Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan

advertisement
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
Dina Ikrama Putri
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Clostridium difficile (C. difficile) adalah mikroorganisme Gram positif anaerob penghasil basil spora yang menjadi patogen
penting dengan angka prevalensi 10-20% sebagai penyebab diare yang diinduksi antibiotika. Strain mutasi hipervirulensi,
NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027)
teridentifikasi sebagai strain yang paling berpengaruh dalam patogenisitas infeksi C. difficile. Spora yang dihasilkan terdapat
pada saluran cerna dari 2-3% individu dewasa sehat serta 70% bayi sehat. Spora tersebut mengeluarkan dua protein
exotoksin (TcdA dan TcdB) yang akan menyebabkan kematian kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal, dan kolitis
neutrofilik. Infeksi C. difficile dapat memicu berbagai macam respon tubuh bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik
yang digunakan, keadaan epidemiologi, dan kondisi hospes. Dalam pengobatan lini pertama, digunakan metronidazole dan
vankomisin oral untuk eradikasi untuk infeksi C. difficile. Sedangkan bila terjadi rekurensi kedua, maka akan sulit diobati
karena adanya spora yang menetap pada usus dan ketidakmampuan hospes untuk mengaktifkan respon imun efektif
terhadap toksin C. difficile. Pada kasus berat, prosedur transplantasi mikrobiota feses dapat menjadi bahan pertimbangan
untuk mencegah komplikasi. Di sisi lain, penggunaan antibiotika untuk keperluan eradikasi infeksi juga perlu diperhatikan
sebagai kunci penting lebih lanjut untuk mengurangi resiko infeksi C. difficile.
Kata kunci: antibiotika, Clostridium difficile, diare
Clostridium Difficile Infection On Antibiotic Associated Diarrhea
Abstract
Clostridium difficile (C. difficile) is an anaerobic Gram positive spore forming bacillus as important pathogen responsible for
antibiotic associated diarrhea (AAD). The mutant hypervirulent strain, NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel
electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027) is mostly responsible strain for C. difficile
infection pathogenicity. Spores which is produced can be found in gastrointestinal tracts from 2-3% in healthy individuals
and 70% in healthy infants. The spores release two protein exotoxins (TcdA and TcdB) that leading to colonocyte death, loss
of intestinal barrier function, and neutrophilic colitis. C. difficile infection can trigger various system responses depend on
antibiotic use, epidemiological setting and host condition. On the first line treatment, oral metronidazole and vancomycin
are used for C. difficile infection eradication. If there is second recurrence can be difficult to cure, primarily because of the
persistence of spores in the bowel and the inability of the patient to mount an effective immune response to C. difficile
toxins. In severe cases, fecal microbial transplantation can be considered to prevent any complication. In the contrary,
antibiotic use for eradication needs to be focused as important key to diminish C. difficile infection risks.
Keywords: antibiotic associated diarrhea, Clostridium difficile
Korespondensi: Dina Ikrama Putri, alamat Asrama Melati No. 3C, Jalur 2 Unila, Rajabasa, HP 081282090704, e-mail
[email protected]
Pendahuluan
Clostridium
difficile
(C.
difficile)
merupakan bakteri Gram positif anaerob
penghasil spora yang menjadi patogen penting
dalam penyakit diare yang diinduksi
antibiotika.1,2 Prevalensi angka kejadian infeksi
C. difficile di negara-negara Asia bahkan sangat
sedikit yang telah dilaporkan.3,4 Strain mutasi
hipervirulensi, NAP1/BI/027 (North American
Pulse-field gel electrophoresis type 1
/restriction endonuclease analysis BI/ribotype
027)
dipercaya
sebagai
strain
yang
menimbulkan wabah penyakit infeksi C. difficile
di seluruh bagian dunia.5 Infeksi C. difficile
dapat memicu berbagai macam respon tubuh
yang beragam dari gejala asimtomatik, kolitis
fulminan hingga diare rekuren.6 Variasi klinis
tersebut biasanya lebih ditentukan karena
faktor hospes dibandingkan faktor virulensi
bakteri.6
Pengobatan awal infeksi C. difficile telah
dikembangkan
dengan
baik,
termasuk
penghentian antibiotik yang dapat memicu
adanya infeksi, terapi suportif cairan dan
elektrolit, serta penggunaan antibiotik
metronidazole atau vankomisin.7,8 Bila diare
disebabkan oleh infeksi C. difficile, gejala klinis
akan lebih berat dan fulminan, relaps, dan
kolitis berat.9 Diare yang diinduksi antibiotika
membutuhkan prosedur diagnostik yang
meningkat, opname yang berkepanjangan dan
meningkatnya biaya medis.10 Jumlah serangan
Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|39
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik
yang digunakan, keadaan epidemiologi, dan
kondisi hospes.9 Frekuensi yang meningkat
ditemukan pada anak-anak dan usia lanjut,
adanya
penyakit
penyerta,
riwayat
pembedahan dan obat-obatan yang bekerja
pada motilitas usus merupakan faktor yang
dapat
meningkatkan
resiko
antibiotic
associated diarrhea (AAD).11 Berdasarkan dari
semua kasus AAD, 10 hingga 20% disebabkan
adanya infeksi C. difficile.12
dewasa sehat serta 70% bayi sehat.13 C. difficile
berkolonisasi
pada
usus
besar
dan
mengeluarkan dua protein eksotoksin (TcdA
dan TcdB). Transmisi penyakit melalui spora
yang resisten terhadap panas, asam, dan
antibiotik. Spora tersebar hampir di seluruh
fasilitas
pelayanan
kesehatan
seperti
lingkungan rumah sakit dan suplai makanan
bagi
pasien,
sehingga
memungkinkan
terjadinya
transmisi
nosokomial
pada
14
komunitas. Patogenesis dari C. difficile dapat
dilihat pada Gambar 1
Isi
C. difficile membentuk spora yang
terdapat pada saluran cerna dari 2-3% individu
Gambar 1. Patogenesis infeksi C. difficile15
Diare yang disebabkan oleh C. difficile
diperantarai oleh TcdA dan TcdB yang akan
menginaktivasi Rho guanosin trifosfat (Rho
GTPase). Hal ini menyebabkan kematian
kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal,
dan kolitis neutrofilik. C. difficile tidak bersifat
invasif, sehingga infeksi ekstra kolon sangat
jarang terjadi.16
TcdA terdiri dari protein dengan berat
molekul
sekitar
400.000-600.000,
dan
mempunyai sifat enterotoksik yang dapat
mengikat sel pada membran brush border.
Akibat perlekatan ini terjadi erosi pada mukosa
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 40
usus dan merangsang pengeluaran cairan dari
usus, selain itu toksin ini juga dapat
menyebabkan perdarahan.17
TcdB dengan berat molekul sekitar
360.000-500.000 terbukti tidak aktif di usus,
tetapi mempunyai kekuatan sitotoksin 1000
kali lebih kuat dibandingkan toksin A.15
Faktor resiko yang paling penting dalam
infeksi C. difficile adalah adanya penggunaan
antibiotik. Ampisilin, amoksisilin, sefalosporin,
klindamisin dan flurokuinolon merupakan
antibiotik tersering yang dapat menyebabkan
infeksi C. difficile (Tabel 1).
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
Tabel 1. Golongan Antibiotik dan Hubungannya
terhadap Infeksi Clostridium difficile15
Golongan
Klindamisin
Ampisilin
Amoksisilin
Sefalosporin
Fluroquinolone
Golongan penicillin
lainnya
Sulfonamida
Trimetropim
Trimethoprim–
sulfamethoxazole
Macrolides
Aminoglikosida
Bacitracin
Metronidazole
Teicoplanin
Rifampin
Kloramfenikol
Tetrasiklin
Karbapenem
Daptomycin
Tigecycline
Hubungan dengan
Infeksi C. Difficile
Sangat umum
Sangat umum
Sangat umum
Sangat umum
Sangat umum
Umum
terbukti mampu menurunkan prevalensi infeksi
C. difficile sebanyak 77% dalam 450 kasus pada
rumah sakit di Skotlandia.22
Tabel 2. Tatalaksana Infeksi Clostridium difficile18
Derajat
Karier
asimtomatik
Ringan
Umum
Umum
Umum
Umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Dalam sebuah penelitian, resiko infeksi
C. difficile dalam sebuah wabah 10 kali lebih
tinggi pada pasien diatas 65 tahun dan pasien
muda.18 Mayoritas infeksi C. difficile
didapatkan dari rumah sakit (hospitalacquired), tetapi infeksi community-acquired
meningkat pada dekade akhir ini.19
Infeksi C. difficile kini didiagnosis dengan
mendeteksi toksin pada feses menggunakan
enzyme immunoassay atau mendeteksi DNA
toksin pada feses yang belum terbentuk. Kultur
feses untuk C. difficile membutuhkan suasana
anaerobik yang sulit untuk disediakan di setiap
waktu. Enzyme immunoassay tetap menjadi
pilihan pertama dalam mendeteksi infeksi C.
difficile karena hasilnya cepat dan mudah
untuk dilakukan. Beberapa uji DNA juga
mampu
mendeteksi
adanya
strain
BI/NAP1/027.20
Tidak tersedianya vaksin yang efektif,
maka pengontrolan terhadap infeksi telah
difokuskan
pada
pemilihan
antibiotik,
pencegahan dalam penularan di fasilitas
layanan
kesehatan
dan
probiotik.
Meminimalkan penggunaan antibiotik telah
terbukti dapat menurunkan angka kejadian
infeksi C. difficile.21 Dicegahnya penggunaan
rutin antibiotik ceftriaxone dan siprofloksasin
Sedang
Berat
Komplikasi
Rekurensi
pertama
Rekurensi
kedua dan
selanjutnya
Manifestasi
klinis
Tidak ada tanda
dan gejala
Diare ringan,
afebris, nyeri
abdomen ringan
dan tidak ada
abnormalitas
hasil lab
Diare sedang
tanpa darah,
nyeri abdomen
sedang, nausea,
muntah,
dehidrasi,
leukosit
>15.000/mm3,
meningkatnya
kadar BUN dan
nitrogen
Diare berat
berdarah, nyeri
abdomen berat,
muntah, ileus,
suhu >38,90C,
leukosit
>20.000/mm3,
kadar albumin
<2,5 mg/dl
Toxic
megacolon,
peritonitis,
gangguan
pernapasan,
hemodinamik
tidak stabil
Tatalaksana
Tidak ada indikasi
pengobatan
Hidrasi,
Metronidazole
oral (500 mg, 3
kali sehari)
Rawat inap,
hidrasi,
Metronidazole
oral (500 mg, 3
kali sehari) atau
vankomisin oral
(125 mg, 4 kali
sehari selama 14
hari)
Rawat inap,
vankomisin
secara oral atau
nasogastric (500
mg 4 kali sehari)
dengan atau
tanpa
metronidazole IV
(500 mg 3 kali
sehari)
Konsultasi bedah
untuk dilakukan
subtotal
colectomy atau
diverting
ileostomy
Vankomisin oral
(125 mg, 4 kali
sehari selama 14
hari) atau
fidaxomicin (200
mg, 2 kali sehari
selama 10 hari).
Transplantasi
mikrobiota feses
atau fidaxomicin
(200 mg, 2 kali
sehari selama 10
hari)
Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|41
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
Metronidazole dan vankomisin oral
masih menjadi terapi obat lini pertama untuk
infeksi C. difficile sejak tahun 1970. Walaupun
sudah digunakan sejak lama, resistensi
terhadap kedua obat tersebut belum tercatat
hingga saat ini. Pada penderita dengan diare
berat, vankomisin menjadi pilihan utama,
tetapi untuk diare infeksi ringan hingga sedang,
keduanya memiliki efektivitas yang sama.23
Meningkatnya kegagalan proses penyembuhan
secara klinis dengan metronidazole pada strain
BI/NAP1/027 juga dilaporkan pada dekade
silam.24
Pengobatan rekurensi episode awal
dengan menggunakan metronidazole atau
vankomisin selama 10 hingga 14 hari terbukti
efektif pada 50% pasien.25,26 Sedangkan bila
terjadi rekurensi kedua, maka hal tersebut
menjadi sulit diobati karena adanya spora yang
menetap pada usus dan ketidakmampuan
hospes untuk mengaktifkan respon imun
efektif terhadap toksin C. difficile.27 Rekurensi
kedua dapat diobati dengan fidaxomisin (200
mg, dua kali sehari selama 10 hari) atau
pemberian regimen vankomisin dalam dosis
yang dapat diturunkan atau dosis intermiten
(Tabel 2). Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa fidaxomisin lebih efektif mencegah
episode rekurensi berikutnya dibandingkan
vankomisin setelah rekurensi awal.28
Mikrobiota
kolon
manusia
yang
berfungsi sebagai penghambat kolonisasi
dalam melawan bakteri patogen menjadi kunci
penting dalam patogenesis terjadinya infeksi C.
difficile. Setelah pasien terpapar penggunaan
antibiotik oral, terjadi penurunan yang cepat
terhadap berbagai mikrobiota kolon yang akan
berakhir
selama
beberapa
bulan.29,30
Penghentian administrasi pemberian semua
antibiotik merupakan jalan terbaik untuk
mengeliminasi C. difficile dari kolon, sehingga
mikrobiota kolon mampu kembali pulih secara
cepat. Pemulihan tersebut membutuhkan
waktu 12 minggu atau lebih lama di saat pasien
mungkin mengalami relaps. Transplantasi
mikrobiota feses merupakan prosedur yang
pertama kali dilakukan pada tahun 1958, telah
diakui menjadi penatalaksanaan yang aman
dan efektif untuk kasus infeksi C. difficile.
Komponen spesifik dalam mikrobiota feses
yang mampu menghambat C. difficile tidak
diketahui dengan jelas, tetapi filum Bakteriodes
dan Firmicutes diketahui menjadi komponen
yang terpenting untuk dilakukan transplantasi
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 42
dalam prosedur tersebut.31,32 Transplantasi
feses melalui oral atau rektal dari pendonor
sehat yang telah diuji terbukti efektif dalam
mengobati 90% pasien dengan infeksi
rekurensi C. difficile.33 Walaupun transmisi
patogen yang tidak teridentifikasi atau tidak
terdeteksi sangat memungkinkan, tidak ada
laporan komplikasi infeksi berat yang berasal
dari transplantasi mikrobiota feses yang telah
dilakukan.34
Percobaan pada hewan menunjukkan
bahwa imunisasi menggunakan toksoid TcdA
dan TcdB mampu secara efektif melindungi
antitoksin IgG pada serum alami yang didapat
pada pasien dengan keadaan C. difficile yang
terkolonisasi. Hal tersebut menjadi program
vaksinasi yang potensial pada manusia dalam
melawan infeksi C. difficile.35 Imunisasi pasif
dengan antibodi monoklonal terhadap toksin C.
difficile juga mampu melindungi hospes
terhadap angka rekurensi setelah infeksi akut
khususnya pada pasien dengan resiko tinggi
rekurensi.36
Ringkasan
Clostridium difficile merupakan bakteri
Gram positif anaerob penghasil spora yang
resisten terhadap panas, asam dan antibiotik.
Strain yang berperan penting dalam terjadinya
penyakit ini adalah NAP1/BI/027 yang mampu
memicu berbagai macam respon tubuh,
beragam dari gejala asimtomatik, kolitis
fulminan hingga diare rekuren. Gejala tersebut
bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik
yang digunakan, keadaan epidemiologi, kondisi
hospes dan range umur pada anak-anak dan
usia lanjut. Diare yang disebabkan oleh C.
difficile diperantarai oleh TcdA dan TcdB yang
akan menginaktivasi Rho guanosin trifosfat
(Rho GTPase). Hal ini menyebabkan kematian
kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal,
dan kolitis neutrofilik. Ampisilin, amoksisilin,
sefalosporin, klindamisin dan flurokuinolon
merupakan antibiotik tersering yang dapat
menyebabkan infeksi C. difficile. Pengobatan
lini pertama menggunakan metronidazole dan
vankomisin oral, hal ini sama dalam
pengobatan rekurensi episode awal selama 10
hingga 14 hari, sedangkan untuk rekurensi
selanjutnya dapat diberikan fidaxomisin atau
regimen vankomisin. Terapi adjunctive pada
kasus berat dapat dilakukan prosedur
transplantasi mikrobiota usus menggunakan
filum Bakteriodes dan Firmicutes. Di sisi lain,
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
pencegahan menggunakan imunisasi pasif
toksoid TcdA dan TcdB yang melindungi
antitoksin IgG pada serum alami yang didapat
pada pasien masih dalam tahap dikembangkan.
Simpulan
Infeksi Clostridium difficile pada diare
(associated antibiotic diarrhea/AAD) perlu
diagnosis dan pengobatan yang sesuai untuk
menghindari terjadinya komplikasi dan
rekurensi penyakit. Penggunaan antibiotika
untuk keperluan eradikasi infeksi juga perlu
diperhatikan lebih lanjut untuk mengurangi
resiko infeksi C. difficile.
Daftar Pustaka
1. Kelly CP, LaMont JT. Clostridium difficile
more difficult than ever. N Engl J Med.
2008; 359(18):1932-40.
2. Khanna S, Pardi DS, Aronson SL, Kammer
PP, Orenstein R, St. Sauver JL, et al. The
epidemiology of community-acquired
Clostridium
difficile
infection:
a
population-based
study.
Am
J
Gastroenterol. 2012;107(1):89-95.
3. Ekma N, Yee LY, Aziz RA. Prevalence of
Clostridium difficile infection in Asian
countries.
Rev
Med
Microbiol.
2012;23(1):1-4.
4. Collins DA, Hawkey PM, Riley TV.
Epidemiology of Clostridium difficile
infection in Asia. Antimicrob Resist Infect
Control. 2013;2(1):21.
5. Vaishnavi C. Clinical spectrum &
pathogenesis of Clostridium difficile
associated diseases. Indian J Med Res.
2010; 131:487-99.
6. Yong Gil, Kim & Ik Byung, Jang. Current
advances related to Clostridium difficile
infection. Indian J Med Res. 2015;
141:172-4.
7. Gerding DN, Muto CA, Owens RC, Jr.
Treatment
of
Clostridium
difficile
infection. Clin Infect Dis. 2008;46(Suppl
1):S32-42.
8. Surowiec D, Kuyumjian AG, Wynd MA,
Cicogna CE. Past, present, and future
therapies
for
Clostridium
difficile
associated disease. Ann Pharmacother.
2006; 40:2155-63.
9. Surawicz CM, Brandt LJ, Binion DG,
Ananthakrishnan AN, Curry SR, Gilligan
PH, et al. Guidelines for diagnosis,
treatment, and prevention of Clostridium
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
difficile infections. Am J Gastroenterol.
2013; 108:478-98.
Owens RC. Clostridium difficile-associated
disease: changing epidemiology and
implications for management. Drugs.
2007; 67:487-502.
Surowiec D, Kuyumjian AG, Wynd MA,
Cicogna CE. Past, present, and future
therapies
for
Clostridium
difficile
associated disease. Ann Pharmacother.
2006;40:2155-63
Lowy I, Molrine DC, Leav BA, Blair BM,
Baxter R, Gerding DN, et al. Treatment
with monoclonal antibodies against
Clostridium difficile toxins. N Engl J Med.
2010;362: 197-205.
Aberra FN & Katz J. Clostridium Difficile
Colitis [Internet]. Medscape Reference ;
2013 [diakses tanggal 25 April 2015].
Tersedia
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1
86458-overview#aw2aab6b2b1aa
Rupnik, M. Is Clostridium difficileassociated infection a potentially zoonotic
and foodborne disease. Clin Microbiol
Infect. 2007; 13:457-9.
Leffler, Daniel A. & Lamont, J. Thomas.
Clostridium difficile Infection. The new
england journal of medicine. 2015;372:16
O’Connor JR, Johnson S, Gerding DN.
Clostridium difficile infection caused by
the epidemic BI/NAP1/027 strain.
Gastroenterology. 2009;136: 1913-24.
Bauer, MP & van, Dissel JT. Alternative
strategies
for
Clostridium
difficile
infection. Int J Antimicrob Agents.
2009;33(Suppl 1):S51–6.
Pépin J, Valiquette L, Cossette B. Mortality
attributable to nosocomial Clostridium
difficile-associated disease during an
epidemic caused by a hypervirulent strain
in Quebec. CMAJ. 2005;173:1037-42.
Wilcox MH, Mooney L, Bendall R, Settle
CD, Fawley WN. A case-control study of
community-associated Clostridium difficile
infection. J Antimicrob Chemother. 2008;
62: 388-96.
Longtin Y, Trottier S, Brochu G. Impact of
the type of diagnostic assay on Clostridium
difficile infection and complication rates in
a mandatory reporting program. Clin
Infect Dis. 2013;56:67-73.
Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|43
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
21. Vonberg RP, Kuijper EJ, Wilcox MH.
Infection control measures to limit the
spread of Clostridium difficile. Clin
Microbiol Infect. 2008;14(Suppl 5): 2-20.
22. Dancer SJ, Kirkpatrick P, Corcoran DS,
Christison F, Farmer D, Robertson C.
Approaching zero: temporal effects of a
restrictive
antibiotic
policy
on
hospitalacquired Clostridium difficile,
extended-spectrum
β-lactamaseproducing coliforms and meticillinresistant Staphylococcus aureus. Int J
Antimicrob Agents. 2013; 41:137-42.
23. Zar FA, Bakkanagari SR, Moorthi KM, Davis
MB. A comparison of vancomycin and
metronidazole for the treatment of
Clostridium difficile-associated diarrhea,
stratified by disease severity. Clin Infect
Dis. 2007; 45: 302-7.
24. Pépin J, Valiquette L, Gagnon S, Routhier
S, Brazeau I. Outcomes of Clostridium
difficile-associated disease treated with
metronidazole or vancomycin before and
after the emergence of NAP1/027. Am J
Gastroenterol. 2007;102:2781-8.
25. Leffler DA, Lamont JT. Treatment of
Clostridium difficile-associated disease.
Gastroenterology. 2009;136:1899-912.
26. Hu MY, Katchar K, Kyne L. Prospective
derivation and validation of a clinical
prediction rule for recurrent Clostridium
difficile infection. Gastroenterology. 2009;
136:1206-14.
27. Maroo S, Lamont JT. Recurrent Clostridium
difficile. Gastroenterology. 2006;130:
1311-6.
28. Cornely OA, Miller MA, Louie TJ, Crook
DW, Gorbach SL. Treatment of first
recurrence
of
Clostridium
difficile
infection: fidaxomicin versus vancomycin.
Clin Infect Dis. 2012;55(Suppl 2): S154S161.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 44
29. Dethlefsen L, Huse S, Sogin ML, Relman
DA. The pervasive effects of an anti
antibiotic on the human gut microbiota, as
revealed by deep 16S rRNA sequencing.
PLoS Biol. 2008; 6(11):280.
30. Jernberg C, Löfmark S, Edlund C, Jansson
JK. Long-term ecological impacts of
antibiotic administration on the human
intestinal microbiota. ISME. 2007; 1:56-66
31. Antharam VC, Li EC, Ishmael A. Intestinal
dysbiosis and depletion of butyrogenic
bacteria in Clostridium difficile infection
and nosocomial diarrhea. J Clin Microbiol.
2013;51:2884-92.
32. Song Y, Garg S, Girotra M. Microbiota
dynamics in patients treated with fecal
microbiota transplantation for recurrent
Clostridium difficile infection. PLoS One.
2013;8(11):81330.
33. Kassam Z, Lee CH, Yuan Y, Hunt RH. Fecal
microbiota transplantation for Clostridium
difficile infection: systematic review and
meta-analysis. Am J Gastroenterol.
2013;108:500-8.
34. van Nood E, Vrieze A, Nieuwdorp M.
Duodenal infusion of donor feces for
recurrent Clostridium difficile. N Engl J
Med. 2013;368:407-15.
35. Siddiqui F, O’Connor JR, Nagaro K.
Vaccination with parenteral toxoid B
protects hamsters against lethal challenge
with toxin A-negative, toxin B-positive
clostridium difficile but does not prevent
colonization. J Infect Dis. 2012;205:12833.
36. Lowy I, Molrine DC, Leav BA. Treatment
with monoclonal antibodies against
Clostridium difficile toxins. N Engl J Med.
2010;362:197-205.
Download