BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang dan Permasalahan Indonesia merupakan salah satu negara agraris dimana penduduknya memiliki matapencaharian sebagai petani sehingga sektor pertanian menjadi bagian penting dalam perkembangan penduduk Indonesia dan dapat dikatakan bahwa sektor pertanian menjadi salah satu faktor kesejahteraan penduduk Indonesia. Pengembangan di bidang sektor pertanian memiliki beberapa tujuan penting, salah satunya yaitu bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Ketahanan pangan Indonesia dikelola oleh pemerintah berdasarkan pada peraturan pemerintah nomor 17 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan negara sampai dengan perseorangan baik itu mutu dan gizinya secara merata untuk dapat hidup sehat dan produktif secara berkelanjutan. Husodo (2014) menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu pengimpor beras terbesar ke12 di dunia yang disebabkan oleh kurangnya pertumbuhan pembukaan lahan sawah sejak tahun 2006 sampai 2013. Hal ini disebabkan karena jika ketersediaan cadangan makanan produk dalam negeri tidak terpenuhi maka impor pangan akan dilakukan. Perlu adanya kebijakan pemerintah untuk mempertimbangkan perubahan ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan lebih menitikberatkan kepada produk suatu individu yang selanjutnya akan dikonsumsi oleh individu itu sendiri. Ada beberapa kendala yang menjadi penghambat dalam merealisasikan dan pengaplikasian kebijakan kedaulatan pangan salah satunya yaitu rendahnya produktivitas tanah pertanian di Indonesia. Produktivitas tanah pertanian Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi produktivitas tanah pertanian dapat berupa penggunaan pupuk kimia dan penanganan tanaman oleh 1 2 petani yang tidak sesuai anjuran, kandungan pupuk kimia yang digunakan maupun faktor lainnya. Selain itu, adapun faktor eksternal yang dapat mempengaruhi produktivitas tanah pertanian dapat berupa faktor alam, ketersediaan benih, kebijakan pemerintah maupun faktor lainnya. Penggunaan pupuk bertujuan untuk menyuburkan tanah sehingga dapat diperoleh produk hasil pertanian sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi, Land dan Liu (2008) menyatakan bahwa pupuk yang diberikan akan hilang sebesar 40-70% N (nitrogen), 80-90% P (fosfor) dan 50-70% K (kalium) melalui penguapan, pelindian, imobilisasi mikrobia dan fiksasi mineral tanah. Selain itu, timbul masalah lainnya yaitu terjadi defisiensi jumlah C organik pada tanah yang disebabkan oleh eksplorasi lahan pertanian secara intensif. Telah dilaporkan oleh Las dan Setyorini (2010) bahwa lahan pertanian Indonesia memiliki kadar C organik tanah kurang dari 2% dengan jumlah luas total mencapai sekitar 73% dimana jumlah C organik ideal pada tanah tidak kurang dari 2,5% dari bahan organik tanah (BOT). Akibatnya tanah menjadi sakit atau bisa juga disebut sebagai tanah levelling-off dimana tanah tidak dapat memberikan kecukupan asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman agar dapat tumbuh subur. Masalah lain yang timbul yaitu sebagian besar tanah pertanian di Indonesia termasuk pada lahan masam yang sebagian lainnya telah dimanfaatkan untuk memproduksi berbagai jenis komoditas pertanian, baik tanaman pangan maupun tanaman tahunan seperti tanaman perkebunan dan hortikultura (Mulyani dkk, 2009). Hal ini disebabkan karena variasi iklim dan curah hujan yang relatif tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia mengakibatkan tingkat pencucian basa di dalam tanah cukup intensif, sehingga kandungan basa-basa rendah dan tanah menjadi masam (Subagyo dkk., 2004). Tanah masam inilah yang menyebabkan kandungan unsur hara pada tanah berkurang sehingga menurunkan produktivitas pertanian Indonesia. Tanah mineral yang mempunyai ketersediaan hara yang cukup pada dasarnya memiliki pH optimum 6,5 sedangkan pada tanah organik memiliki pH optimum 5,5 3 (Notohadiprawiro, 2006). Meskipun pH tersebut termasuk kategori masam, tetapi tidak mengurangi kecukupan kandungan unsur hara baik itu makro maupun mikro dalam tanah tersebut. Salah satu pupuk yang digunakan oleh petani agar tanamannya tumbuh subur yaitu pupuk fosfat sebagai sumber fosfor dalam tanah. Fosfor dalam fosfat merupakan unsur hara terpenting kedua setelah nitrogen yang terdapat pada urea. Fosfor berperan penting dalam proses fotosintesis sebagai sumber energi dalam bentuk adenin difosfat (ADP) dan adenin trifosfat (ATP). Ketika ketersediaan fosfor dalam tanah tidak tercukupi, akibatnya tanaman kekurangan unsur hara makro fosfor sehingga dapat menghambat produksi karbohidrat dalam tanaman dan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Telah dilaporkan bahwa dengan metode isotop (32P) ditunjukkan efisiensi pemupukan P dalam tanah sangatlah rendah yaitu sekitar 10% (Idawati dkk, 1998). Hal ini disebabkan karena fiksasi P yang terdapat dalam tanah menyebabkan ketersediaan P tidak sepenuhnya bagi tanaman. Sebagian besar P yang hilang tidak sepenuhnya tercuci oleh air, melainkan tersedia dalam bentuk non labile P yang mengendap (Sanchez, 1992). Selain kurang efektif, penggunaan pupuk P secara berlebihan juga kurang efisien dan apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama secara intensif maka fosfor yang seharusnya bermanfaat dalam tanah dapat menjadi berbahaya bagi tanaman. Tanah levelling-off menjadi salah satu masalah utama dalam peningkatan produksi pertanian di Indonesia. Banyak penelitian yang melaporkan bahwa humus dapat mengatasi tanah levelling-off. Hal tersebut disebabkan karena humus dapat menaikkan kadar C organik dalam tanah sehingga kebutuhan nutrisi oleh tanaman tercukupi. Hayes dan Swift (1978) menyatakan bahwa humus terbentuk oleh proses humifikasi. Akan tetapi, proses humifikasi membutuhkan jangka waktu yang lama karena melibatkan transformasi biologi dan kimia dalam proses pencampuran bahan organik tanah sementara dibutuhkan proses yang lebih cepat agar produktivitas pertanian dapat 4 meningkat. Proses humifikasi mikrobiologi terjadi diawali dengan metabolisme lignin, fenol, asam amino dan komponen lainnya membentuk suatu makromolekul yang selanjutnya dinamakan sebagai proses pengomposan. Namun demikian, proses tersebut kurang efisien karena hilangnya biomassa melalui emisi CO2, air dan nitrogen oksida sangat tinggi (Kuncaka, 2013). Humifikasi secara kimia lebih efisien karena proses humifikasi mikrobiologi dapat direproduksi secara kimia, sehingga dapat dihasilkan humus yang lebih cepat dan lebih besar (Ambarsari, 2014). Hayes (2008) mengungkapkan bahwa humus terdiri dari asosisasi molekul dengan komponen penyusun utamanya adalah senyawa aromatik, polisakarida, polipeptida, lemak dan lignin. Humus bisa juga disebut sebagai senyawa humik atau Humic Substance (HS) terdiri dari asam humat, humin dan asam fulvat. Asam humat akan mengendap pada pH ≤1, humin tidak akan larut diberbagai variasi pH dan asam fulvat akan terlarut dalam berbagai pH (Stevenson, 1994). Kuncaka (2013) memberikan solusi terbaru dalam menaikkan kadar C organik dalam tanah sesuai dengan teori Hayes dan tanah Terra Pretta de Indios dengan cara melakukan penggabungan molekul-molekul dari biochar dan hidrochar yang mengandung polisakarida, polipeptida, asam amino dan lemak agar menjadi humus stabil yang disebut dengan pupuk Slow Release Organik Paramagnetic (SROP). Biochar diperoleh dari hasil proses pirolisis biomassa pertanian yang berlignin dan bersilika sedangkan hidrochar yang mengandung polisakarida, polipeptida, asam amino dan lemak berasal dari Partial Hydrothermal Carbonization (PHTC) poultry manure (kotoran ternak). Humifikasi buatan ini untuk mengatasi humifikasi mikrobiologi yang lambat dan humus yang dibentuk tidak stabil yang dapat termineralisisasi hanya akan mampu bertahan 510 tahun. Humus sintetik ini diharapkan stabil untuk jangka waktu lama. Peran humus sintetik dirancang sama seperti humus mikrobiologi yaitu sebagai agen slow release makronutrien dan mikronutrien, pengendali transfer elektron, pengendali kadar air, rumah berkembang biaknya bakteri tanah dan peningkat 5 kadar oksigen tanah, apabila humus tersedia cukup dalam tanah masalah leveling off tanah dapat teratasi. Penelitian tentang humus dalam hal penyuburan tanah sudah banyak dilakukan. Akan tetapi sedikit penelitian yang menjelaskan bahwa humus dapat menaikkan harga pH sekaligus menyuburkan tanaman pada daerah lahan tanah masam serta kajian studi desorpsi fosfat pada humus sintetik sehingga diharapkan pada penelitian ini menjadi salah satu bahan acuan untuk mengatasi masalah tersebut yang banyak ditemukan di Indonesia ini. I.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka diusulkan penelitian studi desorpsi fosfat pada lingkungan masam memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mengkarakterisasi humus sintetik sebelum dan sesudah pengkondisian lingkungan masam menggunakan FTIR 2. Mengetahui pengaruh humus sintetik dalam menaikkan harga pH 3. Mengetahui kinetika desorpsi fosfat pada humus sintetik pada lingkungan masam menggunakan spektrofotometer UV-Vis I.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Humus sintetik dapat menjadi solusi untuk menyuburkan tanaman dan dapat menaikkan harga pH tanah masam sehingga tanaman dapat tumbuh lebih subur. 2. Humus sintetik mengandung makronutrien fosfor dalam bentuk P2O5 yang dibutuhkan oleh tanaman dengan harapan penggunaan pupuk fosfat secara berlebihan dapat dikurangi.