. Kennedy menyampaikan bahwa “ketika kekuasaan membuat orang Referensi 56 menjadi arogan, puisi yang mengingatkan akan keterbatasannya. Ketika kekuasaan malah mempersempit kepedulian penguasa, maka puisi mengingatkan ia akan kekayaan dan kebhinekaan. Ketika kekuasaan cenderung korup, maka puisi yang membersihkan”. Memodifikasi dari kutipan JFK, maka partai politiklah yang seharusnya berperan layaknya puisi dalam kutipan JFK. Parpollah yang menyadarkan arogansi politisi, parpollah yang mendidik kepedulian politisi, dan akhirnya parpollah yang harus membersihkan kader-kadernya yang korup. Bahan Bacaan: Ambardi, Kuskridho. “Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi”. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan LSI (Lembaga Survei Jakarta), Jakarta. 2009. Faith, Herbert. “Indonesian Politics 19491957: The decline of the representative government”. Ithaca (N.Y.). Cornell University. 1961. Konstelasi - Edisi ke-32 Juli 2011. P2D. Jakarta http://www.p2d.org/index. php/kon/53-32-juli-2011/279pemimpin-dan-kepemimpinan.html diakses pada 25 Agustus 2012. Mildred A. Schwartz & Kay Lawson, ‘Political Parties: Social Bases, Organization, and Environment’ (dalam T. Janoski et al. eds., The Handbook of Political Sociology, Cambridge Univ. Press, 2005). Volume III Nomor 1 Juni 2012 Sumber: www.willy-aditya.blogspot.com Referensi resensi 57 RISALAH RESTORARIAN Agus Hernawan Didasari pengalaman pahit revolusi Perancis, Alexis de Tocqueville, dalam The Ancient Regime and Revolution, memformulasikan apa yang disebutnya the theory of continuity. Bagi banyak kalangan, teori Tocqueville terlalu samir. Namun, terlepas dari soal itu, termasuk ambivalensi penulis Democracy in America ini dalam gerakan revolusi Perancis, kita dapat menangkap betapa sejarah kekuasaan adalah himne dalam nada getir. Contoh klasik ialah Kisah Republik Kedua di Perancis. Bagaimana misalnya, hanya dalam hitungan dua hari, kemonarkian Wangsa Bourbon yang terakhir, Louis Phillips I, runtuh. Republik Kedua diproklamirkan. Tetapi, hanya tiga tahun kemudian, pada Desember 1851, kudeta Louis Napoleon mengubur Republik Kedua di bawah kaki Kekaisaran Jilid II. Hal yang sama juga berlangsung di Tanah Air. Reformasi dibangun oleh biaya-biaya manusia (human costs) tidak sedikit untuk hasil: rontoknya Orba selaku the ancient regime disusul perubahan bentuk pemerintahan. Kemudian semua seperti selesai. Gerakan Reformasi seolah sekadar perubahan struktur politik dari Volume III Nomor 1 Juni 2012 otoriter ke diversifikasi kekuasaan. Upaya demokratisasi lewat pintu keadilan sosial macet di dalam proses transisi yang dimonopoli oleh konsesus kepentingan elite. Cerita kesuksesan gerakan Reformasi ‘98 pun akhirnya terkapar di bawah kaki sindikat kejahatan krah putih (mafia hukum, mafia pajak, dan mafia anggaran) dan pengebirian keadilan hukum. Arogansi uang telah melahirkan politik biaya tinggi, pseudo-participation, dan kekuasaan yang korup. Negara beserta instrumennya telah menjadi kaki-tangan kuasa oligarki, sifon oligopoli, dan rent-monopoly. Sektor perekonomian rakyat dimarginkan, sementara sistem ekonomi pasar liberal yang diagungkan mengalami pembusukan menjadi corporatist market economy dan ‘free market radicalism’ yang berasosiasi ke sesuatu yang antisosial dan “keserakahan yang terlalu”. Risalah Restorarian Di tengah rasa sakit rakyat dan absentnya negara, membaca buku Mari Bung, Rebut Kembali, berisi kumpulan Pidato Surya Paloh (SP) seperti menawarkan jalan liberasi dari the theory of continuity Tocqueville di atas. Mari Bung, Rebut Kembali yang dieditori Willy Aditya, seorang aktivis gerakan dan intelektual muda yang visioner, memuat banyak pidato yang mendedahkan kontradiksi internal di dalam tubuh kebangsaan kita. Kontradiksi antara kepentingan minoritas elite yang cenderung mengabaikan hakhak fundamental rakyat dengan kehendak mayoritas rakyat menuntut keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan sosial yang menjadi janji kemerdekaan. Keduanya menempati kawah gunung api yang sama. Referensi 58 Nasional Demokrat, sebagaimana disampaikan SP dalam pidato Nasional Demokrat Melawan Pemikiran Sesat, saat Deklarasi Nasional Demokrat di Istora Senayan Jakarta, 1 Februari 2010, menegaskan arah gerakan restorasi Indonesia yang diusung Nasional Demokrat ialah untuk ”mengisi ruang kosong pengabdian dan pemberdayaan masyarakat”. Mengabdi dan melayani warga bangsa yang diabaikan oleh negara dan seluruh instrumennya. Nasional Demokrat telah mengambil pijakan dalam kontradiksi itu. Dalam Tak Ada Penyelewengan, SP menegaskan bahwa, ”Perjuangan kita adalah perjuangan pembebasan jutaan orang melarat di negeri ini, jutaan orang yang terbodohkan di negeri ini, dan jutaan orang yang tidak mendapat perlindungan hukum.” Pilihan keberpihakan ini merepresentasikan cita-cita emansipasi yang diformulasikan lewat linked-solidarity dan koneksitas gerakan restorarian secara permanen dengan kepedihan warga bangsa di “lantai dasar” kehidupan kebangsaan. Menjadi jelas kiranya arah gerakan restorarian yang diusung Nasional Demokrat. Ini mengingatkan kita pada semangat nasional liberation awal dalam bentuk popular movement dan di bawah 59 Referensi Volume III Nomor 1 Juni 2012 kepemimpinan kaum populis yang terikat pada kondisi material rakyat kala itu. Karena itu, seperti dinyatakan Bung Karno, ”Kemauan yang datang dari visi harus ditumbuhkan dengan segera di kalangan rakyat.” Jika tidak, maka kaum nasionalis akan kehilangan senjata mereka, yakni kekuasaan semangat rakyat. Menanamkan kesadaran restorasi agar menjadi kehendak rakyat banyak, mewujud baik sebagai social mobilization maupun social production, hemat saya, inilah yang akan menyelamatkan gerakan restorarian yang diusung Nasional Demokrat dari menjadi "putsch", mengutip istilah Tan Malaka dalam Aksi-Massa (1926), sebagai satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Tetapi, menjadi aksi massa yang tersusun rapi, berderap, dan mampu memecah pelabuhan yang tenang dan damai. Progresivitas Orientasi Gerakan Ada tiga pidato dalam Mari Bung, Rebut Kembali yang layak dicerna: partama, Tak Ada Penyelewengan, kedua, Ada 1.000 Jalan ke Roma, Baru Punya 1: NASDEM dan ketiga, Demokrasi Antah Berantah. Menarik, dalam hemat saya, karena ketiganya menegaskan tengah berlangsungnya progresivitas orientasi gerakan. Tak Ada Penyelewengan mungkin dapat dilihat semacam pledoi politik. Pidato itu menangkis tudingan bahwa dukungan pada kehadiran Partai NasDem adalah sebentuk penyelewengan atas cita-cita emansipasi ”pembebasan jutaan orang melarat di negeri ini” yang diusung Nasional Demokrat. Di Pidato tersebut, argumentasi soal dukungan itu cenderung retoris dan mungkin ambigu bagi sebagian publik. Di pidato berjudul Ada 1.000 Jalan ke Roma, Baru Punya 1: NASDEM, Surya Paloh menyampaikan bahwa, Nasional Demokrat menerima kehadiran Partai NasDem tidak dalam relasi urderbow. Boleh jadi, penjelasan itu justru memunculkan ambivalensi yang problematis. Namun, penjelasan tersebut, termasuk dukungan pada kehadiran Partai NasDem, menurut saya, sebaiknya dibaca dalam frame Nasional Demokrat sebagai ormas gerakan—bahkan ”pemimpin pergerakan,” meminjam frase SP. Organ gerakan tidak hidup di atas menara idealisasi moralitas, tetapi menakikkan pijakannya dalam realitas dialektis, sebagai antithesa yang, mengutip Bung Karno di dalam Marhaen dan Proletarian, ”berisi semangat dan keyakinan perlawanan, berisi semangat dan keyakinan bahwa tiada perdamaian antara sana dan sini.” Karena itu, adalah kesemestian bagi Nasional Demokrat sebagai ormas gerakan mengafiliasikan dan menginfiltrasikan cita-cita emansipasinya lewat perjuangan politik. Jika tidak, maka cita-cita emansipasi itu terhenti sebatas kerja complimentary dengan organisasi jatuh sebatas fasilitator dan mediator dalam agenda-agenda kolaboratif dan frame ”gerakan” tidak lebih slogan reaktif dan reaksioner. Selain itu, ada dua realitas makro menurut saya yang menjadi sebab mengapa Nasional Demokrat, termasuk organ-organ gerakan lainnya, harus mengafiliasikan dan menginfiltrasikan cita-cita progresifnya dalam perjuangan politik. Pertama, kontradiksi sebagai realitas historis di dalam tubuh kebangsaan kita. Kontradiksi didasari kondisi material ini mendifrensiasi bangunan kesadaran kultural, antara kutub elitisme dan sikap antielitisme, yang keduanya menghuni kawah gunung api yang sama. Referensi 60 Sumber: www.stratint.org Volume III Nomor 1 Juni 2012 Kedua, neoliberalisme sebagai realitas cara-cara progresif, damai, dan permanen faktual. “We live in the age of neoliberalism,” serta perubahan kultur kekuasaan politik tulis Saad-Filho and Johnston dalam tidak lagi didominasi perspektif elite, tetapi Neoliberalism – A Critical Reader, (2005). diwarnai oleh cita-cita emansipasi kolektif. Source: http://www.stratint.org/wp-content/uploads/2012/09/neo_liberalism.jpg Situasi neoliberalisme hari ini ditandai korespondensi policy-making di wilayah Demokrasi Antah Berantah, pidato politik mikroekonomi dengan operasional dari pada HUT ke-2 Nasional Demokrat, adalah keseluruhan praktik ekonomi politik telah upaya SP untuk melakukan pemahaman menderet perubahan pada otoritas politik, kembali ikhwal hubungan antara demokrasi pun bangunan sosio-budaya. Karena dan orientasi kebangsaan. Dari Bandung itu, gerakan perubahan dengan cita- yang disebutnya kota ”Pergerakan bagi cita emansipasi akan menjadi “cosmetic kaum Republiken”, SP menolak demokrasi proposal” jika dibangun cuma lewat yang dinilainya telah kehilangan orientasi keguyuban dan program-program idealis kebangsaan dan meneriakkan gerakan restorarian hak-hak fundamental rakyat dan moralis. yang memungkinkan upaya demokratisasi Kedua realitas makro di atas menuntut hadir lewat pintu keadilan sosial. Kerja yang setiap organ gerakan seperti Nasional tentunya tidak mudah di Republik yang Demokrat haruslah memanifestasikan sudah menjelma jadi “bantal guling empuk” lewat aksi-aksi politik yang kapitalisme global dan keserakahan oligarki Source: dirinya http://pranandapaloh.com/Photo/blog/155_1_2-Photo.jpg terkoneksi secara permanen dengan kondisi nasional. material ”jutaan orang melarat di negeri ini”. Dari korespondensi ini bidikannya AGUS HERNAWAN, alumnus SIT-Vermont, ialah reorientasi organisasi politik dalam AS mendekati dan meraih kekuasaan lewat TE AN NT G KA M I Terbitan Referensi adalah analisis dwi bulanan tentang ABC Politik dalam format terbitan. Referensi hadir dalam skema keengganan mayoritas untuk mengunyah jurnaljurnal berat dan terkesan sebagai projek pemenuhan harsat kaum intelektual belaka. Di sisi lain budaya massa yang berkembang lebih gandrung pada karya-karya dengan nuansa dan format dangkal, instan dan sesaat. Politik tidak hanya sebagai nalar kebinatangan untuk berkuasa, mistifikasi terhadap realitas serta justifikasi terhadap sebuah kemenangan. Politik merupakan suatu bangunan nilai (value), keutamaan (virtue) serta etika (ethic) sebagai peralatan memajukan peradaban manusia. Disinilah dibutuhkan media sebagai ranah pembelajaran bersama, pendokumentasikan peristiwa dan pemaknaan terhadap situasi. Referensi memberikan ruang ekspresi kepada kalangan politisi, aktifis dan penulis muda yang kadang tak tertampung oleh media mainstream. Referensi tidak hadir dalam ruang kosong yang terpisah dari realitas yang berkembang. Namun mencoba membuka ruangruang komunikasi diantara Pols dan Vols dalam ranah politik. Karena ia berperan sebagai komunikator, maka ia akan adaptif, responsif, dan eksploratif terhadap kebutuhan Pols dan Vols. Referensi juga menyediakan kanal feedback dalam ragam bentuknya seperti ketertarikan, kesadaran pembaca, pencerahan, ataupun pemikiran tandingan dalam ruang diskusi setiap tema yang akan dipilih pada setiap edisi. Referensi hadir dari proses kerjasama Populis Institute, Institute for Walfare Democracy, serta Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia. ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberi teladan, di tengah menciptakan prakarsa dan ide, dari belakang memberikan dorongan dan arahan) KI hajar dewantara