1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyelenggaraan praktik penerbangan bukanlah perkara sederhana. Ada banyak
faktor yang kehadirannya saling terkait dan mustahil untuk ditiadakan sehingga usaha
penerbangan membutuhkan teknologi tinggi, modal yang besar, manajemen yang
profesional, dan tidak kalah penting adalah faktor keselamatan dan keamanan. Setiap
negara dituntut mengatur secara tegas dan jelas kegiatan usaha penerbangan yang
berlangsung di masing-masing negara.
Di Indonesia, usaha penerbangan sudah diatur sejak jaman penjajahan Belanda.
Landasan hukum yang digunakan adalah Luchtvaart besluit 1932 (Staatsblad 1933
Nomor 118) dan Luchtvaart ordonnantic 1934 (Staatsblad 1934 Nomor 205 jo
Staatsblad 1942 Nomor 36). Selanjutnya Luchtvaart besluit 1932 dan Luchtvaart
ordonnantic 1934 diganti dengan Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang
Penerbangan, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964,
dan disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 72 Tahun 1976. 1
Undang-Undang Penerbangan tahun 1976 ini kemudian disempurnakan lagi
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992, dan seiring dengan tidak sesuainya lagi
terhadap kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan
penerbangan. Untuk itu, Undang-Undang Penerbangan Tahun 1992 disempurnakan
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang terdiri
dari 24 Bab dan 466 Pasal.2
1
Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP) Lawyers, Pembiayaan Pesawat Udara, Teori dan Praktek, Jakarta,
Januari 2015, hlm.18.
2
Ibid., hlm.18.
1
2
Dari berbagai kondisi global dan kesiapan nasional, kehadiran Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengubah total lanskap industri penerbangan
di Indonesia, khususnya dalam kegiatan usaha penerbangan (pengaturan mengenai
maskapai) di dalamnya mencakup pula pesawat udara. Negara di satu sisi harus mampu
menggarap potensi pasar yang sangat melimpah dan mengejar ketinggalan dari negaranegara lain, namun di sisi lain juga harus mengoptimalkan pengelolaan usaha
penerbangan yang professional dan berkomitmen terhadap pelayanan konsumen serta
keselamatan dan keamanan penerbangan.
Kehadiran Undang-Undang Penerbangan Tahun 2009 bermaksud untuk menjawab
tantangan dimaksud yakni berupa potensi pasar yang sangat melimpah dan mengejar
ketertinggalan dari negara-negara lain, dan ternyata memiliki dampak hukum yang begitu
luas bagi pelaku industri penerbangan, yaitu sebagai berikut:3
Pertama, ditinjau dari segi kegiatan usaha, Undang-Undang Penerbangan Tahun
2009 mensyaratkan bahwa mulai tanggal 12 Januari 2012 maskapai nasional yang
mengoperasikan angkutan udara niaga, agar mengoperasikan setidaknya 10 (sepuluh)
pesawat udara, 5 (lima) pesawat diantaranya harus dimiliki oleh perusahaan. Persyaratan
ini tentu bukan merupakan persyaratan yang mudah, apalagi biaya untuk membayar sewa
(leasing) pesawat sudah sangat tinggi, apalagi untuk melakukan pembelian (purchase).
Dalam hal ini, Pemerintah tidak dapat lepas tangan begitu saja dan menyerahkan kepada
maskapai untuk memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini dapat berakibat fatal bagi
pelayanan konsumen (penumpang) yang bisa ditelantarkan akibat bangkrutnya maskapai
penerbangan, sehingga Pemerintah harus memberikan dorongan dan insentif untuk
mendorong likuiditas.
3
Ibid., hlm.19.
3
Kedua, ditinjau dari segi perlindungan hukum terhadap pejaminan hipotik pesawat
udara itu sendiri, dari kepentingan kreditur internasional sudah diatur dalam UU no.1
Tahun 2009 namun dari kepentingan kreditur nasional belum memadai untuk mendukung
pertumbuhan industri pembiayaan pesawat udara nasional.
Dari kedua issue tersebut di atas, menjadi poin terpenting dalam pengelolaan usaha
penerbangan yang profesional dan berkomitmen, maka diperlukan peran bank nasional
dalam mendukung pembiayaan usaha penerbangan.
Untuk mendukung pembiayaan usaha penerbangan, maka keberadaan sumber dana
eksternal di luar modal pendiri dan kas perusahaan menjadi faktor yang tidak dapat
terelakkan. Bahkan dapat dikatakan nyaris mustahil untuk memenuhi kebutuhan
pengadaan armada pesawat udara oleh perusahaan sendiri.4 Keberadaan dana eksternal
pun tidak dapat dipenuhi oleh satu lembaga pembiayaan saja, kecuali lembaga
pembiayaan (seperti bank) tersebut memiliki struktur permodalan yang kuat.
Seiring dengan kondisi tersebut, maka pengadaan pesawat udara sipil jelas
menuntut biaya yang besar. Dari segi keuangan, perusahaan penerbangan memanfaatkan
jasa lembaga pembiayaan untuk membantu pengadaan pesawat udara.5
Salah satu cara perusahaan penerbangan mendapatkan modal kerja dari perbankan
adalah dengan cara berhutang dengan menjaminkan asset jaminan yang dimiliki, yaitu
pesawat udara. Untuk dapat dijadikan benda modal bagi perkembangan perusahaan,
penerbangan pesawat udara harus dapat dijadikan jaminan hutang melalui lembaga
jaminan yang tepat untuk pesawat udara yang mempunyai karakteristik benda khusus.
namun objek pesawat udara yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan prospek yang baik
dalam praktik penjaminannya masih ditemui beberapa permasalahan. Diantaranya
4
5
Ibid., hlm.49.
Ibid., hlm.49.
4
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang
mencabut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, tidak mengatur
secara eksplisit jenis jaminan apa yang dapat dibebankan pada objek pesawat udara.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992, pada Pasal 12 ayat (1)
dan (2) dijelaskan bahwa pembebanan jaminan atas pesawat udara dan helikopter dapat
dilakukan dengan hipotik dan harus didaftarkan meskipun kantor pendaftaran hipotik
bagi pesawat udara dan helikopter belum ada hingga dicabutnya Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Hal tersebut penting mengingat Undang-Undang
Penerbangan Tahun 2009 tidak memuat jenis jaminan yang dibebankan pada objek
pesawat udara, sehingga ini berpengaruh terhadap jenis lembaga jaminan yang akan
dibebankan.
Didalam Pasal 71 Undang-Undang Penerbangan No.1 Tahun 2009, disebutkan
“Objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul
akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak
bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha”.
Dan Pasal 78 Undang-Undang Penerbangan Tahun 2009 juga ditegaskan bahwa
“Agar kepentingan internasional memperoleh prioritas maka didaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Internasional, yang berfungsi sebagai kantor pendaftaran untuk melakukan
pencatatan atas pengikatan agunan objek pesawat udara”. Dalam kata lain, pesawat udara
sebagai objek jaminan didaftarkan secara hipotik, namun yang didaftarkan adalah
bagian-bagian vital dari pesawat udara, diantaranya adalah mesin pesawat, baling-baling,
dan bagian vital lainnya. Kedua pasal tersebut (Pasal 71 dan Pasal 78) dapat dijadikan
pendukung bagi pasal sebelumnya, yakni Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992. Pasal 81 Undang-Undang Penerbangan Tahun 1992 mengatur
“Tagihan-tagihan tertentu memiliki prioritas terhadap tagihan dari pemegang
5
kepentingan internasional yang terdaftar atas objek pesawat udara”. Dalam konteks ini,
pernyataan yang dimuat dalam Pasal 78 Undang-Undang Penerbangan Tahun 2009
dengan Pasal 81 Undang-Undang Penerbangan Tahun 1992, memiliki hubungan ataupun
makna yang sama.
Kedua pasal tersebut di atas (Pasal 71 dan Pasal 78 Undang-Undang No.1 Tahun
2009 tentang Penerbangan) mencerminkan bahwa kreditur asing (bank atau perusahaan
leasing asing saja) yang dapat memberikan pembiayaan kepada pesawat yang
dioperasikan oleh Airlines di Indonesia, dan pihak leasing asing tersebut bisa
mengeksekusi langsung ketika Airlines Indonesia gagal bayar (wanprestasi) dengan
mekanisme Irrevocable De-registration & Export Request Authorization (IDERA).
Sementara kreditur lokal (bank atau perusahaan leasing Indonesia) jika membiayai
Airlines Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum untuk mengeksekusi pesawat (jika
Airlines Indonesia wanprestasi).6 Di sinilah letak ketidakadilan hukum dalam dunia
industri penerbangan, karena investor asing (luar negeri) dilindungi secara hukum,
sedangkan investor lokal (dalam negeri) tidak dilindungi dari sisi hukum.
Pasal 78 Undang-Undang Penerbangan Tahun 2009, juga menegaskan
“Kepentingan internasional, termasuk setiap pengalihan dan/atau subordinasi dari
kepentingan tersebut, memperoleh prioritas pada saat kepentingan tersebut didaftarkan
pada kantor pendaftaran internasional”.
Maksud dari pendaftaran sebagaimana disebut dalam Pasal 78 Undang-Undang
Penerbangan Tahun 2009 adalah untuk melindungi kreditur, karena tanpa pendaftaran
maka kedudukan kreditur hanya sebagai kreditur konkuren, yang artinya tidak ada
kedudukan yang diutamakan dalam memperoleh pelunasan utang debitur. Namun dalam
6
Hasil wawancara penulis dengan seorang Staf Kementerian Perhubungan Udara, di Kantor Kementerian
Perhubungan Udara, pada hari Kamis tanggal 17 Maret 2016, pukul 15.14 Wib.
6
praktiknya, pencatatan atas pengikatan yang dilakukan di Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara yang selama ini menerima pencatatan atas pengikatan agunan objek
pesawat udara hanya memperhatikan aspek dari keberadaan objek pesawat udara saja.
Tidak adanya kejelasan mengenai jenis jaminan apa yang dapat dibebankan pada
objek pesawat udara, sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan, yang tidak menyebutkan “pembebanan jaminan pesawat udara
dapat dilakukan dengan lembaga jaminan hipotik”. Padahal dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, jelas-jelas disebutkan bahwa “pembebanan
jaminan atas pesawat udara dan helikopter dapat dilakukan dengan hipotik”.
Akibat tidak adanya kepastian mengenai jaminan apa yang dapat dibebankan pada
pesawat udara, maka apabila objek jaminan pesawat udara dijaminkan dengan
menggunakan lembaga fidusia, akan mengakibatkan banyak kendala hukum terutama
mengenai pencatatan pendaftarannya, yang diatur dalam Pasal 13 ayat (3) UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.7
Di dalam praktiknya, penjaminan pesawat udara dilakukan dengan cara
menjaminkan bagian-bagian dari pesawat berupa baling-baling, mesin-mesin atau
interior pesawat udara. Dalam kata lain, tidak keseluruhan pesawat sebagai benda.
Pelaksanaan penjaminan bagian-bagian dari pesawat udara, dilakukan dengan
pencatatan secara fidusia, namun pencatatan tersebut tidak dapat memberikan
perlindungan hukum bagi kreditur.
Selain itu, pembebanan jaminan pada objek pesawat udara secara keseluruhan
yang dilakukan dengan fidusia tidak dapat didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia,
dikarenakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak dapat
7
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan
Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset, 2007), hlm.59.
7
diberlakukan untuk pesawat udara, kecuali yang didaftarkan hanya bagian-bagian
pesawat seperti mesin, baling-baling, rangka pesawat.
Dalam praktiknya, bentuk yang sering dikenal dan dimanfaatkan oleh banyak
maskapai penerbangan adalah bentuk sewa guna usaha atau leasing. Secara yuridis,
setiap lembaga pembiayaan akan melahirkan instrumen jaminan yang akan dibebankan
pada pesawat udara yang diperoleh melalui lembaga pembiayaan (leasing). Hal ini
karena lembaga pembiayaan merupakan alternatif yang menarik bagi para pengusaha
untuk kegiatan operasional perusahaan, dan melalui leasing pengusaha bisa memperoleh
dana untuk membiayai pembelian barang-barang modal dengan jangka waktu
pengembalian antara 3-5 tahun atau lebih.8
Dari sekian banyak instrumen jaminan yang ada di Indonesia, tetapi belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur hipotik pesawat udara, setelah dicabutnya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Kondisi tersebut menjadi salah satu penghambat untuk memperoleh dana yang
diperlukan untuk mengembangkan usaha dan pengadaan pesawat udara yang pada
gilirannya akan menghambat pertumbuhan industri transportasi udara di Indonesia pada
umumnya, karena perusahaan penerbangan sulit memperoleh dana yang diperlukan dan
sebaliknya pemilik dana nasional maupun internasional tidak mau meminjamkan
uangnya kepada perusahaan penerbangan tanpa adanya jaminan keamanan atau kepastian
hukum bahwa uangnya akan kembali dibayar oleh debitur.9
Pada umumnya, peminjaman uang maupun modal untuk pengembangan usaha dan
pengadaan pesawat udara selalu mensyaratkan adanya jaminan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini adalah jaminan hipotik pengadaan
8
Ibid., hlm.61.
Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, (Jakarta:
RajaGrafindoPersada, 2013), hlm.263.
9
8
pesawat udara, mengingat pesawat udara yang menjadi jaminan hipotik digunakan untuk
penerbangan internasional yang mudah berpindah dari satu negara ke negara lainnya,
sehingga menjadi salah satu hambatan dalam pemberian jaminan hipotik pesawat udara.
Hambatan lainnya yaitu perbedaan yurisdiksi dari satu negara ke negara yang lain
sehingga dapat menyebabkan pihak pemberi modal dalam posisi yang sulit, apalagi bila
ternyata bahwa hak jaminan kebendaan yang diletakkan pada pesawat udara beserta
perlengkapannya dan/atau suku cadang tidak diakui oleh negara lain.
Faktor atau hambatan lainnya yang menjadi kendala perolehan dana dalam
pengadaan pesawat terbang adalah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa 1948
yang inti pengaturannya adalah “semua hak pemilikan dan hak jaminan maupun hak-hak
lain atas pesawat udara didaftarkan”.10
Penyelesaian berbagai masalah yang berkaitan dengan hak jaminan kebendaan
atas pesawat udara memerlukan pengakuan secara internasional.11 Pengakuan tersebut
baru lahir apabila Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut. Keadaan demikian tidak
menguntungkan Indonesia, karena ketentuan hukum perdata internasional Indonesia
tidak selalu dapat memuaskan dan menjamin kepastian hukum dalam pemecahan
masalah hak atas pesawat udara.
Dari berbagai hambatan mengenai pembiayaan dan pengadaan pesawat udara,
maka dibutuhkan perlindungan hukum yang bersifat internasional, khususnya dalam
kaitannya dengan pendaftaran dan penjaminan pesawat udara.
Berpedoman pada permasalahan pembiayaan dan pengadaan pesawat udara,
penulis menganggap perlu untuk melakukan penelitian ini mengingat belum ada satupun
10
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaya, Seri Hukum Harta Kekayaan Kebendaan pada Umumnya, (Jakarta:
Kencana, 2003), hlm.64.
11
Martono dan Agus Pramono, Op.cit., hlm.264.
9
ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai penjaminan
pesawat udara.
Kerumitan tersebut seiring dengan tidak adanya kejelasan mengenai jenis jaminan
yang dapat dibebankan pada objek pesawat udara, dengan dicabutnya Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 yang menyebutkan pembebanan jaminan pesawat udara dapat
dilakukan dengan lembaga jaminan hipotik.
B.
Perumusan Masalah
Berpedoman pada latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan beberapa
permasalahan berikut ini:
1.
Mekanisme apa yang diterapkan dalam pembiayaan pesawat udara serta bentuk
jaminannya, mengingat di Indonesia belum ada jaminan hipotik bagi pesawat
udara?
2.
Apakah kendala internal dan eksternal yang dihadapi pelaku industri penerbangan
(kreditur dan debitur) mengenai belum adanya jaminan hipotik bagi pesawat udara?
3.
Bagaimana mekanisme perlindungan hukum yang diberikan Kementerian
Perhubungan serta Kementerian Hukum dan HAM, bagi kreditur apabila terjadi
wanprestasi perjanjian pembiayaan, termasuk dalam mengeksekusi objek jaminan
tersebut?
4.
Apa langkah-langkah konstruktif yang diterapkan Kementerian Perhubungan serta
Kementerian Hukum dan HAM mengenai belum adanya jaminan hipotik bagi
pesawat udara?
C.
Tujuan Penelitian
Seiring dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengkaji dan menganalisis mekanisme dalam pembiayaan pesawat udara
10
dan bentuk jaminan yang dipakai.
2.
Untuk mengkaji dan menganalisis kendala internal dan eksternal yang dihadapi
pelaku industri penerbangan mengenai belum adanya jaminan hipotik bagi pesawat
udara.
3.
Untuk mengkaji dan menganalisis mekanisme perlindungan hukum yang diberikan
Kementerian Perhubungan serta Kementerian Hukum dan HAM bagi kreditur
apabila terjadi wanprestasi perjanjian pembiayaan.
4.
Untuk mengkaji dan menganalisis langkah-langkah konstruktif Kementerian
Perhubungan serta Kementerian Hukum dan HAM terkait permasalahan belum
adanya jaminan hipotik bagi pesawat udara.
D.
Manfaat Penelitian
Seiring tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis, sebagai berikut:
1.
Secara teoretis, dapat dijadikan sumber referensi atau koleksi tambahan baik untuk
perpustakaan kampus pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun
perpustakaan umum, sehingga diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan
bagi mahasiswa dan akademisi di bidang hukum bisnis khususnya mengenai
pembiayaan pesawat udara dan lembaga jaminan yang digunakannya, mengingat
saat ini belum ada jaminan hipotik bagi pesawat udara.
2.
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi:
a.
Pelaku Usaha (kreditur dan debitur), dijadikan sebagai tambahan wawasan
ilmu pengetahuan mengenai kesepakatan perjanjian pembiayaan pesawat
udara. Hal ini mengingat pesawat udara sebagai objek jaminan merupakan
sebuah benda bergerak yang akan menimbulkan kendala dalam hal
eksekusinya.
b.
11
Pemerintah (lembaga pembuat peraturan perundang-undangan, dan lembaga
penerap sanksi). Diharapkan pemerintah segera merevisi Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dengan mencantumkan Pasal 12
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan. Pada ayat (1) bahwa “pesawat terbang dan helikopter yang
telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat
dibebani hipotik.” Ayat (2) “pembebanan hipotik pada pesawat terbang dan
helikopter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan.”
c.
Penulis, sangatlah besar dan berarti mengingat penulis adalah salah satu
pejabat di Departemen Perhubungan Udara. Dalam kata lain, penulis
memperoleh gambaran secara jelas bagaimana praktik penjaminan pesawat
udara dengan menggunakan mekanisme Irrevocable De-registration &
Export Request Authorization (IDERA).
E.
Keaslian Penelitian
Penelitian ini berawal dari ide dan pemikiran penulis sendiri atas masukan dari
berbagai pihak, khususnya di lingkungan Departemen Perhubungan Udara, guna
membantu penelitian dimaksud.
Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM), penelitian tentang “Analisis Perlindungan Hukum
bagi Penerima Jaminan Hipotik Pesawat Udara di Indonesia”, belum pernah diteliti oleh
peneliti sebelumnya. Oleh karenanya, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam
penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah asli,
apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat
dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
12
Adapun beberapa penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian
penulis, yaitu:
1.
Sandra Devy, dalam Tesis yang berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan
Jaminan Pesawat Terbang pada PT. Bank CIMB NIAGA Tbk, Jakarta”.
Permasalahan yang diteliti dalam tesis ini yaitu pertama, bagaimana pelaksanaan
pemberian kredit dengan jaminan pesawat terbang pada PT. Bank CIMB Niaga
Tbk?. Kedua, apakah kerugian pemberian fasilitas kredit dengan jaminan pesawat
terbang pada PT. Bank CIMB Niaga Tbk?. Dalam tesis ini kesimpulannya adalah
pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan pesawat terbang pada PT. Bank
CIMB Niaga Tbk. sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992
tentang Penerbangan, yang mengatur bahwa untuk objek jaminan pesawat terbang
yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani
hipotik.
Selanjutnya pembebanan hipotik pada pesawat terbang sebagaimana
dimaksud Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Penerbangan harus didaftarkan, yang
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Namun demikian Peraturan
Pemerintah sebagai ketentuan yang mengatur lebih lanjut dari Pasal 12 UndangUndang Penerbangan sampai saat ini belum pernah dikeluarkan, sehingga
ketentuan mengenai agunan pesawat udara tidak dapat dilaksanakan, khususnya
mekanisme pendaftaran hipotik dan lembaga yang ditunjuk untuk melakukan
pendaftaran pesawat udara.
Perbedaan tesis yang pernah diteliti oleh Sandra Devy, dengan tesis peneliti
yakni tentunya sangatlah jauh berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut meliputi:
a.
13
Judul penelitian berbeda. Penelitian Sandra Devy, penelitiannya lebih
mengarah pada studi kasus, sedangkan penelitian peneliti lebih mengarah
pada kajian peraturan perundang-undangan.
b.
Perumusan masalah yang dimuat dalam penelitian Sandra Devy juga sangat
jauh berbeda dengan perumusan masalah yang dimuat dalam penelitian
peneliti. Dalam kata lain, konteks pembahasannya jauh berbeda.
c.
Penelitian Sandra Devy tidak menggunakan teori-teori sebagai pisau analisis
pembahasan, sedangkan penelitian peneliti menggunakan teori-teori
dimaksud yaitu Teori Negara Kesejahteraan.
2.
Andia Hastriani, dalam Tesis yang berjudul “Praktek Jaminan Fidusia Sehubungan
dengan Pengadaan Pesawat Udara oleh PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk”.
Kesimpulan dari tesis ini yaitu pembiayaan pengadaan pesawat udara di Indonesia
berhubungan erat dengan lembaga jaminan yang dapat dibebankan atas pesawat
udara karena kreditur pasti akan meminta jaminan atas pengembalian uang yang
digunakan untuk pembiayaan tersebut.
Diundangkannya
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2009
tentang
Penerbangan, yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan, memberikan dampak pada lembaga jaminan atas pesawat terbang di
Indonesia karena Undang-Undang Penerbangan Tahun 2009 tidak menyebutkan
secara tegas mengenai lembaga jaminan apa yang dapat dibebankan atas pesawat
terbang.
3.
Achmad Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan, dalam Jurnal yang berjudul
“Pengikatan Jaminan Pesawat Terbang sebagai Jaminan Fasilitas Kredit Bank”.
14
Substansi yang dimuat dalam jurnal tersebut yakni bahwa sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 10 Undang-Undang Penerbangan, pesawat terbang dan
helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda
kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan
diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda
pendaftaran Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda
kebangsaan Indonesia bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu
dari pesawat terbang dan helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban
memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah. Diterapkannya pendaftaran terhadap pesawat terbang, maka
memberikan sifat hak kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti
bendanya di tangan siapapun benda itu berada. Dalam praktik, hal ini memberikan
perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan
haknya terhadap khalayak umum (publik).
Secara yuridis, pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat
dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat
terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan
kebangsaan Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut
:
(1)
(2)
(3)
Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan
kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotik.
Pembebanan hipotik pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran hipotik pesawat terbang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
15
Berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui
pembebanan hipotik.
Kesimpulan dari Jurnal yang ditulis Achmad Susetyo dan Pudyo Bayu
Hartawan, yaitu bahwa pengikatan jaminan atas pesawat terbang melalui
pembebanan hipotik sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1992 tentang Penerbangan belum dapat dilaksanakan dan pembebanan
melalui fidusia bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, yang secara tegas menyebutkan bahwa
fidusia tidak berlaku terhadap hipotik atas pesawat terbang.
Mencermati penelitian peneliti dengan jurnal yang dibuat oleh Achmad
Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan, tentunya sangat berbeda jauh. Hal ini dapat
dilihat dari:
a.
Penelitian peneliti membahas dan menganalisis persoalan mengenai
perlindungan hukum bagi penerima jaminan hipotik pesawat udara.
Perbandingannya, penelitian yang diteliti oleh Susetyo dan Pudyo di dalam
jurnalnya hanya membahas masalah pengikatan jaminan pesawat terbang
sebagai jaminan fasilitas kredit bank.
b.
Penelitian peneliti lebih ditekankan dalam mengkaji peraturan perundangundangan yaitu Undang-Undang Penerbangan Tahun 1992 dan UndangUndang Penerbangan Tahun 2009. Sementara penelitian yang dimuat dalam
jurnal tersebut hanya membahas masalah pengikatan jaminan, dalam kata
lain jurnal penelitian ini tidak menggambarkan secara jelas peraturan
perundang-undangan yang diterapkan untuk mengkaji permasalahan yang
ada.
Download