BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Perilaku Konsumen Menurut Schiffman dan Kanuk (2000) dalam Prasetijo dan Ihalauw (2005:9) perilaku konsumen adalah proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya. Terdapat beberapa definisi perilaku konsumen menurut para penulis literatur yang berbeda-beda akan tetapi jika dibandingkan, pada dasarnya semua definisi itu memiliki inti yang sama dan telah menunjukan adanya perkembangan atau perluasan sejalan dengan makin beragamnya kebutuhan dan aktivitas konsumen yang dikutip didalam buku Suprapti (2010: 2) : 1) Perilaku konsumen menggambarkan berbagai aktivitas yang dilakukan orangorang ketika memilih, membeli, dan menggunakan barang dan jasa sehingga memuaskan kebutuhan dan keinginannya (Wilkie, 1990). Aktivitas-aktivitas itu melibatkan proses mental, emosi, dan fisik. 2) Perilaku konsumen adalah proses pembuatan keputusan dan aktivitas fisik yang dilakukan seseorang ketika mengevaluasi, mencari, membuang barang dan jasa (Loundon dan Bitta, 1933). 11 menggunakan, dan 3) Perilaku konsumen adalah suatu studi tentang unit pembelian dan proses pertukaran yang terlibat dalam mencari, mengkonsumsi, dan membuang barangbarang, jasa, pengalaman, dan gagasan (Mowen dan Minor, 1998). 4) Perilaku konsumen adalah suatu studi tentang individu, kelompok, atau organisasi, dan proses yang mereka gunakan untuk memilih, mendapatkan, menggunakan, dan membuang produk, jasa, pengalaman, atau gagasan untuk memenuhi kebutuhan dan dampak dari prose situ pada konsumen dan masyarakat (Hawkins et al. 2007). 5) Perilaku konsumen menggambarkan suatu studi tentang berbagai proses yang terlibat ketika individu atau kelompok memilih, membeli, menggunakan, atau membuang produk, jasa, gagasan, atau pengalaman yang memenuhi kebutuhan dan keinginannya (Solomon, 2007). 6) Perilaku konsumen didefinisikan sebagai perilaku yang ditunjukan oleh konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan membuang produk dan jasa yang diharapkan akan memenuhi berbagai kebutuhannya (Schiffman dan Kanuk, 2007). 2.1.2 Model Perilaku Konsumen Assael (1992) dalam Sutisna dan Teddy Pawitra (2001:5) secara jelas menggambarkan bagaimana model perilaku konsumen bisa dipelajari seperti pada Gambar 2.1 12 Gambar 2.1 Model Perilaku Konsumen Umpan balik bagi konsumen (evaluasi pasca pembelian) 7) Konsumen Individu Hubungan – Hubungan Lingkungan Pembuatan Keputusan Konsumen Tanggapan Konsumen 8) Penerapan dari Perilaku Konsumen pada Strategi Pemasaran Umpan balik bagi pemasaran Sumber: Sutisna dan Teddy Pawitra (2001:5) Komponen pusat dari model ini adalah pembuatan keputusan konsumen yang terdiri atas proses merasakan dan mengevaluasi informasi merek produk, mempertimbangkan bagaimana alternatif merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen, dan pada akhir memutuskan merek apa yang akan dibeli. Terdapat tiga faktor yang menghubungkan pilihan konsumen. Faktor pertama adalah konsumen individual. Artinya, pilihan untuk membeli suatu produk dengan merek tertentu dihubungkan oleh hal-hal yang ada pada diri konsumen. Kebutuhan, persepsi, karakteristik merek, sikap, kondisi, demografi, gaya hidup, dan karakteristik kepribadian individu akan menghubungkan pilihan individu itu dengan berbagai alternatif merek yang tersedia. 13 Faktor kedua yaitu lingkungan yang menghubungkan konsumen.Pilihanpilihan konsumen dengan merek dihubungani oleh lingkungan yang mengitarinya. Ketika seorang konsumen melakukan pembelian suatu merek produk, mungkin saja seseorang membeli suatu merek produk karena meniru teman satu kelasnya, atau juga mungkin karena tetangganya telah membeli terlebih dahulu. Jadi interaksi sosial yang dilakukan oleh seseorang akan turut menghubungkan pada pilihan-pilihan merek produk yang dibeli. Faktor ketiga yaitu stimuli pemasaran atau juga disebut strategi pemasaran. Strategi pemasaran yang banyak dibahas adalah satu-satunya variabel dalam model ini yang dapat dikendalikan oleh pemasar. Dalam hal ini, pemasar berusaha menghubungkan konsumen dengan menggunakan stimuli-stimuli pemasaran seperti iklan dan sejenisnya agar konsumen bersedia memilih merek produk yang ditawarkan. Strategi pemasaran yang lazim dikembangkan oleh pemasar yaitu yang berhubungan dengan produk apa yang akan ditawarkan, penentuan harga jual produknya, strategi promosinya dan bagaimana melakukan distribusi produk kepada konsumen. Selanjutnya, pemasar harus mengevaluasi strategi pemasaran yang dilakukan dengan melihat respon konsumen untuk memperbaiki strategi pemasaran di masa depan. Sementara itu konsumen individual akan mengevaluasi pembelian yang telah dilakukan. Jika pembelian yang dilakukan mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya, atau dengan perkataan lain mampu memuaskan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya, maka di masa datang akan terjadi pembelian berulang. Bahkan 14 lebih jauh dari itu, konsumen yang merasa puas akan menyampaikan kepuasannya itu kepada orang lain, dan inilah yang disebut sebagai hubungan mulut ke mulut (word of mouth communication). 2.1.3 Perilaku Pembelian Hasseal dalam Kotler (2005:221) membedakan empat jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembelian dan tingkat perbedaan merek, yaitu : 1) Perilaku pembelian yang rumit. Konsumen terlibat dalam perilaku pembelian yang rumit bila mereka sangat terlibat dalam pembelian dan sadar akan adanya perbedaan besar antar merek. Perilaku pembelian yang rumit itu lazim terjadi bila produknya mahal, jarang dibeli, berisiko, dan sangar mengekspresikan-diri seperti motor. 2) Perilaku pembelian pengurang ketidaknyamanan. Kadang-kadang konsumen sangat terlibat dalam pembelian namun melihat sedikit perbedaan antar merek. Dalam kasus itu, pembeli akan berbelanja dengan berkeliling untuk mempelajari merek yang tersedia. Jika konsumen menemukan perbedaan mutu antar merek tersebut, dia mungkin akan lebih memilih harga yang lebih tinggi, jika konsumen menemukan perbedaan kecil dia mungkin akan membeli sematamata berdasarkan harga dan kenyamanan. Setelah pembelian tersebut, konsumen mungkin mengalami disonasi atau ketidaknyamanan yang muncul setelah merasakan adanya fitur yang tidak mengenakkan atau mendengar kabar yang menyenangkan mengenai merek lain, dan akan siaga dengan informasi 15 yang mendukung keputusannya. Dalam contoh itu, konsumen pertama-tama bertindak, kemudian mendapatkan keyakinan baru, dan berakhir dengan mendapatkan serangkaian sikap. 3) Perilaku pembelian karena kebiasaan. Banyak produk dibeli pada kondisi rendahnya keterlibatan konsumen dan tidak adanya perbedaan antar merek yang signifikan. Misalnya garam, para konsumen memiliki sedikit keterlibatan pada jenis produk itu. Mereka pegi ke toko dan mengambil merek tertentu. Jika mereka tetap mengambil merek yang sama, hal itu karena kebiasaan, bukan karena kesetiaan yang kuat dengan merek. Terdapat bukti yang cukup bahwa konsumen memiliki keterlibatan yang rendah dalam pembelian sebagian besar produk yang murah dan sering dibeli. 4) Perilaku pembelian yang mencari variasi. Beberapa situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen yang rendah tetapi perbedaan antar merek signifikan. Dalam situasi itu, konsumen sering melakukan peralihan merek. Misalnya kue kering, konsumen memiliki beberapa keyakinan tentang kue kering, memilih merek kue kering tanpa melakukan banyak evaluasi, dan mengevaluasi produk selama konsumsi. Namun, pada kesempatan berikutnya, konsumen mungkin mengambil merek lain karena ingin mencari rasa yang berbeda. Peralihan merek terjadi karena mencari variasi dan bukannya karena ketidakpuasan. 16 2.1.4 Perilaku Pasca Pembelian Menurut Suprapti (2010:282) saat pembelian dilakukan, konsumen mengawali tindakannya untuk mengevaluasi kinerja produk yang telah dibeli. dalam hal ini perlu dibedakan antara membeli dan mengkonsumsi. Perbedaan itu perlu diketahui karena tiga alasan berikut : 1) Suatu produk mungkin dibeli oleh seseorang, tetapi dikonsumsi oleh orang lain. Kepuasan dengan suatu produk ditentukan oleh orang yang mengkonsumsi, bukan oleh yang membeli. 2) Pembelian dilakukan tergantung pada harapan konsumen tentang sejauh mana suatu merek kemungkinan akan memuaskan kebutuhan. Sementara itu, konsumsi menentukan apakah harapan itu akhirnya terkonfirmasi atau tidak. 3) Evaluasi konsumen pasca pembelian akan menentukan apakah suatu merek yang telah dibeli kemungkinan akan dibeli kembali atau tidak. Perilaku pasca pembelian juga dapat diungkapkan ketika konsumen menggunakan produk yang sudah dibelinya, khususnya saat pembelian coba-coba, mereka mengevaluasi kinerja produk itu dan kemudian dihubungkan dengan harapannya. Ada tidak kemungkinan hasil yang diperoleh setelah evaluasi tersebut, yaitu (1) kinerja produk memenuhi harapan konsumen, yang menyebabkan adanya perasaan puas; (2) kinerja produk melebihi harapan konsumen, yang menyebabkan konsumen merasa sangat puas atau senang (delighted customer); dan (3) kinerja 17 produk berada dibawah harapan konsumen, yang akhirnya menimbulkan ketidakpuasan. Ketiga hasil tersebut menunjukan bahwa harapan dan kepuasan konsumen memiliki hubungan yang sangat erat, artinya ketika melakukan evaluasi pasca pembelian konsumen cenderung menilai pengalamannya untuk kemudian dibandingkan dengan harapannya (Suprapti, 2010:283). 2.1.5 Keputusan Pembelian konsumen Menurut Assael dalam Sutisna dan Teddy Pawitra (2001:15) pengambilan keputusan oleh konsumen untuk melakukan pembelian suatu produk diawali oleh adanya kesadaran atas pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang oleh Hassael disebut need arousal. Selanjutnya jika sudah disadari adanya kebutuhan dan keinginan, maka konsumen akan mencari informasi mengenai keberadaan produk yang diinginkannya. Proses pencarian informasi ini akan dilakukan dengan mengumpulkan semua informasi yang berhubungan dengan produk yang diinginkan. Dari berbagai informasi yang diperoleh konsumen melakukan seleksi atas alternatifalternatif yang tersedia. Proses seleksi inilah yang disebut sebagai tahap evaluasi informasi. Dengan menggunakan berbagai kriteria yang ada dalam benak konsumen, salah satu merek produk dipilih untuk dibeli. Dengan dibelinya merek produk tertentu, proses evaluasi belum berakhir karena konsumen akan melakukan evaluasi pasca pembelian. Proses evaluasi ini akan menentukan apakah konsumen merasa puas atau tidak atas keputusan pembeliannya. Seandainya konsumen merasa puas, maka kemungkinan untuk melakukan pembelian 18 kembali pada masa depan akan terjadi, sementara itu jika konsumen tidak puas atas keputusan pembeliannya, dia akan mencari kembali berbagai informasi produk yang dibutuhkannya. 2.1.6 Jasa Menurut Lupiyoadi dan Hamdani (2009:5) jasa adalah semua aktivitas ekonomi yang hasilnya bukan berbentuk produk fisik atau konstruksi, yang umumnya dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan serta memberikan nilai tambah (misalnya: kenyamanan, hiburan, kesenangan atau kesehatan) konsumen. Menurut Kotler (1994) dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009:6) Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan sesuatu. Produksinya mungkin saja terkait atau mungkin juga tidak terkait dengan produk fisik atau sebaliknya. Menurut Griffin (1996) di dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009:6) menyebutkan karakteristik jasa sebagai berikut: 1) Tidak berwujud (intangibility). Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. Nilai penting dari hal ini adalah nilai tak berwujud yang dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan, kepuasan dan kenyamanan. 2) Tidak dapat disimpan (unstorability). Jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dari produk yang telah dihasilkan. Karakteristik ini disebut juga tidak dapat dipisahkan (inseparability), mengingat pada umunya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. 19 3) Kustomisasi (customization). Jasa sering kali didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. 2.1.7 Pentingnya Kualitas Layanan Jasa Menurut Lupiyoadi dan Hamdani (2009:168) menjadi organisasi yang fokus pada konsumen adalah pilihan strategi bagi industri dan dunia usaha agar mampu bertahan di tengah situasi lingkungan ekonomi yang memperlihatkan kecenderungan fluktuasi curam, perubahan demi perubahan, persaingan tinggi, dan semakin canggihnya kualitas hidup. Salah satu cara adalah dengan menciptakan kepuasan pelanggan melalui peningkatan kualitas, karena pelanggan adalah fokus utama ketika kita mengungkap tentang kepuasan dan kualitas jasa. Persoalan kualitas sudah menjadi “harga yang harus dibayar” oleh perusahaan agar tetap dapat bertahan dalam bisnisnya. 2.1.8 Analisis Kesenjangan Kualitas Layanan Jasa Menurut Lupiyoadi dan Hamdani (2009:184) terdapat lima kesenjangan (gap) yang menyebabkan adanya perbedaan persepsi mengenai kualitas jasa adalah sebagai berikut : 1) Kesenjangan persepsi manajemen. Yaitu adanya perbedaan antara penilaian pelayanan menurut pengguna jasa dan persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa. Kesenjangan ini terjadi karena kurangnya orientasi penelitian pemasaran, pemanfaantan yang tidak memadai atas temeuan penelitian, kurangnya interaksi antara pihak manajemen 20 2) Kesenjangan spesifikasi kualitas. Yaitu kesenjangan antara persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa dan spesifikasi kualitas. Kesenjangan terjadi antara lain karena tidak memadainya komitmen manajemen dengan kualitas jasa, persepsi mengenai ketidaklayakan, tidak memadainya standardisasi tugas, dan tidak adanya penyusunan tujuan. 3) Kesenjangan penyampaian jasa. Yaitu kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa. Kesenjangan ini terutama disebabkan oleh faktorfaktor: (1) ambiguitas peran; (2) konflik peran; (3) kesesuaian karyawan dengan tugas yang harus dikerjakannya; (4) kesesuaian teknologi yang digunakan oleh karyawan; (5) imbalan; (6) kontrol yang diterima; (7) kerja tim. 4) Kesenjangan komunikasi pemasaran. Yaitu kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Harapan pelanggan mengenai kualitas jasa dihubungani oleh pernyataan yang dibuat oleh perusahaan melalui komunikasi pemasaran. Kesenjangan ini terjadi karena (1) tidak memadainya komunikasi horizontal, dan (2) adanya kecenderungan memberikan janji yang berlebihan. Dalam hal ini komunikasi ekternal telah mendistorsi harapan pelanggan. 5) Kesenjangan dalam pelayanan yang dirasakan. Yaitu perbedaan persepsi antara jasa yang dirasakan dan yang diharapkan oleh pelanggan. Jika keduanya terbukti sama, maka perusahaan akan memperoleh citra dan dampak positif. Namun bila yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kesenjangan ini akan menimbulkan permasalahan bagi perusahaan. 21 2.1.9 Perilaku Mengeluh Menurut Sunarto (2003:253) Perilaku keluhan konsumen adalah istilah yang mencangkup semua tindakan konsumen yang berbeda bila mereka merasa tidak puas dengan suatu pembelian. Menurut Mowen dan Minor (2002:101) perilaku keluhan konsumen (consumer complaint behavior) adalah istilah yang mencakup semua tindakan konsumen yang berbeda bila mereka merasa tidak puas dengan suatu pembelian. Menurut Suprapti (2010:289) mengemukakan perilaku pengaduan konsumen (consumer complaint behavior) meliputi semua tindakan konsumen yang dilakukan sebagai akibat ketidakpuasannya dengan pembelian. Para peneliti mengidentifikasi beberapa perilaku berikut yang biasa dilakukan konsumen bila merasa tidak puas. 1) Tidak melakukan tindakan apapun dan melupakan kejadian yang dialami. 2) Mendatangi pengecer untuk mengemukakan keluhan dan meminta agar mengatasi masalah yang terjadi. 3) Tidak lagi menggunakan produk itu dan memhubungani pihak lain (teman, kenalan, atau anggota keluarga lainnya) agar melakukan tindakan yang sama. 4) Melakukan tindakan yang melibatkan pihak ke tiga (misalnya mengadu kepada lembaga konsumen atau lembaga independen lainnya, menulis surat di kolom pembaca, atau mengambil tindakan hukum). 5) Melakukan boikot dengan perusahaan atau organisasi. 6) Menciptakan suatu organisasi alternatif yang menghasilkan barang atau jasa yang sama. 22 Konsumen melakukan pengaduan untuk memperoleh ganti atas kerugian ekonomis yang dialaminya. Misalnya untuk mendapatkan produk pengganti atau memperoleh pengembalian uang yang telah dikeluarkannya. Selain itu, pengaduan juga dilakukan untuk membangun kembali citra dirinya. Dalam beberapa kasus, pembelian dengan suatu produk dikaitkan dengan citra diri pembeli sehingga bila suatu produk memiliki kinerja yang buruk, seseorang merasa citra dirinya menurun. Untuk mengembalikan citra dirinya itu, konsumen mungkin menggunakan cara-cara seperti menyampaikan informasi getok tular yang negatif, berhenti membeli merek tersebut, mengadu kepada lembaga konsumen, atau melakukan tindakan hukum. Menurut Kotler dan Keller (2009:143) mengingat besarnya dampak buruk dari pelanggan yang tidak puas, penting bagi pemasar untuk menangani pengalaman negatif dengan tepat. Diluar itu, prosedur berikut dapat membantu memulihkan itikad baik pelanggan: 1) Membuka “hotline” gratis 7 hari, 24 jam (lewat telepon, faks, atau e-mail) untuk menerima dan menindak lanjuti keluhan pelanggan. 2) Menghubungi pelanggan yang menyampaikan keluhan secepat mungkin. Semakin lambat respons perusahaan, semakin besarlah ketidakpuasaan yang akan menimbulkan berita negatif. 3) Menerima tanggung jawab atas kekecewaan pelanggan; jangan menyalahkan pelanggan 4) Memperkerjakan orang layanan pelanggan yang memiliki empati 23 5) Menyelesaikan keluhan dengan cepat dan mengusahakan kepuasan pelanggan. Sebagian pelanggan yang menyampaikan keluhan sesungguhnya tidak meminta kompensasi yang besar sebagai tanda bahwa perusahaan peduli. 2.1.10 Faktor -faktor yang Mempengaruhi Keluhan Konsumen Sejumlah faktor yang mempengaruhi apakah konsumen mengeluh atau tidak telah diidentifikasi. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, salah satu diantaranya adalah jenis produk atau jasa yang terlibat. Faktor-faktor lainya adalah biaya dan arti sosial produk. Beberapa penulis menyatakan bahwa kemungkinan perilaku keluhan meningkat bila: 1) Tingkat ketidakpuasan meningkat 2) Sikap konsumen untuk mengeluh meningkat 3) Jumlah manfaat yang diperoleh dari sikap mengeluh meningkat. 4) Perusahaan disalahkan atas suatu masalah 5) Produk tersebut penting bagi konsumen 6) Sumber-sumber yang tersedia bagi konsumen mengeluh meningkat. 2.1.11 Keluhan dan Perilaku Keluar Menurut Sunarto (2003:258) perilaku keluar (exit behaviour) mengacu pada pilihan konsumen untuk meninggalkan hubungan atau menurunkan tingkat konsumsi barang atau jasa. Para peneliti yang menyelidiki perilaku mendapatkan bahwa konsumen yang mengeluh lebih mungkin meningkalkan hubungan dan lebih mungkin mengurangi tingkat konsumsi barang atau jasa. Selain itu, ditemukan juga bahwa jika tingkat ketidakpuasan meningkat maka kemungkinan mengeluh juga akan meningkat. 24 2.1.12 Karakteristik Demografi Demografi menjelaskan karakteristik suatu populasi dan dikelompokan ke dalam karakteristik yang sama. Artinya suatu kelompok masyarakat yang mempunyai karakteristik yang sama akan dikelompokan ke dalam suatu kelompok tertentu. Variabel yang termasuk ke dalam demografi adalah Usia, jenis kelamin, pendapatan, pekerjaan dan tingkat pendidikan (Sutisna dan Teddy Pawitra, 2001:234). Menurut Kotler & Keller (2009:99) menyatakan populasi usia dapat dipecah lagi menjadi enam kelompok umur: 1) Prasekolah 2) Anak usia sekolah 3) Remaja 4) Dewasa muda berumur 25 sampai 40 tahun 5) Dewasa paruh baya 40 sampai 65 tahun, dan 6) Manula berumur 65 tahun atau lebih. Kotler dan Armstrong (2001:101) berpendapat demogafi adalah ilmu tentang populasi manusia dalam hal ukuran, kepadatan, lokasi, umur, jenis kelamin, ras, mata pencaharian, dan statistik lainnya. Memahami usia konsumen adalah penting, karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda. Perbedaan usai juga mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan dengan merek (Sumarwan, 2004:198). Menurut Sumarwan (2004:198) pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis 25 pekerjaan yang dilakukan oleh seorang konsumen. Tingkat pendidikan seorang juga akan mempengaruhi nillai-nilai yang dianutnya, cara berpikir bahkan persepsinya dengan suatu masalah. Pendapatan adalah sumber daya material yang sangat penting bagi konsumen. Karena dengan pendapatan itulah, konsumen bias membiayai kegiatan konsumsinya. Jumlah pendapatan akan menggambarkan besarnya daya beli dari seorang konsumen. Daya beli akan menggambarkan banyaknya produk dan jasa yang bisa dibeli dan dikonsumsi oleh seorang konsumen dan seluruh anggota keluarganya (Sumarwan, 2004:204). 2.1.13 Ketidakpuasan Konsumen Kepuasan atau ketidakpuasan konsumen adalah the expectancy disconfirmation model, yang mengemukakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan konsumen merupakan dampak dari perbandingan antara harapan konsumen sebelum pembelian dengan yang sesungguhnya diperoleh konsumen dari produk yang dibeli tersebut (Sumarwan, 2004:322). Jika kinerja berada dibawah harapan, maka pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, maka pelanggan puas. Kepuasan konsumen didefinisikan sebagai sikap yang ditunjukkan oleh konsumen terhadap pembelian barang dan jasa setelah memperoleh dan menggunakanya (Sunarto, 2003:241). Beberapa studi sebelumnya telah menyatakan bahwa ketidakpuasan mungkin tidak selalu menghasilkan perilaku mengeluh, dan bahkan konsumen puas mungkin masih mengeluh, terutama bila konsumen tersebut menganggap mengeluh bermanfaat bagi penyedia layanan (Nimako, 2012). Pelanggan yang merasa puas maka dia akan 26 menunjukkan besarnya pembelian terhadap produk yang telah dibeli sebelumnya. Pelanggan yang puas juga cenderung akan memberikan referensi yang baik terhadap produk kepada orang lain (Hamdani, 2008:194). Konsumen yang tidak puas dapat melakukan tindakan pengembalian produk, atau bahkan secara ekstrim dapat mengajukan gugatan terhadap perusahaan melalui seorang pengacara. Hal itu harus dapat di antisipasi sebelum mengeluarkan produk dari perusahaan, karena konsumen yang tidak puas akan merusak citra perusahaan. Perusahaan harus memiliki cara untuk meminimalkan jumlah pelanggan yang tidak puas setelah proses pembelian terjadi (Hamdani, 2008:194). Perasaan yang tidaki puas akann menyebabkan konsumen kecewa dan menghentikan pembelian kembali dan konsumsi produk tersebut (Sumarwan, 2004:321). Menurut Shimp (2003) pada dasarnya kepuasan konsumen mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang diharapkan. Penilaian terhadap kepuasan konsumen dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1) Positive disconfirmation, dimana hasil yang diterima lebih baik dari yang diharapkan. 2) Simple confirmation, dimana hasil yang diterima sama dengan hasil yang diharapkan 3) Negative disconfirmation, dimana hasil yang diterima lebih buruk dari hasil yang diharapkan. 27 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Karakteristik Konsumen demografi dengan Perilaku Mengeluh Karakteristik demografi meliputi dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pendapatan. Usia menentukan kesiapan seseorang untuk melakukan keluhan ketika harapan orang tersebut terhadap produk atau jasa tidak sesuai. Penelitian yang dilakukan Phau dan Baird (2008) hasil penelitiannya menunjukan ada hubungan positif antara usia dengan perilaku mengeluh konsumen (p = 0,013). Terutama responden yang berusia 40 tahun keatas, berpotensi memiliki banyak waktu dari pada responden yang lebih muda usianya. Responden yang berusia lebih tua lebih bersedia untuk mengeluarkan waktu dan usaha yang terlibat dalam membuat keluhan. Oleh karena itu, faktor demografi seperti umur benar-benar memainkan peran penting dalam perilaku mengeluh konsumen. Jenis kelamin merupakan perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apa bila dilihat dari nilai dan tingkah lakunya. Bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Asmarany (2013) mengemukakan temuan demografi menunjukkan perempuan lebih mungkin untuk melakukan keluhan dan mengadu kepada pihak ketiga. Ruslan (2013) yang menunjukan bahwa terdapat hubungan antara faktor demografi terhadap perilaku complain pelanggan dan menggungkapkan wanita lebih cenderung komplain dibandingkan dengan pria. Tingkat pendidikan merupakan suatu kondisi jenjang pendidikan yang dimiliki oleh seseorang melalui pendidikan formal yang dipakai oleh pemerintah serta 28 disahkan oleh departemen pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Ngai et al. (2007) menunjukan bahwa ditemukan hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan responden dengan perilaku mengeluh konsumen. Responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk tidak melibatkan diri dalam perilaku mengeluh konsumen. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Phau dan Baird (2008) yang menunjukan bahwa kategori tertinggi tingkat pendidikan responden mengeluh adalah "lainnya"dengan 64,7 persen, sedangkan yang terendah adalah "Gelar Sarjana atau lebih tinggi" dengan hanya 38,5 persen. Kesimpulannya responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung tidak melakukan perilaku mengeluh. Pendapatan merupakan balas jasa ataupun penghargaan yang diberikan secara teratur kepada seorang pegawai atas jasa dan hasil kerjanya. Penelitian yang dilakukan oleh Yulianti dan Anzola (2009) yang menunjukan bahwa seseorang yang mempunyai pendapatan lebih dari Rp 4 juta per bulan lebih sering melakukan perilaku mengeluh. Menurut penelitian Phau dan Baird (2008) yang menunjukan bahwa tidak memiliki hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan perilaku mengeluh konsumen. Penelitian yang dilakukan Phau dan Sari (2004) yang menyatakan bahwa dari empat variabel demografi, tiga variabel seperti usia, pendapatan dan tingkat pendidikan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan perilaku mengeluh konsumen. 29 H1: Karakteristik demografi berpengaruh signifikan dengan perilaku mengeluh konsumen pada layanan jasa bengkel service sepeda motor Yamaha Diponegoro Denpasar. 2.2.2 Pengaruh Ketidakpuasan terhadap Perilaku Mengeluh Konsumen Huppertz (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa ketidakpuasan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku mengeluh. Penelitian yang dilakukan oleh Fernandes dan Santos (2008) memperoleh hasil bahwa tingkat ketidakpuasan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku mengeluh. Penelitian yang dilakukan oleh Nimako (2012) memperoleh hasil bahwa ketidakpuasan sebelumnya dapat berpengaruh negatif terhadap perilaku mengeluh konsumen. H2: Ketidakpuasan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku mengeluh konsumen pada layanan jasa bengkel service sepeda motor Yamaha Diponegoro Denpasar. 30