BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai makhluk multidimensional, memiliki akal
pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial. Karena
itu manusia disebut sebagai makhluk yang unik, yang memiliki kemampuan
sosial sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia tidak mampu
hidup sendiri di dalam dunia ini baik sendiri dalam konteks fisik maupun
dalam konteks sosial budaya. Sosiologi berpendapat bahwa tindakan awal
dalam penyelarasan fungsi-fungsi sosial dan berbagai kebutuhan manusia
diawali oleh dan dengan melakukan interaksi sosial atau tindakan komunikasi
satu dengan yang lainnya (Bungin, 2006:25). Orang yang tidak berkomunikasi
cenderung akan terisolasi dengan lingkungannya. Tiap individu melakukan
komunikasi untuk dapat mengembangkan diri, pengetahuan, belajar dari
pengalaman, maupun dari informasi yang langsung diterima dari lingkungan
tempat individu berkomunikasi.
Para
pakar
komunikasi
telah
mengklasifikasikan
komunikasi
berdasarkan konteksnya. Kategorisasi paling umum yang digunakan untuk
melihat konteks komunikasi ialah berdasarkan tingkat atau level, dilihat dari
jumlah peserta komunikasi yang terlibat. Terdapat empat tingkat komunikasi,
yaitu komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi,
dan komunikasi massa (Mulyana, 2008:80).
1
Komunikasi interpersonal menurut Devito (2009:4) merupakan
interaksi verbal dan nonverbal antara dua orang atau lebih yang saling
bergantung. Banyak peneliti telah memelajari mengenai komunikasi
interpersonal dari berbagai sisi, misalnya komunikasi dalam keluarga,
pertemanan, pernikahan berusia panjang, hubungan antara dokter dan pasien,
relasi di lingkungan kerja dan masih terus diadakan penelitian mengenai jenis
komunikasi interpersonal baru yang muncul seiring dengan perkembangan
zaman (West&Turner, 2009:36). Individu yang saling berkomunikasi dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Komunikasi itu sendiri memerlukan sebuah proses yaitu pembukaan
percakapan (Opening), feedforward untuk memberikan gambaran topik
pembicaraan secara garis besar, inti pesan yang ingin disampaikan, respon
atau timbal balik (feedback) dari komunikan setelah menerima pesan, dan
penutup yang mengakhiri percakapan atau komunikasi. Ketika seseorang
berinteraksi dengan orang lain untuk pertama kalinya, informasi mengenai diri
yang diberikan kepada satu dengan lainnya tidak banyak.
Informasi yang dibagikan hanya yang bersifat umum (dangkal) saja,
seperti nama, usia, pekerjaan, sekolah/kantor, atau informasi lain yang
dianggap perlu. Semakin banyak frekuensi seseorang berinteraksi dengan
teman atau kenalannya, maka semakin banyak (dalam) informasi mengenai
diri yang dibagikan (West&Turner, 2009;200). Kedalaman informasi ini
biasanya dilakukan karena seseorang ingin membina hubungan yang lebih
baik dengan lawan bicaranya. Hal inilah yang sering disebut self-disclosure.
2
Menurut Altman dan Taylor, hubungan yang tidak intim dapat
bergerak menuju hubungan yang intim karena adanya keterbukaan diri. Proses
ini memungkinkan orang untuk saling mengenal dalam sebuah hubungan.
Self-disclosure membantu membentuk hubungan masa kini dan masa depan
antara dua orang serta membuat diri terbuka terhadap orang lain memberikan
kepuasan yang intrinsik. Banyak faktor yang memengaruhi seseorang ketika
memutuskan ingin membuka diri atau tidak apa yang ingin ‘dibuka’ dan
kepada siapa seseorang ingin membuka diri (Devito, 2009:194). Sifat
seseorang, budaya yang dimiliki, gender, lawan bicara atau pendengar, serta
topik menjadi faktor-faktor yang memengaruhi proses self-disclosure
seseorang. Semakin banyak perbedaan yang ditemukan di antara individu
yang saling berinteraksi, semakin besar tantangannya untuk melakukan
keterbukaan diri.
Saat berhadapan dengan lawan bicara yang berbeda budaya, seseorang
harus melakukan komunikasi antar budaya agar dapat meminimalisir resiko
yang akan timbul. Menurut Samovar dan Porter (2010:55), komunikasi antar
budaya merupakan komunikasi antara orang yang persepsi budaya dan sistem
simbolnya berbeda. Dalam melakukan komunikasi antar budaya, beberapa
masalah yang sering timbul ialah faktor keunikan individu, stereotip,
objektifitas, dan kepercayaan bahwa komunikasi dapat menyelesaikan
segalanya.
DeVito (2009:36) juga menyebutkan bahwa ketika kata-kata
komunikasi antar budaya melintas, maka yang terlintas di pikiran pertama kali
adalah perbedaan bahasa. Misalnya antara orang Jawa pun dapat terjadi
3
language gap karena bahasa yang digunakan masyarakat di Jawa Barat adalah
bahasa Sunda, sementara bahasa yang digunakan oleh masyarakat di
Yogyakarta adalah bahasa Jawa.
Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya, Indonesia adalah negara
yang tingkat interaksi komunikasi antar budaya nya tinggi. Hal ini disebabkan
karena Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki wilayah yang luas
disertai dengan perbedaan keadaan geografi di setiap daerahnya sehingga
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk atau heterogen.
Meskipun demikian, ada beberapa daerah di Indonesia yang
masyarakatnya homogen, ada pula daerah-daerah yang masyarakatnya
majemuk. Di Jakarta dan sekitarnya, akan ditemukan bahwa tiap-tiap
penduduk yang ada memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, penduduk DKI Jakarta
dengan status migran, yakni penduduk yang tidak lahir di Jakarta namun
tinggal di Jakarta, berjumlah 4.2 juta jiwa dari penduduk DKI Jakarta yang
berjumlah 9.6 juta jiwa. Dengan data ini, dapat diasumsikan bahwa penduduk
Jakarta memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda dikarenakan
hampir separuh penduduk Jakarta merupakan pendatang dari wilayah lain.
Masyarakat majemuk dikutip oleh Syaifuddin (2006:2) dari Furnivall
(1948:304) sebagai sekumpulan orang yang bergaul tapi tidak bercampur.
Setiap kelompok memegang agama mereka sendiri, kebudayaan, dan bahasa
sendiri, gagasan dan cara hidup sendiri. Konsep masyarakat majemuk atau
masyarakat plural seringkali dibicarakan bersama-sama dengan konsep
4
masyarakat multikultural, karena keduanya sama-sama menggambarkan
keanekaragaman sosial dan kebudayaan. Akan tetapi, jika istilah plural dan
multikultural diberi imbuhan -isme, maka pengertian keduanya akan berbeda.
Multikulturalisme sendiri menurut Syaifuddin (2006:2) merupakan
pemahaman dan cara pandang yang
menekankan interaksi dengan
memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan sebagai entitas yang memiliki
hak-hak yang setara. Sedangkan pluralisme berarti pemahaman atau cara
pandang keberagaman yang menekankan entitas perbedaan setiap masyarakat
satu sama lain dan kurang memperhatikan interaksinya. Indonesia dianggap
sebagai contoh dari masyarakat majemuk dengan pandangan pluralisme
karena keanekaragaman masyarakat dan kebudayaannya, namun kurang
berinteraksi satu sama lain karena adanya faktor geografis.
Keberagaman kondisi serta latar belakang budaya inilah yang
membuat penduduk maupun para pemimpin di Indonesia menghadapi
tantangan yang besar dalam melakukan komunikasi satu dengan lainnya yang
berada di wilayah lain dan memiliki budaya yang berbeda. Tidak hanya itu,
Indonesia mengalami beberapa masalah integritas dengan meningkatnya
keinginan beberapa daerah tertentu untuk memisahkan diri dari negara
Kesatuan Republik Indonesia karena setiap daerah merasa dapat berkembang
lebih baik jika terpisah dari NKRI. Ketidaksetaraan kondisi sosial dan
ekonomi juga meningkat seiring dengan sistem otoritas daerah, dimana ada
daerah yang maju dan berkembang pesat, namun ada pula daerah lain yang
tidak berkembang dengan baik.
5
Di luar dari rumitnya masyarakat Indonesia yang multikultural,
Indonesia menjadi salah satu negara dengan kekayaan budaya dan bahasa
yang masing-masing budaya atau bahasanya memiliki keunikan masingmasing. Masyararakat di Indonesia pun tidak asing lagi dengan adanya
perbedaan budaya. Ironisnya, banyaknya ragam budaya ini membuat
masyarakat Indonesia memiliki solidaritas yang cukup tinggi dalam sesama
suku nya ketimbang masyarakat yang bersuku atau berbudaya sama dalam
satu negara.
Masalah yang cukup pelik dialami oleh masyarakat Indonesia yang
tinggal di ibukota, yang merupakan kota impian setiap masyarakat Indonesia
karena daya tariknya sebagai pusat kegiatan utama. Jakarta serta wilayah di
sekitarnya, seperti Tangerang, Bogor, Depok, Bekasi banyak didatangi oleh
penduduk yang berasal dari penjuru negeri karena perkembangannya yang
lebih maju dari kota lainnya. Hal ini membuat ibukota memiliki kesempatan
kerja yang luas dan fasilitas yang menggiurkan. Namun, masyarakat tidak
hanya tertarik dengan segala yang ada di Jakarta, tetapi tertarik juga dengan
perkembangan di kota satelitnya, yaitu Tangerang. Perkembangan sarana dan
prasarana di Tangerang saat ini tidak berbeda jauh dengan ibukota, salah
satunya kemajuan di bidang pendidikan. Selain Jakarta, Tangerang juga
menjadi tempat pilihan para orangtua mengirimkan anak-anaknya yang berada
pada tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) untuk melanjutkan pendidikan di
Universitas-universitas yang ada di Tangerang.
6
Hal inilah yang membuat universitas merupakan salah satu institusi
pendidikan yang pelajarnya memiliki latar belakang yang berbeda-beda.
Keberagaman asal mahasiswa membuat mahasiswa harus dapat menyesuaikan
diri satu sama lain ketika berinteraksi, terlebih dalam membangun sebuah
hubungan pertemanan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perbedaan
budaya dapat menghambat seseorang dalam membangun hubungan yang lebih
lanjut dari sekadar ‘kenalan’ terlebih dalam melakukan proses membuka diri
(self-disclosure).
Satu hal baik yang terdapat di dalam keberagaman budaya di wilayah
kampus ini adalah adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dari
segala bahasa yang ada di wilayah Indonesia. Hampir seluruh mahasiswa
minimal dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia darimanapun asalnya,
sehingga masalah bahasa bukanlah masalah paling utama dalam membangun
hubungan pertemanan. Terlebih, biasanya orang-orang akan merasa tertarik
dan penasaran dengan orang lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda
dengan dirinya sendiri (Li, 2010:19).
Meskipun terdapat banyak kesulitan dalam membangun hubungan
pertemanan yang berbeda budaya, orang-orang masih terus berusaha
membangun dan menjaga pertemanan beda budaya. Beberapa studi telah
memeriksa bahwa pertemanan beda budaya masih sangat dimungkinkan.
Ketrampilan dalam komunikasi interpersonal masyarakat yang plural perlu
dimiliki oleh kaum intelektual, termasuk mahasiswa, mengingat kampus
bagaikan sebuah melting pot dimana seluruh individu yang berbeda suku,
7
budaya atau agama bertemu dan menyatu. Dalam lembaga pendidikan tinggi
inilah mahasiswa yang berlatar belakang beragam dapat saling mengenal dan
belajar mengenai kebudayaan lain. Namun, tidak semua orang memiliki
keinginan atau keterampilan dalam menjalin hubungan dengan orang yang
berbeda budaya.
Di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, mahasiswanya
berasal dari berbagai daerah dan memiliki latar belakang budaya yang sangat
beragam yang dapat dikatakan dari Sabang sampai Merauke. Setiap
mahasiswa tentu perlu melakukan interaksi dengan mahasiwa lainnya, terlebih
perlu untuk membangun hubungan pertemanan agar dapat bertahan di
kehidupan sebagai mahasiswa. Sementara, untuk memulai sebuah hubungan
pertemanan dan mengembangkannya menjadi persahabatan, salah satu yang
perlu dilakukan adalah self-disclosure.
Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat bagaimana mahasiswa
melakukan self-disclosure dalam hubungan persahabatan antar mahasiswa
yang berbeda suku sehingga dapat menghasilkan suatu integritas yang baik
bagi mahasiswa dalam menuntut ilmu, juga bagi universitas sebagai tempat
para mahasiswa menuntut ilmu dan mengembangkan diri.
8
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
Bagaimanakah self-disclosure dalam hubungan persahabatan yang berbeda
suku pada mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1) Untuk dapat mengetahui seperti apa dinamika self-disclosure
dalam hubungan persahabatan yang berbeda suku
2) Untuk dapat mengetahui tantangan-tantangan yang ditemui dalam
hubungan persahabatan yang berbeda suku.
1.4 Signifikansi Penelitian
1) Signifikansi akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan kajian di bidang
self-disclosure khususnya dalam hubungan persahabatan yang berbeda
suku.
2) Signifikansi praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi
masyarakat terutama mahasiswa yang senantiasa berinteraksi dengan
orang-orang dari berbagai suku.
9
Download