I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian dari Center for lnternational Forestry Research (CIFOR, 2004) disebutkan bahwa pada tahun 1989 nilai ekspor sektor kehutanan menyumbang devisa lebih dari 28,4 persen dari total ekspor non-migas dan terus menurun menjadi 13,7 persen dari total ekspor non-migas pada tahun 2003. Data Departemen Kehutanan menunjukkan devisa sektor kehutanan pada periode tahun 1992-1997 tercatat sebesar US$ 16,O milyar atau sekitar 3,5 persen dari PDB nasional, sedangkan dalam kurun waktu tahun 1997-2003 nilai devisa sektor kehutanan mengalami penurunan menjadi hanya sebesar US$ 13,24 milyar. Akibat pemanfaatan hutan yang berlebihan dan perubahan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar sektor kehutanan antara tahun 1997-2003 telah menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya hutan rata-rata sekitar 2,83 juta hektar per tahun (Dephut, 2005a). Menurut Hardian (2000), sektor kehutanan telah menghasilkan devisa sekitar US$ 8 milyar per tahun, penyerapan tenaga kerja sekitar 4 juta tenaga kerja, serta pungutan kehutanan yang terdiri dari Dana Reboisasi (DR), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), dan lain-lainnya mencapai US$36 per meter kubik kayu bulat. CIFOR (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2003 ekspor produk kehutanan mencapai US$ 6,6 milyar yang diantaranya berupa ekspor pulp, paper dan paperboard senilai US$2,4 milyar. Upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi di sektor industri sebagai reinvestasi surplus dapat menimbulkan penambahan tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian. Dengan tendensi demikian maka peranan sektor industri akan lebih besar terhadap perekonomian wilayah. Peranan sektor industri di dalam pembangunan wilayah ditinjau dari sisi ekonomi adalah memperluas lapangan kerja, penghasil devisa negara melalui ekspor, dan menghemat devisa negara melalui substitusi impor (Rivaie, 1979). Selanjutnya Rahardjo (1990) menyatakan bahwa sektor industri dapat berperan sebagai dinamisator yang akan membawa seluruh sektor perekonomian pada tingkat laju pertumbuhan yang lebih tinggi, sebagai jalan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan barang-barang, melepaskan ketergantungan terhadap impor dan meningkatkan nilai ekspor. Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri hasil hutan yang sangat penting, karena perannya dalam perolehan devisa dan ekonomi nasional. Hampir setiap kehidupan manusia memanfaatkan koinoditas dari industri tersebut, seperti aktivitas rumah tangga, perkantoran, industri, pendidikan, dan perdagangan (Ibnusantosa, 2000). Selanjutnya disebutkan bahwa Indonesia berpotensi untuk menjadi salah satu negara industri pulp karena memiliki sumber bahan baku berupa hutan, serta bahan baku alternatif (limbah pertanian) untuk perkembangannya. Pada dekade terakhir ir~dustri pulp nasional mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan perkembangan industri kertas nasional, disamping itu daya saing industri pulp nasional terus meningkat karena biaya produksi pulp dan kertas merupakan salah satu yang terendah di dunia disebabkan oleh faktor endowment seperti bahan baku serat, biaya tenaga kerja dan biaya energi yang relatif murah. Pengembangan industri pulp dan kertas dimasa mendatang memiliki peluang yang baik dan berpotensi untuk menjadi salah satu industri unggulan nasional, jika dilihat dari potensi produksi maupun peluang pasar yang ada. Dari segi produksi, Indonesia dengan iklim tropis, lahan yang relatif luas dan memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity), secara alami dapat lebih efisien menghasilkan serat alam, sedangkan dari potensi pasar ternyata masih terbuka luas dan terus meningkat baik untuk pasar dalam negeri maupun internasional. Kapasitas terpasang industri pulp di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 6,5 juta ton per tahun yang menjadikan Indonesia negara terbesar ke 9 sebagai produsen pulp. Delapan puluh enam persen dari kapasitas terpasang tersebut berada di Sumatera, 9 persen di Kalimantan, dan 5 persen di Jawa. Selain itu konsumsi kertas didalam negeri menunjukan peningkatan dari 11,l kg perkapita pada tahun 1993 menjadi 24 kg perkapita pada tahun 2002 (APKI, 2003). Dengan demikian pangsa pasar pulp dan kertas semakin terbuka lebar. .4pabila industri pulp nasional bekerja pada kapasitas penuh, maka dibutuhkan bahan baku serpih sekiiar 30,4 juta meter kubik per tahun; sedangkan daya dukung hutan tanaman industri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut Saru rnencapai 30 persen, sehingga sisanya masih bergantung kepada hutan alam yang akan merangsang terjadinya illegal logging. Sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi, maka kegiatan agribisnis yang mengarah pada bidang jasa dan bisnis yang berbasis peitanian akan semakin ~neningkat.Oleil karena itu, pengenibangan agribisnis akan meiijadi salah satu sektor unggulan (a leading sector) dalam pembangunan ekonomi nasional. Agribisnis pulp dan kertas merupakan salah satu kluster industri (industry cluster) yang terdiri dari kegiatan pembibitan kayu (nursery), budidaya tanaman hutan (tinzber plantation), industri pulp dan kertas @ulp and paper industry) serta industri lanjutannya. Pembangunan hutan tanaman yang terintegrasi dengan industri merupakan konsep pembangunafi hutan dimasa depan. Apabila HTI dibang~nsecara parsial hanya akan memberikan tingkat keuntungan yang rendah dengan Internal Rate of Return (IRR) sekitar 10 persen. Namun apabila diintegrasikan dengan industri, akan terjadi subsidi silang dan mampu mempertinggi keuntungan dan meningkatkan IRR menjadi 22,4 persen (Iskandar, Ngadiono dan Nugraha, 2003). Artinya secara komersial pembangunan HTI tidak layak. Sedangkan hasil Studi Kelayakan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman PT. Riau Andalan Pulp and Paper di Provicsi Riau (Kabupaten Kampar, Bengkalis, Sia!; Pelalawan, Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu) Tahun 2001 pada areal seluas 300.000 hektar (netto 186.615 hektar) dengan daur tafiaman 8 tahun, menunjukkan hasil berupa NPV sebesar Rp 24.160.729.639; IRR sebesar 23,26 persen, serta Net BIC sebesar 1,016 (PT. RAPP, 2001). Di bidang ketenagakerjaan setiap hektar pembangunan hutan tanaman industri dapat menyerap 1 orang tenaga kerja per tahun, yang berarti apabila terlaksana target pembangunan seluas 5 juta hektar di Indonesia selalna 5 tahun sesuai rencana strategis Departemen Kehutanan, setiap tahunnya akan menyerap tenaga kerja sebanyak 1 juta orang yang dapat menghidupi sebanyak 3 sampai 4 juta jiwa (Dephut, 2005a). Di Kabupaten Pelalawan terdapat satu unit industri pulp dan kertas yang terintegrasi dengan hutan tanaman industri yaitu PT. Riau Andalan Pulp and Paper. Pembangunan hutan tanaman industri didasarkan kepada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 66 11Kpts-I111992 tanggal 23 Juni 1992 tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) Sementara dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1301Kpts-II/1993 tanggal 27 Februari 1993 tentang pemberian HPHTI di Propinsi Riau kepada PT. Riau Andalan Pulp and Paper seluas 300.C03 Ha. Sedailgkan pembangufiai: industri pulp and paper didasarkan kepada Persetujuan Izin Usaha Industri dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 3 17lTlIndustri/l997 tanggal 14 Juli 1997 sebesar 750.000 ton, Persetujuan BKPM No. 47hIlPMDNl1999 tanggal 15 September 1999 sebesar 990.000 ton, dan Persetujuan BKPM No. 649/T/Industri/1999 tanggal 6 Desember 1999 sebesar 350.000 ton; sehingga total kapasitas produksi sesuai izin adalah sebesar 2.090.000 ton. Kebutuhan bahan baku mensapai 9 juta meter kubik per tahun sedangkan daya dukung hutan tanaman industri untuk mensuplai kebutuhan bahan baku pada tahun 2004 baru mencapai 2 juta meter kubik per tahun. Dengan demikian masih terdapat kesenjangan suplai sebesar 7 juta meter kubik per tahun, yang masih disuplai dari pembelian bebas (PT. RAPP, 2005). Selanjutnya Industri pulp di Kabupaten Pelalawan mempunyai potensi yang sangat besar dalam menunjang ekspor non-migas, ha1 ini tercermin dari jumlah ekspor produk pulp dan kertas selama tahun 2000 - 2004 mencapai US$ 2.184.950.778,84. Laporan Bank Indonesia Pekanbaru tentang Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Provinsi Riau Tihun 2001 menunjukkan bahwa dari total ekspor non-migas Riau sebesar US$ 5,64 milyar, jika dilihat dari pangsanya terdiri dari komoditi alat listrik 3 1,99 persen; pulp dan kertas 10,ll persen; minyak sawit 8,33 persen; besi baja 4,26 persen; kayu lapis 1,90 persen; karet 1,19 persen; dan lainnya 39,65 persen. Kabupaten Pelalawan memiliki sumberdaya hutan seluas 755.896 hektar atau sebesar 17,5 persen dari potensi sumberdaya hutan Provinsi Riau, dimana seluas 436.683 hektar merupakan areal untuk pembangunan hutan tanaman industri yang meliputi 29 unit usaha dengan luas areal setiap unit HTI mulai dari 1.500 hektar sampai dengan 300.000 hektar. Dalam rangka meningkatkan peranan industri pulp dan kertas terhadap pembangunan daerah Kabupaten Pelalawan, maka kebiakan dalam rangka membuka kesempatan kerja bagi masyarakat setempat serta peningkatan ekspor dan nilai tambah dari sektor industri supaya lebih ditingkatkan. Dengan demikian industri pulp dan kertas di Kabupaten Pelalawan sebagai sektor yang berperan dalam menggerakkan perekonomian wilayah diharapkan dapat memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi wilayah secara keseluruhan. Sehnbungan dengar, ha1 tersebut diatas, maka melalui kajian ini penulis ingin mengetahui, apakah dengan kondisi seperti sekarang, dapat diberlakukan suatu perangkat kebijakan untuk memperbaiki kinerja industri pulp dan hutan tanaman industri, tanpa mengabaikan perannya dalam penciptaan devisa, nilai tambah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), penyerapan tenaga kerja serta penerimaan negara berupa pajak dan bukan pajak dari sektor kehutanan. 1.2. Perurnusan Masalah Permasalahan yang dihadapi didalam pembangunan industri pulp berbasis hutan tanaman industri di Kabupaten Pelalawan saat ini antara lain, adalah : 1. Terdapatnya kesenjangan antara kebutuhan bahan baku sebesar 9 juta meter kubik per tahun dengan kemampuan suplai bahan baku dari hutan tanaman industri sebesar 2 juta meter kubik, sehingga pemenuhan bahan baku masih menggunakan kayu hutan alam. 2. Pembangunan hutan tanaman industri pada skala kecil dengan luas 10.000 hektar dengan daur 10 tahun secara parsial, dari segi komersial tidak layak untuk dikembangkan karena IRR di bawah suku bunga bank yang berlaku. 3. Strategi pembangunan industri pulp belum memperhitungkan kemampuan suplai bahan baku lestari yang dicerminkan oleh pembangunan kapasitas industri jauh melebihi kemampuan daya dukung hutan tanaman industri. 4. Di era otonomi daerah setiap pemerintah daerah berusaha untuk meningkatkan investasi ekonomi di daerahnya masing-masing yang diharapkan dapat untuk memacu pertumbuhan pembangunan ekonomi, kesempatan kerja serta peningkatan sarana dan prasarana fisik di daerah; namun kurang memperhztikan lingkungan hidup. Sehubungan dengan permasalahan di atas, beberapa masalah pokok yang dirumuskan dalam penulisan ini adalah : a) Apakah secara finansial pembangunan industri pulp dan hutan tanaman industri pulp dalam skala besar layak dikembangkan di Kabupaten Pelalawan. b) Bagaimana strategi pengembangan hutan tanaman industri yang tepat untuk mendukung keberlangsungan industri pulp dan kertas. c) Bagaimana dampak dari pembangunam industri pulp dan kertas terhadap pembangunan daerah dan eicvnomi wilayah secara keseluruhan. 1.3. Tujuan Tujuan dari kajian ini adalah untuk: 1) Menganalisis kelayakan pembangunan industri pulp dan hutan tanaman industri PT. Riau Andalan Pulp and Paper di Kabupaten Pelalawan. 2) Mengidentifikasi strategi pengembangan hutan tanaman industri yang tepat untuk mendukung industri pulp dapat beroperasi secara lestari. 3) Menganalisis peran sektor kehutanan dan industri pulp dan kertas terhadap pembangunan daerah kabupaten Pelalawan.