E:\JURNAL MDVI\Supl MDVI `11 90

advertisement
Laporan Kasus
SATU KASUS KUSTA MULTIBASILER TIPE BORDERLINE
LEPROMATOUS PADA GERIATRI YANG DITERAPI DENGAN
REJIMEN RIFAMPISIN-KLARITROMISIN
Danny Gunawan, Linda V. Wijaya, Elly E. Ch. Oroh, Agnes Kartini
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Sam Ratulangi/RSU Prof. dr. R. D. Kandou Manado
ABSTRAK
Penatalaksanaan kusta pada pasien geriatri memerlukan pengawasan ketat. Risiko efek
samping pemberian multi drug treatment (MDT-WHO) pada pasien geriatri lebih besar daripada
pasien bukan geriatri. Rejimen rifampisin-ofloksasin-minosiklin (ROM) tidak dianjurkan untuk
pasien berusia lebih dari 65 tahun. Sebagai alternatif dapat diberikan rejimen rifampisin dan
klaritromisin selama 3 bulan. Salah satu kendala pada penyakit lepra adalah reaksi lepra.
Wanita, 82 tahun, dengan kusta multibasilar tipe borderline lepromatous. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan bakterioskopis. Dengan rejimen rifampisin 600 mg per
bulan dan klaritromisin 500 mg per hari selama 3 bulan didapatkan perbaikan klinis, dan
bakterioskopis. Dua bulan pasca terapi terjadi reaksi reversal ringan yang diterapi kombinasi
kalium diklofenak, krim betametason dipropionat 0.05% yang dilanjutkan krim mometason
furoat 0.1%. Setelah 7 bulan didapatkan perbaikan klinis. Efek samping selama terapi hanya
mua l.
Rejimen rifampisin-klaritromisin dipilih pada kasus ini karena durasi, jumlah dan frekuensi
pemberiannya minimal dibanding rejimen lainnya sehingga risiko efek samping minimal. Reaksi
tipe I ringan umumnya diatasi dengan golongan anti inflamasi non steroid (AINS). Diklofenak
me rupa kan oba t ya ng paling b aik ditoleransi diban ding kan bah an AINS lainnya . Ka lium
diklofenak lebih cepat bereaksi dibandingkan natrium diklofenak. (MDVI 2011; 38/s: 55s - 63s)
Kata kunci: geriatri, kusta multibasiler tipe borderline leprosy, reaksi reversal ringan, rejimen
rifampisin-klaritromisin, kalium diklofenak
ABSTRACT
Leprosy management on geriatric patient needs strict supervision. The side effect risk on
prescribing Multi Drug Treatment (MDT-WHO) on geriatric patient is bigger than the non-geriatric.
Rifampicin-ofloxacin-minocycline regimen (ROM) is not recommended for patient with age more
than 65 years old. As alternative rifampicin and clarithromycin for 3 months can be given. One of
the constraints on leprosy is the leprosy reaction.
Female, 82 years old, with borderline lepromatous leprosy. The diagnosis was based on
history, clinical, and bacterioscopic. Two months post rifampicin-clarithromycin regimen treatment
a slight reversal reaction appeared which treated by the combination of potassium diclofenac,
betamethasone dipropionate 0.05% cream and continued with momethasone furoate 0.1% cream.
After 7 months the clinical improvement was occupied. The only side effects found during treatment
was nausea.
Rifampicin-clarithromycin regimen was chosen on this case because of its duration, quantity,
and frequency were minimal compared to other regimens. The mild type 1 reaction was treated
with a group of nonsteroidal anti-inflammatory medications (NSAIDs). Diclofenac is among the
better tolerated NSAIDs. Potassium diclofenac has a faster reaction than natrium diclofenac.(MDVI
Korespondensi:
Jl. Raya Tanah Wangko – Manado
Telp. 0431 – 834164
Email: [email protected]
2011; 38/s: 55s - 63s)
Key words: borderlin e lepromatous leprosy; mild reversal re action, geriatric, rifampicinclarithromycin regimen, diclofenac potassium
55 S
MDVI
PENDAHULUAN
Lepra atau morbus Hansen (MH) adalah penyakit yang
umum ditemukan di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika
Selatan.1 Lepra dapat menyerang semua usia, dan pada hampir
semua studi prevalensi menunjukkan laki-laki lebih banyak
dari pada perempuan.2 Prevalensi lepra di Indonesia pada
tahun 2008 sebesar 0,94/10.000 penduduk namun di Sulawesi
Utara masih mencapai 2,15/10.000 penduduk.3
Geriatri atau kelompok usia lanjut adalah populasi
orang-orang yang berusia lebih dari 60 tahun.4 Pola penyakit
kulit geriatri pada RSUP Prof dr. R. D. Kandou Manado
menunjukkan dari 1022 pasien geriatri yang dievaluasi
selang kurun waktu 2005-2007 terdapat 14 pasien infeksi
mikobakterium ini (1.37%).5
Gambaran klinis lepra tergantung dari respons pejamu.6
Lepra tipe borderline lepromatous (BL) menunjukkan
gambaran berupa bagian tengah lesi tampak normal dengan
pinggir dalam lebih jelas dibandingkan pinggir luar, dan
beberapa plak dapat berbentuk punched out. Distribusi lesi
tidak terlalu simetris. Lesi kulit dapat hipestesia maupun
anestesia dan dapat teraba adanya penebalan saraf perifer.
Anestesia simetris ujung-ujung jari dapat terjadi.7,8
Penggunaan rejimen multi-drug treatment oleh World
Health Organization (MDT-WHO) masih dianjurkan di
Indonesia. Dalam pelaksanaannya ada beberapa masalah
yang timbul, yaitu persistensi, resistensi rifampisin, dan
lamanya pengobatan.9 Penatalaksanaan MH pada pasien
geriatri memerlukan pengawasan ketat. Risiko efek samping
pemberian MDT pada pasien geriatri lebih besar dari pada
pasien bukan geriatri. Untuk mengatasinya dapat diberikan
rejimen alternatif pengganti MDT.10 Obat-obat lain yang
sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin, dan
klaritromisin.9
Salah satu kendala pada penyakit lepra adalah reaksi
lepra.11 Reaksi reversal merupakan reaksi hipersensitivitas
selular yang terjadi bersamaan dengan perubahan derajat
imunitas pasien dan perpindahan tipe penyakit di sepanjang
spektrum. Reaksi ini umum ditemukan pada kasus-kasus
yang mendapat pengobatan.11,12 Prevalensi reaksi tipe 1 di
Vietnam menurut Ranque dkk. pada tahun 2007 adalah 29%
dari seluruh pasien lepra (2007).13 Reaksi tipe 1 biasanya
terjadi pada lepra borderline, dan 30% individu dengan
lepra borderline berisiko mengalami reaksi tipe 1.14
Laporan kasus ini bertujuan untuk menampilkan satu
kasus MH multibasilar tipe borderline lepromatous (MHMB
tipe BL) pada seorang perempuan geriatri yang diterapi
dengan rejimen rifampisin - klaritromisin selama 3 bulan,
kemudian mengalami reaksi tipe I.
KASUS
Seorang perempuan usia 82 tahun suku Minahasa
datang dengan keluhan bercak-bercak merah dan mati rasa
56 S
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 55 s - 63 s
di wajah, kedua lengan atas dan kedua paha sejak 1 bulan
sebelum dirawat di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado.
Bercak-bercak merah juga timbul di wajah, pipi kanan
dan pipi kiri. Bercak-bercak merah tersebut tidak gatal dan
nyeri, namun baal. Pasien juga mengeluh kedua telapak kaki
baal sejak 5 tahun sebelumnya, yaitu sewaktu pasien
berjalan, sandal bisa terlepas. Keluhan ini juga dirasakan
pada jari-jari tangan. Sekitar 2 minggu sebelumnya pasien
berobat ke dokter ahli saraf dan dikatakan penyakit alergi,
serta diberi obat antihistamin (incidal®) dan vitamin Bkompleks (neurobion®). Pasien dikonsulkan ke dokter ahli
kulit 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) karena
Danny Gunawan dkk.
Kasus Kusta Multibasiler Tipe Borderline Lepromatous pada Geriatri
keluhan tidak juga berkurang. Pasien juga menderita
hipertensi berat, sehingga oleh dokter ahli saraf tersebut
dianjurkan untuk dirawat di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou
Manado. Sekitar 15 tahun lalu, pasien pernah mengalami
bercak serupa di tungkai bawah kiri dengan diameter ±5 cm.
Pada saat itu pasien berobat ke dokter umum dan diambil
darah dari kedua telinga dan bercak tersebut, namun dokter
tidak mengatakan penyakitnya. Riwayat diberikan obat rutin
yang diminum setiap bulan selama 12 bulan disangkal.
Setelah beberapa tahun bercak merah di tungkai bawah kiri
tersebut hilang sendiri. Pasien juga menyangkal luka-luka
pada tangan dan telapak kaki.
Riwayat penyakit darah tinggi (+) sudah diderita sejak
10 tahun. Pasien minum tablet lisinopril (noperten®) namun
tidak teratur. Riwayat hiperkolesterol (+) dan sejak 15 tahun
tidak terkontrol. Riwayat penyakit gula, jantung, hati, ginjal
disangkal. Hanya pasien yang sakit seperti ini dalam keluarga.
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal. Riwayat
atopi diri sendiri maupun keluarga disangkal. Pasien adalah
seorang ibu dari 6 orang anak dan nenek dari 10 orang cucu.
Suami pasien sudah meninggal 40 tahun lalu karena tumor
ginjal. Sekarang ini pasien tinggal dengan pembantu dan
seorang anak perempuan di rumahnya.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum
tampak sakit, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 200/
80 mmHg, nadi 70 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu badan
36,5ÚC, berat badan: 55 kg, tinggi badan: 160 cm; gizi cukup.
Status generalis menunjukkan tes fungsi saraf motorik dan
otonom tidak ada kelainan. Pada status dermatologis: regio
facialis tampak makula eritematosus berbatas tegas dengan
diameter 3-4 cm tanpa indurasi. Regio brachialis dekstra et
sinistra dan regio femoralis dekstra et sinistra tampak makula
hipopigmentasi berberbatas tegas dengan diameter 4-5 cm,
tepi eritematosus (punched out) tanpa indurasi.
Penebalan kedua saraf tepi N. ulnaris dekstra et sinistra,
nyeri (-/-).
Pemeriksaan sensibilitas: Hipestesi pada semua lesi,
dan hipestesi-anestesia pada kedua regio digiti I-V manus
dan kedua regio plantar pedis.
Pemeriksaan bakterioskopis: Solid: globi (+), fragmen
(-), granul (-), Indeks bakteri: +3
Diagnosis kerja untuk kasus ini adalah morbus hansen
multibasiler tipe borderline lepromatous dan dari bagian
Neurologi (general weakness + hipertensi berat).
Penatalaksanaan terdiri dari rifampisin 600 mg per bulan dan
klaritromisin (hecobac®) 1 x 500 mg (rencana diberikan sampai
3 bulan), vit B1 100 mg, vit B6 200 mg, vit B12 200 mcg
(neurobion®) 2 x 1 tablet per hari dan kalk 1 x 1 tablet.
Penatalaksanaan dari bagian neurologi antara lain telmisartan
(micardis®) 80 mg tablet 1-0-0, amlodipine maleate (amdixal®)
5 mg tablet 0-1-0, bisoprolol fumarate 5 mg tablet 0-0-1 dan
alprazolam 0.5mg tablet ½ - ½ -1. Prognosis pasien ini quo
ad vitam adalah bonam, quo ad functionam dan quo ad
sanationam adalah dubia ad bonam.
TINDAK LANJUT
Hari ke – 90 terapi rejimen rifampisin – klaritromisin
(30 Maret 2010)
Regio facialis tampak makula eritematosus (+) minimal,
kedua regio brachialis & kedua regio femoralis tampak
makula hipopigmentasi berbatas tidak tegas dengan
diameter 4-5 cm, tepi eritematosus (+) minimal. Penebalan
saraf tepi tidak ditemukan.
Pemeriksaan sensibilitas: Hipestesi pada semua lesi,
dan normoestesi-hipestesi pada kedua regio digiti I-V manus
dan kedua regio plantar pedis.
Pemeriksaan bakterioskopis: Solid (-), fragmen (-),
granul (+), Indeks bakteri: +3
29 Mei 2010 (2 bulan pasca terapi rejimen rifampisin –
klaritromisin / reaksi reversal bulan ke-1)
Regio facialis makula kembali eritematosa, kedua regio
brachialis dan kedua regio femoralis tampak makula
hipopigmentasi berbatas tegas dengan diameter 4-6 cm, tepi
kembali eritematosa.Penebalan saraf tepi kedua N. ulnaris
ditemukan kembali tanpa disertai nyeri.
Pemeriksaan sensibilitas: Hipestesi pada semua lesi,
dan hipestesi pada kedua regio digiti I-V manus dan kedua
regio plantar pedis.
57 S
MDVI
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 55 s - 63 s
PEMBAHASAN
Pemeriksaan bakterioskopis: Solid (-), Fragmen (-),
Granul (+), Indeks bakteri +1.
27 November 2010 (8 bulan pasca terapi rejimen rifampisin
- klaritromisin / reaksi reversal bulan ke-7)
Regio facialis tampak makula eritematosa berbatas tidak
tegas, kedua regio antebrachialis, kedua regio brachialis,
kedua regio femoralis, dan kedua regio kruris tampak makula
eritematosa et hiperpigmentasi berbatas tegas dengan
diameter 4-8 cm.
Penebalan saraf tepi: tidak ditemukan lagi.
Pemeriksaan sensibilitas: Normostesi pada semua lesi, dan
normoestesi-hipestesi pada kedua regio digiti I-V manus
dan kedua regio plantar pedis.
Pemeriksaan bakterioskopis: Solid (-), fragmen (-), granul (-).
58 S
Diagnosis MH MB tipe BL pada pasien ini ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang.
Penyakit lepra dapat timbul pada semua kelompok umur,
dari bayi sampai usia geriatri, bahkan tidak jarang timbul di
atas umur 70 tahun.15 Distribusi jenis penyakit infeksi
mikobakterium pada pasien geriatri di poliklinik Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Prof. dr. R. D. Kandou
Manado periode Januari 2005 sampai Desember 2007
menunjukkan MHMB pada sebanyak 12 pasien (85,71%)
terdiri atas 7 laki – laki dan 5 perempuan, sedangkan MH
tipe pausibasilar (MHPB) sebanyak 2 perempuan (14,29%).5
Keluhan bercak-bercak di wajah, kedua lengan atas,
dan kedua paha sudah dialami kasus ini selama 1 bulan.
Bercak-bercak tersebut tidak gatal atau nyeri, namun mati
rasa. Sekitar 15 tahun lalu pasien pernah mengalami keluhan
bercak serupa di tungkai bawah kiri. Bercak tersebut sembuh
tanpa pengobatan beberapa tahun kemudian. Pasien mulai
merasa jari-jari tangan dan kedua telapak kakinya kurang
rasa sejak 5 tahun lalu.
Sampai saat ini belum ada cara yang memuaskan dalam
mendeteksi infeksi terdahulu atau infeksi yang tidak disertai
gejala klinis.1 Pada beberapa pasien, lesi inisial dapat timbul
beberapa tahun sebelum lesi lain muncul atau bahkan sudah
hilang spontan beberapa bulan atau tahun sebelumnya.
Secara klasik lesi inisial ini dikenal sebagai indeterminate
leprosy, dengan gambaran makula hipopigmentasi atau
sedikit eritematosa dengan ukuran beberapa sentimeter,
biasanya hanya 1 buah. Umumnya terdapat di wajah, badan
atau ekstensor anggota gerak. Sensibilitas dapat normal
atau sedikit terganggu; keringat dan pertumbuhan rambut
biasanya tidak terganggu. Basil sulit ditemukan dan
dibutuhkan pengamatan lebih lanjut untuk menegakkan
diagnosis.16,17 Lesi tersebut akan timbul lagi di kemudian
hari sebagai lesi yang dapat dikelompokkan ke dalam
spektrum, lebih sering ke arah kutub lepromatosa.16,17
Lesi kulit pada tipe mid-borderline leprosy (BB)
berjumlah banyak, namun tidak sebanyak tipe lepromatous
leprosy (LL). Lesi-lesi tersebut cenderung simetris.16 Lesi
kulit berupa makula yang bervariasi dalam ukuran, dapat
berbatas tegas atau tidak. Tepi lesi dapat meninggi seperti
tipe LL, namun pada bagian tengah lesi dapat ditemukan
‘deeply punched-out area or frank healing’ seperti pada
tipe tuberculoid leprosy (TT). Lesi-lesi kulit tersebut
hipestesi. Lesi kulit pada lepra borderline-tuberculoid
leprosy (BT) lebih sedikit, tidak terlalu halus dan mengkilat,
batas lebih tegas. Sering ditemukan lesi satelit. Pada tipe
ini, lesi berjumlah banyak seperti pada tipe LL. Lesi bervariasi
dalam ukuran. Lesi lebih mengkilat daripada tipe BT. 17
Gambaran khas lesi tipe BL berupa lesi anular dengan tepi
dalamnya lebih berbatas tegas daripada tepi luarnya. Bentuk
plak dengan gambaran punched out di tengah juga sering
Danny Gunawan dkk.
Kasus Kusta Multibasiler Tipe Borderline Lepromatous pada Geriatri
ditemukan. 18 Distribusi lesi biasanya tidak terlalu
simetris.16,17 Biasanya tidak ditemukan adanya facies leonina,
madarosis, keratitis, dan ulserasi nasal.19 Pada pasien ini
ditemukan bercak-bercak merah di kedua lengan atas, kedua
paha depan dan belakang dengan diameter 4-5 cm, bagian
tengah berwarna kulit normal dengan gambaran (punched
out). Bercak merah di wajah, diameter 3 cm di pipi kanan dan
4 cm di pipi kiri. Bercak-bercak merah tersebut tidak gatal
dan nyeri, namun mati rasa. Gambaran klinis tersebut lebih
cenderung menuju pada karakteristik lepra tipe BL.
Menurut Jopling pada tahun 1956, anestesia atau
kelemahan otot pada bagian tangan dan kaki yang tidak
disertai satu pun lesi kulit, dapat dijumpai walaupun jarang.20
Manifestasi gangguan saraf ini dapat mendahului
munculnya lesi kulit beberapa bulan sampai beberapa tahun
sebelumnya pada tipe borderline.17 Lepra sering mengenai
N. tibialis posterior, diikuti N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateral, dan N. facialis.14 Kerusakan N. facialis dapat
mengakibatkan facial palsy.17 Kerusakan N. medianus dan
N. ulnaris sering bilateral yang merupakan tanda khas tipe
BL; bila berat terdapat penurunan sensibilitas di alat gerak
(anestesia glove & stocking).8,17,18 Pada tipe borderline,
banyak saraf yang terlibat dalam pola yang asimetris.
Pembesaran saraf dapat halus dan teratur, atau berbenjolbenjol dan ireguler. Anestesia timbul pada distribusi saraf
tersebut.16 Kerusakan pada N. medianus mengakibatkan
gangguan sensibilitas pada sisi lateral telapak tangan
umumnya pada jari I, II dan III, dan jika disertai paralisis
otot dapat terjadi claw hand. Anestesia pada jari IV dan V
tangan yang dapat disertai claw ulnar disebabkan adanya
kerusakan pada N. ulnaris.7,20 Kerusakan pada N. tibialis
posterior mengakibatkan anestesia pada telapak kaki dan
dapat terjadi clawing of the toes.20 Gangguan sensibilitas
tersebut mengakibatkan terjadinya trauma berulang pada
tangan dan kaki.17 Kedua telapak kaki pasien kurang rasa
yang dirasakan sejak 5 tahun lalu, sandal bisa terlepas
sewaktu berjalan dan keluhan itu juga dirasakan pada jarijari tangan; tidak ditemukan adanya claw hand, claw ulnar,
claw toes, luka-luka di tangan dan kaki.
Tes diagnostik untuk membantu menegakkan
diagnosis lepra antara lain pemeriksaan bakterioskopis,
histopatologis, serologis, dan polymerase chain reaction
(PCR).7,21 Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan
bakterioskopis basil tahan asam (BTA).
Indeks bakteri (IB) adalah kepadatan bakteri dalam
sediaan, termasuk basil yang masih hidup maupun yang
mati.17 Penilaiannya menurut skala logaritma Ridley adalah
6+ jika ditemukan >1000 basil dalam 1 lapangan pandang,
5+ jika ditemukan 100-1000 basil dalam 1 lapangan pandang,
4+ jika ditemukan 10-100 basil dalam 1 lapangan pandang,
3+ jika ditemukan 1-10 basil dalam 1 lapangan pandang, 2+
jika ditemukan 1-10 basil dalam 10 lapangan pandang, dan
1+ jika ditemukan 1-10 basil dalam 100 lapangan pandang.16
Indeks morfologi (IM) adalah persentase basil solid
terhadap jumlah basil solid dan non-solid. Nilai IM bermakna
dalam menilai respons terhadap terapi. Pada monoterapi
dengan dapson didapatkan penurunan nilai IM mencapai
angka nol dalam waktu 4-6 bulan, namun didapatkan
penurunan IM yang lebih cepat pada yang diobati dengan
multidrug therapy.17 Pemeriksaan indeks bakteri (IB) pada
pasien ini dilakukan 4 kali pada 30 Desember 2009, 30 Maret
2010, 15 Juni 2010, dan 10 November 2010. Pada pemeriksaan
pertama ditemukan IB +3 (globus), dan setelah selesai terapi
kombinasi rifampisin dan klaritromisin selama 3 bulan
didapatkan IB +3 (granul) pada pemeriksaan basil tahan asam
(BTA) tanggal 30 Maret 2010. Pada tanggal 15 Juni 2010
(beberapa minggu setelah terjadinya reaksi reversal), IB
menurun menjadi 1+ (granul). Pada tanggal 10 November
2010, tidak ditemukan BTA. IM pada pasien tidak diperiksa.
Biopsi kulit dapat membantu diagnosis untuk klasifikasi
yang tepat. 21 Pada pemeriksaan histopatologi tipe BL
ditemukan granuloma makrofag, beberapa sel menunjukkan
perubahan menjadi foamy cell, dan ditemukan banyak
limfosit. Beberapa sel epiteloid kadang-kadang dapat
ditemukan. Saraf-saraf dermis berisi beberapa infiltrat selular
dan kadang-kadang perineurium memiliki gambaran seperti
kulit bawang. Zona papillary jernih, banyak bakteri yang
tersebar tunggal atau berkelompok.17 Pada pasien ini tidak
dilakukan pemeriksaan histopatologis, karena biopsi
merupakan tindakan invasif sedangkan pasien berusia
lanjut.
Pasien ini diobati dengan rifampisin 600 mg/bulan
selama 3 bulan, dan antibiotik golongan makrolid
(klaritromisin) 500 mg/hari selama 3 bulan. Pada pasien ini
tidak diobati dengan MDT-WHO karena pasien tidak
menginginkan pengobatan yang lama dan efek samping
yang menghitamkan kulit lampren. Selain itu pasien geriatri
memiliki risiko efek samping lebih besar terhadap pemberian
MDT-WHO.
Dalam pelaksanaan MDT-WHO terdapat beberapa
masalah, sehingga diperlukan obat-obat baru dengan
mekanisme bakterisidal yang berbeda dibandingkan dengan
obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini.9 Ofloksasin,
minoksiklin, dan klaritromisin disebut sebagai terapi lini
kedua yang dapat menggantikan dapson dan klofazimin. 22
Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk
lepra. Dosis tunggal 600 mg sebulan sekali dapat ditoleransi
dengan baik. Efek samping yang harus diperhatikan berupa
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, dan erupsi
kulit.9 Klaritromisin lebih aktif daripada obat golongan
makrolid lainnya seperti eritromisin atau roksitromisin. 23
Pasien kusta MB yang diobati dengan klaritromisin 500 mg
per hari menunjukkan respons klinis dan bakterioskopis
yang sama dengan pemberian ofloksasin atau minosiklin.
Walaupun terdapat sinergisme antara minosiklin dan
klaritromisin, kombinasi keduanya ternyata tidak lebih efektif
dari pada pemberian tunggal.9 Dosis 500 mg klaritromisin
setiap hari telah terbukti efektif.7,23 Kecepatan perbaikan
59 S
MDVI
klinis klaritromisin hampir sama dengan spirfloksasin
maupun MDT, yaitu sekitar 5-8 minggu pengobatan. Reaksi
lepra jarang terjadi dengan penggunaan klaritromisin dan
apabila terjadi, reaksi bersifat sedang dibandingkan pasien
yang diobati dengan MDT.24 Efek samping klaritromisin
berupa nyeri kepala, ruam kulit, gangguan saluran cerna,
peningkatan prothrombin time (PT) dan blood urea
nitrogen (BUN).25 Kombinasi rifampisin 600 mg per bulan
dengan klaritromisin 500 mg per hari selama 3 bulan
diharapkan memiliki efek sinergis dan mengurangi
resistensi.26 Menurut laporan Pridady NS, dkk. di Semarang
tahun 2008, pengobatan satu kasus lepra histoid dengan
rifampisin 600 mg per bulan bersama klaritromisin 500 mg
per hari selama 3 bulan memberikan hasil yang memuaskan.27
Adji A, dkk di Manado pada tahun 2008 juga melaporkan
hasil yang memuaskan pada penggunaan rejimen rifampisin
600 mg per bulan dan klaritromisin 500 mg per hari selama 3
bulan ditambah metilprednisolon 32 mg dengan dosis yang
diturunkan secara bertahap terhadap satu kasus kusta MB
disertai reaksi eritema nodosum leprosum. 26 Rejimen
rifampisin-ofloksasin-minosiklin (ROM) tidak dianjurkan
untuk pasien berusia lebih dari 65 tahun.24 Secara umum
pemberian obat pada geriatri dianjurkan dengan periode
terapi tidak terlalu lama, jumlah/jenis obat seminimal
mungkin, dengan frekuensi pemberian sesedikit mungkin,
mengingat efek samping yang dapat ditimbulkannya,28 oleh
karena itu pada pasien diberikan rejimen rifampisinklaritromisin. Penulis belum menemukan data publikasi
sebelumnya tentang efektivitas penggunaan rejimen
rifampisin-klaritromisin pada pasien geriatri.
Setelah diterapi 3 bulan dengan kombinasi rifampisin
500 mg per bulan dan klaritromisin 500 mg per hari, pasien
ini menunjukkan perbaikan secara klinis dan bakterioskopis.
Sebelum diterapi, pada regio fasialis terdapat makula
eritematosa berbatas jelas dengan diameter 3-4 cm, pada
kedua regio brachii. Pada kedua regio femoralis terdapat
makula eritematosa berbentuk punched out berdiameter 45 cm dan ditemukan kuman BTA solid dengan IB +3. Setelah
diterapi, makula eritematosa pada regio fasialis memudar
warnanya dan berbatas tidak tegas; pada kedua regio brachii
dan regio femoralis warna kemerahan pada lesi juga
memudar. Pada pemeriksaan BTA ditemukan kuman dalam
bentuk granul dengan IB +3. Efek samping rejimen misalnya
sakit kepala, ruam, peningkatan (fungsi hati, ginjal, dan masa
protrombin) tidak ditemukan, pasien hanya mengalami
gangguan gastrointestinal berupa rasa mual sehingga
selama terapi diberikan tablet esomeprazole, domperidone,
dan ranitidin untuk mengatasi keluhan tersebut.
Dua bulan pasca terapi rejimen rifampisin - klaritromisin,
lesi-lesi lama di wajah, kedua lengan atas dan kedua paha
tampak memerah kembali dan muncul lesi-lesi baru, disertai
penebalan kedua saraf ulnaris tanpa nyeri. Berdasarkan gejala
klinis tersebut, maka pasien didiagnosis sebagai reaksi
reversal ringan dengan diagnosis banding kusta.
60 S
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 55 s - 63 s
Reaksi tipe 1 adalah reaksi hipersensitivitas selular
yang menyertai perubahan derajat imunitas selular
pasien.12,29 Inflamasi pada reaksi tipe 1 disebabkan oleh
aktivitas sel T, dengan peningkatan proliferasi sel T
terhadap antigen M. leprae, peningkatan sel-sel dalam
granuloma yang memproduksi CD4+ dan IL-2, dan produksi
lokal sitokin seperti IFN-ã dan TNF-á.22 Reaksi ini dapat
terjadi pada semua bentuk lepra subpolar, namun biasanya
muncul pada tipe borderline (BB, BL, BT). 11,20,25,30
Karakteristik penting pada lepra tipe borderline adalah
tendensi untuk mengalami reaksi, yang dapat disertai
kerusakan cepat pada saraf dan kulit.16 Reaksi tipe 1 paling
umum terjadi pada lepra BL.18 Perubahan imunitas ini dapat
berjalan ke arah LL (downgrading) maupun TT (upgrading/
reversal). Reaksi reversal biasanya terjadi pada pasien yang
mendapat pengobatan. Reaksi downgrading terjadi pada
pasien yang tidak mendapat pengobatan yang baik dan
berjalan lebih lambat.11,12,29 Pada tipe BB dan BT biasanya
reaksi reversal terjadi dalam 2 minggu sampai 6 bulan
pertama masa pengobatan, namun pada tipe BL dapat lebih
lama. 20,29,30 Lesi kulit secara cepat akan membengkak,
eritematosa, edematosa, mengkilat, hangat, dan disertai
nyeri. 12,20,22,29,31 Tepi lesi menjadi lebih tegas dari pada
sebelumnya.20 Beberapa lesi baru dapat timbul.12,14,19,20,22,25,32
Biasanya lesi yang baru mirip dengan lesi lama, namun
kadang-kadang lesi baru muncul sangat banyak dan
berukuran kecil.20 Kerusakan saraf adalah bagian terpenting
dari reaksi ini.19,20 Banyak saraf yang terlibat, membengkak
disertai nyeri.12 Saraf yang biasa diserang oleh kuman lepra
adalah N. ulnaris, N. medianus, N. facialis, N. aurikularis
magnus, N. peroneus, dan N. tibialis posterior,25 sehingga
terjadi parestesia, dan kehilangan fungsi motorik.12 Gejala
sistemik yaitu malaise, kelemahan, dan edema, serta lesi
ulseratif dapat timbul pada pasien yang mengalami reaksi
tipe 1 yang parah.12,29 Reaksi tipe 1 disebut ringan bila
ditemukan lesi lama yang menjadi lebih eritematosa, dan
pembesaran saraf tanpa nyeri. Lesi baru juga dapat timbul,
walaupun jarang.11,33 Beberapa faktor pencetus reaksi lepra
antara lain: pengobatan anti kusta yang intensif, infeksi
rekuren, stres, imunisasi, pembedahan, dan kehamilan. 11
Pencetus reaksi lepra pada kasus ini diduga stres emosional
karena pasien merasa tidak disayang oleh anak-anaknya.
Selain itu pasien juga mengalami stres fisik berupa general
weakness dan hipertensi berat.
Sulit membedakan antara relaps dan reaksi, bahkan
dengan pemeriksaan penunjang histologis sekalipun. 34
Angka kejadian relaps sangat rendah baik pada MB maupun
PB setelah releasing from treatment (RFT) MDT. WHO
memperkirakan angka kejadian relaps sekitar 0.65%-3% pada
tipe PB dan 0.02%-0.8% pada tipe MB.35 Relaps dapat terjadi
hingga tiga tahun setelah terapi pada pasien tipe PB, dan
bertahun-tahun kemudian pada pasien BL atau lepromatosa
subpolar. Jika kemoterapi baru saja selesai, maka dapat
diberikan terapi hanya untuk reaksi. Jika reaksi tidak segera
Danny Gunawan dkk.
Kasus Kusta Multibasiler Tipe Borderline Lepromatous pada Geriatri
berhenti atau terapi telah dihentikan lebih dari setahun lalu,
atau hapusan kulit menunjukkan basil solid, maka keadaan
tersebut menunjukkan terjadinya relaps sehingga
kemoterapi diulang kembali.34 Gambaran klinis relaps antara
lain: meluasnya lesi yang telah ada, menebal, eritematosa
atau terjadi infiltrat pada lesi yang sebelumnya telah
menghilang, atau terbentuk lesi baru; penebalan atau
kekakuan saraf atau ada saraf baru yang terkena; pada
tempat yang sebelumnya negatif dan/positif pada lesi baru
dapat ditemukan bakteri.20 Setelah 2 bulan pasca terapi
dengan rejimen rifampisin-klaritromisin, lesi lama pada pasien
ini menjadi lebih eritematosa, muncul lesi baru berupa makula
dan plak eritematosa berukuran plakat di tempat-tempat lain,
timbul kembali penebalan kedua N. ulnaris tanpa nyeri dan
hipestesia di ujung jari-jari IV-V kedua tangan padahal
sensibilitas di area tersebut sebelumnya sudah normal.
Pemeriksaan BTA tidak ditemukan kuman solid, hanya ada
kuman dalam bentuk granuler dengan IB +3. Oleh karena itu
diagnosis banding relaps pada pasien ini dapat disingkirkan.
Terapi pilihan untuk reaksi yang parah adalah
kortikosteroid sistemik yaitu prednison atau prednisolon
dimulai dari dosis 40 mg – 80 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap.19,30,31,33 Penanganan reaksi tipe
I pada pasien ini adalah dengan kalium diklofenak
(cataflam®). Pasien tidak diberi kortikosteroid sistemik
karena hanya mengalami reaksi reversal ringan, selain itu
pasien juga menderita hipertensi berat.
Penanganan reaksi ringan adalah dengan istirahat,
imobilisasi, rawat jalan, dan pemberian obat-obatan.11,19
Golongan anti inflamasi non steroid (AINS) adalah pilihan
terapi yang paling sering digunakan untuk mengatasi reaksi
tipe I ringan.19,25,32 Beberapa AINS yang sering digunakan
antara lain aspirin, ibuprofen, piroksikam, dan diklofenak.36
Reaksi tipe I berpotensi untuk kambuh walaupun sudah
diterapi, oleh karena itu anti inflamasi sebaiknya diberikan
terus sampai beberapa bulan.20 Diklofenak bekerja dengan
menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga
menurunkan sintesis prostaglandin dan beberapa sitokin
pro-inflamasi. Diklofenak merupakan bahan yang paling baik
ditoleransi dibandingkan dengan bahan AINS lainnya. Efek
samping penggunaan jangka panjang yang paling sering
berupa ulkus peptikum, oleh karena itu pasien biasanya
diberi ranitidin oral sebagai terapi profilaksis. Peningkatan
enzim transaminase dan gangguan fungsi ginjal dapat
terjadi.37 Diklofenak tersedia dalam bentuk garam kalium
dan garam natrium. Menurut percobaan Derry dkk, kalium
diklofenak lebih cepat bereaksi dibandingkan dengan
natrium diklofenak.38 Pada percobaan buta-ganda yang
membandingkan efek samping kalium diklofenak dan natrium
diklofenak, didapatkan hasil yang sama. 39 Belum ada
penelitian lebih lanjut tentang perbandingan efektivitas
penggunaan kalium diklofenak dan natrium diklofenak pada
usia lanjut. Penggunaan kalium diklofenak (cataflam®) pada
pasien sejak terjadi reaksi reversal (akhir Mei 2010) sampai
akhir tindak lanjut (± 7 bulan) menimbulkan efek samping
berupa mual, namun dapat diatasi dengan tablet ranitidin 2
x 150 mg sehari. Peningkatan enzim transaminase serta
peningkatan kadar ureum dan kreatinin tidak ditemukan pada
pasien ini.
Kortikosteroid topikal (KT) memiliki efek anti inflamasi
yang poten. Efek samping lokal seperti atrofi dan
telangiektasia lebih sering muncul daripada efek sistemik
seperti sindroma Cushing. Penggunaannya pada pasien usia
lanjut harus hati-hati, dimana kulit pada orang usia lanjut
lebih tipis dan biasanya sudah terdapat atrofi sekunder
akibat proses penuaan.40 Srinivasan dkk. pernah melaporkan
penggunaan KT (fluocinolone acetonide 0.025%) pada 6
pasien lepra tipe BT dengan reaksi reversal, didapatkan
perbaikan klinis dalam beberapa minggu. Secara histologis
dapat terlihat adanya penurunan edema dengan granuloma
yang padat dan berkurangnya dilatasi limfatik. 41 Krim
betametason dipropionat 0.05% (Scanderma®) merupakan
kelas III (potensi sedang-tinggi/ upper mid-strength) dalam
penggolongan KT sedangkan krim mometason furoat 0.1%
(Elocon ®) termasuk kelas IV (potensi sedang/midstrength). 40 Untuk menghindari efek samping, maka
penggunaan KT secara terus menerus sebaiknya tidak
melebihi 3 bulan.42 Jika terdapat perbaikan klinis, maka
sebaiknya penggunaan KT diturunkan frekuensi
pengaplikasiannya dan/ diganti dengan agen KT dengan
potensi yang lebih rendah.40 Pemberian KT pada pasien ini
dimulai pada 2 bulan setelah onset reaksi reversal karena
lesi-lesi makin merah dan menebal. Setelah diberikan krim
betametason dipropionat 0.05% (scanderma®) 2 kali aplikasi
per hari selama 2 bulan pertama, didapatkan perbaikan klinis
berupa penipisian lesi, oleh karena itu penggunaan krim
tersebut diturunkan menjadi 1 kali aplikasi per hari sampai 1
bulan berikutnya. Kemudian dilanjutkan dengan krim
mometason furoat 0.1% (elocon®) 1 kali oles per hari sampai
sekarang. Selama penggunaan KT pada pasien ini tidak
ditemukan efek samping baik lokal seperti atrofi dan
telangiektasia maupun efek supresi adrenal.
Deteksi dan penanganan dini reaksi lepra dapat
mengurangi dan mencegah kerusakan saraf secara
signifikan.32 Tindak lanjut yang ketat pada pasien yang telah
menyelesaikan pengobatan lepra sangat penting untuk
dilakukan.30 Pada kasus ini prognosis quo ad vitam bonam
karena tidak mengancam nyawa; prognosis quo ad
fungsionam dubia ad bonam, karena warna kemerahan pada
lesi-lesi kulit dapat mengganggu penampilan pasien dan
hipestesi pada jari-jari tangan dan telapak kaki dapat
mengganggu pasien dalam melaksanakan pekerjaan seharihari di rumah; prognosis quo ad sanationam adalah dubia
ad bonam karena reaksi reversal dapat kambuh di kemudian
hari walaupun sudah diterapi. Perlu diberikan penyuluhan
pada pasien yang mengalami glove and stocking
anaesthesia untuk mencegah trauma. Anestesia pada kaki
sering menyebabkan trauma berulang dan ulkus kronis.17, 20
61 S
MDVI
Prinsip penanganan MH pada pasien geriatri dan non
geriatri tidak berbeda, namun memilih terapi untuk pasien
geriatri harus lebih seksama. Penurunan fungsi tubuh usia
lanjut misalnya penurunan perfusi jaringan, fungsi ginjal
dan hati akan menyebabkan risiko efek samping terapi yang
diberikan menjadi lebih besar.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Introduction. Dalam: Brycesson
A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. London: Churchill
Livingstone; 1990. h.1-4.
2. Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Epidemiology. Dalam:
Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. London:
Churchill Livingstone; 1990. h.203-15.
3. Suseno U. Situasi derajat kesehatan. Dalam: Profil Kesehatan
Indonesia. Jakarta: Depkes RI; 2009: h. 40-2.
4. Annonymous. Konsep/definisi. Badan Pusat Statistik
Indonesia. Available from: URL: http://www.datastatistikindonesia.com/ by on June, 2009.
5. Tan S, Tjioe S, Mitaart AH, Warouw W. Studi retrospektif:
pola penyakit kulit geriatri di RSUP Prof dr. R. D. Kandou
Manado. Dalam: Buku Abstrak Kongres Nasional XII
PERDOSKI Palembang. 2008: h. 279.
6. Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Clinical pathology. Dalam:
Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. London:
Churchill Livingstone; 1990. h.11-24.
7. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta.
Dalam: Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, dkk. Kusta. Jakarta:
Balai Penerbit FK-UI; 2003. h. 12-31.
8. Amiruddin MD, Muchtar SV. Gambaran klinis dan diagnosis
banding penyakit kusta. MDVI 2001; 28(I). 327S-33S.
9. Soebono H, Suhariyanto B. Pengobatan penyakit kusta.
Dalam: Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, dkk. Kusta. Jakarta:
Balai Penerbit FK-UI; 2003. h. 66-74.
10. Oommen T. Multidrug therapy in geriatric patients. Int J
Lepr Other Mycobact Dis 2000; 68 (2). 178-9.
11. Martodihardjo S, Susanto RS. Reaksi kusta dan
penanganannya. Dalam: Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP,
dkk. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 2003. h. 75-82.
12. Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Immunological complication:
reactions. Dalam: Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi
ke-3. London: Churchill Livingstone; 1990. h.115-26.
13. Ranque B, Nguyen VT, Vu HT, et al. Age is an important risk
factor for onset and sequelae of reversal reactions in vietnamese
patients with leprosy. Clin Infec Diseases. 2007; 44: 33–40.
14. Walker SL, Lockwood DNJ. The clinical and immunological
features of leprosy. Br Med Bulletin. 2006; 77 dan 78: h.
103–21.
15. Noordeen SK. The epidemiology of leprosy. Dalam: Hastings
RC, Opromolla DV, editors. Leprosy. Edisi ke-2. New York:
Churchill Livingstone; 1994. h.29-45.
16. Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Symptoms and signs. Dalam:
Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. London:
Churchill Livingstone; 1990. h.25-55.
17. Jopling WH, McDougall AC. The disease. Dalam: Handbook
of Leprosy. Edisi ke-5. New Delhi: CBS Publisher; 1996.
h.10-53.
62 S
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 55 s - 63 s
18. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2008. h.1786-96.
19. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansen’s Disease
(leprosy). Dalam: Odom RB, James WD, Berger TG. Andrews’
Disease of the skin. Edisi ke-10. Canada: Saunders Elsevier;
2006. h.343-52.
20. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical leprosy. Dalam: Hastings
RC, Opromolla DV, editors. Leprosy. Edisi ke-2. New York:
Churchill Livingstone; 1994. h.237-87.
21. Jopling WH, McDougall AC. Diagnostic tests. Dalam:
Handbook of leprosy. Edisi ke-5. New Delhi: CBS Publisher;
1996. h. 58-66.
22. Lockwood DNJ. Leprosy. Dalam: Burns T, Breathnach S,
Cox N, et al. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8.
Singapore: Blackwell Publishing; 2010. h. 32.1-32.20.
23. Jacobson R. Treatment of leprosy. Dalam: Hastings RC,
Opromolla DV, editors. Leprosy. Edisi ke-2. New York:
Churchill Livingstone; 1994. h. 317-49.
24. Amiruddin MD. Perkembangan pengobatan kusta. MDVI.
1999; 26(4): 26S-31S.
25. Saavedra AP, Moschella SL. Leprosy. Dalam: Hall JC, Hall
BJ. Skin Infection – diagnosis and treatment. New York:
Cambridge University Press; 2009. h.76-87.
26. Adji A, Aryadi A, Oroh EE, Kandou RT. Kusta multibasilar
disertai reaksi eritema nodosum leprosum yang diterapi dengan
rejimen rifampisin-klaritromisin dan kortikosteroid. Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin. 2009; 21(3): 236-40.
27. Pridady NS, Daulat, Susanto RS, dkk. Lepra histoid yang
diterapi dengan rifampisin dan klaritromisin. Dalam: Buku
Abstrak Kongres Nasional XII PERDOSKI Palembang. 2008.
h. 209-10.
28. Kabulrachman. Problema dermatologik pada usia lanjut.
Dalam: Boedhi-Darmojo R. Martono HH, editor. Buku ajar
geriatri. Edisi ke-3. Balai Penerbit FKUI Jakarta; 1999. h.
408-10.
29. Jopling WH, McDougall AC. Leprosy reactions (reactional
states). Dalam: Handbook of Leprosy. Edisi ke-5. New Delhi:
CBS Publisher; 1996. h. 82-91.
30. Burdick AE. Leprosy including reactions. Dalam: Lebwohl
MG, Heymann WR, Berth-Jones J, et al., editors. Treatment
of Skin Disease. London: Mosby; 2002. h. 336-9.
31. Azulay RD. Reactions in leprosy: clinical aspects. Dalam:
Burgdorf WHC, Katz SI, Hood AF, dkk editors. Dermatology
Progress & Perspectives. New York: The Parthenon Publishing
Group; 1992. h. 887-9.
32. Moschella SL. An update on the diagnosis and treatment of
leprosy. J Am Acad Dermatol. 2004; 51: 417-26.
33. Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Management of reactions.
Dalam: Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3.
London: Churchill Livingstone; 1990. h. 127-32.
34. Brycesson A, Pfaltzgraff RE. Treatment. Dalam: Brycesson
A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. London: Churchill
Livingstone; 1990. h.77-91.
35. Kaimal S, Thappa DM. Relapse in leprosy. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. 2009; 75: 126-35.
36. Ogbru O, Pharm D. Nonsteroidal antiinflamatory drugs.
Tersedia
di:
http://www.medicinenet.com/
nonsteroidal_antiinflammatory_drugs/article.htm. Disitasi
Agustus 2010.
Danny Gunawan dkk.
Kasus Kusta Multibasiler Tipe Borderline Lepromatous pada Geriatri
37. Annonymous. Diclofenac. Wikipedia, the free encyclopedia.
Tersedia di: http://en.wikipedia.org/wiki/diclofenac . Disitasi
Januari 2011.
38. Derry P, Derry S, Moore RA, McQuay HJ. Single dose oral
diclofenac for acute postoperative pain in adults. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2009: Issue No. 2.
39. Annonymous. Diclofenac potassium tablet, film coated.
Mylan Pharmaceuticals Inc. Tersedia di: http://
dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/drugInfo.cfm?id=31464.
Disitasi Juni 2009.
40. Valencia IC, Kerdel FA. Topical corticosteroids. Dalam: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI., editors. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York:
McGraw-Hill; 2008. h.2102-6.
41. Girdhar BK. Immuno pharmacology of drugs used in leprosy
reactions. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 1990; 56: 35463.
42. Barclay L. Use of topical corticosteroids for dermatologic
conditions reviewed. American Family Physician. 2009; 79:
135-40.
63S
Download