1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ledakan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ledakan jumlah penduduk menyebabkan dampak yang tidak
menguntungkan seperti wabah penyakit, kerusakan lingkungan, pemanasan global,
dan kelaparan (Rahayu, 2012). Untuk menanggulangi ledakan penduduk tersebut
maka diperlukan suatu pengendalian yang sistematis, terarah, dan terukur salah
satunya dengan penggunaan kontrasepsi melalui program Keluarga Berencana
(KB). Metode kontrasepsi yang mendapat prioritas paling tinggi ditujukan untuk
wanita, sementara pria yang mempunyai keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam
program KB hanya mempunyai pilihan yang lebih sedikit dalam metode
kontrasepsi dimana dapat memberikan hasil yang efektif, reversibel, dan tidak
mengiritasi (Agrawal et al., 2012). Metode kontrasepsi pria yang masih digunakan
saat ini adalah vasektomi, kondom, dan senggama terputus. Namun, penggunaan
metode kontrasepsi untuk pria tersebut belum sepenuhnya dapat diterima
masyarakat karena sebagian beranggapan bahwa metode-metode tersebut belum
dapat 100% mencegah kehamilan dan adanya efek samping yang ditimbulkan.
Upaya peningkatan partisipasi pria dalam program KB perlu ditingkatkan melalui
penelitian bahan antifertilitas yang digunakan sebagai bahan kontrasepsi yang aman
dan efektif bagi pria (Rahayu, 2012).
Pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional masih terus berlangsung
hingga sekarang. Penggunaan tanaman obat tradisional ini dinilai memberikan
1
2
efek samping dan toksisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan obat-obat
sintesis. Telah diketahui ada 74 tanaman yang secara empiris digunakan oleh
masyarakat sebagai obat tradisional, salah satunya adalah tanaman pacing (Costus
speciosus) (Rahayu, 2012). Daun pacing sudah banyak digunakan di pulau
Wawonii, Sulawesi Tenggara sebagai obat tradisional untuk KB dan perawatan
pasca melahirkan dengan cara direbus kemudian diminum (Rahayu, 2012).
Tumbuhan ini mudah untuk dibudidayakan di Indonesia. Senyawa-senyawa yang
terkandung di dalam tanaman pacing yaitu antara lain diosgenin, saponin steroid
seperti prosapogenin, α dan β-dioscin, saponin furostanol seperti costusoid I & J,
asam oktasonoat, dan sikloartenol (Rahayu, 2012). Senyawa yang terkandung
dalam pelarut air diantaranya steroid, fenolik, dan saponin.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ekstrak kental herba pacing terhadap perilaku seksual tikus
jantan, dan kemampuan membuntingkan. Dalam jangka panjang, hasil penelitian
ini dapat dikembangkan untuk menunjang penelitian-penelitian selanjutnya dalam
menghasilkan obat kontrasepsi pria yang bersifat reversibel dan memiliki efek
samping rendah, tanpa menurunkan libido.
3
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
dilakukan penelitian untuk mengetahui:
1.
Apakah ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith)
mengganggu perilaku seksual (sexual behavior) tikus jantan strain Wistar,
dilihat dari frekuensi introduction, climbing, dan coitus tikus jantan?
2.
Apakah ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith)
berpengaruh terhadap kemampuan tikus jantan dalam membuahi tikus betina?
3.
Apakah efek yang ditimbulkan ekstrak air herba pacing (Costus speciosus
(Koen.) J.E. Smith) terhadap sexual behavior dan kemampuan membuahi
bersifat sementara?
Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pengaruh ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E.
Smith) terhadap sexual behavior tikus jantan strain Wistar.
2.
Mengetahui pengaruh ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E.
Smith) terhadap kemampuan tikus jantan strain Wistar dalam membuahi tikus
betina.
3.
Mengetahui reversibilitas efek ekstrak air herba pacing (Costus speciosus
(Koen.) J.E. Smith) terhadap sexual behavior dan kemampuan membuahi tikus
jantan strain Wistar.
4
Tinjauan Pustaka
Uraian tanaman pacing
a. Morfologi
Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith (pacing) adalah herba dengan
tinggi 0,5-3 m. Tangkai daun panjangnya maksimal 1,5 cm. Helaian daun
memanjang sampai bentuk lanset, ujung meruncing, terutama di bagian
bawah berambut. Bunga duduk, bentuk bulir terminal rapat, putih, merah.
Daun pelindung bulat telur sampai memanjang dengan ujung meruncing yang
berduri menempel. Kelopak tidak rontok, serupa tulang. Panjang tabung
mahkota ± 1 cm, lebar 0,5 cm, bentuk corong. Buah kotak, bentuk telur,
merah, tinggi 1,5-3 cm. Pacing tumbuh pada tempat lembab dan teduh
(Rahayu, 2012).
Klasifikasi tanaman pacing adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Costus
Jenis
: Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith
(Rahayu, 2012)
5
Gambar 1. Tanaman pacing
b. Kandungan kimia
Kandungan kimia tanaman pacing yang menghasilkan efek terapi
diantaranya adalah diosgenin, saponin steroid seperti prosapogenin, α dan βdioscin, saponin furostanol seperti costusoid I & J, asam oktasonoat dan
sikloartenol. Diosgenin pada batang sebesar 0,65%, daun 0,37%, dan pada
bunga 1,21% (Rahayu, 2012). Sedangkan diosgenin pada rimpang sebesar
0,2% (Rahayu, 2012). Senyawa dalam pacing yang terdapat dalam pelarut air
yaitu steroid, fenolik, dan saponin (Devi & Urooj, 2010).
6
Gambar 2.Tabel kandungan senyawa dalam daun CSP (Costus speciosus (Koen.) J.E. Sm) di
dalam berbagai pelarut. Keterangan ve (value expressed) menunjukkan kandungan senyawa
dalam pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Sm.) (Devi & Urooj, 2010).
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa diosgenin dari rimpang pacing
dapat dikonversi menjadi 3β-asetoksi-5,16-pregnadien-20-on, yaitu suatu
senyawa intermediet pada sintesis obat-obat steroid termasuk senyawa
kontraseptik (Rahayu, 2012).
c. Kegunaan
Tanaman pacing memiliki aktivitas farmakologi sebagai antidiabetik,
hipolipidemik, hepatoprotektif, antifertilitas, antioksidan, dan antifungi.
Tanaman ini juga diketahui memiliki aktivitas sebagai antirhematik,
mengobati asma bronkial, leprosi dan sebagai kardiotonik (Rahayu, 2012).
Diosgenin dari rimpang pacing dapat dikonversi menjadi 3β-asetoksi5,16-pregnadien-20-on, yaitu suatu senyawa intermediet pada sintetis obatobat steroid termasuk senyawa kontraseptik (Rahayu, 2012). Hasil isolasi
7
diosgenin dapat digunakan untuk mensintesis senyawa semisintesis
progesteron (Marker & Krueger, 1940).
Sexual behavior pada pria
Sexual behavior (aktivitas seksual) pada pria terdiri dari suatu pola
kompleks respon genital dan somatotor, ditimbulkan, diatur, dan dikontrol oleh
sinyal eksternal dan internal. Hal ini termasuk hubungan seks, yang dimulai dengan
precopulatory behavior yang ditandai dengan kemampuan pria untuk merasakan
gairah seksual, menilai kepantasan untuk bersetubuh, dan merangsang respon
penerimaan dari pasangan (Hull et al., 1999).
Sexual behavior dipengaruhi oleh hormon dan senyawa kimia. Hormon
yang berperan dalam sexual behavior adalah hormon androgen, dimana hormon ini
mengatur fungsi seksual pada pria. Pemberian hormon androgen eksogen pada
pasien hipogonadisme dapat mempengaruhi seksualitas seperti penimbulan hasrat
seksual, aktivitas seksual dan orgasme melalui koitus maupun masturbasi
(Nieschlag et al., 2004). Hormon androgen berfungsi dalam fungsi seksual hanya
jika level hormon endogen rendah secara tidak normal. Hal ini berhubungan dengan
hormon testosteron, dimana ketika testosteron masih berada pada rentang normal,
maka hormon androgen tidak akan mempengaruhi fungsi seksual (Nieschlag et al.,
2004). Androgen diatur dengan mekanisme homeostatis, dimana dengan adanya
pemberian testosteron dalam jumlah berlebih, maka produksi dari dalam tubuh akan
ditekan, atau metabolisme akan ditingkatkan, hal ini ditunjukkan dari tidak adanya
kenaikan level hormon dalam peredaran. Adanya mekanisme ini dapat
8
menyebabkan kegagalan pada pemberian obat steroid (testosterone undecanoate)
pada fungsi ereksi, dikarenakan kegagalan mengubah level hormon androgen
(Nieschlag et al., 2004). Pengaruh hormon pada sexual behavior tiap pria bersifat
individual, dimana tiap pria mempunyai respon yang berbeda (Nieschlag et al.,
2004).
Senyawa kimia yang berperan dalam sexual behavior adalah dopamin (DA).
Dopamin merupakan suatu senyawa dalam otak, sudah banyak diyakini berperan
pada libido dan aktivitas seksual pada pria (Hull et al., 1999). Dopamin sudah lama
dikenal dalam mempengaruhi fungsi seksual pria, termasuk L-DOPA, suatu
prekursor dari dopamin.
Dopamin disekresikan karena ada pengaruh dari testosteron. Testosteron
mengupregulasi pelepasan enzim Nitric Oxide Synthase (NOS) di Medial Preoptic
Area (MPOA). NOS merupakan suatu enzim yang mengubah L-arginin menjadi Lsitrulin, sehingga terbentuklah gas Nitric Oxide (NO). Gas NO merupakan suatu
gas yang bersifat sangat reaktif dan berperan dalam peningkatan level dopamin
ekstrasel, dengan cara menginhibisi transporter dopamin. Upregulasi NOS yang
dikontrol oleh testosteron, akan menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas
NOS sehingga gas NO di MPOA akan meningkat. Peningkatan gas NO di MPOA
akan meningkatkan pelepasan dopamin sehingga menyebabkan timbulnya
dorongan seksual, refleks genital, dan kopulasi (Hull et al., 1999). L-arginin yaitu
merupakan prekursor dopamin, dapat meningkatkan dopamin ekstrasel di MPOA,
diukur dengan menggunakan mikrodialisis. Pemberian inhibitor NOS dapat
menurunkan pelepasan dopamin dilihat selama kopulasi (Hull et al., 1999).
9
Gambar 3. Peranan testosteron dalam sexual behavior. Peningkatan pelepasan dopamin akan
meningkatkan respon terhadap rangsangan dari tikus betina estrus, meningkatkan probabilitas,
frekuensi, dan efisiensi kopulasi (Hull et al., 1999)
Peran dopamin dalam aktivitas seksual adalah dengan menghilangkan
inhibisi tonik (Hull et al., 1999). Suatu respon yang ditimbulkan karena hormon
steroid akan menyebabkan terjadinya peningkatan respon pada beberapa serabut
syaraf (neuron), namun neuron tersebut tidak dapat merespon rangsangan secara
utuh kecuali ada penghilangan inhibisi tonik. Sehingga dengan kata lain, dopamin
memfasilitasi hormon steroid agar dapat dengan mudah menstimulasi respon
seksual.
Saat ada rangsangan seksual dan kopulasi, dopamin akan dilepaskan di
setiap sistem-sistem integratif utama yang terlibat dalam dorongan seksual dan
genital dan respon somatotor pada tikus jantan, yaitu medial preoptic area
(MPOA), system integrative mesolimbik, dan system integrative nigrostriatal.
MPOA, merupakan suatu bagian otak yang terletak pada ujung rostral di
hipotalamus yang mana berperan penting dalam pengaturan aktivitas endokrin, dan
ekspresi sexual behavior pada pria. Dopamin MPOA berperan dalam kontrol
aktivitas seksual. Pelepasan dopamin MPOA berperan dalam dorongan pria akan
rangsangan seksual, pengaturan refleks genital yang diperlukan untuk ereksi dan
10
ejakulasi, dan meningkatkan pola khusus kopulasi tiap spesies (Hull, 1995), selain
itu sekresi dopamin MPOA akan meningkatkan probabilitas, tingkatan, dan
efisiensi dari kopulasi (Hull et al., 1999). Dopamin pada MPOA dapat
memodifikasi respon sensorik dengan membiaskannya sehingga hanya diutamakan
respon rangsangan seksual. Dopamin MPOA lebih berperan dalam performa
kopulasi. Dopamin mesolimbik yang dilepaskan pada daerah nucleus accumbens
(daerah terminal mesolimbik) mempengaruhi hasrat seksual, sedangkan dopamin
nigrostriatal dilepaskan di dalam dorsal striatum saat pria mulai berhubungan seks,
dan perannya lebih pada aktivasi motorik daripada dorongan untuk berhubungan
seksual (Hull et al., 1999).
Gambar 4. Konsep sistem dopamine dalam meregulasi sexual behavior pada pria (Hull,
1995).
Pelepasan dopamin dapat menstimulasi 2 reseptor, yaitu D1-like receptors,
dan D2-like receptors. Stimulasi pada D1-like receptors akan mencegah terjadinya
premature ejaculations, sedangkan stimulasi D2-like receptors oleh dopamin pada
dosis yang tinggi akan mencegah terjadinya ereksi, dan memperlambat onset dari
kopulasi (Hull et al., 1999), sehingga dimungkinkan berperan pada kepasifan
11
seksual saat postejakulasi. Pemberian level ekstraseluler dopamin yang berbeda
akan memiliki efek yang berbeda pada jenis reseptor yang berbeda, sehingga dapat
digunakan untuk mengontrol waktu dari tahapan-tahapan kopulasi.
Penghambatan aktivitas seksual
Penghambatan pada aktivitas seksual salah satunya disebabkan karena
sekresi 5-HT (serotonin). Antidepresan golongan SSRIs (Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor class) mengganggu fungsi orgasme/ ejakulasi dan ereksi (Hull
et al., 1999). Mikroinjeksi dosis tinggi 5-HT kedalam MPOA dapat mengganggu
aktivitas seksual pada pria (Hull et al., 1999). Kebalikannya, penurunan aktivitas
serotonik karena lesi maupun inhibisi sintesis, dapat memicu aktivitas seksual (Hull
et al., 1999). Pelepasan 5-HT pada POA dan medial basal hipotalamus terjadi
setelah ejakulasi, dan tingginya level 5-HT dapat memicu kepasifan seksual. Hasil
ini diperoleh dari meningkatnya level jaringan 5-HT pada POA dan 5-HIAA
(metabolit utama dari 5-HT) pada dialisat (Hull et al., 1999). Namun, hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada perubahan level 5-HT ekstraseluler
pada MPOA selama kopulasi maupun setelah ejakulasi, tetapi 5-HT dilepaskan di
anterior lateral hipotalamus (LHA) setelah ejakulasi (Hullet al., 1999). 5-HIAA
kemungkinan berdifusi dari LHA ke POA, karena metabolit dari senyawa
monoamin yang bersifat asam akan menempuh jarak yang lebih jauh untuk
berdifusi daripada senyawa monoamin itu sendiri (Hull et al., 1999). Mikroinjeksi
SSRI pada daerah LHA akan meningkatkan latensi kopulasi dan ejakulasi setelah
kopulasi dimulai. Oleh karena itu, LHA merupakan daerah dimana SSRI
12
memberikan efek gangguan pada fungsi seksual manusia. Pemberian 5-HT secara
unilateral via reverse dialysis pada LHA akan menurunkan level basal dopamin
pada daerah ipsilateral nucleus accumbens (NAcc), yaitu suatu daerah terminal
utama pada system mesolimbik dopamin. Lebih jauhnya, tidak ada peningkatan
level dopamine pada NAcc sebelum maupun selama kopulasi selama pemberian 5HT. Peran 5-HT pada LHA pada kepasifan seksual adalah dengan menghambat
aktivitas pada traktus dopamin mesolimbik, dimana memegang peranan penting
pada semua jenis hasrat seksual (Hull et al., 1999).
Fase-fase sexual behavior
Adanya respon berupa dorongan seksual muncul setelah menerima
rangsangan seksual. Pada manusia, respon seksual dibagi menjadi empat fase, yaitu
fase eksitasi (excitement phase), fase plato (plateu phase), fase orgasme (orgasmic
phase), dan fase resolusi (resolution phase).
Gambar 5.Fase-fase sexual behavior pada pria dan wanita (Bhasin & Benson, 2006)
Pada fase eksitasi (excitement phase) ditandai dengan meningkatnya
kecepatan detak jantung dan nafas, tekanan darah meningkat, puting menjadi
13
mengeras, penis mulai mengalami ereksi, testis turun, dan kulit menjadi kemerahmerahan, yang disebut dengan “sex flush” (Bhasin & Benson, 2006). Fase ini
berlangsung selama beberapa menit maupun beberapa jam (Bhasin & Benson,
2006).
Fase plato (plateu phase) adalah kelanjutan dari fase eksitasi. Fase ini
ditandai dengan peningkatan detak jantung menjadi lebih kencang, kesenangan/
hasrat seksual meningkat, kandung kemih menutup, otot di dasar penis berkontraksi
secara teratur, tekanan pada otot meningkat, kemungkinan terjadi spasme pada kaki,
wajah dan tangan, dan pria mulai mensekresikan cairan semen dalam jumlah yang
sedikit (Bhasin & Benson, 2006).
Fase orgasme (orgasmic phase) adalah fase dimana terjadi pelepasan
tekanan seksual, dan berasosiasi dengan kontraksi pada otot pelvis dan anal
sphincter. Pada fase ini, terjadi ejakulasi cairan semen, dan kenikmatan seksual.
Pada awal fase emisi, cairan semen berkumpul di bulbus uretra dan berasosiasi
dengan sensasi bahwa orgasme akan segera terjadi. Ejakulasi cairan semen dari
penis membutuhkan kontraksi dari periuretra (periurethral) dan otot pelvis yang
lain. Kulit akan berubah warna menjadi kemerah-merahan, disebabkan karena “sex
flush” yang terjadi di seluruh tubuh, walaupun “sex flush” ini dapat terjadi di fase
awal (Bhasin & Benson, 2006).
Fase yang terakhir adalah fase resolusi (resolution phase). Pada fase ini, otot
mulai relaksasi, terjadi penurunan detak jantung dan tekanan darah, dan penis mulai
kehilangan ereksinya. Setelah orgasme dan ejakulasi, pria akan memasuki periode
refraksi (refractory period), dimana pada fase ini pria tidak dapat mencapai
14
orgasme lagi, begitu juga dengan wanita (Bhasin & Benson, 2006). Lamanya
periode refraksi ini berbeda-beda untuk tiap pria (Bhasin & Benson, 2006).
Tahap-tahap aksi seksual
Sumber impuls terpenting untuk menimbulkan tindakan seksual pria berasal
dari glans penis karena glans penis mengandung sistem organ-akhir sensoris yang
sangat rapi, yang menghantarkan ke susunan syaraf pusat suatu modalitas kesan
khusus yang dinamakan kesan seksual. Kesan seksual dapat berasal dari struktur
interna, seperti perangsangan daerah uretra, kandung kemih, prostat, vesikula
seminalis, testis, dan vas deferens. Salah satu penyebab dorongan seksual
diakibatkan oleh pengisian sekret berlebihan pada organ seksual.
Rangsangan psikis yang sesuai dapat sangat meningkatkan kemampuan
seseorang untuk melakukan tindakan seksual. Memikirkan gagasan seksual atau
mimpi sedang melakukan hubungan seksual dapat menyebabkan terjadinya
tindakan seksual pria dan mencapai puncaknya yaitu ejakulasi. Walaupun faktor
psikis memegang peranan penting pada tindakan seksual pria, serebrum mungkin
tidak memegang peranan penting dalam pelaksanaannya, karena ejakulasi pada
manusia dan beberapa binatang dapat dicapai dengan pemberian rangsangan yang
cocok pada organ genitalia, meskipun medulla spinalisnya telah dipotong pada
daerah lumbal. Oleh karena itu, tindakan seksual yang muncul pada pria akibat
mekanisme refleks yang terintegrasi pada daerah sakral dan lumbal medulla spinalis
dapat diaktifkan oleh rangsangan psikis atau rangsangan seksual yang sebenarnya.
15
Aksi seksual pria terdiri dari tiga tahapan yaitu ereksi, emisi, dan ejakulasi
(Marlina,1999).
a. Ereksi
Ereksi merupakan efek pertama rangsangan seksual pria, dan derajat
ereksi sebanding dengan derajar perangsangan, baik secara psikis maupun fisik.
Penyebab ereksi yaitu karena adanya impuls parasimpatis yang berjalan dari
bagian sacral medulla spinalis menuju nervi erigentes ke penis, serat-serat
parasimpatis ini mensekresikan nitrogen oksida (NO), sehingga berbeda dengan
serat parasimpatis kebanyakan. Sekresi NO menyebabkan pelebaran arteri-arteri
pada penis, demikian juga jalan kerja trabekular serat otot polos di dalam
jaringan erektil dari korpus kavernosa dan korpus spongiosum dalam batang
penis (Marlina, 1999).
Jaringan-jaringan erektil ini tidak lain merupakan sinusoid-sinusoid
kavernosa yang besar, yang dalam keadaan normal relatif kosong tetapi akan
sangat melebar saat darah arteri mengalir dengan cepat kedalamnya sementara
aliran vena dibendung. Juga badan erektil terutama kedua korpus karvenosa
dikelilingi oleh selubung fibrosa yang kuat. Oleh karena itu, tekanan tinggi
dalam sinusoid menyebabkan pengembangan jaringan erektil sedemikian rupa
sehingga penis menjadi keras dan panjang (Marlina, 1999).
b. Emisi dan ejakulasi
16
Emisi dan ejakulasi merupakan puncak tindakan seksual pria. Ketika
rangsangan seksual menjadi sangat kuat, pusat refleks pada medulla spinalis
mulai melepaskan impuls simpatis yang meninggalkan medulla spinalis padaL1 dan L-2 dan menuju ke organ genital melalui pleksus hipogastrik untuk
menimbulkan emisi dan selanjutnya ejakulasi (Marlina, 1999).
Emisi dimulai dengan kontraksi vas deferens dan ampuls yang
menyebabkan sperma masuk uretra interna. Lalu, otot-otot yang melapisi
kelenjar prostat berkontraksi dan diikuti dengan kontraksi vesikula seminalis,
yang mengeluarkan cairan prostat dan seminal, mendorong sperma lebih jauh.
Semua cairan ini bercampur dalam uretra interna dengan mukus yang telah
disekresi oleh kelenjar bulbouretralis untuk membentuk semen. Inilah yang
disebut dengan proses emisi (Marlina, 1999).
Pengisian uretra interna secara serempak kemudian menimbulkan sinyal
yang dihantarkan melalui syaraf pudendus ke daerah sacral medulla spinalis
yang menimbulkan suatu sensasi kepenuhan yang mendadak dalamorgan
kelamin interna. Juga sinyal sensoris lebih jauh lagi membangkitkan kontraksi
ritmik dari organ kelamin interna dan menyebabkan kontraksi otot-otot
iskiokarvenosus dan bulbokarvenosus yang menekan dasar jaringan erektil
penis. Kedua pengaruh ini menyebabkan peningkatan tekanan ritmik seperti
gelombang di dalam duktus genital dan uretra, yang mengejakulasikan semen
dari uretra ke luar. Proses ini disebut ejakulasi. Pada waktu yang sama, kontraksi
berirama dari otot pelvis dan bahkan beberapa otot tubuh menyebabkan gerakan
pendorongan pelvis dan penis, yang juga membantu mengalirkan semen ke
17
dalam bagian terdalam vagina dan mungkin bahkan sedikit ke dalam serviks
uterus. Keseluruhan periode emisi dan ejakulasi ini disebut orgasme pria
(Marlina, 1999).
Fertilisasi
Fertilisasi adalah suatu proses dimana gamet haploid, yaitu sel sperma pria
dan sel telur wanita melebur menjadi satu, dimana proses ini terjadi didalam daerah
ampula pada pembuluh (tube) uterin (Sadler, 2012). Fertilisasi tidak langsung
terjadi seketika saat sperma memasuki organ genital wanita. Untuk terjadi
fertilisasi, sperma harus melalui dua proses yaitu kapasitasi dan reaksi akrosom.
Kapasitasi adalah proses pelepasan lapisan glikoprotein dan seminal plasma
dari membran plasma pada daerah akrosomal spermatozoa. Tujuan kapasitasi
adalah untuk mengkondisikan sperma dengan jalur reproduksi wanita. Pada proses
ini, diperlukan interaksi epitelial antara sperma dan lapisan mukosa pada tube
(Sadler, 2012).
Reaksi akrosom terjadi setelah sperma menempel pada zona pelusida sel
telur. Reaksi ini diinduksi oleh zona protein, dan memuncak ketika terjadi
pelepasan enzim yang dibutuhkan untuk penetrasi pada zona pelusida, termasuk di
dalamnya adalah akrosin dan substansi mirip tripsin (Sadler, 2012).
Suatu sperma harus dapat menembus massa cumulus (cumulus mass) yang
menyelimuti sel telur untuk dapat mencapai zona pelusida (ZP) pada oosit.
Akrosom sperma mengandung beberapa enzim hidrolase, termasuk di dalamnya
adalah hyaluronidase, yaitu enzim yang berperan penting dalam penetrasi sperma
18
melalui lapisan sel folikel yang tersusun dari substansi yang kental dan menyerupai
gel. Sel folikel ini merupakan lapisan ekstraseluler dari kompleks cumulus
(cumulus complex), yang mengelilingi oosit. Enzim hyaluronidase menyebabkan
depolimerisasi dari asam hyaluronat, yaitu komponen penting penyusun matriks
ekstraseluler, dan suatu glikosaminoglikan yang tersusun dari unit-unit disakarida,
yaitu asam D-glukoronat dan N-asetil-D-glukosamin sampai oligosakarida
berukuran kecil (Srivastavet al., 2010). Degradasi hyaluronan dipercepat oleh
adanya katalisator yaitu PH-20 (testicular hyaluronidase), dan suatu glikosil
fosfatidilinositol (GPI) yang terintegrasi dengan membran protein sperma.
Degradasi hyaluronan menyebabkan akrosom sperma mempenetrasi massa
cumulus (cumulus mass) (Srivastav et al., 2010). PH-20 memiliki rentang pH yang
lebar yaitu 3,2-9,0. Rentang pH yang lebar ini menyebabkan PH-20 berperan
sebagai protein yang bersifat multifungsional, diantaranya sebagai hyaluronidase,
sebagai reseptor untuk asam hyaluronidase yang menginduksi sinyaling sel
(hyaluronic acid-induced cell signaling), dan sebagai reseptor untuk glikoprotein
pada zona pelusida yang menyelimuti oosit (Srivastavet al., 2010).
Selain PH-20, suatu protein yang bernama hyaluronidase HyaI5 juga
memiliki aktivitas menghidrolisis hyaluronan. Karenanya, HyaI5 memiliki peran
penting dalam penetrasi sperma melalui massa cumulus (cumulus mass),
kemungkinan bekerja sama dengan PH-20. HyaI5 terekspresi di testis dan banyak
terdapat di sperma epididimis tikus (Srivastav et al., 2010).
Fertilisasi terdiri dari tiga fase, yaitu:
a. Fase pertama, yaitu penetrasi sperma ke dalam korona radiata (corona radiate).
19
Korona radiata merupakan barrier pada sel telur. Barrier ini hanya dapat
ditembus oleh sperma yang sudah terkapasitasi (Sadler, 2012).
b. Fase kedua, yaitu penetrasi sperma ke dalam zona pelusida.
Zona pelusida merupakan lapisan glikoprotein yang mengelilingi sel telur yang
berperan dalam penempelan sperma dan terjadinya reaksi akrosom. Zona ini
memiliki suatu ligan zona protein, yaitu ZP3 yang berperan dalam ikatan dan
reaksi akrosom. Pelepasan enzim akrosomal (acrosin) menyebabkan sperma
dapat mempenetrasi zona ini, dengan demikian terjadi interaksi antara sperma
dengan membrane plasma oosit. Interaksi ini akan melepaskan enzim lisosomal
(Sadler, 2012).
c. Fase ketiga, yaitu peleburan membrane sel sperma dan oosit.
Proses peleburan ini diperantarai oleh ligan yang menempel pada sperma
(disintegrin) dan ligan pada oosit (integrin). Pada fase ini, membran sel pada
daerah posterior kepala sperma melebur dengan membran oosit. Bagian sperma
yang memasuki sitoplasma oosit yaitu dari ekor sampai kepala. Membran
plasma sperma akan tertinggal di luar permukaan oosit (Sadler, 2012).
20
Gambar 6. Proses interaksi sperma dengan sel telur pada mamalia (Florman & Ducibella,
2006)
Pada gambar diatas, sel telur tersusun dari cortical granules pada sitoplasma
perifer. Zona pelusida (zona) terdapat di sekeliling sel telur dan kompleks cumulus
oophorus menempel pada matriks ekstrasel. Berdasarkan gambar diatas, proses
interaksi antara sel sperma dengan sel telur terdiri dari tahapan-tahapan:
a. Kapasitasi sperma, terjadi di oviduk. Proses ini melibatkan respons
kemotaksis
b. Sel sperma mempenetrasi matriks ekstrasel dari cumulus complex. Pada
tahapan ini, sperma menahan acrosome yang utuh. Lingkungan pada cumulus
mengandung komponen yang soluble dan insoluble sehingga menstimulasi
sperma.
c. Akrosom pada sperma mencapai zona dan berikatan dengan ZP3.
d. ZP3 memicu reaksi akrosom (acrosome reaction)
e. Sperma masuk ke dalam zona
f. Sperma berikatan dan melebur dengan sel telur
21
g. Aktivasi sel telur dimulai dengan eksositosis cortical granules. Pelepasan
cortical granules memodifikasi zona (zona reaction).
(Florman & Ducibella, 2006).
Landasan Teori
Tanaman pacing digunakan secara empiris oleh masyarakat sebagai
kontrasepsi tradisional. Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sari dkk
(2013), infusa daun dan rimpang pacing terbukti dapat menghambat
spermatogenesis secara reversibel. Kandungan pacing yang terdapat dalam pelarut
air diantaranya adalah steroid, fenolik, dan saponin (Devi & Urooj, 2010), namun
sangat mungkin terdapat senyawa golongan tanin yang terkandung pada pacing di
dalam pelarut air. Senyawa aktif yang memiliki kegunaan terapetik yang
terkandung di dalam pacing diantaranya adalah diosgenin, saponin steroid seperti
prosapogenin, α dan β dioscin, saponin frustanol seperti costusoid I & J, asam
oktasonoat, dan sikloartenol. Kandungan diosgenin di dalam bunga sebesar 1,21%,
di dalam batang 0,65%, di daun 0,37%, dan di rimpang 0,2% (Srivastava et al.,
2011). Diosgenin dari rimpang pacing dapat dikonversi menjadi 3β-asetoksi-5,16pregnadien-20-on yaitu suatu senyawa antara pada sintesis obat-obat steroid,
termasuk senyawa kontraseptik (Rahayu, 2012).
Saponin dilaporkan memiliki efek penghambatan terhadap motilitas sperma
manusia (Dubey et al., 2011). Selain itu saponin juga mampu menghambat enzim
hyaluronidase (HAase) dari testis sapi secara in vitro sebesar 95% (Furuya et al.,
1997). Saponin yang diisolasi dari ekstrak kasar Costus speciosus Sm menyebabkan
22
sterilitas pada mencit (Tewary et al., 1973). Saponin steroid dapat menimbulkan
efek inhibisi pada membrane ATPase dengan mekanisme interaksi secara langsung
pada bagian lipid ATPase sehingga dapat mengubah ikatan hidrogen intermolekuler
protein (Francis et al., 2002), sedangkan ATPase berperan penting pada motilitas
sperma.
Salah satu senyawa polifenol yaitu gosipol dilaporkan dapat mengganggu
kapasitasi sperma, motilitas, reaksi akrosom, dan kemampuan mempenetrasi oosit
(Shi et al., 2003).
Kandungan diosgenin di dalam tanaman Dioscorea esculenta mampu
menurunkan motilitas sperma dan densitas sperma pada cauda dan segmen cauda
epididimis, dan mempengaruhi maturasi sperma pada tikus jantan, dimana
perkembangan sperma yang normal dan matang merupakan kunci kesuburan pria
(Shajeela et al., 2011).
Asam tanat yang merupakan senyawa golongan flavonoid memiliki efek
penghambatan yang poten terhadap aktivitas enzim hyaluronidase yang diekstraksi
dari sperma monyet (Taitzoglou et al., 2001). Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Taitzoglou et al. (2001), dilaporkan bahwa asam tanat memiliki efek
menginhibisi motilitas sperma pada manusia setelah jam ke-2 dan jam ke-3
inkubasi, selain itu asam tanat juga mampu menginhibisi plasminogen aktivator,
dan mampu menginhibisi aktivitas acrosin pada manusia dan ekstrak ovine
acrosomal. Pada uji in vitro yang dilakukan oleh Srivastav et al. (2001) dilaporkan
bahwa kandungan senyawa tanin di dalam ekstrak etanolik buah Terminalia
chebula terbukti mampu menginhibisi enzim hyaluronidase pada sperma manusia
23
secara maksimum, mampu menginhibisi aktivitas aktivitas enzim hyaluronidase
pada caudal epididymal spermatozoa pada tikus, dan mampu menurunkan jumlah
janin pada tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan yang telah dipejani
ekstrak.
Hipotesis
Pemberian ekstrak air herba pacing selama 14 hari berturut-turut dengan
tiga dosis yaitu 275 mg/kgBB, 550 mg/kgBB, dan 1100 mg/kgBB diperkirakan
dapat berefek sebagai antifertilitas dengan mencegah kehamilan pada tikus betina
secara reversibel tanpa mengurangi frekuensi introduction, climbing, dan coitus
tikus jantan.
Download