1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ledakan jumlah penduduk menyebabkan dampak yang tidak menguntungkan seperti wabah penyakit, kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan kelaparan (Rahayu, 2012). Untuk menanggulangi ledakan penduduk tersebut maka diperlukan suatu pengendalian yang sistematis, terarah, dan terukur salah satunya dengan penggunaan kontrasepsi melalui program Keluarga Berencana (KB). Metode kontrasepsi yang mendapat prioritas paling tinggi ditujukan untuk wanita, sementara pria yang mempunyai keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam program KB hanya mempunyai pilihan yang lebih sedikit dalam metode kontrasepsi dimana dapat memberikan hasil yang efektif, reversibel, dan tidak mengiritasi (Agrawal et al., 2012). Metode kontrasepsi pria yang masih digunakan saat ini adalah vasektomi, kondom, dan senggama terputus. Namun, penggunaan metode kontrasepsi untuk pria tersebut belum sepenuhnya dapat diterima masyarakat karena sebagian beranggapan bahwa metode-metode tersebut belum dapat 100% mencegah kehamilan dan adanya efek samping yang ditimbulkan. Upaya peningkatan partisipasi pria dalam program KB perlu ditingkatkan melalui penelitian bahan antifertilitas yang digunakan sebagai bahan kontrasepsi yang aman dan efektif bagi pria (Rahayu, 2012). Pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional masih terus berlangsung hingga sekarang. Penggunaan tanaman obat tradisional ini dinilai memberikan 1 2 efek samping dan toksisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan obat-obat sintesis. Telah diketahui ada 74 tanaman yang secara empiris digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional, salah satunya adalah tanaman pacing (Costus speciosus) (Rahayu, 2012). Daun pacing sudah banyak digunakan di pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara sebagai obat tradisional untuk KB dan perawatan pasca melahirkan dengan cara direbus kemudian diminum (Rahayu, 2012). Tumbuhan ini mudah untuk dibudidayakan di Indonesia. Senyawa-senyawa yang terkandung di dalam tanaman pacing yaitu antara lain diosgenin, saponin steroid seperti prosapogenin, α dan β-dioscin, saponin furostanol seperti costusoid I & J, asam oktasonoat, dan sikloartenol (Rahayu, 2012). Senyawa yang terkandung dalam pelarut air diantaranya steroid, fenolik, dan saponin. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kental herba pacing terhadap perilaku seksual tikus jantan, dan kemampuan membuntingkan. Dalam jangka panjang, hasil penelitian ini dapat dikembangkan untuk menunjang penelitian-penelitian selanjutnya dalam menghasilkan obat kontrasepsi pria yang bersifat reversibel dan memiliki efek samping rendah, tanpa menurunkan libido. 3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui: 1. Apakah ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith) mengganggu perilaku seksual (sexual behavior) tikus jantan strain Wistar, dilihat dari frekuensi introduction, climbing, dan coitus tikus jantan? 2. Apakah ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith) berpengaruh terhadap kemampuan tikus jantan dalam membuahi tikus betina? 3. Apakah efek yang ditimbulkan ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith) terhadap sexual behavior dan kemampuan membuahi bersifat sementara? Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith) terhadap sexual behavior tikus jantan strain Wistar. 2. Mengetahui pengaruh ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith) terhadap kemampuan tikus jantan strain Wistar dalam membuahi tikus betina. 3. Mengetahui reversibilitas efek ekstrak air herba pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith) terhadap sexual behavior dan kemampuan membuahi tikus jantan strain Wistar. 4 Tinjauan Pustaka Uraian tanaman pacing a. Morfologi Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith (pacing) adalah herba dengan tinggi 0,5-3 m. Tangkai daun panjangnya maksimal 1,5 cm. Helaian daun memanjang sampai bentuk lanset, ujung meruncing, terutama di bagian bawah berambut. Bunga duduk, bentuk bulir terminal rapat, putih, merah. Daun pelindung bulat telur sampai memanjang dengan ujung meruncing yang berduri menempel. Kelopak tidak rontok, serupa tulang. Panjang tabung mahkota ± 1 cm, lebar 0,5 cm, bentuk corong. Buah kotak, bentuk telur, merah, tinggi 1,5-3 cm. Pacing tumbuh pada tempat lembab dan teduh (Rahayu, 2012). Klasifikasi tanaman pacing adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Costus Jenis : Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith (Rahayu, 2012) 5 Gambar 1. Tanaman pacing b. Kandungan kimia Kandungan kimia tanaman pacing yang menghasilkan efek terapi diantaranya adalah diosgenin, saponin steroid seperti prosapogenin, α dan βdioscin, saponin furostanol seperti costusoid I & J, asam oktasonoat dan sikloartenol. Diosgenin pada batang sebesar 0,65%, daun 0,37%, dan pada bunga 1,21% (Rahayu, 2012). Sedangkan diosgenin pada rimpang sebesar 0,2% (Rahayu, 2012). Senyawa dalam pacing yang terdapat dalam pelarut air yaitu steroid, fenolik, dan saponin (Devi & Urooj, 2010). 6 Gambar 2.Tabel kandungan senyawa dalam daun CSP (Costus speciosus (Koen.) J.E. Sm) di dalam berbagai pelarut. Keterangan ve (value expressed) menunjukkan kandungan senyawa dalam pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Sm.) (Devi & Urooj, 2010). Dari hasil penelitian, diketahui bahwa diosgenin dari rimpang pacing dapat dikonversi menjadi 3β-asetoksi-5,16-pregnadien-20-on, yaitu suatu senyawa intermediet pada sintesis obat-obat steroid termasuk senyawa kontraseptik (Rahayu, 2012). c. Kegunaan Tanaman pacing memiliki aktivitas farmakologi sebagai antidiabetik, hipolipidemik, hepatoprotektif, antifertilitas, antioksidan, dan antifungi. Tanaman ini juga diketahui memiliki aktivitas sebagai antirhematik, mengobati asma bronkial, leprosi dan sebagai kardiotonik (Rahayu, 2012). Diosgenin dari rimpang pacing dapat dikonversi menjadi 3β-asetoksi5,16-pregnadien-20-on, yaitu suatu senyawa intermediet pada sintetis obatobat steroid termasuk senyawa kontraseptik (Rahayu, 2012). Hasil isolasi 7 diosgenin dapat digunakan untuk mensintesis senyawa semisintesis progesteron (Marker & Krueger, 1940). Sexual behavior pada pria Sexual behavior (aktivitas seksual) pada pria terdiri dari suatu pola kompleks respon genital dan somatotor, ditimbulkan, diatur, dan dikontrol oleh sinyal eksternal dan internal. Hal ini termasuk hubungan seks, yang dimulai dengan precopulatory behavior yang ditandai dengan kemampuan pria untuk merasakan gairah seksual, menilai kepantasan untuk bersetubuh, dan merangsang respon penerimaan dari pasangan (Hull et al., 1999). Sexual behavior dipengaruhi oleh hormon dan senyawa kimia. Hormon yang berperan dalam sexual behavior adalah hormon androgen, dimana hormon ini mengatur fungsi seksual pada pria. Pemberian hormon androgen eksogen pada pasien hipogonadisme dapat mempengaruhi seksualitas seperti penimbulan hasrat seksual, aktivitas seksual dan orgasme melalui koitus maupun masturbasi (Nieschlag et al., 2004). Hormon androgen berfungsi dalam fungsi seksual hanya jika level hormon endogen rendah secara tidak normal. Hal ini berhubungan dengan hormon testosteron, dimana ketika testosteron masih berada pada rentang normal, maka hormon androgen tidak akan mempengaruhi fungsi seksual (Nieschlag et al., 2004). Androgen diatur dengan mekanisme homeostatis, dimana dengan adanya pemberian testosteron dalam jumlah berlebih, maka produksi dari dalam tubuh akan ditekan, atau metabolisme akan ditingkatkan, hal ini ditunjukkan dari tidak adanya kenaikan level hormon dalam peredaran. Adanya mekanisme ini dapat 8 menyebabkan kegagalan pada pemberian obat steroid (testosterone undecanoate) pada fungsi ereksi, dikarenakan kegagalan mengubah level hormon androgen (Nieschlag et al., 2004). Pengaruh hormon pada sexual behavior tiap pria bersifat individual, dimana tiap pria mempunyai respon yang berbeda (Nieschlag et al., 2004). Senyawa kimia yang berperan dalam sexual behavior adalah dopamin (DA). Dopamin merupakan suatu senyawa dalam otak, sudah banyak diyakini berperan pada libido dan aktivitas seksual pada pria (Hull et al., 1999). Dopamin sudah lama dikenal dalam mempengaruhi fungsi seksual pria, termasuk L-DOPA, suatu prekursor dari dopamin. Dopamin disekresikan karena ada pengaruh dari testosteron. Testosteron mengupregulasi pelepasan enzim Nitric Oxide Synthase (NOS) di Medial Preoptic Area (MPOA). NOS merupakan suatu enzim yang mengubah L-arginin menjadi Lsitrulin, sehingga terbentuklah gas Nitric Oxide (NO). Gas NO merupakan suatu gas yang bersifat sangat reaktif dan berperan dalam peningkatan level dopamin ekstrasel, dengan cara menginhibisi transporter dopamin. Upregulasi NOS yang dikontrol oleh testosteron, akan menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas NOS sehingga gas NO di MPOA akan meningkat. Peningkatan gas NO di MPOA akan meningkatkan pelepasan dopamin sehingga menyebabkan timbulnya dorongan seksual, refleks genital, dan kopulasi (Hull et al., 1999). L-arginin yaitu merupakan prekursor dopamin, dapat meningkatkan dopamin ekstrasel di MPOA, diukur dengan menggunakan mikrodialisis. Pemberian inhibitor NOS dapat menurunkan pelepasan dopamin dilihat selama kopulasi (Hull et al., 1999). 9 Gambar 3. Peranan testosteron dalam sexual behavior. Peningkatan pelepasan dopamin akan meningkatkan respon terhadap rangsangan dari tikus betina estrus, meningkatkan probabilitas, frekuensi, dan efisiensi kopulasi (Hull et al., 1999) Peran dopamin dalam aktivitas seksual adalah dengan menghilangkan inhibisi tonik (Hull et al., 1999). Suatu respon yang ditimbulkan karena hormon steroid akan menyebabkan terjadinya peningkatan respon pada beberapa serabut syaraf (neuron), namun neuron tersebut tidak dapat merespon rangsangan secara utuh kecuali ada penghilangan inhibisi tonik. Sehingga dengan kata lain, dopamin memfasilitasi hormon steroid agar dapat dengan mudah menstimulasi respon seksual. Saat ada rangsangan seksual dan kopulasi, dopamin akan dilepaskan di setiap sistem-sistem integratif utama yang terlibat dalam dorongan seksual dan genital dan respon somatotor pada tikus jantan, yaitu medial preoptic area (MPOA), system integrative mesolimbik, dan system integrative nigrostriatal. MPOA, merupakan suatu bagian otak yang terletak pada ujung rostral di hipotalamus yang mana berperan penting dalam pengaturan aktivitas endokrin, dan ekspresi sexual behavior pada pria. Dopamin MPOA berperan dalam kontrol aktivitas seksual. Pelepasan dopamin MPOA berperan dalam dorongan pria akan rangsangan seksual, pengaturan refleks genital yang diperlukan untuk ereksi dan 10 ejakulasi, dan meningkatkan pola khusus kopulasi tiap spesies (Hull, 1995), selain itu sekresi dopamin MPOA akan meningkatkan probabilitas, tingkatan, dan efisiensi dari kopulasi (Hull et al., 1999). Dopamin pada MPOA dapat memodifikasi respon sensorik dengan membiaskannya sehingga hanya diutamakan respon rangsangan seksual. Dopamin MPOA lebih berperan dalam performa kopulasi. Dopamin mesolimbik yang dilepaskan pada daerah nucleus accumbens (daerah terminal mesolimbik) mempengaruhi hasrat seksual, sedangkan dopamin nigrostriatal dilepaskan di dalam dorsal striatum saat pria mulai berhubungan seks, dan perannya lebih pada aktivasi motorik daripada dorongan untuk berhubungan seksual (Hull et al., 1999). Gambar 4. Konsep sistem dopamine dalam meregulasi sexual behavior pada pria (Hull, 1995). Pelepasan dopamin dapat menstimulasi 2 reseptor, yaitu D1-like receptors, dan D2-like receptors. Stimulasi pada D1-like receptors akan mencegah terjadinya premature ejaculations, sedangkan stimulasi D2-like receptors oleh dopamin pada dosis yang tinggi akan mencegah terjadinya ereksi, dan memperlambat onset dari kopulasi (Hull et al., 1999), sehingga dimungkinkan berperan pada kepasifan 11 seksual saat postejakulasi. Pemberian level ekstraseluler dopamin yang berbeda akan memiliki efek yang berbeda pada jenis reseptor yang berbeda, sehingga dapat digunakan untuk mengontrol waktu dari tahapan-tahapan kopulasi. Penghambatan aktivitas seksual Penghambatan pada aktivitas seksual salah satunya disebabkan karena sekresi 5-HT (serotonin). Antidepresan golongan SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor class) mengganggu fungsi orgasme/ ejakulasi dan ereksi (Hull et al., 1999). Mikroinjeksi dosis tinggi 5-HT kedalam MPOA dapat mengganggu aktivitas seksual pada pria (Hull et al., 1999). Kebalikannya, penurunan aktivitas serotonik karena lesi maupun inhibisi sintesis, dapat memicu aktivitas seksual (Hull et al., 1999). Pelepasan 5-HT pada POA dan medial basal hipotalamus terjadi setelah ejakulasi, dan tingginya level 5-HT dapat memicu kepasifan seksual. Hasil ini diperoleh dari meningkatnya level jaringan 5-HT pada POA dan 5-HIAA (metabolit utama dari 5-HT) pada dialisat (Hull et al., 1999). Namun, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada perubahan level 5-HT ekstraseluler pada MPOA selama kopulasi maupun setelah ejakulasi, tetapi 5-HT dilepaskan di anterior lateral hipotalamus (LHA) setelah ejakulasi (Hullet al., 1999). 5-HIAA kemungkinan berdifusi dari LHA ke POA, karena metabolit dari senyawa monoamin yang bersifat asam akan menempuh jarak yang lebih jauh untuk berdifusi daripada senyawa monoamin itu sendiri (Hull et al., 1999). Mikroinjeksi SSRI pada daerah LHA akan meningkatkan latensi kopulasi dan ejakulasi setelah kopulasi dimulai. Oleh karena itu, LHA merupakan daerah dimana SSRI 12 memberikan efek gangguan pada fungsi seksual manusia. Pemberian 5-HT secara unilateral via reverse dialysis pada LHA akan menurunkan level basal dopamin pada daerah ipsilateral nucleus accumbens (NAcc), yaitu suatu daerah terminal utama pada system mesolimbik dopamin. Lebih jauhnya, tidak ada peningkatan level dopamine pada NAcc sebelum maupun selama kopulasi selama pemberian 5HT. Peran 5-HT pada LHA pada kepasifan seksual adalah dengan menghambat aktivitas pada traktus dopamin mesolimbik, dimana memegang peranan penting pada semua jenis hasrat seksual (Hull et al., 1999). Fase-fase sexual behavior Adanya respon berupa dorongan seksual muncul setelah menerima rangsangan seksual. Pada manusia, respon seksual dibagi menjadi empat fase, yaitu fase eksitasi (excitement phase), fase plato (plateu phase), fase orgasme (orgasmic phase), dan fase resolusi (resolution phase). Gambar 5.Fase-fase sexual behavior pada pria dan wanita (Bhasin & Benson, 2006) Pada fase eksitasi (excitement phase) ditandai dengan meningkatnya kecepatan detak jantung dan nafas, tekanan darah meningkat, puting menjadi 13 mengeras, penis mulai mengalami ereksi, testis turun, dan kulit menjadi kemerahmerahan, yang disebut dengan “sex flush” (Bhasin & Benson, 2006). Fase ini berlangsung selama beberapa menit maupun beberapa jam (Bhasin & Benson, 2006). Fase plato (plateu phase) adalah kelanjutan dari fase eksitasi. Fase ini ditandai dengan peningkatan detak jantung menjadi lebih kencang, kesenangan/ hasrat seksual meningkat, kandung kemih menutup, otot di dasar penis berkontraksi secara teratur, tekanan pada otot meningkat, kemungkinan terjadi spasme pada kaki, wajah dan tangan, dan pria mulai mensekresikan cairan semen dalam jumlah yang sedikit (Bhasin & Benson, 2006). Fase orgasme (orgasmic phase) adalah fase dimana terjadi pelepasan tekanan seksual, dan berasosiasi dengan kontraksi pada otot pelvis dan anal sphincter. Pada fase ini, terjadi ejakulasi cairan semen, dan kenikmatan seksual. Pada awal fase emisi, cairan semen berkumpul di bulbus uretra dan berasosiasi dengan sensasi bahwa orgasme akan segera terjadi. Ejakulasi cairan semen dari penis membutuhkan kontraksi dari periuretra (periurethral) dan otot pelvis yang lain. Kulit akan berubah warna menjadi kemerah-merahan, disebabkan karena “sex flush” yang terjadi di seluruh tubuh, walaupun “sex flush” ini dapat terjadi di fase awal (Bhasin & Benson, 2006). Fase yang terakhir adalah fase resolusi (resolution phase). Pada fase ini, otot mulai relaksasi, terjadi penurunan detak jantung dan tekanan darah, dan penis mulai kehilangan ereksinya. Setelah orgasme dan ejakulasi, pria akan memasuki periode refraksi (refractory period), dimana pada fase ini pria tidak dapat mencapai 14 orgasme lagi, begitu juga dengan wanita (Bhasin & Benson, 2006). Lamanya periode refraksi ini berbeda-beda untuk tiap pria (Bhasin & Benson, 2006). Tahap-tahap aksi seksual Sumber impuls terpenting untuk menimbulkan tindakan seksual pria berasal dari glans penis karena glans penis mengandung sistem organ-akhir sensoris yang sangat rapi, yang menghantarkan ke susunan syaraf pusat suatu modalitas kesan khusus yang dinamakan kesan seksual. Kesan seksual dapat berasal dari struktur interna, seperti perangsangan daerah uretra, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, testis, dan vas deferens. Salah satu penyebab dorongan seksual diakibatkan oleh pengisian sekret berlebihan pada organ seksual. Rangsangan psikis yang sesuai dapat sangat meningkatkan kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan seksual. Memikirkan gagasan seksual atau mimpi sedang melakukan hubungan seksual dapat menyebabkan terjadinya tindakan seksual pria dan mencapai puncaknya yaitu ejakulasi. Walaupun faktor psikis memegang peranan penting pada tindakan seksual pria, serebrum mungkin tidak memegang peranan penting dalam pelaksanaannya, karena ejakulasi pada manusia dan beberapa binatang dapat dicapai dengan pemberian rangsangan yang cocok pada organ genitalia, meskipun medulla spinalisnya telah dipotong pada daerah lumbal. Oleh karena itu, tindakan seksual yang muncul pada pria akibat mekanisme refleks yang terintegrasi pada daerah sakral dan lumbal medulla spinalis dapat diaktifkan oleh rangsangan psikis atau rangsangan seksual yang sebenarnya. 15 Aksi seksual pria terdiri dari tiga tahapan yaitu ereksi, emisi, dan ejakulasi (Marlina,1999). a. Ereksi Ereksi merupakan efek pertama rangsangan seksual pria, dan derajat ereksi sebanding dengan derajar perangsangan, baik secara psikis maupun fisik. Penyebab ereksi yaitu karena adanya impuls parasimpatis yang berjalan dari bagian sacral medulla spinalis menuju nervi erigentes ke penis, serat-serat parasimpatis ini mensekresikan nitrogen oksida (NO), sehingga berbeda dengan serat parasimpatis kebanyakan. Sekresi NO menyebabkan pelebaran arteri-arteri pada penis, demikian juga jalan kerja trabekular serat otot polos di dalam jaringan erektil dari korpus kavernosa dan korpus spongiosum dalam batang penis (Marlina, 1999). Jaringan-jaringan erektil ini tidak lain merupakan sinusoid-sinusoid kavernosa yang besar, yang dalam keadaan normal relatif kosong tetapi akan sangat melebar saat darah arteri mengalir dengan cepat kedalamnya sementara aliran vena dibendung. Juga badan erektil terutama kedua korpus karvenosa dikelilingi oleh selubung fibrosa yang kuat. Oleh karena itu, tekanan tinggi dalam sinusoid menyebabkan pengembangan jaringan erektil sedemikian rupa sehingga penis menjadi keras dan panjang (Marlina, 1999). b. Emisi dan ejakulasi 16 Emisi dan ejakulasi merupakan puncak tindakan seksual pria. Ketika rangsangan seksual menjadi sangat kuat, pusat refleks pada medulla spinalis mulai melepaskan impuls simpatis yang meninggalkan medulla spinalis padaL1 dan L-2 dan menuju ke organ genital melalui pleksus hipogastrik untuk menimbulkan emisi dan selanjutnya ejakulasi (Marlina, 1999). Emisi dimulai dengan kontraksi vas deferens dan ampuls yang menyebabkan sperma masuk uretra interna. Lalu, otot-otot yang melapisi kelenjar prostat berkontraksi dan diikuti dengan kontraksi vesikula seminalis, yang mengeluarkan cairan prostat dan seminal, mendorong sperma lebih jauh. Semua cairan ini bercampur dalam uretra interna dengan mukus yang telah disekresi oleh kelenjar bulbouretralis untuk membentuk semen. Inilah yang disebut dengan proses emisi (Marlina, 1999). Pengisian uretra interna secara serempak kemudian menimbulkan sinyal yang dihantarkan melalui syaraf pudendus ke daerah sacral medulla spinalis yang menimbulkan suatu sensasi kepenuhan yang mendadak dalamorgan kelamin interna. Juga sinyal sensoris lebih jauh lagi membangkitkan kontraksi ritmik dari organ kelamin interna dan menyebabkan kontraksi otot-otot iskiokarvenosus dan bulbokarvenosus yang menekan dasar jaringan erektil penis. Kedua pengaruh ini menyebabkan peningkatan tekanan ritmik seperti gelombang di dalam duktus genital dan uretra, yang mengejakulasikan semen dari uretra ke luar. Proses ini disebut ejakulasi. Pada waktu yang sama, kontraksi berirama dari otot pelvis dan bahkan beberapa otot tubuh menyebabkan gerakan pendorongan pelvis dan penis, yang juga membantu mengalirkan semen ke 17 dalam bagian terdalam vagina dan mungkin bahkan sedikit ke dalam serviks uterus. Keseluruhan periode emisi dan ejakulasi ini disebut orgasme pria (Marlina, 1999). Fertilisasi Fertilisasi adalah suatu proses dimana gamet haploid, yaitu sel sperma pria dan sel telur wanita melebur menjadi satu, dimana proses ini terjadi didalam daerah ampula pada pembuluh (tube) uterin (Sadler, 2012). Fertilisasi tidak langsung terjadi seketika saat sperma memasuki organ genital wanita. Untuk terjadi fertilisasi, sperma harus melalui dua proses yaitu kapasitasi dan reaksi akrosom. Kapasitasi adalah proses pelepasan lapisan glikoprotein dan seminal plasma dari membran plasma pada daerah akrosomal spermatozoa. Tujuan kapasitasi adalah untuk mengkondisikan sperma dengan jalur reproduksi wanita. Pada proses ini, diperlukan interaksi epitelial antara sperma dan lapisan mukosa pada tube (Sadler, 2012). Reaksi akrosom terjadi setelah sperma menempel pada zona pelusida sel telur. Reaksi ini diinduksi oleh zona protein, dan memuncak ketika terjadi pelepasan enzim yang dibutuhkan untuk penetrasi pada zona pelusida, termasuk di dalamnya adalah akrosin dan substansi mirip tripsin (Sadler, 2012). Suatu sperma harus dapat menembus massa cumulus (cumulus mass) yang menyelimuti sel telur untuk dapat mencapai zona pelusida (ZP) pada oosit. Akrosom sperma mengandung beberapa enzim hidrolase, termasuk di dalamnya adalah hyaluronidase, yaitu enzim yang berperan penting dalam penetrasi sperma 18 melalui lapisan sel folikel yang tersusun dari substansi yang kental dan menyerupai gel. Sel folikel ini merupakan lapisan ekstraseluler dari kompleks cumulus (cumulus complex), yang mengelilingi oosit. Enzim hyaluronidase menyebabkan depolimerisasi dari asam hyaluronat, yaitu komponen penting penyusun matriks ekstraseluler, dan suatu glikosaminoglikan yang tersusun dari unit-unit disakarida, yaitu asam D-glukoronat dan N-asetil-D-glukosamin sampai oligosakarida berukuran kecil (Srivastavet al., 2010). Degradasi hyaluronan dipercepat oleh adanya katalisator yaitu PH-20 (testicular hyaluronidase), dan suatu glikosil fosfatidilinositol (GPI) yang terintegrasi dengan membran protein sperma. Degradasi hyaluronan menyebabkan akrosom sperma mempenetrasi massa cumulus (cumulus mass) (Srivastav et al., 2010). PH-20 memiliki rentang pH yang lebar yaitu 3,2-9,0. Rentang pH yang lebar ini menyebabkan PH-20 berperan sebagai protein yang bersifat multifungsional, diantaranya sebagai hyaluronidase, sebagai reseptor untuk asam hyaluronidase yang menginduksi sinyaling sel (hyaluronic acid-induced cell signaling), dan sebagai reseptor untuk glikoprotein pada zona pelusida yang menyelimuti oosit (Srivastavet al., 2010). Selain PH-20, suatu protein yang bernama hyaluronidase HyaI5 juga memiliki aktivitas menghidrolisis hyaluronan. Karenanya, HyaI5 memiliki peran penting dalam penetrasi sperma melalui massa cumulus (cumulus mass), kemungkinan bekerja sama dengan PH-20. HyaI5 terekspresi di testis dan banyak terdapat di sperma epididimis tikus (Srivastav et al., 2010). Fertilisasi terdiri dari tiga fase, yaitu: a. Fase pertama, yaitu penetrasi sperma ke dalam korona radiata (corona radiate). 19 Korona radiata merupakan barrier pada sel telur. Barrier ini hanya dapat ditembus oleh sperma yang sudah terkapasitasi (Sadler, 2012). b. Fase kedua, yaitu penetrasi sperma ke dalam zona pelusida. Zona pelusida merupakan lapisan glikoprotein yang mengelilingi sel telur yang berperan dalam penempelan sperma dan terjadinya reaksi akrosom. Zona ini memiliki suatu ligan zona protein, yaitu ZP3 yang berperan dalam ikatan dan reaksi akrosom. Pelepasan enzim akrosomal (acrosin) menyebabkan sperma dapat mempenetrasi zona ini, dengan demikian terjadi interaksi antara sperma dengan membrane plasma oosit. Interaksi ini akan melepaskan enzim lisosomal (Sadler, 2012). c. Fase ketiga, yaitu peleburan membrane sel sperma dan oosit. Proses peleburan ini diperantarai oleh ligan yang menempel pada sperma (disintegrin) dan ligan pada oosit (integrin). Pada fase ini, membran sel pada daerah posterior kepala sperma melebur dengan membran oosit. Bagian sperma yang memasuki sitoplasma oosit yaitu dari ekor sampai kepala. Membran plasma sperma akan tertinggal di luar permukaan oosit (Sadler, 2012). 20 Gambar 6. Proses interaksi sperma dengan sel telur pada mamalia (Florman & Ducibella, 2006) Pada gambar diatas, sel telur tersusun dari cortical granules pada sitoplasma perifer. Zona pelusida (zona) terdapat di sekeliling sel telur dan kompleks cumulus oophorus menempel pada matriks ekstrasel. Berdasarkan gambar diatas, proses interaksi antara sel sperma dengan sel telur terdiri dari tahapan-tahapan: a. Kapasitasi sperma, terjadi di oviduk. Proses ini melibatkan respons kemotaksis b. Sel sperma mempenetrasi matriks ekstrasel dari cumulus complex. Pada tahapan ini, sperma menahan acrosome yang utuh. Lingkungan pada cumulus mengandung komponen yang soluble dan insoluble sehingga menstimulasi sperma. c. Akrosom pada sperma mencapai zona dan berikatan dengan ZP3. d. ZP3 memicu reaksi akrosom (acrosome reaction) e. Sperma masuk ke dalam zona f. Sperma berikatan dan melebur dengan sel telur 21 g. Aktivasi sel telur dimulai dengan eksositosis cortical granules. Pelepasan cortical granules memodifikasi zona (zona reaction). (Florman & Ducibella, 2006). Landasan Teori Tanaman pacing digunakan secara empiris oleh masyarakat sebagai kontrasepsi tradisional. Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sari dkk (2013), infusa daun dan rimpang pacing terbukti dapat menghambat spermatogenesis secara reversibel. Kandungan pacing yang terdapat dalam pelarut air diantaranya adalah steroid, fenolik, dan saponin (Devi & Urooj, 2010), namun sangat mungkin terdapat senyawa golongan tanin yang terkandung pada pacing di dalam pelarut air. Senyawa aktif yang memiliki kegunaan terapetik yang terkandung di dalam pacing diantaranya adalah diosgenin, saponin steroid seperti prosapogenin, α dan β dioscin, saponin frustanol seperti costusoid I & J, asam oktasonoat, dan sikloartenol. Kandungan diosgenin di dalam bunga sebesar 1,21%, di dalam batang 0,65%, di daun 0,37%, dan di rimpang 0,2% (Srivastava et al., 2011). Diosgenin dari rimpang pacing dapat dikonversi menjadi 3β-asetoksi-5,16pregnadien-20-on yaitu suatu senyawa antara pada sintesis obat-obat steroid, termasuk senyawa kontraseptik (Rahayu, 2012). Saponin dilaporkan memiliki efek penghambatan terhadap motilitas sperma manusia (Dubey et al., 2011). Selain itu saponin juga mampu menghambat enzim hyaluronidase (HAase) dari testis sapi secara in vitro sebesar 95% (Furuya et al., 1997). Saponin yang diisolasi dari ekstrak kasar Costus speciosus Sm menyebabkan 22 sterilitas pada mencit (Tewary et al., 1973). Saponin steroid dapat menimbulkan efek inhibisi pada membrane ATPase dengan mekanisme interaksi secara langsung pada bagian lipid ATPase sehingga dapat mengubah ikatan hidrogen intermolekuler protein (Francis et al., 2002), sedangkan ATPase berperan penting pada motilitas sperma. Salah satu senyawa polifenol yaitu gosipol dilaporkan dapat mengganggu kapasitasi sperma, motilitas, reaksi akrosom, dan kemampuan mempenetrasi oosit (Shi et al., 2003). Kandungan diosgenin di dalam tanaman Dioscorea esculenta mampu menurunkan motilitas sperma dan densitas sperma pada cauda dan segmen cauda epididimis, dan mempengaruhi maturasi sperma pada tikus jantan, dimana perkembangan sperma yang normal dan matang merupakan kunci kesuburan pria (Shajeela et al., 2011). Asam tanat yang merupakan senyawa golongan flavonoid memiliki efek penghambatan yang poten terhadap aktivitas enzim hyaluronidase yang diekstraksi dari sperma monyet (Taitzoglou et al., 2001). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Taitzoglou et al. (2001), dilaporkan bahwa asam tanat memiliki efek menginhibisi motilitas sperma pada manusia setelah jam ke-2 dan jam ke-3 inkubasi, selain itu asam tanat juga mampu menginhibisi plasminogen aktivator, dan mampu menginhibisi aktivitas acrosin pada manusia dan ekstrak ovine acrosomal. Pada uji in vitro yang dilakukan oleh Srivastav et al. (2001) dilaporkan bahwa kandungan senyawa tanin di dalam ekstrak etanolik buah Terminalia chebula terbukti mampu menginhibisi enzim hyaluronidase pada sperma manusia 23 secara maksimum, mampu menginhibisi aktivitas aktivitas enzim hyaluronidase pada caudal epididymal spermatozoa pada tikus, dan mampu menurunkan jumlah janin pada tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan yang telah dipejani ekstrak. Hipotesis Pemberian ekstrak air herba pacing selama 14 hari berturut-turut dengan tiga dosis yaitu 275 mg/kgBB, 550 mg/kgBB, dan 1100 mg/kgBB diperkirakan dapat berefek sebagai antifertilitas dengan mencegah kehamilan pada tikus betina secara reversibel tanpa mengurangi frekuensi introduction, climbing, dan coitus tikus jantan.