MEMBANGUN PERDAMAIAN MELALUI PENGUATAN MODAL SOSIAL DAN BASIS KESEJAHTERAAN SOSIAL EKONOMI Mauled Moelyono1 Abstrak: Tulisan ini berusaha menjelaskan peran penguatan modal sosial dan basis kesejahteraan sosial ekonomi dalam mewujudkan kedamaian. Upaya membangun perdamaian merupakan aksi kolektif yang melibatkan banyak aktor. Aksi ini akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai sukses jika terdapat kekuatan yang saling menghubungkan dan menyangganya. Dalam konteks ini, kekuatan penghubung itu akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh dan berkualitas upaya memperkuat modal sosial dilakukan, sedangkan kekuatan penyangganya akan sangat ditentukan oleh seberapa kuat basis kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat mampu diwujudkan. Kata Kunci: perdamaian, modal sosial, dan kesejahteraan sosial ekonomi. A. Pendahuluan Perdamaian, dari perspektif kebahasaan memiliki arti yang amat berbeda dengan kedamaian. Kedamaian adalah suatu keadaan damai yang ditandai oleh situasi dimana setiap warga masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, dapat melakukan interaksi dan transaksi sosial secara harmonis tanpa adanya tekanan atau kekerasan dari pihak manapun. Sedangkan perdamaian adalah proses untuk mewujudkan kedamaian itu sendiri. Dalam perspektif sosiologi ekonomi, upaya mewujudkan kedamaian itu hanya dapat dicapai jikalau peran sosial ekonomi produktif masyarakat dapat dioptimalkan dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dapat dipenuhi, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia akan makanan, perumahan, 1 Dosen tetap Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako. 2 pendidikan dan kesehatan. Dalam konteks ini, kedamaian (sosial) dipandang sebagai assets atau property yang terbentuk dari kondisi dimana kebutuhankebutuhan dasar individu dapat dipenuhi; harga diri manusia, termasuk partisipasi sosial dalam berbagai kehidupan masyarakat yang hakiki, dapat diwujudkan. Dengan demikian, inti dari kata kedamaian atau damai dalam perspektif ini merujuk pada makna harmoni yang mengandung dua ungsur utama, yaitu aman dan bebas. Pengertian aman dan bebas tidak hanya dalam arti aman atau bebas dari segala gangguan dan ketakutan yang bersifat destruktif, seperti aman dari serangan pihak lain, akan tetapi: (1) aman atau bebas dari kemiskinan, seperti kelaparan, kebodohan, ketergantungan; dan (2) aman atau bebas menentukan pilihan-pilihan (choices), seperti bebas berbicara, berkarya, dan mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan sosial budaya. Keadaan tersebut merupakan resultante dari tumbuh dan bekerjanya unsur-unsur modal sosial masyarakat, yaitu rasa saling percaya, norma yang disepakati dan ditaati, serta wujudnya jaringan sosial yang kuat. Edi Suharto (2007) menegaskan dari perspektif pekerjaan sosial, bahwa kedamaian merupakan konsep yang cair yang tidak dapat diisolasikan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Ada beberapa prasyarat yang diperlukan untuk membangun kedamaian sosial: (1) terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat; (2) berkembangnya modal manusia dan modal sosial yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi 3 sosial antarkelompok; (3) tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial; (4) adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya untuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan; (5) adanya kohesifitas antarkelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antarbudaya dan kepercayaan; (6) terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembagalembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial; dan (7) adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antarsesama mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya. Upaya membangun perdamaian merupakan aksi kolektif yang melibatkan banyak aktor (stakeholder). Aksi ini akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai sukses jikalau ada kekuatan yang saling menghubungkan dan menyangganya. Dalam hal ini, kekuatan yang saling menghubungkan itu akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh dan berkualitas upaya memperkuat modal sosial dilakukan, sedangkan kekuatan penyangganya akan sangat ditentukan oleh seberapa kuat basis kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat mampu diwujudkan. B. Modal Sosial: sebuah kesadaran baru 4 Pengalaman Indonesia berpuluh tahun melaksanakan pembangunan, senantiasa diwarnai oleh praktik-praktik pembangunan yang syarat dengan pergolakan dan perlawanan rakyat. Praktik-praktik pembangunan itu semakin tidak peka terhadap konflik, dan tidak lagi berjalan pada koridor hakekatnya, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, melainkan dalam banyak kasus pembangunan justeru menjadi sumber konflik dan sumber kesengsaraan rakyat. Akhir-akhir ini kehidupan masyarakat sedang mengalami proses peralihan (transition) multidimensional, yaitu dan dari proses perubahan masyarakat (transformation) dengan rasa saling secara percaya- mempercayai tinggi (hight trust society) ke arah kehidupan masyarakat dengan rasa saling percaya-mempercayai rendah (low trust society). Pilar kehidupan rasa saling percaya-mempercayai yang awalnya demikian kokoh mengakar dalam kehidupan masyarakat, kini sudah mulai menjauh dari kehidupan masyarakat2. Pilar kehidupan baru yang saat ini lebih menguat di masyarakat adalah rasa saling tidak percaya (distrust )3. Kehidupan masyarakat saat ini benar-benar sedang digerus dan digerogoti oleh arus reformasi dan demokratisasi yang demikian dahsyat, yang 2 Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (1995) membagi masyarakat dalam relasi vertikal maupun horizontal menjadi dua; yakni masyarakat dengan kepercayaan tensi tinggi (high trust society) dan masyarakat dengan kepercayaan tensi rendah (low trust society). Dalam perspektif ini, kondidi masyarakat Sulawesi Tengah, tampaknya terus bergerak dari tatanan masyarakat berkepercayaan tinggi (hight trust society) menuju kepercayaan rendah (low trust society), kemudian ke masyarakat sulit percaya (zero trust society) dan berakhir pada kehidupan masyarakat yang saling tidak percaya (distrust society). Fenomena menguatnya distrust society ini antara lain ditandai oleh meningkatnya upaya-upaya pemaksaan keinginan dari sekelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang lain, konflik kekuasaan, konflik bernuansa suku, agama ras dan golongan (SARA), macetnya dialog antarelite, antarmasyarakat, dan masih banyak lagi. 3 Banyak contoh sebagai bukti hilangnya rasa saling percaya itu, seperti kepercayaan masyarakat luar dan para investor asing kepada daerah kita, ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah daerah, elite politik, serta para pemimpin di daerah ini. Tentu saja yang paling menyedihkan adalah krisis kepercayaan internal, yakni antara masyarakat terhadap pemerintah daerah, elite, maupun para pemimpin daerah. 5 terkadang tidak lagi berciri ke Indonesiaan, dan krisis kepercayaan secara perlahan-lahan telah melanda hampir ke segala lini dan dimensi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Implikasi dari transisi kehidupan masyarakat tersebut akan menyulitkan upaya membangun perdamaian, terutama karena: (1) terciptanya ketidakpercayaan masyarakat yang tinggi terhadap pemerintah daerah; (2) terciptanya kondisi ketidakpastian yang tinggi dalam praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik; (3) terciptanya ketidakpercayaan masyarakat yang tinggi terhadap praktik-praktik penegakan hukum; dan (4) munculnya semangat lokalisme dan sparatisme daerah yang berlebihan. Seiring dengan berlangsungnya proses peralihan (transition) dan perubahan (transformation) dalam kehidupan masyarakat tersebut, kini muncul dan tumbuh kesadaran baru akan pentingnya memperkuat modal sosial4. Hal ini bukan hanya sebagai respons terhadap praktik-praktik pembangunan yang tidak peka terhadap konflik dan bias pembangunan pada aspek ekonomi, 4 Walaupun istilah modal sosial itu sejak Tahun 1916 telah mulai dikenal, ketika Lyda Hudson Hanifan menulis The Rural School Community Center (Cohen & Prusak, 2001) untuk sebuah diskusi “membangun pusat pembelajaran masyarakat”, namun kesadaran akan pentingnya modal sosial itu muncul baru sekitar 40 tahun setelah diakuinya peran modal manusia di samping modal fisik dalam pembangunan ekonomi, bahwa hubungan sosial (social relationship) dalam bentuk jaringan kerja (networks) berkontribusi penting dalam keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan ekonomi, baik pada tataran makro maupun tataran mikro (Solow, 2000). Konsep modal sosial itu kemudian mendapat perhatian yang lebih serius dalam ilmu sosiologi dan ekonomi, setelah Bourdieu (1986), Coleman (1988, 1990), dan Putnam (1993) secara tajam menyoroti modal sosial dan memberikan kerangka teoretisnya. Kemudian, oleh para teoritisi (ekonomi kelembagaan), para profesional pembangunan, dan para pemimpin NGO yang tergabung dalam agen-agen pembangunan internasional, khususnya dalam kelompok kerja Bank Dunia, konsep modal sosial ini dikembangkan untuk berbagai kepentingan proyek pembangunan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. 6 melainkan karena adanya keinginan bersama masyarakat untuk menata kembali kedamaian yang sudah sekian lama porak poranda. Bias pembangunan yang terlalu menitikberatkan pada aspek ekonomi, tidak hanya menciptakan kesenjangan sosial akan tetapi juga berimplikasi luas terhadap perubahan gaya hidup masyarakat menjadi lebih konsumtif, materialistik dan individualistik dengan persaingan ekonomi yang makin tidak sehat. Kondisi ini berakibat makin renggang dan lemahnya hubungan, kepedulian dan solidaritas sosial serta menurunnya kepercayaan antarsesama warga masyarakat. Realitas kehidupan yang demikian itu pada gilirannya justeru akan menjauhkan masyarakat dari kedamaian dan mendekatkannya pada kehancuran5. Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa, untuk menciptakan dan memelihara kedamaian, perlu memperkuat dan meningkatkan modal sosial masyarakat dengan basis kehidupan sosial ekonomi yang kuat dan kokoh di masyarakat. C. Perdamaian dan Modal Sosial 5 Konflik Poso, merupakan bukti nyata dari adanya kesenjangan sosial sebagai akibat bias pembangunan yang lebih menitikberatkan pembangunan ekonomi dan mengabaikan pentingnya pembangunan bidang sosial budaya. Eskalasi konflik tersebut bahkan meluas menjadi tragedi kemanusiaan yang amat memprihatinkan. Dampak berantai dari konflik tersebut, tidak hanya menghilangkan harta benda dan korban jiwa, melainkan juga hilangnya mata pencaharian, semangat dan harapan hidup, dan trauma psikologis bagi masyarakat korban konflik, terutama pengungsi dan keluarga korban, termasuk anak-anaknya. Sebuah pengorbanan yang sangat besar namun sulit dihitung berapa nilainya. 7 Perdamaian adalah proses untuk mewujudkan kedamaian. Dalam proses itu, diperlukan alat penghubung yang efektif yaitu modal sosial masyarakat dan alat penyangga yang kuat, yaitu basis kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang kokoh. Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang bagaimana upaya memperkuat modal sosial itu dilakukan, maka berikut ini dikemukakan beberapa pandangan penting tentang modal sosial. Dari literatur standar tentang modal sosial diketahui bahwa definisi modal sosial sangat variatif. Menurut Moelyono (2005), definisi modal sosial, terbentang luas dari mulai pengertiannya sebagai energi sosial, keterikatan sosial, spirit komunitas, kebajikan kewargaan (civic virtue), jaringan komunitas, ozon sosial (social ozone), persahabatan yang luas, kehidupan komunitas, jaringan formal dan informal, kehidupan kebertetanggaan, hingga kepada fungsinya sebagai perekat sosial (social glue), dan pelumas (lubricant) jaringan sosial serta pengubung aktor dan sumberdaya sosial. Sejauh literartur yang bisa dieksplorasi, tidak ditemukan definisi tunggal tentang modal sosial. Hampir semua definisi modal sosial memasukkan unsur struktur, relasi, percaya dan saling mempercayai (trust and trustness) dan norma-norma. Berdasarkan substansi, sumber, dan efeknya, definisi kerja modal sosial dapat dirumuskan sebagai kehendak baik (goodwill) yang ada pada individu atau kelompok. Sumbernya berada dalam struktur dan isi dari hubungan sosial para aktor. Efeknya mengalir dari informasi, pengaruh, dan solidaritas para aktor. Definisi kerja ini meliputi hubungan internal dan eksternal yang 8 memungkinkan modal sosial dapat dihubungkan, baik antarindividu maupun antarkelompok. Dari segi sifat dan kegunaannya, modal sosial merupakan perantara dan sekaligus sebagai peluang yang memungkinkan setiap individu atau anggota-anggota dalam organisasi dapat saling berinteraksi melakukan transaksi atau pertukaran melalui jaringan sosial. Secara umum pandangan tentang modal sosial dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama6 yang diwakili oleh berbagai teori dinamika kelompok, menekankan pada jaringan sosial (social networks) dan melihat modal sosial sebagai suatu kelompok yang memiliki ciri kohesivitas yang tinggi. Sedangkan pendapat kelompok kedua7 diwakili oleh kelompok teori kepribadian lebih menekankan pada karakteristik yang tertambat (embedded) pada diri individu yang terlibat dalam interaksi sosial, dan melihat bahwa munculnya suatu kelompok kerja yang kohesif baru akan terjadi 6 Pandangan kelompok pertama yang antara lain diwakili oleh Brehm dan Rahn (1997:999); Pennar (1997:154); Woolcock (1998:153); Cohen dan Prusak (2001:3); Partha Dasgupta and Ismail Seragelsdin, 2000:3), lebih menekankan pada aspek jaringan hubungan sosial yang terikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal komunitas, atau hubungan kerjasama yang bersifat antarkomunitas atau antarorganisasi. Jaringan kerjasama yang sinergis merupakan modal sosial yang akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama. 7 Pandangan kelompok kedua yang antara lain diwakili oleh Fukuyama (1995:10); Schwartz (1994:111); Bowles dan Gintis (2000:2), lebih menekankan modal sosial sebagai sesuatu sifat yang melekat pada diri individu, berupa tata nilai kehidupan dan aturan yang dianut dan dijalankan oleh individu dalam memfasilitasi kerjasama. Konsep ini mengandung beberapa aspek nilai yang oleh Schwartz (1994) dinyatakan sebagai nilai-nilai universalism tentang pemahaman terhadap orang lain, apresiasi, toleransi serta pro-teksi terhadap manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya, nilai-nilai kebajikan tentang pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan orang lain, nilai-nilai tradisi yang mengandung penghargaan, komitmen dan penerimaan terhadap tradisi dan gagasan budaya tradisional, nilai-nilai konformitas (conformity) yang terkait dengan pengekangan diri terhadap dorongan dan tindakan yang merugikan orang lain, serta nilai-nilai keamanan yang mengandung keselamatan, keharmonisan, kestabilan masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain dan memperlakukan diri sendiri. Dengan demikian, konsep modal sosial pada dasarnya bersumber dari rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. 9 manakala individu memiliki sifat kepribadian tertentu yang mendukung interaksi sosial. Dengan demikian, setiap aksi dan interaksi sosial, khususnya aksi-aksi kolektif untuk membangun perdamaian sebagaimana dimaksud dalam modal sosial selalu dilandasi oleh rasa saling percaya-mempercayai. Implementasinya, modal sosial selalu berproses melalui relasi dan proses itu tertambat dalam struktur sosial dan terikat oleh norma-norma tertentu, baik yang bersifat formal ataupun informal. Melalui proses itulah unsur kepercayaan akan dibutuhkan dan diuji, dan dalam proses itu pulalah harapan dan keyakinan dapat dipastikan. Semakin aksi-aksi kolektif perdamaian itu mencerminkan kepentingan yang saling menguntungkan bagi para aktor yang terlibat, maka semakin pasti harapan akan hasilnya. Disamping segi-segi positif modal sosial sebagaimana diuraikan di atas, tentunya banyak pula segi-segi negatif modal sosial (the downside of social capital) yang perlu diperhatikan. Misalnya, munculnya fanatisme kelompok yang mendeskreditkan kelompok lain adalah refleksi dari sisi negatif modal sosial8. Oleh karena itu, setiap upaya yang diorientasikan untuk penguatan dan pengembangan modal sosial harusnya dilandasi oleh niat yang baik dan tulus serta moral dan etika yang tinggi. D. Upaya Memperkuat Modal Sosial dan Basis Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat 8 Kecenderungan umum di Indonesia sejak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah tampaknya juga menunjukkan kecenderungan seperti itu. Penelitian yang dilakukan oleh Gargiulo dan Bernassi (1999) menunjukkan solidaritas yang kuat di sebuah kelompok menimbulkan sikap diskriminatif pada kelompok yang lain. 10 Upaya efektif membangun perdamaian dapat ditempuh dengan memperkuat modal sosial masyarakat melalui unsur-unsur utamanya, yaitu rasa saling percaya-mempercayai, norma yang disepakati dan ditaati, serta relasi sosial. Secara umum ada tiga pendekatan yang dapat ditempuh dalam memperkuat modal sosial: Pertama, memperluas dan memperbanyak ragam jaringan sosial (structural social capital). Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat memperluas salah satu unsur utama modal sosial, yaitu relasi sosial. Dengan relasi sosial yang makin luas berarti kepemilikan modal sosial secara kolektif oleh para aktor yang terlibat dalam jaringan sosial menjadi semakin luas dan kuat. Konkritnya, upaya memperkuat mosal sosial melalui unsur ini dapat ditempuh dengan membangun jaringan sosial dengan struktur, sistem dan mekanisme kerja yang akomodatif serta aktor yang kompeten dan terpercaya, melalui: pembangunan pusat jaringan informasi; penciptaan akses informasi pasar; pendidikan multikulturalisme; perencanaan pembangunan partisipatif; organisasi kemasyarakat-an; olah raga dan kepemudaan; serta investasi sosial. Kedua, meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi sosial (relational social capital) pada keseluruhan jaringan sosial yang sudah ada. Pendekatan ini ditempuh untuk memperkuat unsur-unsur utama modal sosial, terutama rasa saling percaya-mempercayai antarwarga masyarakat dan ketaatan kepada norma-norma yang sudah disepakati. Dalam proses membangun perdamaian, rasa saling percaya mempercayai itu tidak mudah untuk diciptakan. Karena, selain diperlukan upaya komunikasi dan interaksi sosial yang intensif juga memerlukan proses yang panjang, dan yang lebih penting lagi adalah adanya wahana yang 11 berfungsi sebagai pengikat (bonding) dan sekaligus penghubung (bridging) dalam proses perdamaian9. Kedua fungsi tersebut, baik fungsi pengikat maupun fungsi penghubung melekat pada modal sosial, dimana fungsi pengikat dalam proses perdamaian lebih menekankan pada aspek hubungan antaraktor dalam kelompok yang sama, khususnya keeratan hubungan secara kolektif yang dapat memudahkan proses perdamaian. Fungsi ini biasanya dilihat sebagai perwujudan dari karakteristik internal aktor secara kolektif, baik dalam tataran organisasi maupun masyarakat. Keberhasilan dari fungsi ini terletak pada keharmonisan dan solidaritas dari hubungan internal antarindividu dan antarkelompok dalam komunitas10 yang sama. Sedangkan fungsi penghubung dalam proses perdamaian lebih dilihat sebagai sukses individu atau kelompok yang berbeda-beda dalam aksi kolektifnya menciptakan kedamaian. Perspektif ini beranggapan bahwa keberhasilan dari proses perdamaian dilihat sebagai aksi kerjasama antar individu dan kelompok dalam komunitas yang berbeda-beda. Keberhasilan dari proses ini sangat ditentukan oleh seberapa kuat fungsi penghubung tersebut dapat tercipta dalam aksi kolektif menciptakan kedamaian. 9 Masyarakat yang memiliki rasa saling percaya-mempercayai tinggi berpotensi untuk membentuk kelompok terorganisasi. Kelompok yang terorganisasi atau yang oleh sosiolog Ferdinand Tonies disebut gesellschaft, perlu dipahami bahwa mereka itu bukan hanya sekadar kerumunan orang, tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki visi, yaitu masyarakat yang berorientasi pada nilai kebajikan umum atau social virtue atau yang dalam Al Quran didebut sebagai al khair makruf dengan misi utamanya menegakkan kebenaran atau amar dan mencegah timbulnya hal yang buruk atau nahi mungkar , dan memiliki tujuan tertentu, yaitu kebahagiaan, keberhasilan, atau kemenangan yang disebut al falah (Al Baqarah: 104). 10 Komunitas (community) dimaksudkan sebagai satuan kehidupan (sosial ekonomi) yang mendiami sebuah wilayah yang terbatas luasnya, dapat berupa kampung, desa, atau satuan organisasi. Anggota-anggota nya memiliki perasaan-perasaan, perhatian-perhatian, kesadaran akan kebersamaan, tujuan-tujuan hidup yang sama dan terfokus pada komunitas tersebut sebagai acuan jatidirnya, menjadi landasan berbagai kegiatan tolong menolong dan solidaritas sosial yang dibedakan dari jatidiri yang dimiliki oleh komunitas-komunitas lainnya yang ada di sekeliling komunitas tersebut. 12 Dengan demikian, keberhasilan itu terletak pada adanya kesadaran untuk menunjukkan partisipasi aktif dan kontribusi optimal dari masingmasing aktor (stakeholder) yang terlibat. Demikian halnya dengan norma yang disepakati dan ditaati sebagai unsur utama modal sosial, juga sangat penting dalam mendukung keberhasilan proses perdamaian. Bahkan, ketaatan terhadap norma-norma itu menjadi prasyarat mutlak. Tanpa adanya kesadaran bersama dari para aktor yang terlibat dalam proses perdamaian untuk mentaati norma-norma itu, kedamaian menjadi sulit untuk dicapai. Bahkan, akan muncul keadaan anomaly di mana setiap aktor yang terlibat cenderung berbuat sesuai dengan kemauan sendiri tanpa merasa ada ikatan dengan aktor yang lain, baik dari kelompok yang sama atau dari kelompok yang berbeda. Karenanya, norma-norma itu harus ditaati dengan sanksi yang jelas dan efektif. Ketga, meningkatkan kualitas komunikasi dan interaksi sosial (cognitive sosial capital) pada keseluruhan jaringan sosial yang sudah ada. Melalui pendekatan ini, semua bentuk interaksi dan komunikasi telah terbangun sedemikian rupa sehingga semua unsur-unsur utama modal sosial diharapkan kualitasnya akan semakin meningkat. Sedangkan dari sisi penguatan basis kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, dirancang melalui regulasi sosial ekonomi yang bertumpu pada pilar-pilar yang membentuk proses pembangunan sosial ekonomi menjadi lebih berkualitas dan berkeadilan; berpijak pada aspek-aspek distribusional yang berimplikasi terhadap distribusi peluang berusaha dan peluang 13 memperoleh pendapatan yang lebih adil, memperbesar kapasitas masyarakat melalui peningkatan kepemilikan asset-aset produktif, serta pengembangan dan pemanfaatan teknologi; beroperasi pada kerangka kerja institusional pemerintahan yang amanah (good governance), yaitu adanya kerangka kerja regulasi yang efektif dan efisien, berfungsinya birokrasi secara efektif, bekerjanya institusi yang transparan dan bertanggungjawab dalam menjamin adil dan tegaknya hukum, partisipasi sosial serta terwujudnya kebebasan masyarakat dalam kehidupan berdemokrasi; inovatif dalam memaksimumkan pengembangan potensi sumberdaya lokal dan efisien dalam penggunaannya; dan berpihak kepada rakyat, yaitu sebuah perencanaan pembangunan social ekonomi yang dirancang dan diimplementasikan secara partisipatif dengan melibatkan sebanyak mungkin para pelaku ekonomi rakyat. Tujuannya jelas, yaitu untuk memberi penguatan dan pengembangan kapasitas serta pemberdayaan social ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat yang tingkat kesejahteraannnya secara sosial ekonomi rendah. Secara operasional, regulasi sosial ekonomi tersebut dijabarkan melalui serangkaian rencana aksi yang dipusatkan pada prioritas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat berupa: penyediaan dan perluasan akses pangan; perluasan akses layanan kesehatan; perluasan akses layanan pendidikan; peningkatan kesempatan kerja dan berusaha; perluasan akses layanan perumahan; penyediaan air bersih dan aman, serta sanitasi; perluasan akses partisipasi; peningkatan keadilan dan kesetaraan jender. 14 E. Penutup Sebagai penutup, berikut ini dikemukakan beberapa kesimpulan penting: 1. Perdamaian adalah proses untuk mewujudkan kedamaian. Dalam proses itu, diperlukan alat penghubung yang efektif yaitu modal sosial masyarakat dan alat penyangga yang kuat, yaitu basis kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang kokoh. 2. Kedamaian adalah suatu keadaan damai yang ditandai oleh situasi dimana setiap warga masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, dapat melakukan interaksi dan transaksi sosial ekonomi secara harmonis dengan penuh rasa aman dan bebas, tanpa adanya tekanan atau kekerasan dari pihak manapun. Atau, kedamaian itu merupakan resultante dari tumbuh dan bekerjanya unsur-unsur modal sosial masyarakat, yaitu rasa saling percaya, norma yang disepakati dan ditaati, serta wujudnya jaringan sosial yang solid yang tumbuh di atas basis kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang kuat. 3. Upaya membangun perdamaian merupakan aksi kolektif yang melibatkan banyak aktor (stakeholder). Aksi ini akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai sukses jikalau ada kekuatan yang saling menghubungkan dan menyangganya. Kekuatan itu dapat diciptakan dan digerakkan melalui upaya penguatan modal sosial. Dengan demikian, kunci utama keberhasilan membangun perdamaian akan sangat 15 ditentukan oleh seberapa jauh dan berkualitas upaya memperkuat modal sosial masyarakat dilakukan. 4. Upaya efektif memperkuat modal sosial masyarakat dapat dilakukan dengan memperkuat unsur-unsur utama modal sosialnya, yaitu rasa saling percaya-mempercayai, norma yang disepakati dan ditaati, serta relasi sosial melalui tiga pendekatan: pertama, memperluas dan memperbanyak ragam jaringan sosial (structural social capital ); kedua, meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi sosial (relational social capital); dan ketga, meningkatkan kualitas komunikasi dan interaksi sosial (cognitive sosial capital) pada keseluruhan jaringan sosial yang sudah ada. Daftar Rujukan Bourdieu, Pierre, 1986. “The forms of capital,” in John G. Richardson, ed., Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Green-wood Press, pp. 24158. Brehm, J., & W. Rahn. 1997. Individual-level evidence for the causes and cones-quences of social capital. American Journal of Political Science, 41: 999-1023. Cohen, D. & L. Prusak, 2001. In Good Company. How social capital makes organ-izations work, Boston, MA: Harvard Business School Press.214 + xiii pages. 16 Coleman, James S., 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital, American Journal of Sociology 94: S95 - S120. Coleman, James S., 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge, Mass: Harvard University Press. Dasgupta, Partha. & Ismail Serageldin., 2000. Social Capital: A Multifaceted Perspective, The World Bank, Washington D.C. Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: The Free Press. Edi Suharto, 2007. Modal Kedamaian Sosial dan Resolusi Konflik: Perspektif Pekerjaan Sosial, (online), (http://www.adobe.com/prodindex/acrobat/readstep.html, diakses 21-82007). Moelyono, Mauled, 2005. Elaborasi Peran Modal Sosial dalam Pembangunan. Jurnal Ekonomi Bisnis. Tahun 10, Nomor 1, April 2005. Pennar, K., 1997. The Ties that Lead to Prosperity: The Economic Value of Social Bonds is Only Beginning to be Measured. Business Week. December 15: 153-155. Putnam, Robert. 1993. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. The American Prospect, 13 (Spring 1993): 35-42. Solow, Robert M., 2000. Notes on Social Capital and Economic Performance. Dalam Dasgupta, Partha (Eds). Social Capital A Multifaceted Perspective. (hlm. 6-10) Washington D. C: The International Bank for Reconstruction and Development /The World Bank. Woolcock, M., 1998. Social Capital and economic development: Toward a theorical synthesis and policy framework. Theory and Society, 27: 151-208.