ANALISIS GAYA BAHASA PUISI KARYA AMIR HAMZAH Muh l i s Fa jar Wi ca ksan a, FPBS, IKIP PG RI MAD IUN E m a il : wi ca ksa n a _m uh l i s@ ya h oo. c om Abstrak: Amir Hamzah--penyair Indonesia yang Istimewa. Karyanya tak aus oleh zaman dan menjadi sejarah dalam kesusastraan Indonesia. salah satu keistimewaan amir Hamzah adalah kemahiran mengolah kata dan merangkainya sehingga membentuk sebuah karya yang indah. Kata kunci: Amir Hamzah, analisis gaya bahasa. A. PENGANTAR Dalam sejarah sastra Indonesia, posisi Amir Hamzah sangatlah penting. Bahkan Teeuw mencatat bahwa Amir Hamzah adalah pengarang Indonesia sebelum perang (1945) yang terpenting dibandingkan dengan pengarang Indonesia sezamannya. Amir Hamzah memang tak punya sifat jelas dan menular seperti Sutan Takdir Alisyabana, juga tidak bersifat modern progresif sebagaimana Armijn Pane atau menggagas sintesa Barat dan Timur sebagaimana Sanusi Pane, namun sumbangannya yang paling unggul pada sastra sebelum perang adalah penciptaan beberapa puluh sajak yang brilian: “sajak-sajak yang demikian hebat tenaga pembayangannya” (Teeuw, 1980 : 123). Teeuw menerangkan salah satu faktor mujur Amir Hamzah dalam kerja kesusastraan dibanding para pengarang sezamannya adalah karena dia orang Melayu dalam arti sesungguhnya, yaitu yang berbangsa Melayu sejati, sehingga menguasai potensi bahasa Melayu dengan bagus. Teeuw menilai faktor bahasa amat penting untuk menjelaskan peranan utama yang dimainkan oleh para pengarang Sumatera, terutama Minangkabau, dalam perkembangan kesusastraan sebelum perang karena bahasa mereka paling dekat dengan bahasa Melayu dalam bentuknya yang akan menjadi bahasa Indonesia. Ditegaskan, “baginya bahasa Melayu lebih menguntungkan daripada merugikan, bahasa yang dikenalnya sejak dari buaian itu merupakan suatu inspirasi, bukannya halangan sebagaimana halnya dengan beberapa orang lain yang mempunyai dorongan hati dan bakat puisi yang sama tingkatnya” (Teeuw, 1980 : 123-4). Meski demikian sebagaimana diketahui bahwa Amir Hamzah menuliskan karya-karyanya jauh dari alam Melayu, karena ia tinggal dan belajar selama beberapa tahun di Jawa, dan menulis sebagai seorang Indonesia muda bukan sebagai seorang Melayu (Teeuw, 1980-124). Dari buah tangannya, yang berupa sajak-sajak asli, terjemahan dan beberapa prosa lirik yang bercita rasa sastra tinggi, HB Jassin menggelarinya sebagai raja penyair Pujangga Baru. Bahkan tentang kedudukan Amir Hamzah dan bahasanya, Chairil Anwar menandaskan, “Puncaknya 1 dalam gerakan Pujangga Baru selama 9 tahun adalah Amir Hamzah dengan prosa-prosa liris, sajak-sajak lepas , 2 ikatan sajak “Buah Rindu” dan “Nyanyi Sunyi”, salinan dari beberapa sastrawan Timur yang ternama, disatukan dalam “Setanggi Timur”. Kata kawan-kawan seangkatannya Amir Hamzah dapat pengaruh dari pujangga-pujangga Sufi dan Parsi. Tetapi yang perlu diperhatikan bagi saya ialah, bahwa Amir Hamzah dalam “Nyanyi Sunyi” dengan murninya menerakan sajak-sajak yang selain oleh „kemerdekaan penyair‟memberi gaya baru pada bahasa Indonesia, kalimat-kalimat yang padat dalam seruannya, tajam dalam kependekannya. Sehingga suasana kata-kata Amir bisa dikatakan destructive terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!” (Jassin, 1962: 6-7). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Teeuw bahwa salah satu identifikasi kemelayuan Amir Hamzah adalah dari darah yang mengalir di tubuhnya, hal itu karena ia adalah keturunan bangsawan di Tanjungpura langkat, ia adalah anak Tengku Bendahara Paduka Raja Kerajaan Langkat. Nama aslinya Tengku Amir Hamzah, tetapi biasa dipanggil Amir Hamzah. Ia dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911. Amir Hamzah tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam dan kental dengan didikan sastra Melayu. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Di antara buah karya Amir Hamzah adalah Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya yang menandai awal kariernya sebagai penyair. Puncak kematangannya sebagai penyair terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi dan Setanggi Timur. Selain menulis puisi, Amir Hamzah juga menerjemahkan Bagawat Gita. Dalam puisinya, Amir Hamzah selalu membuat pilihan kata yang penuh makna konotasi. Selain itu, Amir Hamzah sering menggunakan kata-kata yang membuat pembaca akan merasa bernostalgia dengan kata-kata yang ditulisnya. Menurut catatan Jassin, Amir Hamzah meninggalkan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli, dan 1 prosa terjemahan. Dalam masa kegiatan sastra 14 tahun (1932—1946), jumlah tulisannya adalah 160 buah (Jassin, 1962: 7). Amir Hamzah wafat dalam sebuah revolusi sosial di tanah kelahirannya. Ia diangkut oleh pemuda tanggal 3 Maret malam bersama keluarga Sultan dan orang-orang dekatnya. Ada kabar, Amir Hamzah kemudian dipancung tanpa diperiksa di Kuala Bingai, 10 km dari Binjai, pada 19 Maret 1946. Namun tentang cara dan ketepatan waktu berpulangnya Amir Hamzah diduga masih berselimut kabut misteri. Ihwal peristiwa ini, Jassin mencatat: “Adalah suatu sindiran nasib bahwa penyair yang demikian perasa telah diakhiri hidupnya dengan kekerasan senjata di masa pergolakan revolusi sosial di Sumatera Utara.... Kedengarannya mustahil bahwa di masa modern dan serba kepastian ini tak ada yang mencatat tanggal, hari dan jam serta keadaan meninggalnya Amir Hamzah, lebih-lebih kalau diingat bahwa 2 diantara pemuda-pemuda yang ambil peranan dalam terjadinya revolusi itu ada beberapa pengarang dan peminat sastra yang mengenal Amir Hamzah sebagai penyair (Jassin, 1962 : 5-6). Terlepas dari akhir hidup sang penyair yang tragis, hingga kini banyak sekali tulisan tentang Amir Hamzah dan sajak-sajaknya yang tersebar di berbagai koran, majalah, buku dan lainnya. Bahkan dalam daftar bibliografi tentang Amir Hamzah yang menyertai kumpulan puisi lengkap Amir Hamzah “Padamu Jua‟ (Grasindo, 2008) tercatat lebih dari 200 tulisan yang membahas „raja penyair Pujangga Baru‟ ini. Selain itu, juga ditambahkan beberapa puisi yang belum termuat dalam kumpulan puisi Amir Hamzah sebelumnya. Seperti yang telah ditegaskan bahwa posisi bahasa sastra dalam puisi-puisi Amir Hamzah memang cukup penting. Okeh karena itu, makalah ini akan membahas gaya bahasa puisi Amir Hamzah, terutama gaya bahasa yang digunakan dalam tiga buah puisi karya Amir Hamzah, yaitu, Berlagu Hatiku dan Berdiri Aku yang merupakan puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Buah Rindu, serta Kurnia dari kumpulan puisi Nyanyi Sunyi. Pemilihan tiga puisi ini berdasarkan pertimbangan bahwa puisi-puisi tersebut dianggap mewakili corak dari puisi-puisi karya Amir Hamzah dari sudut pandang stilistika. B. LANDASAN TEORI Secara etimologi, stilistika berasal dari bahasa Latin stilus. Stilus berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Stilus berasal dari akar kata ‟sti’ yang berarti mencakar atau menusuk. Sti diadopsi kedalam ilmu pengetahuan menjadi styloid yang berkembang menjadi style. Stilus bermakna alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin, dan kemudian makna ini berkembang menjadi kata gaya. Dalam bidang bahasa dan sastra style dan stylistic berarti caracara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu. Meskipun kata style berasal dari bahasa Latin, tetapi orang Yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style ini. Terdapat dua aliran yang terkenal, yakni aliran Platonik dan Aristoteles. Aliran Platonik menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style tetapi ada juga yang tidak memiliki style. Lain halnya dengan aliran Aristoteles yang menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan. Dengan demikian, aliran Plato meyakini bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada pula karya yang sama sekali tidak memiliki gaya, sedangkan Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya tetapi ada yang tinggi dan ada yang rendah. Akhirnya, style dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa (Keraf, 2008:112-113). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia gaya memiliki sejumlah ciri, yaitu; kekuatan, kesanggupan, gaya dalam pengertian denotatif, sikap gerakan seperti tingkah laku, gaya hidup, irama, lagu, cara melakukan seperti dalam olah raga, ragam, cara yang khas. 3 Aminudin (1995:v) memberi pengertian gaya sebagai cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan karya sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan makna, penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek motif tertentu bagi pembacanya. Beberapa tokoh juga telah mendefinisikan stilistika, menurut Kridalaksana, stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; Penerapan linguistik pada penelitian gayabahasa (Kridalakasana, H. 2001:202). Tokoh lain yakni Turner (1977:7), yang mengemukakan bahwa stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama dalam kesusastraan. Lain halnya dengan Fowler (1987:237), yang mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang dari studi sastra. Menurutnya,stilistika meneliti sastra pada aspek bahasanya, yakni imaji, stuktur suara, dan lain-lain. Menurut Darbyshire (via Kutha Ratna, 2009:11) terdapat dua cara untuk mengidentifikasi gaya bahasa, yakni secara teoretis dan praktis. Secara teoretis dilakukan dengan sengaja menemukan ciri-ciri pemakaian bahasa yang khas yang pada umumnya dilakukan dalam kaitannya dengan penelitian ilmiah, misalnya pada saat menganalisa karya sastra. Secara praktis melalui pengamatan langsung terhadap pemakaian bahasa sehari-hari misalnya melalui pemakaian berbagai perumpamaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena keduanya dapat digunakan untuk penelitian maupun pengamatan sepintas. Pendekatan stilistika dikemukakan oleh Umar Junus dan Sudjiman. Junus (1989:xvii), mengemukakan pendeketan stilistika dengan empat hal, yakni: 1. stilistika adalah pemakaian dan penggunaannya dalam karya sastra, tetapi kemunculannya sudah ada dalam linguistik; 2. stilistika dipakai sebagai gabungan, yakni ilmu sastra dan ilmu linguistik; . ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari linguistik ataupun sastra; 4.Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa. Sedangkan Sudjiman (1993:3), mengemukakan pendekatan stilistika dengan: 1. mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunanya; 2. meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra. Menurut Wellek dan Warren, (1990:226) mengkaji karya sastra dari sudut stilistika adalah menganalisis sistem linguistik karya sastra -dilanjutkan dengan menginterpretasi ciricirinya (dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh)—dan mengamati variasi dan distorsi terhadap pemakian bahasa yang normal dan menemukan tujuan estetisnya. Dari pendekatan-pendekatan tersebut terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya tidaklah saling bertentangan. Analisis stilistika pada apresiasi sastra digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya 4 sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Jenis karya sastra yang paling banyak menggunakan gaya bahasa dan selektif dalam memilih kata adalah puisi. Puisi merupakan hasil ekspresi seorang pengarang yang selalu terkait dengan gaya pengarang. Gaya seorang pengarang dapat dilihat dari pemilihan kata dan pola persajakannya. Pola persajakan akan menghasilkan perpaduan bunyi yang menimbulkan efek estetis. Gaya bunyi berupa gaya ulangan bunyi : asonansi, aliterasi, persajakan, sajak awal, sajak dalam, dan sajak tangan tengah (Pradopo, 2005:10). Asonansi adalah perulangan bunyi vokal dalam baris sedangkan aliterasi adalah perulangan konsonan dalam baris-baris puisi atau sajak. Penggunaan asonansi dan aliterasi oleh pengarang dapat dikategorikan sebagai cirikahas pengarang. Selain gaya bunyi, pemilihan kata (diksi) juga menjadi hal yang utama dalam penyusunan sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat selain menghasilkan efek estetis juga menghasilkan pemaknaan yang dalam. Masing-masing pengarang memiliki kekhasan dalam memilih kata dan menunjukkan gayanya (Keraf, 2009:22). Pemilihan kata dalam puisi dapat pula menimbulkan gaya bahasa tertentu. Gaya bahasa yang dapat ditimbulkan oleh pemilihan kata antara lain adalah personifikasi, metafora, arkhaisme, simile, inversi, sinkope, aferesis, hiperbola, dan sebagainya. Personifikasi adalah gaya bahasa yang membandingkan antara benda mati dengan benda hidup. Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang singkat. Arkahisme merupakan salah satu jenis gaya bahasa yang menggunakan kata-kata usang atau kata-kata yang tidak lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Simile merupakan gaya bahasa perbandingan yang membandingkan sesuatu dengan hal yang lain dan menggunakan kata-kata pembanding, misal : seperti, bagai, bagaikan, dll. Hiperbola adalah gaya bahasa perbandingan yang melebihlebihkan, bahkan dari kenyataan sebenarnya. Inversi adalah gaya bahasa yang menggunaakn susunan kalimat terbalik. Gaya bahasa ini banyak dijumpai dalam puisi atau lirik lagu karena puisi atau lirik lagu tidak mementingkan ketepatan tata bahasa. Selain inversi terdapat pula sinkope dan aferesis, sinkope adalah gaya bahasa yang memiliki ciri pengurangan satu vokal atau satu sukukata ditengah kata. Sedangakan aferesis adalah salah penegasan dengan mengurangi satu huruf atau suku kata diawal kata. Sinkope tidak hanya terjadi di tengah kalimat atau baris, tetapi dapat pula dijumpai ditengah kalimat atau baris. Demikian pula aferesis, yang tidak hanya terjadi di awal kaliamat atau baris tetapi dapat dijumpai pada kata-kata yang terletak di tengah baris atau tenagh kalimat. Dalam makalah ini teori stilistika digunakan untuk menganalisa gaya bahasa, diksi dan penggunaan tanda baca yang terdapat dalam kumpulan puisi karangan Amir Hamzah. Kumpulan puisi yang dijadikan sebagai objek pengkajian adalah Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu terbitan tahun 1998 oleh Dian Rakyat. Tidak semua puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut dianalisa, kelompok kami memilih 5 tiga judul puisi yakni Berlagu Hatiku, Berdiri Aku, dan Kurnia. Pemilihan ketiga judul puisi ini didasarkan pada keindentikan tampilan ketiga judul puisi ini. C. PEMBAHASAN 1. Berlagu Hatiku Bertangkai bunga kusunting Kujunjung kupuja, kurenung Berlagu hatiku bagai seruling Kukira sekalini mengenyap untung. suasana hati dengan indah dalam katakata yang kaya dengan perulangan bunyi konsonan dan vokal. Dalam puisi ini, Amir Hamzah lebih dominan menggunakan gaya bahasa aliterasi, yakni gaya bahasa dengan perulangan konsonan. Jenis gaya bahasa ini dijumpai pada bait pertama dan kedua. Pada bait pertama aliterasi terdapat di baris 1, 2, dan 3. Baris satu terdapat perulangan konsonan b dan bunyi ng, yakni pada Bertangkai bunga kusunting. Baris dua terdapat perulangan konsonan k, j, n pada Kujunjung kupuja, kurenung. Baris tiga perulangan terdapat pada konsonan b, g Berlagu hatiku bagai seruling. Dlam hatiku kuikat istana Kusemayamkan tuan di genta kencana Kuhamburkan kusuma cempaka mulia Kan kakanda..... hamparan turun dewi Tetapi engkau orang biasa Merana sahaja tiada berguna Malu bertalu karena aku Ganjil terpencil berpaut ke dahulu. (Hamzah, Amir, 2008:43) a. Analisis persajakan bunyi dan Puisi dengan judul Berlagu Hatiku terdiri dari tiga bait dengan empat baris di masing-masing baitnya. Amir Hamzah menggambarkan Perulangan konsonan di bait kedua terdapat pada baris ke satu sampai empat. konsonan k digunakan di setiap baris di bait kedua ini, bahkan hampir di setiap barisnya (yakni baris dua sampai empat) diawali dengan konsonan k. Perulangan konsonan k sebagai berikut Dlam hatiku kuikat istana, Kusemayamkan tuan di genta kencana, Kuhamburkan kusuma cempaka mulia, Kan hamparan turun dewi kakanda..... Puisi ini diakhiri paduan bunyi yang indah, dengan pola a-b-a-b, pada bait satu, a-a-a-a pada bait dua, serta pola a-a-b-b pada bait ketiga, meski demikian perbedaan pola tidak mengurangi keindahan paduan bunyi yang dihasilkan. Bait pertama diakhiri dengan bunyi /ing/ dan /ung/. Jika diamati dengan lebih cermat, pada bait ini terdapat perulangan dengan pola seperti pada pantun, yakni a-b-a-b. Pola ini terdapat pada kata kusunting, kurenung, seruling, untung. 6 Bertangkai bunga kusunting-a Kujunjung kupuja, kurenung-b Berlagu hatiku bagai seruling-a Kukira sekalini mengenyap untung.b Pada bait kedua terdapat perulangan bunyi vokal /a/ ditiap akhir barisnya, dengan pola a-a-a-a. Perulangan ini terdapat pada kata istana, kencana, mulia, kakanda. Suasana tersebut ditunjang oleh perulangan vokal yang mendominasi setiap baris puisi tersebut. Penggunaan vokal /u/ terihat paling mendominasi, hal ini dapat dilihat dari bait pertama sampai bait terakhir. Bait pertama terdapat pada baris kedua yakni pada kata-kata kujunjung, kupuja, kurenung. Bertangkai bunga kusunting Kujunjung kupuja, kurenung Berlagu hatiku bagai seruling Dlam hatiku kuikat istana-a Kusemayamkan kencana-a Kuhamburkan tuan Kukira sekalini mengenyap untung. di kusuma genta cempaka mulia-a Kan kakanda.....-a hamparan turun dewi Pada bait ketiga, yang diakhiri dengan bunyi vokal dengan pola a-ab-b. Pola ini dapat dilihat pada kata biasa, berguna, aku, dahulu. Variasi pola yang digunakan pada puisi ini membentuk paduan bunyi yang indah. Paduan bunyi digunakan Amir Hamzah sebagai sarana penciptaan suasana. Suasana yang dihasilkan dari paduan bunyi tersebut adalah suasana hati yang sedang merasa gembira tetapi tetap syahdu. Tetapi engkau orang biasa-a Merana sahaja tiada berguna-a Malu bertalu karena aku-b Ganjil terpencil berpaut ke dahulu.-b Pada bait kedua perulangan vokal /u/ terdapat dibaris pertama sampai ketiga, perulangan tersebut unik karena juga memadukan konsonan /k/. Bentuk tersebut dapat dilihat pada kata hatiku, kuikat, kusemayamkan, kuhamburkan, kusuma. Dlam hatiku kuikat istana Kusemayamkan tuan di genta kencana Kuhamburkan kusuma cempaka mulia Kan kakanda..... hamparan turun dewi Pada bait ketiga terdapat perulangan vokal /u/ malu, bertalu, aku, dahulu. Vokal /u/ tampil unik karena dipadukan dengan konsonan /l/ sehinggu membentuk suku kata /lu/. Bentuk ini terdapat dalam kata malu, bertalu, dahulu. Tetapi engkau orang biasa 7 Merana sahaja tiada berguna Malu bertalu karena aku Ganjil terpencil berpaut ke dahulu. pengurangan sekalini. vokal /i/ menjadi Dlam hatiku kuikat istana ... b. Gaya bahasa Gaya bahasa pertama yang dijumpai pada puisi ini adalah gaya bahasa personifikasi. Personifikasi merupakan salah satu jenis gaya bahasa yang membandingkan benda mati dengan banda hidup. Jenis gaya bahasa ini dapat dijumpai pada judul puisi dan pada baris ketiga bait pertama yakni pada berlagu hatiku. Hati yang merupakan organ tubuh dan benda mati, diibaratkan sebagai benda hidup (manusia) karena dianggap dapat berlagu atau bernyanyi. Bahkan dianggap dapat bernyanyi dengan merdu bagaikan suara seruling, hal ini dapat dilihat pada bait pertama daris ketiga berlagu hatiku bagai seruling. Selain perulangan bunyi dan personifikasi, terdapat pula sinkope yang membuat puisi ini menjadi lebih unik. Sinkope merupakan salah satu jenis gaya bahasa yang menghilangkan satu vokal atau satu suku kata yang terletak ditengah kata. Sinkope terdapat pada baris keempat bait pertama dan baris pertama bait kedua. Gaya bahasa kedua yang digunakan oleh Amir Hamzah adalah aferesis. Aferesis merupakan salah satu jenis gaya bahasa yang menghilangkan satu vokal atau satu suku kata diawal kata. Gaya bahasa ini dapat dilihat hampir disetiap baris pada bait pertama dan kedua, yakni pada kata kusunting, kujunjung, kupuja, kurenung, kukira, kuikat, kusemayamkan, kuhamburkan, kan. Bertangkai bunga kusunting Kujunjung kupuja, kurenung Berlagu hatiku bagai seruling Kukira untung. sekalini mengenyap Kata kusunting, kupuja, kurenung, dan kukira berasal dari kata akusunting, akurenung, akukira yang mengalami pengurangan vokal /a/ diawal kata. Dlam hatiku kuikat istana ... Kukira sekalini mengenyap untung Sinkope sekalini (baris Kata sekalini sekaliini. Kata Selain itu sinkope juga terdapat pada kata dlam di baris satu bait kedua. Kata dlam berasal dari kata dalam. Kata dalam mengalami pengurangan vokal /a/ menjadi dlam. terlihat keempat berasal sekaliini pada kata bait satu). dari kata mengalami Kusemayamkan tuan di genta kencana Kuhamburkan cempaka mulia kusuma Kan hamparan turun dewi kakanda..... 8 Kata kuikat, kusemayamkan, kuhamburkan, dan kan berasal dari kata akuikat, akusemayamkan, akuhamburkan, dan akan yang akan mengalami pengurangan vokal /a/ diawal kata. Penggunaan gaya bahasa simile juga terdapat dalam puisi ini. Simile atau gaya bahasa yang menggunakan kata-kata perumpamaan dapat dilihat pada baris ketiga bait pertama. Kata perumpamaan yang digunakan adalah kata bagai, hal ini dapat dilihat dari berlagu hatiku bagai seruling. Inversi atau anastrof terdapat pula dalam puisi ini, pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat sengaja dilakukan oleh penyair dengan tujuan menciptakan efek estetis dan menunjukkan keunikan. Meskipun demikian, inversi tidak mengurangi pemaknaan yang mendalam. Inversi ditemukan pada baris pertama bait pertama pada baris yang berbunyi bertangkai bunga kusunting. Jika tanpa inversi baris tersebut akan berbunyi kusunting bunga bertangkai. c. Penggunaan Tanda Baca Penggunaan tanda baca tidak dilupakan oleh Amir Hamzah, hal ini ditunjukkan pada penggunaan tanda baca koma (,); titik (.); dan titik-titik (.....). Tanda baca koma (,) terdapat pada baris kedua bait pertama di antara kata kupuja, kurenung tanda ini menunjukkan jeda karena dalam pemaknaan penulis menjunjung dan memuja terlebih dahulu baru kemudian merenungkannya. Dalam konteks ini, tanda baca koma juga dapat menunjukkan anti klimaks dari kata kujunjung dan kupuja. Tanda baca titik (.) terdapat diakhir bait pertama dan ketiga. Tanda baca ini digunakan untuk menunjukkan akhir dari setiap point pembicaraan yang dimaksudkan penulis. Tanda baca titik-titik (.....) terdapat pada akhir bait kedua, tanda baca ini digunakan untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang masih ‟menggantung‟ dalam pembicaraan penulis. Penggunaan tanda baca ini juga menunjukkan bahwa maksud dari penulis belum tersampaikan secara keseluruhan pada bait kedua ini. Penulis juga menunjukkan bahwa ada perbedaan yang mencolok antara bait kedua dan bait ketiga. Jika dimaknai perbedaan status sosial yang membuat dewi menjadi tidak percaya diri mendampingi aku. Penggunaan tanda baca titik-titik (.....) dapat pula dikategorikan dalam gaya bahasa aposiopesis, yakni penghentian ditengah-tengah kalimat atau ujaran. d. Diksi Amir Hamzah berusaha mencurahkan segenap perasaannya yang mendalam dengan memilih katakata yang tidak lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Hal ini dimaksdkan untuk menimbulkan efek estetis dan gaya yang terlihat romantis, sehingga pembaca akan dengan mudah terbawa oleh suasana yang syahdu yang diciptakan oleh penyair. Kata-kata yang tidak lazim digunakan dalam percakapan seharihari disusun dengan tepat sehingga menimbulkan efek estetis dan makna yang mendalam. Kata-kata yang tak lazim tersebut diantaranya adalah 9 menyecap, genta kusuma, kakanda, sahaja, berpaut. Penggunaan kata-kata yang usang juga dijumpai dalam puisi ini, hal ini dibuktikan dengan kata kakanda, kusuma, genta dan sahaja. Teknik ini dapat disebut sebagai gaya bahasa arkhaisme yakni menggunakan kata-kata yang telah usang. Pengguanan gaya bahasa ini bertujuan untuk menunjukkan kedalaman makna dan unsur kearifan dalam puisinya. 2. Berdiri Aku Berdiri aku di senja senyap Camar melayang menepis buih Melayah bakau mengurai puncak Berjulang datar ubur terkembang Angin pulang menyeduk bumi (Hamzah, Amir, 2008:46) Dengan sajak ini Amir Hamzah ingin menyampaikan ide dan pemikirannya melalui puisi yang dia tulis. Sajak Berdiri aku ini menimbulkan imaji penglihatan ”visual imagery”, seolah-olah kita melihat suasana pantai yang indah. Dari kalimat tersebut kita disuruh melihat keindahan pantai pada senja hari yang digambarkan penulis melalui kata-katanya. Dengan bermainnya khayal visual ini, kita akan mampu membayangkan keindahan pantai pada waktu senja sehingga suasana kagum akan keindahan alam dan kebesaran Tuhan (maha sempurna) menjadi dambaan dan harapan akan datangnya kebahagian dan merasakan tujuan hidup dari penyair seperti tergambar dalam bait keempat. Menepuk teluk mengempas emas Lari ke gunung memuncak sunyi Berayun-ayun di atas alas Dalam rupa maha sempurna Rindu-sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Benang raja mencelup ujung Menyecap hidup tertentu tuju Naik merak mengerak corak (Hamzah, Amir, 2008:46) Elang leka sayang tergulung Dimabuk warna berarak-arak. Dalam rupa maha sempurna Rindu-sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Menyecap hidup tertentu tuju Kata maha sempurna dalam akhir bait juga merupakan arti konotasi dari Tuhan yang maha sempurna. Kata menyecap memiliki arti impian dan harapan yang ingin dirasakan. Dengan pilihan kata seperti, marak dan leka. marak itu berarti 10 cahaya sedangkan leka berarti lengah atau lalai. Walaupun kata-kata itu sudah tidak digunakan lagi dalam percakapan sehari-hari. a. Analisis persajakan bunyi dan Dalam puisi Berdiri Aku, banyak dijumpai gaya bahasa asonansi. Gaya bahasa asonansi ini cukup mendominasi puisi Berdiri Aku. Hampir di setiap baris dijumpai gaya bahasa asonansi. Baris 1 terdapat perulangan bunyi vokal é dan i, Berdiri aku di senja senyap. Baris 2 terdapat perulangan a dan é, Camar melayang menepis buih. Baris 3 terdapat perulangan bunyi a dan u, Melayah bakau mengurai puncak. Baris 4 terdapat perulangan bunyi é dan a, yaitu Berjulang datar ubur terkembang. Baris 5 terdapat perulangan bunyi é, Angin pulang menyeduk bumi. Baris 6 juga terdapat perulangan bunyi é, Menepuk teluk mengempas emas. Baris 7 terdapat perulangan bunyi u, Lari ke gunung memuncak sunyi. Baris 8 terdapat perulangan bunyi a, Berayun-ayun di atas alas. Baris 9 terdapat perulangan bunyi é dan a, Benang raja mencelup ujung. Baris 10 terdapat perulangan bunyi a dan é, Naik marak mengerak corak. Baris 11 terdapat perulangan bunyi é dan a, Elang leka sayap tergulung. Baris 12 terdapat perulangan bunyi a, Dimabuk warna berarak-arak. Baris 13 terdapat perulangan bunyi a, Dalam rupa maha sempurna. Baris 14 terdapat perulangan bunyi u, Rindu sendu mengharu kalbu. Baris 15 terdapat perulangan bunyi a, Ingin datang merasa sentosa. Baris 16 terdapat perulangan bunyi é dan u, Menyecap hidup tertentu tuju. Selain gaya bahasa asonansi yang cukup mendominasi, terdapat juga gaya bahasa aliterasi. Baris 1 terdapat perulangan bunyi konsonan s, Berdiri aku di senja senyap. Baris 2 terdapat perulangan bunyi m, Camar melayang menepis buih. Baris 3 juga terdapat perulangan bunyi m, Melayah bakau mengurai puncak. Baris 6 juga perulangan bunyi m, Menepuk teluk mengempas emas. Baris 10 juga perulangan bunyi m, Naik marak mengerak corak. Baris 11 terdapat perulangan bunyi l, Elang leka sayap tergulung. Baris 12 terdapat perulangan bunyi k, Dimabuk warna berarak-arak. Baris 13 terdapat perulangan bunyi m, Dalam rupa maha sempurna. Selain menggunakan gaya bahasa asonansi dan aliterasi, Amir Hamzah juga menggunakan pola persajakan untuk mendapatkan bunyi yang indah. Pada bait 2,3,dan 4 digunakan pola sajak a-b-a-b. ………………………… ……. Angin pulang menyeduk bumi ------- a Menepuk teluk mengempas emas ----- b Lari ke gunung memuncak sunyi ----a Berayun-ayun di atas alas -------------b Benang raja mencelup ujung ---------a Naik merak mengerak corak ----------b Elang leka sayang tergulung ----------a Dimabuk warna beranak-anak -------b 11 Dalam rupa maha sempurna ----------a Rindu-sendu mengharu kalbu --------b Ingin datang merasa sentosa ----------a Menyecap hidup tertentu tuju --------b Perulangan bunyi dan sajak di atas membuat puisi menjadi indah. Puisi ini didominasi oleh perulangan vokal a dan é. Perulangan kedua vokal tersebut menimbulkan bunyi merdu yang biasa disebut efoni. Paduan bunyi tersebut juga berfungsi untuk menciptakan suasana. Suasana yang tergambar dalam puisi di atas adalah suasana yang indah dan syahdu pada suatu senja di tepi pantai. Suasana yang ditampilkan oleh pengarang memperlihatkan efek efoni dan irama dalam puisi tersebut. Irama dan efek efoni itu membuat puisi itu lebih merdu seandainya dibaca. Selain efek efoni yang ditampilkan, banyak pula kata-kata yang menimbulkan kakafoni seperti kata aku, senja, senyap, menepis, bakau, datang, terkembang, teluk, sunyi, di atas, leka, sayap, merasa, sempurna, sentosa, tertentu, dan tuju. Walaupun kata-kata tersebut memberi kesan tidak merdu (kakafoni), tetapi penggunan rima dalam puisi tersebut membuat sajak menimbulkan kesan menyenangkan. Seperti bunyi bumi-sunyi, emas-alas, ujung-tergulung, corak-arak, sempurna-sentosa, kalbu-tuju merupakan rima yang membuat sajak itu akhirnya memiliki efek efoni. Selain itu, aliterasi seperti berjulang-datang, menepuk teluk, mengempas emas, di atas alas, naik marak menyerak corak serta asonansi seperti dalam rupa maha sempurna, rindu-sedu mengharu kalbu, merasa sentosa, bertentu tuju. Kata-kata yang sama tersebut dapat menimbulkan kesan efoni walaupun banyak kata yang berbunyi tidak merdu dengan adanya bunyi /k/, /p/, /t/, dan /s/. Pengulangan bunyi /s/ pada bait pertama baris kedua dan ketiga dalam kata mengempas emas dan di atas alas menunjukkan penggunaaan gaya bahasa sigmatisme. Sigmatisme adalah salah satu jenis gaya bahasa yang menggunakan bunyi /s/ untuk menciptakan efek tertentu. Efek yang ditimbulkan dari pengulangan bunyi /s/ tersebut adalah efek sendu dalam puisi. Selain timbul efek efoni, unsur bunyi yang berpola tersebut menimbulkan irama dalam sajak. Persamaan bunyi pada puisi ini akan menyebabkan terdengar adanya pergantian bunyi pendek, lembut dan rendah. Karena suasana kasunyian yang dituliskan, penyair tak mungkin memberi irama yang tinggi dan cepat tetapi irama yang rendah atau lambat. a. Gaya bahasa Dalam puisi Berdiri Aku terdapat adanya personifikasi pada bait kedua baris pertama, yaitu Angin pulang menyeduk bumi; Benang raja mencelup ujung Dalam puisi tersebut, Amir Hamzah menghidupkan ombak dan angin yang bertujuan ingin menambah rasa kesunyian dan kesendirian penyair. Seperti halnya dengan mengagumi ombak yang menerpa pohon-pohon bakau serta desir angin yang mengempakkan semuanya terlihat kalau penyair benar-benar 12 merasa sepi dan hanya mampu melihat pemandangan sekitarnya saja. Selain personifikasi, ada juga gaya metafora terlihat dari baris pertama bait ketiga Benang raja mencelup ujung. Selain metafora, gaya bahasa Hiperbola tampak dalam kalimat Rindu-sendu mengharu kalbu yang menggambarkan kerinduan dan kesedihan yang benar-benar mendalam. Gaya bahasa arkahaisme digunkan untuk menunjukkan kedalaman dan keunikan pengarang dalam menciptakan efeka atau suasana tertentu. Jenis gaya bahasa ini dapat dijumpai pada kata-kata usang yang digunakan yakni kata senyap, melayah, menyeduk, leka, rupa, kalbu. Penggunaan reduplikasi pada puisi ini juga tampak mencolok. Reduplikasi dapat dijumpai hampir disemua bait, yakni pada bait kedua sampai bait keempat. Pada bait kedua baris keempat reduplikasi terdapat pada kata berayun-ayun. Bait ketiga baris keempat, terdapat reduplikasi pada kata berarak-arak. Sedangakan pada bait keempat baris keempat terdapat pada kata rindu-sendu. b. Tanda baca Reduplikasi diikuti peggunaan tanda hubung (-), tanda hubung (-) digunakan secara konsisten oleh pengarang untuk menunjukkan kesan yang khas. Tanda hubung (-) dalam kata berayun-ayun dan berarak-arak juga dapat dimaknai sebagai sebuah aktifitas yang dilakukan secara berulang. 3. Kurnia Kau kurnia aku, Kelereng kaca cerah cuaca, Hikmat raya, tersembunyi dalamnya, Jua bahaya dikandung kurnia, Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara. Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku tulisan tanganmu. Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dadaku menanti sentosa. Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi berdiri, tanah rendah membukit datar. Kutilik diriku, dua sifat mesra satu: Melangit tinggi, membumi keji. (Hamzah, Amir, 2008:18) Sajak ini merupakan ungkapan (dialog) si aku (pengarang) dengan Kau (Tuhan) yang memberikan karunia kepada si aku berupa dunia (kelereng kaca). Si Aku melihat bahwa dunia itu sangat jelas yang digambarkan dengan kata cerah cuaca pada baris kedua. Si aku juga melihat bahwa dalam dunia yang dikaruniakan kepada si aku terdapat sebuah rahasia. Hal itu tergambar pada baris ketiga yang berbunyi, Hikmat raya tersembunyi dalamnya. Baris keempat yang berbunyi Jua bahaya dikandung kurnia, mempunyai maksud bahwa selain keagungan dan kebesaran yang terdapat dalam dunia yang dikaruniakan kepada si aku, terdapat juga bahaya atau ancaman dunia. Untuk mengatasi bahaya dan ancaman dunia di atas, si aku memanjatkan doadoa yang tergambar pada baris kelima yang berbunyi Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara. Baris keenam yang berbunyi Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku tulisan tanganmu mempunyai maksud bahwa dunia yang sangat jelas memancarkan kasih menunjukkan (memberikan jalan) kepada si aku tentang masa depannya. Akan tetapi, untuk meraih masa depan tersebut, si 13 aku dipaksa untuk berbesar hati untuk mau mensyukuri apa yang ada di dalam dunia sehingga nantinya diperoleh sebuah kebahagiaan (Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dadaku menanti sentosa). Hal itu karena dunia yang dipandang cerah dan sangat jelas oleh si aku ternyata berwarna-warni dan kompleks (kelereng guli riwarni), ada kekontrasan dalam dunia tersebut (langit tinggi berdiri, tanah rendah membukit datar). Begitu juga ketika si aku melihat dirinya, dia melihat dua sifat dalam dirinya yang berbeda. Hal itu tergambar dalam baris terakhir yang berbunyi, Kutilik diriku, dua sifat mesra satu: Melangit tinggi, membumi keji. a. Analisis bunyi dan persajakan Puisi yang hanya terdiri atas satu bait di atas, kaya akan gaya bahasa asonanasi, yaitu gaya bahasa dengan perulangan bunyi vokal di tiap barisnya. Hampir di setiap baris puisi ini dijumpai gaya bahasa asonanasi. Baris pertama terdapat perulangan bunyi u, yaitu pada Kau kurnia aku. Baris kedua terdapat perulangan bunyi a, yaitu Kelereng kaca cerah cuaca. Demikian juga pada baris ketiga terdapat perulangan bunyi a, Jua bahaya dikandung kurnia. Baris kelima terdapat perulangan bunyi i yang dilanjutkan dengan perulangan bunyi a, Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara. Baris keenam terdapat perulangan bunyi u, Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku tulisan tanganmu. Baris ketujuh perulangan bunyi a, Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dadaku menanti sentosa. Baris kedelapan terdapat perulangan bunyi i, Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi berdiri, tanah rendah membukit datar. Baris kesembilan terdapat perulangan bunyi vokal u dan i, yaitu Kutilik diriku, dua sifat mesra satu: Melangit tinggi, membumi keji. Selain gaya bahasa asonanasi, terdapat juga gaya bahasa aliterasi, yakni gaya bahasa dengan perulangan konsonan. Akan tetapi, gaya bahasa aliterasi ini tidak sebanyak gaya bahasa asonansi. Gaya bahasa asonansi lebih mendominasi puisi ini. Gaya bahasa aliterasi terdapat pada baris 1, 2, 6, 7, dan 9. Baris pertama terdapat perulangan bunyi konsonan k, Kau kurnia aku. Baris kedua terdapat perulangan bunyi k dan c, Kelereng kaca cerah cuaca. Baris keenam terdapat perulangan bunyi k dan t, Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku tulisan tanganmu. Baris ketujuh terdapat perulangan bunyi m, Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dadaku menanti sentosa. Demikian juga pada baris kesemilan, terdapat perulangan bunyi m, yaitu Kutilik diriku, dua sifat mesra satu: Melangit tinggi, membumi keji. Dalam puisi di atas, ditemukan juga adanya sajak awal, yaitu sajak yang berada di awal baris untuk membuat puisi lebih berirama. Sajak awal tersebut dijumpai pada baris 1dan 2, juga baris 4 dan 5. Pada baris 1 dan 2 terdapat perulangan konsonan k. Kaukurnia aku, Kelereng kaca cerah cuaca, Baris 4 dan 5 terdapat perulangan konsonan j. Jua bahaya dikandung kurnia, Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara. 14 Selain sajak awal, terdapat juga sajak akhir. Sajak akhir merupakan sajak di akhir baris puisi. Sajak akhir selain membuat puisi berirama juga digunakan untuk menciptakan suasana dan menegaskan arti. Sajak akhir terdapat pada akhir baris 2,3,4, dan 5 dengan perulangan bunyi vokal a. Kelereng kaca cerah cuaca, Hikmat raya, tersembunyi dalamnya, Jua bahaya dikandung kurnia, Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara. Perulangan bunyi dan sajak di atas membuat puisi berjudul Kurnia menjadi sebuah puisi dengan paduan bunyi yang indah. Puisi ini didominasi oleh perulangan vokal a dan i. Perulangan kedua vokal tersebut menimbulkan bunyi merdu yang biasa disebut efoni. Paduan bunyi tersebut juga berfungsi untuk menciptakan suasana. Suasana yang tergambar dalam puisi di atas adalah suasana yang hidup dan khidmad. Oleh karena itu, bunyi aliterasi dan kakafoni yang membuat puisi bernuansa berat, tidak merdu, dan parau, tidak mendominasi puisi ini. Gaya bahasa Selain gaya bunyi, terdapat juga beberapa gaya bahasa kiasan dalam puisi ini. Gaya bahasa metafora terdapat pada baris kedua yang berbunyi, Kelereng kaca cerah cuaca dan baris kedelapan, yaitu tanah rendah membukit datar. Gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa perbandingan tetapi tidak mempergunakan kata bagai, seperti, dan lain sebagainya. Pada baris kedua kelereng kaca diibaratkan secerah cuaca. Baris keempat, tanah yang rendah diibaratkan seperti bukit yang datar. Gaya bahasa personifikasi terdapat pada baris 7 dan 8. Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menganggap benda mati memiliki sifat kemanusiaan. Pada baris 7 personifikasi tergambar pada t, Memaksa sukmaku bersorak raya. Sukma yang merupakan benda mati digambarkan dapat bersorak seperti manusia. Baris 8, personifikasi tergambar pada Kuketahui langit tinggi berdiri. Langit yang merupakan benda mati juga digambarkan dapat berdiri seperti manusia. Gaya bahasa sinkope dapat dilihat dari penggunaan kata kurnia pada judulnya. Kata kurnia termasuk dalam sinkope karena berasal dari kata karunia dan mengalami pengurangan vukal /a/ dan mengalami perubahan susunan huruf k-a-r-u-n-i-a k-r-un-i-a k-u-r-n-i-a. Selain pada judul, kata kurnia dijumpai pula pada baris pertama dan keempat. Arkahaisme tampak mendominasi puisi ini, hal ini dapat dijumpai pada kata jua, jampi, angkara, daku, sukma, sentosa, guli. b. c. Penggunaan tanda baca Dalam puisi ini penggunaaan tanda baca menimbulkan kekhasan dan keunikan tersendiri. Amir Hamzah menunjukkan kesatuan makna dan kelanjutan pemaknaan dengan pengguanan tanda baca koma (,) dan titik (.). Penggunaan tanda baca koma (,) diakhir baris menunjukkan kesatuan makna antara baris satu dengan baris yang lainnya. Tanda baca titik (.) digunakan untuk menunjukkan akhir dari kesatuan makna tersebut. 15 DAFTAR PUSTAKA d. Diksi Dalam puisi Kurnia di atas, Amir Hamzah mengunakan kata-kata yang tidak biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kata-kata yang tidak biasa tersebut menimbulkan efek estetis atau indah dan menimbulkan makna yang mendalam. Kata-kata yang tidak biasa itu diantaranya jua, jampi, daku, dan guli riwarni. D. SIMPULAN Amir Hamzah masih menggunakan pola puisi lama dengan berpatokan bahwa dalam satu bait berisi empat baris meskipun dalam Kurnia pola itu sudah tidak digunakan. Gaya bahasa yang digunakan oleh Amir Hamzah yaitu asonansi, aliterasi, personifikasi, metafora, arkhaisme, sinkope, aferesis, dan inversi. Gaya bahasa yang paling dominan digunakan dalam ketiga puisi karya Amir Hamzah ini adalah arkhaisme dan sinkope. Aminudin, 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.Semarang : IKIP Semarang Press. Hamzah, Amir. 2008. Buah Rindu. Jakarta: Dian Rakyat. -----------------. 2008. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat. Jassin. H.B. 1962. Amir Hamzah, Radja Penjair Pudjangga Baru. Jakarta : Gunung Agung, Junus, Umar. 1989. Stilistik Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Kementrian Pendidikan Malaysia. Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kutha Ratna, Nyoman. 2009. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Kajian Stilistika. Diktat Kuliah. -----------------------------. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sudjiman, Panuti.1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta : Grafiti. Teeuw. A. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Ende Flores : Nusa Indah. 16 17