BAB III PEMBANGUNAN HUKUM A. UMUM Menjelang pelaksanaan tahun terakhir dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) melalui Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) 2004, sangat penting sekali untuk mendasarkan prioritas pembangunan hukum berdasarkan pencapaian yang telah dilakukan oleh penyelenggara negara khususnya Lembaga Mahkamah Agung; Lembaga Kejaksaan Agung; Lembaga Kepolisian; dan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia bersama-sama dengan masyarakat melalui 4 (empat) program dalam Propenas yaitu Pembentukan Peraturan Perundangundangan; Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya; Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan; Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum. Secara formal pencapaian dari 4 (empat) program tersebut telah disampaikan oleh masing-masing lembaga pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian, setelah memasuki tahun keempat pelaksanaan Propenas, seharusnya masyarakat harus dapat merasakan adanya perbaikan atau perubahan yang lebih baik dari pelaksanaan pembangunan hukum. Tahun 2004 yang merupakan tahun terakhir dari pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2000 pada dasarnya ditujukan untuk memantapkan upaya-upaya mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang Baik. Sebagaimana ditetapkan dalam Propenas, tujuan dalam Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Propenas yaitu untuk mendukung upaya-upaya dalam rangka mewujudkan supremasi hukum terutama penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan telah berjalannya pelaksanaan Propenas selama 4 (empat) tahun seharusnya berbagai peraturan perundang-undangan warisan kolonial semakin berkurang melalui perubahan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang lebih berkualitas melalui peranan masyarakat yang semakin besar untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan melalui konsultasi publik yang luas dengan proses yang transparan dan akuntabel. Upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka pencapaian Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, antara lain menghasilkan draft RUU Kejaksaan yang akan merubah UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan; perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang sampai dengan saat ini masih dalam proses; penelitian tentang Hak Uji Material, penelitian tentang Hak Asasi Manusia dan penelitian tentang Class Action telah dituangkan ke dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2001, tentang permohonan kasasi perkara perdata yang tidak memenuhi persyaratan formal. III – 1 Tujuan dalam Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya adalah untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap peran dan citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan, Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai bagian dari upaya mewujudkan supremasi hukum dengan dukungan hakim dan aparat penegak hukum lainnya yang profesional, berintegritas dan bermoral tinggi. Dengan tujuan tersebut seharusnya selama 4 (empat) tahun pelaksanaan Propenas secara berangsur telah dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap peran dan citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya serta terciptanya hakim dan penegak hukum yang lebih profesional, berintegritas dan bermoral tinggi. Pencapaian kinerja dari Program ini terutama sebagai implikasi otonomi daerah di lingkungan Kejaksaan Agung adalah meningkatkan fungsi dari status Cabjari menjadi Kejari, penataan jabatan di internal Kejaksaan, penyempurnaan sistem rekruitmen dan pendidikan calon Jaksa, peningkatan integritas dan profesionalisme Jaksa melalui pelaksanaan Diklat, pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan tugas Kejaksaan. Selain itu, dalam rangka pelaksanaan reformasi Kejaksaan, telah dibentuk rencana kegiatan Kejaksaan melalui forum Pertemuan Pejabat Tinggi Hukum (Law Summit II), untuk mempercapat reformasi hokum khususnya di lingkungan Kejaksaan. Upaya penyelesaian tunggakan perkara kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung dilakukan dengan kegiatan crash program yaitu dengan telah diselesaikannya sebanyak 5.000 perkara dari 10.000 perkara yang ada pada tahun 2001. Sedangkan dari pihak Kepolisian pada kurun waktu tahun 2002 pada kasus narkoba telah diselesaikan 7163 kasus dari 7174 kasus yang ada, kasus illegal logging diselesaikan sebanyak 910 kasus dari 947 kasus dan kasus korupsi diselesaikan 35 kasus dari 137 kasus yang ada. Pada Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Pelanggaran Hak Asasi Manusia, tujuan untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Dengan demikian setelah pelaksanaan Propenas selama 4 (empat) tahun, seharusnya masyarakat sudah dapat melihat dan merasakan perubahan-perubahan berupa antara lain penjatuhan hukuman yang tegas terhadap tersangka pelaku korupsi dan pelanggar HAM tanpa pandang bulu dan bebas dari intervensi pihak manapun. Selain itu seharusnya dapat diperlihatkan kepada masyarakat pengembalian jumlah uang rakyat yang dikorupsi dan hanya digunakan untuk kepentingan pribadi untuk kemudian penggunaannya secara transparan dan akuntabel digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Secara umum prosentase penanganan/ penyelesaian kasus/perkara di lingkungan Kejaksaan mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitasnya. Dalam penanganan/penyelesaian perkara tindak pidana khusus, termasuk perkara korupsi telah berhasil diselesaikan 4.809 perkara dari 5.320 perkara di tahun 2001 dan penyelesaian 1.206 perkara dari 3.569 kasus pada tahun 2002. Dari sejumlah perkara korupsi yang telah diselesaikan diatas, pada tahun 2001 kerugian Negara yang berhasil diselamatkan adalah sejumlah Rp1.197.591.834.213,38 dari keseluruhan Rp35.015.987.284.497,37 dan US$ 52.216.135.845. Sedangkan untuk tahun 2002 kerugian Negara yang berhasil diselamatkan adalah sejumlah Rp286.249.425 dari Rp938.275.086.681. Rendahnya kerugian Negara yang berhasil diselamatkan antara lain karena penyusutan terhadap nilai barang bukti atau uang hasil barang bukti kejahatan sudah habis dan sebagainya; selain itu karena pelaku tindak pidana korupsi cukup cerdik III – 2 menyembunyikan hasil kejahatan korupsi melalui pencucian uang, pemindahan rekening melalui nama orang lain, dan melarikan dana ke luar negeri; dan yang juga menjadi penghambat upaya pengembalian kerugian negara akibat kejahatan korupsi adalah hambatan-hambatan procedural seperti pelaksanaan ijin atasan, pemeriksaan atau pemblokiran rekening bank, menon-aktifkan dari jabatan selama pemeriksaan dan surat keterangan sakit yang sangat mudah digunakan untuk menghindari pemeriksaan; belum siterapkannya secara efektif pelaksanaan pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 37, 37A dan pasal 38 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi; dan penerapan lembaga paksa badan (gijzeling) terhadap debitor non-kooperatif yang sampai dengan saat ini masih menunggu persetujuan Keppres dari Presiden. Khusus untuk perkara BLBI kurun waktu 20012002, dari 52 kasus yang masuk, 22 perkara telah diajukan ke pengadilan dan sisanya masih dalam proses penyidikan, dengan jumlah kerugian negara yang berhasil diselamatkan adalah Rp2.399.140.592.877,07. Sedangkan untuk perkara pelanggaran Ham yang diterima oleh Kejaksaan pada tahun 2002 adalah sebanyak 12 perkara dan yang telah diajukan ke pengadilan dan selesai juga sebanyak 12 perkara, yang diantaranya masih dalam proses persidangan dan upaya hukum banding. Di lingkungan lembaga Kepolisian RI dalam penanganan perkara kasus korupsi untuk pelaksanaan tahun 2002, dari 137 kasus yang masuk, 35 kasus diantaranya telah selesai ditangani oleh pihak Kepolisian. Di lingkungan Mahkamah Agung antara lain telah diselesaikan perkara Pidana Khusus KKN dan HAM sebanyak 80 kasus serta menginventarisir perkara pidana khusus KKN dan HAM di Mahkamah Agung sebanyak 80 kasus serta invetarisasi kasus HAM ke daerah Medan, Ujung Pandang dan Kupang pada tahun 2002. Di lingkungan Departemen Kehakiman dan HAM telah dilakukan antara lain penyiapan amandemen UU tentang Pemasyarakatan (PAS). Tujuan dari Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum adalah untuk meningkatkan kembali kesadaran dan kepatuhan hukum baik bagi masyarakat maupun aparat penyelenggara negara secara keseluruhan dan meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap peran dan fungsi aparat penegak hukum yang diharapkan akan menciptakan budaya hukum yang baik di semua lapisan masyarakat. Dengan demikian seharusnya selama 4 (empat) tahun pelaksanaan Propenas, telah dapat dirasakan tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat dan aparat penyelenggara negara yang lebih baik dan semakin meminimalisir tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penyelenggara negara. Pencapaian tujuan dari 4 (empat) Program dalam Pembangunan Hukum sebagaimana tertuang dalam Propenas mempunyai implikasi yang luas terhadap keberhasilan bidang-bidang pembangunan lainnya seperti bidang ekonomi, social, pertahanan keamanan dan lain-lain. Karena pembangunan hukum merupakan landasan dasar bagi pelaksanaan penyelenggara negara dalam arti luas. Dengan demikian, tidak tercapainya berbagai tujuan dalam pembangunan hukum secara optimal, secara tidak langsung akan mengakibatkan terhambatnya pencapaian tujuan berbagai bidang pembangunan lainnya. Dalam pelaksanaannya, harus dihadapi kenyataan bahwa tujuan-tujuan sebagaimana tertuang dalam Propenas Bab Pembangunan Hukum masih belum dapat terpenuhi karena berbagai kendala dan hambatan baik dari sisi landasan hukum dan kelembagaan; sumber daya manusia; dan moral serta integritas penyelenggara negara III – 3 khususnya penyelenggara negara di bidang hukum. Hal tersebut mengakibatkan terbentuknya opini dalam masyarakat bahwa reformasi hukum di Indonesia baru sebatas retorika. Kondisi tersebut sebenarnya sangat memprihatinkan, karena terciptanya penegakan hukum yang konsisten dan adil sangat berpengaruh kepada upaya-upaya memberantas tindak pidana korupsi yang konsisten dan independen. Penyebab utama terhambatnya pencapaian pelaksanaan Program Pembangunan Nasional di bidang pembangunan hukum adalah semakin maraknya dan menyebarnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tubuh penyelenggara negara. Hasil temuan Badan Pengawas Keuangan (BPK) mengindikasikan bahwa masih sangat banyak terjadinya praktik-praktik KKN dalam pengelolaan negara oleh pemerintah, terutamanya pengelolaan terhadap keuangan negara yang dimuat dalam APBN dan APBD yang sampai dengan Semester II Tahun 2002 terdapat penyimpangan dalam pengelolaan pendapatan belanja dan kekayaan negara sebesar Rp69,3 triliun, antara lain ditemukan dalam pengelolaan pendapatan dalam negeri yang rata-rata mencapai 23 persen atau senilai Rp967,587 miliar; dalam pengelolaan APBN, APBD, dan BUMN/BUMD penyimpangan terjadi sebanyak 271 kasus senilai Rp14,405 miliar dan 420 dolar AS. Terjadinya praktik KKN yang sedemikian luasnya dalam tubuh penyelenggara negara sebagaimana digambarkan dari hasil temuan BPK tersebut dalam kenyataannya menjadi salah satu penyebab terpuruknya ekonomi di Indonesia yang sampai dengan saat ini masih belum dapat keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dari sisi landasan hukum dan kelembagaan, permasalahan utama dalam rangka penuntasan KKN adalah antara lain belum terselesaikannya perubahan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sampai dengan saat ini menjadi pedoman bagi Lembaga Kejaksaan, Lembaga Kepolisian, dan Lembaga Peradilan masih menimbulkan multi-interpretasi kewenangan antara lembaga Kejaksaan dan Lembaga Kepolisian dalam rangka penyidikan, sehingga menghambat upaya pemberantasan KKN itu sendiri. Terkait dengan permasalahan kewenangan, kondisi yang semakin berkembang adalah dengan diundangkannya UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KKTPK) yang mempunyai kewenangan sedemikian luasnya kepada KKTPK antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang saat ini juga menjadi kewenangan dari lembaga Kejaksaan dan lembaga Kepolisian. Ketidakjelasan pengaturan mengenai kewenangan tersebut akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan dapat menjadi lahan KKN apabila tidak segera ditindaklanjuti penyelesaiannya. Kendala lain adalah terkait dengan pengangkatan anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 sudah harus efektif pada akhir tahun 2003 dan sampai dengan saat ini menunggu persetujuan dari Presiden mengenai Keppres tentang Pembentukan Tim Seleksi Anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu upaya percepatan peralihan satu atap yang seharusnya sesegera mungkin dilakukan masih terkendala terutama pengalihan kewenangan Departemen Kehakiman dan HAM dan Mahkamah Agung dalam proses peralihan di bidang pembinaan, organisasi dan finansial lembaga peradilan. Belum selesainya persiapanpersiapan tersebut antara lain terkait dengan alternatif pelaksanaan peralihan secara bertahap atau secara sekaligus sambil menunggu perubahan UU di lingkungan III – 4 peradilan yang sampai dengan saat ini masih dalam pembahasan di DPR. Di samping itu koordinasi intensif juga dilakukan antara Departemen Kehakiman dan HAM dengan Mahkamah Agung untuk mengatisipasi pelaksanaan UU Nomor 35 Tahun 1999. Proses peralihan tersebut penting sekali dipercepat upaya peralihannya, agar Mahkamah Agung benar-benar dapat memfokuskan tugasnya pada upaya membina lembaga peradilan secara keseluruhan terlepas dari pengaruh pihak manapun. Hal tersebut juga merupakan salah satu upaya untuk memberikan posisi yang kuat kepada lembaga peradilan untuk benar-benar mandiri dalam memberikan putusannya tanpa diintervensi oleh pihak manapun, terutama dalam menangani berbagai perkara korupsi. Kondisi lain yang juga berkembang adalah dibentuknya Mahkamah Syariah pada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang memperluas kewenangan Peradilan Agama pada 3 (tiga) bidang yaitu: (1) al-Ahwal al-Syakhshiyah; (2) muamalat; dan (3) Jinayat. Perluasan kewenangan tersebut menjadi terkendala karena hukum beracaranya yang belum sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terutama dalam kaitannya dengan fungsi penyelidikan dan penyidikan yang akan dilakukan oleh lembaga Kejaksaan dan Lembaga Kepolisian di NAD. Di samping itu masih belum dipahaminya landasan hukum tentang Mahkamah Syariah yang secara umum telah ditetapkan dengan UU No. 18 Tahun 1999 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darusalam dan secara detail telah ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dan Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam. Juga menjadi permasalahan tersendiri terutama dikaitkan dengan landasan hukum dari Qanun itu sendiri. Kondisi tersebut dalam pelaksanaannya menjadi perhatian dan prioritas utama agar ketentraman, ketertiban dan keejahteraan di Aceh dapat sesegera mungkin dicapai. Dalam pelaksanaannya upaya mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi juga masih terkendala dengan pelaksanaan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana pelaku tindak pidana korupsi banyak yang melakukan praktik pencucian uang. Walaupun sudah dibentuk lembaga PPATK namun dalam pelaksanaannya lembaga tersebut belum optimal, karena masih terdapat pasal-pasal dalam UU tersebut yang tidak sesuai dengan ketentuan internasional. Kendala lain dari sisi landasan hukum yang mempunyai implikasi besar terhadap tegaknya peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah belum adanya perlindungan pada saksi dan korban khususnya dalam perkara korupsi, sehingga saksi atau korban yang melaporkan tindak pidana korupsi tidak dilindungi secara hukum. Kondisi tersebut mengakibatkan enggannya pihak yang mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana korupsi dikalangan penyelenggara negara namun karena tidak adanya jaminan perlindungan yang kuat, dan lebih memilih bersikap diam dan tidak melakukan apaapa. Lemahnya upaya-upaya untuk memperbaiki kinerja dan profesionalisme birokrasi dan lemahnya pengawasan yang dilakukan, baik itu pengawasan yang bersifat eksteren maupun interen juga masih menjadi salah satu persoalan yang III – 5 menghambat upaya penuntasan KKN dan penegakan hukum. Selain itu juga tidak kondusifnya proses birokrasi terutama terhadap prosedur birokrasi yang berbelitbelit dan tidak jelas dalam pelaksanaan pelayanan publik. Kondisi tersebut secara nyata telah mendatangkan kerugian bagi rakyat dan negara pada umumnya khususnya terhadap perekonomian negara, karena merupakan salah satu sumber terjadi praktik KKN. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sampai sekarang belum terselesaikan juga disebabkan antara lain karena lemahnya sumber daya manusia untuk mendukung penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Harus dihadapi adanya kenyataan bahwa kualitas sumber daya manusia pada lembaga Kejaksaan dan lembaga Kepolisian serta Lembaga Peradilan masih perlu ditingkatkan secara terus menerus. Perkembangan kejahatan yang semakin mengglobal tidak serta merta diikuti dengan peningkatan pengetahuan dan wawasan yang cukup dari aparat penegak hukum. Kondisi tersebut mengakibatkan kinerja aparat penegak hukum tidak dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat luas, karena kualitas keputusan yang dikeluarkan kurang didukung oleh pengetahuan yang cukup terhadap perkembangan yang ada. Selain itu juga muncul ego sektoral dari masing-masing aparat penegak hukum yang akan menghambat penegak hukum secara luas. Belum memadainya moral dan integritas aparat penegak hukum dan hakim juga mempunyai andil yang sangat besar terhadap proses penanggulangan dan penuntasan perkara tindak pidana korupsi. Berbagai upaya dalam bentuk rencana yang konkrit pada dasarnya telah dibuat dan disepakati oleh Pimpinan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya untuk mempercepat pembaruan hukum dan peradilan termasuk upaya untuk mempercepat pemberantasan KKN. Namun kesemua hal tersebut akan sulit dilakukan apabila tidak didukung oleh kemauan politik (political will), baik legislatif, eksekutif maupun judikatif yang besar. Begitu luasnya permasalahan, hambatan dan kendala khususnya dalam rangka penuntasan pemberantasan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum yang masih dihadapi sampai dengan tahun 2003, maka pada Rencana Pembangunan Tahun (Repeta) 2004 upaya tersebut akan dipercepat kelanjutannya dengan tetap mengacu kepada UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas serta berdasarkan pencapaian kegiatan pembangunan hukum yang telah dilakukan pada tiga tahun sebelumnya melalui pelaksanaan 4 (empat) program pembangunan hukum dalam Propenas. Mengingat implikasi yang luas dari terjadinya perkara KKN, pada tahun 2004 berbagai kegiatan akan ditujukan untuk mendukung pencapaian prioritas utama yaitu penuntasan pemberantasan KKN dan penegakan hukum. B. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Sejalan dengan prioritas yang ditetapkan, yaitu penuntasan pemberantasan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum, pada tahun 2004 kegiatan pokok program ini diprioritaskan kepada (a) mempercepat penyelesaian pembahasan III – 6 perubahan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; (b) mempercepat pembentukan Undang-undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan yang partisipatif; (c) mempercepat penetapan pedoman mekanisme konsultasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; (d) pemantapan proses penyusunan dan kualitas baik Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah (Prolegda) melalui peningkatan frekuensi pertemuan koordinasi secara berkala antara departemen/lpnd, BPHN dan Badan Legislasi DPR; (e) memantapkan peran Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (SJDIH); (f) melakukan kerjasama antar-instansi, lembaga penelitian hukum, perguruan tinggi negeri dan swasta di pusat dan daerah dalam rangka penyusunan perundang-undangan; (g) meningkatkan kualitas dan profesionalitas perancang peraturan perundang-undangan baik dalam penguasaan teknis, bahasa Indonesia dan bahasa perundang-undangan maupun penguasaan substansi. 2. Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya Untuk mempercepat pencapaian dalam prioritas yang telah ditetapkan yaitu penuntasan pemberantasan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum, program ini pada tahun 2004, akan memprioritaskan pada kegiatan pokok berupa: (a) mempercepat proses beroperasinya Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam dengan menyediakan dan melengkapi sarana dan prasarana serta peraturan perundangannya; (b) melanjutkan percepatan penyelesaian jumlah tunggakan perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, (c) mempercepat proses peralihan satu atap dari Departemen Kehakiman dan HAM kepada Mahkamah Agung; (d) mewujudkan sistem rekrutmen dan promosi hakim dan tenaga teknis lainnya yang lebih transparan, partisipatif, ketat, objektif, akuntabel, dan tidak diskriminatif, (e) mewujudkan sistem manajemen administrasi dan organisasi peradilan yang lebih transparan dalam mendukung proses peradilan cepat, tepat dan biaya murah, (f) menyempurnakan sistem informasi peradilan dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas peradilan, (g) mewujudkan organisasi Mahkamah Agung yang baru sesuai dengan pokok dan fungsi Mahkamah Agung, (h) mewujudkan organisasi Badan-badan Peradilan sesuai dengan UU Badan-Badan Peradilan yang telah di amandemen; (i) mewujudkan sistem mutasi bagi tenaga Hakim yang lebih obyektif, transparan dan terbuka; (j) meningkatkan jumlah hakim yang berkualitas dan profesional dibidangnya masingmasing melalui penyelenggaran pendidikan; pelatihan fungsional; pelatihan teknis dan non teknis bagi hakim dan aparat penegak hukum serta aparatur hukum lainnya terutama untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pada bidang-bidang yang dapat mendukung upaya penuntasan dan pemberantasan KKN dan Penegakan hukum;(l) pengarusutamaan gender bagi hakim dan aparat penegak hukum serta aparatur hukum lainnya, (m) meningkatkan pelayanan dan bantuan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu, (n) meningkatkan pengawasan terhadap lalu lintas orang asing di Indonesia, (o) meningkatkan penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan Keimigrasian, (p) meningkatkan pembinaan pelayanan di bidang Administrasi Hukum Umum; Keimigrasian; Pemasyarakatan; Hak Kekayaan Intelektual dan Peradilan, (q) meningkatkan pembinaan terhadap narapidana dan bimbingan klien, (r) meningkatkan pembimbingan dan pelayanan terhadap tahanan, III – 7 (s) meningkatkan profesionalisme SDM baik di bidang teknis peradilan maupun yang terkait dengan menajemen personel, (t) penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk menunjang tugas-tugas operasional berupa pembangunan dan perluasan gedung. 3. Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam tahun 2004, program ini akan melakukan kegiatan pokok untuk (a) meningkatkan koordinasi antar aparat penegak hukum dalam rangka penyelesaian berbagai kasus KKN dan HAM, (b) melakukan penelitian dan pengkajian dalam rangka pengembangan dan peningkatan kesadaran terhadap penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemajuan Ham di bidang hak-hak sipil, politik, ekonomi, social budaya dan hak perempuan serta hak anak (c) melakukan koordinasi dalam pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM, (d) meningkatkan dukungan sarana dan prasarana untuk mendukung tercapainya pelaksanaan penuntasan kasus KKN serta pelanggaran HAM, (e) mengupayakan dan mengoptimalkan penanganan dan penyelesaian kasus KKN dan pelanggaran HAM sesuai dengan prosedur agar tersangka dapat dikenakan tindakan hukum (f) mempercepat proses pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam rangka pelaksanaan UU No. 30 tahun 2002. 4. Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum Untuk mendukung pencapaian prioritas yang telah ditetapkan yaitu penuntasan pemberantasan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum, pada tahun 2004 kegiatan pokok yang akan dilakukan meliputi: (a) meningkatkan kegiatan penyadaran hukum baik terhadap aparat penegak hukum, aparatur hukum maupun masyarakat, (b) melakukan kajian terhadap metode dan system penyadaran hukum yang lebih tepat sasaran, (c) melakukan penyebarluasan berbagai materi hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM dan berbagai konvensi internasional melalui media elektronik dan media lainnya, (d) melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan KKN dan HAM bagi aparat penegak hukum, (e) meningkatkan dukungan sarana dan prasarana untuk mendukung upaya peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum, (f) melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan penyuluhan dan penerangan hukum untuk penyempurnaan sebagai bahan penyusunan perencanaan tahun yang akan datang, (g) Sosialisasi mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam proses penegakkan hukum dan perundangundangan. III – 8