TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi di Indonesia. Ikan ini banyak dibudidayakan oleh para pembudidaya ikan baik dalam skala pembenihan maupun pembesaran. Tingginya permintaan konsumen dan kisaran toleransinya yang tinggi terhadap kualitas air yang ekstrim merupakan alasan lele dumbo terus dibudidayakan. Selain itu rasa dagingnya yang khas menyebabkan ikan lele terus disukai masyarakat untuk dikonsumsi sehingga budidaya ikan lele terus berlangsung (Shafrudin et al. 2006). Ikan Lele dumbo termasuk dalam famili clariidae dan nama inggrisnya disebut dengan Catfish. Ikan lele dumbo merupakan ikan carnivora yang memiliki bentuk badan memanjang, bagian kepala gepeng atau pipih, batok kepala umumnya keras dan meruncing ke belakang. Lele dumbo memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir dan tidak bersisik. Tanda spesifik lele dumbo lainnya adalah adanya kumis atau sungut di sekitar mulut sebanyak delapan buah atau empat pasang, terdiri dari sungut nasal dua buah, sungut mandibular luar dua buah, dan sungut maxilar dua buah. Lele dumbo juga mempunyai lima buah sirip yang terdiri dari sirip pasangan (ganda) yaitu sirip dada (pectoral) dan sirip perut (ventral) serta sirip tunggal yaitu sirip punggung (dorsal), sirip ekor (caudal) dan sirip dubur (anal). Logam Berat Timah Hitam (Pb) Logam berat merupakan elemen yang memiliki berat atom antara 63,5 sampai 200,6 serta berat jenis yang lebih besar dari 5 (Srivastava dan Majumder 2008). Logam berat merupakan senyawa yang tidak dapat terdegradasi dan cenderung terakumulasi dalam mahluk hidup serta memiliki sifat toksik dan karsinogenik (Fu dan Wang 2011). Menurut Khan et al. (2011), keberadaan logam berat pada lingkungan berasal dari beberapa sumber yaitu unsur-unsur alami dari kerak bumi dan aktivitas manusia. Logam memiliki karakter bereaksi sebagai akseptor pasangan elektron (asam lewis) dan donor pasangan elektron (basa lewis) untuk membentuk beragam gugus kimia seperti suatu pasangan ion, kompleks logam, senyawa 8 koordinasi dan kompleks donor-akseptor (Connel dan Miller 2006). Berdasarkan karakteristik inilah logam berat dapat diikat oleh bahan lain yang bisa menjadi pasangan atau senyawa koordinasi yang sering disebut dengan ligan. Logam berat timah hitam atau timbal (Pb) merupakan salahsatu logam berat yang berbahaya bagi mahluk hidup. Logam berat ini merupakan elemen non esensial yang ditemukan pada konsentrasi yang tinggi di alam akibat kegiatan manusia, seperti : kegiatan pertambangan (Leston et al. 2010). Sifat berbahaya Pb pada mahluk hidup antara lain dapat menimbulkan penghambatan sintesis hemoglobin, disfungsi pada ginjal, sendi dan sistem reproduksi, sistem kardiovaskular, dan kerusakan akut dan kronis dari sistem saraf pusat (SSP) serta sistem saraf perifer (PNS). Efek lainnya termasuk kerusakan pada saluran pencernaan (GIT) dan saluran kemih, gangguan neurologis, serta kerusakan otak parah dan permanen (Khan et al. 2011). Timah hitam (Pb) merupakan toksik yang paling signifikan dari logam berat (Ferner 2001 dalam Khan et al. 2011). Logam Pb yang bersifat toksik biasanya dalam bentuk Pb2+. Logam berat Pb juga menyebabkan berbagai permasalahan termasuk dalam kegiatan perikanan budidaya. Pada berbagai organisme akuatik air tawar, timbal telah terbukti memiliki efek toksik dengan sensitivitas terendah 4 µg/l. Ion Pb masuk kedalam tubuh ikan melalui insang setelah terikat pada lapisan lendir (Ahmed dan Bibi 2010). Tetapi akumulasi dalam jaringan hewan air tergantung pada konsentrasi paparan dan periode serta beberapa faktor lain seperti salinitas, suhu, interaksi agen dan aktivitas metabolik pada jaringan. Selain itu, akumulasi logam berat Pb dalam jaringan ikan tergantung pada tingkat penyerapan, penyimpanan dan depurasi. Menurut Chen dan Chen (2001), Serapan dan bioakumulasi logam berat tersimpan dengan baik di kulit, insang, lambung, otot, usus, hati, otak, ginjal dan organ reproduksi, tetapi organ target utamanya adalah hati, ginjal dan otot tergantung pada konsentrasi dan waktu pemaparan. Menurut Seymore (1995) dalam Ahmed dan Bibi (2010), Pb dimetabolisme melalui jalur metabolik Ca2+. Oleh karena itu Pb terakumulasi dalam jaringan kerangka. Namun, Pb juga dikenal terakumulasi secara biologis dalam jaringan ikan lainnya, termasuk kulit dan sisik, insang, mata, hati, ginjal 9 dan otot . Disamping itu ion Pb juga dapat masuk kedalam tubuh ikan bersama dengan makanan dan air yang akhirnya diserap di usus dan jaringan lainnya. Toksisitas kronis Pb umumnya sama antara ikan dan mamalia terutama yang melibatkan disfungsi neurologis dan hematologi (Mager dan Grossel 2011). Pada ikan, efek sublethal Pb dapat menyebabkan efek orde tinggi, seperti berkurangnya kemampuan renang. Secara neurologis efek sublethal Pb berpotensi melibatkan gangguan respon koordinasi sensorik-motorik yang diperlukan untuk menangkap mangsa dan menghindari predator. Penelitian Olaifa et al. (2003) menemukan bahwa efek sublethal Pb pada ikan yaitu kehilangan keseimbangan, pemutihan kulit dan pelemahan ikan. Kompos Kompos merupakan bahan organik matang (stabil) yang terbentuk dari proses dekomposisi secara biokimiawi melalui peran mikroorganisme (Cooperband 2000). Menurut Insam dan Bertoldi (2007), pengomposan merupakan proses biodegradasi dari campuran substrat yang dilakukan oleh komunitas mikroba terdiri dari berbagai populasi dalam kondisi aerobik dan padat (solid). Proses pengomposan membutuhkan mikroorganisme untuk mengurai (break down) bahan organik. Pengomposan akan berjalan dengan baik jika mikroorganisme mendapatkan suplai yang kontinyu berupa bahan organik (makanan), air dan oksigen. Menurut Rudnik (2008), proses degradasi bahan organik menjadi kompos melalui tiga fase yaitu : fase mesofilik, termofilik, pendinginan (cooling) dan pematangan (maturity). Fase mesofilik adalah fase dimana kondisi suhu yang terjadi berada pada kisaran antara 20 – 45 oC. Pada fase termofilik suhu yang berlangsung yaitu 45 – 75oC. Bakteri yang hidup pada fase ini adalah bakteri termofilik. Setelah fase termofilik ini, bahan organik akan mengalami penurunan suhu dan kematangan. Kompos dapat dibuat dari semua bahan organik termasuk dari jenis tanaman. Selama pengomposan bahan organik akan terurai dan memproduksi karbondioksida, air, panas dan kompos. Hal ini tunjukan pada reaksi berikut ini (Rudnik 2008) : Organic matter + mikroorganisme + O2 (udara) → H2O + CO2+ kompos + panas 10 Kompos diproses oleh mikroorganisme. Oleh karena itu, perlu disediakan kondisi lingkungan yang sesuai bagi mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan baku organik karena hal tersebut merupakan faktor krusial bagi keberhasilan pengomposan. Skema untuk menggambarkan proses pengomposan tersaji pada gambar berikut. Gambar 2 Skema Proses Pengomposan Secara Aerobik (Copperband 2000) Hasil akhir kompos berupa karbon, energi kimia, protein dan air lebih sedikit daripada bahan baku organik (raw materials). Produk akhirnya memiliki lebih banyak kandungan humus (humic). Chien et al. (2003) menyatakan humus mendominasi produk akhir dari kompos. Volume produk akhir kompos sekitar 50% dari bahan baku organiknya (raw materials). Proses pengomposan selain dilakukan secara aerobik dapat pula dilakukan secara anaeorobik dengan melibatkan mikroorganisme anaerob sebagai pendegradasi bahan organik. Pada proses anaerob, keberadaan oksigen tidak ada. Persamaan biokimia yang terbentuk adalah sebagai berikut (Stoffella dan Kahn 2001) : Bahan organik+bakteri anaerobik CO2 +H2O + kompos +energy +H2S +CH4 Perbedaan mendasar hasil sistem pengomposan anaerob dengan aerob adalah munculnya sulfur (H2S) dan metana (CH4) pada pengomposan anaerob sedangkan pada pengomposan aeraob tidak terdapat kedua gas tersebut. Kompos yang sudah matang merupakan tujuan akhir dari proses pengomposan. Menurut Copperband (2002), Kompos sudah dianggap matang 11 ketika bahan baku mentah tidak lagi aktif membusuk serta secara biologis dan kimiawi stabil. Kematangan kompos biasanya didefinisikan sebagai tingkat humification (konversi senyawa organik untuk bahan humic, yang paling tahan terhadap kerusakan mikroba). Selama proses pengomposan karena kombinasi transformasi biologis dan kimia, jumlah senyawa organik terfermentasi semakin menurun sedangkan kandungan relatif dari humic meningkat (Scaglia et al. 2000 dalam Diaz et al. 2007). Proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Aminah et al. (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan yaitu C/N rasio dalam bahan baku organik (raw organic material), ukuran bahan yang dikompos, aerasi, kelembaban, dan suhu. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang berkaitan dengan daya dukung bagi kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik. Semakin sesuai faktor yang mempengaruhi maka semakin cepat proses dalam pengomposan sehingga mencapai tahap kematangan kompos (maturity). Kualitas kompos salahsatunya terlihat dari stabilitas dan kematangan kompos. Menurut Rudnik (2008), Stabilitas dan kematangan adalah istilah yang sering digunakan untuk mengkarakterisasi kompos. Namun definisi tentang arti istilah-istilah ini sangat bervariasi. Stabilitas kompos mengacu pada resistensi bahan organik kompos untuk lebih lanjut didegradasi cepat dan dapat langsung diukur dengan tingkat respirometric. Kematangan kompos terkait dengan kesesuaian untuk pertumbuhan tanaman dan kaitannya dengan proses humifikasi. Ada beberapa parameter yang digunakan dalam menilai kematangan kompos. Menurut SNI 19-7030-2004, ciri kematangan suatu kompos yaitu : C/N rasio memiliki nilai 10–20, suhu sesuai dengan suhu air tanah, berwarna kehitaman dengan tekstur seperti tanah dan berbau tanah. Simamora dan Salundik (2006) menyatakan bahwa berdasarkan analisis laboratorium, ciri kompos yang sudah matang yaitu pH kompos stabil dan berkisar 6,5 – 7,5, C/N rasio sebesar 10 – 20, Kapasitas tukar ion (KTK) tinggi mencapai 110 me/100 gram dan daya absorpsi air tinggi. 12 Karakteristik Bahan Baku Pengomposan Beberapa bahan yang dapat dijadikan sebagai bahan baku (raw material) untuk pengomposan yaitu Daun Gamal (Gliricidia sepium), Daun api-api (Avicennia sp.) dan batang pisang (Musa sp.). Bahan-bahan ini merupakan bahan yang berasal dari tumbuhan hijau yang keberadaannya cukup berlimpah. Proses pengomposan pada bahan-bahan ini relatif singkat karena kandungan C/N rasionya yang rendah. Daun gamal dan daun api-api sebagaimana daun tanaman tingkat tinggi lainnya memiliki dinding sel yang dibuat dari karbohidrat dan protein. Kandungan karbohidrat pada daun lebih banyak daripada protein. Tiap-tiap tumbuhan memiliki perbandingan komposisi jumlah karbohidrat dan protein yang berbedabeda. Karbohidrat dan protein inilah yang menentukan tinggi rendahnya C/N rasio daun. Unsur utama karbohidrat dalam tumbuhan menurut Heldt dan Piechulla (2011) adalah selulosa. Unsur penting lainnya yaitu hemiselulosa dan pektin. Protein yang terdapat pada dinding sel daun biasanya dalam bentuk glicoprotein. Batang pisang (Musa sp.) merupakan salahsatu hasil perkebunan yang tidak dimanfaatkan. Komponen utama yang terdapat dalam batang pisang ialah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Menurut Li et al. (2010), kandungan utama yang terdapat pada batang pisang yaitu selulosa 39,12%, holoselulosa (campuran semua selulosa dan hemiselulosa) 72,71%, pektin 0,27%, lignin (klason lignin 8,8 % dan acid soluble lignin 1,90 %). Selulosa merupakan polimer tidak bercabang yang terdiri dari molekul Dglukosa yang terhubung satu sama lain dengan β -1,4 glycosidic linkages. Selulosa berbeda dengan hemiselulosa yang mengandung berbagai jenis polisakarida selain D-glukosa, seperti: heksosa D-manosa, D-galaktosa, D-fukosa, dan pentosa Dxylosa and L-arabinosa. Sedangkan pektin adalah campuran polimer dari asam gula seperti asam D-galakturonik yang dihubungkan oleh jaringan α -1,4 glikosidik. Disamping itu pada daun terdapat protein berupa Glikoprotein yang merupakan protein struktural dari dinding sel dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Struktur kimia lainnya yang sangat sedikit terdapat di daun dan banyak terdapat pada batang adalah lignin. Lignin merupakan komponen penyusun tumbuhan yang banyak terdapat pada batang pohon atau tangkai pohon termasuk tandan. Lignin terbentuk oleh polimerisasi dari phenylpropane derivatif alkohol cumaryl, alkohol coniferyl, dan alkohol sinapyl, menghasilkan struktur yang sangat padat 13 Humus Humus merupakan fraksi bahan organik yang resisten dan relatif tahan terhadap proses biodegradasi dan memiliki warna coklat gelap sampai hitam (Tate 1987). Humus muncul dari degradasi kimia dan biologi bahan organik dari aktivitas sintetik mikroorganisme. Salahsatu sumber utama dari bahan organik tanah adalah tumbuhan sehingga proses pengomposan yang berasal dari tumbuhan dapat menghasilkan humus. Komponen humus dibentuk oleh sebuah proses yang disebut humifikasi. Humus terdiri atas substansi non humus dan substansi humus (Tipping 2004). Substansi non humus seperti lipid, asam amino, karbohidrat dan Substansi humus diantaranya yaitu asam humat, asam fulvat dan humin. Substansi humus muncul dari degradasi biokimia yang membentuk bahan yang cenderung terasosiasi kedalam kedalam struktur kimia yang kompleks dan lebih stabil dibandingkan dengan bahan baku (raw material) (Schnitzer dan Khan 1978). Karakteristik pentingnya yaitu kemampuan untuk membentuk kompleks yang larut dalam air dan tidak larut dengan ion logam. Substansi humus mempunyai kontribusi dalam pertukaran anion dan kation, kompleks atau chelate beberapa ion logam, dan berperan sebagai pH buffer. Aiken et al. (1985) menyatakan bahwa fraksi utama dari substansi humus yaitu asam humat, asam fulvat dan humin memiliki kelarutan yang berbeda. Fraksi substansi ini dibedakan berdasarkan kelarutannya dalam suasana asam (acid) atau basa (base). Menurut Schnitzer dan Khan (1978), Struktur tiga fraksi substansi humus terlihat mirip tetapi berbeda dalam berat molekul, analisis pokok, dan kandungan gugus fungsi. Asam humat terdiri dari campuran aliphatic lemah (rantai karbon) dan aromatic (cincin karbon) yang tidak larut di air pada kondisi pH asam tetapi larut pada kondisi pH basa. Substansi ini akan mengendap pada cairan ketika pH dibawah dua. Asam humat merupakan bahan makromolekul yang memiliki gugus fungsional seperti –COOH karboksilat, -OH fenolat maupun –OH alkoholat. Hal ini menyebabkan asam humat memiliki peluang untuk membentuk kompleks dengan ion logam karena gugus ini dapat mengalami deprotonisasi pada pH yang relatif tinggi. 14 Gambar 3 Struktur Kimia Asam humat (Stevenson 1994) Asam fulvat merupakan campuran dari aliphatic lemah dan bahan organik aromatik yang larut pada semua kondisi pH (asam, netral dan alkali). Substansi humus ini memiliki kandungan oksigen dua kali lipat dari asam humat tetapi rendah karbon dan nitrogen. Asam fulvat memiliki muatan yang banyak mengandung gugus fungsi oksigen yaitu karboksil (-COOH) dan hidroksil (COH) sehingga jauh lebih reaktif secara kimia. Kapasitas pertukaran asam fulvat lebih dari dua kali lipat dari asam humat. Kapasitas tukar tinggi karena jumlah karboksil (-COOH) lebih tinggi. Gambar 4 Struktur Kimia Asam Fulvat (Schinitzer dan Khan 1978) 15 Humin fraksi dari susbtansi humus yang tidak larut pada air di beberapa pH. Humin merupakan substansi yang paling tahan terhadap dekomposisi (lambat dirombak) dibandingkan substansi humus yang lainnya. Humin juga memiliki warna yang paling gelap. Humin mirip dengan asam humat. Substansi ini memiliki lebih sedikit aromatic daripada asam humat tetapi mengandung muatan polysakarida yang lebih tinggi. Menurut Stevenson (1982), asam humat, asam fulvat dan humin dapat dibedakan berdasarkan perbedaan berat molekul, pigmentasi polimer dan keberadaan grup fungsional seperti : karboksil dan fenolik dengan tingkat polimerasi (gambar 5). Gambar 5 Komponen Kimia Substansi Humus (Stevenson 1982) Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa berat molekul asam fulvat lebih rendah dibandingkan dengan asam humat dan humin. Perubahan intensitas warna menjadi lebih gelap dengan semakin tingginya berat molekul. Kandungan karbon dan oksigen, asiditas dan derajat polimerisasi semuanya berubah secara sistematik dengan peningkatan berat molekul. Asam fulvat memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi dan kandungan karbon yang rendah jika dibandingkan dengan asam humat. Kandungan utama substansi humus adalah gugus fungsional carboxyl dan phenolic (Sparks 2003; Liu dan Gonzalez, 2000). Kandungan-kandungan lainnya yaitu enolic, quinone, hydroxyquinone, lactone, ketone, ether, alcoholic, amine dan amide (Chien et al. 2006; Plaza et al. 2006; Steinberg et al. 2008). Struktur 16 gugus fungsional dari substansi humus terlihat dalam Tabel 1 berikut ini (Stevenson 1994) : Tabel 1 Grup Fungsional Pada Substansi Humus Grup Fungsional Struktur Acidic groups Carboxyl R–C=O (–OH) Enol R–CH=CH–OH Phenolic OH Ar–OH Quinone Ar=O Hydroxyquinone Ar=OH Neutral groups Alcoholic OH R–CH2–OH Ether R–CH2–O–CH2–R Ketone R–C=O(–R) Aldehyde R–C=O(–H) Ester R–C=O(–OR) Basic groups Amine R–CH2–NH2 Amide R–C=O(–NH–R) Substansi humus yang merupakan fraksi bahan organik dapat terlarut didalam air bersamaan dengan bahan organik yang larut dalam air (Dissolved Organic Matter) (Guo dan Chorover 2003). Selain bagian dari Dissolved Organic Matter (DOM), substansi humus juga terdapat dalam Dissolved Organic Carbon (DOC) (Garces et al 2008). DOC merupakan fraksi dari bahan organik terlarut didalam air yang ikut berperan dalam proses pengikatan dan pembentukan senyawa kompleks dengan logam berat (Wright et al 2005). DOM dan DOC merupakan kesatuan bahan yang memiliki peran besar pengikatan logam berat di air. Peran DOM dan DOC dikarenakan pada fraksi bahan ini terkandung substansi humus (asam humat dan asam fulvat) yang mengandung gugus-gugus fungsi seperti : gugus karboksilat dan oksalat didalamnya. 17 Ikatan kompleks ion logam oleh substansi humus sangat penting dalam mempengaruhi penyimpanan dan mobilitas dari kontaminan pada air dan tanah. Jika dua atau lebih grup fungsional (misalkan karboksil) berkoordinat dengan ion logam, maka akan membentuk struktur cincin internal chelation yang merupakan bentuk kompleks (Sparks 2003). Sparks (2003) juga menjelaskan bahwa kapasitas total pengikatan dari asam humat terhadap ion logam sekitar 200-600 µmol/g. Sekitar 33% dari total ini meretensi bagian kompleks kation. Bagian kompleks yang paling utama adalah karboksil dan fenolik. Interaksi Ion Logam Dengan Humus Menurut Evangelou (1998) interaksi antara ion logam dengan bahan organik padatan (substansi humus) terjadi atas dasar penjerapan permukaan (adsorpsi), pertukaran ion, dan reaksi chelate. Proses adsorpsi antara ion logam dengan bahan organik humus diawali dengan adsorpsi fisik yaitu ion logam mendekat ke permukaan padatan organik humus melalui gaya van der Waals atau ikatan hidrogen. Selanjutnya terjadi proses adsorpsi kimia setelah adsorpsi fisik berupa ion logam melekat ke permukaan padatan dengan membentuk ikatan kimia kovalen dan cenderung mencari tempat yang memaksimumkan bilangan koordinasi dengan padatan (Atkins 1999). Potensi substansi humus untuk membentuk kompleks dan chelate dengan logam berat dikarenakan substansi ini mengandung gugus fungsional seperti karboksil (COOH), hidroksil (OH), dan karbonil (C=O). Tingkat retensi logam berat dengan campuran koloid organik bervariasi tergantung dari kekuatan ion, pH, jenis mineral bahan organik, jenis kelompok fungsional, dan kompetisi kation (Schinitzer dan Khan 1978). Pada umumnya proses yang terjadi antara ion logam dan kompleks organik dalam berinteraksi terdiri atas tiga kejadian yaitu : Proton H+ berkompetisi dengan kation untuk mengikat dinding organik, ion hidroksil (OH-) berkompetisi dengan substansi humus untuk mengikat kation ion logam, logam lemah berkompetisi dengan logam keras terhadap grup fungsional organik. Menurut Tan (1998) gaya yang terbentuk dalam proses adsorpsi ion yaitu : gaya fisik (gaya van der waals), ikatan hidrogen (jembatan dua atom yang 18 elektronegatif), ikatan elektrostatik, dan ikatan koordinasi (ligan menyumbang pasangan elektron pada ion logam). Metode adsorpsi untuk logam berat umumnya berdasarkan pada interaksi ion logam dengan gugus fungsional yang ada pada senyawa organik melalui interaksi pembentukan kompleks. Ion logam dengan bahan organik humus ketika berinteraksi akan membentuk persenyawaaan kompleks dan chelate. Senyawa kompleks merupakan suatu senyawa kation yang memiliki orbital kosong (atom pusat) dengan anion yang memiliki pasangan elektron bebas (ligan) saling berikatan dengan memakai bersama pasangan elektron bebas dari ligan tersebut. Senyawa kompleks akan terikat secara chelate bila senyawa koordinasi yang ion logam pusatnya terikat oleh ligan dengan dua atau lebih ikatan (Hadiat et al. 2004). Tan (1998) mendefenisikan chelate sebagai bentuk formasi komplek (complex formation) yang muncul akibat reaksi dari ion logam dan ligan sebagai pasangan elektron. Ion logam adalah pasangan elektron penerima (acceptor) dan ligan adalah pasangan elektron donor. Ion logam berfungsi sebagai ion pusat dan ion organik berkoordinasi disekitarnya dalam lingkup koordinasi pertama. Jumlah ligan terikat pada atom pusat dalam geometri tertentu disebut bilangan koordinasi. Beberapa ligan organik dapat mengikat ion logam dengan lebih dari satu kelompok donor fungsional. Ion logam yang terikat lebih dari satu kelompok donor fungsional dari gugus fungsi ligan organik mengalami proses pembentukan cincin chelate disebut dengan chelation. Pada proses ion logam yang hanya terikat dengan satu kelompok donor fungsional dari gugus fungsi pada ligan disebut persenyawaan kompleks. Satu molekul ligan yang terlibat dalam pembentukan suatu ikatan tersebut disebut monodentate (Gambar 6). Jika dua molekul ligan membentuk ikatan dengan logam disebut bidentate (Gambar 7). Berdasarkan jumlah ligan yang berpartisipasi dalam formasi chelate, maka senyawa kompleks dapat berbentuk tridentate, tetradentate, dan pentadentate. Formasi persenyawaan kompleks dengan lebih dari satu ligan (chelation) memberikan stabilitas yang tinggi pada persenyawaan. 19 Gambar 6 Ikatan Monodentate Ion Logam Cu dengan Gugus Fungsi Organik (Tan 1998) Gambar 7 Ikatan Bidentate Ion Logam Cu dengan Gugus Fungsi Organik (Tan 1998) Secara umum ion logam (kation) dapat berinteraksi dengan semua anion. Namun afinitas interaksinya tergantung dari sifat keras lemahnya dari logam dan bahan pengompleks (adsorban). Proses interaksi antara kation logam dengan kompleks peng-chelate pada media air tawar dapat dilihat berdasarkan konsentrasi ligan dan logam. Menurut Buffle (1994) dalam Sparks (2003), pengompleks atau ligan bahan organik dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama ligan inorganik sederhana seperti : Cl-, CO32-, SO42-, S-OH, F- dan PO43-. Kedua hard ligan (LH) yang gugus utamanya adalah karboksil (-COOH) dan fenolik (-OH). Ketiga soft ligan (LS) yang mengandung bagian utama N (nitrogen) dan S (sulfur). Sparks (2003) menyatakan bahwa grup logam I memilih berikatan dengan Hard ligand (LH) tetapi membentuk kompleks yang lemah dengan ligan tersebut. Ikatan kompleks akan terjadi ketika konsentrasi logam dan ligan tinggi serta bahan pengompleks utamanya berupa ligan inorganik sederhana. Grup logam I (logam keras) menurut Pearson (1963) diantaranya yaitu: H+, Li+, Na+, Cr3+, Sn2+, Ca2+, Mg2+, Be2+. Grup logam II (logam transisi) khususnya logam transisi divalen memiliki afinitas terhadap bagian hard ligand (LH) dan soft ligand (LS). Logam ini akan berkompetisi dengan grup logam I terhadap bagian hard ligan. Disamping itu juga logam ini akan berkompetisi dengan Grup logam III untuk berikatan dengan soft ligan. Grup logam II (logam transisi) menurut Peterson (1963) antara lain: Pb2+, Zn2+, Fe2+,Cu2+, Ni2+, Co2+. Grup logam III merupakan grup logam lemah. Grup logam III memiliki afinitas yang lebih besar pada bagian soft ligan daripada hard ligan atau ligan 20 inorganik sederhana. Grup logam III (grup lemah) diantaranya adalah: Cu+, Ag+, Pd2+, Cd2+, Hg2+. Tan (1998) menyatakan bahwa substansi humus memiliki kemampuan membentuk kompleks yang larut dan tidak larut dengan ion logam. Kompleks logam dari asam fulvat pada umumnya lebih larut daripada asam humat. Hal ini mungkin dikarenakan berat molekul asam humat yang lebih rendah dan kelarutan asam fulvat yang lebih tinggi dalam air. Jika dua atau lebih kelompok fungsional organik (misalnya, karboksilat) mengkoordinasikan ion logam maka akan membentuk struktur cincin internal, chelation, suatu bentuk kompleksasi (Sparks 2003). Komponen pengompleks utama dari substansi humus adalah gugus karboksil dan fenolik. Konstanta stabilitas antara logam dengan kompleks substansi humus antara lain dipengaruhi oleh sumber substansi humus dan prosedur kerja ekstraksi atau isolasi, konsentrasi substansi humus, kekuatan ionik dari padatan, suhu, dan pH. Schnitzer dan Hansen (1970) dalam Sparks (2003) menghitung kondisi konstanta stabilitas (Kicond) pada logam–kompleks asam fulvat, berdasarkan variasi kontinyu dan metode pertukaran ion ekuilibrium. Urutan stabilitas logam yang terikat dengan asam fulvat adalah Fe3+> Al3+> Cu2+> Ni2+> Co2+> Pb2+> Ca2+> Zn2+> Mn2+> Mg2+. Konstanta stabilitas sedikit lebih tinggi pada pH 5,0 dari pada pH 3,5. Hal ini disebabkan pemisahan yang lebih tinggi pada gugus fungsional terutama gugus karboksil pada pH 5.0. Disamping itu H+ dan ion logam bersaing untuk mengikat dinding ligan dan logam kurang terikat pada pH rendah. Akuakultur dan Kualitas Air Akuakultur merupakan kegiatan memelihara/membudidayakan ikan dalam wadah yang terkontrol untuk mendapatkan keuntungan (profit). Berdasarkan definisi tersebut, dasar (basis) kegiatan akuakultur terdiri atas beberapa komponen, antara lain : ikan (organisme budidaya), air (media budidaya/habitat hidup) dan wadah (tempat budidaya untuk mengontrol kehidupan ikan) serta keuntungan (tujuan akhir dari akuakultur). Proses produksi kegiatan akuakultur yang bertujuan menghasilkan ikan untuk dikonsumsi atau dipasarkan, terdiri atas 21 kegiatan pembenihan, pendederan dan pembesaran. Keseluruhan kegiatan ini dapat dilakukan melalui teknologi atau sistem produksi baik secara ekstensif, intensif maupun semi intensif. Pada setiap proses produksi dan sistem produksi yang digunakan, kualitas air merupakan salahsatu prasyarat utama untuk keberhasilan kegiatan akuakultur. Ikan membutuhkan lingkungan hidup yang nyaman agar dapat tumbuh secara optimal. Gangguan-gangguan lingkungan yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti limbah kegiatan manusia, akan menyebabkan ikan mengalami stress, mudah terserang penyakit hingga akhirnya mengalami kematian (Kordi dan Tancung 2007). Penilaian kualitas air pada kegiatan akuakultur membutuhkan beberapa parameter. Parameter-parameter yang dijadikan untuk menilai kualitas air pada kegiatan akuakultur yaitu parameter fisika, biologi dan kimia. Menurut Wedemeyer (1996), parameter fisika yang digunakan untuk menilai kualitas air antara lain : suhu, kekeruhan (TSS), dan total bahan terlarut (TDS). Parameter biologinya yaitu bakteri, virus, jamur, parasit, predator, kompetitor dan plankton. Parameter kimia merupakan parameter yang cukup banyak dibandingkan dengan parameter lainnya. Parameter ini diantaranya yaitu : Oksigen terlarut, pH, Total Organic Matter (TOM), ammonia, nitrit, nitrat, BOD, COD, kesadahan, alkalinitas dan logam berat. Kualitas air yang sesuai dengan persyaratan hidup ikan merupakan faktor yang menjamin kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan budidaya. Menurut Royce (1973), turunnya jumlah suatu populasi organisme disebabkan oleh kematian yang terjadi. Kelangsungan hidup merupakan persentase banyaknya organisme yang hidup dibandingkan dengan jumlah yang mati selama masa pemeliharaan. Kelangsungan hidup pada ikan sangat dipengaruhi oleh kualitas air. Kualitas air yang mengandung unsur-unsur yang tidak dibutuhkan oleh ikan menyebabkan kelangsungan hidup ikan menjadi terganggu. Disamping kelangsungan hidup, pertumbuhan merupakan salahsatu hal yang dijadikan ukuran baiknya kualitas air pada proses budidaya. Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran volume dan berat suatu organisme yang dapat dilihat dari perubahan ukuran panjang dan berat dalam satuan waktu (Effendie 1997). 22 Menurut Huet (1971), terdapat dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan dengan keadaan ikan itu sendiri, seperti : umur, sifat genetik ikan, kemampuan memanfaatkan pakan dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternalnya terkait dengan lingkungan tempat ikan hidup (air) yang meliputi sifat fisika dan kimia air.