21 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban Selama periode 1990-2009 rata-rata suhu udara bulanan di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat (Karawang, Subang, dan Indramayu) mengalami peningkatan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Suhu minimum pada musim hujan meningkat sebesar 3.4 oC, sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 4.2 oC. Suhu maksimum pada musim hujan meningkat sebesar 2.5 oC, sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 2.6 oC. Suhu rata-rata pada musim hujan meningkat sebesar 3.3 o C sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 3.7 oC. Sebaliknya, rata-rata curah hujan bulanan selama periode 1990-2009 dari ketiga wilayah tersebut mengalami penurunan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Rata-rata curah hujan pada musim hujan menurun sebesar 42 mm dan musim kemarau sebesar 39 mm. Sementara itu, tingkat kelembaban udara bulanan pada musim hujan dan kemarau menunjukkan fluktuasi yang relatif stabil dan berada pada kisaran 75-85%. Keragaman iklim musiman yang terjadi selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini seperti peningkatan suhu, penurunan curah hujan dengan tingkat kelembaban udara relatif stabil (Gambar 1, 2 dan 3) mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan iklim jangka pendek. Tmin Tmax Tav 32 Suhu (oC) 30 28 26 24 22 20 18 Tahun Gambar 1 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan ratarata (Tav) pada musim hujan periode 1990-2009. 22 Tmin Tmax Tav 32 Suhu (oC) 30 28 26 24 22 20 18 Tahun CH b 85 300 84 270 83 82 240 81 210 80 180 79 150 78 83 Curah hujan (mm) 170 82 a 150 81 80 130 79 110 78 90 77 Kelembaban udara (%) Curah hujan (mm) 330 86 RH Kelembaban udara (%) Gambar 2 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan ratarata (Tav) pada musim kemarau periode 1990-2009. 76 70 75 50 74 Tahun Gambar 3 Fluktuasi rata-rata curah hujan (CH) dan kelembaban udara (RH) pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) periode 1990-2009. 23 Peningkatan suhu udara (maksimum, minimum dan rata-rata), penurunan curah hujan dan kelembaban udara yang relatif stabil di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat telah mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan populasi hama tanaman padi. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan luas serangan hama tanaman padi di daerah tersebut khususnya WBC. Peningkatan luas serangan WBC dan fluktuasi serangan PBP selama periode 1990-2009 dipengaruhi oleh keragaman iklim. Keragaman iklim tidak hanya mempengaruhi dinamika populasi hama, namun juga mempengaruhi keberadaan musuh alami sehingga pengaturan populasi hama menjadi kurang (Gutierrez 2000). Akibatnya, terjadi peningkatan luas serangan hama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi padi. Walaupun demikian, suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara bukan merupakan satu-satunya penyebab meluas dan meningkatnya serangan hama tersebut. Namun beberapa faktor lain yang mempengaruhi di antaranya adalah pola tanam yang tidak serentak, penanaman varietas rentan, dan aplikasi pestisida yang tidak tepat (Untung & Trisyono 2010). Terjadinya peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan serta stabilnya kelembaban udara merupakan kondisi yang menguntungkan bagi hama tanaman padi (WBC dan PBP) karena dapat memicu peningkatan populasinya di lapangan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cannon (1998) bahwa serangga hama umumnya akan menjadi lebih berlimpah populasinya seiring dengan meningkatnya suhu udara melalui sejumlah proses yang saling terkait, termasuk di antaranya perubahan siklus hidup serangga. 24 Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP Berdasarkan data musiman luas serangan WBC dan PBP periode 19902010, diketahui bahwa distribusi serangan kedua jenis hama ini pada setiap musim tanam umumnya bervariasi dan hampir merata pada setiap kabupaten. Pada musim tanam tertentu, luas serangannya rendah tetapi pada musim tanam berikutnya meningkat. Luas serangan WBC tertinggi terjadi pada musim tanam 1998 mencapai 14,960 ha (15.9% dari total luas tanam padi musim tanam 1998). Serangan pada tahun 2008 menurun dengan luas serangan sebesar 17 ha (0.02% dari total luas tanam padi musim tanam 2008), dan pada musim tanam 2009/2010 meningkat menjadi 2,700.67 ha (2.5% dari total luas tanam padi musim tanam 2009/2010). Luas serangan hama PBP tertinggi juga terjadi pada musim tanam 1998 dengan luas serangan mencapai 6,235 ha (6.6% dari total luas tanam padi musim tanam 1998), sedangkan serangan terendah terjadi pada musim tanam 1997 dengan luas serangan sebesar 211 ha (0.25% dari total luas tanam padi musim tanam 1997) (Lampiran 5). Kejadian serangan WBC dan PBP selama musim tanam 1990-2010 erat hubungannya dengan keragaman iklim yang terjadi selama periode tersebut. Ini dapat dilihat pada musim tanam 1998 yang merupakan puncak serangan WBC dan PBP sebagai dampak dari kejadian iklim ekstrim La Nina. Kejadian serangan WBC dan PBP pada tahun normal lebih banyak daripada kejadian serangan tahun La Nina, tetapi luas serangan pada tahun La Nina jauh lebih besar daripada luas serangan tahun normal (Gambar 4 dan Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa kejadian iklim ekstrim dapat meningkatkan terjadinya ledakan hama. La Nina yang menyebabkan adanya hujan di musim kemarau dapat meningkatkan potensi indeks penanaman padi di lapangan. Peningkatan luas areal penanaman padi menurut Untung dan Trisyono (2010), dapat meningkatkan ketersediaan inang bagi hama, meningkatkan jangkauan persebaran hama dan meningkatkan keragaman jenis hama karena perubahan habitat alami. Disamping itu, kondisi iklim yang lembab pada kemarau basah menyebabkan hama mudah berkembang biak (Susanti et al. 2009b). La Nina mempengaruhi kondisi iklim mikro areal persawahan, terutama kelembaban udara sehingga menjadi lebih menguntungkan bagi perkembangan WBC (Isichaikul et al. 1994). 25 Informasi kejadian El Nino dan La Nina yang diunduh dari http://ggweather.com/enso/oni.htm tanggal 11 Maret 2011, menunjukkan bahwa telah terjadi El Nino ‘kuat’ pada tahun 1991, 1997, dan 2009, sedangkan La Nina ‘sedang’ terjadi pada tahun 1998, 1999, 2007, dan 2010 (Gambar 4). Berdasarkan data tersebut, distribusi serangan WBC dan PBP pada saat La Nina lebih besar dibandingkan pada saat El Nino dan iklim normal (Tabel 1). Peningkatan serangan hama tanaman padi akibat keragaman iklim terutama La Nina terkait dengan dua faktor utama, yaitu: a) ketidakserempakan tanam dalam satu hamparan, yang mempengaruhi perkembangan hama melalui ketersediaan inang, dan b) faktorfaktor fisik yang mendukung perkembangan hama terutama suhu dan kelembaban udara (Budianto 2003). Tabel 1 Distribusi rata-rata luas serangan WBC dan PBP musim hujan dan kemarau pada tahun normal, El Nino, dan La Nina. Tahun Luas serangan (ha) WBC PBP Luas Tanam (ha) 391.72 586.07 1449.53 1950.83 2318.07 2258.20 100349.83 99618.41 101903.93 0.37 0.57 1.40 2.01 2.32 2.16 1736.19 1572.33 3339.56 79070.25 85607.00 90469.56 0.18 0.08 6.52 2.23 1.72 3.63 Persentase Serangan (%) WBC PBP Musim Hujan Normal EL Nino La Nina Musim Kemarau 150.25 Normal 68.73 EL Nino 6008.67 La Nina Keterangan: Tahun Normal: 1990, 1992, 1993, 1995, 1996, 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2008 Tahun El Nino: 1991, 1994, 1997, 2002, 2009 Tahun La Nina: 1998, 1999, 2007 Adanya ketidakteraturan musim akibat fenomena El Nino dan La Nina selama periode 1990-2009, mempengaruhi pola tanam padi di Pantai Utara Jawa Barat. Ketidakteraturan musim ini telah menyebabkan pergeseran waktu tanam padi. Awal tanam bisa menjadi maju atau mundur sehingga pola tanam menjadi tidak serentak. Akibatnya, dalam hamparan luas terdapat tanaman padi dalam berbagai tingkatan umur, dari persemaian sampai dengan masa panen. Dengan demikian stadia tanaman yang berbeda di lapangan memberikan kesempatan kepada hama untuk bertelur pada stadia tanaman yang sesuai baginya, sehingga menyebabkan terjadinya eksplosi hama (Baehaki & Widiarta 2009). 26 7 Luas serangan PBP (% ) 6 b 5 4 3 2 1 0 La Nina sedang 4 La Nina lemah Luas serangan W BC (%) El Nino kuat 3 El Nino sedang El Nino kuat El Nino lemah La Nina sedang La Nina lemah El Nino sedang El Nino kuat a 2 1 * 9 90 0 /9 1 9 91 1 /9 2 92 92 /9 3 93 9 3/ 94 9 9 4 4/ 95 9 9 5 5/ 96 9 96 6 /9 7 97 97 /9 8 9 98 8 /9 9 9 99 9 /0 0 00 00 /0 1 01 0 1/ 02 0 0 2 2/ 03 0 0 3 3/ 04 0 04 4 /0 5 05 05 /0 6 0 06 6 /0 7 0 07 7 /0 8 08 08 /0 9 09 0 9/ 10 0 26 M u sim t a n a m Gambar 4 Hubungan antara distribusi serangan WBC (a) dan PBP (b) pada setiap musim tanam dengan kejadian iklim El Nino dan La Nina periode 1990 – 2010. Keterangan: * = luas serangan WBC sebesar 15.9% (14,960 ha). 27 Pergeseran Status Hama Tanaman Padi Berdasarkan hasil wawancara dengan petani padi di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat, diketahui bahwa telah terjadi pergeseran status serangan beberapa jenis hama tanaman padi di daerah tersebut. Pergeseran status serangan hama itu ditentukan berdasarkan intensitas serangan dan tingkat kerugian yang ditimbulkan. Dari empat jenis OPT yang dianalisis datanya (tikus, WBC,PBP, HPP) hanya dua OPT saja yang mengalami pergeseran status serangan, yaitu WBC dan PBP. Status serangan WBC meningkat dari serangan minor menjadi mayor yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai indeks serangan hama (ISh) pada periode 1990-1999 sebesar 2.28, periode 2000-2009 sebesar 2.58, dan periode 2010 sebesar 2.69. Sebaliknya, PBP tidak mengalami peningkatan status serangan. Hal ini terlihat dari nilai ISh yang cenderung menurun selama tiga dekade pengamatan, yaitu: periode 1990-1999 sebesar 2.24, periode 2000-2009 sebesar 2.03, dan periode 2010 sebesar 1.79. Sementara itu, status serangan tikus berfluktuasi sesuai dengan nilai ISh periode 1990-1999 sebesar 1.85, periode 2000-2009 sebesar 1.99, dan periode 2010 sebesar 1.60. Status serangan HPP relatif stabil dan masih tergolong dalam kategori serangan minor (Gambar 5). Tikus Indeks serangan hama 3.0 PBP WBC HPP 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 1990 - 1999 2000 - 2009 2010 Periode Gambar 5 Persepsi petani tentang perubahan status hama padi di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat dalam periode 1990-2010. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, diketahui bahwa pergeseran status serangan hama WBC dan PBP memiliki pola yang sama dengan data aktual hasil pengamatan petugas pengamat OPT di lapangan (Gambar 4). Dari gambar tersebut jelas terlihat bahwa ada kecenderungan peningkatan status serangan 28 WBC dan penurunan status serangan PBP. Peningkatan status serangan WBC tersebut dipengaruhi oleh penanaman padi yang intensif dan keberadaan varietas peka di lapangan serta stadia tanaman yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Natanegara dan Sawada (1992) bahwa serangan WBC meningkat akibat tersediannya tanaman inang yang rentan dan beragamnya stadia tanaman inang di lapangan. Lebih lanjut Baehaki (2009) menyebutkan bahwa kejadian iklim ekstrim seperti El Nino dan La Nina dapat menyebabkan perbedaan waktu tanam. Selain itu, WBC diketahui mampu berkembang dengan baik pada musim hujan atau musim kemarau asal ada stimulan berupa curah hujan yang tinggi (Susanti et al. 2009b). Penurunan status serangan PBP selama periode 1990-2010 diduga karena populasi hama ini rendah di lapangan. Menurunnya populasi PBP di lapangan dipengaruhi oleh adanya peningkatan populasi musuh alami (khususnya parasitoid telur) yang dapat membatasi populasi PBP di lapangan (Rauf 2000; Kusdiaman & Kurniawaty 2007). Lebih lanjut Suharto dan Usyati (2009) menjelaskan bahwa pengendalian mekanis dengan mengambil kelempok telur dan penangkapan ngengat dengan menggunakan lampu perangkap secara massal yang dilakukan petani dapat mengurangi populasi PBP. Penggunaan insektisida sistemik oleh petani berbentuk granular seperti karbofuran, bensultap, bisultap, karbosulfan, dimehipo, atau fipronil dapat mengendalikan PBP (Balitpa 2006). Selain itu, adanya keragaman iklim seperti halnya El Nino dan La Nina menyebabkan sebagian besar larva yang berdiapause menjadi tertekan akibat frekuensi kekeringan makin sering terjadi (Boer 2007 dalam Suharto & Usyati 2009). Pergeseran status serangan hama tanaman padi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: jumlah individu hama, faktor sosio-ekonomi (misalnya meningkatnya harga gabah padi dan input teknologi dalam budidaya padi) dan toleransi biologi dari tanaman yang terserang hama (Cammel & Knight 1992). Selain itu, pergeseran status hama juga terjadi karena adanya perubahan perilaku (behavior), fisiologi, siklus hidup dan keberadaan musuh alami hama di lapangan sebagai dampak dari keragaman iklim sehingga mendorong peningkatan populasi hama (Huang et al. 2010). 29 Perubahan status hama juga dapat disebabkan oleh keberadaan tanaman inang dan praktek budidaya yang dilakukan oleh petani. Tindakan yang dilakukan petani seperti aplikasi pestisida yang tidak tepat (dosis, sasaran, konsentrasi, jenis dan waktu aplikasi) cenderung mengurangi aktivitas musuh alami di lapangan (Thomson et al. 2010). Selain itu, terjadinya perubahan ekosistem dapat menyebabkan populasi hama pada beberapa generasi berikutnya menjadi berubah (Untung & Trisyono 2010). Kombinasi dari semua faktor tersebut diyakini merupakan penyebab utama yang memicu pergeseran status hama WBC dan PBP di tiga kabupaten Pantai Utara Jawa Barat. Model Distribusi Serangan WBC dan PBP Model Distribusi Serangan WBC Analisis regresi linier berganda antara peubah iklim (suhu minimum, curah hujan, dan kelembaban udara) dan varietas terhadap distribusi serangan WBC menghasilkan model yang berbeda antara musim hujan dan kemarau. Peubah bebas yang berpengaruh nyata pada model musim hujan adalah suhu minimum, kelembaban udara dan varietas, sedangkan pada model musim kemarau hanya suhu minimum dan varietas. Peubah bebas dalam model musim hujan mampu menjelaskan peubah terikat (luas serangan WBC) sebesar 55.7% sementara pada model musim kemarau sebesar 60.2% (Tabel 2). Tabel 2 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas. Peubah bebas Koefisien SE koefisien Musim hujan Konstanta -67.770 16.860 Tmin 0.846 0.334 CH -0.006 0.008 RH 0.543 0.144 Var 1.670 0.707 Musim kemarau Konstanta -49.630 45.400 Tmin 21.102 5.549 CH 1.581 1.051 RH -7.225 9.660 Var 2.453 0.754 t P -4.020 2.540 -0.760 3.780 2.360 0.001 0.024 0.461 0.002 0.003 -1.090 3.800 1.500 -0.750 3.250 0.291 0.002 0.153 0.466 0.005 R2 55.7% 60.2% 30 Analisis ragam model serangan WBC pada musim hujan berbeda nyata pada taraf 5% (F = 4.41 dan P = 0.016) (Lampiran 1). Hasil ini menunjukkan bahwa model yang dibangun sudah cukup baik sehingga pengaruh gabungan dari suhu minimum (T-min), curah hujan (CH), kelembaban udara (RH) dan varietas (Var) dalam model dapat menjelaskan keragaman distribusi serangan WBC. Sementara itu analisis ragam model distribusi serangan WBC pada musim kemarau berbeda sangat nyata pada taraf 1% ( F= 5.67 dan P= 0.006) (Lampiran 2). Hasil ini juga menunjukkan bahwa model yang dibangun sudah cukup baik sehingga pengaruh gabungan dari T-min, CH, RH dan Var dalam model dapat menjelaskan keragaman distribusi serangan WBC. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diketahui bahwa keempat peubah penjelas yang digunakan dalam model luas serangan WBC tidak saling berkorelasi, sesuai dengan nilai variance inflation factor (VIF) masing-masing peubah lebih kecil dari 10 (Lampiran 1 dan 2). Hubungan antara peubah penjelas dan peubah yang dijelaskan dalam model untuk musim hujan dan kemarau dinyatakan dengan persamaan matematis sebagai berikut: ln (WBC) = - 67.7 + 0.85 Tmin - 0.006 CH + 0.54 RH + 1.67 Var (Musim hujan) ln (WBC)= - 49.6 + 21.1 Tmin + 1.58 CH - 7.22 RH + 2.45 Var (Musim kemarau) Kedua persamaan di atas merupakan persamaan eksponensial, yang berarti bahwa besaran nilai logaritma natural (ln) luas serangan WBC tiap musim akan meningkat pada kondisi lingkungan yang tanpa batas. Lingkungan tanpa batas dapat diartikan sebagai tersediannya tanaman inang bagi WBC dalam jumlah yang cukup sehingga selalu mencukupi untuk perkembangbiakan WBC pada keadaan suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara yang mendukung pertumbuhan WBC. Dengan menggunakan persamaan WBC pada musim hujan, jika diasumsikan terjadi peningkatan satu satuan suhu minimum (oC) saja dengan mengabaikan parameter lainnya (parameter lain bernilai 0 (nol)) akan menyebabkan terjadinya peningkatan luas serangan WBC sebesar 2.3 ha. Peningkatan luas serangan tersebut berbeda nyata pada taraf 5% sesuai dengan nila uji-t = 2.540 dan nilai-P sebesar 0.024. 31 Kombinasi antara peubah T-min, CH, RH dan Var dalam model diyakini dapat meningkatkan luas serangan WBC pada setiap musim tanam. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Mochida et al. (1986) bahwa parameter iklim khususnya curah hujan, suhu dan kelembaban udara dapat mempengaruhi pertumbuhan, distribusi dan reproduksi hama tanaman padi. Keragaman dari ketiga faktor iklim ini seperti peningkatan suhu udara, penurunan curah hujan dan tingkat kelembaban udara yang relatif stabil, dapat mempengaruhi perkembangan dan dinamika populasi WBC (Dyck et al. 1979). Selain dapat mempengaruhi siklus hidup serangga, peningkatan suhu udara juga dapat mempengaruhi perilaku makan serangga sehingga menjadi lebih aktif (Awmack et al. 2004; Huang et al. 2010). Dengan demikian dapat meningkatkan frekuensi terjadinya ledakan populasi hama. Selain peubah suhu minimum, peubah kelembaban udara (RH) juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap distribusi serangan WBC pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau pengaruhnya belum jelas terlihat. Pada musim kemarau serangan WBC timbul pada daerah yang memiliki pengairan yang cukup dari irigasi teknis. Hal ini sesuai dengan kajian Baehaki (2009) bahwa pada musim kemarau serangan WBC terdapat pada daerah yang memiliki pengairan yang cukup dari irigasi teknis dan masih terdapat curah hujan. Kelembaban udara merupakan faktor lingkungan yang penting dalam keberlangsungan hidup serangga, terutama dalam hal pergantian kulit (molting). Pada saat molting, kebutuhan akan kelembaban udara yang sangat tinggi diperlukan untuk mengimbangi kehilangan air dari dalam tubuh serangga. Hal ini terlihat bahwa pada saat molting, exuviae WBC mengumpul pada pangkal batang padi dekat permukaan air (Isichaikul & Ichikawa 1993). Di lapangan, nimfa WBC sering ditemukan berada pada pangkal batang padi kira-kira 5 cm di atas permukaan air. Ini menunjukkan bahwa nimfa WBC lebih menyukai kondisi lingkungan lembab dibandingkan kondisi lingkungan kering (Isichaikul et al. 1994). Imago WBC lebih menyukai kondisi yang lembab dan sawah irigasi dengan kondisi air yang tergenang (Dale 1994). Peubah suhu minimum memiliki tanda positif pada koefisiennya untuk kedua musim tanam. Secara statistik, suhu minimum pada musim hujan berbeda 32 nyata pada taraf 5%, sedangkan musim kemarau berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Ini mengindikasikan bahwa apabila terjadi peningkatan suhu minimum, baik pada musim hujan maupun kemarau akan menyebabkan peningkatan luas serangan WBC. Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa suhu minimum dan luas serangan WBC memiliki pola yang sama pada kedua musim. Pada Gambar 6b dengan jelas terlihat bahwa ketika terjadi peningkatan suhu minimum, maka luas serangan WBC juga mengalami peningkatan. Suhu minimum yang pada umumnya terjadi saat malam hari hingga sebelum matahari terbit (antara pukul 00.00-05.00), sangat sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan populasi hama ini. Imago brakhiptera WBC berkembang dengan baik pada suhu minimum, khususnya pada saat pagi hari (Pathak & Khan 1994). Suhu minimum (19-25 oC) sangat sesuai bagi siklus hidup dan fekunditas WBC (Mochida & Okada 1979). Lebih lanjut Baehaki (1985) merangkum hasil penelitian Okubo (1973), bahwa aktivitas imago makroptera terbang pada saat matahari terbit dan matahari 4 WBC Tmin b 23 3 22 2 21 20 1 0 24 19 * Suhu minimum (oC) Luas serangan WBC (%) terbenam, yaitu pada saat terbentuk suhu udara minimum. 18 4 a 24 23 3 22 2 21 1 20 0 Suhu minimum (oC) Luas serangan WBC (%) 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 19 Musim tanam Gambar 6 Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan WBC pada musim hujan (a) dan kemarau (b) di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode 1990-2009. (Keterangan: * luas serangan = 15.9 % ). 33 Faktor iklim, khususnya suhu udara memiliki pengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan populasi hama, seperti: siklus hidupnya menjadi lebih singkat sehingga dapat menyebabkan peningkatan populasi dengan demikian tingkat kerusakan yang ditimbulkannya menjadi semakin besar (Bale et al. 2002). Suhu antara 19-25 oC memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola oviposisi dan jumlah telur yang diletakkan imago betina hama. Jumlah hari yang diperlukan untuk menyelesaikan satu siklus hidup hama tergantung pada suhu minimum (Cammel & Knight 1992). Siklus hidup WBC akan meningkat seiring dengan adanya peningkatan suhu udara (Dyck et al. 1991). Aktivitas penerbangan imago WBC berlangsung pada keadaan suhu yang rendah yaitu pada suhu 17 oC, dengan kelembaban tinggi dan keadaan angin yang lemah (Subroto et al. 1992). Tingkat kelembaban udara pada musim hujan responsif terhadap luas serangan WBC dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%, sedangkan pada musim kemarau tidak responsif dan tidak berbeda pada taraf nyata 5%. Tanda koefisien positif peubah kelembaban udara pada musim hujan berarti bahwa dengan meningkatnya kelembaban udara dapat menyebabkan terjadinya peningkatan luas serangan WBC. Rata-rata kelembaban udara selama periode 1990-2009 berkisar antara 75-86% (Gambar 7). Kelembaban udara diatas 70% merupakan prasyarat bagi perkembangan nimfa WBC (Isichaikul et al. 1994). WBC RH 86 84 3 82 2 80 78 1 Kelembaban udara (%) Luas serangan WBC (%) 4 76 0 74 Musim Tanam Gambar 7 Hubungan antara kelembaban udara dan luas serangan WBC pada musim hujan di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode 19902009. 34 Komposisi varietas padi yang ditanam oleh petani memiliki respon positif terhadap perkembangan luas serangan WBC, baik pada musim hujan maupun kemarau. Ini mengindikasikan bahwa semakin besar persentase varietas rentan yang ditanam petani, maka luas serangan WBC akan semakin besar pula. Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa komposisi varietas pada kedua musim berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Hal ini berarti bahwa penggunaan varietas tahan dan mengurangi penanaman varietas peka merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya peningkatan dan penyebaran serangan WBC di lapangan (Susanti et al. 2009b). Terjadinya peningkatan luas serangan WBC dipicu oleh penanaman varietas rentan secara rutin oleh petani tanpa adanya pergiliran varietas. Beberapa jenis varietas padi dominan yang ditanam petani selama periode 1990-2010 umumnya relatif homogen karena hampir setiap musim tanam digunakan. Alasan petani menanam varietas tersebut karena produksinya tinggi, rasa nasi enak dan pulen. Berdasarkan data pengamatan di tiga kabupaten Pantai Utara Jawa Barat, diketahui bahwa ada sekitar 13 varietas yang tergolong tahan WBC, di antaranya: IR 64, Ciherang, Cisadane, Way Apo Buru, Memberamo, Widas, Fatmawati, Cibogo, Cisantana, Cigeulis, Cilamaya muncul, Dodokan, dan Lusi (Lampiran 6). Namun, perlu diketahui juga bahwa di antara varietas tersebut ada beberapa varietas di antaranya yang rentan terhadap biotipe WBC tertentu, misalnya: Cisadane, meskipun tahan WBC biotipe 2, namun agak rentan terhadap biotipe 1 dan rentan terhadap biotipe 3. Berdasarkan pengujian varietas yang dilakukan Baehaki (2009) mengenai ketahanan varietas terhadap WBC biotipe 3 di Jawa Barat (Indramayu, Subang, Ciamis, dan Pandeglang) diperoleh hasil bahwa varietas IR-64 masih tahan terhadap WBC biotipe 3. Cisadane dan IR-42 yang memiliki gen ketahanan terhadap biotipe 2 telah patah ketahanannya. Model Distribusi Serangan PBP Analisis regresi linier berganda antara peubah iklim (suhu minimum, curah hujan, dan kelembaban udara) dan varietas dengan distribusi serangan PBP menghasilkan model yang berbeda antara musim hujan dan kemarau. Peubah bebas pada model distribusi PBP musim hujan tidak berpengaruh nyata, sedangkan pada model musim kemarau peubah bebas yang berpengaruh nyata 35 adalah suhu minimum, kelembaban udara dan varietas. Peubah bebas dalam model musim hujan hanya mampu menjelaskan peubah terikat (luas serangan PBP) sebesar 6% sementara pada model musim kemarau sebesar 64.2% (Tabel 3). Analisis ragam model distribusi serangan PBP pada musim hujan tidak berpengaruh nyata pada taraf 5% (F= 0.23 dan P= 0.920) (Lampiran 3). Hal ini berarti bahwa model yang dibangun belum dapat untuk menjelaskan pengaruh gabungan dari suhu minimum (T-min), curah hujan (CH), kelembaban udara (RH) dan varietas (Var) dengan keragaman distribusi serangan PBP. Sementara itu, analisis ragam model distribusi serangan PBP pada musim kemarau berbeda sangat nyata pada taraf 1% (F= 6.72 dan P= 0.003) (Lampiran 4). Hasil ini juga menunjukkan bahwa model yang dibangun sudah cukup baik sehingga pengaruh dari T-min, CH, RH dan Var dalam model secara bersama-sama dapat menjelaskan pengaruh keragaman distribusi serangan PBP. Tabel 3 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas. Peubah bebas Koefisien Musim hujan Konstanta -9.270 Tmin 0.288 CH 0.001 RH 0.012 Var 0.393 Musim kemarau Konstanta -16.716 T-min 0.371 CH -0.004 RH 0.107 Var 0.502 SE koefisien t P 20.360 0.385 0.008 0.134 0.780 -0.460 0.750 0.170 0.090 0.500 0.656 0.467 0.868 0.932 0.622 4.641 0.086 0.005 0.055 0.177 -3.600 4.320 -0.820 1.940 2.840 0.003 0.001 0.423 0.071 0.013 R2 6.0% 64.2% Berdasarkan dari hasil analisis regresi berganda, diketahui bahwa keseluruhan peubah penjelas yang digunakan dalam model analisis luas serangan PBP tidak saling berkorelasi, hal ini dapat ditinjau dari nilai variance inflation factor (VIF) masing-masing peubah lebih kecil dari 10 (Lampiran 3 dan 4). Model matematika luas serangan PBP adalah sebagai berikut: 36 ln (PBP) = - 9.27 + 0.29 Tmin + 0.001 CH + 0.012 RH + 0.39 Var (Musim hujan) ln (PBP)= - 16.72 + 0.37 Tmin - 0.004 CH + 0.11 RH + 0.5 Var (Musim kemarau) Kedua persamaan di atas merupakan persamaan eksponensial, yang berarti bahwa besaran nilai dari logaritma natural (ln) luas serangan PBP pada tiap musim tanam akan meningkat pada kondisi lingkungan yang tanpa batas. Lingkungan tanpa batas dapat diartikan sebagai tersediannya tanaman inang bagi PBP dalam jumlah yang cukup sehingga selalu mencukupi untuk perkembangbiakan hama PBP dengan keadaan suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara yang mendukung perkembangan PBP. Dengan menggunakan persamaan PBP pada musim kemarau, jika diasumsikan terjadi peningkatan satu satuan suhu minimum (oC) saja dengan mengabaikan parameter lainnya akan menyebabkan terjadinya peningkatan luas serangan PBP sebesar 1.45 ha. Peningkatan tersebut berbeda sangat nyata pada taraf 1% sesuai dengan nilai uji-t = 4.320 dan nilai-P sebesar 0.001. Nilai koefisien keseluruhan peubah dalam model musim hujan memiliki tanda positif, namun secara statistik tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh dari keempat peubah bebas yang digunakan dalam model tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan luas serangan PBP. Ini diduga karena banyaknya pencilan data yang disebabkan oleh banyaknya pengaruh faktor lain selain faktor iklim dan varietas yang mempengaruhi besarnya luas serangan PBP. Natanegara dan Sawada (1991) menjelaskan bahwa dinamika perkembangan serangan PBP (luas dan intensitas) yang merupakan akibat dari tinggi rendahnya populasi, berbeda antara musim hujan dengan musim kemarau. Ini merupakan salah satu bukti bahwa perkembangan PBP pada musim hujan berbeda dengan pada musim kemarau. Secara umum, luas serangan PBP lebih tinggi pada musim hujan (56%) dibandingkan dengan musim kemarau (33%) (Rothschild 1971). Di Jawa Barat, rata-rata tingkat keparahan serangan PBP lebih tinggi pada musim hujan (37.90%) dibandingkan pada musim tanam berikutnya (Suharto & Usyati 2005; Natanegara & Sawada 1991). 37 Pada musim kemarau, peubah suhu minimum responsif terhadap luas serangan PBP dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Ini berarti bahwa semakin tinggi suhu minimum, maka luas serangan PBP akan meningkat (Gambar 8). Suhu minimum merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah generasi PBP. Suhu untuk penetasan telur Chilo suppressalis berkisar antara 21-23 o C, sedangkan Scirpophaga incertulas antara 24-29 oC (Khan et al. 1991). Menurut Wigenasantana (1982), suhu untuk penetasan telur S. incertulas antara 24-32 oC pada kelembaban udara 85%. Telur PBP menetas paling banyak di pagi hari ketika terjadi suhu minimum (Hendarsih 1990 dalam Natanegara & Sawada 1991). Larva S. incertulas berkembang pada suhu minimum antara 16-22 oC (Khan et al. 1991; Dale 1994). Suhu untuk perkembangan pupa S. incertulas 15PBP 7 Tmin 24 6 23 5 22 4 21 3 20 2 Suhu minimum (oC) Luas serangan PBP (%) 16 oC (Dale 1994). 19 1 0 18 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 Musim tanam Gambar 8 Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan PBP pada musim kemarau di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode 1990-2009. Suhu antara 18.9-25.8 o C merupakan suhu optimum dalam aktivitas penerbangan C. supressalis (Wigenasantana 1982; Kanno 1984). Imago C. supressalis aktif pada malam hari, antara pukul 7-9 malam dan kopulasi umumnya terjadi pada jam tersebut (Dale 1994). Periode perkembangan telur, larva dan pupa penggerek batang padi (Chilo polychrysa Meyrick, C. suppressalis Walker, C. partellus Swinhoe, S. incertulas Walker, S. innotata Walker dan Sesamia inferens Walker) meningkat secara bertahap sesuai dengan peningkatan suhu dalam skala laboratorium (Rahman & Khalequzzaman 2008). Lebih lanjut Kanno (1984) menjelaskan bahwa persentase kopulasi imago C. supressalis akan meningkat pada kisaran suhu 8-20 oC. Persentase keberhasilan kopulasi tertinggi terjadi pada suhu 15-25 oC dan suhu optimum untuk kopulasi 20 oC. 38 Kelembaban udara pada musim kemarau memiliki respon positif terhadap luas serangan PBP, namun secara statistik tidak berbeda nyata pada taraf 5%, akan tetapi berbeda nyata pada taraf 7%. Ini membuktikan bahwa kelembaban udara memiliki peranan penting dalam aktivitas biologis PBP. Secara fisiologi, kelembaban udara dapat mempengaruhi kandungan air di dalam tubuh hama. Penurunan dan peningkatan kandungan air dalam tubuh PBP dapat menimbulkan risiko kematian larva dan telur PBP (Huang et al. 2010). Kelembaban udara tinggi mengakibatkan tingginya laju mortalitas larva dan telur PBP (Dale 1994). Peubah varietas responsif terhadap luas serangan PBP dan berbeda nyata pada taraf 5%. Hal ini berarti bahwa peningkatan intensitas penanaman varietas IR64, Ciherang, Cisadane, Way Apo Buru, Membramo, Widas, Fatmawati, Cibogo, Cisantana, Cigeulis, Cilamaya Muncul, Dodokan dan Lusi dapat meningkatkan luas serangan PBP. Penanaman varietas rentan secara terusmenerus dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan menanam varietas tahan (Litsinger 1994). Lebih lanjut Natanegara dan Sawada (1991) menegaskan bahwa pada dasarnya tidak terdapat varietas yang tahan atau peka terhadap PBP, namun beberapa kasus di lapangan membuktikan bahwa varietas IR 64 merupakan varietas yang paling luas diserang PBP dibandingkan dengan varietas lain. Hasil studi ekosistem di Jatisari, dimana dalam satu hamparan yang sama ditanam dua varietas yang berbeda, yaitu IR64 dan Cisadane diketahui bahwa secara umum intensitas serangan akhir (beluk) pada IR64 cenderung selalu lebih besar dibandingkan dengan Cisadane. Selain faktor varietas, musuh alami PBP baik predator maupun parasitoid (terutama parasitoid telur) diketahui juga cukup berperan dalam mempengaruhi perkembangan populasi PBP di lapangan. Nilai Peubah Iklim yang Berkontribusi pada Serangan WBC dan PBP 1. WBC Berdasarkan hasil pendugaan nilai suhu minimum yang mendukung keadaan serangan WBC dengan metode plot peluang, diketahui bahwa suhu minimum rata-rata (peluang kejadian 50%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 22.4 oC, 22.5 oC dan 22.7 oC, sedangkan pada musim kemarau berturut-turut sebesar 22.2 oC, 22.5 oC, 39 dan 22.6 oC. Peluang suhu minimum terendah (peluang kejadian 5%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 19.7 oC, 20.5 oC dan 21.6 oC, pada musim kemarau berturut-turut sebesar 18.9 oC, 20.5 oC, dan 20.3 oC. Peluang suhu minimum tertinggi (peluang kejadian 95%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 24.0 oC, 23.8 oC dan 23.8 oC, sedangkan pada musim kemarau berturutturut sebesar 24.3 oC, 23.8 oC, dan 24.9 oC. Bentuk fungsi peluang yang diperoleh adalah distribusi normal dan Weibull (Lampiran 7, 8, 9, 10, 11, dan 12) sesuai dengan nilai uji statistik AD dan uji-P dari masing-masing kriteria serangan lebih besar dari nilai alpha 0.05 (Tabel 4). Tabel 4 Peluang suhu minimum terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan dan kemarau. Kriteria Serangan Suhu Minimum (oC) Batas Batas Rerata (50%) Bawah (5%) Atas (95%) Musim Hujan Ringan 22.4 Sedang 22.5 Berat 22.7 Musim Kemarau Ringan 22.2 Sedang 22.5 Berat 22.6 Plot Peluang AD P 19.7 20.5 21.6 24.0 23.8 23.8 Weibull Weibull Normal 0.676 0.499 0.296 0.076 0.209 0.549 18.9 20.5 20.3 24.3 23.8 24.9 Weibull Normal Normal 0.595 0.321 0.205 0.122 0.506 0.837 Nilai peluang suhu minimum ini merupakan nilai yang diperoleh dari data pengamatan lapangan yang sangat menentukan keadaan serangan WBC selama periode 1990-2009 di Pantura Jawa Barat. Di daerah tropis, WBC berkembang optimum pada suhu antara 20-30 oC (Subroto et al. 1992; Dale 1994). Periode oviposisi imago betina WBC terjadi pada suhu antara 20-21 oC (Pathak & Khan 1994). Kisaran suhu untuk perkembangan telur WBC berkisar antara 15-29 oC, dan untuk perkembangan stadia nimfa WBC antara 20-35 oC. Kisaran suhu untuk perkembangan dan perilaku normal WBC jantan makroptera antara 10-30 oC, sedangkan untuk imago betina WBC pada suhu 10-32 oC (Subroto et al. 1992). Heong et al. (1995) mengatakan bahwa suhu udara antara 25-30 oC dapat meningkatkan kebugaran imago betina WBC. 40 Pendugaan nilai kelembaban udara yang mendukung keadaan serangan WBC dengan metode plot peluang, diperoleh bahwa pada umumnya kelembaban udara (peluang kejadian 50%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 83%, 83%, dan 84%. Sementara itu, peluang kelembaban udara terendah (peluang kejadian 5%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 76%, 77% dan 78%. Selanjutnya, peluang kelembaban udara tertinggi (peluang kejadian 95%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim hujan berturutturut sebesar 86%, 87% dan 87% (Tabel 5). Tabel 5 Peluang kelembaban udara terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan. Kriteria Serangan Ringan Sedang Berat Kelembaban udara (%) Batas Batas Rerata (50%) Bawah (5%) Atas (95%) 83 76 86 83 77 87 84 78 87 Plot Peluang AD P Weibull 0.509 0.204 Weibull 0.529 0.180 Weibull 0.533 0.171 Nilai peluang kelembaban udara ini merupakan nilai yang diperoleh berdasarkan data pengamatan lapangan yang mempengaruhi serangan WBC selama periode 1990-2009 di Pantura Jawa Barat. Sesuai dengan nilai uji statistik AD dan uji-P, diketahui bahwa bentuk fungsi peluang kelembaban udara terhadap luas serangan WBC pada musim hujan adalah Weibull (Lampiran 13, 14, dan 15). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kelembaban udara secara kontiniu menyebabkan peningkatan luas serangan WBC. Perkembangan nimfa WBC di pertanaman padi terjadi pada kondisi yang sangat lembab, yaitu diatas 80% dengan suhu sebesar 25 oC (Isichaikul et al. 1994). Kelembaban udara antara 7085% merupakan kondisi yang optimum bagi perkembangan siklus hidup WBC di daerah tropis (Dyck et al. 1979). Selain itu, kelembaban udara sebesar 98% dapat memperpanjang masa hidup imago WBC selama 2.2-3.9 hari dibandingkan pada kelembaban udara dibawah 77% (Ichikawa & Isichaikul 1994). Dengan demikian, kelembaban udara memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan WBC karena mempengaruhi seluruh stadia pertumbuhannya. 41 2. PBP Berdasarkan hasil pendugaan nilai suhu minimum yang mendukung serangan PBP dengan metode plot peluang pada data serangan musim kemarau, diketahui bahwa suhu minimum rata-rata (peluang kejadian 50%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat berturut-turut sebesar 22.0 oC, 22.1 oC, dan 21.8 oC. Peluang suhu minimum terendah (peluang kejadian 5% ) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim kemarau berturut-turut sebesar 18.6 oC, 18.8 oC, dan 19.1 oC. Peluang suhu minimum tertinggi (peluang kejadian 95%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim kemarau berturut-turut sebesar 24.3 oC, 24.2 oC, dan 24.5 oC (Tabel 6). Tabel 6 Peluang suhu minimum terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau. Kriteria Serangan Ringan Sedang Berat Suhu Minimum (oC) Batas Batas Rerata (50%) Bawah (5%) Atas (95%) 22.0 18.6 24.3 22.1 18.8 24.2 21.8 19.1 24.5 Plot Peluang Weibull Weibull Normal AD P 0.551 0.165 0.542 0.173 0.487 0.203 Nilai peluang suhu minimum ini merupakan nilai peluang berdasarkan data pengamatan lapangan. Bentuk sebaran fungsi peluang suhu minimum musim kemarau adalah normal dan Weibull, sesuai dengan nilai uji statistik AD dan uji P (Tabel 6). Menurut Dale (1994), suhu optimum untuk perkembangan telur PBP antara 24-29 oC dengan kelembaban udara antara 85-90%. Lebih lanjut Pathak dan Khan (1994) menjelaskan bahwa larva PBP lebih toleran terhadap suhu minimum dibandingkan dengan suhu maksimum dan mampu bertahan hidup 1-3 hari. Kombinasi suhu antara 24-29 oC dengan kelembaban udara 90%, merupakan kondisi ideal bagi S. incertulas untuk melakukan oviposisi dan penetasan telur (Mochida et al. 1986). Berdasarkan hasil pendugaan nilai kelembaban udara yang mendukung serangan PBP dengan metode plot peluang pada data serangan musim kemarau, diketahui bahwa kelembaban udara rata-rata (peluang kejadian 50%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau berturut-turut sebesar 78%, 78%, dan 79%. Peluang kelembaban udara terendah (peluang 42 kejadian 5% terlampaui) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim kemarau berturut-turut sebesar 72%, 73% dan 74%. Selanjutnya, peluang kelembaban udara tertinggi (peluang kejadian 95%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim kemarau berturut-turut sebesar 84%, 83% dan 83% (Tabel 7). Tabel 7 Peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau. Kriteria Serangan Ringan Sedang Berat Kelembaban udara (%) Batas Batas Rerata (50%) Bawah (5%) Atas (95%) 78 72 84 78 73 83 79 74 83 Plot Peluang Normal Normal Normal AD P 0.515 0.183 0.306 0.552 0.608 0.100 Bentuk sebaran fungsi peluang kelembaban udara terhadap luas serangan PBP memiliki sebaran normal sesuai dengan uji normalitas AD dan P. Hal ini mengindikasikan bahwa kelembaban udara merupakan salah satu pemicu terjadinya peningkatan serangan PBP. Keberhasilan kopulasi C. supressalis sangat ditentukan oleh kelembaban udara. Persentase keberhasilan kopulasi dan lama kopulasi C. supressalis akan meningkat secara bertahap dengan meningkatnya kelembaban udara (Kanno 1984).