BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial
2.1.1 Konsep Modal Sosial
Kohen dan Prusak (2002) yang diacu dalam Hasbullah (2006)
menyatakan bahwa konsep modal sosial pertama kali dikembangkan oleh
Hanifan sejak tahun 1916 di daerah bagian Barat Virginia. Beberapa konsep
modal sosial muncul pada periode berikutnya dengan berdasarkan kajian-kajian
yang dilakukan oleh ahli-ahli sosial diantaranya Bourdieu, Coleman, Putnam dan
Fukuyama. Namun demikian Boudieu dan Coleman yang dianggap menjadi
pencetus dari teori modal sosial ini karena mereka yang pertama kali secara
sistematis memperkenalkan istilah modal sosial walaupun diantara keduanya
memiliki konsep yang berbeda (Häuberer 2011).
Bourdieu (1986) menyatakan bahwa modal sosial merupakan wujud
nyata (sumberdaya) dari suatu institusi kelompok. Modal sosial merupakan
jaringan kerja yang bersifat dinamis dan bukan alamiah. Modal sosial merupakan
investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Sadar ataupun tidak
sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung
dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan ini
dapat dilakukan dalam hubungan tetangga, teman kerja (tempat kerja), maupun
hubungan antar famili.
Lebih lanjut Bourdieu (1983) menggambarkan bahwa modal sosial
merupakan kumpulan sumberdaya yang dimiliki setiap keanggotaan dalam suatu
kelompok yang digunakan secara bersama-sama. Sebagai contoh, ketersediaan
jaringan sosial dalam masyarakat dapat membantu peningkatkan produksi dan
ekonomi anggota melalui pemanfaatan koneksi sosial (pemasaran hasil).
Menurut Bourdieu, modal ekonomi merupakan sumberdaya dasar, namun modal
sosial berperan besar dalam meningkatkan modal ekonomi seseorang (individu).
Coleman (1988) menyatakan bahwa modal sosial didefinisikan oleh
fungsinya. Modal sosial bukanlah entitas tunggal, tetapi terdiri dari berbagai
entitas dengan dua karakteristik umum yaitu terdiri dari beberapa aspek struktur
sosial, dan mereka memfasilitasi tindakan tertentu dari individu yang berada
dalam struktur. Definisi diatas menunjukkan bahwa modal sosial merupakan
bagian dari struktur sosial yang membantu tindakan anggota dari struktur sosial
tersebut. Menurut Häuberer (2011) Coleman menekankan konsep modal sosial
dalam konteks teori pilihan rasional. Ketergantungan sosial muncul karena
10 adanya ketertarikan
seseorang untuk ikut memanfaatkan
sumberdaya yang
dikontrol oleh orang lain sehingga pilihan-pilihan rasional muncul untuk
memaksimalkan manfaat bagi semua pihak.
Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai “fitur dari organisasi
sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi
dan kerjasama untuk keuntungan bersama”. Menurut Häuberer (2011) Putnam
mengembangkan konsep modal sosial mengikuti konsep Coleman. Ide utamanya
adalah bahwa jaringan sosial mengandung nilai bagi individu. Seperti modal fisik
dan manusia, modal kontrak sosial juga mempengaruhi produktivitas individu
dan kelompok. Modal fisik tetap dalam benda fisik, modal manusia adalah
properti individu dan modal sosial melekat dalam hubungan antar individu.
Fukuyama (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai “kapabilitas yang
muncul dari kepercayaan umum di dalam masyarakat atau bagian-bagain
tertentu darinya”. Konsep ini melihat modal sosial sebagai serangkaian nilai atau
norma informal yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kelompok yang
memfasilitasi kerjasama diantara mereka. Norma-norma dan hubunganhubungan tersebut berfungsi sebagai perekat sosial yang menjaga kesatuan
anggota masyarakat secara bersama-sama.
Berbagai definisi tentang modal sosial yang disampaikan oleh beberapa
ahli dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Definisi, Maksud/tujuan dan Analisis Modal Sosial
Definisi
Sumberdaya
sosial yang
Bourdieu
menyediakan akses
untuk
kepentingan kelompok
Melihat aspek struktur
Coleman
sosial , setiap aktor dapat
Memanfaatkan sumber
daya tersebut untuk
mencapai kepentingan
bersama
Jaringan/hubungan,
Putnam
kepercayaan, dan norma
norma merupakan
fasilitas
bersama dan dapat
dimanfaatkan bersama
Sumber: Winter (2000).
Maksud
Untuk menjamin
tercapainya modal
ekonomi
tujuan Analysis
Individual
dalam
kelompok
Untuk menjamin
tercapainya
sumberdaya
manusia yang
berkualitas
Individual
dalam
keluarga
dan
masyarakat
Untuk menjamin
tercapainya sistem
ekonomi dan
demokrasi yang
efektif
Region dan
negara
11 2.1.2 Tipologi dan Tingkatan Modal Sosial
Woolcock (1998) yang diacu dalam LP UNPAD (2008) menyatakan
bahwa modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi
(type of networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan
hubungan yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi)
yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua,
modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh
seperti: teman kerja, dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking
capital), yaitu ikatan hubungan lebih renggang lagi dibandingkan kedua ikatan
hubungan diatas. Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan
hubungan secara formal (formal institutions) baik untuk kepentingan individu
maupun kepentingan masyarakat luas. Berkenaan dengan itu, Edward (2004)
dalam Suandi (2007)
menyatakan bahwa modal sosial dapat berkontribusi
dalam meningkatkan keakraban dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat.
Apalagi seorang individu atau kelompok masyarakat dalam menjalinkan interaksi
sosial dapat mengembangkan nilai-nilai atau norma-norma yang mereka miliki di
masyarakat baik antar sistem jaringan bonding, bridging maupun sistem jaringan
linking dengan struktur yang terbuka dan komunikatif. Namun demikian, Edward
menambahkan bahwa keefektifan proses komunikasi antar individu atau
kelompok masyarakat harus didukung oleh kondisi politik yang kondusif,
menegakkan supremasi hukum, adanya kelembagaan yang good governance
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan. Kerangka konseptual modal sosial
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Uphoff (2000) menyebutkan bahwa unsur modal sosial terbagi dalam dua
kategori yaitu modal sosial struktural yang merupakan hubungan sosial yang
mengakibatkan tindakan bersama saling menguntungkan dan kategori modal
sosial kognitif yang merupakan proses-proses mental dan ide-ide yang berbasis
pada ideologi dan budaya dengan unsur-unsur norma, nilai, sikap, keyakinan,
kepercayaan solidaritas, kerjasama dan kedermawanan. Unsur-unsur modal
sosial berdasarkan kategori struktural dan kognitif tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2.
12 Kebudayaan
- Bahasa,
- Sejarah,
- Gender,
- Agama,
- Seni, dan
- sport
Politik:
- Peran UU,
- Transparansi
proses politik,
- Good
governance
Modal sosial
Tipe jaringan:
Bonding, Bridging
dan linking
Komposisi
jaringan:
Transaksi
jaringan:
keluarga,
teman,
tetangga,
kolega,
organisasi/
kelompok.
- Memperkuat
dukungan,
- Meningkat
pengetahuan,
- negosiasi,
-penerapan
sanksi Kualitas
jaringan:
- Norma-norma:
# kepercayaan,
# imbalan,
# efikasi
# kebersamaan,
- partisipasi
sosial
- partisispasi
Struktur
jaringan:
Supremasi Hukum:
- Independensi
pengadilan,
- Transparansi
proses hukum,
- Kebebasan
- jumlah,
- keterbukaan,
- komunikasi,
- mobilitas,dan
Kelembagaan:
- Implementasi
kebijakan,
- Stabilitas
ekonomi
- tingkat
hubungan.
berpendapat.
Dampak Negatif:
- Adanya hubungan tidak seimbang
(unbalance bonding),
- Menurunkan fungsi keluarga
(unbalance bridging),
- Korupsi (unbalance linking)
- Kekacauan dalam masyarakat Dampak Positif:
- Pengembangan jaringan kerja,
- Peningkatan pengetahuan,
- Peningkatan kepercayan masyarakat,
- Kebahagiaan masyarakat,
- Kepuasan mengontrol diri,
- transaction cost,
- Pemecahan masalah.
Gambar 2 Kerangka Konseptual Modal Sosial (Edwards 2004 diacu dalam Suandi 2007)
13 Tabel 2 Kategori modal sosial
Kategori
Struktural
Sumber dan manifestasi
Domain
Peranan dan aturan jaringan
dan hubungan interpersonal
lainnya
Prosedur dan preseden
Organisasi sosial
Kognitif
Norma, nilai, sikap dan
keyakinan
Budaya sipil
Faktor dinamis
Hubungan/keterkaitan
horizontal dan vertikal
Kepercayaan, solidaritas,
kerjasama dan
kedermawanan
Unsur-unsur umum
Ekspektasi yang mengarah pada perilaku kooperatif dan
memberi manfaat untuk semua
Sumber: Uphoff (2000)
Uphoff (2000) membagi modal sosial dalam empat tingkatan (kontinuum)
yaitu
minimum, rendah, sedang dan tinggi sebagaimana dapat dilihat dalam
Tabel 3.
Tabel 3 Tingkatan modal sosial
Minimum
Tidak mementingkan
kesejahteraan orang
lain; memaksimalkan
kepentingan sendiri
dengan
mengorbankan
kepentingan orang
lain
Nilai-nilai:
Hanya menghargai
kebesaran diri sendiri
Isu-isu pokok:
Selfisness:
Bagaimana sifat
seperti ini bisa
dicegah agar tidak
merusak masyarakat
secara keseluruhan
Strategi:
Jalan sendiri
Kepentingan
bersama:
Tidak jadi
pertimbangan
Tingkatan modal sosial
Rendah
Sedang
Hanya
Komitmen terhadap
mengutamakan
upaya bersama;
kesejahteraan sendiri; kerjasama terjadi bila
Kerjasama terjadi
memberi keuntungan
sejauh
kepada orang lain
menguntungkan
sendiri
Nilai-nilai:
Efisiensi kerjasama
Nilai-nilai:
Efektifitas kerjasama
Isu-isu pokok:
Biaya transaksi:
Bagaimana biaya ini
bisa dikurangi untuk
meningkatkan
manfaat bersih bagi
masing-masing orang
Strategi:
Kerjasama teknis
Isu-isu pokok:
Tindakan kolektif:
Bagaimana kerjasama
(penghimpunan
sumberdaya) bisa
berhasil berkelanjutan
Strategi:
Kerjasama Strategis
Kepentingan
bersama:
Instrumental
Kepentingan
bersama:
Intitusional
Tinggi
Komitmen terhadap
kesejahteraan
oranglain;Kerjasama
tidak terbatas pada
kemanfaatan sendiri
tetapi juga untuk
kebaikan bersama
Nilai-nilai:
Altruism dipandang
sebagai hal yang baik
Isu-isu pokok:
Pengorbanan diri:
Sejauh mana hal-hal
seperti patriotisme dan
pengorbanan demi
fanatisme agama perlu
dilakukan
Strategi:
Bergabung atau
melarutkan
kepentingan individu
Kepentingan
bersama:
Transedental
14 Lanjutan
Minimum
Pilihan:
Keluar: bila tidak puas
Tingkatan modal sosial
Rendah
Sedang
Pilihan:
Pilihan:
Bersuara: berusaha
Bersuara: mencoba
untuk memperbaiki
memperbaiki
syarat pertukaran
keseluruhan
produktifitas
Teori permainan:
Zero-sum
kompetisi tanpa
adanya hambatan
pilihan akan
menghasilkan
negative-sum
Teori permainan:
Zero-sum
Pertukaran yang
memaksimalkan
keuntungan sendiri
bisa menghasilkan
positive-sum
Fungsi utilitas:
Independent
Pendekatan diberikan
bagi utilitas sendiri
Fungsi utilitas:
Independent
Dengan utilitas bagi
diri sendiri diperbesar
melalui kerjasama
Teori permainan:
Positive-sum
Ditujukan untuk
memaksimalkan
kepentingan sendiri
dan kepentingan
untuk mendapatkan
manfaat bersama
Fungsi utilitas:
Interdependent
positive
Dengan sebagaian
penekanan diberikan
bagi kemanfaatan
orang lain
Tinggi
Pilihan:
Setia: menerima
apapun jika hal itu baik
untuk kepentingan
bersama secara
keseluruhan
Teori permainan:
Positive-sum
Ditujukan untuk
memaksimalkan
kepentingan bersama
dengan
mengesampingkan
kepentingan sendiri
Fungsi utilitas:
Interdependent positive
Dengan lebih banyak
penekanan diberikan
bagi kemanfaatan
orang lain daripada
keuntungan diri sendir
Sumber : Uphoff (2000)
2.1.3 Unsur-Unsur Modal Sosial
Beberapa ahli telah menyebutkan berbagai unsur-unsur pembentuk
modal sosial misalnya Putnam (1993) menyebutkan kepercayaan, norma-norma
dan jaringan-jaringan, Flassy et al. (2009) menyebutkan bahwa kepercayaan
merupakan unsur utama dalam modal sosial, sedangkan unsur lainnya yaitu
partisipasi dalam jaringan, resiprocity, norma sosial, nilai-nilai sosial dan tindakan
proaktif merupakan syarat kecukupan dari mosal sosial.
Hasbullah (2006) membagi unsur modal sosial menjadi enam yaitu
partisipasi dalam jaringan, resiprocity, kepercayaan, norma sosial, nilai-nilai dan
tindakan yang proaktif.
1.
Partisipasi dalam jaringan
Putnam (1993) menyatakan bahwa jaringan kerjasama antar manusia
merupakan wujud dari infrastruktur dinamis modal sosial. Wujud nyata dari
jaringan adalah adanya interaksi sehingga jaringan itulah yang disebut modal
sosial (Coleman 1998).
Modal
sosial
yang
kuat
sebagai
salah
satu
kunci
keberhasilan
pembangunan tidak dibangun oleh satu individu tetapi terletak pada jaringan
15 sosial yang kuat yang dibangun dengan prinsip-prinsip kesukarelaan (voluntary),
kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Tipologi dari
jaringan sosial yang terbentuk di dalam masyarakat tergantung dari karakteristik
dan orientasi kelompok. Kelompok sosial yang membangun jaringan atas dasar
keturunan, pengalaman sosial dan kesamaan kepercayaan dan agama
cenderung akan membentuk jaringan dengan kohesifitas yang tinggi namun
rentang jaringan maupun kepercayaan yang sempit, sedangkan kelompok
masyarakat yang membangun jaringan dengan dasar kesamaan orientasi dan
tujuan dan ciri pengelolan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat
partisipasi dan rentang jaringan yang lebih luas. Tipologi jaringan yang kedua
inilah yang akan memberikan dampak positif bagi kemajuan kelompoknya dan
masyarakat secara luas (Hasbullah 2006).
2.
Resiprocity
Lenggono (2004) menyebutkan bahwa hubungan timbal balik adalah
terjadinya pertukaran sumber daya dengan menyediakan pelayanan pada orang
lain. Rudito dan Fabiola (2008) menambahkan bahwa modal sosial terbentuk dari
adanya dua macam solidaritas yaitu solidaritas mekanik yang mengikat
masyarakat karena adanya rasa kebersamaan dan aturan dalam kelompok serta
solidaritas organik yang mengikat masyarakat karena adanya perbedaan
keahlian antar individu sehingga saling membutuhkan antara individu satu
dengan yang lainnya.
Modal sosial senantiasa diwarnai dengan kecenderungan untuk saling
tukar kebaikan antar individu dalam kelompok maupun antar kelompak dengan
nuansa altruism. Namun masyarakat dengan tingkat resiprositas yang kuat
belum tentu memberikan dampak positif yang cukup besar bagi kelompok lainnya
tergantung dari derajad keterbukaan masyarakat tersebut (Hasbullah 2006).
3.
Kepercayaan
Kepercayaan adalah atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu
bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosialnya yang
didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti
yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam pola tindakan yang saling
mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan
kelompoknya
(Putnam
1993).
Fukuyama
(2007)
berpendapat
bahwa
16 kepercayaan
adalah
sikap
saling
mempercayai
di
masyarakat
yang
memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dan memberikan kontribusi
pada peningkatan modal sosial. Kepercayaan merupakan warna dari suatu
sistem kesejahteraan bangsa yang merupakan karakteristik yang menjadi
prakondisi dari terciptanya kemampuan berkompetisi
Qianhong Fu (2004) dalam Hasbullah (2006) membagi kepercayaan dalam
tiga tingkatan yaitu (1) tingkatan individual yang merupakan kekayaan individu,
variabel personal dan karakteristik individu, (2) tingkatan relasi sosial yang
merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan kelompok dan (3) tingkatan
sistem sosial yang merupakan nilai publik yang perkembangannya difasilitasi
oleh sistem sosial yang ada.
Nahapit & Ghosal (1998) dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa
kepercayaan pada tingkat individu berasal dari nilai-nilai yang yang bersumber
pada kepercayaan dan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan
keterbukaan yang telah menjadi norma-norma di dalam masyarakat, sedangkan
pada tingkat komunitas kepercayaan bersumber dari norma sosial yang telah
melekat pada struktur sosial yang ada. Putnam (1993) memandang kepercayaan
terkait dengan perilaku dan ada atau tidaknya resiprocity dalam masyarakat.
Pada tingkatan institusi sosial kepercayaan akan bersumber dari karakteristik
sistem tersebjut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap
anggota kelompok.
Hasbullah (2006) menyatakan bahwa kepercayaan memberikan nilai positif
yang besar apabila memiliki rentang (the radius of trust) yang luas sehingga
kelompok
yang
hanya
berorientasi
inward
looking
akan
sulit
untuk
mengembangkan modal sosialnya. Sedangkan kelompok yang lebih terbuka
akan mempunyai potensi yang lebih baik untuk mengembangkan modal
sosialnya.
4.
Norma sosial
Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh
anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah 2006). Norma
terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuantujuan yang diyakini dan dijalankan oleh sekelompok orang (Suharto 2007).
Norma sosial ini sangat berperan dalam mengontrol perilaku yang masyarakat.
17 Norma-norma ini biasanya tidak tertulis tetapi dipahami oleh setiap anggota
masyarakat dan menentukan tingkah laku dalam konteks hubungan sosial.
Hasbullah (2006) menyatakan bahwa norma merupakan salah satu unsur
modal sosial yang akan merangsang berlangsungnya kohesifitas sosial yang
hidup dan kuat. Fukuyama (2007) menyatakan bahwa modal sosial dibentuk dari
norma-norma informal yang medukung kerjasama antar individu. Lawang (2005)
juga memandang bahwa norma merupakan bagian penting dari modal sosial.
5.
Nilai-nilai (values)
Menurut Hasbullah (2006) nilai adalah “suatu ide yang telah turun menurun
dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok”. Dalam kebudayaan
manusia terdapat nilai-nilai yang akan mendominasi ide-ide yang berkembang.
Ide-ide tersebut akan mempengaruhi aturan-aturan bertindak dalam masyarakat
(the rules of conducts) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behavior)
yang secara bersama-sama akan membentuk pola-pola kultural (cultural pattern).
Kekuatan
modal sosial dalam masyarakat dipengaruhi oleh konfigurasi
nilai yang yang ada di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena sifat
nilai yang memiliki konsekuensi ambivalen, misalnya nilai harmoni yang dianggap
menciptakan
kerukunan
akan
menghalang
kompetisi.
Padahal
nilai-nilai
kompetisi dalam masyarakat dapat memicu perkembangan dan kemajuan yang
lebih cepat pada bidang-bidang tertentu (Hasbullah 2006).
6.
Tindakan yang proaktif
Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari
anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi mencari senantiasa jalan
bagi keterlibatan mereka dalam kegiatan masyarakat (Hasbullah 2006). Lawang
(2005) menyatakan bahwa keberadaan modal sosial baik yang bersifat proses,
pelumas maupun perekat tidak akan terjadi tanpa ada tindakan dari masyarakat.
Lenggono (2004) menyebutkan bahwa proaktif sebagai bagian dari modal sosial
merupakan kerelaan warga sebagai subyek dalam suatu pembangunan.
18 2.2
Persepsi
2.2.1 Pengertian Persepsi
Sarwono (2003) mengemukakan bahwa persepsi adalah suatu proses
kategorisasi. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (obyek-obyek
di luar, peristiwa, dan lain-lain) dan organisme itu berespons dengan
menghubungkan masukan itu dengan salah satu kategori (golongan) obyekobyek atau peristiwa-peristiwa. Proses menghubungkan ini adalah proses yang
aktif di mana individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang
tepat sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti kepada masukan tersebut.
Dengan demikian, persepsi juga bersifat inferensial (menarik kesimpulan).
Dalam terminologi psikologi Lindsay dan Norman (1977) menyebutkan
bahwa “Perception is the process by which organisms interpret and organize
sensation to produce a meaningful experience of the world”. Dari pengertian
tersebut dapat diketahui bahwa persepsi merupakan pandangan akhir seseorang
setelah memproses semua input dan sensasi yang diperolehnya melalui panca
indera. Vredentbergt (1974)
dalam Sattar (1985) memiliki pendapat bahwa
persepsi adalah sebagai proses selektif untuk membangun kesan dan membuat
penilaian.
Persepsi (perception) juga diartikan sebagai penglihatan atau tanggapan
daya memahami/menanggapi (Echols & Shadily 1989). Persepsi merupakan cara
bagaimana seseorang melihat dan menaksirkan suatu obyek atau kejadian.
Seseorang akan melakukan tindakan sesuai persepsinya, sehingga persepsi
memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang
(Chartrand & Bargh 1999). Beberapa definisi persepsi menurut para ahli, antara
lain:
1.
Menurut Grice (1964), persepsi merupakan proses sebab akibat. Proses
pemberian arti oleh seseorang sebagai akibat atas berbagai rangsangan
atau stimulus yang diterimanya, dan dari proses tersebut seseorang
mempunyai opini tertentu mengenai apa yang diamatinya.
2.
Menurut Krech (1962), persepsi merupakan integrasi dari individu dan
rangsangan yang diterimanya. Apa yang dipersepsikan individu dalam suatu
saat tertentu tidak hanya dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima, namun
dipengaruhi juga oleh apa yang ada dalam diri individu tersebut, misalnya
pengalaman, perasaan, prasangka, keinginan, sikap dan tujuan.
19 3.
Menurut Lindsay dan Norman (1977), persepsi merupakan suatu proses dari
seseorang dalam menyeleksi, mengorganisir dan menginterpretasikan
rangsangan ke dalam sesuatu yang berarti dan koheren dengan dunia.
Dengan demikian orang yang berbeda bisa jadi akan melihat sesuatu yang
sama secara berbeda.
4.
Menurut Hufman (1987), persepsi merupakan proses penyeleksian,
pengorganisasian, dan penyampaian data yang dapat dipahami oleh mental
2.2.2 Mekanisme Pembentukan Persepsi
Proses pembentukan persepsi menurut Asngari (1984) diawali dari
perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari
pemilihan atau penyaringan. Informasi tersebut selanjutnya disusun menjadi
suatu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta
dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam
memegang peranan penting guna meningkatkan pengertian dan pemahaman
tehadap obyek yang diamati. Informasi yang sampai pada seseorang merupakan
suatu stimulus yang diteruskan ke syaraf sensoris, sehingga orang akan
menyadari dan memahami stimulus tersebut. Pada akhirnya, orang tersebut
melakukan tindakan.
Obyek persepsi dapat berada di dalam maupun di luar individu. Jika obyek
persepsi berada di dalam individu yang mempersepsi, berarti individu tersebut
mempersepsi dirinya sendiri, sehingga ia dapat mengerti dan mengevaluasi
keadaan dirinya sendiri. Namun jika persepsi berada di luar individu yang
mempersepsi, maka obyek persepsi dapat berupa benda-benda, situasi atau
manusia (Swanky 2006). Selama proses mempersepsi suatu obyek, individu
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan
faktor-faktor yang ada dalam diri individu, seperti pengalaman, perasaan,
kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi. Faktor eksternal berupa
rangsangan itu sendiri dan faktor lingkungan di mana persepsi itu berlangsung.
Asngari
(1984)
menyatakan
bahwa
Litterer
membagi
mekanisme
pembentukan persepsi menjadi 3 yaitu selectivity, interpretation dan closure.
Dalam proses ini, pengalaman masa lalu memegang peranan sangat penting
dalam proses interpretasi informasi. Namun Asngari (1984) menyatakan bahwa
faktor internal yang mempengaruhi persepsi tidak hanya pengalaman masa silam
tetapi juga karakteristik seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan
20 status kependudukan karena persepsi merupakan proses pengamatan serapan
yang berasal dari kemampuan kognitif seseorang.
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Weaver (1978) dalam Susiatik (1998) menyatakan bahwa umumnya terjadi
perbedaan persepsi antara individu satu dengan yang lain terhadap suatu obyek
yang sama. Persepsi individu terhadap suatu obyek atau gejala dapat bersifat
positif atau negatif, benar atau salah serta dapat berubah. Hal ini terjadi karena
perbedaan karakteristik setiap individu yang bersifat pribadi dan unik. Ruch
(1964) menyebutkan bahwa persepsi setiap individu terhadap obyek yang sama
dapat berbeda tetapi persepsi dari individu yang sama terhadap suatu obyek
yang sama juga dapat berbeda dalam waktu yang berbeda, dan disimpulkan
bahwa perbedaan persepsi dipengaruhi oleh faktor tingkat intelejensia,
pengharapan terhadap obyek yang dipersepsikan dan pengalaman masa lalu.
Sadli (1976) menyatakan ada empat faktor yang dapat mempengaruhi
persepsi seseorang, yaitu:
1.
Faktor obyek rangsangan seperti nilai, arti emosional, familiaritas dan
intensitas suatu obyek.
2.
Faktor individu seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional, dll
3.
Faktor pengaruh kelompok, bahwa respon orang lain dalam suatu kelompok
akan memberikan arah terhadap tingkah laku seseorang
4.
Faktor latar belakang kultural seperti adat istiadat dan kebudayaan
seseorang akan mempengaruhi tingkah lakunya.
Dalam penelitiannya mengenai persepsi masyarakat terhadap kegiatan
reboisasi dan penghijauan, Sattar (1985) menyimpulkan bahwa karakteristik
individu yang mempengaruhi persepsi adalah pendidikan, sosial ekonomi, sosial
budaya serta karakteristik penyuluhan yang dilakukan. Penelitian lain yang
dilakukan Yuwono (2006) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi
persepsi masyarakat terhadap program hutan rakyat pola kemitraan di
Kabupaten Musi Rawas adalah umur, pendidikan, penyuluhan dan pemahaman
program. Hasil penelitian Susiatik (1998) menyimpulkan bahwa selain umur dan
pendidikan, pengalaman berusaha tani dan kekosmopolitan individu juga
memiliki hubungan yang erat dengan persepsi masyarakat terhadap program
Pembangunan Masyararakat Desa Hutan Terpadu di Kabupaten Grobogan Jawa
Tengah.
21 2.3
Hutan Tanaman Rakyat
2.3.1 Definisi dan Pola Pembangunan HTR
Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan
tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk
meningkatkan potensi kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur
dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan (Dephut 2011). Program
pembangunan HTR ini dilatar belakangi oleh:
1.
Upaya pemerintah untuk mempercepat revitalisasi sektor kehutanan guna
meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi,
mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan.
2.
Untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses
pasar yang lebih kuat kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan
produksi (Ditjen BPK 2007).
Prinsip-prinsip penyelenggaraaan HTR ini antara lain: (1) masyarakat
mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya (people organized
themselves based on their necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta
masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri
karena kedua hal tersebut tidak akan membuat masyarakat mandiri dan hanya
membuat “kebergantungan” masyarakat, (2) kegiatan pemberdayaan masyarakat
harus bersifat padat karya (labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah
ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab, (3) pemerintah
memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga
kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke
sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global sehingga
bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar (Ditjen BPK
2007).
Pemerintah
telah
menetapkan sasaran
dalam
pembangunan
HTR
sebagaiman tercantum dalam petunjuk teknis pembangunan HTR sebagai
berikut :
1.
Masyarakat yang menjadi sasaran program HTR adalah masyarakat yang
berada di dalam atau sekitar hutan yang bergantung pada hutan dalam hal
mata pencaharian, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan
tata tertib kehidupan bersama dalam kelembagaan.
22 2.
Kawasan hutan yang menjadi sasaran lokasi adalah kawasan hutan produksi
yang tidak produktif, yang tidak dibebani hak dan diutamakan yang terletak
dekat dengan industri hasil hutan dan telah ditetapkan pencadangannya
sebagai lokasi HTR.
3.
Kegiatan yang menjadi sasaran program HTR berupa fasilitasi yang
dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kewengannya
antara lain melakukan pengakuan status, legalitas, penguatan kelembagaan,
bimbingan dan penyuluhan teknis, pendidikan dan latihan, akses ke
pembiayaan dan akses pasar.
4.
Kegiatan IUPHHK HTR adalah pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan
tanaman yang meliputi tahapan kegiatan penyiapan lahan, pembibitan,
penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil hutan (BPK
2007).
Pola pengembangan HTR direncanakan mengikuti 3 pola, yaitu (1) Pola
Mandiri, (2) Pola Kemitraan dengan HTI, BUMN/S, dan (3) Pola Developer.
Pengertian dari masing-masing pola adalah sebagai berikut:
1.
Pola
Mandiri
dimana
masyarakat
setempat
membentuk
kelompok,
Pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHKHTR untuk setiap individu
dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab
atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian kredit, pasar, dan
pendampingan dari pemerintah/pemda.
2.
Pola Kemitraan dengan HTI BUMN/S dimana masyarakat setempat
membentuk kelompok diajukan oleh Bupati ke Menhut. Pemerintah
menerbitkan SK IUPHHK-HTR ke individu dan menetapkan mitra. Mitra
bertanggung jawab atas pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar.
3.
Pola Developer dimana BUMN/S sebagai developer membangun hutan
tanaman rakyat dan selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada
masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya
pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHKHTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.
2.3.2 Lokasi dan Proses Perijinan HTR
Alokasi areal untuk HTR ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai lokasi
pencadangan HTR pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak
dibebani hak/izin lainnnya. Bagan alir proses pencadangan tersebut serta pihak-
23 pihak yang terkait dengan proses pencadangan tersebut dapat dilihat pada
gambar 3.
Pemerintah dalam Dephut (2011) telah memberikan beberapa ketentuan
terkait dengan ijin IUPHHK-HTR diantaranya:
1. Luasan ijin IUPHHK-HTR untuk perorangan maksimal 15 ha dan untuk
koperasi maksimal 700 ha.
2. Ijin IUPHHK-HTR berlaku selama 60 tahun dan dapat diperpanjang
selama 35 tahun.
3. Ijin IUPHHK-HTR tidak dapat diperjual belikan, dipindahtangankan tanpa
izin dan diwariskan namun apabila pemegang ijin perorangan meninggal
maka salah satu ahli warisnya diutamakan untuk menjadi pemegang ijin
IUPHHK-HTR untuk melanjutkan pembangunan HTR.
Peta arahan
indikatif dari
Baplan A.n Menteri
Tembusan Tembusan :
-Dirjen BPK
-Sekjen Dephut
-Gubernur
-Kadishut Provinsi
-BPKH
Bupati
SK
Pencadangan
Usulan pencadangan
HTR
Kadishut Kabupaten
Menyiapkan pertimbangan
teknis kawasan, areal
tumpang tindih perizinan,
tanaman reboisasi dan
rehabilitasi dan program
daerah
Peta usulan 1:50.000
Tembusan
‐Dirjen BPK
-Baplan
Menteri
Gambar 3 Bagan alir proses pencadangan HTR (Dephut 2011)
Proses perijinan HTR mengikuti mekanisme sebagai berikut :
1.
Pemohon
IUPHHK-HTR
dari
perorangan
mengajukan
ijin
kepada
bupati/walikota melalui kepala desa, sedangkan permohonan dari koperasi
diajukan kepada Bupati dengan tembusan kepada kepala desa
24 2.
Berdasarkan permohonan dari perorangan dan tembusan permohonan dari
koperasi, kepala desa melakukan verifikasi atas keabsahan persyaratan
permohonan
3.
Kepala desa menyampaikan rekomendasi hasil verifikasi tersebut kepada
Bupati/Walikota
sekaligus
menyampaikan
berkas
permohonan
untuk
pemohon perorangan. Tembusan rekomendasi Kepala Desa disampikan
kepada Camat dan BPPHP dilampiri foto kopi berkas permohonan.
4.
Berdasarkan rekomendasi dari Kepala Desa, Kepala BPPHP berkoordinasi
dengan Kepala BPKH melakukan verifikasi atas persyaratan administrasi
dan sketsa/peta areal yang dimohon dan hasilnya disampaikan kepada
Bupati/Walikota sebagai pertimbangan teknis.
5.
Berdasarkan rekomendasi dari kepala desa dan pertimbangan teknis Kepala
BPPHP,
kepala
dinas
kabupaten/kota
yang
membidangi
kehutanan
melakukan penilaian atas permohonan IUPHHK-HTR.
6.
Hasil penilaian atas permohonan IUPHHK-HTR disampaikan Kepala Dinas
Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota.
7.
Dalam hal Bupati/Walikota menyetujui permohonan IUPHHK-HTR, Kepala
Dinas menyiapkan konsep keputusan dan peta kerja IUPHHK-HTR.
8.
Bupati/Walikota menerbitkan keputusan IUPHHK-HTR kepada perorangan
atau koperasi.
2.3.3
Jenis Tanaman dan Tahapan Kegiatan Pembangunan HTR
Jenis tanaman yang dapat dikembangkan dalam pembangunan HTR ini
terdiri dari tanaman pokok dan tanaman tumpang sari. Tanaman pokok adalah
tanaman berkayu yang dapat sejenis atau berbagai jenis yang terdiri dari
kelompok jenis meranti, jenis keruing non dipterocarpaceae, kelompok kayu serat
dan Kelompok Multi Purpose Tree Species/MPTS. Sedangkan tanaman tumpang
sari adalah tanaman pangan setahun/musiman yang ditanam untuk memperoleh
hasil tambahan selama masa menunggu waktu penebangan tanaman pokok
antara lain jagung, padi, palawija dan lain-lain (Ditjen BPK 2008).
Budidaya HTR dikembangkan sesuai dengan kondisi tapak, sosial
ekonomi dan budaya setempat. Dalam pembangunan HTR, tanaman pokok
dapat sejenis maupun tidak sejenis. Apabila tanaman pokok tidak sejenis maka
komposisinya adalah tanaman hutan berkayu dan tanaman budidaya tahunan
misalnya karet, tanaman buah, tanaman penghasil pangan dan energi dengan
25 luas maksimal tanaman budidaya tahunan 40%. Dalam hal di dalam areal HTR
tersebut telah terdapat tanaman campuran atau tanaman monokultur (sawit)
yang telah ada, pemegang izin wajib mengembangkan tanaman kehutanan yang
bercampur dengan tanaman yang sudah ada. Apabila terdapat tanaman sawit
di atas areal HTR dan berumur rata-rata diatas 3 (tiga) tahun, pemegang izin
diberikan kesempatan mengembangkan tanaman sawit tersebut sampai umur 20
(dua puluh) tahun, dengan kewajiban menanam tanaman kehutanan sebagai
batas petak dan blok. Untuk tanaman sawit berumur rata-rata diatas 10 (sepuluh)
tahun maka areal HTR tersebut
wajib ditanami tanaman kehutanan sebagai
tanaman sela menyebar dengan jumlah 400 pohon per hektar dan/atau dengan
jarak 5 (lima) x 5 (lima) meter. Apabila tanaman sawit berumur rata-rata 20
tahun atau lebih, tanaman sawit harus ditebang dan diganti tanaman hutan dan
tanaman sela/tumpangsari.
Ditjen BPK (2007) menyebutkan tahapan-tahapan dalam pembangunan
HTR yang terdiri dari:
1. Perencanaan/penyiapan lahan yang terdiri dari kegiatan penataan areal,
pembukaan wilayah hutan dan pembersihan lahan
2. Penyiapan bibit yang terdiri dari kegiatan pengadaan benih dan
pengadaan bibit.
3. Penanaman yang terdiri dari kegiatan persiapan lapangan, pengangkutan
bibit dan pelaksanaan penanaman
4. Pemeliharaan
penyulaman,
tanaman
yang
pendangiran,
terdiri
dari
kegiatan
pemupukan,
penyiangan/pengendalian
gulma,
pemangkasan cabang dan penjarangan.
5. Pemanenan hasil hutan yang terdiri dari kegiatan inventarisasi tegakan,
penebangan dan pengangkutan kayu
6. Perlindungan dan
pengamanan hutan yang terdiri dari kegiatan
pengendalian hama penyakit, pengendalian kebakaran dan pengamanan
hutan.
Tahapan
kegiatan
pembangunan
pelaksanaannya dapat dilihat dalam Tabel 4.
HTR
tersebut
dan
tata
waktu
26 Tabel 4 Tahapan dan tata waktu kegiatan HTR
No
1
2
3
4
5
Tahapan Kegiatan
Perencanaan/penyiapan lahan
a. penataan areal
b. pembukaan wilayah hutan
c. pembersihan lahan
Penyiapan bibit
a. pengadaan benih
b. pengadaan bibit
Penanaman
a. persiapan lapangan
b. pengangkutan bibit
c. pelaksanaan penanaman
Pemeliharaan Tanaman
a. pemupukan
b. penyulaman
c. pendangiran
d. penyiangan/pengendalian gulma
e. pemangkasan cabang
f. penjarangan
Pemanenan Hasil Hutan
a. Inventarisasi tegakan
b. Penebangan
c. Pengangkutan kayu
Waktu Pelaksanaan
Ep-2
Ep-2
Ep-11
Ep-(1/2 s.d 1)
Ep- (1/4 s/d 2/3)
Ep
Ep
Ep
EP + ¼ dan EP + ½
EP +1 s.d 2
Ep + 1 s.d 2
Ep + 1 s/d 4
Ep + Pm
Ep + Pm
Ep + Pm
Ep + Pm
Ep + Pm
6
Perlindungan dan pengamanan hutan
a. Pengendalian hama dan penyakit
Ep + terus menerus
b. Pengendalian kebakaran
Ep + terus menerus
c. Pengamanan hutan
Ep + terus menerus
Keterangan:
Ep adalah waktu penanaman pada permulaan musim hujan
Pm adalah waktu pemanenan
Sumber Ditjen BPK 2007
2.3.4 Hambatan-Hambatan Pembangunan HTR
Kementerian kehutanan sudah menetapkan target alokasi lahan untuk
pembangunan IUPHHK-HTR sampai dengan tahun 2010 sebesar 5,4 juta hektar
dengan melibatkan 360.000 kepala keluarga (Emilia & Suwito 2007). Namun
realisasi pencadangan lahan IUPHHK-HTR sampai dengan Bulan Juli 2009 baru
mencapai 310.542,73 hektar atau 5,75% dari target sampai dengan tahun 2010,
sedangkan perizinan IUPHHK-HTR yang sudah dikeluarkan baru 8 izin pada 8
kabupaten/kota yang tersebar pada 5 Provinsi dengan luas total ijin 155.305,95
ha atau sekitar 4,9% dari total areal pencadangan IUPHHK-HTR (Ditjen BPK
2009).
27 Realisasi pembangunan HTR yang sangat kecil menunjukkan adanya
beberapa permasalahan dalam pembangunan HTR. Van Noordwijk et al. (2007)
mengidentifikasi beberapa hambatan dalam pembangunan HTR di Indonesia
diantaranya: (1) status dan kepemilikan lahan HTR, (2) akses kepada modal
produksi, (3) permasalahan dalam penguasaan teknologi produksi dan
menghasilkan produk-produk kehutanan yang dibutuhkan pasar, (4) pengaturan
pasar hasil hutan yang terlalu ketat, (5) kurangnya penghargaan terhadap jasa
lingkungan yang dihasilkan oleh petani HTR, dan (6) lemahnya institusi HTR
serta kurangnya dukungan dari institusi formal.
Lebih lanjut Noordwijk et al. (2007) menambahkan bahwa untuk
meningkatkan keberhasilan program HTR ini diperlukan beberapa langkah
strategis diantaranya: (1) Kejelasan dalam pembuatan kontrak dengan petani
lokal untuk menjamin status dan kepemilikan lahan, (2) Pemberian insentif yang
lebih luas terhadap petani HTR dengan memberikan kebebasan dalam memilih
jenis tanaman, teknologi dan pemasaran serta pendampingan oleh tenaga teknis
yang memadai, (3) Deregulasi dalam pemasaran hasil hutan dan pengangkutan
hasil hutan, dan (4) meningkatkan kerjasama antar sektor kehutanan, pertanian,
industri dan perdagangan serta pemerintahan lokal untuk mendukung program
HTR.
Sedangkan
Hakim
(2009)
memandang
permasalahan
dalam
pembangunan HTR terbagi dalam lima aspek yaitu aspek teknologi, aspek
ketersediaan lahan, aspek jaminan pasar/industri pengguna hasil HTR, aspek
kelembagaan dan aspek pembiayaan HTR. Untuk menghadapi berbagai aspek
permasalah
dalam
pembangunan
Pembangunan HTR harus
HTR
maka
dalam
melaksanakan
didasarkan kepada pengalaman keberhasilan di
bidang teknologi, manajemen dan kelembagaan yang sudah tumbuh di
masyarakat dalam mengelola lahan kawasan hutan. Oleh sebab itu disarankan
agar seluruh jajaran pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan, Dinas
Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten berjalan secara sinergis
dan bersama-sama memanfaatkan kelembagaan pengelolaan hutan tanaman
yang melibatkan masyarakat yang sudah tumbuh di lapangan dengan
memperkuat kapasitas dan kualitas manajemen yang lebih profesional.
Download