STUDI HISTOPATOLOGI KASUS KEMATIAN MASAL IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI BLITAR ANDRY JULIANTO B04090084 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 ii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Histopatologi Kasus Kematian Masal Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Blitar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Andry Julianto NIM B04090084 ii ABSTRAK ANDRY JULIANTO. Studi Histopatologi Kasus Kematian Masal Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Blitar. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan MOKHAMAD FAKHRUL ULUM. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan lele budidaya di Indonesia yang berasal dari Afrika. Budidaya ikan lele dumbo masih memiliki banyak masalah termasuk kematian masal. Salah satu metode diagnosa kejadian penyakit pada ikan adalah histopatologi. Skripsi ini bertujuan untuk mempelajari lesi histopatologi dari ikan lele dumbo yang mengalami kematian masal di Blitar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penyebab kematian masal sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan untuk budidaya ikan lele dumbo berikutnya. Preparat histopatologi organ ikan lele dumbo dibuat dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE), periodic acid Schiff (PAS), Toluidin biru dan Giemsa kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya. Perubahan yang terjadi dianalisa secara deskriptif dan patogenesa kejadian lesi disusun melalui studi literatur. Terdapat brankhitis, hepatitis perivaskular, deplesi limfoid limpa, enteritis dengan enteromixosis berat, kardiomiositis, degenerasi tubulus ginjal, degenerasi otot dan kulit. Usus diduga memiliki lesi terparah karena parasit myxozoa Enteromyxum spp. Terdapat banyak parasit protozoa berkembang dengan berbagai stadium di usus sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan. Kepadatan ikan yang tinggi disertai pengeluaran eksudat enteritis menyebabkan kualitas air menjadi buruk. Hipoksia dan ammonia yang tinggi menyebabkan kematian masal pada kasus ini. Kata kunci: Ikan lele dumbo, Enteromyxum spp., Penyakit ikan, Histopatologi ikan, Kematian masal ikan. ABSTRACT ANDRY JULIANTO. Histopathological Study of Dumbo Catfish (Clarias gariepinus) Mass Mortality Case at Blitar. Supervised by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and MOKHAMAD FAKHRUL ULUM. Dumbo catfish (Clarias gariepinus) is a species of catfish farming in Indonesia originating from Africa. However, dumbo catfish farming is still have many problem including the mass mortality. Histopathology is one of method to diagnostic fish disease. This report aims to study the histopathological lesion from dumbo catfish mass mortality case at Blitar. The results of this study are expected to provide information about the cause of the mass death in order to prevent the future death in the catfish farming. Histopathology slide of dumbo catfish organs were prepared with hematoxylin eosin (HE), periodic acid Schiff (PAS), Toluidine Blue and Giemsa staining then examined under a light microscope. The lesions were described and the pathogenesis was prepared based on the literature study. There were branchitis, perivascular hepatitis, lymphoid depletion of spleen, enteritis with severe enteromyxosis, cardiomyositis, kidney tubular degeneration, skin and muscular degeneration. The intestine was presumed to have the worst lesion due to myxozoan parasite infection of Enteromyxum spp. The intestinal epithelium showed numerous and various protozoan developmental stages resulting growth disturbances. High fish density accompanied by the discharge of enteritis intestinal content made the decreasing of water quality. In this case, very low dissolved oxygen and high ammonia concentration in the water lead to hypoxia and fish death. Keywords: Clarias gariepinus, Enteromyxum spp., Fish disease, Fish histopathology, Fish mass mortality STUDI HISTOPATOLOGI KASUS KEMATIAN MASAL IKAN LELE DUMBO (Clarias sp.) DI BLITAR ANDRY JULIANTO B04090084 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 iv Judul Skripsi : Studi Histopatologi Kasus Kematian Masal Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Blitar Nama : Andry Julianto NIM : B04090084 Disetujui oleh drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D, APVet drh. Mokhamad Fakhrul Ulum, MSi Pembimbing I Pembimbing II Diketahui oleh drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus: vi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini ialah histopatologi kematian ikan, dengan judul Studi Histopatologi Kasus Kematian Masal Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Blitar. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D, APVet dan drh. Mokhamad Fakhrul Ulum, MSi selaku pembimbing, serta Bapak drh. Beni Halalludin yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2014 Andry Julianto DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR viii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 2 METODE 2 Waktu dan Tempat 2 Alat dan Bahan 2 Metode Penelitian 2 Analisis Data 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3 SIMPULAN 16 DAFTAR PUSTAKA 17 RIWAYAT HIDUP 21 viii DAFTAR GAMBAR 1. Histopatologi insang menunjukan epitel lifting dan infiltrasi sel radang makrofag. Pewarnaan HE. 4 2. Histopatologi jantung menunjukan akumulasi sel radang limfosit disertai degenerasi hidropis pada kardiomiosit. Pewarnaan HE. 5 3. Histopatologi hati menunjukan vakuola lemak, disertai degenerasi hidropis, inti piknosis dan sel radang. Pewarnaan HE. 6 4. Limpa mengalami deplesi folikel dan proliferasi MMC. Pewarnaan HE. 7 5. Histopatologi lambung dan terdapat eksokrin pankreas. Pewarnaan HE. 8 6. Histopatologi pankreas menunjukan edema interstisial dan atropi sel asinar. Pewarnaan HE. 9 7. Histopatologi usus yang mengalami nekrotik ulseratif, hemoragi dan infiltrasi sel radang limfosit, ditemukan koloni bakteri dan terdapat parasit cacing di tengah lumen. Pewarnaan HE dan Giemsa. 10 8. Infeksi parasit Enteromyxum spp. pada usus dan sel goblet. Pewarnaan HE, Toluidin biru, PAS dan Giemsa. 11 9. Gambar makroskopis Psetta maxima yang terinfeksi Enteromyxum scophthalmi mengalami emasiasio dan endoptalamia. Usus ikan turbot yang terinfeksi. Pewarnaan toluidine blue. (Bermúdez et al. 2010). 12 10. Histopatologi ginjal menunjukan tubulus mengalami nekrosa disertai degenerasi hyalin dan terdapat proliferasi MMC. Pewarnaan HE. 14 11. Degenerasi hyalin ditunjukan dengan adanya butiran merah muda pada intrasitoplasma pada tubulus dan terdapat proliferasi melano macrophage center. Pewarnaan HE. 14 12. Histopatologi otot menunjukan adanya degenerasi dengan sebaran multifokus. Pewarnaan HE. 15 13. Histopatologi kulit mengalami spongiosis, infiltrasi sel radang, dan daerah deskuamasi pembentukan ulkus. Pewarnaan HE. 16 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah salah satu komoditas perikanan budidaya air tawar yang mempunyai nilai tinggi di Indonesia. Berdasarkan data perkembangan produksi ikan lele dumbo selama 5 tahun menunjukan hasil yang signifikan yaitu sebesar 21.82% per tahun dari 69386 ton tahun 2005 menjadi 145099 ton pada tahun 2009. Pada tahun 2014 target sasaran produksi lele adalah sebesar 900000 ton dengan kenaikan rata-rata tahun 2009-2014 sebesar 35% (DJPB 2011). Angka tersebut dicapai dalam rangka pemenuhan kebutuhan domestik yang tinggi seiring peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi perkapita penduduk Indonesia. Masyarakat pada umumnya melakukan budidaya dengan menerapkan sistem monokultur di kolam tanah dan bak semen, namun yang banyak berkembang saat ini adalah kolam terpal dengan kepadatan 100-200 ekor/m3 (DJPB 2011). Menurut Hermawan et al. (2012), kepadatan lebih dari 100 ekor/m3 (overstocking) dapat mengakibatkan kematian karena tingginya kompetisi antar individu ikan. Selain itu budidaya yang intensif memudahkan ikan mengalami stres karena lingkungan (kualitas air dan hipoksia) dan gangguan kesehatan (parasit dan penyakit menular). Stres dan defisiensi nutrisi dapat menyebabkan ketidakseimbangan fisiologi sehingga ikan rentan terhadap agen patogen (ElSayyad et al. 2010). Faktor-faktor tersebut berdampak negatif terhadap kesejahteraan ikan dan nilai ekonomi (Oliva-Teles 2012). Kasus kematian masal pada ikan lele merupakan salah satu kasus yang dapat terjadi karena kondisi ini. Pencegahan dan penanggulangan perlu diupayakan melalui penelitian dengan berbagai metode. Salah satu metode penegakan diagnosa yang dapat digunakan untuk mengetahui penyebab kematian pada ikan adalah dengan menggunakan histopatologi. Histopatologi adalah pemeriksaan jaringan dengan bantuan mikroskop yang melibatkan penggunaan zat pewarna pada bagian jaringan (Vegad 2007). Histopatologi dapat digunakan untuk menelusuri penyakit secara mikroskopik melalui informasi dari perubahan yang terjadi pada organ atau jaringan. Selain itu, histopatologi dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan infeksi penyakit, proses kejadian, dan tingkat epidemik suatu penyakit. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari studi kasus ini adalah untuk mempelajari gambaran histopatologi ikan lele dumbo yang mengalami kasus kematian masal di Blitar, sehingga diperoleh diagnosis penyakit penyebab kematian. 2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penyebab kematian masal sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan untuk budidaya ikan lele dumbo berikutnya. METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Bagian Patologi. Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH-IPB dimulai dari bulan Juli-November 2013. Alat dan Bahan Alat yang digunakan diantaranya; buffer netral formalin (BNF) 10%, pewarna Hematoksilin-Eosin (HE), reagen Schiff (PAS), pewarna giemsa, pewarna toluidin biru, litium karbonat, larutan sulfit 10%, asam periodat 1%, asam asetat 1%, larutan NaCl 1%, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, silol, minyak emersi, gelas objek, gelas penutup, mikroskop, dan kamera. Bahan berupa sampel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang berasal dari salah satu lokasi budidaya di Blitar tahun 2012. Sebanyak sembilan kolam dengan jumlah populasi dan umur yang seragam, dilaporkan mengalami kejadian kematian masal. Dari 9 kolam tersebut hanya terdapat satu kolam dengan jumlah populasi 50% yang tersisa. Gejala klinis yang ditunjukan adalah ikan berenang ke segala arah disertai lompatan ke permukaan kolam kemudian lemas dan mati. Lesio khusus pada tubuh bagian luar ikan tidak ditemukan, namun insang terlihat coklat dengan darah coklat kehitaman. Pemberian jenis pakan tipe floating yang sama tidak menyebabkan kematian pada kolam lainnya. Kepadatan ikan mencapai 400 ekor/m3 dengan air kolam bersumber dari sungai dan sumur bor. Dilakukan analisis kimia air dari beberapa kolam untuk mengetahui pengaruh kualitas air terhadap kematian ikan lele dumbo tersebut. Adapun organ yang diperiksa pada penelitian ini adalah insang, jantung, hati, limpa, lambung, pankreas, usus, ginjal, otot dan kulit. Metode Penelitian Sampel dinekropsi kemudian organ insang, jantung, hati, limpa, lambung, pankreas, usus, ginjal, otot dan kulit difiksasi dalam BNF 10%. Tahap berikutnya dilakukan pembuatan preparat histopatologi. Dilakukan trimming kasar setebal ± 2 mm pada organ kemudian difiksasi, setelah itu dilakukan dehidrasi yaitu proses penarikan air dari jaringan dengan menggunakan alkohol 70%, 80%, 90%, 95% alkohol absolut dua kali ulangan masing-masing 2 jam. Sampel jaringan yang sudah didehidrasi dilakukan clearing atau penjernihan dengan menggunakan silol 3 dua kali ulangan masing-masing 2 jam. Proses berikutnya adalah embedding yaitu penanaman jaringan dalam parafin, sectioning atau pemotongan menggunakan mikrotom setebal 5µm dan pelekatan sediaan pada gelas objek. Sediaan diwarnai lalu ditutup dengan gelas penutup yang prosesnya disebut mounting. Pewarnaan HE dilakukan pada seluruh organ sesuai prosedur menurut Gamble (2008), sedangkan khusus pewarnaan pada organ usus dilakukan pewarnaan giemsa dan toluidin biru menurut (Bartlett 2008) dan PAS menurut Myers et al. (2008). Analisis Data Sediaan diamati di bawah mikroskop, perubahan yang terjadi dianalisa secara deskriptif. Patogenesa kejadian lesi disusun melalui studi literatur. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air Analisis kualitas air dilakukan pada tiga kolam yaitu kolam dengan warna air coklat keruh (A), kolam dengan air berwarna hijau (B) yang masing-masing terdapat kematian dan kolam dengan warna air hijau tidak ada kematian (C). Hasil analisis menunjukan; kolam A, DO (dissolved oxygen) 0.56 ppm, suhu 28.60 ºC, pH 6.10, TAN (total ammonia nitrogen) 0.20, nitrit 0.10 dan alkali 220 ppm; kolam B, DO 0.52 ppm, suhu 28.40 ºC, pH 5.90, TAN 0.20, nitrit 0.10 dan alkali 200 ppm; kolam C; DO 3.42 ppm, suhu 27.60 ºC, pH 6.00, TAN 0.20, nitrit 0.30, dan alkali 190 ppm. Kadar DO, TAN dan nitrit dari ketiga kolam kurang memenuhi standar air kolam budidaya. Menurut Isyagi et al. (2013), kadar oksigen terlarut yang direkomendasikan untuk ikan lele dumbo adalah > 5.00 ppm. Hanya kolam C dengan kadar 3.42 ppm tidak terjadi kematian namun kadar dengan rentang 1.405.00 ppm memiliki pertumbuhan yang lambat dan rentan stres, sedangkan dua kolam lainnya kurang dari 1.50 ppm dimana kadar tersebut dapat mematikan jika terpapar dalam waktu yang lama. Parameter air lainnya berupa total ammonia dan nitrit berada dua kali di atas ambang batas maksimum. Gejala yang muncul yaitu disorientasi tingkah laku, melompat ke permukaan, insang dan darah terlihat coklat. Tidak terkontrolnya gerak renang ikan dapat disebabkan oleh kerusakan saraf akibat keracunan amoniak (Irianto 2005) dan kerusakan otak karena terjadi iskemia cerebralis (Yu dan Li 2011). Iskemia cerebralis dapat diakibatkan kondisi hipoksia sehingga suplai darah ke otak terganggu dan menyebabkan nekrosis (malacia) (Nwaopara et al 2010). Pada kasus ini tidak diperoleh sampel organ otak, sehingga lesi histopatologi otak tidak dapat dipelajari. Histopatologi Insang Insang ikan selain sebagai organ respirasi, osmoregulasi, dan eksresi juga berkontribusi menjaga keseimbangan asam basa dan metabolisme hormon (Olson 2002). Insang tersusun atas lamela primer, lamela sekunder, sel epitel, sel mukus, dan sel klorida (Sayed et al. 2012). Lamela primer dilapisi sel squamousa berlapis 4 (epitel) bersifat kaku karena mengandung tulang rawan dan terdapat pembuluh darah (Olurin et al. 2006). Di kedua sisi lamela tersebut terdapat lamina sekunder dilapisi sel pilar yang aktif dalam pertukaran oksigen. Sel tersebut merupakan komponen vaskular yang tersusun teratur dan dapat dilalui oleh 1-2 sel darah merah (Chandra dan Banerjee 2003). Insang juga dilengkapi dengan sejumlah glandula brankhial, yaitu glandula mukosa dan glandula asidofilik (sel khlorida) (Morrison 2007). Lele memiliki air breathing organ (ABO) yang merupakan modifikasi dari struktur insang. Oleh karena itu ikan lele dapat hidup pada kondisi hipoksik dan bertahan di luar air sekitar 31 jam (Chandra dan Banerjee 2003). Hasil pengamatan histopatologi menunjukan insang mengalami penebalan. Sel-sel epitel hipertropi dan terjadi perluasan kapiler. Pada lamina sekunder beberapa sel epitel terlepas dari membran basal (lifting) akibat edema (Gambar 1). Infiltrasi sel radang limfosit ditemukan secara multi fokus pada lamina primer. Dengan kata lain insang mengalami brankhitis. B A Gambar 1 Histopatologi insang menunjukan epitel lifting (►) dan infiltrasi sel radang limfosit (→). Pewarnaan HE. Perubahan seperti epitel lifting, hiperplasia dan hipertrofi, merupakan suatu pertahanan mekanis. Peningkatan jarak tubuh (pembuluh darah) dengan lingkungan (air) dapat menjadi penghalang bagi kontaminan. Tetapi hal tersebut akan menghambat pertukaran oksigen dalam insang sehingga mengharuskan tubuh meningkatkan aliran darah sebagai kompensasi dari kekurangan oksigen. Menurut Camargo dan Martinez (2007), peningkatan aliran darah dapat terjadi pada ikan stres dimana sel pilar pada kapiler dapat rusak dan mengakibatkan dilatasi, kongesti, atau kondisi aneurisma. Selain itu kerusakan membran kapiler dapat pula disebabkan oleh toksin sehingga terjadi edema. Perubahan tersebut biasanya muncul sebagai hasil dari paparan agen kontaminan mengingat insang merupakan target awal dari berbagai toksikan di air (Sayed et al. 2012). Kasus ini sering terjadi pada ikan air tawar yang dibudidayakan dalam keramba ikan di sungai perkotaan (Camargo dan Martinez 2007), oleh zat nonilfenol (bahan 5 pembuat plastik) (Sayed et al. 2012) dan glifosfat (herbisida) (Olurin et al. 2006). Adapun insang dan darah yang berwarna coklat menandakan tingginya methaemoglobin dalam darah. Perubahan warna insang dan darah secara makroskopis tidak dapat dibedakan pada preparat yang diamati, meskipun demikian secara fotometri diketahui spektrum dengan maksimum absorpsinya berada pada 635 nm (Kroupova et al. 2005). Funmilola dan Kudirat (2012) melaporkan kematian 35% ikan lele dumbo yang dipaparkan nitrit 0.2 ppm pada suhu 27±0.4 ºC memiliki gejala sama. Pada kondisi itu sel radang yang diterangkan sesuai dengan hasil pengamatan yaitu limfosit tampak signifikan. Histopatologi Jantung Jantung ikan terletak di ventral yaitu di depan sirip dada dan rongga peritoneal atau di belakang insang (Farrell 2011). Jantung ikan berwarna merah darah kecuali bagian bulbus arteriosus berwarna putih. Secara umum ruang jantung terbagi menjadi sinus venosus, atrium, ventrikel dan bulbus arteriosus. Dinding tersusun oleh 3 lapisan di antaranya epikardium yang tersusun dari epitelium pipih dan ditunjang oleh jaringan ikat, myokardium yaitu lapisan paling tebal yang terdiri dari sekelompok otot jantung, dan endokardium lapisan yang paling dalam. Dinding ventrikel lebih tebal dibandingkan dengan atrium. Pada preparat histologi normal lumen dapat terlihat jelas (Morrison 2007). Ikan lele bisa bernafas langsung dari udara dengan bantuan organ arborescent, pada kondisi itu terjadi peningkatan denyut (heart rate) yang signifikan pada jantung (Taylor dan Wang 2009). Jantung tidak menunjukan perubahan yang spesifik. Sedikit sel radang ditemukan pada darah yang bersirkulasi di lumen ventrikel (Gambar 2). A B Gambar 2 Histopatologi jantung menunjukan akumulasi sel radang limfosit (→) disertai degenerasi hidropis pada kardiomiosit. Pewarnaan HE. 6 Degenerasi hidropis ditemukan pada otot jantung. Kondisi ini bersifat akut dimana limfosit hadir sebagai respon non spesifik pada kondisi stres. Sebagaimana Funmilola dan Kudirat (2012) melaporkan bahwa leukosit meningkat dalam jaringan dapat disebabkan oleh kadar nitrit dalam darah yang tinggi. Histopatologi Hati Pada umumnya teleost memiliki hati relatif besar dengan warna sesuai jenis makanannya. Di alam liar, hati ikan karnivora biasanya berwarna coklat kemerahan dan pada herbivora coklat terang (Rodger 2010). Ikan lele termasuk omnivora namun lebih membutuhkan asupan protein yang tinggi. Hal ini karena ikan lele lebih bersifat karnivora (predator) dalam alam liar (Harpaz 2008). Berbeda dengan mamalia, lobus pada hati ikan tidak tampak jelas karena jarak hepatosit ikan sangat rapat. Hampir di seluruh bagian parenkim organ hati ditemukan hepatosit yang membengkak terutama di bagian periporta. Sitoplasma hepatosit bervakuola jernih dan tidak teratur mencirikan degenerasi lemak (Gambar 3). Selain itu terjadi degenerasi hidropis dengan sitoplasma keruh. Pada vena centralis terdapat fokus nekrosa dengan inti kariorheksis disertai fibrosis. Fokus sel radang ditemukan di sekitar pembuluh darah sehingga hati dikatakan mengalami perivascular hepatitis. Gambar 3 Histopatologi hati menunjukan vakuola lemak (►), disertai degenerasi hidropis (H), inti piknosis (→) dan sel radang (SR). Pewarnaan HE. Degenerasi dan nekrosa hepatosit sering ditemukan pada kasus intoksikasi ikan pada air yang tercemar zat kimia atau logam berat. Dalam kasus ini degenerasi lemak diakibatkan oleh kondisi hipoksia, dimana terjadi penurunan reseptor protein lemak (Heidel dan Smith 2007). Degenerasi hidropis dapat disebabkan oleh zat kimia (Vegad 2007) yang mungkin terbawa oleh air sungai. Kasus serupa pernah dilaporkan oleh Ogundiran et al. (2010) pada ikan yang 7 terpapar detergen. Sedangkan nekrosis merupakan dampak dari beban kerja yang tinggi untuk mendetoksikasi toksin dari tubuh (Guedenon et al. 2012). Histopatologi Limpa Limpa merupakan organ hematopoietik pada ikan selain thymus dan ginjal (Farrell 2011). Limpa berwarna merah gelap atau hitam dengan sudut tajam (Roberts dan Ellis 2012) dan terletak di dekat kurvatura mayor lambung/ fleksura intestin (Morrison 2007). Elemen utama limpa adalah elipsoid (sel-sel elips), pulpa merah, pulpa putih dan sentral makrofag. Kapsul tersusun oleh fibrosa yang dilapisi epitel pipih, trabekula tidak setebal pada mamalia, dan tanpa otot (Roberts dan Ellis 2012). Pulpa merah dan putih tampak menyatu (diffuse) tidak menggerombol seperti pada mamalia dan jaringan ikat sedikit. Ketika pulpa merah terisi oleh sel darah merah, pulpa putih dapat terlihat dengan jelas (Morrison 2007). Pulpa putih merupakan jaringan limfatik primer yang dapat menghasilkan sel darah putih seperti leukosit dan granulosit, terutama dalam respons terhadap stress (Farrell 2011). Limpa mengalami deplesi folikel limfoid pada pulpa putih ditunjukkan oleh kepadatan sel limfoid berkurang (Gambar 4). Pada pulpa merah terdapat pigmen coklat (hemosiderin) yang terakumulasi sebagai melano macrophage center (MMC) dan infiltrasi sel radang (splenitis). Gambar 4 Limpa mengalami deplesi folikel (garis putus-putus) dan proliferasi melano macrophage center (→). Pewarnaan HE. Menurut Elmore (2006), deplesi limfoid biasanya ditandai dengan penurunan jumlah sel limfoid dan ukuran folikel di pusat germinal. Deplesi folikel dapat terjadi sebagai dampak respon imun terhadap stres oksidatif karena buruknya kualitas air (Lushchak 2011) maupun adanya kerusakan usus pada kasus enteromixosis (Bermúdez et al. 2010). Bermúdez et al. (2010) menjelaskan lebih lanjut bahwa organ limforetikuler (timus, ginjal anterior, dan limpa) juga 8 mengalami peningkatan jumlah sel nekrotik ataupun apoptosis yang disertai munculnya fokus akumulasi makrofag berisi berbagai pigmen/ MMC. Pada ikan, MMC di organ limpa berfungsi sebagai sebagai reaksi immunologi dan biomarker stres lingkungan, sedangkan pada organ hati MMC berfungsi sebagai penentu status metabolik seperti proses penyimpanan dan pergantian sel (Ribeiro et al. 2011). Histopatologi Lambung Lambung ikan lele termasuk kelompok siphonal (menyerupai huruf J dan U) (Wilson dan Castro 2011), lebih tepatnya berbentuk huruf J (Shahin et al. 2013). Lambung terbagi menjadi tiga regio yaitu kardia, fundus dan pilorus. Secara histologi lambung dibedakan oleh sel epitel silindris pada mukosa yang diselingi oleh foveola (gastric pits) yang mengarah ke alveolar dari kelenjar lambung (Wilson dan Castro 2011). Berbeda dengan mamalia, asam lambung dan pepsin pada ikan keduanya dihasilkan oleh sel oksintikopeptik (Olsson 2011). Dalam proses digesti, sel-sel tersebut dilindungi oleh mukopolisakarida yang dihasilkan sel mukus di fundus (El Hag et al. 2012). Lambung tidak mengalami kelainan yang signifikan. Beberapa sel radang di muskularis mukosa ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Muskularis mukosa sering mengandung sel eosinofilik dalam jumlah besar yang memiliki peran sebagai mekanisme pertahanan tubuh terutama terhadap infection hematopoietic necrosis virus (IHNV) (Morrison 2007). Pada serosa lambung juga ditemukan pankreas (eksokrin) dengan granula zimogen dan saraf tepi yang tidak menunjukan lesi (Gambar 5). Ditemukan akumulasi sel radang yang minimum pada struktur pankreas tersebut, tetapi tidak ada kelainan yang spesifik pada sel asinarnya. A B Gambar 5 Histopatologi lambung dan terdapat eksokrin pankreas di lapisan serosa lambung (►). Pewarnaan HE. 9 Histopatologi Pankreas Pankreas ikan dapat ditemukan di beberapa tempat seperti hati (hepatopankreas), limpa, lambung, usus (pada serosa) dan pada lemak di rongga perut. Lokasi yang paling umum adalah pada mesenterika di dekat pyloric caeca yang tersebar berupa pulau-pulau jaringan sekretori diselingi oleh sel-sel lemak (Rodger 2010). Seperti pada semua vertebrata, pankreas terdiri dari dua tipe jaringan yaitu eksokrin dan endokrin (Caruso dan Sheridan 2011). Jaringan eksokrin pankreas terdiri dari sel-sel asinar yang memiliki inti bulat besar dengan 1-3 nukleolus dan sitoplasma basofilik yang sangat gelap. Terdapat pulau Langerhans (endokrin) yang tersebar di antara unit sekresi (Morrison 2007). Pengamatan pankreas dilakukan di berbagai lokasi pankreas yaitu pada hati, lambung, usus dan pada jaringan lemak (mesotelium). Umumnya tidak ditemukan kelainan yang spesifik. Pada jaringan interstisial terdapat pankreas dengan jarak antar sel asinar cukup renggang akibat tekanan edema interstisial (Gambar 6). Edema merupakan suatu kondisi dengan karakteristik cairan berlebih pada jaringan interstisial atau pada rongga tubuh. Beberapa penyebab edema diantaranya; peningkatan tekanan hidrostatik, menurunnya tekanan osmotik oleh plasma, obstruksi pada saluran limfatik, dan retensi air dan garam (Vegad 2007). Berdasarkan gejala klinis dan kualitas air, stres dapat menjadi penyebabnya dimana keseimbangan osmoregulasi terganggu. Ikan air tawar cenderung mengabsorpsi air dari lingkungan secara berlebihan akibat perubahan fisiologis dalam metabolisme mineral (Irianto 2005). Gambar 6 Histopatologi pankreas menunjukan edema interstisial (►) dan atropi sel asinar (→). Pewarnaan HE. Histopatologi Usus Usus merupakan bagian terpanjang dari saluran digesti ikan lele (El Hag et al. 2012) namun lebih pendek dari panjang tubuhnya yaitu sekitar 1.00/0.76 (Shahin et al. 2013). Pada potongan melintang, usus tersusun oleh lapisan mukosa 10 (mucosal folds), lamina propria dan serosa (Shahin et al. 2013). Usus ikan tidak memiliki muskularis mukosa (Raji dan Norouzi 2010), hanya lapisan tipis jaringan ikat yang terpisah dari basis lipatan sirkular dan lapisan otot halus (Olsson 2011). Pada ikan folds merupakan vili memiliki permukaan lebih luas dengan sedikit kerutan (kripta) jika dibandingkan dengan mamalia. Fold ini dilapisi oleh sel epitel silindris dan sel-sel goblet yang tersebar diantaranya (Olsson 2011). Lamina propria tersusun oleh jaringan ikat dan terdapat otot sirkular dan longitudinal. Otot sirkular terdapat pembuluh darah dan syaraf yang tidak membentuk ganglion (enteric neural cell body), sedangkan otot longitudinal tersusun oleh serabut yang kuat (Olsson 2011). Serosa tersusun oleh lapisan tipis jaringan ikat dan sel mesotelia (Morrison 2007). Beberapa ujung vili terlihat mengalami nekrosis ulseratif dan hemoragi (Gambar 7A). Pada usus ditemukan irisan melintang larva parasit cacing di tengah lumen usus (Gambar 7C). Keberadaan parasit cacing tidak berpengaruh signifikan pada lesio, jumlah parasit hanya sedikit dan tidak ditemukan cacing menginvasi mukosa secara langsung melainkan hanya ada pada lumen. Menurut morfologinya cacing dapat dikelompokan ke dalam digenea. Pada ikan lele, infeksi pencernaan oleh Euclinostomum clarias melimpah baik pada budidaya maupun di alam liar. Cacing ini menginfeksi dalam bentuk metaserkaria, berperantara siput (moluska) dan secara klinis tidak ada gejala (Paperna dan Dzikowski 2006). Keberadaan metaserkaria pada lumen menunjukan adanya penekanan mekanis terhadap vili usus sehingga dapat menghambat motilitas usus. Gambar 7 Histopatologi usus yang mengalami nekrotik ulseratif (→), hemoragi (►) dan infiltrasi sel radang limfosit (→) (7A), ditemukan koloni bakteri (7B) dan terdapat parasit cacing (7C) di tengah lumen (*). Pewarnaan HE (A&C) dan Giemsa (B). Insert : Infiltrasi sel limfosit Kelainan paling menonjol pada usus adalah ditemukannya parasit protozoa berbentuk bulat diseluruh bagian epitel usus (Gambar 8). Sel-sel epitel mukosa mengalami hipertropi dan infiltrasi sel radang terlihat pada lamina propria. Di 11 dalam sitoplasma sel epitel terdapat kumpulan spora berkapsul, yang berwarna merah muda pada pewarnaan HE dan PAS serta berwarna biru menggunakan pewarnaan Giemsa dan Toluidine Blue. Pada pewarnaan HE, morfologi parasit tersebut dapat dilihat lebih jelas dibanding pewarnaan lainnya. Kutub-kutub spora berkapsul dimiliki oleh genus Enteromyxum yang khas pada usus sebagaimana pernah dilaporkan oleh Redondo et al. (2004), Bermúdez et al. (2010) pada ikan turbot dan Diamant et al. (2006) pada ikan air tawar. Enteromyxum termasuk protozoa kelompok myxozoa yang merupakan parasit aquatik kelompok metazoan yang sangat khas dan memiliki jangkauan inang luas (Feist dan Longshaw 2006). Gambar 8 Infeksi parasit Enteromyxum spp. (►) pada usus dan proliferasi sel goblet (→). Pewarnaan HE (A); Giemsa (B); Toluidin biru (C) dan PAS (D), skala 20 µm. Terdapat tiga spesies yaitu E. Scophthalmi, E. leei dan E. fugu yang seluruhnya spesifik pada usus dan dilaporkan kejadiannya pada ikan air laut (Sitjà-Bobadilla dan Palenzuela 2012). Transmisi pada ikan air tawar pernah dilaporkan oleh Diamant et al. (2006), sejumlah 4 spesies dari famili ikan air tawar Cyprinidae and Cichlidae terinfeksi Enteromyxum leei dengan prevalensi 53-90%. Patogenesis pada ikan air tawar tersebut memiliki karakter yang sama dengan ikan air laut termasuk rute dan cara transmisinya. Transmisi tersebut didukung oleh kapsula spora berlapis zat kitin yang sangat resisten terhadap enzim dan salinitas di dalam saluran pencernaan. Dari studi yang dilakukan oleh Redondo et al. (2004) transmisi parasit melalui pakan lebih cepat dibandingkan dengan rute air secara langsung. Namun kemunculan parasit dalam ulas darah diawal percobaan pada ikan yang diinfeksi secara spontan menunjukan parasit juga dapat berpenetrasi dengan berbagai cara seperti pada insang, rongga mulut dan kulit sehingga dapat ditemukan pada organ hematopoietik, jaringan otot, jantung, dan sedikit pada kulit dan insang. Walaupun demikian, parasit harus 12 mencapai usus yang merupakan target organ sehingga dapat berkembang (Bermúdez et al. 2010). Berdasarkan literatur, siklus hidup genus Enteromyxum masih belum diketahui secara pasti. Terdapat berbagai tahapan perkembangan stadium 1-5 dimana bentuk sporogonik berupa stadium 1-3 (trofozoid/bulat) merupakan tahap invasif di dalam tubuh ikan. Sedangkan stadium 4-5 (mature/berpola spora) merupakan tahap infektif terhadap ikan lainnya melalui feses. Siklus parasit di luar tubuh ikan diperkirakan melibatkan inang invertebrata (Redondo et al. 2004). Menurut Diamant et al. (2006), Oligochaetes adalah cacing dari filum Annelida yang berperan sebagai inang antara utama pada penyebaran infeksi myxospora air. Sedangkan cacing Oligochaetes ini memiliki banyak variasi spesies dalam lingkungan air dan darat. Gambar 9 Gambar makroskopis Psetta maxima yang terinfeksi Enteromyxum scophthalmi mengalami emasiasio dan endoptalamia (1). Usus ikan turbot yang terinfeksi (2 & 3, 5 & 6). Pewarnaan toluidine blue, skala 60 µm (2), 20 µm (3 & 6), 30 µm (4 & 5). Sumber : (Bermúdez et al. 2010) Perubahan morfologi dan intensitas lesio menunjukan infeksi sudah pada tahap infeksi berat. Sel goblet dan berbagai stadium protozoa dapat diamati hampir di seluruh mukosa usus. Menurut Redondo et al (2004), terdapat keterlibatan interaksi aktin-karbohidrat, dimana protease merupakan komponen utama dalam invasi dan proliferasi Enteromyxum sp. Membran parasit juga diketahui mengandung residu karbohidrat yang dapat mengakibatkan terhambatnya sistem pengenalan antigen oleh inang (Gómez et al 2013). Melalui pewarnaan PAS proliferasi sel goblet dapat terlihat jelas berada di sekitar parasit (Gambar 8). Mukus yang dihasilkan merupakan sistem pertahanan pertama terhadap infeksi parasit ini (Golomazou et al 2006). Oleh karena itu isi lumen dipenuhi oleh eksudat enteritis kataralis disertai sejumlah besar koloni bakteri yang berkembang akibat penurunan motilitas usus (Gambar 7B). Kondisi ini berpengaruh terhadap penurunan kualitas air pada saat ikan tersebut defekasi. 13 Selain itu peningkatan nitrit pada air kolam dapat dihasilkan oleh adanya aktivitas enzim berupa inducible nitrit oxide synthase (iNOS) terutama pada struktur sel mukosa dan sel fagosit (Gómez et al 2013). Sel radang (limfosit dan makrofag) hadir dalam jumlah sedang, terutama pada vili dimana jumlah parasit tinggi. Ikan laut yang terinfeksi E. leei memiliki sedikit respon inflamasi atau bahkan tidak ada (Diamant et al. 2006). Pada tahap lanjut kerusakan usus semakin kritis, sel goblet semakin berkurang dan kematian tidak bisa dihindarkan akibat sindrom kaheksia (Bermúdez et al. 2010). Hingga saat ini belum ditemukan antiparasit myxozoa secara umum, namun penggunaan koksidiostat (toltrazuril) dengan kombinasi salinomycin dan amprolium secara signifikan mengurangi tingkat prevalensi, intensitas, dan mortalitas infeksi E. leei (Golomazou et al 2006). Selain itu manajemen lingkungan yang baik merupakan usaha pengendalian utama dalam suatu budidaya. Histopatologi Ginjal Nefron merupakan unit fungsional dari ginjal yang tersusun oleh korpuskulus renalis dan tubulus renalis. Korpuskulus renalis terdiri dari dua membran (kapsula Bowman) dan gumpalan kapiler (glomerulus) (Sayed et al. 2012). Tubulus proksimal terdiri dari sel epitel kubus dengan inti basal dan permukaan luminal terdiri dari brush border yang berjajar. Tubulus distal terdiri dari sel epitel kubus sepertiga dari total tubulus. Pada ginjal ditemukan jaringan limfomyeloid di anterior ginjal (pronefros) berfungsi sama seperti sumsum tulang pada mamalia (Moore dan Hawke 2004) sehingga banyak terdapat limfosit, monosit, sel darah merah, dan makrofag (Dash et al. 2003). Terdapat kerusakan yang nyata pada tubulus ginjal, dimana sel-sel epitel tubulus mengalami nekrosa dengan inti sel piknosis (Gambar 10). Ditemukan lesio butiran berwarna merah muda pada intrasitoplasma tubulus yang menunjukan terjadinya degenerasi hyalin/ degenerasi albumin (Gambar 11). Terdapat infiltrasi sel radang dan agregasi MMC yang tersebar di beberapa titik. Degenerasi hyalin pada epitel tubulus ginjal merupakan indikasi dari adanya kebocoran protein pada proses penyaringan darah di glomerulus yang kemudian diserap oleh epitel tubulus (Vegad 2007). Degenerasi hidropis dan nekrosa merupakan tanda dari kerusakan atau menurunnya fungsi gromerulus. Kerusakan tersebut tidak begitu spesifik tetapi terdapat variasi derajat keparahan antar tubulus. Nekrosis dengan inti piknosis pada tubulus ginjal terjadi pada ikan lele dumbo yang diinjeksikan 0,05 mg/L nonilfenol (bahan pembuat plastik) selama 15 hari (Sayed et al. 2012). Bowman’s space yang menyempit dapat disebabkan oleh kumparan buluh darah glomerulus mengalami hipertropi. Degenerasi hidropis dan oklusi lumen tubulus merupakan gejala umum pada ikan di sungai perkotaan dengan tingkat pencemaran yang tinggi (Camargo dan Martinez 2007). Infiltrasi sel radang dapat disebabkan adanya respon non-spesifik dari adanya stres, maupun adanya benda asing yang terbawa darah. Hal ini berkaitan dengan fungsi ginjal yang ditentukan oleh kualitas air. Ukuran dan jumlah MMC pada anterior ginjal dan limpa dapat menjadi penentu dari derajat keparahan infeksi enteromixosis (Bermúdez et al. 2010). Selain itu deposisi MMC juga dapat disertai fibrosis (Suttie 2006). 14 Gambar 10 Histopatologi ginjal menunjukan tubulus mengalami nekrosa (→) disertai degenerasi hyalin (→) dan terdapat proliferasi melano macrophage center (►). Pewarnaan HE, skala 100 µm. Gambar 11 Degenerasi hyalin ditunjukan dengan adanya butiran merah muda pada intrasitoplasma pada tubulus (→). Pewarnaan HE, skala 50 µm. Histopatologi Otot Ikan memiliki dua kelompok otot yaitu kelompok muskularis lateralis superfisialis (otot merah) dan muskularis lateralis profundus (otot putih) (Roberts dan Ellis 2012). Otot merah terletak di sepanjang garis lateral ikan, memiliki 15 lemak yang lebih tinggi dibanding dengan otot putih, dan terdapat mitokondria disetiap sel dengan jumlah yang banyak, merupakan serabut aerobik yang berkontraksi lambat. Otot putih merupakan jaringan terbesar di dalam tubuh. Umumnya mengandung sedikit mitokondria, merupakan serabut anaerob, berkontraksi cepat dan cepat lelah (Morrison 2007). Histopatologi otot secara normal menunjukan bentuk bundelan otot yang lengkap, berjarak dekat, memiliki inti di tepi dan homogen (Roberts dan Ellis 2012). Terdapat beberapa bundel otot yang mengalami degenerasi otot sehingga disebut multifokus degenerasi (Gambar 11). Serabut otot bertekstur tidak seragam, meregang, dan terdapat bagian yang hilang. Lesio tersebut merupakan ciri nekrosa koagulatif yang kerusakannya terbatas pada struktur intraseluler. Nekrosa pada otot dapat disebabkan oleh berbagai penyakit infeksius, iskemia, trauma, dan akibat toksin (Heidel dan Smith 2007). Tidak adanya hemoragi maupun eksudat dan peradangan yang hebat, sangat dimungkinkan otot mengalami nekrosa akibat ischemia dimana kadar oksigen pada kolam jauh di bawah batas minimum. Selain itu defisiensi fosfor (P) dan magnesium (Mg) dapat menjadi penyebab nekrosis, disertai miositis, atropi dan fibrosis (Heidel dan Smith 2007). A B Gambar 12 Histopatologi otot menunjukan adanya degenerasi dengan sebaran multifokus (►). Pewarnaan HE. Histopatologi Kulit Kulit ikan lele terdiri dari tiga lapis yaitu epidermis, dermis, dan subkutan. Epidermis terdiri dari sel epitel (poligonal), sel klub, sel goblet dan sel melanosit (Singh dan Banerjee 2008) dengan masing-masing densitas volumetrik sebesar 62.3%, 25.7%, 10.5% dan 1.4% (Guerra et al. 2006). Lapisan germinativum (paling dalam) dibentuk oleh barisan epitel kubus atau kubus tinggi dengan inti yang membulat. Lapisan tengah (paling tebal), terdapat sel mukus, melanosit, sel epitel kubus dan sel klub. Sel klub sering disebut “alarm cell”, yaitu kelompok sel-sel eosinofil yang berperan dalam sekresi senyawa penanda bahaya (alarm 16 substance) (Irianto 2005). Dermis terdiri dari stratum laxum dan stratum compactum. Sel lemak ditemukan pada subkutan yang merupakan lapisan kulit paling dalam. Pada ikan lele kulit juga dapat berperan sebagai organ respiratori tambahan (acessories respiratory organs) ARO (Chandra dan Banerjee 2003). Kelainan pada kulit hanya ditemukan pada epidermis. Sel klub tampak berongga (spongiosis) karena mengalami degenerasi hidropis (Gambar 12). Terdapat kumpulan sel radang (makrofag dan limfosit) dalam jumlah sedikit. Selain itu deskuamasi epitel dan pembentukan ulkus ditemukan di beberapa bagian disertai inti sel piknosis. Gambar 13 Histopatologi kulit mengalami spongiosis (►), infiltrasi sel radang (→) dan daerah deskuamasi pembentukan ulkus (*). Pewarnaan HE Kulit ikan lele dumbo merupakan jaringan pembatas tubuh yang selalu terkena air secara kontinyu dan tidak terkeratinisasi sehingga cukup rentan terhadap toksikan asal air maupun bakteri patogen (El-Sayyad et al. 2010). Dalam kondisi tersebut sel goblet akan menghasilkan mukus yang berlebih sebagai bentuk pertahanan mekanis. Selain dapat menghambat proses respirasi melalui kulit, produksi mukus tersebut juga berkontribusi mencemari lingkungan sehingga menurunkan kualitas air. Sedangkan deskuamasi epitel dan ulkus dapat membuka celah masuknya agen infeksius. Hipertropi sel klub, hiperplasia sel goblet pernah dilaporkan terjadi pada ikan lele yang dipaparkan arsenik (Singh dan Banerjee 2008) dan etanolik (Alabaka 2010). Kulit yang terpapar oleh bakteri patogen biasanya terdapat hemoragi dan nekrosa (El-Sayyad et al. 2010). 17 KESIMPULAN Lesi paling parah ditunjukkan oleh organ usus yang mengalami infeksi parasit myxozoa Enteromyxum spp. Parasit ini menyebabkan enteritis, malabsorbsi sehingga ikan mengalami gangguan pertumbuhan dan gangguan fungsi organ lainnya seperti hati, ginjal dan limpa. Kepadatan ikan yang terlalu tinggi terlebih dengan ekskresi feses mengandung protozoa, nitrit dan bakteri menyebabkan morbiditas dan memburuknya kualitas air. Kerusakan pada insang dan kulit berakibat gangguan pernapasan, menurunkan kadar oksigen dan meningkatkan total ammonia dan nitrit air yang menyebabkan kematian masal pada kasus ini. DAFTAR PUSTAKA Alabaka SE, Fatihu MY, Ibrahim NDG, Kazeem HM. 2010. Histopathologic Changes in the Gills and Skin of Adult Clarias gariepinus Exposed to Ethanolic Extract of Parkia biglobosa Pods. Basic and Applied Pathology. 3:109-114. doi:10.1111/j.1755-9294.2010.01088.x. Bartlett JH. 2008. Microorganisms. Di dalam: Bancroft JD, editor. Theory and Practice of Histological Techniques. Ed ke- 6. Burlington (US): Elsevier Science. Hlm 309. Bermúdez R, Losada AP, Vázquez S, Álvarez-Pellitero P, Quiroga MI. 2010. Light and Electron Microscopic Studies on Turbot Psetta maxima Infected with Enteromyxum scophthalmi: Histopathology of Turbot Enteromyxosis. Dis Aquat Org. 80:200-211. Camargo MMP, Martinez CBR. 2007. Histopathology of Gills, Kidney and Liver of a Neotropical Fish Caged in an Urban Stream. Neotropical Ichthyology. 5(3):327-336. Caruso MA, Sheridan MA. 2011. Gut Anatomy and Morphology-Pancreas. Di dalam: Farrell AP, editor. Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome to Environment. Burlington (US): Elsevier Science. 2500 hlm. Chandra S, Banerjee TK. 2003. Histopathological Analysis of the Respiratory Organs of the Air-Breathing Catfish Clarias batrachus (Linn.) Exposed to the Air. Acta Zoologica Taiwanica. 14(1):45-64. Dash K, Saha K, Pandev AK, Jain AK, Mukherjee A. 2003. Ultra-Structural Observations on The Lymphoid Organs of The Freshwater Catfish, Clarias batrachus (Linnaeus). J Environ Biol. 24:256-274. Diamant A, Ram S, Paperna I. 2006. Experimental transmission of Enteromyxum leei to freshwater fish. Dis Aquat Org. 72:171-178. [DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2011. Usaha Budidaya Lele dan Gurami Saat Ini [internet]. Tersedia pada: http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=511. [diunduh 2013 Jul 18]. 18 El Hag GA, Salleh KM, Saad CR,Daud SK. 2012. Gut Histology of Malaysian River Catfish, Mystus nemurus (C&V) Larvae. Life Science Journal. 9(1):342-347. Elmore SA. 2006. Histopathology of the Lymph Nodes. Toxicologic Pathology. 34:425-454 doi:10.1080/01926230600964722. El-Sayyad HI, Viola HZ, El-Shebly AM, El-Badry DA. 2010. Studies on The Effects of Bacterial Diseases on Skin and Gill Structure of Clarias gariepinus in Dakahlia Provinence, Egypt. Annals of Biological Research. 1(4):106-118. Farrell AP. 2011. Blood-Cellular Composition of The Blood. Di dalam: Farrell AP, editor. Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome to Environment. Burlington (US): Elsevier Science. 2500 hlm. Feist SW, Longshaw M. 2006. Phylum Myxozoa. Di dalam: Woo PTK, editor. Fish Diseases and Disorder, Volume 1. Protozoan and Metazoan Infections. Oxfordshire (UK): Bidlles, King’s Lynn. hlm 346-373. Funmilola A, Kudirat AO. 2012. Nitrite Intoxication of Clarias Gariepinus At Different Water Temperatures. International Journal of Fisheries and Aquaculture. 4(4):77-80. Gamble M. 2008. The Hematoxylins and Eosin. Di dalam : Bancroft JD, editor. Theory and Practice of Histological Techniques. Ed ke- 6. Burlington (US): Elsevier Science. Hlm 121. Guedenon P, Edorh AP, Hounkpatin ASY, Alimba CG, Ogunkanmi A, Nwokejiegbe EG, Boko M. 2012. Acute Toxicity of Mercury (HgCl2) to African Catfish, Clarias gariepinus. Research Journal of Chemical Sciences. 2(3):41-45. Guerra RR, Santos NP, Cecarelli P, Mangetti J, Silva JRMC, Hernandez-Blazquez FJ. 2006. Stratum adiposum, A Special Structure of the African Catfish Skin (Clarias gariepinus, Burchell 1822). Anat. Histol. Embryol. 35:144-146. doi:10.1111/j.1439-0264.2005.00614.x. Heidel J, Smith C. 2007. Normal Histology. Di dalam: Mumford S, Heidel J, Smith C, Morrison J, MacConnell B, Blazer V, editor. Fish Histology and Histopathology [internet]. [27 Nov 2012, diunduh 2013 Mei 7]. Tersedia pada: http://training.fws.gov/EC/Resources/Fish_Histology/Fish_Histology_Manu al_v4.pdf Hermawan AT, Iskandar, Subhan U. 2012. Pengaruh Padat Tebar Terhadap Kelangsungan Hidup Pertumbuhan Lele Dumbo (Clarias gariepinus Burch.) di Kolam Kali Menir Indramayu. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(3):85-93. Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. hlm 64. 19 Isyagi NA, Veverica KL, Assimwe R, Daniels WH. Manual for the Commercial Pond Production of the African Catfish in Uganda. Alabama (US): USAID. hlm 70. Kroupova H, Machova J, Svobodova Z. 2005. Nitrite Influence on Fish: A Review. Vet Med-Czech. 50(11):461-471. Lushchak VI. 2011. Environmentally Induced Oxidative Stress in Aquatic Animals. Aquatic Toxicology. 101:13-30. Moore MM, Hawke JP. 2004. Immunology. Di dalam: Tucker CS, Hargreaves JA, editor. Biology and Culture of Channel Catfish. Amsterdam (Ne): Elsevier B.V. hlm 351. Morrison J. 2007. Normal Histology. Di dalam: Mumford S, Heidel J, Smith C, Morrison J, MacConnell B, Blazer V, editor. Fish Histology and Histopathology [internet]. [27 Nov 2012, diunduh 2013 Mei 7]. Tersedia pada: http://training.fws.gov/EC/Resources/Fish_Histology/Fish_Histology_Manu al_v4.pdf Myers RB, Fredenburgh JL, Grizzle WE. 2008. Carbohydrates. Di dalam: Bancroft JD, editor. Theory and Practice of Histological Techniques. Ed ke6. Burlington (US): Elsevier Science. hlm 171. Nwaopara AO, Anibeze CIP, Akpuaka FC. 2010. Induced Histological Features of Hypoxia-Ischaemia in the Brain of Rats Fed with Diet Containing Yaji: The Complex Nigerian Meat Sauce. Res. J. Appl. Sci. Eng. Technol. 2(1): 67-72. Ogundiran MA, Fawole OO, Adewoye SO, Ayandiran TA. 2010. Toxicological Impact of Detergent Effluent on Juvenile of African Catfish (Clarias gariepinus) (Buchell 1822). Agric Biol J N Am. 1(3):330-342. Oliva-Teles A. 2012. Nutrition and Health of Aquaculture Fish. Journal of Fish Diseases. 35:83–108.doi: 10.1111/j.1365-2761.2011.01333.x Olson KR. 2002. Vascular Anatomy of The Fish Gill. Journal of Experimental Zoology. 293:214-231. Olsson C. 2011. Gut Anatomy and Morphology-Gut Anatomy. Di dalam: Farrell Anthony P., editor. Encyclopedia of Fish Physiology : From Genome to Environment. Burlington (US): Elsevier Science. 2500 hlm. Olurin KB, Olojo EAA, Mbaka GO, Akindele AT. 2006. Histopathological Responses of The Gill and Liver Tissues of Clarias gariepinus Fingerlings to The Herbicide, Glyphosate. African J Biotech. 5:2480-2487. Paperna I, Dzikowski R. 2006. Digenea (Phylum Platyhelminthes). Di dalam: Woo PTK, editor. Fish Diseases and Disorder. Volume 1. Protozoan and Metazoan Infections. Oxfordshire (UK): Bidlles, King’s Lynn. hlm 346-373. Raji AR, Norouzi E. 2010. Histological and histochemical study on the alimentary canal in Walking catfish (Claris batrachus) and piranha (Serrasalmus nattereri). J Vet Research. 11(3): 225-261. 20 Redondo MJ, Palenzuela O, Alvarez-Pellitero P. 2004. Studies on transmission and life cycle of Enteromyxum scophthalmi (Myxozoa), an enteric parasite of turbot (Scophthalmus maximus). Folia Parasitologica. 51:188-198. Ribeiro HJ, Procópio MS, Gomes JMM, Vieira FO, Russo RC, Balzuweit K, Chiarini-Garcia H, Castro ACS, Rizzo E, José Dias Corrêa Jr. 2011. Functional Dissimilarity of Melanomacrophage Centres in The Liver and Spleen from Females of The Teleost Fish Prochilodus argenteus. Cell Tissue Res. 346:417-425. doi10.1007/s00441-011-1286-3 Roberts RJ, Ellis AE. 2012. The Pathophysiology and Systematic Pathology of Teleost. Di Dalam Roberts R.J. Fish Pathology. Ed ke-4. Chichester (UK): Wiley-Blackwell. hlm 22. Rodger HD. 2010. Fish Disease Manual. Galway (IE): Vet-Aqua International. hlm 9. Sayed AEH, Mekkawy IA, Mahmoud UM. 2012. Histopathological Alterations in Some Body Organs of Adult Clarias gariepinus (Burchell, 1822) Exposed to 4-Nonylphenol. Di dalam: Garcia MD, editor. Zoology [internet]. [diunduh 2013 Sept 8] Tersedia pada http://www.intechopen.com/books/zoology/histopathological-alterations-insome-body-organs-of-adult-clariasgariepinus-burchell-1822-exposed Shahin MIH, Chandra KJ, Das DR, Khalil SMI. 2013. Morphology and Histopathology of Alimentary Canal of Clarias batrachus (Linnaeus) and Heteropneustes fossilis (Bloch). IRJALS. 2: 11-20. Singh AK, Banerjee TK. 2008. Recovery of Damages in The Skin of Arsenic Exposed Clarias batrachus (linn.) Following Withdrawal of The Stress. J. Environ. Health. Sci. Eng. 5:217-224. Sitjà-Bobadilla A, Palenzuela O. 2012. Enteromyxum Species. Di dalam: Woo PTK, Buchmann K, editor. Fish Parasites: Pathobiology and Protection. Croydon (UK): CPI Group Ltd. hlm 163-172. Suttie AW. 2006. Histopatholgy of The Spleen. Toxicologic Pathology. 34: 466503. doi:10.1080/01926230600867750. Taylor EW, Wang T. 2009. Control of the Heart and of Cardiorespiratory Interactions. Di dalam: Glass ML, Wood SC, editor. Cardio-Respiratory Control in Vertebraters-Comparative and Evolutionary Aspects. Berlin (DE): Springer. hlm 297. Vegad JL. 2007. A Textbook of Veterinary General Pathology. Edisi ke-2. Delhi (IN): Salasar Imaging Systems. 589 hlm. Wilson JM, Castro LFC. 2011. Morphological Diversity of The Gastrointestinal Track in Fish. Di dalam: Grosell M, Farrell AP, Brauner CJ, editor. Fish Physiology. Volume 30. The Multifunctional Gut of Fish. Burlington (US): Elsevier. hlm 8-10. Yu X, Li YV. 2011. Zebrafish as an Alternative Model for Hypoxic-ischemic Brain Damage. Int J Physiol Pathophysiol Pharmacol. 3(2):88-96. 21 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 7 Juli 1991 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Toto dan Ibu Uka Sukaesih. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Cilengkrang, Sumedang pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Malangbong, Garut dan lulus tahun 2006. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri Situraja, Sumedang dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi, yaitu Himpunan Minat Profesi Satwa Liar dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH IPB.