Perkembangan Ekonomi Makro

advertisement
Kamar Dagang dan Industri Indonesia
Laporan Ekonomi Bulanan
Januari 2007
Sekretariat Kamar Dagang dan Industri Indonesia
oleh
Erna Zetha
DR. Tulus Tambunan
Menara Kadin Indonesia 29th Floor
Jl. HR. Rasuna Said X-5 Kav. 2-3 Kuningan – Jakarta Selatan
www.kadin-indonesia.or.id
INDIKATOR EKONOMI
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Indikator
Nilai PDB Harga Konstan Tahun 2000 (Rp triliun)
Pertumbuhan PDB (%)
Inflasi (%)
Total Expor (USD milyar)
Expor Non Migas (USD milyar)
Total Impor (USD milyar)
Impor Non Migas (USD milyar)
Neraca Perdagangan (USD milyar)
Neraca Transaksi Berjalan (USD milyar)
Cadangan Devisa (USD milyar, akhir tahun)
Posisi Utang Luar Negeri (USD milyar)
Rupiah/USD (Kurs Tengah Bank Indonesia)
Total Penerimaan Pemerintah (Rp triliun)
Total Pengeluaran Pemerintah (Rp triliun)
Defisit Anggaran (Rp triliun)
Uang Primer (Rp triliun)
Uang Beredar (Rp triliun)
a. Arti Sempit (M1)
b. Arti Luas (M2)
Dana Pihak Ketiga Perbankan (Rp triliun)
Kredit Perbankan (Rp trilioun)
Suku Bunga (% per tahun)
a. SBI satu bulan
b. Deposito 1 bulan
c. Kredit Modal Kerja
d. Kredit Investasi
Persetujuan Investasi
- Domestik (Rp triliun)
- Asing (US$ milyar)
IHSG BEJ
Nilai Kapitalisasi Pasar BEJ (Rp triliun)
2002
2003
2004
2005
2006
1,506.10
4.38
10.03
57.0
44.9
31.2
24.8
25.8
4.7
32.0
131.3
8,940
299.0
244.0
-23.2
138.3
1,579.60
4.88
5.06
55.6
43.1
29.5
22.6
26.1
4.0
36.3
135.4
8,330
340.7
258.1
-37.7
136.5
1,660.60
5.13
6.4
69.7
54.1
46.2
34.6
23.5
2.9
35.93
136.1
9,355
407.5
306.1
-17.4
199.7
1,749.60
5.6
17.11
85.57
66.32
57.55
40.16
28.02
0.93
34.72
133.5
9,830
516.2
542.4
-26.18
239.8
1,378.4
5.14
6.60
91.19
71.89
56.06
38.47
35.13
3.42
42.59
131.8
9,020
539.4
559.3
-19.9
264.5
(1)
(1)
(2)
(3)
(3)
(3)
(3)
(3)
(1)
(6)
(7)
(7)
(*)
(*)
(*)
(5)
191.9
883.9
845.0
365.4
207.6
911.2
866.3
411.7
253.8
1,033.50
965.1
553.6
281.9
1,203.20
1,134.10
689.7
346.4
1,325.7
1,244.9
749.9
(4)
(4)
(4)
(4)
12.9
12.8
18.3
17.8
8.1
7.7
15.8
16.3
7.4
6.4
13.4
14.1
12.75
11.98
15.92
15.43
10.25
10.01
15.6
15.5
(5)
(4)
(4)
(4)
25.3
9.7
424.9
268.4
16.0
6.2
742.5
411.7
36.80
10.3
1,002.20
679.9
50.58
13.58
1,162.60
758.4
157.53
13.89
1,805.5
1.249.1
(3)
(3)
(6)
(6)
Source: BPS, BI and JSX
1)
2)
3)
4)
*)
Triwulan I-III
Januari – Desember 2006
Januari – November 2006
Posisi akhir Oktober 2006
dalam APBN 2006
5) Posisi akhir November 2006
6) Posisi akhir Desember 2006
7) Posisi akhir triwulan I 2006
Laporan Ekonomi Bulan Januari 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
www.kadin-indonesia.or.id
2
Perkembangan Ekonomi Indonesia
Analisa Bulanan
Oleh Sekretariat KADIN Indonesia Erna Zetha dan DR. Tulus Tambunan
Penasehat Ahli JETRO Yojiro OGAWA dan Shoji MAEDA
KADIN Indonesia
Januari 2007
Selama bulan Januari 2007 terdapat beberapa perkembangan ekonomi yang cukup menarik untuk diperhatikan.
Diantaranya adalah keputusan pemerintah untuk tidak lagi menggunakan Consultative Group on Indonesia (CGI)
yang telah bertahun-tahun diandalkan untuk menutup defisit anggaran negara demi meningkatkan kredibilitas
perekonomian Indonesia. Setelah melunasi utang kepada IMF pada tahun 2006 lalu, maka kebijakan ini semakin
menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan kemandirian ekonomi, yang selama bertahun-tahun
dipersoalkan berbagai pihak. Oleh karena itu keputusan pemerintah tersebut sangat didukung oleh pihak-pihak
yang melihat bahwa keberadaan CGI memang sudah tidak diperlukan lagi.
Ada berbagai alasan yang bisa dikemukakan berkaitan dengan dukungan terhadap kebijakan ini. Alasan pertama
adalah karena semakin tidak signifikannya pinjaman CGI akhir-akhir ini. Setiap tahun, besarnya pinjaman yang
didapatkan dari CGI hanya sekitar US$ 3 miliar, atau setara dengan Rp 30 triliun. Dibandingkan dengan besaran
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dewasa ini mencapai Rp 700 triliun, maka pinjaman tersebut
hanya sekitar 5 persen saja. Angka ini jauh berbeda dengan kondisi pada masa Orde Baru, yang pada saat itu
APBN-nya masih sebesar Rp 100 triliun, sehingga pinjaman tersebut mencapai 30 persennya. Alasan kedua adalah
bahwa belakangan ini rencana pembelanjaan APBN tidak terealisasi sepenuhnya. Untuk tahun 2007 Departemen
Keuangan memperkirakan penyerapan APBN ke dalam proyek-proyek maksimal hanya mencapai 75 persen,
sehingga keberadaan pinjaman CGI mutlak tidak lagi diperlukan.
Alasan ketiga berkaitan dengan dampak sosial politik yang ditanggung Indonesia dengan adanya pinjaman ini.
Posisi tawar Indonesia selalu lemah jika berhadapan dengan para kreditor yang tergabung dalam forum tersebut.
Kreditor seringkali ikut mengintervensi kebijakan pemerintah, baik sehubungan dengan permasalahan politik yang
menyangkut masalah demokrasi dan hak asasi, maupun permasalahan kebijakan ekonomi yang berkaitan dengan
masalah liberalisasi dan privatisasi, yang tidak sepenuhnya cocok bagi Indonesia. Dan alasan lainnya adalah bahwa
dengan situasi makro ekonomi yang sudah lebih baik dewasa ini, maka sudah saatnya Indonesia tidak terlalu
bergantung pada pihak asing. Kredibilitas ekonomi Indonesia selayaknya tidak lagi ditentukan oleh keberadaan
forum tersebut, tetapi pada seberapa jauh pemerintah mau memenuhi komitmennya untuk memperbaiki kondisi
perekonomian dan dunia usaha pada khususnya.
Seperti diketahui, selain terjaganya stabilitas makro ekonomi, beberapa indikator ekonomi lainnya juga
menunjukkan perbaikan yang berarti. Hal ini selayaknya dapat menggairahkan dunia usaha. Adanya kebijakan
perpajakan yang membebaskan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen terhadap 70 komoditas dari
enam subsektor pertanian dan perikanan, dan turunnya harga BBM untuk industri per 1 Februari 2007 ini -sehubungan dengan turunnya harga minyak mentah dunia – mestinya direspon secara antusias oleh dunia usaha
jika kondisi bisnis dalam negeri sudah lebih kondusif. Namun, sayangnya, berbagai urusan yang berkaitan dengan
masalah perpajakan, bea dan cukai, ketenagakerjaan, infrastruktur, masalah hukum dan birokrasi, dan masalah
pemungutan liar masih belum teratasi sampai saat ini, sehingga minat investasi tidak terus membaik. Jangankan
dapat menarik minat investor asing, bahkan para pemilik modal dalam negeripun memilih menanamkan modalnya
di luar negeri.
Dengan kecenderungan membaiknya pasar modal dalam negeri belakangan ini, harus diakui bahwa hal tersebut
turut berperan dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Namun karena tidak diikuti oleh membaiknya sektor
produksi riil, tidaklah salah jika ada pihak yang menilai bahwa ekonomi Indonesia tumbuh secara tidak berkualitas.
Perekonomian Indonesia dianggap hanya digerakkan oleh sektor keuangan yang bertumpu pada derasnya aliran
dana yang masuk ke Indonesia. Tidak terpacunya kegiatan sektor produksi riil menyebabkan pertumbuhan
ekonomi yang terjadi tidak mampu menyerap tenaga kerja.
Laporan Ekonomi Bulan Januari 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
www.kadin-indonesia.or.id
3
Mengutip pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, memang terlihat bahwa struktur pasar
dalam perekonomian Indonesia cenderung oligopolis, baik di sektor produksi maupun distribusi. Hal ini
menyebabkan akses dan partisipasi masyarakat terhadap kegiatan ekonomi yang lebih luas menjadi terbatas,
dimana kapasitas pasokan barang tidak optimal dan ekspansi pasar domestik secara keseluruhan menjadi lambat.
Kondisi ini pada gilirannya mengakibatkan akumulasi kelebihan likuiditas di sektor keuangan menjadi semakin
besar, karena dana yang terkumpulkan tidak tersalurkan ke sektor-sektor usaha yang produktif.
Penempatan dana dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang terus meningkat cepat belakangan ini, jelas
menunjukkan bahwa bank-bank dan para pemilik dana cenderung menempatkan dananya di instrumen keuangan
yang berisiko rendah. Berdasarkan data Bank Indonesia, penempatan dana dalam bentuk SBI meningkat sekitar
197 persen dalam setahun terakhir ini, yaitu dari Rp 79,1 triliun pada Januari 2006 menjadi Rp 235 triliun pada
Januari 2007. Peningkatan ini terjadi terutama sejak April 2006, ketika jumlahnya mencapai Rp 113,3 triliun dari
sebesar Rp 97,85 triliun pada Maret 2006.
Tabel 1
Kegiatan Usaha Bank Umum (Bank Industry Operations)
(Rp Miliar)
End of
Penyaluran
Period
Dana
2001
656,780
2002
698,885
2003
796,731
2004
932,971
2005
1,140,278
SBI dan
SWBI
74,296
76,859
101,374
94,058
54,256
Sumber
Dana
975,415
967,444
1,006,624
1,105,769
1,283,480
Total
Aset
1,099,699
1,112,204
1,213,518
1,272,081
1,469,827
Jumlah
Bank
145
141
138
133
131
Jumlah
Kantor
6,765
7,001
7,730
7,939
8,236
79,096
88,732
97,852
113,313
142,395
139,811
139,600
152,326
150,680
136,556
176,550
179,045
1,267,644
1,272,208
1,270,567
1,270,288
1,309,107
1,323,401
1,317,372
1,345,467
1,365,187
1,388,514
1,415,127
1,468,369
1,465,640
1,466,341
1,465,302
1,466,920
1,514,924
1,519,439
1,517,067
1,551,381
1,578,191
1,605,162
1,634,992
1,693,850
131
131
131
131
130
130
130
130
130
130
130
130
8,283
8,324
8,368
8,391
8,523
8,679
8,847
8,954
9,039
9,089
9,092
9,110
2006
January
February
March
April
May
June
July
August
September
October
November
December
1,132,603
1,128,251
1,143,323
1,149,258
1,192,964
1,200,502
1,197,417
1,232,540
1,256,012
1,280,156
1,320,808
1,380,373
Sumber: Bank Indonesia
Perkembangan Pasar Uang dan Pasar Modal
Meskipun sedikit mengalami depresiasi, secara keseluruhan nilai tukar rupiah tetap stabil selama bulan Januari
2007. Pada akhir Januari 2007 kurs tengah rupiah berada pada level Rp 9.090 atau terdepresiasi sekitar 0,8 persen
dari level Rp 9.020 pada akhir Desember 2006. Kembai terjadinya kepanikan di bursa saham Thailand, yang juga
berpengaruh pada bursa saham dalam negeri, merupakan salah satu penyebab terjadinya pelemahan rupiah sejak
memasuki minggu kedua Januari 2007. Namun Bank Indonesia meyakini bahwa pelemahan ini hanya bersifat
sementara, karena melihat bahwa nilai tukar rupiah berada dalam kecenderungan untuk menguat ditinjau dari sisi
fundamental perekonomian Indonesia.
Kuatnya fundamental perekonomian Indonesia antara lain ditunjukkan oleh angka inflasi yang relatif rendah dan
terus meningkatnya surplus neraca perdagangan. Terus membaiknya nilai ekspor dan meningkatnya cadangan
devisa memang telah menjadi penyokong untuk terus menguatnya nilai rupiah. Selama 11 bulan pertama tahun
2006 nilai ekspor mencapai angka US$ 91,2 miliar, atau tumbuh 17,6 persen terhadap nilai ekspor pada periode
yang sama tahun 2005. Sementara itu cadangan devisa pada akhir Desember 2006 mencapai US$ 42,6 miliar.
Laporan Ekonomi Bulan Januari 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
www.kadin-indonesia.or.id
4
Kurs Tengah Rupiah Terhadap Dollar AS
Januari 2006 - Januari 2007
8,500
8,700
Rp/US$
8,900
9,100
9,300
9,500
9,700
24-Jan-07
29-Dec-06
6-Dec-06
14-Nov-06
16-Oct-06
22-Sep-06
31-Aug-06
4-Aug-06
13-Jul-06
21-Jun-06
30-May-06
3-May-06
7-Apr-06
13-Mar-06
17-Feb-06
25-Jan-06
2-Jan-06
9,900
Sementara itu, walapun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terpuruk ke level 1.678,04 pada 12 Januari
2007, namun secara keseluruhan tren kenaikan harga saham dalam negeri masih terus berlanjut, sejalan dengan
tetap membaiknya gairah pasar modal dunia. Meskipun bursa saham Thailand kembali mengalami kepanikan di
awal minggu kedua Januari 2007, namun tidak berpengaruh secara signifikan pada bursa saham global. Indeks
Dow Jones hanya sempat terkoreksi pada 8 Januari 2007 untk selanjutnya kembali menguat pada keesokan
harinya. Bahkan cenderung terus menguat, sehingga pada akhir Januari 2007 mencapai level 12.621,69.
Bersamaan dengan itu Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta juga kembali menguat, dan pada akhir
Januari 2007 mencapai level 1.757,3.
Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta
Januari 2006 - Januari 2007
2,000
Indeks
1,800
1,600
1,400
1,200
2-Jan
16-Jan
30-Jan
13-Feb
27-Feb
13-Mar
27-Mar
10-Apr
24-Apr
8-May
22-May
5-Jun
19-Jun
3-Jul
17-Jul
31-Jul
14-Aug
28-Aug
11-Sep
25-Sep
9-Oct
23-Oct
6-Nov
20-Nov
4-Dec
18-Dec
1-Jan
15-Jan
29-Jan
1,000
Sum ber: Bursa Efek Jakarta
Sungguhpun demikian tidak dapat disangkal bahwa kondisi pasar modal selama bulan Januari 2007 tidak lebih baik
dari kondisi pada bulan sebelumnya. Hal ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor domestik, yaitu berupa beritaberita yang bersifat pesimistis, yang tidak memberi sentimen positif pada pasar. Selain kenyataan belum
membaiknya sektor riil, kondisi sektor perbankan yang tak kunjung menjalankan fungsi intermediasinya juga
mempengaruhi ekspektasi para investor tehadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Selain itu,
Laporan Ekonomi Bulan Januari 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
www.kadin-indonesia.or.id
5
terjadinya koreksi pada harga saham juga dipengaruhi oleh adanya evaluasi ulang terhadap price earning (PE)
saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang dinilai sudah terlalu mahal.
Jika dibandingkan dengan posisi indeks pada akhir tahun 2006, yang sebesar 1.805,52 maka indeks harga saham
pada akhir Januari 2007 mengalami penurunan sebesar 2,67 persen. Sementara itu, pada periode yang sama
indeks Dow Jones mengalami kenaikan sebesar 1,3 persen dari level 12.463,15 pada akhir Desember 2006.
Perkembangan Laju Inflasi
Seperti dua tahun sebelumnya, inflasi bulan Januari 2007 juga berada di atas angka 1 persen, yaitu mencapai 1,04
persen. Meski lebih rendah dibandingkan angka inflasi pada bulan yang sama tahun 205 dan 2006, namun angka
inflasi sebesar ini tetap dapat dianggap sebagai awal yang kurang menggembirakan. Kenaikan harga beras dan
beberapa kebutuhan pokok masyarakat, masih terus berlanjut karena masih terbatasnya pasokan barang-barang
tersebut, sehingga semakin memberatkan kehidupan masyarakat. Dengan kondisi seperti ini maka perbaikan
ekonomi makro seolah-olah tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya dilihat dari semakin memburuknya
kondisi di sektor produksi riil, terutama di sektor pertanian.
Kumulatif 2005
17.11
Kumulatif 2006
Kumulatif 2007
6.60
December
November
October
September
August
July
June
May
April
March
1.04
February
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
January
%
Inflasi Kumulatif (%)
2005 - 2007
Relatif tingginya inflasi di bulan Januari 2007 terutama disebabkan kenaikan harga yang cukup tinggi pada
kelompok bahan makanan yang mencapai 2,68 persen, yang memberikan andil/sumbangan inflasi sebesar 0,69
persen dari total angka inflasi. Kemudian diikuti oleh andil kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar
sebesar 0,17 persen, dan andil kelompok makanan jadi sebesar 0,15 persen. Terjadinya kegagalan produksi akibat
terjadinya kekeringan dan juga banjir pada sentra-sentra produksi sayur mayur menyebabkan terjadinya kenaikan
harga yang signifikan pada kelompok bahan makanan ini. Sementara itu kelangkaan pasokan beras disebabkan
terjadinya kegagalan panen dan terlambatnya penanaman padi akibat adanya perubahan cuaca ditanah air.
Sangat disayangkan bahwa seluruh kondisi ini tidak terantisipasi dengan baik oleh Dpartemen Pertanian dan juga
oleh Departemen Perdagangan.
Perkembangan Ekspor
Dengan dicapainya nilai ekspor yang selalu di atas US$ 8 miliar sejak bulan Mei 2006 – bahkan sebesar US$ 9,5
miliar pada bulan Desember 2006 -- nilai ekspor Indonesia pada tahun 2006 mencapai sebesar US$ 100,7 miliar
atau tumbuh 17,6 persen terhadap nilai ekspor tahun 2005. Kenaikan ini disebabkan oleh naiknya ekspor non
migas sebesar 19,7 persen dan naiknya ekspor migas sebesar 10,2 persen. Sementara itu dengan nilai impor yang
tercatat sekitar US$ 61,1 miliar, maka pada tahun 2006 neraca perdagangan mencapai US$39,61 miliar, yang lebih
tinggi 41,7 persen dari neraca perdagangan tahun 2005 sebesar US$ 27,96 miliar.
Laporan Ekonomi Bulan Januari 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
www.kadin-indonesia.or.id
6
Perkembangan Nilai Ekspor dan Nilai Impor Indonesia
(US$ Milyar)
85.6
100.7
120
57.5
61.1
71.6
46.5
61.0
32.4
57.2
31.3
56.3
33.5
31.0
48.8
48.7
24.0
20
27.3
40
53.4
60
62.1
80
41.7
US$ Milyar
100
0
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Ekspor
2004
2005
2006
Impor
Dari kenaikan ekpor non migas sebesar 19,7 persen, sektor pertambangan mencatat kenaikan tertinggi, yaitu
sebesar 40,9 persen. Seperti diketahui, hal ini berkaitan dengan kenaikan harga beberapa komoditi dari sektor
pertambangan, khususnya batu bara. Sementara itu kenaikan ekspor sektor indusri yang hanya sekiar 16,7 persen
menunjukkan belum bangkitnya sektor ini, dan menjadikannya tidak kunjung kembali menjadi motor pertumbuhan
ekonomi yang dapat diandalkan.
Nilai Ekspor Migas dan Non M igas, 2000 - 2006
(US$ Miliar)
120
US$ Juta
100
80
7 9 .5
60
40
6 6 .4
4 7 .8
5 5 .2
4 3 .7
4 5 .0
4 7 .4
14 .4
12 .6
12 .1
13 .6
15 .6
19 .2
2 1.2
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
20
0
Migas
Non Migas
Japan Indonesian Economic Partnership Agreement (EPA)
Persetujuan Kemitraan Ekonomi antara Indonesia dan Jepang (Japan Indonesian Economic Partnership Agreement
– EPA) secara prinsip telah ditandatangani pada tanggal 28 November 2006 di Tokyo. Diharapkan selambatlambatnya pada Maret 2007 seluruh persetujuan dapat disahkan sehingga Indonesia dapat menyusul Singapura,
Malaysia, Filipina dan Thailand yang sudah lebih dulu membangun kemitraan dengan Jepang. Terkait dengan
kerjasama kemitraan tersebut maka sekitar 80 persen dari jumlah tariff atau 91 persen dari nilai ekspor Indonesia
ke Jepang akan menikmati tariff bea masuk (BM) nol persen saat persetujuan final EPA ditandatangani. Selebihnya
penurunan bea masuk akan diberikan Jepang dalam kurun waktu 3 hingga 10 tahun untuk sektor industri dan 15
tahun untuk beberapa jenis produk pertanian.
Selanjutnya begitu EPA disahkan maka sekitar 30 persen dari jumlah tarif impor dari Jepang akan langsung
diturunkan menjadi nol persen, sedangkan selebihnya akan diturunkan dalam waktu 3 hingga 15 tahun. Kemudian
Laporan Ekonomi Bulan Januari 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
www.kadin-indonesia.or.id
7
sekitar 9 persen dari jumlah tariff dikecualikan Indonesia dari komitmen, sedangkan Jepang mengecualikan 10
persen jumlah tariff atau 1persen dari nilai ekspor Indonesia.
Menurut Menteri Perdagangan, EPA ini sangat penting bagi Indonesia karena Jepang merupakan salah satu negara
tujuan ekspor utama Indonesia yang memberikan kontribusi sekitar 20 persen dari total ekspor Indonesia.
Disamping itu kontribusi Jepang terhadap total investasi di Indonesia mencapai sekitar 13 persen. Persetujuan
kemitraan itu diyakini akan memberikan manfaat positif jika kalangan dunia usaha dapat memanfaatkan peluang
tersebut. Beberapa komoditi ekspor non migas akan diuntungkan dengan adanya EPA ini, diantaranya adalah
komoditi tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik dan otomotif.
Dalam tiga tahun terakhir ini neraca perdagangan Indonesia dengan Jepang selalu menunjukkan surplus yaitu
tahun 2004: US$ 9,88 miliar, tahun 2005: US$ 11,14 miliar dan tahun 2006 (Januari-Juni): US$ 7,66 miliar.
Diharapkan dengan adanya EPA surplus neraca perdagangan akan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya daya saing produk-produk ekspor Indonesia ke Jepang.
Dalam kaitan ini kalangan industri TPT optimis bahwa implementasi dari EPA akan memperbesar akses pasar bagi
produk TPT Indonesia, sehingga ekspor TPT ke Jepang dapat ditingkatkan dari 4 persen menjadi 10 persen
terhadap total. Menurut Asosiasi Produsen Tekstil Indonesia (API), ekspor TPT ke Jepang pada tahun 2005
mencapai sekitar US$ 516 juta atau 6 persen dari total ekspor tahun itu sebesar US$ 8,6 miliar. Di Jepang ekspor
TPT Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Kalangan tekstil meyakini bahwa produk TPT Indonesia berpeluang untuk berkembang di Jepang meskipun harus
bersaing ketat dengan China yang menguasai sekitar 81 persen pasar TPT di Jepang. Karena dengan adanya EPA
harga TPT Indonesia kan mampu bersaing karena BM nya ke pasar Jepang akan turun dari rata-rata sekitar 6,7
persen menjadi nol. Menurut API, melalui EPA harga produk TPT dapat berselisih 7-10 persen dibandingkan
produk China.
Untuk dapat memanfaatkan akses pasar di Jepang tersebut, maka industri TPT nasional perlu segera
merestrukturisasi mesin-mesinnya agar dapar memproduksi jenis tektil yang memenuhi selera konsumen di Jepang.
Dewasa ini konsumen tekstil di Jepang menyukai produk-produk tekstil yang tergolong high class, sementara untuk
segmen tekstil tersebut Indonesia menghadapi persaingan yang ketat dengan India dan Filipina. Untuk memenuhi
tuntutan selera konsumen tersebut akan sulit jika kondisi permesinan masih seperti sekarang ini. Sementara untuk
mendapatkan dukungan dana dari sektor perbankan di dalam negeri untuk keperluan restrukturisasi mesin-mesin
tekstil bukanlah hal yang mudah Karena itu API juga mengharapkan bahwa EPA juga akan mengakomodasi
adanya bantuan teknis seperti pendidikan pertekstilan ataupun pinjaman lunak untuk keperluan restrukturisasi
mesin.
Selain untuk TPT, Jepang akan membuka akses untuk produk agribisnis seperti buah-buahan, makanan dan
minuman asal Indonesia. Sementara itu kalangan industri makanan olahan dan produk pertanian menilai bahwa
pemerintah Jepang sudah mengenakan BM yang relatif rendah sekitar 10 persen untuk produk asal Indonesia.
Permasalahan yang dihadapi industri makanan olahan justru sulitnya menembus pasaran Jepang berkaitan dengan
non tariff barrier yang dikenakan negara itu.
Hambatan non tarif terutama tingginya standardisasi produk, kerap dipandang sebagai masalah yang sulit
dibandingkan dengan hambatan tarif. Diantaranya adalah bahwa produk makanan olahan asal Indonesia harus
lolos uji kesehatan pangan (sanitary). Sedangkan untuk produk buah harus steril dari kandungan lalat buah.
Karena itu kalangan industri makanan juga mengharapkan adanya bantuan teknis dari pemerintah Jepang, agar
produk Indonesia dapat diterima di pasar Jepang.
Selain produk dari industri makanan maka produk lain yang akan diuntungkan dengan adanya EPA tersebut adalah
pulp dan kertas. Diperkirakan dengan adanya penurunan BM ke Jepang maka produk pulp dan kertas akan
meningkat daya saingnya sehingga hal itu dapat meningkatkan ekspor produk tersebut. Ekspor kertas Indonesia
(HS 48) periode Januari-Agustus 2006 mencapai US$ 240,15 juta sedangkan untuk pulp (HS 47) sebesar US$ 58,86
juta. Dengan nilai ekspor sebesar itu Indonesia berada di urutan ketiga terbesar dari eksportir kertas setelah
Amerika Serikat dan China.
Sementara itu kalangan industri otomotif menyatakan bahwa penurunan atau penghapusan BM beberapa pos tariff
tidak akan berkorelasi langsung dengan naiknya investasi Jepang di bidang otomotif di Indonesia. Ini disebabkan
karena masalah investasi banyak dipengaruhi oleh infrastruktur jalan, pelabuhan ekspor otomotif dan iklim investasi
yang secara umum belum kondusif. Walaupun Jepang memandang Indonesia cukup potensial sebagai basis
produksi otomotif dan elektronik untuk kawasan Asia Pasifik, tetapi diperlukan pembenahan secara komprehensif.
Laporan Ekonomi Bulan Januari 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
www.kadin-indonesia.or.id
8
Pembenahan tidak saja membutuhkan pembukaan akses pasar dan investasi langsung tetapi juga memerlukan
pengembangan industri pendukung.
This report is for use by professional and business investors only and has been prepared for information purposes and is not an offer to sell or a solicitation to buy
any institution. The information herein was obtained or derived from sources that we believe are reliable, but whilst all reasonable care has been taken to ensure
This report is for use by professional and business investors only and has been prepared for information purposes and is not an offer to sell or a solicitation to buy
that stated facts are accurate and opinions fair and reasonable, we do not represent that it is accurate or complete and it should not be relied upon as such. All
opinions and estimates included in this report constitute our judgment as of this date and are subject to change without notice. This document is for the information of
clients only and must not be copied, reproduced or mare available to others.
Laporan Ekonomi Bulan Januari 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
www.kadin-indonesia.or.id
9
Download